DOSEN PENGAMPU
SUPRIADI TAKWIM, ST., M.Eng
LUTHFI, S.T., M.Si
ARDIANSYAH WINARTA, S.T., M.Si
DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
Pengertian APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu
tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Simak penjelasan
lebih lengkapnya mengenai APBD, berikut ini:
Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu
tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
APBD terdiri atas Anggaran Pendapatan, (Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi
Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah, dan Penerimaan
lainnya), Bagian Dana Perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus serta Pendapatan lain-lain yang sah seperti Dana Hibah,
Dana Darurat, Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya, Dana
Penyesuaian dan Otonomi Khusus, Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah
Daerah Lainnya dan Pendapatan Lain-Lain.
Alteng Syafruddin
Menurut Alteng Syafruddin, APBD adalah rencana kerja atau program kerja pemerintah
daerah untuk tahun kerja tertentu, di dalamnya memuat rencana pendapatan dan rencana
pengeluaran selama tahun kerja tersebut.
R.A. Chalit
Menurut R.A. Chalit, APBD adalah suatu bentuk konkrit rencana kerja keuangan daerah
yang komprehensif yang mengaitkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah yang
dinyatakan dalam bentuk uang, untuk mencapai tujuan yang direncanakan dalam jangka
waktu tertentu dalam satu tahun anggaran.
M. Suparmoko
2
Menurut M. Suparmoko, APBD adalah anggaran yang memuat daftar pernyataan rinci
tentang jenis dan jumlah penerimaan, jenis dan jumlah pengeluaran negara yang
diharapkan dalam jangka waktu satu tahun tertentu.
2. Fungsi APBD
Menurut Ateng Syafruddin, fungsi dan kedudukan APBD yaitu: Sebagai dasar kebijakan
menjalankan keuangan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk masa
tertentu yaitu satu tahun anggaran. Sebagai pemberian kuasa dari pihak legislatif yaitu
DPRD kepada kepala daerah sebagai pimpinan eksekutif untuk melakukan pengeluaran
dalam rangka menjalankan roda pemerintahan daerah.
3
PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban Keuangan Daerah serta Tata Cara
Pengawasan, Penyusunan, dan Perhitungan APBD.
Setelah RPJP Daerah ditetapkan, tugas selanjutnya adalah Pemerintah Daerah menetapkan
uraian dan penjabaran mengenai visi, misi dan program kepala daerah dengan
memperhatikan RPJP Daerah dan RPJM Nasional dengan memuat hal-hal tentang arah
kebijakan umum daerah, program serta kegiatan SKPD yang dituangkan dalam Renstra
dengan acuan kerangka pagu indikatif.
RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
kepala daerah dilantik berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 pasal 19 ayat (3). Setelah itu
dilanjutkan dengan penetapan RKPD yang ditetapkan setaip tahunnya berdasarkan acuan
RPJMD, Renstra, Renja dan memperhatikan RKP dengan Peraturan Kepala Daerah
sebagai dasar untuk penyusunan APBD.
Proses perencanaan dari RPJP Daerah, RPJM Daerah, sampai dengan RKP Daerah sesuai
dengan UU No. 25 Tahun 2005 berada di BAPPEDA.
1. Pendapatan
Bagian ini melihat perubahan dalam berbagai komponen pendapatan. Untuk pemerintah
daerah yang ada di Indonesia, pendapatan utamanya berasal dari tiga sumber : Pendapatan
Asli Daerah (PAD) melalui pajak dan retribusi Transfer dari pusat, dan Pendapatan
lainnya. Mengingat rata-rata sumber pendapatan pemerintah daerah didominasi oleh dana
perimbangan yaitu sekitar 80-90%, maka sumber pendapatan pemda dalam kondisi
dependable (ketergantungan).
2. Belanja
Bagian ini menunjukkan perkembangan total belanja dalam periode 3 (tiga) tahun. Selain
itu, akan ditunjukkan pula perubahan dalam jenis belanja sehingga dapat diketahui jika ada
satu komponen yang berubah relatif terhadap komponen lain.
