Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN BUKU FIKSI

Disusun oleh :

Nama : Ainindhita Amalia Khoirunnisa

Kelas : XII MIPA 6

SMA NEGERI 2 KUNINGAN


Jalan Arujikartawinata No. 16 Kuningan 45511 Telp. (0232) 871063
NOVEL CLARA’S MEDAL
Karya Feby Indirani

(Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester ganjil mata pelajaran Bahasa
Indonesia tahun pelajaran 2015/2016 )
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan Laporan Buku Fiksi dari Sebuah Novel yang Berjudul “CLARA’S
MEDAL”.

Dalam penyelesaian laporan ini, penyusun mengucapkan banyak terima


kasih kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa , yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya,
2. Bapak Gumgum Gumilang S. Pd , selaku guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia,
3. Orang tua penyusun, yang telah memberikan dukungan baik secara
moril maupun materil,
4. Seluruh pihak yang telah membantu.

Dalam penyusunan tugas ini, penyusun menyadari masih terdapat banyak


kekurangan. Maka dari itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangu guna menyempurnakan tugas ini. Penyusun berharap semoga tugas
akhir semester ganjil ini dapat memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia
serta dapat memberikan manfaat bagi penyusun maupun bagi pembaca.

Kuningan, 21 November 2015

Penyusun
A. IDENTITAS NOVEL
1. Judul Novel : CLARA’S MEDAL
2. Nama Pengarang : Feby Indirani
3. Penyunting : Miranda Harlan, Melvi Yendra
4. Tahun Terbit : 2011
5. Cetakan : Cetakan ke-1 (September 2011)
6. Nama Penerbit : Qanita
7. Tempat Terbit : Jakarta
8. Tebal Buku : viii + 474 Halaman
9. Ukuran Buku : 13 cm x 20 cm
10. Harga : Rp. 20.000,-
11. No ISBN : 978-602-9225-04-4
12. Cover :
a. Bagian Depan
Didominasi oleh warna cream, terdapat foto lima orang peserta
pelatihan FUSI serta terdapat komentar dari Prof. Yohanes Surya,
Ph.D. (Fisikawan Indonesia)
b. Bagian Belakang
Didominasi oleh warna cream, terdapat sinopsis novel dan
dilengkapi dengan beberapa komentar dari para penulis lainnya
seperti Ifa Avianty, Kurnia Effendi dan Windy Ariestanty.
B. Identitas Kepengarangan

Feby Indirani, penulis dan jurnalis. Dia penikmat buku, film, musik dan
percakapan, serta pencinta perjalanan dan petualangan baru. Feby telah
menerbitkan 9 buku fiksi dan nonfiksi. Bukunya, I can (not) Hear meraih
penghargaan Anugerah Pembaca Indonesia 2010 untuk kategori nonfiksi
terbaik dan sempat tampil di program Kick Andy, Metro TV. Feby pernah
mengikuti beberapa program fellowship internasional, di antaranya Australia-
Indonesia Muslim Exchange Program (2006), Asia Journalism Fellowship
(2010), dan International Journalist Program-Germany (2010).
C. Ringkasan

1. BAB 1 : Kejutan Pagi Hari

Ini pasti hari yang sangat sial.


Karena tentunya tidak setiap hari kamu kedatangan sekelompok pria
berseragam polisi di depan pintu tempat tinggalmu. Apalagi jika
mereka datang untuk menangkap temanmu.

Saat itu baru pukul 6.30. Hampir dapat dipastikan, kebanyakan


penghuni asrama belum terjaga setelah rata-rata belajar hingga dini
hari. Baru empat orang yang melek selain Bu Mirna: Clara, Angga,
George, dan Made.

Kini mereka berempat berdiri berjajar di belakang Bu Mirna


dengan mulut terkunci, mendengarkan pengurus asramanya bicara
dengan para petugas berseragam di depan pintu.

“Saya tidak mengatakan Bagas seorang kriminal Bu,” lelaki


berseragam yang berdiri paling depan angkat bicara. “Tapi kami
punya bukti-bukti bahwa Bagas sudah melakukan tindakan yang
melanggar hukum. Jadi dia harus segera dibawa untuk pemeriksaan
lebih lanjut di kantor,” sambungnya cepat.

“Tindakan melanggar hukum?” Angga mencelos.

Suara Angga membuat Bu Mirna dan tiga petugas berseragam


itu tersadar, ada empat pasang mata yang kini tengah menatap mereka
tegang dan penuh pertanyaan. Dengan gerakan tangan, Bu Mirna
segera memberi isyarat supaya mereka kembali masuk rumah. Tapi
Clara dan teman-temannya sama sekali tak menunjukkan keinginan
untuk beranjak dari tempat masing-masing.

Keempatnya terpaku menatap si Botak Berkulit Jeruk, yang


lantas melempar senyum sopan dan mengamati wajah-wajah mereka:
empat wajah tegang dengan ekspresi terperangah.
Setelah beberapa saat bergeming, Bu Mirna kembali memberi
isyarat agar mereka menunggu di dalam saja; kali ini lebih tegas.
Dengan ekspresi enggan, George mengangguk patuh dan menggiring
ketiga temannya masuk.

Si Botak Berkulit Jeruk tampak masih menjelaskan sesuatu


kepada Bu Mirna. Wanita itu lalu berjalan gontai masuk rumah,
diikuti Si Botak dan anak buahnya.
“Bagas belum bangun,” ujar Bu Mirna. Nada suaranya
melemah.
“Sepuluh menit untuk bersiap, cukup?” si Botak Berkulit Jeruk
lalu melirik arloji yang melingkar di lengan kanannya. “Mereka akan
ikut masuk ke dalam,” lanjutnya sambil memberi isyarat kepada kedua
anak buahnya.

“Biar saya bangunkan,” tiba-tiba George berkata tegas. Tanpa


menunggu, dia bergegas menuju tangga. Kamar Bagas berada di lantai
dua.

Jantung Clara berdebar lebih kencang. Betapa ia ingin


menghubungi Pak Tyo! Pembina mereka itu kini sedang berada di
Singapura untuk sebuah acara komunitas fisika se-Asia Tenggara.
Sialnya, ponselnya tertinggal di dalam kamar. Dan sekarang tubuh
mereka seperti dipaku ke tanah, karena tak seorang pun diizinkan
beranjak kecuali George.

George mengetuk pintu kamar yang ditempati Bagas bersama


Erik Simatupang, peserta asal Medan.

“Ya?” tanyanya dengan suara serak sambil membuka pintu lebih


lebar. Erik Simatupang, teman sekamar Bagas itu, menguap malas.

Raut mukanya baru berubah ketika melihat dua pria berseragam


di belakang George.
“Bagas masih tidur, Rik?” tanya George.
“Masih…,” jawab Erik ragu sambil menyisir rambut kusutnya
dengan jari. George kemudian menoleh kepada para polisi itu.
“Boleh sa bangunkan dulu? Biar sa bicara sama dia,” ujarnya dengan
logat Papua yang kental.
Para polisi itu mengangguk dengan sorot mata waspada.

George lantas masuk ke dalam kamar, mendapati Bagas yang


tampak baru saja terbangun.
“Ada apa?” tanya Bagas yang masih bercelana pendek dan
bertelanjang dada, cepat.
“Kau dicari polisi, Gas,” bisik George. “Apa kau buat, sudah?”
Bagas langsung terduduk di tempat tidur. “Sialan!” makinya. “Apa
ada peluang menghindar?” ia balik bertanya sembari buru-buru
memakai kaus sehingga suaranya sempat tertelan.
Pembicaraan mereka terpotong oleh ketukan tegas di pintu
kamar. “Cepat Dik, kami tidak punya banyak waktu,” terdengar
perintah salah satu petugas.
“Sialan!” maki Bagas lagi. Dia kemudian melangkah bangkit
dari tempat tidur dan membuka pintu untuk menemui para petugas
yang menunggunya.
“Saya Bagas, ada perlu apa?” tanyanya.
“Selamat pagi, Dik. Kami diperintahkan untuk membawa Anda
ke Polda Metro Jaya,” sahut seorang petugas yang berpipi tembam.
Dia lalu menyerahkan selembar surat perintah berkop resmi
Kepolisian Republik Indonesia kepada Bagas.
Bagas membaca surat itu beberapa detik. Dia lalu melirik jam dinding
di lorong asrama. “Masih pagi sekali, Pak, dan saya baru tidur dua
jam. Nggak bisa saya datang aja nanti ke kantor Bapak, jam 9 atau
10?” ujar Bagas. Nada bicaranya terdengar tenang dan tak acuh.
“Anda tidak membuat ini menjadi lebih mudah, Saudara
Bagas,” ujar si pipi tembam. Raut wajahnya mengeras.
“Oke, Pak. Setidaknya saya boleh mandi dulu?”
Lagi-lagi upaya mengulur waktu yang sia-sia.
Tak lama kemudian, mereka turun ke lantai bawah. Tubuh
Bagas sudah terbalut jeans dan jaket. Pandangannya bertumbukan
dengan Bu Mirna yang menatap cemas, seperti ingin
memberondongnya dengan pertanyaan.

Bagas mengangguk ke arah Bu Mirna, berpamitan hanya lewat


mata. Dia masih sempat menatap teman-temannya yang
memerhatikannya tanpa berkedip, dengan sorot mata yang
menyampaikan berbagai pesan tak terucapkan.

Petugas-petugas polisi itu kemudian pergi membawa Bagas.

2. BAB 2 : Keisengan Berbahaya

Kejutan pagi itu berlangsung sangat cepat dan berlalu begitu


saja. Setiap orang kembali sibuk dengan aktivitas rutin masing-masing
di awal hari. Barangkali hanya Clara yang masih memikirkan Bagas.
Selain Bu Mirna tentu.

Jam menunjukkan pukul 08.00. Pada waktu-waktu ini, penghuni


asrama sudah mulai banyak yang bangun.

Tak lama kemudian, Erik bergabung di ruang makan. Dia segera


memilih tempat duduk yang jauh dari teman-teman. Tetapi Clara,
yang memang sudah sejak tadi menunggu, lantas mendekat ke
arahnya.

“Kau mau cerita tentang apa yang terjadi di atas tadi?” bisik
Clara tepat di telinganya. Erik tersentak, tidak mengira Clara tiba-tiba
sedekat itu.

