Anda di halaman 1dari 25

MANAJEMEN PEMBIAYAAN DAN PEMBANGUNAN

DOSEN PENGAMPU
SUPRIADI TAKWIM, ST., M.Eng
LUTHFI, S.T., M.Si
ARDIANSYAH WINARTA, S.T., M.Si

DISUSUN OLEH :

MOHAMMAD ALGHIFARI (F23120035)

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
Pengertian APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu
tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Simak penjelasan
lebih lengkapnya mengenai APBD, berikut ini:

Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu
tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

APBD terdiri atas Anggaran Pendapatan, (Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi
Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah, dan Penerimaan
lainnya), Bagian Dana Perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus serta Pendapatan lain-lain yang sah seperti Dana Hibah,
Dana Darurat, Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya, Dana
Penyesuaian dan Otonomi Khusus, Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah
Daerah Lainnya dan Pendapatan Lain-Lain.

Anggaran Belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan


di daerah. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan
maupun tahun-tahun anggaran berikut:

1. Pengertian APBD Menurut Para Ahli

 Alteng Syafruddin
Menurut Alteng Syafruddin, APBD adalah rencana kerja atau program kerja pemerintah
daerah untuk tahun kerja tertentu, di dalamnya memuat rencana pendapatan dan rencana
pengeluaran selama tahun kerja tersebut.

 R.A. Chalit
Menurut R.A. Chalit, APBD adalah suatu bentuk konkrit rencana kerja keuangan daerah
yang komprehensif yang mengaitkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah yang
dinyatakan dalam bentuk uang, untuk mencapai tujuan yang direncanakan dalam jangka
waktu tertentu dalam satu tahun anggaran.

 M. Suparmoko

2
Menurut M. Suparmoko, APBD adalah anggaran yang memuat daftar pernyataan rinci
tentang jenis dan jumlah penerimaan, jenis dan jumlah pengeluaran negara yang
diharapkan dalam jangka waktu satu tahun tertentu.

2. Fungsi APBD
Menurut Ateng Syafruddin, fungsi dan kedudukan APBD yaitu: Sebagai dasar kebijakan
menjalankan keuangan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk masa
tertentu yaitu satu tahun anggaran. Sebagai pemberian kuasa dari pihak legislatif yaitu
DPRD kepada kepala daerah sebagai pimpinan eksekutif untuk melakukan pengeluaran
dalam rangka menjalankan roda pemerintahan daerah.

Sebagai penetapan kewenangan kepada kepala daerah untuk melaksanakan pembangunan


daerah dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai bahan pengawasan yang dilakukan oleh
pihak yang berhak melaksanakan pengawasan bisa lebih baik. Pada Peraturan menteri
dalam Negeri Nomor 13 Thn 2006 menyatakan bahwa APBD mempunyai beberapa fungsi
antara lain sebagai berikut:

 Fungsi Otorisasi – Anggaran daerah tersebut menjadi dasar untuk dapat


melaksanakan pendapatan serta belanja daerah ditahun bersangkutan
 Fungsi Perencanaan – Anggaran daerah tersebut menjadi suatu pedoman
bagi manajemen didalam merencanakan suatu kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
 Fungsi Pengawasan – Anggaran daerah tersebut menjadi suatu pedoman
untuk dapat menilai apakah kegiatan atau aktivitas penyelenggaraan
pemerintah daerah tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
 Fungsi Alokasi – Anggaran daerah tersebut harus diarahkan untuk dapat
menciptakan lapangan kerja atau juga mengurangi pengangguran serta
pemborosan sumber daya, dan juga meningkatkan efisiensi & efektivitas
perekonomian.
 Fungsi Distribusi – Anggaran daerah tersebut harus memperhatikan pada rasa
keadilan dan juga kepatutan.
 Fungsi Stabilisasi – Anggaran daerah tersebut menjadi alat untuk dapat
memelihara serta mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian
suatu daerah.

3. Dasar Hukum APBD


Pada dasarnya tujuan penyusunan APBD sama halnya dengan tujuan penyusunan APBN.
APBD disusun sebagai pedoman penerimaan dan pengeluaran penyelenggara negara di
daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk meningkatkan kemakmuran
masyarakat. Dengan APBD maka pemborosan, penyelewengan, dan kesalahan dapat
dihindari. Dasar hukum dalam penyelenggaraan keuangan daerah dan pembuatan APBD
adalah sebagai berikut Grameds:
 UU No. 32 Tahun 2003 tentang Pemerintah Daerah.
 UU No. 33 Tahun 2003 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.

3
 PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah.
 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban Keuangan Daerah serta Tata Cara
Pengawasan, Penyusunan, dan Perhitungan APBD.

Prosedur Penyusunan APBD


Tahap proses penyusunan anggaran sesuai dengan UU No. 25 tahun 2004 tentang sistem
perencanaan pembangunan nasional, dimulai dari proses penyusunan RPJP Daerah yang
memuat visi, misi serta arah pembangunan daerah dan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Untuk lebih memahami prosedur penyusunan APBD, Grameds dapat membaca
buku Pedoman Penyusunan APBD Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.

Setelah RPJP Daerah ditetapkan, tugas selanjutnya adalah Pemerintah Daerah menetapkan
uraian dan penjabaran mengenai visi, misi dan program kepala daerah dengan
memperhatikan RPJP Daerah dan RPJM Nasional dengan memuat hal-hal tentang arah
kebijakan umum daerah, program serta kegiatan SKPD yang dituangkan dalam Renstra
dengan acuan kerangka pagu indikatif.

RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
kepala daerah dilantik berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 pasal 19 ayat (3). Setelah itu
dilanjutkan dengan penetapan RKPD yang ditetapkan setaip tahunnya berdasarkan acuan
RPJMD, Renstra, Renja dan memperhatikan RKP dengan Peraturan Kepala Daerah
sebagai dasar untuk penyusunan APBD.
Proses perencanaan dari RPJP Daerah, RPJM Daerah, sampai dengan RKP Daerah sesuai
dengan UU No. 25 Tahun 2005 berada di BAPPEDA.

Komponen Pembentuk APBD


Adapun komponen yang membentuk APBD diatas terdiri dari 4 bagian, yaitu ringkasan
pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan.

1. Pendapatan
Bagian ini melihat perubahan dalam berbagai komponen pendapatan. Untuk pemerintah
daerah yang ada di Indonesia, pendapatan utamanya berasal dari tiga sumber : Pendapatan
Asli Daerah (PAD) melalui pajak dan retribusi Transfer dari pusat, dan Pendapatan
lainnya. Mengingat rata-rata sumber pendapatan pemerintah daerah didominasi oleh dana
perimbangan yaitu sekitar 80-90%, maka sumber pendapatan pemda dalam kondisi
dependable (ketergantungan).