Untuk pemda di Indonesia, klasifikasi belanja secara ekonomi dibagi ke dalam 10
(sepuluh) jenis , yaitu : Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Belanja
Bunga Belanja Subsidi Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bagi Hasil Kepada
Prov/Kab/Kota dan Pemdes Belanja Bantuan Keuangan Kepada Prov/Kab/Kota dan
Pemdes Belanja Tak Terduga. Pemahaman lebih dalam mengenai hal ini juga bisa
4
Grameds temukan pada buku Permendagri Pedoman Pemberian Hibah & Bantuan Sosial
yang Bersumber dari APBD.
4. Pembiayaan
Pos ini menggambarkan transaksi keuangan pemda yang dimaksudkan untuk menutup
selisih antara Pendapatan dan Belanja Daerah, jika Pendapatan lebih kecil maka terjadi
defisit dan akan ditutupi dengan penerimaan pembiayaan, begitu juga sebaliknya
Sumber APBD
1. Retribusi
Dianggap sebagai sumber penerimaan tambahan, tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan efisiensi dengan menyediakan informasi atas permintaan bagi penyedia
layanan publik, dan memastikan apa yang disediakan oleh penyedia layanan publik
minimal sebesar tambahan biaya (Marginal Cost) bagi masyarakat. Ada tiga jenis retribusi,
antara lain:
2. Pendapatan Daerah
Bisa bersumber dari Pajak daerah dibagi jadi 2 yakni pajak provinsi dan pajak
kabupaten/kota. Contohnya
5
Retribusi daerah, misalnya retribusi pelayanan kesehatan, kebersihan, dan
lain-lain.
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, misalnya dividen dan
penyertaan modal daerah pada pihak ketiga, Lain-lain penerimaan daerah yang
sah, seperti jasa giro, pendapatan bunga, komisi, potongan,
Dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana
alokasi khusus dan Pendapatan lain seperti hibah dan pendapatan dana darurat.
Kemandirian APBD berkaitan erat dengan kemandirian PAD. Hal ini karena semakin
besar sumber pendapatan dari potensi daerah, maka daerah akan semakin leluasa untuk
mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Di mana kepentingan masyarakat tanpa
muatan kepentingan pemerintah pusat yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di
daerah.
Buku Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Apbd juga bisa menjadi referensi
dalam rangka emberikan pemahaman serta pedoman bagi para pengelola keuangan daerah
dalam memberikan, menganggarkan, melaksanakan, dan menatausahakan, melaporkan,
mempertanggung jawabkan serta memonitori dan mengevaluasi pemberian hibah dan
bantuan sosial.
4. Pajak Cukai
Pajak cukai berpotensi signifikan terhadap sumber penerimaan daerah, terutama alasan
administrasi dan efisiensi. Terutama cukai terhadap pajak kendaraan. Pajak tersebut jelas
dapat dieksploitasi lebih daripada yang biasanya terjadi di sebagian besar negara yaitu dari
perspektif administratif berupa pajak bahan bakar dan pajak otomotif. Pajak bahan bakar
juga terkait penggunaan jalan, dan efek eksternal seperti kecelakaan kendaraan, polusi, dan
kemacetan.
Swastanisasi jalan tol pada prinsipnya dapat melayani fungsi pajak manfaat, didasarkan
pada fitur umur dan ukuran mesin kendaraan (mobil lebih tua, dan lebih besar biasanya
memberikan kontribusi lebih kepada polusi), lokasi kendaraan (mobil di kota-kota
menambah polusi, dan kemacetan), sopir catatan (20 persen dari driver bertanggung jawab
atas 80 persen kecelakaan), dan terutama bobot roda kendaraan (berat kendaraan yang
pesat lebih banyak kerusakan jalan, dan memerlukan jalan yang lebih mahal untuk
membangun).
Besaran DBH sebagai berikut: Besaran dana bagi hasil penerimaan negara dari PBB
dengan imbangan 10 persen untuk daerah. Besaran dana bagi hasil penerimaan negara dari
BPHTB dengan imbangan 20 persen untuk pemerintah dan 80 persen untuk daerah.