“Kamu sudah tahu, kan?” jawab Erik pelan.


“Iya, tapi aku kepengen dengar cerita dari kamu, karena kamu
sekamar dengan Bagas,” desak Clara. “Kamu tahu nggak, sih, apa
yang dia kerjakan?”
Erik terdiam sesaat. “Aku nggak begitu tahu, ya. Tapi dia
biasanya menghabiskan waktu berjam-jam untuk mempelajari bahasa
pemrograman.”
“Maksudnya?”
“Ya... Dia rajin belajar pemrograman jaringan internet dan
sistem operasinya, mencari titik lemah untuk bisa nge-hack.”
“Oh! Hacking...”
“Iya,” jawab Erik.

Clara langsung teringat ucapan polisi yang tadi menjemput


Bagas. Soal keamanan dan pencemaran nama baik, katanya.
“Sistem apa yang sudah berhasil di-hack sama Bagas?”
Erik menggeleng. “Aku nggak tahu persis.”
Tidak banyak yang Clara ketahui soal hacking. Yang Clara tahu,
hacker adalah orang-orang yang mahir dalam hal pemrograman
komputer dan membuat jaringan. Tapi, ada orang-orang yang
menggunakan kemampuannya untuk membobol sistem keamanan
pihak lain. Mereka ini biasanya disebut cracker.
Jadi, sepertinya Bagas sudah bertindak sebagai cracker, dan
terlacak pula aktivitasnya.

Sambil menggumamkan terima kasih untuk Erik, ia bangkit dan


bergegas menemui Bu Mirna di kamar.

“Bu, Bagas nge-hack apa?” tembaknya langsung.


Bu Mirna yang ternyata sedang sibuk menelepon tampak agak
terkejut. Dari ekspresi mukanya, Clara tahu, ia telah menebak dengan
tepat.

Kali ini, Bu Mirna tidak berusaha menghindar. Sambil memberi


isyarat dengan tangan, Bu Mirna meminta Clara menunggu.
“Bu...?” sambar Clara, ketika akhirnya Bu Mirna menyerah dan
meletakkan ponselnya di ranjang dengan mimik pasrah. ”Bagas nge-
hack situs apa saja?”
Bu Mirna menghela napas panjang.
“Salah satunya situs Polri,” jawab Bu Mirna pendek.
“Polisi berhasil melacak ip address si pembobol situs, dan
menemukan Bagas,” tandas Bu Mirna.

Clara meneguk ludah. Hmm. Repot juga. Duh, Bagas... Sungguh


ia tak habis pikir. Bagaimana mungkin Bagas berpikir sependek itu?

Bagas bisa dikenakan tuntutan pencemaran nama baik terhadap


kepolisian. Dan tuntutannya tidak main-main. Hobi hacking memang
bagus untuk mengembangkan kreativitas dan mengasah otak, tapi
dipadukan dengan keisengan melawan hukum ... Clara mendesah.
Bisa jadi bencana! []

3. BAB 3 : Berita Cepat Menyebar

Begitu selesai presentasi, Pak Tyo langsung menghubungi Bu


Mirna.

Sementara, meskipun tampak tenang di permukaan, berita


tentang penangkapan Bagas menyebar dengan cepat di asrama. Ya.
Mana mungkin tidak? Mereka sudah hampir separuh jalan. Dua bulan
lagi, dan seleksi akhir akan berlangsung. Itu adalah saat penentuan
apakah seluruh perjuangan mereka akan jadi bermakna atau sia-sia.

Meskipun tidak terungkap secara verbal, Clara bisa merasakan


sebagian peserta bersorak atas adanya kasus yang menimpa Bagas.
Bagaimanapun, kepergian Bagas berarti tersingkirnya satu orang
saingan kuat. Ya, kuat, karena Bagas termasuk salah satu peserta yang
prestasinya terjaga dengan baik.
Saat makan siang, tiba-tiba George membawa kabar baru ke
meja makan.
“Aku baru cek situs BeritaKita.com. Sudah ada kasus Bagas. Di
situs-situs berita lain juga sudah mulai menyebar.” George
menyerahkan satu kopi berita yang sudah dicetaknyakepada Clara.
Beberapa lembar kopian yang lain segera diperebutkan oleh Reno,
Alam, Dimas, dan Made.
Cepat-cepat Clara membaca lembaran berita itu. Cepat sekali
informasi menyebar!

Dalam berita itu juga ditulis bahwa Bagas adalah peserta


pelatihan FUSI yang sedianya akan mewakili tim Indonesia di
Olimpiade Fisika Internasional.

Ia buru-buru naik ke ruang komputer dan mengecek situs


BeritaKita.com. Ternyata berita yang barusan dibacanya sudah
beranak lagi. Berita kedua bahkan lebih banyak membahas FUSI.
Disebutkan bahwa FUSI mendapat dana dari pemerintah, sehingga
sang reporter mempertanyakan, pantaskah orang yang sudah
membobol situs-situs pemerintahan dikirim untuk mewakili
bangsanya di ajang internasional.

Clara jadi kehilangan selera makan dan malas kembali ke ruang


makan. Ia lalu memilih membaca beberapa artikel tentang hacker

Di artikel-artikel yang dibacanya, yang disebut cracker adalah


hacker jahat. Kalau begitu, di mata institusi kepolisian, Bagas bukan
hacker, melainkan cracker, dong? Ia menggeleng tanpa sadar. Clara
yakin, Bagas sesungguhnya tidak bermaksud jahat. Dia hanya pelajar
yang kelewat pintar dan senang pada hal-hal yang menantang, yang
membangkitkan adrenalin.

Malamnya, Pak Tyo sudah tiba lagi di asrama. Meskipun


tampak lelah, dia meminta para peserta pelatihan berkumpul sebentar,
karena ada yang hendak dia bicarakan.
Pagi berikutnya, Pak Tyo pergi ke kantor Polda Metro Jaya. Bu
Mirna diminta tetap tinggal di asrama untuk menemani para peserta.

Ketika siangnya Pak Tyo pulang, Clara langsung menagih


cerita. Tadinya Pak Tyo sempat menghindar dan hanya meminta Clara
supaya jangan terlalu khawatir. Tapi karena Clara ngotot dan kelihatan
penasaran banget, akhirnya Pak Tyo mengisahkan pertemuannya
dengan Unit Cyber Crime yang menangani kasus Bagas. Di ujung
kalimatnya, ponsel Pak Tyo berbunyi.

Pasti soal Bagas. Pak Tyo lalu meneruskan percakapan sambil


berjalan masuk ke dalam ruang yang lebih privat. Kepergian Pak Tyo
membuatnya tertinggal sendirian di ruang itu. Siang yang sunyi.
Kesunyian yang seolah berdengung di telinga.
Tiba-tiba, semuanya terlintas lagi di benaknya. Begitu jelas.
Tentang kenapa ia berada di sini, sekarang, di tempatnya berpijak saat
ini. []

4. BAB 4 : REAKSI FUSI

Empat belas minggu yang lalu …

Rumah itu adalah lahan yang menyemai harapan begitu banyak


orang. Dan Clara tengah berdiri di hadapannya.

Clara sengaja datang pagi-pagi supaya bisa melihat dengan


leluasa bagaimana kondisi tempat tinggalnya selama beberapa bulan
mendatang. Sebelumnya, dia sudah menghubungi Bu Mirna, kepala
rumah tangga asrama, untuk mengabarkan bahwa dia akan datang
lebih awal.

Asrama ini cukup lapang. Keadaannya bersih dan terawat


meskipun tidak mewah. Pak Udin dan Bu Atik melakukan
pekerjaannya dengan baik. Clara menahan napas. Inilah asrama FUSI,
yang merupakan akronim dari Fisika untuk Siswa Indonesia.

Kegiatan utama FUSI adalah membina tim Indonesia untuk


berlaga di kompetisi-kompetisi fisika Internasional. Dari ajang
Olimpiade Fisika Nasional, dipilih 30 siswa terbaik yang bisa
mengikuti saringan final, sampai akhirnya didapatkan 16 peserta
dengan nilai tertinggi. Keenam belas peserta terpilih itulah yang
diasramakan dan akan mendapatkan pelatihan intensif dari FUSI,
untuk mengikuti Olimpiade Fisika Internasional yang tahun ini akan
berlangsung di Singapura.

Dan, Clara adalah satu dari 16 siswa terbaik itu. Satu-satunya


peserta perempuan.

Karena deg-degan dia sengaja datang lebih awal untuk


mempelajari medan. Atau barangkali, sekadar untuk membuat dirinya
merasa nyaman.

Clara menikmati waktu observasinya dengan sungguh-sungguh.

Selain sebuah singkatan, nama FUSI konon memang dipilih


sebagai analogi dari reaksi FUSI. FUSI bertujuan menyatukan
potensi-potensi sumber daya manusia yang berbakat di bidang Fisika,
untuk melahirkan para pemenang di ajang Internasional.

5. BAB 5 : Kembang di Sekitar Kumbang-Kumbang

Mirna Astuti. Itu nama lengkap pengurus rumah tangga asrama


FUSI, yang kerap di panggil Mirna oleh teman-temannya. Dia sedang
menempel daftar pembagian kamar di papan pengumuman di dinding.

“Nomor-nomor kamar bisa kalian lihat di bagian atas kusen.


Kamar 4 sampai 8 letaknya di lantai 2. Oh iya, pembagian kamar ini
tidak bersifat memaksa, ya. Jika masing-masing sepakat, kalian bisa
bertukar kamar,” ujar Bu Mirna. Beberapa peserta kemudian langsung
mendatangi kertas yang sudah ditempel, lantas menarik barangnya ke
kamar yang sudah disediakan. Tak merasa perlu melakukannya karena
sudah pasti akan sekamar dengan Bu Mirna, Clara tetap duduk dan
melanjutkan membaca My Sister’s Keeper.

“Hei, Clara Wibisono! Kamu Clara, kan?”

“Kok tahu?”

“Kamu kan satu-satunya peserta perempuan. Sudah pasti


terkenal,” sahutnya dengan logat bicara yang tak biasa.

“Saya dari Manado,” ujar cowok itu, seperti bisa membaca


pikirannya. “Reno Pontoh,” sambungnya dengan senyum. Clara balas
tersenyum.