2. Belanja
Bagian ini menunjukkan perkembangan total belanja dalam periode 3 (tiga) tahun. Selain
itu, akan ditunjukkan pula perubahan dalam jenis belanja sehingga dapat diketahui jika ada
satu komponen yang berubah relatif terhadap komponen lain.
Untuk pemda di Indonesia, klasifikasi belanja secara ekonomi dibagi ke dalam 10
(sepuluh) jenis , yaitu : Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Belanja
Bunga Belanja Subsidi Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bagi Hasil Kepada
Prov/Kab/Kota dan Pemdes Belanja Bantuan Keuangan Kepada Prov/Kab/Kota dan
Pemdes Belanja Tak Terduga. Pemahaman lebih dalam mengenai hal ini juga bisa
4
Grameds temukan pada buku Permendagri Pedoman Pemberian Hibah & Bantuan Sosial
yang Bersumber dari APBD.

3. Surplus atau Defisit


Pada bagian ini ditunjukkan aktual pendapatan, belanja, dan surplus/defisit dalam periode
3 (tiga) tahun. Pada dasarnya, dari bagian ini dapat terlihat “surplus/defisit” secara
Nasional. Namun, tidak seperti private sector, surplus yang besar tidak diharapkan terjadi
karena hal ini dapat mengindikasikan bahwa pemerintah daerah tidak memberikan
pelayanan publik secara optimal dalam beberapa hal.

4. Pembiayaan
Pos ini menggambarkan transaksi keuangan pemda yang dimaksudkan untuk menutup
selisih antara Pendapatan dan Belanja Daerah, jika Pendapatan lebih kecil maka terjadi
defisit dan akan ditutupi dengan penerimaan pembiayaan, begitu juga sebaliknya

Sumber APBD
1. Retribusi
Dianggap sebagai sumber penerimaan tambahan, tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan efisiensi dengan menyediakan informasi atas permintaan bagi penyedia
layanan publik, dan memastikan apa yang disediakan oleh penyedia layanan publik
minimal sebesar tambahan biaya (Marginal Cost) bagi masyarakat. Ada tiga jenis retribusi,
antara lain:

 Retribusi Perizinan Tertentu (Service Fees) seperti penerbitan surat


izin(pernikahan, bisnis, kendaraan bermotor) dan berbagai macam biaya yang
diterapkan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan.
Pemberlakuan biaya atau tarif kepada masyarakat atas sesuatu yang
diperlukan oleh hukum tidak selalu rasional.
 Retribusi Jasa Umum (Public Prices) adalah penerimaan pemerintah daerah
atas hasil penjualan barang-barang privat, dan jasa. Semua penjualan jasa yang
disediakan di daerah untuk dapat diidentifikasi secara pribadi dari biaya
manfaat publik untuk memberikan tarif atas fasilitas hiburan atau rekreasi.
Biaya tersebut seharusnya diatur pada tingkat kompetisi swasta, tanpa pajak,
dan subsidi, di mana itu merupakan cara yang paling efisien dari pencapaian
tujuan kebijakan publik, dan akan lebih baik lagi jika pajak subsidi dihitung
secara terpisah.
 Retribusi Jasa Usaha (Specific Benefit Charges) secara teori, merupakan cara
untuk memperoleh keuntungan dari pembayar pajak yang kontras, seperti
Pajak Bahan Bakar Minyak atau Pajak bumi dan bangunan.

2. Pendapatan Daerah
Bisa bersumber dari Pajak daerah dibagi jadi 2 yakni pajak provinsi dan pajak
kabupaten/kota. Contohnya

 Pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak


hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan lainnya,

5
 Retribusi daerah, misalnya retribusi pelayanan kesehatan, kebersihan, dan
lain-lain.
 Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, misalnya dividen dan
penyertaan modal daerah pada pihak ketiga, Lain-lain penerimaan daerah yang
sah, seperti jasa giro, pendapatan bunga, komisi, potongan,
 Dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana
alokasi khusus dan Pendapatan lain seperti hibah dan pendapatan dana darurat.
Kemandirian APBD berkaitan erat dengan kemandirian PAD. Hal ini karena semakin
besar sumber pendapatan dari potensi daerah, maka daerah akan semakin leluasa untuk
mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Di mana kepentingan masyarakat tanpa
muatan kepentingan pemerintah pusat yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di
daerah.
Buku Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Apbd juga bisa menjadi referensi
dalam rangka emberikan pemahaman serta pedoman bagi para pengelola keuangan daerah
dalam memberikan, menganggarkan, melaksanakan, dan menatausahakan, melaporkan,
mempertanggung jawabkan serta memonitori dan mengevaluasi pemberian hibah dan
bantuan sosial.

3. Pajak Bumi dan Bangunan


Pajak Properti (PBB) memiliki peranan yang penting dalam hal keuangan pemerintah
daerah, pemerintah daerah di kebanyakan negara berkembang akan mampu mengelola
keuangannya tapi hak milik berhubungan dengan pajak properti. Jika pemerintah daerah
diharapkan untuk memerankan bagian penting dalam keuangan sektor jasa (contoh:
pendidikan, kesehatan), sebagaimana seharusnya mereka akan membutuhkan akses untuk
sumber penerimaan yang lebih elastis.

4. Pajak Cukai
Pajak cukai berpotensi signifikan terhadap sumber penerimaan daerah, terutama alasan
administrasi dan efisiensi. Terutama cukai terhadap pajak kendaraan. Pajak tersebut jelas
dapat dieksploitasi lebih daripada yang biasanya terjadi di sebagian besar negara yaitu dari
perspektif administratif berupa pajak bahan bakar dan pajak otomotif. Pajak bahan bakar
juga terkait penggunaan jalan, dan efek eksternal seperti kecelakaan kendaraan, polusi, dan
kemacetan.
Swastanisasi jalan tol pada prinsipnya dapat melayani fungsi pajak manfaat, didasarkan
pada fitur umur dan ukuran mesin kendaraan (mobil lebih tua, dan lebih besar biasanya
memberikan kontribusi lebih kepada polusi), lokasi kendaraan (mobil di kota-kota
menambah polusi, dan kemacetan), sopir catatan (20 persen dari driver bertanggung jawab
atas 80 persen kecelakaan), dan terutama bobot roda kendaraan (berat kendaraan yang
pesat lebih banyak kerusakan jalan, dan memerlukan jalan yang lebih mahal untuk
membangun).

5. Pajak Penghasilan (Personal Income Taxes)


Diantara beberapa negara di mana pemerintah sub nasional memiliki peran pengeluaran
besar, dan sebagian besar otonom fiskal adalah negara-negara Nordik. Pajak pendapatan
daerah ini pada dasarnya dikenakan pada nilai yang tetap. Pada tingkat daerah didirikan
basis pajak yang sama sebagai pajak pendapatan nasional dan dikumpulkan oleh
pemerintah pusat.

6. Dana Bagi Hasil


6
Menurut PP No 55 Tahun 2005 Pasal 19 Ayat 1, dana bagi hasil (DBH) terdiri atas pajak
dan sumber daya alam. DBH pajak meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bagian
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan. Sedangkan
DBH sumber daya alam meliputi kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas, dan pertambangan panas bumi.