Besaran dana bagi hasil pajak penghasilan dibagikan kepada daerah sebesar 20 persen.
Dana bagi hasil dari sumber daya alam ditetapkan masing-masing sesuai peraturan
perundang-undangan.
Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2012 mengacu pada ketentuan yang diatur
dalam UU No. 33 Tahun 2004, UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus untuk Provinsi Papua telah menjadi undang-undang, dan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai, serta Peraturan Pemerintah Nomor 55 2005 tentang Dana Perimbangan.
Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH SDA, dengan rincian sebagai berikut:
DBH Kehutanan
DBH Perikanan.
8
Perhitungan Dana Bagi Hasil disusun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dan UU No. 39/2007 tentang Perubahan UU 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Program Indonesia Pintar rencananya akan dibagikan kepada 17,9 Juta pelajar di
Indonesia
Kartu Indonesia Pintar dan ADIK ditargetkan untuk 1,1 juta siswa
9
Formula Dana Alokasi Umum untuk Daerah Otonom Baru (DOB)
Penghitungan Besaran Dana Alokasi Khusus untuk DOB adalah dengan membagi secara
proporsional Dana Alokasi Umum yang diterima dari Daerah Induk (sebelum pemekaran
dilakukan) dengan DOB yang merupakan pemekaran daerah.
Rumus Dana Alokasi Umum untuk proporsi daerah dihitung berdasarkan 3 data utama,
antara lain:
Dana Alokasi Umum untuk setiap daerah otonom baru akan dialokasikan sebelum UU
disahkan. Penghitungan Dana Alokasi Umum ke daerah otonom baru dilakukan setelah
data kesenjangan fiskal dan alokasi dasar daerah baru tersedia.
Untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi untuk
proses pengalokasian dana yang satu ini. Sebelum mengalokasikan Dana Alokasi
Khusus, pemerintah pusat terlebih dahulu akan melihat kemampuan keuangan suatu
daerah tersebut. Lalu, ada kriteria khusus yang juga harus dipenuhi, kriteria ini mengacu
pada peraturan penyelenggaraan otonomi khusus dari peraturan perundang-undangan.
Cara mengetahui neto pendapatan dalam negeri adalah dengan menghitung selisih antara
pendapatan dalam negeri dengan bagi hasil dari pemerintahan pusat ke daerah yang
sudah diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah 55 Tahun
2005.
Ada satu kriteria lagi yang harus dipenuhi dalam Dana Alokasi Khusus yang disebut
kriteria teknis, kriteria ini dibuat dengan mengacu pada indikator kondisi sarana serta
prasarana daerah tersebut. Selain itu, ada juga pengamatan teknis tentang pencapaian
yang sudah didapat dari penggunaan Dana Alokasi Khusus di daerah tersebut
sebelumnya.
10
Ada 19 sektor yang dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus, sector itu adalah:
Pendidikan
Kesehatan
Pertanian
Lingkungan hidup
Kehutanan
Keluarga berencana
Perdagangan
Prasarana pemerintah
Infrastruktur Jalan
Infrastruktur irigasi
Infrastruktur sanitasi
Listrik pedesaan
Transportasi perdesaan
Oleh sebab itulah, Pemerintah menerapkan tiga kebijakan untuk Dana Alokasi Khusus
pada 2021, kebijakan itu adalah:
11
Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan akan dilaksanakan secara menyeluruh
sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh sekolah secara keseluruhan. Berikut
daftar sarana dan prasarana pendidikan yang didanai melalui Dana Alokasi Khusus.
Ruang guru
Toilet
UKS
Ruang sholat
Laboratorium
Ruang seni
Pengadaan kontraktual mempunyai tujuan agar sekolah dapat fokus pada proses
pembelajaran. Pengadaannya sendiri dilakukan dalam tiga tahap. itu adalah:
Tahap penerapan:
– Dilaksanakan oleh dinas pendidikan dan penyelenggara
– Manajemen di dinas pendidikan
– Peralatan yang disediakan oleh penyedia
Untuk Dana Bagi Hasil (DBH), akan ada 3 jenis berbeda yang dibagi dalam alokasinya.