“Senang berkenalan denganmu,” jawabnya.

Beberapa cowok yang sudah selesai menyimpan barang-


barangnya kini ikut bergabung bersama mereka.

Perlahan, kecanggungan yang tadi merebak dihatinya gara-gara


mesti berada di antara para cowok yang belum dikenalnya kian luntur.
Mereka semua ternyata baik dan menyenangkan.

6. BAB 6 : Kawah Candradimuka

Pagi berikutnya, Clara dan kelima belas peserta lainnya diminta


berkumpul di ruang belajar untuk mendapat pengarahan dari Pak Tyo.

Seluruh peserta kini sudah berkumpul di dalam ruangan. Wajah


Pak Tyo tampak berseri-seri memperhatikan setiap orang.

“Selamat pagi, selamat datang di ‘Kawah Candradimuka’.” Pak


Tyo memberi jeda sejenak, seolah menekankan kalimatnya. “Asrama
ini memang ibarat Kawah Candradimuka, yang dalam cerita
pewayangan adalah tempat penggodokan Gatotkaca. “Gatotkaca, saat
keluar dari Kawah Candradimuka memiliki kekuatan yang luar biasa,
bak berototkan kawat dan bertulang besi. Jadi, ini adalah tempat
kalian digodok dan digembleng menjadi orang-orang yang benar-
benar berkualitas juara,” jelas Pak Tyo.

“Sekarang, kalian semua ikut saya.” Pak Tyo lalu mengajak para
peserta ke luar ruangan. Di halaman belakang ternyata sudah ada
tumpukan pasir.

“Perhatikan.”

Dia kemudian berjongkok dan mulai memindahkan pasir,


segenggam demi segenggam, ke bidang tanah yang kosong.

Sedikit demi sedikit, pasir itu lalu membentuk sebuah bukit


kecil. Pak Tyo terus memindahkan pasir. Baru setelah tumpukan pasir
yang terbentuk kira-kira setinggi lututnya, Pak Tyo berhenti.

“Kalian lihat, butir-butir pasir itu menjatuhkan diri, seperti


mengatur dirinya sendiri, sehingga kemiringan bukit tetap sama,”
lanjutnya. “Sampai pada ketinggian tertentu yang kita namakan
ketinggian kritis, bukit pasir ini seperti mengatur dirinya sendiri,”
terang Pak Tyo.

Pada kondisi kritis, proses pengaturan diri tidak hanya terjadi


dalam diri satu individu saja, tetapi juga dalam diri individu-individu
lain di sekitarnya. Kemudian, individu-individu itu secara bersama-
sama mengatur dirinya sendiri sehingga terlahirlah situasi yang akan
mengubah kondisi kritis itu.

“Proses pengaturan diri secara bersama-sama itu yang saya


namakan Mestakung: se(mesta) mendu(kung).”
Pak Tyo kemudian mengajak peserta kembali ke dalam ruang
kelas.

“Kondisi kritis ini pula yang coba FUSI kembangkan dengan


menempatkan kalian dalam Kawah Candradimuka. Itulah juga
mengapa tidak semua peserta akan berangkat. Supaya semua orang
ditempatkan di dalam situasi kritis dan memberikan yang terbaik.
Semuanya demi mimpi kita bersama: mengharumkan nama bangsa di
dunia Internasional.

7. BAB 7 : [Clara] Jarum dalam Jerami

Sejak dulu, Papa sering bercerita kepadaku tentang cikal bakal


berdirinya FUSI yang sudah berusia kurang lebih sama dengan
umurku, 17 tahun.

Lembaga itu bisa berdiri karena cita-cita dua orang sahabat,


Papa dan Pak Tyo. Embrio cita-cita itu adalah rasa miris yang sama-
sama mereka miliki, karena fisika khususnya, dan sains pada
umumnya, sulit berkembang di tanah air.

Merasa berangkat dari kegelisahan yang serupa, mereka pun


sepakat untuk mendirikan FUSI dan menjalankan kedua tujuan
masing-masing secara bersamaan. Pak Tyo mencari bibit-bibit siswa
yang berbakat dalam bidang fisika untuk mengikuti Olimpiade.
Sementara Papa lebih berfokus kepada pengembangan program Fisika
Asyik atau Fun Physics, dan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah
untuk mempromosikannya.

Papa rajin mencari bakat dari berbagai sekolah. Siswa-siswi


yang menunjukkan minat dan bakat terhadap fisika biasanya langsung
diajak berkunjung ke FUSI.
Ketika aku masih kelas 5 SD, Papa pernah mengajakku
mengunjungi sebuah SMP di Jakarta. Sambil menyetir Pugeot hijau
tuanya, Papa menceritakan kepadaku peringatan seorang rekan dosen,
ketika dia memulai program pencarian bakat ini, saat FUSI baru
berdiri.

“Bram, yang kamu lakukan itu seperti mencari jarum dalam


tumpukan jerami di dalam gudang yang luas,” kata Papa menirukan
ucapan rekannya. Tapi Papa tidak gentar. Sambil terkekeh riang, dia
mengatakan hal itu justru membuatnya semakin yakin bahwa bakat
yang dia cari-cari malah relatif lebih mudah ditemukan.

Begitulah Papa. Papa selalu optimis dan percaya bahwa segala


sesuatu yang dilakukan dengan keyakinan pasti akan membuahkan
hasil yang setimpal dengan keyakinan itu sendiri.

8. BAB 8 : Putri Fisikawan dan Balerina

Awalnya, Clara pikir, semua bapak di dunia seperti ayahnya.


Dia seperti selalu punya jawaban untuk pertanyaan kanak-kanaknya,
dan selalu bisa menjelaskannya dengan cara yang mudah dipahami
Clara.

Dari kecil, Clara memang selalu lebih dekat dengan ayah


ketimbang dengan ibunya. Ibu Clara bernama Sofia Irawan. Seorang
seniman tari, begitulah dia menyebut dirinya sendiri. Tapi, bagi
banyak orang, dia adalah maestro. Dia memang selalu bisa dengan
cepat mempelajari gerakan tari dan melakukannya lebih baik dari
orang-orang pada umumnya.

Sementara Clara selalu merasa tubuhnya kaku seperti kayu.


Oleh karena itu, dia selalu lebih merasa sebagai anak ayah daripada
putri ibunya, yang dingin dan keras seperti pualam.
Clara tak pernah tahu, kapan keadaan antara ayah dan ibunya
memburuk. Sebagaimana dia tak pernah paham, kenapa dua orang
yang sudah memutuskan hidup bersama selama dia hidup, tiba-tiba
memilih untuk berpisah. Clara bahkan tidak pernah melihat mereka
bertengkar. Kadang-kadang Clara memang merasakan ketegaangan
diantara mereka, tapi semakin dia dewasa, Clara merasa itu hal yang
biasa terjadi di dalam keluarga.

Hingga suatu hari, tiba-tiba mereka memanggil Clara.

“Kami memutuskan untuk tidak bersama lagi, Ra.”

Bergantian Clara memandangi mereka berdua dengan


pandangan menuntut.

“Maksudnya, Mama dan Papa mau cerai?”

“Ya, kami berpisah ...”

“Sementara?”

“Mungkin tidak.”

“Kenapa?”

Dan, mereka hanya diam. Detik-detik berlalu, dalam diam.


Diam yang membuat Clara frustasi.

Kalau kamu ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, kamu


juga mesti menyadari bahwa tidak semua hal berhak kamu ketahui.
Ada hal-hal di luar batasmu.

Hanya itu penjelasan yang didapat Clara dari ibunya, pada


menit-menit yang rasanya tak akan bisa dia lupakan sepanjang
hidupnya nanti.
9. BAB 9 : Indonesia Kecil

Minggu pertama di asrama.

Sejak dulu, Clara senang membaca dan menikmati cerita-cerita


dari mana pun dan dari siapa pun. Pelajaran apa pun selalu dia
pandang sebagai sebuah rangkaian cerita.

Bukan hanya cerita dalam bentuk soal fisika yang menarik. Bagi
Clara, cerita dalam kehidupan asrama FUSI juga menarik. Pada hari
ketiga misalnya, Clara yang sedang belajar bersama Dimas
menemukan Bambang mondar-mandir di ruang tengah lantai dua.

Clara dan Dimas bergantian menerka penyebab Bambang


mondar-mandir. Anehnya, setiap kalimat mereka selalu ditanggapi
hanya dengan cengiran yang sama.

“Kamu kenapaaaaa?” desak Clara dan Dimas tambah gemas.

“Sssttt.... aku sudah tiga hari ndak bisa buang air besar,” bisik
Bambang akhirnya.

“Ya ampun! Tiga hari? Menderitanya ....,” timpal Clara sambil


cekikikan. “Kamu harusnya bilang sama Bu Atik, dia kan bisa cariin
pepaya di pasar.”

“Ehm, kayaknya bukan itu, deh ...,” jawab Bambang malu-malu.


“WC-nya duduk, aku ndak biasa.”

“Oh ... ?” Clara dan Dimas akhirnya tertawa terbahak-bahak


mendengar pengakuan Bambang yang lugu.

Kisah tentang Bambang hanya satu di antara sekian banyak yang


lainnya. Beradaptasi dan mengenal mereka lebih jauh tak ubahnya
tantangan untuk menyelesaikan susunan puzzle.

Clara sekamar dengan Bu Mirna yang cenderung pendiam,


sabar, dan ngemong terhadap Clara dan teman-temannya.
Begitulah kehidupan mereka pada minggu-minggu awal. Semua
orang memang masih beradaptasi dengan situasi dan mesti belajar
mengenali satu sama lain.

Bersosialisasi dengan teman-teman cowok memang berbeda.


Mengobrol dengan cowok jelas-jelas berbeda jauh dengan apa yang
kerap diobrolkannya dengan sobat-sobat ceweknya. Untungnya,
penggunaan ponsel tidak dilarang di asrama. Jadi, kalau bosan atau
suntuk, Clara bisa SMS atau menelpon sahabat-sahabatnya.

Dan, seperti yang Clara duga, Finka mulai menagih janjinya


dulu: laporan pandangan mata tentang gaya hidup dan perilaku cowok.

Cowok suka malas mandi.