Besaran DBH sebagai berikut: Besaran dana bagi hasil penerimaan negara dari PBB
dengan imbangan 10 persen untuk daerah. Besaran dana bagi hasil penerimaan negara dari
BPHTB dengan imbangan 20 persen untuk pemerintah dan 80 persen untuk daerah.
Besaran dana bagi hasil pajak penghasilan dibagikan kepada daerah sebesar 20 persen.
Dana bagi hasil dari sumber daya alam ditetapkan masing-masing sesuai peraturan
perundang-undangan.

7. Dana Alokasi Umum


Dana alokasi umum (DAU) merupakan dana yang berasal dari APBN, dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Cara menghitung
DAU sesuai ketentuannya sebagai berikut:
DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang
ditetapkan dalam APBN. DAU untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
masing-masing 10 persen dan 90 persen dari dana alokasi umum.
DAU untuk suatu daerah kabupaten atau kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian
jumlah dana alokasi umum untuk daerah kabupaten atau kota yang ditetapkan APBN
dengan porsi daerah kabupaten atau kota. Porsi daerah kabupaten atau kota sebagaimana
dimaksud diatas merupakan proporsi bobot daerah kabupaten atau kota di seluruh
Indonesia. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal suatu daerah,
yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah dan potensi daerah.

8. Dana Alokasi Khusus


Menurut UU No 33 Tahun 2004, dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu. Tujuan DAK untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional. Kegiatan khusus tersebut adalah: Kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan dengan alokasi umum. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas
nasional.

9. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah


Selanjutnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Thn 2000 mengenai suatu
Pengelolaan Keuangan Daerah dikatakan ialah, bahwa pendapatan daerah adalah suatu hak
pemerintah daerah yang diakui ialah sebagai penambah nilai kekayaan yang bersih.
Penerimaan daerah adalah suatu uang yang masuk ke suatu daerah dalam periode thn
anggaran tertentu.
Pada Undang-undang Nomor 25 Thn 1999 Pasal 21 menggemukan, bahwa suatu anggaran
pengeluaran dalam APBD tersebut tidak dapat atau tidak boleh melebihi anggaran
penerimaan.
Didalam penjelasan pasalnya tersebut, adalah daerah tidak dapat atau tidak boleh
menganggarkan pengeluaran tanpa adanya kepastian terlebih dahulu tentang ketersedian
sumber pembiayaannya serta juga mendorong daerah untuk dapat meningkatkan efisiensi
pengeluarannya. Searah dengan hal itu Peraturan Pemerintah Nomor 105 Thn 2000
mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah mengemukakan, ialah bahwa jumlah belanja
7
yang dianggarkan di dalam suatu APBD adalah suatu batas tertinggi untuk pada tiap-tiap
jenis belanja.

Dana Bagi Hasil (DBH)


Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pemasukan APBN yang
dialokasikan kepada daerah sesuai dengan persentase untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2012 mengacu pada ketentuan yang diatur
dalam UU No. 33 Tahun 2004, UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus untuk Provinsi Papua telah menjadi undang-undang, dan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai, serta Peraturan Pemerintah Nomor 55 2005 tentang Dana Perimbangan.

Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH SDA, dengan rincian sebagai berikut:

Dana Bagi Hasil dari Pajak, yang meliputi:

 DBH PPh Pasal 25 WPOPDN dan PPh Pasal 21.

 DBH Pajak Bumi dan Bangunan (DBH PBB).

 DBH Cukai Hasil Tembakau.

Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam, yang meliputi:

 DBH Pertambangan Minyak Bumi.

 DBH Pertambangan Gas Bumi.

 DBH Pertambangan Umum.

 DBH Kehutanan

 DBH Perikanan.

 Pertambangan Panas Bumi DBH.

8
Perhitungan Dana Bagi Hasil disusun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dan UU No. 39/2007 tentang Perubahan UU 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Alokasi Dana Perimbangan


Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) untuk Provinsi adalah sebesar 90% dari Dana Alokasi
Umum Nasional. Sementara itu, Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota adalah
sebanyak 10%. Untuk Dana Alokasi Umum Nasional dialokasikan paling sedikit 26%
dari total netto pendapatan dalam negeri.

Berdasarkan rapat kerja dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)


dan Komisi X DPR RI yang digelar pada tahun 2021, diputuskan bahwa 20% dari dana
APBN akan dialokasikan untuk sektor pendidikan. Dana yang dialokasikan untuk sektor
pendidikan saja sebesar Rp. 81,5 triliun atau 20% dari total anggaran APBN sebesar Rp.
550 triliun. Porsi terbesar dari anggaran Rp 81,5 triliun yang dikelola Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan ada pada dana wajib atau Rp 31,13 triliun. Pembiayaan
wajib ini mencakup beberapa aspek seperti:

 Program Indonesia Pintar rencananya akan dibagikan kepada 17,9 Juta pelajar di
Indonesia

 Kartu Indonesia Pintar dan ADIK ditargetkan untuk 1,1 juta siswa

 Tunjangan untuk guru non-PNS ditargetkan 363.000 guru

 Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan Bantuan Pendanaan


PTN Badan Hukum (BPPTN-BH) Perguruan Tinggi Ditargetkan 75 PTN

 Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Vokasi ditargetkan untuk


43 PTN

Sesuai dengan yang tercantum dalam undang-undang, selain Kementerian Pendidikan


dan Kebudayaan, anggaran pendidikan juga dikelola oleh lembaga lain di bidang
pendidikan. Instansi yang dimaksud adalah Kementerian Agama (Kemenag).

9
Formula Dana Alokasi Umum untuk Daerah Otonom Baru (DOB)

Penghitungan Besaran Dana Alokasi Khusus untuk DOB adalah dengan membagi secara
proporsional Dana Alokasi Umum yang diterima dari Daerah Induk (sebelum pemekaran
dilakukan) dengan DOB yang merupakan pemekaran daerah.

Rumus Dana Alokasi Umum untuk proporsi daerah dihitung berdasarkan 3 data utama,
antara lain:

 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah

 Luas dan Jumlah Penduduk

Dana Alokasi Umum untuk setiap daerah otonom baru akan dialokasikan sebelum UU
disahkan. Penghitungan Dana Alokasi Umum ke daerah otonom baru dilakukan setelah
data kesenjangan fiskal dan alokasi dasar daerah baru tersedia.

Dana Alokasi Khusus

Untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi untuk
proses pengalokasian dana yang satu ini. Sebelum mengalokasikan Dana Alokasi
Khusus, pemerintah pusat terlebih dahulu akan melihat kemampuan keuangan suatu
daerah tersebut. Lalu, ada kriteria khusus yang juga harus dipenuhi, kriteria ini mengacu
pada peraturan penyelenggaraan otonomi khusus dari peraturan perundang-undangan.

Cara mengetahui neto pendapatan dalam negeri adalah dengan menghitung selisih antara
pendapatan dalam negeri dengan bagi hasil dari pemerintahan pusat ke daerah yang
sudah diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah 55 Tahun
2005.