Dana Bagi Hasil dari PBB akan dibagi 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk
pemerintah daerah. Bagian 10% milik pemerintah pusat ini nantinya akan dialokasikan
kembali ke Kabupaten/Kota. Pembagiannya adalah Kabupaten/Kota akan menerima
6,5% yang dibagi secara merata. Lalu 3,5% lagi akan dibagi dalam bentuk insentif
kepada Kabupaten/Kota yang sebelumnya telah mencapai atau bahkan melampaui
rencana penerimaan anggaran.
Persentase 90% yang diterima daerah juga masih akan dibagi lagi nantinya. 16,2% dari
dana tersebut akan diberikan kepada Provinsi, lalu 64,8% untuk Kabupaten/Kota dari
daerah tersebut, serta 9% sisanya akan diambil sebagai biaya pemungutan.
Alokasi berikutnya adalah Dana Bagi Hasil dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). Untuk pembagiannya, 80% dari dana ini akan diterima oleh daerah
dan 20% sisanya akan diterima pusat. Dari 80% dana yang diterima daerah, akan dibagi
lagi sebanyak 16% untuk Provinsi dan 64% sisanya untuk Kabupaten/Kota daerah
tersebut.
Terakhir, ada Dana Bagi Hasil dari Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri (disingkat PPh WPOPDN). Pendapatan yang berasal dari Pajak Penghasilan ini
akan dibagi untuk pusat sebanyak 80% dan 20% sisanya untuk daerah. Sebanyak 8%
dari 20% dana tersebut akan diberikan untuk Provinsi, sementara 12% sisanya diberikan
pada Kabupaten/Kota.
13
Dari total 12% yang diterima Kabupaten/Kota, akan dibagi kembali sebanyak 8,4%
untuk diberikan bagi Kabupaten/Kota yang memiliki wajib pajak yang terdaftar secara
bersangkutan. Sementara 3,6% sisanya akan dibagikan secara merata untuk seluruh
Kabupaten/Kota yang ada di dalam Provinsi tersebut.
Menurut Departemen Keuangan RI (2007), tujuan kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK)
adalah sebagai berikut:
14
7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK
dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan kegiatan
yang didanai dari APBD.
8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke
DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan Umum,
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan.
Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang dialokasikan dari APBN ke daerah tertentu
untuk mendanai kebutuhan khusus pada daerah tersebut, seperti pembangunan jalan di
daerah terpencil dan kebutuhan beberapa jenis prasarana lainnya. Hanya daerah tertentu
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK.
Dengan demikian, tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK.
Menurut Kuncoro (2004), persyaratan suatu daerah mendapatkan Dana Alokasi Khusus
(DAK) adalah sebagai berikut:
Dana Alokasi Khusus (DAK) diperuntukkan bagi daerah yang kemampuan keuangan
daerahnya rendah dan standar pelayanan minimal belum mencapai mencapai kriteria
tertentu, maka indeks kemampuan keuangan daerah dan indeks standar pelayanan minimal
perlu diinvest. Daerah dapat memperoleh alokasi DAK untuk bidang yang sama untuk
jangka waktu paling lama tiga tahun apabila waktu yang diperlukan mencapai standar
pelayanan minimal tersebut memerlukan waktu tiga tahun atau lebih.
Menurut Halim (2016), Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan daerah. DAU akan memberikan kepastian bagi
daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab masing-
masing daerah dengan proporsi sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri
netto yang telah ditetapkan dalam APBN.
Menurut Siregar (2016), terdapat beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam
pembentukan dan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu sebagai berikut:
a. Kecukupan
Sebagai suatu bentuk penerimaan, sistem DAU harus memberikan sejumlah dana yang
cukup kepada daerah. Hal ini berarti, perkataan cukup harus diartikan dalam kaitannya
dengan beban fungsi. Sebagaimana diketahui, beban finansial dalam menjalankan fungsi
tidaklah statis, melainkan cenderung meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh
karena itulah maka penerimaan pun seharusnya naik sehingga pemerintah daerah mampu
membiayai beban anggarannya. Bila alokasi DAU mampu merespon terhadap kenaikan
beban anggaran yang relevan, maka sistem DAU dikatakan memenuhi prinsip kecukupan.
Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral artinya suatu sistem alokasi
harus diupayakan sedemikian rupa sehingga efeknya justru memperbaiki (bukannya
menimbulkan) distorsi dalam harga relatif dalam perekonomian daerah. Efisien artinya
sistem alokasi DAU tidak boleh menciptakan distorsi dalam struktur harga input, untuk itu
sistem alokasi harus memanfaatkan berbagai jenis instrumen finansial alternatif relevan
yang tersedia.
c. Akuntabilitas
Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum, maka penggunaan terhadap dana
fiskal ini sebaiknya dilepaskan ke daerah, karena peran daerah akan sangat dominan dalam
penentuan arah alokasi, maka peran lembaga DPRD, pers dan masyarakat di daerah
bersangkutan amatlah penting dalam proses penentuan prioritas anggaran yang perlu
dibiayai DAU. Format yang seperti ini, format akuntabilitas yang relevan adalah
akuntabilitas kepada elektoral (accountability to electorates) dan bukan akuntabilitas
finansial kepada pusat (financial accountability to the centre).
d. Relevansi
Tujuan sistem alokasi DAU sejauh mungkin harus mengacu pada tujuan pemberian
alokasi sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang. Alokasi DAU ditujukan untuk
membiayai sebagian dari beban fungsi yang dijalankan, hal-hal yang merupakan prioritas
dan target-target nasional yang harus dicapai. Perlu diingat bahwa kedua Undang-Undang
telah mencantumkan secara eksplisit beberapa hal yang menjadi tujuan yang ingin dicapai
lewat program desentralisasi.
e. Keadilan
Prinsip dasar keadilan alokasi DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi.
16
f. Objektivitas dan Transparansi
Sebuah sistem alokasi DAU yang baik harus didasarkan pada upaya untuk
meminimumkan kemungkinan manipulasi, maka sistem alokasi DAU harus dibuat sejelas
mungkin dan formulanya pun dibuat setransparan mungkin. Prinsip transparansi akan
dapat dipenuhi bila formula tersebut bisa dipahami oleh khalayak umum. Oleh karena itu
maka indikator yang digunakan sedapat mungkin adalah indikator yang sifatnya obyektif
sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambivalen.
g. Kesederhanaan
Rumusan alokasi DAU harus sederhana (tidak kompleks). Rumusan tidak boleh terlampau
kompleks sehingga sulit dimengerti orang, namun tidak boleh pula terlalu sederhana
sehingga menimbulkan perdebatan dan kemungkinan ketidak-adilan. Rumusan sebaiknya
tidak memanfaatkan sejumlah besar variabel dimana jumlah variabel yang dipakai menjadi
relatif terlalu besar ketimbang jumlah dana yang ingin dialokasikan.
Menurut Yovita (2011), tahapan yang biasa digunakan dalam melakukan perhitungan
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sebagai berikut:
1. Tahapan Akademis
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU (Dana Alokasi
Umum) dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk
memperoleh kebijakan perhitungan DAU (Dana Alokasi Umum) yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang dan karakteristik Otonomi Daerah di Indonesia.
2. Tahapan Administratif
Pada tahapan ini Depkeu DJPK melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk
penyiapan data dasar perhitungan DAU (Dana Alokasi Umum) termasuk di dalamnya
kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran
data yang akan digunakan.
3. Tahapan Teknis
Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU (Dana Alokasi Umum) yang
akan dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan DAU (Dana
Alokasi Umum) sebagaimana diamanatkan UU dengan menggunakan data yang tersedia
serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.
4. Tahapan Politis
Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU (Dana Alokasi
Umum) antara Pemerintah dengan Pajak Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk
konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil perhitungan DAU (Dana Alokasi Umum).