Baiklah, nggak semua seperti itu, sih. Tentu tetap ada beberapa
pengecualian. Arief, misalnya. Cowok asal Pamekasan itu termasuk
yang rajin mandi. Mungkin karena dia paling rain shalat, dari mulai
shalat lima waktu sampai shalat sunah juga.

Diatas semua itu, Clara sangat kagum terhadap ketekunan


teman-temannya. Mereka tampak sangat disiplin belajar tanpa perlu
ada yang mengawasi.

Seperti hari ini. Jam di ruang tengah sudah menunjukkan pukul


02.00 dini hari. Di ruang belajar, Robby masih berkutat mengerjakan
soal dengan tumpukan buku-buku tebal di sekitarnya. Meskipun
cowok itu konyol dan sering melucu, kalau sudah belajar dia memang
bisa superserius.

Clara memutar otot lehernya yang pegal. Dia masih ingin


menuntaskan soal-soal kekekalan momentum ini sedikit lagi.

Tiba-tiba, Arief masuk ke ruang belajar. Mukanya kelihatan


segar dan rambutnya masih agak basah.
Arief mengambil beberapa buku teori dari rak, lalu duduk tak
jauh dari Clara. Dalam hitungan menit, dia tampak sudah mulai
khusuk menekuni soal.

“Kamu kelihatan seger banget. Nggak ngantuk ya baru tidur


empat jam?” tanya Clara

“Aku shalat dulu tadi, makanya segar,” sahut Arief.

“Hebat.”

“Ah, biasa aja. Dulu aku suka nggak nyenyak tidur. Sering
kebangun malam-malam, terus susah tidur lagi, jadinya shalat.
Akhirnya jadi kebiasaan” jelas Arief.

“Emang kenapa kok sering nggak nyenyak tidur?” tanya Clara


usil.

Arief terdiam. Mukanya mengeruh, seperti diingatkan akan


sesuatu yang tidak menyenangkan. Sesaat Clara jadi merasa bersalah.
Tapi, kemudian Arief malah mulai bercerita tentang situasi
keluarganya.

10. BAB 10 : [Arief] Api yang Tak Kunjung Padam

Setiap kali membutuhkan semangat, aku akan mengarahkan


langkah ke Dusun Dangkah, tempat api abadi itu berada. Itulah salah
satu karunia Allah kepada bumi Madura.

Dari Pamekasan, tempatku tinggal, aku mesti berjalan sekitar 7


kilometer untuk menjangkau lokasi api yang terletak di Desa
Larangan Tokol Kecamatan Tlanakan. Warga setempat memagari
lokasi di mana api berada. Api hanya menyala di tanah sekitar
lingkaran pagar sehingga warga sudah terbiasa tidak khawatir api akan
menjalar ke rumah lain. Anehnya, tidak ada yang bisa dengan sengaja
membuat titik api baru meskipun di dalam lingkaran pagar.

Ajaibnya lagi, biasanya kalau terguyur air, api akan kehilangan


suhu panasnya dan menjadi dingin, sementara sebagian air yang
menyiram api pun berubah menjadi uap air yang akan memisahkan api
dari oksigen. Tapi, api di Dusun Dangkah tak pernah mati biarpun
tertiup angin atau tersiram air.

Ketika aku beranjak remaja, baru kudengar cerita rakyat tentang


api di Dusun Dangkah. Setidak-tidaknya, kisah itu cukup menghibur
meski tak bisa memuaskan rasa penasaranku sebab memang belum
ada penelitian yang bisa menjawab.

11. BAB 11 : Kesenangan di Sela Kesibukan

Minggu keenam di asrama.

Waktu serasa berlari kencang di asrama. Sampai saat ini, sudah


hampir ada dua kali hasil evaluasi bulanan. Ini membuat peta
persaingan mulai dapat terbaca.

Dari hasil evaluasi bulan pertama, di urutan tiga besar muncul


nama George, Arief, dan Irvan.

Hanya ada 12 orang yang akan berangkat. Artinya, empat orang


mesti tereliminasi. Setiap orang belajar keras dan berpacu dengan
waktu. Tapi, di tengah-tengah proses itu, beberapa teman sepertinya
tetap tak kehilangan rasa humor dan kemampuan untuk bersenang-
senang.

Suatu ketika, saat kelas sedang hening, tiba-tiba terdengar suara


Made.
“Eh, eh, kalau Donal Bebek masuk kelas Fisika, waktu keluar
bunyinya gimana?”

“Apa?”

“Ya bebek mah , kwek-kwek-kwek, dong ...,” kata Dimas.

“Ganti dong, jadi quark quark quark...”

Gurauan Made mengacu pada quark, yaitu partikel teoritis kecil


yang membentuk proton dan neutron dalam inti atom.

Pada saat-saat senggang, pertanyaan-pertanyaan seru memang


sering muncul dari Made.

Begitulah, meskipun jadwal belajar mereka padat, selalu ada


saja kesempatan untuk bersenang-senang. Di satu sisi mereka memang
bersaing, namun di sisi lain mereka tetap bisa menjadi teman baik.
Yang diam-diam “dinobatkan” menjadi pasangan paling aneh adalah
Bagas dan Erik. Kalu Erik kelihatan seperti pemalu dan ingin
menyembunyikan diri, Bagas malah tampak sombong dan tidak butuh
orang lain.

Sejauh ini, Clara belum bisa dekat dengan semua orang. Di


antara cowok-cowok itu, sementara ini Clara paling cocok dengan
Khrisna dan Dimas.

Namun, Clara perhatikan, beberapa cowok justru memandang


sinis pada Dimas. Angga hampir tidak pernah mau duduk di dekat
Dimas atau mengobrol.

“Dimas mungkin dipandang aneh oleh sekelilingnya karena


dianggap terlalu halus, terlalu lembek untuk ukuran laki-laki,” ujar
George. Clara mengangguk-angguk.
“Iya kayaknya gitu, George. Tapi, sayang aja ada teman-teman
yang bersikap begitu hanya karena Dimas beda dengan cowok
kebanyakan.”

“Ya begitulah, Ra. Menurut saya, itu masalah peran gender.


Bagaimana laki-laki dan perempuan dibedakan berdasarkan aturan
sosial dan pemahaman umum tentang bagaimana mereka harus
bersikap,” ujar George bijak. “Saya juga tidak suka main bola, dan
kawan satu sekolahan di Jayapura pernah meledek saya banci,”
George tertawa.

Clara memandang George tak percaya. Clara jadi termangu-


mangu, sementara George mulai memaparkan pengalamannya. []

12. BAB 12 :[George] Nuri yang Mengalahkan Kasuari

Suatu hari dalam kehidupan sa di Jayapura.

“Ko pu kelakuan seperti banci saja!” cela Johanis diiringi tawa


kawan-kawan yang lain.

Sa memilih menahan diri meskipu teinga terasa panas. Johanis


adalah kapten klub sepak bola sekolah. Bila berjalan, kepalanya
menunduk dan punggungnya membungkuk. Karena itulah, dia sering
dipanggil paitua atau orang tua. Sebenarnya, paitua juga adalah
sebutan lain untuk burug kasuari. Meski hidup di darat, kasuari
seperti raja.

Persis seperti itulah kelakuan Johanis di antara teman-temannya.


Seperti kasuari yang angkuh.

Johanis senang mengolok-olok sa yang tak pernah ikut bermain


bola.
Seperti hari itu. Ketika kembali ada pertandingan bola di
sekolah, hampir semua siswa lelaki menyambut dengan bersemangat
dan langsung turun ke lapangan. Sementara sa tetap anteng
mengerjakan soal-soal fisika di ruangan kelas. Selain sa , ada pula J
kecil, begitu julukan kawan sa yang satu itu karena namanya juga
Johanis tapi tubuhnya jauh lebih kecil.

“Hei, kau tuli, ya? Si pincang di sampingmu itu saja dengar,


kok! Ayo, buktikan kalau kau bukan banci!” teriak Johanis lagi.

“Baiklah, tapi sa hanya mau berhadapan denganmu, Johanis.


Bukan teman-temanmu. Tara keroyokan disini kalau kamu memang
lelaki sejati,” ujar sa.

Kami berjalan ke tanah lapang. Kami kini mulai mengambil


kuda-kuda dengan tangan terkepal. Otak sa terus berpikir, sambil mata
sa awas mengamati gerakan Johanis.

Johanis kemudian memburu dengan gerakan yang tak terkontrol.


Dengan gerakan cepat, sa berhasil membanting tubuh Johanis.

Siapa pun tidak mengira, sa yang kecil bisa menangkan


pertarungan itu. Dengan dagu terangkat dan sikap seorang pemenang,
sa tinggalkan arena. J kecil mengikuti sa dengan tatapan kagum dan
rasa ingin tahu.

“Sa heran ko bisa melakukan itu. Bagaimana caranya?”


tanyanya.

Sa tersenyum tipis. “Pakai ini,” sa tunjuk sa punya dahi.


“Burung nuri boleh jadi kecil, tapi cerdas.”

Sa tahu, fisika dan sepak bola tidak perlu dipertentangkan. Dan,


eh! Sejak saat itu, Johanis tak pernah memandang sebelah mata lagi
kepada sa.[]
13. BAB 13 : Ada Apa dengan Made ?

Minggu kesepuluh di asrama.

Memasuki bulan ketiga, suhu persaingan semakin memanas.


George dan Arief berada di urutan pertama dan kedua, dan tampaknya
agak sulit mengejar mereka.

Adrenalin ternyata menular. Semua orang bekerja semakin keras


akhir-akhir ini.

Yang kerap membuat iri adalah Made. Meskipun kelihatannya


sering sekali main game, kok ya tetap bisa mencetak prestasi yang
lebih bagus dari rata-rata peserta.

Malam itu, Clara sedang belajar bersama Sandy dan Robby.


Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi mereka tetap
bertahan. Salah satu sisi positif dar proses belajar bersama adalah bisa
saling menguatkan, setidaknya dari sisi mental. Tak berapa lama
kemudian, terdengar derit pintu terbuka. Meddy keluar dari kamar.

“Made kok nggak kelihatan, Med?” ujar Robby.

“Tidur dia.”

“Tumben.”

“Akhir-akhir ini kayaknya Made aku perhatikan mengantuk


terus, deh,” Timpal Sandy.

Aneh juga. Made biasanya paling kuat begadang. Entah untuk


belajar atau main counter strike. Clara mencium sesuatu yang tidak
wajar. Apa Made sakit?