Ada satu kriteria lagi yang harus dipenuhi dalam Dana Alokasi Khusus yang disebut
kriteria teknis, kriteria ini dibuat dengan mengacu pada indikator kondisi sarana serta
prasarana daerah tersebut. Selain itu, ada juga pengamatan teknis tentang pencapaian
yang sudah didapat dari penggunaan Dana Alokasi Khusus di daerah tersebut
sebelumnya.

10
Ada 19 sektor yang dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus, sector itu adalah:

 Pendidikan

 Kesehatan

 Pertanian

 Lingkungan hidup

 Kehutanan

 Keluarga berencana

 Kelautan dan perikanan

 Perdagangan

 Perumahan dan permukiman

 Sarana dan prasarana kawasan perbatasan

 Prasarana pemerintah

 Infrastruktur Jalan

 Infrastruktur irigasi

 Infrastruktur air minum

 Infrastruktur sanitasi

 Sarana dan prasarana daerah tertinggal

 Listrik pedesaan

 Transportasi perdesaan

 Keselamatan transportasi darat

Oleh sebab itulah, Pemerintah menerapkan tiga kebijakan untuk Dana Alokasi Khusus
pada 2021, kebijakan itu adalah:

1. Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan

11
Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan akan dilaksanakan secara menyeluruh
sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh sekolah secara keseluruhan. Berikut
daftar sarana dan prasarana pendidikan yang didanai melalui Dana Alokasi Khusus.

 Pembangunan ruang kelas

 Ruang guru

 Toilet

 UKS

 Ruang sholat

 Ruang belajar yang inklusif

 Laboratorium

 RPS atau ruang latihan

 Ruang seni

 Pengadaan peralatan laboratorium dan peralatan praktik utama

 Pengadaan media pembelajaran dan perangkat TIK

2. Implementasi yang bersifat kontraktual

Pengadaan kontraktual mempunyai tujuan agar sekolah dapat fokus pada proses
pembelajaran. Pengadaannya sendiri dilakukan dalam tiga tahap. itu adalah:

 Tahap penerapan:
– Dilaksanakan oleh dinas pendidikan dan penyelenggara
– Manajemen di dinas pendidikan
– Peralatan yang disediakan oleh penyedia

 Adanya jaminan ketepatan waktu

 Hasil di mana kualitas bangunan akan sebanding dalam suatu wilayah

3. Melibatkan layanan PUPR

Dinas PUPR akan melakukan penilaian kerusakan bangunan untuk meningkatkan


validitas data prasarana sekolah. Keterlibatan Dinas PUPR bertujuan untuk
meningkatkan keabsahan dana sarana prasarana sekolah meliputi:
12
 Penilaian kerusakan yang dilakukan oleh Dinas PUPR dengan instrumen dan
tenaga profesional

 Validitas data bangunan disesuaikan dengan kondisi sebenarnya

 Penghematan biaya. Tingkat efisiensi meningkat karena keterlibatan Dinas PUPR


dalam penilaian

Dana Bagi Hasil (DBH)

Untuk Dana Bagi Hasil (DBH), akan ada 3 jenis berbeda yang dibagi dalam alokasinya.
Dana Bagi Hasil dari PBB akan dibagi 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk
pemerintah daerah. Bagian 10% milik pemerintah pusat ini nantinya akan dialokasikan
kembali ke Kabupaten/Kota. Pembagiannya adalah Kabupaten/Kota akan menerima
6,5% yang dibagi secara merata. Lalu 3,5% lagi akan dibagi dalam bentuk insentif
kepada Kabupaten/Kota yang sebelumnya telah mencapai atau bahkan melampaui
rencana penerimaan anggaran.

Persentase 90% yang diterima daerah juga masih akan dibagi lagi nantinya. 16,2% dari
dana tersebut akan diberikan kepada Provinsi, lalu 64,8% untuk Kabupaten/Kota dari
daerah tersebut, serta 9% sisanya akan diambil sebagai biaya pemungutan.

Alokasi berikutnya adalah Dana Bagi Hasil dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). Untuk pembagiannya, 80% dari dana ini akan diterima oleh daerah
dan 20% sisanya akan diterima pusat. Dari 80% dana yang diterima daerah, akan dibagi
lagi sebanyak 16% untuk Provinsi dan 64% sisanya untuk Kabupaten/Kota daerah
tersebut.

Terakhir, ada Dana Bagi Hasil dari Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri (disingkat PPh WPOPDN). Pendapatan yang berasal dari Pajak Penghasilan ini
akan dibagi untuk pusat sebanyak 80% dan 20% sisanya untuk daerah. Sebanyak 8%
dari 20% dana tersebut akan diberikan untuk Provinsi, sementara 12% sisanya diberikan
pada Kabupaten/Kota.

13
Dari total 12% yang diterima Kabupaten/Kota, akan dibagi kembali sebanyak 8,4%
untuk diberikan bagi Kabupaten/Kota yang memiliki wajib pajak yang terdaftar secara
bersangkutan. Sementara 3,6% sisanya akan dibagikan secara merata untuk seluruh
Kabupaten/Kota yang ada di dalam Provinsi tersebut.

Tujuan Dana Perimbangan

Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara keuangan


Pemerintah Pusat dan Daerah, serta mendukung kewenangan pemerintah daerah dalam
mencapai tujuan otonomi kepala daerah, meningkatkan pelayanan, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Melihat hal tersebut, pajak rakyat Indonesia sangat
mempengaruhi besaran dana yang dialokasikan kepada Pemerintah dan Daerah,
termasuk kabupaten atau kota di dalam daerah yang bersangkutan.

Tujuan Dana Alokasi Khusus (DAK) 

Menurut Departemen Keuangan RI (2007), tujuan kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK)
adalah sebagai berikut: 

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di


bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan
prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah. 
2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan
pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
tertinggal/terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah
ketahanan pangan dan daerah pariwisata. 
3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan
diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang
pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur. 
4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana
dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. 
5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan lingkungan
hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan khusus dalam bidang
lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan pelayanan sarana
dan prasarana dasar dalam satu kesatuan sistem yang terpadu melalui kegiatan
khusus di bidang infrastruktur.
6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran
pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus dalam bidang
prasarana pemerintahan. 

14
7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK
dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan kegiatan
yang didanai dari APBD. 
8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke
DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan Umum,
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan. 

Ketentuan Dana Alokasi Khusus (DAK) 

Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang dialokasikan dari APBN ke daerah tertentu
untuk mendanai kebutuhan khusus pada daerah tersebut, seperti pembangunan jalan di
daerah terpencil dan kebutuhan beberapa jenis prasarana lainnya. Hanya daerah tertentu
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK.
Dengan demikian, tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK.

Menurut Kuncoro (2004), persyaratan suatu daerah mendapatkan Dana Alokasi Khusus
(DAK) adalah sebagai berikut: 

1. Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh


pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU,
Pinjaman Daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. 
2. Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari kegiatan
yang diajukan (kecuali untuk DAK dari Dana Reboisasi). 
3. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan yang ditetapkan oleh
Menteri Teknis/Instansi terkait.