17
Rumus Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Keuangan Daerah, rumus yang digunakan untuk menghitung besaran Dana Alokasi Umum
(DAU) adalah:
Dimana:
Besarnya Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji pegawai negeri sipil daerah
tahun sebelumnya yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai
dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku, yaitu:
Jika Celah Fiskal > 0, maka DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Jika Celah Fiskal = 0, maka DAU = Alokasi Dasar
Jika Celah Fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya negatif lebih kecil dari alokasi
dasar, maka DAU = Alokasi Dasar
Jika Celah Fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya sama atau lebih besar dari alokasi
dasar, maka DAU = 0
Menurut Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, skema
perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) yang menunjukkan komponen-komponen yang
menjadi penyusun Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sebagai berikut:
18
Ketentuan Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Keuangan Daerah, ketentuan perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sebagai
berikut:
19
4. BOT
Simbiosis mutualisme (interaksi antara dua organisme yang hidup berdampingan dan
bertujuansaling menguntungkan) tidak hanya berlaku di dunia hewan dan tanaman, tetapi
juga berlaku di dunia bisnis yang tidak mungkin dapat berjalan sendiri dalam menjalani
usahanya. Salah satu bentuk atau pola kerjasama saling menguntungkan adalah perjanjian
Build Operate Transfer (BOT). Apakah BOT itu sesungguhnya ? Clifford W. Garstang
berpendapat BOT adalah berbagai jenis pembiayaan proyek yang dikenal sebagai
pembiayaan yang disediakan kontraktor. Dalam kontrak standar pembiayaan yang
diberikan, entitas proyek dapat meminta proposal untuk pembangunan proyek dimana
kontraktor tidak hanya akan menyediakan bahan dan layanan yang diperlukan untuk
menyelesaikan proyek tetapi juga akan menyediakan atau setidaknya mengatur
pembiayaan yang diperlukan. Kontraktor juga perlu mengoperasikan proyek dan
menggunakan arus kasnya untuk membayar utang yang telah dikeluarkannya. Berdasarkan
definisi di atas, BOT dapat dijelaskan sebagai salah satu pilihan pembiayaan proyek
pembangunan dengan mana investor harus menyediakan sendiri modal atau pendanaan
untuk proyek, termasuk menanggung pengadaan material, peralatan dan jasa lainnya yang
dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Untuk itu, investor memiliki hak untuk
mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonomi pembangunan proyek tersebut
(manajemen dan operasional) sebagai penggantian dari seluruh biaya yang telah
dikeluarkan dengan jangka waktu tertentu (umumnya 25 tahun atau lebih). Dengan ini
investor dapat mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dan mendapatkan keuntungan
dengan konsep BOT ini. Setelah lewat waktu, maka seluruh bangunan dan
kepemilikannya, sesuai dengan perjanjian BOT akan beralih menjadi milik yang
menyediakan tanah.
Dengan kerangka dasar kerjasama BOT tersebut di atas, maka tergambarlah bahwa dasar
dari BOT adalah adanya ketergantungan di antara pelaku. Hampir dapat dikatakan tidak
semua pelaku usaha, dalam praktiknya, memiliki dana dan sekaligus memiliki hak atas
tanah sebagai bagian modal kekayaan untuk menjalankan usaha. Kondisi demikian
memaksa untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain berdasarkan prinsip saling
menguntungkan, yaitu BOT. Dengan ikatan kerjasama demikian tidak ada pihak yang
akan dirugikan atas kesepakatan perjanjian BOT dan dapat dikatakan saling menutupi
kelemahan dan kekurangan yang ada di masing-masing pihak. Pihak yang kelebihan dana
dapat digunakan untuk tujuan produktif dan berhasil guna dan sementara pihak yang
memiliki tanah dengan lokasi premium dapat menjadikan asset tersebut lebih berdaya dan
bermaksimal penggunaannya dibandingkan dengan dibiarkan terlantar tanpa ada manfaat
ekonomi kepada pemiliknya. Konsep BOT tidak ada salah untuk dilakukan sepanjang
kerjasama yang dibuat diikat dengan perjanjian dengan jelas (dalam mengatur hak dan
kewajiban para pihak) sebagai mitra usaha yang sepadan kedudukannya, dan dilandasi
semangat untuk menjalankannya dengan pacta sunt servanda.