*
Keesokan harinya, Clara bertemu Made. Cowok itu kelihatan
sehat, tapi mukanya agak bengkak. Sepertinya karena terlalu banyak
tidur.

“De, kamu sehat-sehat saja?” tanya Clara.

“Hai, Ra. Sehat, sih. Tapi kacau nih, beberapa hari ini, setelah
makan siang aku ngantuk terus. Kayak ngga bisa ditahan. Kepala berat
banget, rasanya. Terus udah deh, masuk kamar, taruh kepala, langsung
nggak ingat apa-apa lagi.”

Pengakuan Made membuat Clara tercenung. Memang aneh sih,


sama sekali tampak seperti bukan Made.

Tiba-tiba, Clara teringat pada novel-novel misteri yang pernah


dibacanya di Perpustakaan FUSI, dulu. Dia ingat, salah satu episode
novel karya pengarang favoritnya pernah membahas gejala yang mirip
dengan yang dialami Made. Sesuatu tiba-tiba saja terlintas di
kepalanya.

“Begini ...,” Clara lalu membisikkan sesuatu ke telinga Made.


Sebuah asumsi, yang kemudian ditutup dengan sebuah rencana.

Rencana itu sebenarnya sangat sederhana. Clara berjanji akan


mengawasi kegiatan Made dengan sangat ketat. Dan Made setuju

Kecurigaannya menuntun Clara untuk secara cermat mencatat


daftar kegiatan Made secara kronologis; apa yang Made makan, apa
yang diminumnya ... pokoknya, rasanya sudah mirip detektif swasta.

Anehnya, hari itu Made justru bertahan hingga malam hari. Jika
benar apa yang Clara pikirkan, betapa tidak enak membayangkannya.

Untuk mengesahkan dugaannya, pada hari berikutnya Clara


melakukan hal yang sama.
Sampai hari itu berakhir, Made baik-baik saja. Hasil
pengamatannya selama dua hari membuatnya menyimpulkan sesuatu
yang menegaskan dugaannya.

“Ada yang naruh obat tidur dalam makanan atau minumanku?!


Ya ampun! Tadinya aku sama sekali nggak berpikir ke sana,” ujar
Made kaget ketika Clara menyampaikan kesimpulan pengamatannya
selama dua hari kepada Made.

“Menurutmu, siapa yang paling mungkin melakukan itu?”

“Coba aja kita hitung peluangnya.”

Clara lalu mulai menulis semua nama di kertas dan mencoret


nama Made dan namanya sendiri.

14. BAB 14 : Cowok Misterius

Hampir seminggu sudah lewat setelah kejadian yang menimpa


Made. Tiba-tiba, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Dari
Finka.

Ah, daripada depresi dengan soal-soal ini, mungkin lebih baik


ngobrol dulu dengan Finka.

Dia sedang menimbang-nimbang untuk menelpon Finka, ketika


sejurus kemudian, ponselnya berbunyi. Finka kemudian membagi
cerita tentang situasi terkini di sekolah mereka.

Terus terang, Clara kadang kadang bingung mecari-cari apa


yang bisa diceritakannya, yang sebanding dengan cerita Finka yang
begitu penuh warna.

“Udah ah, gantian lo cerita,” sergah Finka.


Kalau mau jujur, sejak awal sebenarnya ada dua sosok yang
menarik perhatiannya. Khrisna dan Bagas. Kalu harus memilih, di
antara mereka berdua, Clara memang lebih memerhatikan Bagas.
Tapi, sampai saat ini Bagas dimata Clara adalah sosok yang soliter
banget.

Tetapi akhirnya, entah bagaimana, rasa penasarannya terjawab


juga. Ketika Clara membuka pintu belakang pada sore itu, Clara
mendapati ternyata Bagas sedang duduk membelakangi pintu dan
bermain gitar.

Akhirnya, daripada penasaran terus, Clara memilih untuk


mendekatinya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada t-shirt yang dipakai
Bagas.

“Aku beli di Macau,” sahut Bagas.

“Ini kaus souvenir dari tempat bungee jumping di sana,” nada


suara Bagas merendah saat mengucapkan itu.

Mata Clara terbelalak mendengarnya. “Bungee Jumping?


Waaah, baru dengar aja dengkulku udah gemetaran,” timpal Clara
kagum.

“Gas, ceritain dong. Kayak apa sih rasanya bungee?” pinta Clara
tiba-tiba. “Pengen tahu rasanya? Mmm ... Gini, deh. Coba kamu
pejamkan mata dan dengerin aku.” Dia mendeham.

Dalam imajinasinya, Clara betul-betul membayangkannya.

Bagas menepuk lutut Clara pelan. Gadis itu masih diam sejenak,
menikmati fantasinya, sebelum membuka mata dan mendesis takjub.
15. BAB 15 : Insiden Erik

Memasuki minggu terakhir bulan ketiga pelatihan, semua orang


tampaknya jadi lebih tertekan.

Tapi, ada juga orang seperti Robby, yang ketika semakin stres
justru jadi semakin iseng dan sering meledek orang. Seperti hari itu,
saat semua orang tengah asyik mengerjakan soal, tiba-tiba terdengar
seruan Robby membahana.

“Ra!”

“Apaan sih?” betak Clara pada akhirnya.

“Kamu tahu, nggak ?”

“Tahu apa?”

“Erik kan naksir kamu!”

Muka Erik yang kebetulan sedang duduk sejajar dengan Clara


seketika langsung memerah.

“Robby, sudah, ah. Becandaannya nggak mutu,” sergah Khrisna


tiba-tiba.

Selama beberapa saat, ruang belajar kemudian hening. Tapi tiba-


tiba, terjadilah sesuatu yang gawat.

Mula-mula, Erik terlihat bolak-balik pergi ke kamar mandi.


Tadinya Clara tak begitu memperhatikan. Tapi frekuensinya semakin
sering. Ketika Erik kembali ke tempat duduknya, mukanya sudah
semakin pucat. Dia menuduk memegangi perutnya, tampak lemas dan
tak berdaya. Clara langsung memanggil teman-teman yang lain. Bagas
yang paling cepat tanggap karena Erik adalah teman sekamarnya.

“Ya, sudah. Kita mesti bawa secepatnya ke rumah sakit,” kata


Bagas tegas.
Bagas membopong Erik ke kamar, lalu menelepon taksi,
menyiapkan beberapa baju Erik dan memasukkannya ke tas
ransel.Taksi datang tepat waktu. Arief segera membantu Bagas
memapah Erik ke dalam taksi.

Ketika sampai di rumah sakit, Bagas langsung membawa Erik


ke Unit Gawat Darurat (UGD).

“Ayo, Ra, kita tunggu diluar saja,” bisik Bagas.

Sementara itu, disebelah mereka, seorang cewek kurang lebih


mungkin sebaya dengan mereka, tampak gelisah dan sangat pucat.
Seorang wanita, tampaknya mamanya, berjalan bolak-balik sambil
menelepon.

Mau tak mau, Clara dan Bagas ikut mendengar percakapan itu
karena si ibu menelepon di dekat mereka dengan suara yang cukup
keras.

Sementara itu, Clara sudah memantapkan diri untuk menjadi


donor darah bagi Om Dewo.

Proses pengambilan darah tak berlangsung lama. Sebelum


pulang, mereka berniat menjenguk Erik sekali lagi. Pak Tyo dan Bu
Mirna ternyata sudah berada di luar kamar.

“Erik sudah tidur,” kata Pak Tyo.

Clara dan Bagas lantas kembali ke asrama bersama Pak Tyo dan
Bu Mirna. Mereka berempat pun berjalan ke tempat parkir. Tiba-tiba
Clara merasa kepalanya agak pening, pandangannya mulai mengabur
dan semua menjadi gelap.
16. BAB 16 : Mencurigai Bagas

Hari yang menegangkan. Setibanya di asrama malam itu,


mereka langsung tidur karena kelelahan. Untunglah, pagi berikutnya
kondisi Clara langsung pulih seperti semula. Evaluasi tetap
berlangsung sebagaimana dijadwalkan.

Apa yang menimpa Erik menjadi pembicaraan hangat di antara


para peserta sehabis tes hari itu. Karena merasa tidak dekat dengan
Bagas, Clara-lah yang menjadi tempat bertanya.

Ketika keadaan sudah lebih sepi, Made menggamit Clara dan


mengajaknya bicara di sudut asrama.

“Kayaknya ga mungkin Bagas, deh,” sergah Clara ragu. “Dia


yang paling sibuk mengurus Erik kemarin.”

“ Bisa saja kan, supaya orang-orang nggak mencurigai dia?”

Perkataan Made membuat Clara berpikir seharian. Dia mungkin


benar. Bagas belum bisa dicoret dari daftar tersangka.

“Ra, kamu udah sehat?”

“Hei? Kamu nggak apa-apa?” Bagas bertanya lagi karena Clara


tak menjawab.

“Nggak apa-apa, Gas.”

“Gas?”

“Ya?”

“Boleh nanya?”

“Apa?”

“Kenapa sih kamu selama ini tertutup banget? Nggak pernah


bergaul sama yang lain?”
Bagas tampak terkejut mendengar pertanyaan Clara.

“Sori ya, kalau kamu tersinggung.”

“Eh ... nggak apa-apa. Nggak kok.”

Mereka terdiam lagi.

“Aku menetap di Bali sebetulnya baru dua tahun terakhir,”


secara mengejutkan, Bagas akhirnya bicara.

Hmm... Baru Clara paham kenapa Bagas tampak sulit


berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Sebetulnya Bagas
tidak sombong, hanya tidak tahu bagaimana mesti berteman.

Dalam hati, Clara merasa bersalah karena harus “memelihara”


kecurigaan kepada Bagas.

17. BAB 17 : Apa Pun, untuk FUSI

Sehari setelah penangkapan Bagas.

Telepon untuk Prasetyo ternyata datang dari Swastika, seorang


humas perusahaan pulp and paper yang kerap menjadi pendonor bagi
FUSI.

“Pak Tyo, mohon maaf sekali mesti menyampaikan kabar yang


tidak begitu menyenangkan,” nada suara Swastika terdengar rendah
dan penuh penyesalan.

Entah kenapa, Prasetyo merasa, bukan kebetulan jika


pembatalan pendanaan terjadi bertepatan dengan berita tentang Bagas
yang mencuat di media massa.