Dana Alokasi Khusus (DAK) diperuntukkan bagi daerah yang kemampuan keuangan
daerahnya rendah dan standar pelayanan minimal belum mencapai mencapai kriteria
tertentu, maka indeks kemampuan keuangan daerah dan indeks standar pelayanan minimal
perlu diinvest. Daerah dapat memperoleh alokasi DAK untuk bidang yang sama untuk
jangka waktu paling lama tiga tahun apabila waktu yang diperlukan mencapai standar
pelayanan minimal tersebut memerlukan waktu tiga tahun atau lebih.

Tujuan Dana Alokasi Umum (DAU) 

Menurut Halim (2016), Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan daerah. DAU akan memberikan kepastian bagi
daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab masing-
masing daerah dengan proporsi sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri
netto yang telah ditetapkan dalam APBN.

Adapun menurut Indraningrum (2011), beberapa tujuan pemerintah pusat memberikan


Dana Alokasi Umum (DAU) dalam block grant kepada pemerintah daerah antara lain
adalah sebagai berikut: 

1. Untuk mendorong terciptanya keadilan antar wilayah (geographical equity).


2. Untuk meningkatkan akuntabilitas (promote accountability).
3. Untuk meningkatkan sistem pajak yang lebih progresif. Pajak daerah cenderung
kurang progresif, membebani tarif pajak yang tinggi kepada masyarakat yang
berpenghasilan rendah.
15
4. Untuk meningkatkan keberterimaan (acceptability) pajak daerah. Pemerintah pusat
menyubsidi beberapa pengeluaran pemerintah daerah untuk mengurangi jumlah
pajak daerah.

Prinsip-Prinsip Dana Alokasi Umum (DAU) 

Menurut Siregar (2016), terdapat beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam
pembentukan dan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu sebagai berikut: 

a. Kecukupan 

Sebagai suatu bentuk penerimaan, sistem DAU harus memberikan sejumlah dana yang
cukup kepada daerah. Hal ini berarti, perkataan cukup harus diartikan dalam kaitannya
dengan beban fungsi. Sebagaimana diketahui, beban finansial dalam menjalankan fungsi
tidaklah statis, melainkan cenderung meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh
karena itulah maka penerimaan pun seharusnya naik sehingga pemerintah daerah mampu
membiayai beban anggarannya. Bila alokasi DAU mampu merespon terhadap kenaikan
beban anggaran yang relevan, maka sistem DAU dikatakan memenuhi prinsip kecukupan.

b. Netralitas dan Efisiensi 

Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral artinya suatu sistem alokasi
harus diupayakan sedemikian rupa sehingga efeknya justru memperbaiki (bukannya
menimbulkan) distorsi dalam harga relatif dalam perekonomian daerah. Efisien artinya
sistem alokasi DAU tidak boleh menciptakan distorsi dalam struktur harga input, untuk itu
sistem alokasi harus memanfaatkan berbagai jenis instrumen finansial alternatif relevan
yang tersedia.

c. Akuntabilitas 

Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum, maka penggunaan terhadap dana
fiskal ini sebaiknya dilepaskan ke daerah, karena peran daerah akan sangat dominan dalam
penentuan arah alokasi, maka peran lembaga DPRD, pers dan masyarakat di daerah
bersangkutan amatlah penting dalam proses penentuan prioritas anggaran yang perlu
dibiayai DAU. Format yang seperti ini, format akuntabilitas yang relevan adalah
akuntabilitas kepada elektoral (accountability to electorates) dan bukan akuntabilitas
finansial kepada pusat (financial accountability to the centre).

d. Relevansi 

Tujuan sistem alokasi DAU sejauh mungkin harus mengacu pada tujuan pemberian
alokasi sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang. Alokasi DAU ditujukan untuk
membiayai sebagian dari beban fungsi yang dijalankan, hal-hal yang merupakan prioritas
dan target-target nasional yang harus dicapai. Perlu diingat bahwa kedua Undang-Undang
telah mencantumkan secara eksplisit beberapa hal yang menjadi tujuan yang ingin dicapai
lewat program desentralisasi.

e. Keadilan 

Prinsip dasar keadilan alokasi DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi.
16
f. Objektivitas dan Transparansi 

Sebuah sistem alokasi DAU yang baik harus didasarkan pada upaya untuk
meminimumkan kemungkinan manipulasi, maka sistem alokasi DAU harus dibuat sejelas
mungkin dan formulanya pun dibuat setransparan mungkin. Prinsip transparansi akan
dapat dipenuhi bila formula tersebut bisa dipahami oleh khalayak umum. Oleh karena itu
maka indikator yang digunakan sedapat mungkin adalah indikator yang sifatnya obyektif
sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambivalen.

g. Kesederhanaan 

Rumusan alokasi DAU harus sederhana (tidak kompleks). Rumusan tidak boleh terlampau
kompleks sehingga sulit dimengerti orang, namun tidak boleh pula terlalu sederhana
sehingga menimbulkan perdebatan dan kemungkinan ketidak-adilan. Rumusan sebaiknya
tidak memanfaatkan sejumlah besar variabel dimana jumlah variabel yang dipakai menjadi
relatif terlalu besar ketimbang jumlah dana yang ingin dialokasikan.

Tahapan Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) 

Menurut Yovita (2011), tahapan yang biasa digunakan dalam melakukan perhitungan
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sebagai berikut:

1. Tahapan Akademis 

Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU (Dana Alokasi
Umum) dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk
memperoleh kebijakan perhitungan DAU (Dana Alokasi Umum) yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang dan karakteristik Otonomi Daerah di Indonesia.

2. Tahapan Administratif 

Pada tahapan ini Depkeu DJPK melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk
penyiapan data dasar perhitungan DAU (Dana Alokasi Umum) termasuk di dalamnya
kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran
data yang akan digunakan.

3. Tahapan Teknis 

Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU (Dana Alokasi Umum) yang
akan dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan DAU (Dana
Alokasi Umum) sebagaimana diamanatkan UU dengan menggunakan data yang tersedia
serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.

4. Tahapan Politis 

Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU (Dana Alokasi
Umum) antara Pemerintah dengan Pajak Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk
konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil perhitungan DAU (Dana Alokasi Umum).