Perjanjian BOT umumnya dilakukan untuk membangun proyek seperti perkantoran,
apartemen, pusat-pusat perbelanjaan, real estate, rumah toko, hotel atau bangunan lainnya.
Namun dalam praktik, perjanjian BOT digunakan juga pemerintah dalam rangka
kerjasamanya dengan pihak swasta (nasional maupun asing). Oleh sebab itu, perjanjian
BOT tidak saja dimanfatkan kepentingan personal perusahaan swasta saja, tetapi dapat
juga dipergunakan membangun infrastruktur seperti : sarana dan peningkatan keperluan
umum, transportasi, telekomunikasi, listrik dan lain-lain. Dengan dilibatkannya pihak
swasta dalam proyek-proyek pemerintah dasar utamanya adalah pemenuhan kebutuhan
20
untuk pemenuhan rencana pembangunan nasional, namun dana yang milik pemerintah
terbatas, maka jalan keluarnya adalah melibatkan pihak swasta dengan perjanjian BOT.
Dibukanya kerjasama dengan swasta, karena pembangunan nasional dengan segala
akibatnya tidak dapat lagi dilakukan dengan pembiayaan dari pemerintah sendiri.
BOT di dalam kerangka proyek infrastruktur tidak lain adalah sebuah perjanjian dimana
pemilik proyek (dalam hal ini pemerintah) memberikan haknya kepada operator atau
pelaksana (pihak swasta) untuk membangunan sarana dan prasarana umum dan
mengoperasikannya dalam jangka waktu tertentu, serta mengambil keuntungan dalam
pengoperasiannya. Kemudian pada masa akhir kontrak swasta harus mengembalikannya
proyek yang dikelolanya kepada pemerintah, sesuai dengan perjanjian BOT. Artinya,
dalam konsep BOT tidak ada pihak yang akan dirugikan, tetapi akan terbuka
menguntungkan pemerintah karena: pertama, BOT tidak membenani neraca pembayaran
pemerintah. Kedua, dengan BOT akan mengurangi jumlah pinjaman pemerintah. Ketiga,
BOT akan menjadi bagian tambahan sumber pembiayaan proyek-proyek yang
diprioritaskan. Keempat, terbukanya tambahan fasilitas baru dengan proyek tersebut.
Kelima, mengalihan risiko terhadap konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada
sektor swasta. Keenam, mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan swasta atau
masuknya tekhnologi asing. Ketujuh, mendorong alih teknologi dari negara maju kepada
negara-negara berkembang dengan BOT. Terakhir, ke delapan diperolehnya fasilitas
lengkap dan operasional setelah jangka waktu akhir konsensi BOT terpenuhi.
Dengan berpegang kepada ke delapan poin penting di atas maka BOT adalah bagian dari
strategi pembiayaan pembangunan yang dapat dijadikan rujukan pelaku usaha (termasuk
pemerintah sebagai pelaku usaha). Bagi investor swasta semakin terbuka peluang bidang
usaha hanya ditangani pemerintah dengan BUMN atau BUMD, maka dengan BOT akan
ada kesempatan ekspansi usaha yang berprospek menguntungkan dan memanfaatkan lahan
usaha strategis yang dkuasai pemerintah selama ini. Untuk itulah, maka investor swasta
dituntut inovasi kreatif dalam pembiayaan proyek yang berbeda dengan proyek biasa,
meningkatkan profesionalisme, dan juga meningkatkan daya saing perbankan di dalam
negeri. Namun demikian, tidak berarti bahwa pemerintah melepaskan dan menyerahkan
seluruh proyek infrastruktur kepada swasta. Dengan BOT yang dimaksud pemerintah
hanya melepaskan salah satu sumber pendapatannya. Pemerintah tetap berperan penting
dalam perjanjian BOT, misalnya pembebasan tanah, pemindahan lokasi warga yang akan
terkena proyek BOT dan lain sebagainnya. Untuk itu, maka investor swasta membutuhkan
perhitungan yang cermat dan teliti, karena pada umumnya proyek BOT berisiko tinggi.