*
Seorang doktor di bidang Fisika. Itu yang semua orang tahu
tentang Prasetyo. Namun, jarang ada yang tahu bahwa pada suatu
ketika dia justru pernah membenci pelajaran ini.

Bunyi ketukan di pintu mengembalikan Prasetyo dari ingatan


masa lampaunya.

“Masuk,” serunya tak bersemangat. Perlahan, pintu terbuka.


Sesosok perempuan mungil melangkah ke dalam ruang kerjanya.
Mirna.

Ketika sudah di dalam, Mirna hanya menyodorkan lembaran


harian Nasional sebagai jawaban. Prasetyo meneliti lipatan yang
disodorkan stafnya. Disana termuat sebuah berita berjudul : “Limun
Sari Batalkan Donasi ke FUSI”.

“Jangan khawatir Bu Mirna, pemberitaan media memang suka


aneh-aneh.”

“Saya memikirkan para siswa kita,” cetus Mirna tegas.

“Tenang saja, nanti saya bicara dengan mereka.”

Dan soal dana, ya, Prasetyo akan mengatasinya. Prasetyo sudah


mempertaruhkan begitu banyak hal demi keyakinannya : bahwa inilah
cara memajukan Indonesia dengan Fisika. Inilah cara meujudkan
mimpinya : suatu hari nanti, suara Indonesia akan didengar di
panggung ilmiah Internasional. Dan, untuk mewujudkan mimpinya
itu, telah banyak pengorbanan yang dia lakukan.

18. BAB 18 : Gunung Berapi, Lentera Air, dan Gelembung (Rasa)

Minggu kelima belas, satu bulan menjelang keberangkatan.


Kegelisahan Prasetyo seperti bongkah gunung es di laut lepas.
Dingin dan nyaris tidak tampak. Dia memang berupaya sebisa
mungkin menutupi berbagai kabar tak mengenakkan tentang FUSI
dari para peserta pelatihan karena tak mau memecah konsentrasi
mereka. Untunglah, di luar kegemparan dan kecemasan yang mencuat
ke permukaan, beberapa peserta FUSI akhirnya memilih untuk tidak
ambil pusing dan menjalani apa yang bisa mereka jalani, tanpa mesti
terganggu oleh praduga-praduga yang tidak mengenakkan.

Khrisna, misalnya.

Suatu hari, Khrisna kelihatan sibuk sekali. Dia bolak-balik


membawa beberapa barang seperti tripleks, botol, dan masih banyak
lagi ke halaman belakang. Clara memergokinya ketika cowok itu
sedang membongkar-bongkar lemari dapur.

“Kamu mau eksperimen, ya?” todong Clara.

Khrisna terkekeh. “Tahu aja kamu. Aku bosen nih belajar soal
melulu,” ujarnya santai.

“Aku ikut, ya?”

Khrisna mengangguk.

“Kamu mau bikin apa?”

“Letusan gunung berapi!”

“Kita bisa mulai!” seru Khrisna.

“Yaaay!”

Dengan bersemangat, Clara menciptakan sebuah gunung. Entah


berapa lama mereka bekerja. Yang jelas, kini sudah terbentuk sebuah
gunung yang indah.
Kini, karya mereka sudah ampak sempurna. Baru mereka
tersadar kalau perut mereka keroncogan.

“Laper,” keluh Clara.

“Iya, aku juga. Makan yuk !” Khrisna menggamit lengan Clara.


Di dalam, mereka berpapasan dengan Reno.

“Hei, kalian berdua dari mana saja?” sapa Reno ingin tahu.

“Kami mau buat percobaan,” ujar Clara, yang kemudian


menceritakan rencaanya dengan Khrisna.

“Ehm,” sela Khrisna setelah Clara selesai menjelaskan, “tapi


nggak disini. Rencananya, kami mau ke Panti Asuhan Sinar Kasih di
depan situ,” terangnya.

Berita itu menyebar ke beberapa orang. Akhirnya sore itu,


berkumpullah Khrisna, Reno, Dimas, Made,George dan tentunya
Clara. Khrisna kemudian meminta Dimas, Made, dan George
membantunya membawa perlengkapan yang tadi sudah disiapkannya
bersama Clara.

Khrisna rupanya tidak hanya sudah menyiapkan bubur kertas.


Dia juga sudah membuat janji dengan anak-anak panti asuhan, melalui
perantaraan pengurus panti.

Dua minggu kemudian, Khrisna kembali mengajak Clara ke


Panti Asuhan Sinar Kasih. Kali ini, katanya dia akan membuat lentera
di bawah air.

Pada hari cerah yang lain lagi, Khrisna kembali “menculik”


Clara untuk menjadi sukarelawan pada presentasi percobaannya di
panti asuhan.
Begitulah Khrisna. Ada-ada saja keisengan kreatif yang
dikerjakannya. Tapi, toh Clara juga menikmati kesenangan-
kesenangan dari percobaan-percobaan lucu itu.

Beberapa hari kemudian, Clara menemukan Khrisna sedang


mengedit beberapa video percobaan yang dibuatnya, di halaman
belakang yang memang sering mereka gunakan untuk bersantai
sendirian. Dengan antusias, Clara bergabung bersamanya.

“Ra,” panggil Khrisna lembut.

“Bagi kamu, semuanya ini Cuma becandaan ya?”

“Mm-maksudnya ... ?” tanya Clara hati-hati, tak berani menatap


Khrisna.

“Ya, percobaan-percobaan kita kemarin, boneka yang aku kasih,


apa pun yang kita lakukan berdua, semua itu buat kamu Cuma
becandaan, ya?”

“Lah ... memangnya apa, kalau bukan becanda?” jawab Clara


sambil berusaha tertawa garing.

“Kalau buat aku sih, semuanya serius.”

Itu kalimat terakhir yang diucapkan Khrisna, sebelum dia


beranjak dan meninggalkan Clara sendirian di halaman belakang.

19. BAB 19 : [Meddy] Pengorbanan Orang Tercinta

Saya buka dompet, dan keluarkan selembar foto yang sudah


lusuh. Di situ ada foto saya berumur 8 tahun, sedang dirangkul oleh
Thomas. Thomas adalah kakak saya satu-satunya.

Ah, Thomas. Abang saya itu selalu bercita-cita ingin pergi ke


Belanda.
Ketika kerusuhan pecah di Ambon pada 1999, saya baru berusia
8 tahun. Saya anak kedua dari dua bersaudara. Abang saya, Thomas,
saat itu berumur 12 tahun.

Suatu hari, Mama dan Papa sedang tak ada di rumah. Saya
tinggal hanya dengan Thomas. Waktu itu, saya ingat betul. Ketika
sedang lelap dalam tidur siang, bahu saya tiba-tiba diguncang dengan
keras. “Bangun, Meddy, bangun!”

Wajah Thomas yang panik adalah wajah yang kali pertama saya
lihat begitu membuka mata. Saya terbangun kaget. Baru setengah
terjaga, Thomas sudah menarik tangan saya dengan keras, sampai
nyeri rasanya pergelangan tangan saya. Dari jendela, Thomas
mengajak saya mengintip keluar. Waktu itu, di depan rumah kelihatan
puluhan orang berlarian dijalan.

Ah, saya masih terlalu kecil waktu itu. Belum sempat saya
berpikir banyak, seorang lelaki melemparkan sepotong kayu yang
bersulut api ke arah rumah kami. Sepotong kayu itu melayang-layang
ke sebelah kanan jendela tempat kami mengintip. Refleks, Thomas
langsung menarik saya menjauh dari pintu.

Dalam sepersekian detik, eternit rumah kami pun jebol.


Terdengar desis api merambat dengan cepat. Semakin banyak asap
yang memenuhi ruangan. Saya mulai menangis. Saya sungguh-
sungguh takut!

“Meddy, berhenti menangis! Dengar kaka. Kau harus keluar dari


sini, bagaimanapun caranya.”

Saya hanya bisa mengangguk-angguk bingung. Thomas lalu


menunjuk ke lubang angin di dinding kamar mandi.

“Naik ke bahu kakak,” desis Thomas, seolah tak bisa dibantah.


Saya langsung naik ke pinggir bak, lalu memanjat ke bahu
Thomas. Kedua kaki saya kini melingkar di leher Thomas. Thomas
kemudian bangun perlahan-lahan, berusaha menjaga keseimbangan
dengan beban di atasnya.

Waktu itu, saya rasanya sudah tak bisa berpikir apa-apa. Yang
saya ingat, tangan saya bergerak terus-menerus, kalap dan tak terarah,
berusaha merusak kawat nyamuk itu. Sampai akhirnya saya berhasil
merobeknya. Lubang angin itu pun terbuka.

“Berhasil, Kak!”

“Keluar kau! Terobos lubangnya, cepat!”

Sambil menggeram, Thomas mendorong kepalanya ke atas


untuk membantu saya melewati lubang angin itu. Saya tidak tahu ada
apa di bawah sana. Yang saya tahu, kening saya membentur tanah,
dan sesaat kemudian kegelapan adalah satu-satunya hal yang bisa saya
ingat.

Ketika tersadar, wajah yang pertama saya lihat adalah wajah


Mama.

Entah untuk beberapa lama setelah itu, kami duduk berpelukan


dan bertangisan. Ketika saya mengangkat wajah, saya baru sadar
bahwa kami berada di balai desa yang penuh sesak dengan manusia.

“Ma, Kakak mana?” tanya saya ragu.

Senyap sesaat. Saya tak mendengar jawaban apa pun.

Lalu tiba-tiba, Mama melolong panjang. Beberapa detik


kemudian, Mama lemas lunglai dan jatuh pingsan.

Kenangan tentang Thomas adalah sesuatu yang menguatkan


saya untuk terus bersemangat meskipun jalan yang saya tempuh tak
selalu mudah. Setelah sebesar ini, baru saya sadar, Thomas telah
merelakan hidupnya untuk saya. Sampai kapan pun, saya akan terus
menghidupkan Thomas dan impian-impian Thomas di dalam diri
saya. Termasuk impian Thomas untuk pergi ke Belanda.

20. BAB 20 : Semesta Mendukung

Minggu ketujuh belas pelatihan.