17
Rumus Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) 

Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Keuangan Daerah, rumus yang digunakan untuk menghitung besaran Dana Alokasi Umum
(DAU) adalah:

DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar

Dimana: 

 Celah Fiskal = Bobot CF x DAU Seluruh Kab/Kota 


 DAU Seluruh Kab/Kota = 90% x (26% x Pendapatan dalan Negeri Netto)
 Bobot CF = CF Daerah ÷ Total CF Seluruh Kab/Kota 
 CF Daerah = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal 
 Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Daerah Rata-rata x [(Bobot x Indeks Jumlah
Penduduk) + (Bobot x Indeks Luas Wilayah) + (Bobot x Kemahalan Konstruksi) +
(Bobot x Indeks Pembangunan Manusia) + ( Bobot x Indeks PDRB per kapita)] 
 Kapasitas Fiskal = Pendapatan Asli Daerah + Dana Bagi Hasil 
 Dana Bagi Hasil = Pajak Bumi & Bangunan + Bea Perolehan Hak atas Tanah &
Bangunan + Pajak Penghasilan Orang Pribadi & Pasal 21 + Sumber Daya Alam

Besarnya Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji pegawai negeri sipil daerah
tahun sebelumnya yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai
dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku, yaitu: 

 Jika Celah Fiskal > 0, maka DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal 
 Jika Celah Fiskal = 0, maka DAU = Alokasi Dasar 
 Jika Celah Fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya negatif lebih kecil dari alokasi
dasar, maka DAU = Alokasi Dasar 
 Jika Celah Fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya sama atau lebih besar dari alokasi
dasar, maka DAU = 0

Menurut Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, skema
perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) yang menunjukkan komponen-komponen yang
menjadi penyusun Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sebagai berikut:

18
Ketentuan Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) 

Menurut Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Keuangan Daerah, ketentuan perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sebagai
berikut: 

1. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam


persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. 
2. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan
imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. 
3. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan
perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
daerah provinsi. 
4. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota dihitung
berdasarkan perkalian bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan
jumlah DAU seluruh daerah kabupaten/kota. 
5. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar
alokasi dasar. 
6. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil
dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai
celah fiskal. 
7. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau
lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima\

19
4. BOT

Simbiosis mutualisme (interaksi antara dua organisme yang hidup berdampingan dan
bertujuansaling menguntungkan) tidak hanya berlaku di dunia hewan dan tanaman, tetapi
juga berlaku di dunia bisnis yang tidak mungkin dapat berjalan sendiri dalam menjalani
usahanya. Salah satu bentuk atau pola kerjasama saling menguntungkan adalah perjanjian
Build Operate Transfer (BOT). Apakah BOT itu sesungguhnya ?  Clifford W. Garstang
berpendapat BOT adalah berbagai jenis pembiayaan proyek yang dikenal sebagai
pembiayaan yang disediakan kontraktor. Dalam kontrak standar pembiayaan yang
diberikan, entitas proyek dapat meminta proposal untuk pembangunan proyek dimana
kontraktor tidak hanya akan menyediakan bahan dan layanan yang diperlukan untuk
menyelesaikan proyek tetapi juga akan menyediakan atau setidaknya mengatur
pembiayaan yang diperlukan. Kontraktor juga perlu mengoperasikan proyek dan
menggunakan arus kasnya untuk membayar utang yang telah dikeluarkannya. Berdasarkan
definisi di atas, BOT dapat dijelaskan sebagai salah satu pilihan pembiayaan proyek
pembangunan dengan mana investor harus menyediakan sendiri modal atau pendanaan
untuk proyek, termasuk menanggung pengadaan material, peralatan dan jasa lainnya yang
dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Untuk itu, investor memiliki hak untuk
mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonomi pembangunan proyek tersebut
(manajemen dan operasional) sebagai penggantian dari seluruh biaya yang telah
dikeluarkan dengan jangka waktu tertentu (umumnya 25 tahun atau lebih). Dengan ini
investor dapat mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dan mendapatkan keuntungan
dengan konsep BOT ini. Setelah lewat waktu, maka seluruh bangunan dan
kepemilikannya, sesuai dengan perjanjian BOT akan beralih menjadi milik yang
menyediakan tanah.

Dengan kerangka dasar kerjasama BOT tersebut di atas, maka tergambarlah bahwa dasar
dari BOT adalah adanya ketergantungan di antara pelaku. Hampir dapat dikatakan tidak
semua pelaku usaha, dalam praktiknya, memiliki dana dan sekaligus memiliki hak atas
tanah sebagai bagian modal kekayaan untuk menjalankan usaha. Kondisi demikian
memaksa untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain berdasarkan prinsip saling
menguntungkan, yaitu BOT. Dengan ikatan kerjasama demikian tidak ada pihak yang
akan dirugikan atas kesepakatan perjanjian BOT dan dapat dikatakan saling menutupi
kelemahan dan kekurangan yang ada di masing-masing pihak. Pihak yang kelebihan dana
dapat digunakan untuk tujuan produktif dan berhasil guna dan sementara pihak yang
memiliki tanah dengan lokasi premium dapat menjadikan asset tersebut lebih berdaya dan
bermaksimal penggunaannya dibandingkan dengan dibiarkan terlantar tanpa ada manfaat
ekonomi kepada pemiliknya. Konsep BOT tidak ada salah untuk dilakukan sepanjang
kerjasama yang dibuat diikat dengan perjanjian dengan jelas (dalam mengatur hak dan
kewajiban para pihak) sebagai mitra usaha yang sepadan kedudukannya, dan dilandasi
semangat untuk menjalankannya dengan pacta sunt servanda.
Perjanjian BOT umumnya dilakukan untuk membangun proyek seperti perkantoran,
apartemen, pusat-pusat perbelanjaan, real estate, rumah toko, hotel atau bangunan lainnya.
Namun dalam praktik, perjanjian BOT digunakan juga pemerintah dalam rangka
kerjasamanya dengan pihak swasta (nasional maupun asing). Oleh sebab itu, perjanjian
BOT tidak saja dimanfatkan kepentingan personal perusahaan swasta saja, tetapi dapat
juga dipergunakan membangun infrastruktur seperti : sarana dan peningkatan keperluan
umum, transportasi, telekomunikasi, listrik dan lain-lain. Dengan dilibatkannya pihak
swasta dalam proyek-proyek pemerintah dasar utamanya adalah pemenuhan kebutuhan
20
untuk pemenuhan rencana pembangunan nasional, namun dana yang milik pemerintah
terbatas, maka jalan keluarnya adalah melibatkan pihak swasta dengan perjanjian BOT.
Dibukanya kerjasama dengan swasta, karena pembangunan nasional dengan segala
akibatnya tidak dapat lagi dilakukan dengan pembiayaan dari pemerintah sendiri.
BOT di dalam kerangka proyek infrastruktur tidak lain adalah sebuah perjanjian dimana
pemilik proyek (dalam hal ini pemerintah) memberikan haknya kepada operator atau
pelaksana (pihak swasta) untuk membangunan sarana dan prasarana umum dan
mengoperasikannya dalam jangka waktu tertentu, serta mengambil keuntungan dalam
pengoperasiannya. Kemudian pada masa akhir kontrak swasta harus mengembalikannya
proyek yang dikelolanya kepada pemerintah, sesuai dengan perjanjian BOT. Artinya,
dalam konsep BOT tidak ada pihak yang akan dirugikan, tetapi akan terbuka
menguntungkan pemerintah karena: pertama, BOT tidak membenani neraca pembayaran
pemerintah. Kedua, dengan BOT akan mengurangi jumlah pinjaman pemerintah. Ketiga,
BOT akan menjadi bagian tambahan sumber pembiayaan proyek-proyek yang
diprioritaskan. Keempat, terbukanya tambahan fasilitas baru dengan proyek tersebut.
Kelima, mengalihan risiko terhadap konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada
sektor swasta. Keenam, mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan swasta atau
masuknya tekhnologi asing.  Ketujuh, mendorong alih teknologi dari negara maju kepada
negara-negara berkembang dengan BOT. Terakhir, ke delapan diperolehnya fasilitas
lengkap dan operasional setelah jangka waktu akhir konsensi BOT terpenuhi.