Perlu juga diperhatikan kesulitan pendanaan sebab perbankan menggangap BOT tidak
bankable untuk dibiayai dalam hal pemerintah tidak berkehendak menanggung resiko
selama dan pada waktu proyek dan selama masa konsensi BOT. Dibutuhkanlah
pendekatan kombinasi aspek ekonomi dan hukum untuk menjembatani kemungkinan
negatif dan gagal proyek BOT dengan mengendepankan prinsip saling menguntungkan
yang dituangkan di dalam klausula-klasusla BOT, sebagai pelindungnya, yang akan
ditandatangani bersama pemerintah dan investor swasta.
5. Concession
21
Skema pembiayaan dengan LCS diharapkan dapat terus berkembang untuk menjadi
sumber alternatif pendanaan baru untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Dengan
model LCS, dapat diskemakan bahwa Pemerintah dapat melakukan ‘daur ulang’ terhadap
aset infrastruktur operasional yang ada untuk mengkapitalisasi pengembangan baru atau
peningkatan aset lain menggunakan pendanaan baru dari sektor swasta. Sebagai
imbalannya, sektor swasta akan diberikan konsensi untuk mengoperasikan Aset LCS dalam
jangka waktu tertentu untuk menjamin pengembalian investasinya.
Dalam hal Perjanjian Pengelolaan Aset mengatur penyerahan Pengelolaan Aset
yang diadakan oleh Badan Usaha Pengelola Aset selama jangka waktu perjanjian yang telah
ditentukan, paling sedikit memuat:
a. Kondisi aset yang akan dialihkan;
b. Tata cara pengalihan aset;
c. Status aset yang bebas dari segala jaminan kebendaan atau pembebanan dalam bentuk
apapun pada saat aset diserahkan kepada Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara.
d. Status aset yang bebas dari tuntutan pihak ketiga; dan
e. Pembebasan Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara dari segala tuntutan yang
timbul setelah penyerahan aset.
Pihak swasta yang diberikan konsensi wajib menyetorkan pendanaan pengelolaan aset
dalam kurun waktu 6 (enam) bulan setelah penandatanganan perjanjian LCS. Sebelum
pengalihan aset dapat dipastikan kembali bahwa status aset yang bebas dari segala jaminan
Kebendaan, tuntutan pihak ketiga, atau pembebanan dalam bentuk apapun.
Selanjutnya pihak swasta bertanggung jawab penuh atas tanggung jawab pengoperasian
dan pemeliharaan, termasuk membayar pajak dan kewajiban lain yang timbul akibat
pemanfaatan aset. Pihak swasta dilarang untuk mengagunkan aset sebagai jaminan kepada
pihak ketiga dan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional dengan tetap
menjaga serta mengawasi pelayanan dan kinerja aset.
Beberapa contoh concessions adalah: kontrak jasa, kontrak manajemen, kontrak sewa,
BOT (Build, Operate, and Transfer), BOO (Build, Operate, and Own), dan divestiture
(sektor swasta mengambil alih seluruh kontrol perusahaan dengan membeli seluruh aset
pemerintah).
Tujuan utama dari kerjasama ini adalah untuk memadukan keunggulan yang dimiliki
sektor swasta, misalnya modal, teknologi dan kemampuan manajemen, dengan keunggulan
yang dimiliki oleh sektor pemerintah, misalnya sumber-sumber, kewenangan dan
kepercayaan masyarakat.
Tujuan utama dari kerjasama ini adalah untuk memadukan keunggulan yang dimiliki
sektor swasta, misalnya modal, teknologi dan kemampuan manajemen, dengan keunggulan
yang dimiliki oleh sektor pemerintah, misalnya sumber-sumber, kewenangan dan
kepercayaan masyarakat.
Developer diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana yang sejenis di daerah
lain yang kurang diinginkan, dalam rangka mendapatkan persetujuan pembangunan di
daerah yang mereka inginkan.
Metode semacam ini di Indonesia sudah mulai dikenal, khususnya berkaitan dengan
pembangunan perumahan, dimana para developer diwajibkan untuk pembangunan
perumahan sederhana sebagai kompensasi diberikannya izin untuk membangun perumahan
22
mewah.
25