Pada hari kerja, area Puncak, Bogor ini tampak cukup lengang.
Bram mengajak Tyo mampir ke sana. Kebetulan dia sedang
menangani program pelatihan untik guru-guru Fisika SD dan SMA.

“Agung sedang naik daun, tampaknya,”sela Bram.

“Ya, dan menarik dukungan lebih banyak funding,” sambung


Prasetyo. “Bagus jugalah, mungkin setelah ini dia nggak akan terlalu
banyak mengomentari FUSI,” tandasnya datar. Bram tertawa.

Prasetyo mengangkat bahu. “Dan kamu toh akhirnya berada di


kubu yang sama dengan dia.”

“Saya memang berseberangan pendapat dengan kamu. Tapi,


bukan berarti lantas satu kubu dengan dia, Yo. Cermati distingsinya,”
ujar Bram setelah berapa saat hanya membisu. “Dan bagaimana pun,
saya tatap respect dengan pilihan kamu, yang berjuang dengan cara
ini. Menurut saya, Olimpiade memang bukan jalan yang tepat, tapi
nggak berarti juga buruk.”

Prasetyo tak menyahut.

“Bagaimana Clara?”

“Clara baik-baik saja, Cuma nilai testnya menurun. Kamu


mungkin sudah tahu apa yang membuatnya resah saat ini.”

“Bagas?”
“Ah, dia bakal baik-baik saja. Aku kenal Clara.”

“Mungkin dia nggak akan baik-baik saja kalu dia gagal


berangkat olimpiade, Bram,” tukas Prasetyo getir.

“Eh, kenapa kamu berpikir begitu ? Dia bakal berangkat. Juga


peserta yang lainnya. FUSI akan berhasil mencetak prestasi memukau
yang sempat merosot dua tahun terakhir ini,” tandas Bram optimis.

“Sebenarnya, kegagalan atau ketakutan akan kegagalanlah yang


menghantuiku akhir-akhir ini.” Prasetyo tertunduk, seolah baru
membuat pengakuan dosa. “Kadang aku berpikir, mungkin kamu
benar. Mungkin Prof. Agung benar. Ini, FUSI, bukanlah jalan yang
tepat ....,” ucapannya menggantung di udara, tak sempat terselesaikan.

Bram tercenung. Dia mengenal Prasetyo cukup lama. Sepanjang


pengetahuannya, sahabatnya nyaris tak pernah kelihatan pesimistis.

“Mungkin FUSI butuh pembaruan. Mungkin kamu perlu mulai


berpikir tentang regenerasi, supaya nggak selalu kamu yang
mengelola semuanya, nyaris seratus persen seperti saat ini. Apa pun
itu, kita bisa atasi. Satu per satu, kawan. Kita pastikan dulu tim FUSI
berangkat bulan depan. Bagaimana pun hasilnya, itu lebih baik
daripada tidak bertanding sama sekali.”

Bram mengulurkan lengan dan menepuk punggung rekannya.


“Ingat, Yo, prinsip kita. Ketika kita melangkah dan memulai, segala
sesuatu di sekeliling kita pun akan berubah dan mengatur ulang diri
mereka.”

Prasetyo kembali menarik napas dalam.

“Ya, aku, percaya,” ujarnya lambat.

*
Situasi FUSI saat ini membuat pencarian dana dengan cara
biasanya, yakni dengan mengajukan proposal dan bernegosiasi dengan
funding kemungkinan akan membentur dinding.

Sementara Prasetyo menyiapkan perangkat publikasi, Bram


mulai mengontak alumni-alumni FUSI.

Selama seminggu penuh, mereka berdua fokus menjalankan


misi online dan offline itu, sementara peminaan dan pelatihan di FUSI
diserahkan sepenuhnya kepada Bu Mirna dan staf-staf honorer.

Ternyata masih banyak yang mendukung perjuangan FUSI, agar


lebih banyak orang Indonesia berlaga di Olimpiade Fisika.

Ekspresi wajah-wajah itu sungguh beragam, sulit dijelaskan.


Ada cemas, tegang, ada pula harapan. Prasetyo memandang siswa-
siswa binaannya bangga.

Prasetyo berdeham sebelum mulai bicara.

“Saya ingin menyampaikan bahwa saya dan segenap guru di


FUSI sangat bangga pada kerja keras kalian selama berbulan-bulan
ini. Kalian sungguh-sungguh luar biasa. Terlebih sejak apa yang
menimpa Bagas dan rentetan peristiwa setelahnya. Saya tahu, pasti
tidak mudah bagi kalian untuk tetap menjaga stamina dan konsentrasi
belajar.”

“Sekarang waktunya bagi saya untuk menyampaikan, bahwa


tidak ada yang akan berubah. Kita akan tetap melakukan tes evaluasi
terakhir dalam akhir minggu ini,” Prasetyo berhenti sebentar.

“... dan FUSI akan tetap memberangkatkan dua tim!” seru


Prasetyo pada akhirnya.

Suara riuh mendadak sontak memenuhi ruangan.


21. BAB 21 : Truth or Dare?

Minggu kedelapan belas di asrama.

Hari-hari lewat seperti kereta api cepat. Bagas, setelah melalui


proses investigasi, akhirnya positif tidak bisa ikut evaluasi.

Sementara di asrama ketegangan semakin terasa. Kurang dari


sebulan menjelang evaluasi akhir, tetapi Clara memutuskan untuk
berhenti berlatih soal.

Malamnya, di tangga asrama ...

“Ra!”

Clara terlonjak kaget ketika tiba-tiba ada yang menepuk


bahunya dari belakang.

“Sst!”

Ternyata Made. Cowok itu meletakkan telunjuknya di bibir


untuk mencegah Clara memekik.

“Sori aku ngagetin,” ujar Made lirih.

“Kenapa?” bisik Clara.

Made lalu menarik Clara ke pojok ruangan dan bicara dalam


bisik.

“Oh ya?” bisiknya tak percaya. Made mengangguk mantap.

“Trus ... gimana? Kamu mau ngapain?” kejar Clara.

“Tunggu aja. Aku punya rencana. Besok waktunya,” tandas


Made.

*
Akhir pekan, seminggu menjelang evaluasi akhir.

Malam itu mereka habiskan dengan berkumpul beramai-ramai


diruang tengah. Sebuah kejutan terjadi. Erik bermain gitar! Dia
memainkan gitar Bagas yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya.

Setelah malam beranjak makin larut, mereka mulai mencari


aaktivitas lain.

“Eh, main truth or dare yuk,” ajak Made tiba-tiba.

“Wah! Boleh juga, tuh,” sambar Robby bersemangat.

Separuh lebih dari mereka sudah mendapatkan giliran. Terakhir


adalah Made yang memilih dare dan disuruh memakai bedak dan
lipstik.

Kini giliran Made yang memutar botol. Setelah beberapa detik


terdiam seolah berpikir, Made lalu memutar botolnya pelan. Putaran
Made berhenti pada Angga.

“Suit-suit ... “

Angga terkekeh. “Truth aja lah ... ,” sergahnya buru-buru.

“Yakin?” tanya Made.

“Iya. Malas gue disuruh yang gitu-gitu ....”

“Baiklah. Angga, kenapa kamu memasukkan obat kedalam


minumanku dan Erik ?” tanya Made tenang.

Mendengar pertnyaan Made, wajah Angga langsung memias.


“Maksud lo apa?”

“Sudahlah Angga, aku tahu itu kamu. Awalnya aku ngga


nyangka. Tapi, aku mencari terus dan Tuhan memberikan petunjuk.”

“Angga sepertinya tidak bisa berkelit lagi. Mukanya merah


padam. Dia kemudian masuk ke dalam kamar dan membanting pintu.
22. BAB 22 : Menjelang Keberagkatan

Dua hari setelah evaluasi terakhir.

Ini adalah hari penentuan. Pukul 10 tepat, Pak Tyo dan beberapa
alumni sudah sampai di asrama.

“Saya ucapkan selamat pada kalian semua. Setiap kalian adalah


pemenang,” Pak Tyo menatap wajah mereka satu per satu.

Clara menunduk. Tangannya berkeringat. Diedarkannya


pandangan, diliriknya teman-temannya satu per satu diam-diam. Entah
kenapa, perutnya terasa melilit tanpa sebab. Barangkali dia tidak
sendirian. Seisi ruangan tampak tegang mendengarkan perkataan Pak
Tyo.

“Semua hasil penilaian bisa dilihat secara transparan. Tapi,


sekarang saya akan membacakan satu per satu nama-namanya saja,
berdasarkan ranking. Ini adalah akumulasi nilai evaluasi, nilai tugas,
dengan nilai evaluasi akhir yang memiliki bobot terbesar.” Pak Tyo
memberi jeda sejenak, sebelum membuka lipatan kertas ditangannya
dan mulai membaca.

Pak Tyo menutup lipatan kertas yang dipegangnya. Dua belas


orang sudah disebut. Hanya tiga nama yang tidak terdengar gemanya
di ruangan itu.

“Untuk tiga orang yang namanya tidak saya sebut : Khrisna,


Sandy dan Angga, tolong ikut ke ruangan saya, ya.”

Mereka diajak bicara oleh Pak Tyo di ruangan terpisah.

Tanpa terasa, dua hari berlalu. Mestinya sore nanti Sandy dan
Khrisna akan bertolak pulang. Tiba-tiba, terdengar suara berisik
langkah berlari menaiki tangga, susul menyusul dengan dengus napas
yang tak beraturan.
“He? Kenapa Khris? Kok heboh banget?”

“Barusan Pak Tyo panggil aku. Katanya ...,” Khrisna berhenti


sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. “Karena prestasi kita yang
baik tahun ini, FUSI memutuskan untuk memberangkatkan semua
peserta ke Olimpiade.”

Mendengar penjelasan Khrisna, Clara kontan melafalkan


“what” tanpa suara, sebelum akhirnya terpekik girang dan melompat
dari kursinya.

23. EPILOG : And The Journey Begins ...

Olimpiade Fisika Internasional, H-2.

“Mohon perhatian, penumpang Garuda Indonesia dengan nomor


penerbangan GA 832 tujuan Singapura, dipersilahkan masuk ke ruang
tunggu B-1.

Ruang tunggu. Entah kenapa, ketika pengumuman itu bergema


di Bandara Soekarno-Hatta, jantung Clara tiba-tiba berdetak lebih
kencang. Wajahnya terasa menghangat. Napasnya menggelora.