Dengan berpegang kepada ke delapan poin penting di atas maka BOT adalah bagian dari
strategi pembiayaan pembangunan yang dapat dijadikan rujukan pelaku usaha (termasuk
pemerintah sebagai pelaku usaha). Bagi investor swasta semakin terbuka peluang bidang
usaha hanya ditangani pemerintah dengan BUMN atau BUMD, maka dengan BOT akan
ada kesempatan ekspansi usaha yang berprospek menguntungkan dan memanfaatkan lahan
usaha strategis yang dkuasai pemerintah selama ini. Untuk itulah, maka investor swasta
dituntut inovasi kreatif dalam pembiayaan proyek yang berbeda dengan proyek biasa,
meningkatkan profesionalisme, dan juga meningkatkan daya saing perbankan di dalam
negeri. Namun demikian, tidak berarti bahwa pemerintah melepaskan dan menyerahkan
seluruh proyek infrastruktur kepada swasta. Dengan BOT yang dimaksud pemerintah
hanya melepaskan salah satu sumber pendapatannya. Pemerintah tetap berperan penting
dalam perjanjian BOT, misalnya pembebasan tanah, pemindahan lokasi warga yang akan
terkena proyek BOT dan lain sebagainnya. Untuk itu, maka investor swasta membutuhkan
perhitungan yang cermat dan teliti, karena pada umumnya proyek BOT berisiko tinggi.
Perlu juga diperhatikan kesulitan pendanaan sebab perbankan menggangap BOT tidak
bankable untuk dibiayai dalam hal pemerintah tidak berkehendak menanggung resiko
selama dan pada waktu proyek dan selama masa konsensi BOT. Dibutuhkanlah
pendekatan kombinasi aspek ekonomi dan hukum  untuk menjembatani kemungkinan
negatif dan gagal proyek BOT dengan mengendepankan prinsip saling menguntungkan
yang dituangkan di dalam klausula-klasusla BOT, sebagai pelindungnya, yang akan
ditandatangani bersama pemerintah dan investor swasta.

5. Concession

Concession/koneksi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah,


perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Konsesi antara lain diterapkan pada
pembukaan tambang dan penebangan hutan. Model konsesi umum diterapkan pada
kemitraan pemerintah swasta atau kontrak bagi hasil.

21
Skema pembiayaan dengan LCS diharapkan dapat terus berkembang untuk menjadi
sumber alternatif pendanaan baru untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Dengan
model LCS, dapat diskemakan bahwa Pemerintah dapat melakukan ‘daur ulang’ terhadap
aset infrastruktur operasional yang ada untuk mengkapitalisasi pengembangan baru atau
peningkatan aset lain menggunakan pendanaan baru dari sektor swasta. Sebagai
imbalannya, sektor swasta akan diberikan konsensi untuk mengoperasikan Aset LCS dalam
jangka waktu tertentu untuk menjamin pengembalian investasinya.
Dalam hal Perjanjian Pengelolaan Aset mengatur penyerahan Pengelolaan Aset
yang diadakan oleh Badan Usaha Pengelola Aset selama jangka waktu perjanjian yang telah
ditentukan, paling sedikit memuat:
a. Kondisi aset yang akan dialihkan;
b. Tata cara pengalihan aset;
c. Status aset yang bebas dari segala jaminan kebendaan atau pembebanan dalam bentuk
apapun pada saat aset diserahkan kepada Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara.
d. Status aset yang bebas dari tuntutan pihak ketiga; dan
e. Pembebasan Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara dari segala tuntutan yang
timbul setelah penyerahan aset.
Pihak swasta yang diberikan konsensi wajib menyetorkan pendanaan pengelolaan aset
dalam kurun waktu 6 (enam) bulan setelah penandatanganan perjanjian LCS. Sebelum
pengalihan aset dapat dipastikan kembali bahwa status aset yang bebas dari segala jaminan
Kebendaan, tuntutan pihak ketiga, atau pembebanan dalam bentuk apapun.
Selanjutnya pihak swasta bertanggung jawab penuh atas tanggung jawab pengoperasian
dan pemeliharaan, termasuk membayar pajak dan kewajiban lain yang timbul akibat
pemanfaatan aset. Pihak swasta dilarang untuk mengagunkan aset sebagai jaminan kepada
pihak ketiga dan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional dengan tetap
menjaga serta mengawasi pelayanan dan kinerja aset.
Beberapa contoh concessions adalah: kontrak jasa, kontrak manajemen, kontrak sewa,
BOT (Build, Operate, and Transfer), BOO (Build, Operate, and Own), dan divestiture
(sektor swasta mengambil alih seluruh kontrol perusahaan dengan membeli seluruh aset
pemerintah).
Tujuan utama dari kerjasama ini adalah untuk memadukan keunggulan yang dimiliki
sektor swasta, misalnya modal, teknologi dan kemampuan manajemen, dengan keunggulan
yang dimiliki oleh sektor pemerintah, misalnya sumber-sumber, kewenangan dan
kepercayaan masyarakat.
Tujuan utama dari kerjasama ini adalah untuk memadukan keunggulan yang dimiliki
sektor swasta, misalnya modal, teknologi dan kemampuan manajemen, dengan keunggulan
yang dimiliki oleh sektor pemerintah, misalnya sumber-sumber, kewenangan dan
kepercayaan masyarakat.
Developer diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana yang sejenis di daerah
lain yang kurang diinginkan, dalam rangka mendapatkan persetujuan pembangunan di
daerah yang mereka inginkan.

Metode semacam ini di Indonesia sudah mulai dikenal, khususnya berkaitan dengan
pembangunan perumahan, dimana para developer diwajibkan untuk pembangunan
perumahan sederhana sebagai kompensasi diberikannya izin untuk membangun perumahan
22
mewah.

A. Penjelasan Tipologi Barang Dan Jasa Berdasarkan Tabel Dibawah!

No. Jenis Barang dan Penerima Pembayar Pembiayaan


Jasa Manfaat

1. Private Goods and Privat Privat Uang Privat


Service
2. Public Goods and Publik Pembayar Pajak
Services Pajak
3. Joint Toll Goods Service User Service User User Fee/User
and Charge
Services
4. Common Pool Goods Pengguna Lingkungan Degradasi
and Services Lingkungan

 Private Goods and Services


Barang privat secara tipikal adalah barang yang diperoleh melalui mekanisme pasar,
dimana titik temu antara produsen dan konsumen adalah mekanisme harga. Oleh karena itu,
kepemilikan barang privat biasanya dapat teridentifikasi dengan baik.
Barang yang digunakan untuk memenuhi kepentingan individu dan bersifat privat.
Barang atau jasa yang tersedia (atas permintaan dan disuplai) melalui mekanisme pasar
baik dengan bentuk hak kepemilikan, sistem kontrak, pasar bebas, atau semua bentuk pasar
lainnya yang dibutuhkan. Contoh: makanan, minuman, dan pakaian.
Sebagian besar barang yang kita konsumsi adalah barang privat, yaitu barang yang
hanya dapat digunakan oleh satu konsumen pada satu waktu. Misalnya, ketika seseorang
sedang memakan kue miliknya, orang lain tidak dapat melakukan hal serupa.
Sifat - sifat barang privat tersebut adalah :
 Rivalrous consumption, dimana konsumsi oleh satu konsumen akan
mengurangi atau menghilangkan kesempatan pihak lain untuk melakukan hal
serupa. Terjadi rivalitas antar calon konsumen dalam mengkonsumsi barang
ini. Oleh karena itu biasanya hanya konsumen yang membayar secara privat
atau pribadi yang dapat menikmati manfaat yang diberikan oleh suatu produk
atau jasa yang kita gunakan secara terbatas dan hanya kita yang memakainya
karena dibatasi, atau eksklusif.
 Excludable consumption, dimana konsumsi suatu barang dapat dibatasi hanya
pada mereka yang memenuhi persyaratan tertentu (biasanya harga), dan
mereka yang tidak membayar atau tidak memenuhi syarat dapat dikecualikan
dari akses untuk mendapatkan barang tersebut (excludable). Contohnya,
pakaian di toko hanya dapat dinikmati oleh mereka yang membeli atau
membayar, sementara mereka yang tidak membayar tidak dapat menikmati
pakaian tersebut.
 Scarcity/depletability/finite, yaitu kelangkaan atau keterbatasan dalam jumlah.
23
Kelangkaan dan ketersediaan dalam jumlah yang diskrit atau terbatas inilah
yang menimbulkan kedua sifat sebelumnya.
Barang privat biasanya memang diadakan untuk mencari profit atau laba.
Karena sifat-sifatnya tadi, barang privat dapat menjaga efisiensi pasar dalam
pengadaannya. Efisiensi inilah yang menarik minat sektor swasta dan
menimbulkan pemahaman bahwa barang privat adalah barang yang
diproduksi oleh sektor swasta. Meskipun begitu, pemerintah pun sebenarnya
dapat berlaku sebagai sektor swasta dan menjadi bagian dari pasar dalam
penyediaan barang privat untuk tujuan-tujuan tertentu.

 Public Goods and Services


Secara umum barang publik biasa dipahami sebagai sesuatu yang dapat dinikmati
atau dibutuhkan oleh semua orang. Suatu barang publik merupakan barang-barang yang
tidak dapat dibatasi siapa penggunanya dan sebisa mungkin bahkan seseorang tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Contoh barang publik ini diantaranya udara,
cahaya matahari, papan marka jalan, lampu lalu lintas, pertahanan nasional, pemerintahan
dan sebagainya. Akan sulit untuk menentukan siapa saja yang boleh menggunakan papan
marka jalan misalnya, karena keberadaannya memang untuk konsumsi semua orang.
Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu
tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya,
barang publik sempurna (pure public goods) didefinisikan sebagai barang yang harus
disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.
Satu terminologi lain yang agak mirip adalah barang kolektif. Bedanya, barang publik
adalah untuk masyarakat secara umum (keseluruhan), sementara barang kolektif dimiliki
oleh satu bagian dari masyarakat (satu komunitas yang lebih kecil) dan hanya berhak
digunakan secara umum oleh komunitas tersebut.
Dalam hal ini biasanya para penerima manfaat ini mencakup semua orang dan
biasanya tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang dapat merugikan konsumen yang menikmati,
namun perlu diperhatikan untuk menikmati barang publik, tentunya kita harus membayar
yaitu melalui kewajiban kita untuk membayar pajak, apakah itu pajak rumah, pajak
penggunaan air, pajak penghasilan dan lain - lain perlu kita membayar pajak, karena
biasanya kebanyakan penyediaan barang publik berasal dari pemerintah, pemerintah juga
perlu sumber pembiayaan untuk pengadaan barang publik agar tetap stabil dan tersedia bagi
publik yang menerima manfaat tersebut, seperti itulah tipologi penggunaan barang publik.

 Joint Toll Goods and Service


Ini adalah jenis barang dan jasa yang sifatnya publik-privat: exclusive ownership tapi
non-rivalrious consumption. Jenis barang dan jasa ini dibiayai oleh biaya pengguna atau
retribusi (user fees/charges). Barang/jasa yang dikonsumsi bersama- sama, dan bila
menggunakan barang tersebut harus membayar.
Layaknya private goods, toll gods dapat disuplai melalui mekanisme pasar, dan
dapat dimiliki atau dibeli baik secara pribadi tapi penggunaannya secara bersama- sama.
Contoh: fasilitas rekreasi, perpustakaan, TV cable, jaringan telepon, listrik contoh
lainnya pengguna jalan tol, jalan tol merupakan barang publik - privat, mengapa demikian?
Karena ada biaya yang harus disediakan untuk bisa menikmati atau melewati jalan tol,
24
dijalan tol ada portal di pintu masuk dan pintu keluar hal tersebut yang menjadikannya
barang publik - privat sehingga semua lapisan konsumen dapat menikmati jasa dan layanan
jalan tol tetapi harus membayar biaya yang menjadi syarat untuk menggunakan barang
publik tersebut.
Biasanya yang menerima manfaat tersebut adalah pengguna jasa layanan tersebut,
untuk sumber pembiayaannya tentu saja berasal dari biaya yang dibayar oleh si pengguna
jasa dan layanan tersebut.

 Common Pool Goods and Services


Barang/jasa yang memunyai karateristik penggunanya tidak mau (perlu) membayar,
digunakan secara bersama, dan kepemilikan dimiliki secara umum dan pemanfaatannya
secara individu, serta tidak ada pihak yang mau menyediakan barang tersebut.
Barang/jasa yang dapat diperoleh tanpa harus membayar dan/atau tanpa ada
halangan yang berarti.
Common-pool goods tidak diproduksi oleh para supplier (pemasok) melainkan
tersedia dengan sendirinya secara alamiah, sehingga mekanisme pasar tidak
efektif jika digunakan untuk mensuplai barang-barang tersebut karena
pemanfaatannya sangat bersifat individual dan mudah untuk mendapatkannya.
Contoh: ikan dan air di laut, udara, air permukaan dan bawah tanah, sinar matahari.
Demikian penjelasan yang dapat disampaikan melalui tulisan ini, penulis
memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu mohon kritik dan saran membangun
agar saya sebagai penulis dapat melaksanakannya dengan lebih baik lagi, demikian
yang dapat saya sampaikan lebih dan kurangnya saya mohon maaf, saya ucapkan
terimakasih.

25

Anda mungkin juga menyukai