Ini waktunya, Ra, batinnya sambil mengempas napas. Diraihnya


tas punggung yang digeletakkannya di kaki tempat duduknya,
gamang.

“Ra, selamat ya.” Entah sejak kapan ayahnya, yang sedari tadi
mengobrol dengan Pak Tyo, sudah berdiri di samping kursinya.

Setelah berpamitan dengan ayah Clara, Pak Viktor dan Pak


Asep yang turut melepas kepergian mereka, rombongan FUSI pun
bergegas masuk ke ruang tunggu keberangkatan.

Di barisan paling depan, Clara melihat Pak Tyo melangkah


mantap, semantap mereka yang mengikuti di belakangnya. Semantap
niat mereka untuk bertanding, dan keyakinan mereka akan keajaiban
semesta. Semesta, yang akan selalu mendukung mereka.

D. UNSUR INTRINSIK
1. Tema

Novel berjudul Clara’s Medal ini merupakan sebuah novel dengan


tema pendidikan, khususnya di bidang Fisika. Novel ini menceritakan
tentang kehidupan para peserta FUSI (Fisika Untuk Siswa Indonesia)
selama masa pelatihan dan perjuangan mereka agar bisa berangkat
mengikuti Olimpiade Fisika Internasional meskipun banyak kendala yang
di hadapi.

2. Tokoh
1) Clara 18) Bambang
2) Bu Mirna 19) Sandy
3) Angga 20) Khrisna
4) George 21) Meddy
5) Made 22) Robby
6) Pak Tyo 23) Bima
7) Erik 24) Sofia Irawan
8) Bagas 25) Pak Toro
9) Dimas 26) Purwanto
10) Arief 27) Maria
11) Bram Wibisono 28) Alam
12) Pak Udin 29) Johanis
13) Bu Atik 30) Swastika
14) Pak Asep 31) Prof. Agung
15) Pak Viktor 32) Mappedjandji
16) Finka 33) Thomas
17) Reno
3. Penokohan
a. Clara :
- Sopan
“Clara mengangguk, laluminta izin melihat-lihat ke dalam
rumah.” (halaman 46)
- Peduli terhadap orang lain
“Barangkali hanya Clara yang masih memikirkan Bagas.”
(halaman 14)
- Selalu ingin tahu
“Kenapa sih Pa, air di termos selalu panas?” (halaman 139)
- Sabar
“Clara hanya tetap mencoba bersikap sopan meski dalam hati
ingin menjerit” (halaman 149)
- Pekerja keras
“Padahal, Clara mencapai semua itu dengan kerja kerasnya
sendiri!” (halaman 150)
- Jujur
“Clara melakukan semua ini dengan cara yang
jujur.”(halaman 150)

b. George :
- Taat beribadah
“Dia selalu rajin bangun pagi untuk berdoa...” (halaman 1)
- Tenang
“...sementara yang dibuntuti tampak tenang...” (halaman 7)
- Percaya diri
“Sementara wajah George kelihatan percaya diri.”
- Sabar
“Sa memilih menahan diri meskipun telinga terasa panas.”

c. Angga :
- Suka mencibir
“Angga mencibir.” (halaman 5)
- Percaya diri
“Cowok itu mengakhiri penjelasannya dengan penuh percaya
diri.” (halaman 52)
- Sopan terhadap orang yang lebih tua
“Sendiri aja, Pak, jemputnya? Tanya angga sopan”
- Sinis
“...justru memandang sinis ...” (halaman 207)

d. Bagas :
- Cuek
“...terkenal paling cuek, paling sombong, dan tidak pernah
mau membaur dengan teman-teman yang lain.” (halaman 17)
- Sombong
“...terkenal paling cuek, paling sombong, dan tidak pernah
mau membaur dengan teman-teman yang lain.” (halaman 17)
- Individualis
“...terkenal paling cuek, paling sombong, dan tidak pernah
mau membaur dengan teman-teman yang lain.” (halaman 17)
- Tulus
“Kemarin, dia kelihatan begitu tulus menolong Erik.”
(halaman 296)
- Peduli orang lain
“Bagas membopong Erik ke kamar,”

e. Erik :
- Pemalu
“Cowok itu memang pemalu banget.” (halaman 59)
- Individualis
“...dan ingin menyembunyikan diri”

f. Bu Mirna :
- Ramah
“...sapa Bu Mirna ramah.”(halaman 86)
- Pendiam
“...Bu Mirna yang cenderung pendiam,” (halaman 162)
- Sabar
“... Bu Mirna yang cenderung pendiam, sabar,...” (halaman
162)
- Tegas
“...cetus Mirna tegas.”

g. Pak Tyo :
- Ramah
“Halo, adik-adik! Sekarang kita akan istirahat dan makan
siang,” (halaman 71)
- Optimis
“Matanya berbinar, menyiratkan keyakinan dan optimisme.”
(halaman 102)
- Rendah hati
“saya bukan orang hebat.” (halaman 102-103)
- Ekspresif
“...Pak Tyo selalu lebih berapi-api dan ekspresif,” (halaman
103)
- Egois
“Kamu bisa keluar kapan saja dari FUSI kalau kamu memang
tidak sepakat.” (halaman 136)
- Menghargai orang lain
“Tampak sekali bahwa mereka tetap menghargai satu sama
lain.” (halaman 137)

h. Bram Wibisono :
- Tenang dan Kalem
“sementara ayah Clara cenderung lebih tenang dan kalem.”
(halaman 103)
- Optimis
“Papa selalu optimis...” (halaman 113)
- Ramah
“...tanya Papa sambil tersenyum lebar.” (halaman 114)
- Menghargai orang lain
“Tampak sekali bahwa mereka tetap menghargai satu sama
lain.” (halaman 137)
- Penyayang
“Mau ke mana, Tuan Putri? kata ayahnya di belakang setir,”
(halaman 438)

i. Arief :
- Rajin
“... yang rajin mandi.” (halaman 167)
- Taat beribadah
“...dia yang paling rajin shalat,” (halaman 167)

j. Made :
- Humoris
“Pada saat-saat senggang, pertanyaan-pertanyaan seru
memang sering muncul dari Made.” (halaman 193)

k. Meddy :
- Optimis
“Aku percaya, ...” (halaman 359)

4. Latar
a. Tempat
1) Asrama
“Asrama ini cukup lapang.” (halaman 46)
2) Ruang komputer
“Dia buru-buru naik ke ruang komputer...” (halaman 29)
3) Ruang tengah
“Ketika semua orang sudah berkumpul di ruang tengah...”
(halaman 73)
4) Ruang belajar
“Seluruh peserta diminta berkumpul di ruang belajar...”
(halaman 91)
5) Halaman belakang
“Di halaman belakang ternyata sudah ada tumpukan pasir.
(halaman 95)
6) Tangga asrama
“Malamnya, di tangga asrama ... (halaman 404)
7) Rumah sakit
“Ktika sampai di rumah sakit,...” (halaman 281)
8) Panti asuhan
“Khrisna kembali mengajak Clara ke Panti Asuhan Sinar
Kasih.” (halaman 344)
9) Pulau Ayer
“Clara akan menghabiskan malam, hanya bersama ayahnya,
di Pulau Ayer.” (halaman 440)

b. Waktu :
1) Pagi hari
“Saat itu baru pukul 06.30.” (halaman 1)
2) Siang hari
“selamat siang semua.” (halaman 73)
3) Malam hari
“Malamnya ,...” (halaman 32)
4) Dini hari
“jam di ruang tengah sudah menunjukkan pukul 02.00 dini
hari.” (halaman 168)
5) Sore hari
“Waktu itu sore hari,...” (halaman 264)

c. Suasana
1) Gundah
“...sahutnya sambil berusaha tersenyum, menutupi
perasaannya yang gundah.” (halaman 16)
2) Tenang
“Meskipun tampak tenag di permukaan, ...” (halaman 27)
3) Hening
“Suasana jadi sempat hening karena kedatangan Bagas...”
(halaman 87)
4) Tegang
“Aura ruangan jadi terasa tegang.” (halaman 94-95)
5) Bahagia
“Sebelum akhirnya terpekik girang ...” (halaman 431)

5. Alur / Plot
Alur pada novel berjudul Clara’s Medal yaitu alur maju mundur (alur
campuran).

6. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang
orang ketiga serba tahu, hal tersebut dapat kita ketahui dengan melihat
adanya kata ganti (dia) dalam novel ini.

7. Amanat
Amanat yang dapat diambil dari novel ini diantaranya yaitu :
a. Jangan menilai seseorang yang belum kita kenal betul, karena
bisa saja penilaian yang kita berikan itu salah.
b. Kita harus saling membantu dengan sesama, terutama jika yang
membutuhkan bantuan adalah teman kita sendiri.
c. Walaupun kita bersaing dengan teman dalam hal prestasi, tapi hal
itu bukanlah suatu alasan untuk tidak berteman baik dengan
mereka.
d. Belajarlah untuk bersabar dalam menghadapi segala cobaan,
karena kesabaran dapat menghasilkan sesuatu yang baik.
e. Jika kita mau berusaha untuk mewujudkan impian kita, maka kita
pasti dapat mewujudkannya.

E. Unsur Ekstrinsik

1. Agama
Didalam novel ini diceritakan ada beberapa peserta pelatihan FUSI
diantaranya yaitu Arief , George, dan sebagian yang lain yang tetap
taat beribadah tepat pada waktunya meski mereka disibukkan dengan
program pelatihan untuk mempersiapkan kemampuan mereka dalam
mengikuti Olimpiade. Prestasi mereka pun sangat baik. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan maupun impian
yang kita miliki tidak hanya dicapai dengan belajar saja, tetapi juga
harus diimbangi dengan doa agar hasil yang didapat lebih baik lagi.

2. Sosial
Nilai sosial yang terkandung dalam novel ini dapat dilihat dari adanya
kepedulian antar sesama peserta pelatihan FUSI, semuanya akan
saling membantu satu sama lain.

3. Budaya
Dalam novel ini terdapat pula nilai budaya, karena para peserta
pelatihan berasal dari daerah yang berbeda-beda di seluruh Indonesia
sehingga mereka bisa saling berbagi informasi mengenai kebudayaan
maupun sejarah daerah masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai