Di SUSUN OLEH :
NPM : B2015006
KELSA : II B
JURUSAN KEBIDANAN
T.A 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
ini yang berjudul “manajemen asuhan kebidanan neonatus,bayi balita dan anak
prasekolah”
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami
ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen.
Demi tercapainya makalah yang sempurna.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bayi harus selalu berada disamping sejak segera setela elahirkan
sampai pulang dibantu secara emosianal, penggunaan air susu ibu atau ASI,
pencegahan infeksi, pendidikan kesehatan. Bayi akan memperoleh kehangatan
tubuh ibu,suara ibu, kelembutan dan kasih sayang ibu. Dengan rawat gabung
bayi dapat disusui dengan frekuensi yang lebih serig dan menimbulkan reflek
prolaktin yang memacu produksi ASI dan reflek oksitosin yang membantu
pengeluaran ASI.pemberian ASI dapat dilakukan sedini mungkin.
Dan juga melakukan imunisasi merupakan keadaan anak menjadi
kebal terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortabilitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu.
Pemberian imunisasi pada anak mempunyai tujuan agar tubuh kebal
terhadap penyakit tertentu, kebebalan tubuh juga dapat dipengaruhi beberapa
faktor diantaranya terhadat tingginya kadar anti body saat dilakukan imunisasi,
potensi antigen yang disuntikkan, waktu antara pemberian imunisasi.dalam
memberikan asuhan
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang terlibat dalam asuhan kebidanan neonatus,bayi,balita dan
anak pra sekolah ?
2. Perubahan fisiologi seperti apa yang dialami bayi baru lahir ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang asuhan kebidanan neonatus,bayi,balita dan
anak pra sekolah.
2. Untuk mengetahui perubahan dan adaptasi fisiologi bayi baru lahir.
BAB II
PEMBAHASAN
e. Hidung
Bentuk dan lebar hidung, pola pernafasan, kebersihan.
f. Mulut
Bentuk simetris/tidak, mukosa mulut kering/basah, lidah, palatum,
bercak putih pada gusi, refleks menghisap, adakah labio/palatoskisis,
trush, sianosis.
g. Leher
Bentuk simetris/tidak, adakah pembengkakan dan benjolan, kelainan
tiroid, hemangioma, tanda abnormalitas kromosoman lain-lain.
h. Klavikula dan lengan tangan
Adakah fraktur klavikula, gerakan, jumlah jari.
i. Dada
Bentuk dan kelainan bentuk dada, puting susu, gangguan pernafasan,
auskultasi bunyi jantung dan pernafasan.
j. Abdomen
Penonjolan sekitar tali pusat pada saat menangis, perdarahan tali pusat,
jumlah pembuluh darah pada tali pusat, dinding perut dan adanya benjolan,
distensi, gastroskisis, omfalokel, bentuk simetris/tidak, palpasi hati, ginjal.
k. Genetalia
Kelamin laki-laki : panjang penis, testis sudah turun berada dalam
skrotum, orifisium uretrae diujung penis, kelainan (fimosis,
hipospodia/epispadia). Kelamin perempuan : labia mayora dan labia
minora, klitoris, orifisium vagina, orifisium uretra, sekret, dan lain-lain.
l. Tungkai dan kaki
Gerakan,bentuk simetris/tidak, jumlah jari, pergerakan, pes
equinovarus/pes equinovalgus.
m. Anus
Berlubang/tidak, posisi, fungsi spingter ani, adanya atresia ani, meconium
plug syndrome, megacolon.
n. Punggung
Bayi tengkurap, raba kurvatura kolumna vertebralis, skoliosis,
pembengkakan, spina bifida, mielomeningokel, lesung/bercak berambut,
dan lain-lain.
o. Pemeriksaan kulit
Verniks caseosa, lanugo, warna, udem, bercak, tanda lahir, memar.
p. Reflek
Berkedip, babinski, merangkak, menari/melangkah, ekstrusi, galant’s,
moro’s, neck righting, palmar grasp, rooting, startle, menghisap, tonic neck.
5. Mempertahankan suhu normal bayi
Mempertahankan bayi baru lahir yang sakit atu kecil (berat lahir kurang
dari 2500 gr atau umur kehamilan 37 minggu), perlu penambahan
kehangatan tubuh untuk mempertahankan suhu normal, bayi dapat cepat
terjadi hiptermia dan untuk menghangatkan kembali untuk membutuhkan
waktu yang lama. Resiko komplikasi dan kematian meningkat secara
bermakna bila suhu lingkungan tidak optimal.
a. Prinsip umum
1. Bayi harus tetap berpakaian atau diselimuti setiap saat, agar tetap
hangat walau dalam keadaan dilakukan tindakan. Misal bila pasang
jalur infuse intravena,atau selama resusitasidengan cara :
Memakai pakaian dan mengenakan topi.
Bungkus bayi dengan pakaian yang kering yang lembut dan
selimut.
Buka bagian tubuh yang diperlukan untuk pemantauan atau
tindakan.
2. Rawat bayi kecil di ruang hangat dan bebas dari angin
3. Jangan letakan bayi dengan benda yang dingin (misalnya dinding
dingin atau jendela) walaupun bayi dalam incubator atau dibawah
pemancar panas.
4. Jangan letakan bayi langsung di permukaan yang dingin (misalnya
tempat tidur atau meja periksa dengan kain atau selimut hangat
sebelum bayi diletakan).
5. Timbang berat badan bayi setiap 2-3 hari, untuk memantau setatus
berat badan.
b. Pengukuran suhu tubuh
Lajukan pengukuran suhu tubuh sesuai tabel B-1 di bawah ini, kecuali
ada petunjuk langsung dalam bab yang berkaitan dengan masalah ini.
Ada 5 yaitu :
Kontak kulit dangan kulit
Kangaroo mothercare
Pemanar panas
Inkubator
Ruangan yang hangat
7. Reflek crawling
Jika kita memposisikan bayi tengkuarap maka si bayi akan
memposisikan kakinya seolah-olah akan merangkat. Hal tersebut
terjadi dikarenakn ketika didalam kandungan posisi kaki bayi tertekuk
kearah kakinya.
8. Reflek stepping
Jika bayi dipegang pada bagian ketiaknya kemudian diposisikan
seperti berdiri, maka bayi akan memposisikan kakinya tungkai
diluruskan seakan akan mau jalan.
9. Reflek babinski
Apabila kita meletakkan tangan kita pda telapak tangan atau
telapak kaki pada bayi maka tangan dan kaki bayi akan muncul respon
mengkerutkan jari jarinya seolah olah ingin menggenggam.
10. Reflek plantar
Ketika kita menyentuh telapak bayi dengan lembut maka jari
jari bayi akan mencengkeram sangat erat.
11. Reflek menghisap
Jika kita sentuh daerah sekitar bibir bayi maka bayi akan
memutar kepalanya kearah rangsangan dan membuka mulutnya
sebagai pertanda bayi siap untuk disusui.
12. Reflek swimming
Gerakan mengayuh dan menendang seperti berenang akan
muncul ketika bayi diletakkan dalam tempat yang berisi air. Reflek
swimming biasanya akan mulai menghilang ketika bayi sudah
menginjak usia 4 bulan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Refleks adalah suatu respons involunter terhadap sebuah
stimulus. Secara sederhana lengkung refleks terdiri dari organ
reseptor, neuron aferen, neuron efektor dan organ efektor. Sebagai
contoh ialah refleks patella. Pada otot terdapat serabut intrafusal
sebagai organ reseptor yang dapat menerima sensor berupa regangan
otot, lalu neuron aferen akan berjalan menuju medula spinalis melalui
ganglion posterior medulla spinalis. Akson neuron aferen tersebut
akan langsung bersinaps dengan lower motor neuron untuk
meneruskan impuls dan mengkontraksikan otot melalui serabut
ekstrafusal
B. Saran
Behman, et., Edisi Kelimabelas, 1999, Ilmu Kesehatan Anak, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Habel, A., 1990, Ilmu Penyakit Anak, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Latar Belakang
Pandangan tentang realitas seperti yang dipahami oleh kedua bentuk rasionalime dan
emperisme, didasarkan pada penyempitan realitas menjadi terbatas pada alam tabi’i,
yang dianggap satu-satunya tingkat realitas.[1] Penyempitan demikian merupakan
akibat dari reduksi daya dan kemampuan fakultas kognitif dan indera kepada lingkup
realitas lahiriah saja. Dalam sistem ini, ilmu dianggap abash hanya jika ia terkait
dengan tatanam peristiwa-peristiwa (fisik) alam kejadian serta hubungan-hubungan
yang terdapat di dalamnya; dan tujuan penelitian hanyalah menggambarkan dan
mensistematisasi apa yang terjadi di alam, yakni keseluruhan objek-objek dan
kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu. Alam-alam tabi’i, diungkapkan dalam
istilah-istilah naturalistik dan rasional yang tegas, yang telah dikosongkan dari makna
ruhaniah atau tafsiran simboliknya, dan karenanya mereduksi asal-usul dan realitasnya
semata-mata pada kekuatan-kekuatan alamiah belaka.[2]
Dan kemudian munculla penyangkalan intuisi dan otoritas yang mengatakan bahwa
rasionalisme yang filosofis maupun yang sekular,dan emperisme cenderung
menyangkal otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode ilmu yang sah,
rasionalisme dan empirisme bukannya menyangkal adanya otoritas dan intuisi kepada
nalar dan pengalaman inderawi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan di atas, dalam makalah ini dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut;
BAB II
PEMBAHASAN
A. Epistemologi Intuisionisme
Dalam Kamus Ilmiah dinyatakan bahwa Intuisionisme adalah suatu anggapan bahwa
ilmu pengetahuan dapat dicapai dengan pemahaman langsung. Aggapan bahwa
kewajiban moral tidak dapat disimpulkan sendiri tanpa pertolongan dari Tuhan. Intuisi
tertinggi tersebut menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.[3]
Intuisionisme muncul pada permulaan tahun 1920-an dalam kaitan dengan polemik
tentang prinsip-prinsip teoritis matematika. Menurut intuisionisme, pemikiran
matematis yang tepat/pasti dilandasi intuisi konstruksi logis, semua matematika
dilandasi intuisi semacam ini. Dan karenanya, objek-objek matematis tidak ada secara
terpisah dari pasangan-pasangan logisnya. Untuk menghindari paradoks-paradoks,
bukti matematis harus didasarkan logika ketat, penjelasan intuitif. Bukti ini benar
jikalau seseorang mengerti secara intuitif setiap tahapnya, yang dimulai dari titik-titik
keberangkatan dan aturan-aturan penalaran. Itulah sebabnya dapat diterapkan hukum-
hukum logis dan aturan-aturan pada akhirnya diputuskan oleh intuisi [4].
Aliran intuisi ini lahir sebagai reaksi kritik terhadap aliran rasionalisme dan empirisme,
tokoh aliran ini adalah Henri Bergson (1854-1941). Henri Bergson berpendapat bahwa
tidak hanya indera yang terbatas, tetapi akalpun demikian, objek-objek yang kita
tangkap itu selalu berubah.
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa indera dan akal memiliki keterbatasan
dalam memahami suatu objek. Indera dan akal dapat memahami suatu objek jika ia
mengkonsentrasikan dirinya pada objek tersebut. Dengan menyadari keterbatasan
indera dan akal, Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang
dimiliki manusia, yaitu intuisi. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatakan
melalui proses penalaran tertentu. Ini merupakan penalaran hasil evolusi pemahaman
tertinggi dan intuisi tersebut menangkap objek secara langsung tanpa melalui
pemikiran.
Bagi intuisionisme, pengalaman lain (pengalaman bathiniah) disamping pengalaman
yang dihayati melalui indera. Tesa yang dikembangkan oleh paham ini ternyata
memiliki sisi yang memberatkan melalui penerjemahan kedalam simbol-simbol,
sehingga kita akan berbicara mengenai pengetahuan yang sifatnya subjektif.
Seseorang yang pemikirannya terpusat pada suatu masalah, tiba-tiba saja kita
menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berfikir yang
berlaku, tiba-tiba saja sudah sampai pada suatu kesimpulan (Jawaban) suatu
permasalahan yang dipikirkan yang artinya intuisi ini bekerja dalam keadaan yang
tidak sepenuhnya sadar.
Suatu masalah yang sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui
jalan buntu, tiba-tiba muncul dibenak kita lengkap dengan jawabannya, kita merasa
yakin bahwa itulah jawaban yang kita cari, namun kita tidak bisa menjelaskan
bagaimana caranya sampai di sana.[5]
Disini yang dimasukkan intuisi bukan intuisi secara dalam arti biasa, melainkan
tindakan-tindakan pengetahuan yang lebih tinggi yang sungguh-sungguh atau
diandaikan mendekati kesiapan dan kepenuhan intuisi rohani. Pendekatan semacam
ini kurang lebih terjadi dalam pemahaman kreatif mengenai hubungan-hubungan
diantara hal-hal, khususnya kadang-kadang pendekatan ini terjadi dalam individu-
individu yang mendapat karunia yang tinggi. Namun demikian, sebagian besar intuisi
ini mengandaikan keakraban dengan obyek dalam waktu lama dan melalui
pertimbangan, dan karenanya intuisi harus dibenarkan melalui pemikiran.[6] Pada
akhirnya lahirlah aliran intuisi ini sebagai reaksi kritik terhadap aliran rasionalisme
dan emperisme, tokoh aliran ini adalah Henri Bengson (1854-1941).[7]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa indra dan akal memiliki keterbatasan
dalam memahami suatu objek. Indra dan akal juga dapat memahami suatu objek jika
ia mengkonsentrasikan dirinya pada objek tersebut. Dan karenanya, mereduksi asal-
usul realitasnya semata-mata pada kekuatan-kekuatan alamiah belaka.
Intuisi sebagai sumber dan metode ilmu yang sah[8]. rasionalisme dan emperisme
bukanya menyangkal adanya otoritas dan intuisi, tetapi mereduksi otoritas dan intuisi
kepada nalar dan pengalaman inderawi, adalah benar bahwa pada mulanya, otoritas
dan intuisi, penalaran dan pengalaman selalu berasal dari seorang yang menalari dan
mengalami, tetapi ini tidak kemudian berarti bahwa karena itu otoritas dan intuisi dapat
direduksi kepada nalar dan pengalaman inderawi belaka. Jika kita menerima bahwa
pada tingkat kesadaran manusia normal saja nalar dan pengalaman inderawi memiliki
tingkat-tingkat yang batasnya dapat dikenali, maka tidak berdasarlah kalau
menganggap bahwa tidak ada tingkat-tingkat pengalaman dan kesadaran manusia yang
lebih tinggi, yang melampoi batas-batas akal dan pengalaman normal, dimana ada
tingkatan intelektual dan ruhaniah, serta pengalaman yang batas-batasnya hanya di
ketahui oleh tuhan.
Mengenai Intuisi, kaum rasionalis, sekularis, emperis, dan psikolog pada umumnya
telah menyempitkannya pada pengamatan inderawi dan menyimpulan logis yang telah
amat lama direnungkan oleh pikiran, yang maknanya tiba-tiba saja terpahamkan, atau
intuisi direduksi pada bangunan emosional dan indera laten, yang terbebas seketika
dalam proses pemahaman yang tiba-tiba. Meskipun demikian, karena hepotesis dan
teori, sains, menurut mereka, mensyaratkan adanya hubungan antara teori atau
hipotesis tersebut dengan fakta hasil pengamatan, dan karena kecondongan terhadap
salah satunya tidak ditentukan oleh suatu kriteria kebenaran objektif, maka kebenaran
itu sendiri diupayakan sedemikian hingga dapat mendukung fakta-fakta, maka
kecondongan demikian hanya ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif
dan selera semata, yang bergantung pada kesepakatan umum.
Keraguan
Keraguan adalah pergerakan antara dua yang saling ketergantungan tanpa ada
kecenderungan pada salah satunya. Ia merupakan keadaan yang tak bergerak di
tengah-tengah dua hal yang bertentangan tanpa kecondongan hati terhadap salah
satunya. Kalau hati lebih condong pada yang satu, bukan pada yang lainnya, sementara
tidak menolak yang lainnya tersebut, maka keadaan ini dugaan.
Jadi yang dipersepsi oleh indera-indera itu bukanlah realitas sesungguhnya dalam
dirinya sendiri, melainkan Sesutu yang menyerupai atau merupakan representasi dari
realitas itu, sebagaimana yang tertangkap oleh indera-indera itu. Yang disebut realitas
lahiriah adalah sesuatu terhadapnya pancaindera yang melakukan kerja abstraksi, yang
menghasilkan rupa. Demikian juga dalam hubungannya dengan makna, yang
merupakan representasi realitas yang di tanamkan ke dalam diri, karena telah
menyarikan dan membebaskan (melakukan abstraksi) aksiden-aksiden yang melekat
padannya, yang bukan merupakan hakekatnya seperti kualitas, kuantitas,ruang, dan
posisinya. Sedangkan makna adalah apa yang dipersepsikan oleh indera batin dari
objek inderawi tanpa terlebih dahulu dipersepsi indera lahir.
Mengenai “akal yang sehat” kita tidak memaksudkannya dalam artinya yang hanya
terbatas pada unsur-unsur inderawi, atau pada fakultas mental yang secara logis
mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi menjadi citra
akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses abstraksi, atau yang melaksanakan
kerja abstraksi fakta-fakta dan data inderawi serta hubungan keduanya, dan
mengaturnya dalam suatu aturan yang menghasilkan hukum-hukum, sehingga
menjadikan alam dapat dipahami. Sesungguhnya, akal memang adalah semua ini,
tetapi lebih dari itu, kita berpendapat bahwa semua ini hanyalah merupakan salah satu
aspek akal. Dalam artinya yang lebih luas dan penuh, akal ini bekerja selaras,bukan
bertentangan. Akal adalah suatu ubstansi ruganiah yang melekat dalam organ ruhaniah
pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu,yang merupakan tempat terjadinya
intuisi.[9]
Eksistensi waktu dan intensitas waktu oleh manusia diukur dengan alat-alat yang
berbeda, yaitu dengan “intelek” dan intuisi. Intelek mengana lisa, menghitung, dan
mengukur, dan membandingkan. Intuisi adalah unsur yang menangkap kebebasan,
elan vital dan keberlangsungan. “keberlangsungan”hanya dialami sebagai
keseluruhan. Seperti suatu melodi didengar sebagai keseluruhan dan tidak sebagai
deretan bunyi-bunyi yang terpisah satu sama lain. Intuisi membebaskan manusia dari
ketertutupan waaktu matematis. Keberlangsungan tidak ada, melainkan menjadi
keberlangsungan tidak dapat ditangkap dalam kategori-kategori tetap.
Intuisi ini merupakan milik eksklusifia manusia. Berkat intuisinya dunia terbuka untuk
manusia. Intuisi adalah kekuatan yang terus menerus mendorong kita untuk
memperbaharui pola-pola statis. Itu juga berlaku untuk moral dan agama
institusional.[10]
2. Intuisi murni atau formal (a priori), yang menyusun apa yang diberikan oleh intuisi
emperus menjadi sensasi yang memiliki kwalitas wujud dalam ruang dan waktu.
Anschouung adalah kata bahasa jerman untuk intuisi yang digunakan oleh Kant, yang
memiliki konotasi penampakan; persepsi; sesuatu yang hadir dan diorganisir pikiran
secara langsung dan cepat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat dipetik dari pembahasan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Intuisionisme, bukan hanya indera yang memiliki keterbatasan, tetapi akalpun juga
demikian. Objek- objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, aliran intuisionisme mengembangkan
suatu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Intuisi ini
merupakan hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Dan intuisi tersebut menangkap
objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
B. Saran
Mengingat makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karena itu, kritik dan saran
yang sifatnya membangun penulis harapkan dari berbagai pihak demi pengembangan
penulis kedepannya. Akhirnya, semoga makalah ini memberi manfaat kepada
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Harry Hamersma. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Cet. V; jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama. 1992.
Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, Cet. 1X; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2004.
Lorens Bagus. Kamus Filsafat, Cet. IV; Jakarta: PT.Gremedia Pustaka Utama), 2005.
Rahmat Jalaluddin. Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat. Cet. 1; Bandung: Remaja
Rosda Karya. 1995.
Syed Muhammad Naquib Al-attas, Diterjemahkan Dari Islam And The Philosophyof
Science, Cet. 1; Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1995.
http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/teori-teori-epistemologi.html,
Catatan Kaki
[1] Saiful Musani, Diterjemahkan dari Islam and the Philosophy of Science (Cet. 1.
Bandung: Misan Anggota IKAPI), h. 28.
1. Pendahuluan
Di dalam ilmu filsafat dikenal tiga obyek kajian filsafat. Pertama, ontologi. Ontologi
adalah asas filsafat yang menegaskan “hakikat sesuatu dibalik sesuatu”. Kedua,
epistemologi. Epistemologi diartikan kerangka berpikir (cara berpikir) untuk
menelaah suatu objek. Ketiga, aksiologi. Aksiolologi diartikan pada nilai (value) atau
kegunaan.
Ilmu filsafat memiliki aliran-aliran (mazhab) yang menjadi asumsi dasar sumber
pengetahuan. Rasionalisme, empirisme, intuisionisme. Rasionalisme adalah aliran
filsafat yang mengunggulkan akal (rasionalitas) manusia untuk menjustifikasi sebuah
kebenaran. Aliran rasionalisme sudah diproklamirkan Socrates di zaman yunani
kuno. Socrates memandang kejadian pada saat itu di Yunani mengalami krisis
pemikiran, mengapa? Karena Socrates melihat gejolak sosial yang “tidak beres”,
masyarakat Yunani menyembah dewa-dewa yang mereka buat sendiri. Melalui
mitologi Dewa Zeus, Dewa Atlas, dll. yang bagi masyarakat itu adalah Tuhan.
Socrates menilai, mana mungkin Tuhan diciptakan oleh mereka sendiri dalam
bentuk seni rupa (patung). Penyebaran ajaran rasionalisme oleh Socrates dianggap
menyesatkan oleh otoritas raja Yunani. Akhirnya, Socrates dihukum minum racun
hingga wafat.
Aliran kedua adalah empirisme. Empirisme adalah sebuah aliran dalam filsafat yang
mengunggulkan pengamatan inderawi (common sense). Empirisme menolak
anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika
dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume,
George Berkeley dan John Locke. Dua aliran tersebut, melahirkan aliran yang
menjadi penengah, yaitu Kritisisme. Kritisisme mencoba menjembatani antara
rasionalisme dan empirisme, bahwa kebenaran yang diperoleh dengan rasio tetap
memerlukan empirisme.
Aliran Ketiga adalah aliran intuisionisme. Intuisionisme adalah suatu aliran filsafat
yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia,
yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Henri Bergson. Intuisionisme selalu
berdebat dengan rasionalisme.
Ketiga aliran dalam ilmu filsafat tersebut. Menyebar secara sporadis dengan berbagai
pisau analisis kehidupan. Agama, Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya, dll. Penyebaran
filsafat untuk mengalisis segala bentuk sendi kehidupan manusia. Perkembangan
pemikiran multidisipliner ilmu pengetahuan, baik dari yang begitu besar hingga
sekarang ini. Para filsuf dari zaman Yunani kuno, hingga zaman posmodernisme
(zaman sekarang ini) merupakan perkembangan dari campur tangan filsafat.
Mungkin tak banyak yang diketahui orang kalangan masyarakat bahwa filsafat
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Pada Makalah ini, kita akan membahas secara khusus aliran intuisionisme yang
mengutamakan intuisi atau gerak hati atau bisikan hati untuk mendapatkan atau
menemukan kebenaran.
1. Pengertian
Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa secara bahasa, intuisionisme (berasal dari
bahasa Latin, intuitio yang berarti pemandangan.[1] Sedangkan ahli yang lain
mengatakan bahwa intuisionisme, berasal dari perkataan Inggris yaitu intuition yang
bermakna gerak hati atau disebut hati nurani.[2]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, intuisi diartikan dengan bisikan hati, gerak
hati atau daya batin untuk mengerti atau mengetahui sesuatu tidak dengan berpikir
atau belajar.[3] Perbedaannya dengan firasat atau feeling, kata intuisi lebih banyak
digunakan untuk hal-hal yang bersifat metafisika atau di luar jangkauan rasio,
biasanya dipakai untuk menyebut indera keenam.
Jujun S. Sumantri menggambarkan intuisi pada, suatu masalah yang sedang kita
pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul di
benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang
itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya
kita sampai di sana.[4]
Pengertian diatas memberi penjelasan bahwa manusia memiliki gerak hati atau
disebut hati nurani. Gerak hati mampu membuat manusia melihat secara langsung
suatu perkara benar atau salah, jahat atau baik, buruk atau baik secara moral. Ia
dirujuk sebagai suatu proses melihat dan memahami masalah secara spontan juga
merupakan satu proses melihat dan memahami suatu masalah secara intelek.
Pengetahuan intuitif ini merupakan pengetahuan langsung tentang suatu hal tanpa
melalui proses pemikiran rasional. Namun kemampuan seperti ini bergantung kepada
usaha manusia itu sendiri.
Secara fisik organ yang berkaitan dengan gerak hati atau intusi tidak diketahui secara
jelas. Sebagian ahli filsafat menyebutnya sebagai jantung dan ada juga yang
menyebutnya otak bagian kanan. Pada praktiknya intuisi muncul dalam bentuk
pengetahuan yang tiba-tiba hadir dalam sadar tanpa melalui penalaran yang jelas,
tidak analitik dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul tanpa kita rencanakan, ketika
diam ataupun bergerak. Dengan kata lain pemikiran intuisionis ialah sejenis
pengetahuan yang lebih tinggi dan berbeda dengan yang diperoleh secara individu.
Kemunculan ide yang meledak secara tiba-tiba dalam memberikan tafsiran terhadap
sesuatu perkara boleh dikaitkan dengan aliran pemikiran ini.
Intuisi disebut juga sebagai ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir
begitu saja secara tiba-tiba, namun ia juga tidak terjadi kepada semua orang
melainkan hanya jika seseorang itu sudah berfikir keras mengenai suatu masalah.
Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami tekanan, lalu
dia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka saat itulah intuisi
berkemungkinan akan muncul. Bahkan intuisi sering disebut separo rasional atau
kemampuan yang berbeda pada tahap yang lebih tinggi dari rasional dan hanya
berfungsi jika rasio telah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada tempat yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu penggalaman
emosional dan spiritual. Kelemahan akal adalah karena ia ditutupi oleh banyak
perkara. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) akal tidak pernah mampu mencapai
pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara
yang dilihat terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak
terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.[6]
Dalam tradisi Islam, mengenal juga istilah pengetahuan yang diperoleh manusia
melalui intuisi dan kontemplasi atau dikenal dengan istilah ma‘rifat al-qalb setelah
melewati proses riyadhah dan mujahadah sehingga terjadi mukasyafah, atau yang
lebih dikenal dengan metode ‘irfani. Secara tekstual, kata al-‘irfan berasal dari kata
‘arafa-ya‘rifu-‘irfaanan wa ma‘rifatan, yang berarti “tahu atau mengetahui atau
pengetahuan”. Dalam filsafat Yunani, istilah ‘irfani ini disebut “gnosis”, yang
artinya sama dengan ma‘rifat, yaitu pengetahuan yang didapat dari pancaran hati
nurani. Istilah ma‘rifat kemudian banyak digunakan oleh kaum sufi dalam pengertian
sebagai: “ilmu yang diperoleh melalui bisikan hati atau ilham ketika manusia mampu
membukakan pintu hatinya untuk menerima pancaran cahaya dari Tuhan”. Keadaan
hati yang terbuka terhadap cahaya kebenaran dari Tuhan ini disebut al-kasysyaaf atau
al-mukaasyafah.[7]
Memang tidak mudah bagi seseorang untuk bisa mencapai mukaasyafah dan
memperoleh ma‘rifat, ia harus melewati beberapa station atau maqaamaat, yaitu
beberapa tahapan perjalanan spiritual yang panjang dan berat, berupa riyaadhah dan
mujaahadah untuk mensucikan jiwa dan mengasah hati dalam berkomunikasi dengan
Tuhan. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggunakan lafadz al-`irfan
dengan berbagai bentuk. Lafadz-lafadz tersebut secara umum digunakan dalam
konteks pengertian, pengetahuan yang mendalam, pengetahuan tentang kebenaran,
pengetahuan tentang kebaikan, dan pengetahuan tentang kebenaran yang
bersemayam di kedalaman jiwa.[8]
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding
sumber lainnya dikembangkan oleh filosof Muslim, yang paling terkenal diantaranya
adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi
(iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631).
Secara epistemologis, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang diperoleh melalui
pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran
dan hakikat sesuatu objek. Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini
sebagai rasa yang mendalam (zauq) yang berkaitan dengan persepsi batin. Dengan
demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan kepada
seseorang dan dipatrikan pada kalbunya sehingga tersingkaplah olehnya sebagian
rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas.perolehan pengetahuan ini bukan
dengan jalan penyimpulan logis sebagaimana pengetahuan rasional melainkan
dengan jalan kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan
wawasan spiritual yang prima.
Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa intuisi sebenarnya adalah naluri (instinct)
yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada kehidupan
dalam (batin). Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-
hal yang vital. Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan “elan vital” atau dorongan
yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung, bukan dengan
intelek.[11]
Salah satu tokoh aliran intuisionisme ini adalah Henry Bergson (1859-1941).
Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk
penghayatan langsung (intuitif),di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya,
dalam beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi,
kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui
intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suau jenis
pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang
diungkapkan oleh indera dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam
penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan
langsung yang mengatasi (trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari indera
dan akal. Selain itu ia juga beranggapan tidak hanya indera yang terbatas, akal juga
terbatas. Objek – objek yang kita tangkap adalah objek – objek yang selalu berubah.
Jadi pengetahuan tentangya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal
hanya memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu. Jadi
dalam hal seperti itu, manusia tidak mengetahui secara keseluruhan (unique), tidak
juga memahami sifat – sifat yang tetap dalam objek. Akal hanya mampu memahami
bagian – bagian dari objek, kemudian bagian – bagian itu digabung oleh akal. Itu
tidak sama dengan pengetahuan menhyeluruh tentang objek itu.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal seperti diterangkan di atas, Bergson
mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh manusia, yaitu
intuisi. Ini adalah hasil pemikiran evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan
ini mirip dengan instinct, tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya.
Pengembangan kemampuan ini (intuisi). Memerlukan sutu usaha. Kemampuan inilah
yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, dan unique. Intuisi ini
menangkap objek secara langsung, tanpa melalui pemikiran. Jadi, indera dan akal
hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi
dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap.
Intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simbolis, yang pada dasrnya bersifat
analitis. Yang memberikan keseluruhan yang bersahaja. Yang mutlak tanpa suatu
ungkapan, terjemahan atau penggambaran secara simbolis. Maka menurut Bergson,
instuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui sacara langsung dan seketika. Bergson
juga mengembalikan sagala sesuatu pada kata hati. Tapi pengaruhnya kalau kita
mengambil keputusan berdasarkan kata hati, maka kita akan selalu berprasangka.
Jadi, tidak semua hal itu berdasarkan intuisi.
Untuk analisis, tidak semua analisis klasikal diterima atau dipahami secara
intuisionistik, tetapi tidak ada analisis intusionistik secara klasik diterima. Brouwer
mengambil langkah ini dengan segala konsekuensinya dengan sepenuh hati. Bukan
berarti pandangan Brouwer ini tidak ada yang mendukung. Di luar negaranya,
Belanda, pandangan ini didukung oleh Herman Weyl. Brouwer memegang prinsip
bahwa matematika adalah aktivitas tanpa-perlu-diutarakan (languageless) yang
penting, dan bahasa itu sendiri hanya dapat memberi gambaran-gambaran tentang
aktivitas matematikal setelah ada fakta.
Hal ini membuat Brouwer tidak mengindahkan metode aksiomatik yang memegang
peran utama dalam matematika. Membangun logika sebagai studi tentang pola dalam
linguistik yang dibutuhkan sebagai jembatan bagi aktivitas matematikal, sehingga
logika bergantung pada matematika (suatu studi tentang pola) dan bukan sebaliknya.
Semua itu digunakan sebagai pertimbangan dalam memilah antara matematika dan
metamatematika (istilah yang digunakan untuk ‘matematika tingkat kedua’), yang
didiskusikannya dengan David Hilbert.
Inovasi ini memberi intuisionisme mempunyai ruang gerak lebih besar daripada
matematika konstruktif aliran-aliran lainnya (termasuk di sini disertasi Brouwer)
adalah pilihan-pilihan dalam melihat suatu deret. Banyak diketahui deret-deret
bilangan tak-terhingga (obyek obyek matematikal lain) dipilih mendahului yang
lainnya oleh setiap matematikawan sesuai keinginan mereka masing-masing.
Memilih suatu deret memberi mereka impresi awal secara intuisi menerima obyek
yang ditulisnya pada buku yang terbit pada tahun 1914.; prinsip yang membuat
secara matematika mudah dikerjakan, prinsip berkesinambungan, yang
diformulasikan pada kuliah Brouwer pada tahun 1916.
Selain dari Henry Bergson dan Brouwer, dikenal juga sebagai tokoh Intuisionisme
adalah Arend Heyting dan Dummett.[16]
Dummet menegaskan bahwa arti suatu pernyataan tidak bisa memuat suatu unsur
yang tidak menunjukkan penggunaannya. Untuk membuatnya, harus berdasarkan
pemikiran individu yang memahami arti tersebut. Jika dua individu secara bersama
setuju dengan penggunaan pernyataan yang dibuat, maka mereka pun menyetujui
artinya. Alasannya bahwa arti pernyataan mengandung aturan instrumen komunikasi
antar individu. Jika seorang individu dihubungkan dengan simbol matematika atau
formula, dimana hubungan tersebut tidak berdasar pada penggunaan, kemudian dia
tidak dapat menyampaikan muatan tersebut dengan arti simbol atau formula tersebut,
maka penerima tidak akan bisa memahaminya.
Acuan arti pernyataan matematika secara umum, harus mengandung kapasitas untuk
menggunakan pernyataan pada alur yang benar. Pemahaman seharusnya dapat
dikomunikasikan kepada penerima. Sebagai contoh, seseorang mengerti ekspresi
yang ada dalam bahasa “ jika dan hanya jika”.
1. Kritik dan Kelemahan Aliran Intuisionisme
Apa yang diketahui secara intuitif bagi seseorang belum tentu sama bagi orang lain.
Artinya cara seseorang mendapatkan pengetahuan yang pasti itu, tidak atau belum
tentu berlaku bagi orang lain.
Pengetahuan intuisi ini kebenarannya sulit diukur. Karena berasal dari lapisan hati
nurani seseorang yang terdalam. Benar tidaknya sangat tergantung kepada keyakinan
orang tersebut. Oleh karenanya sulit diterangkan kepada orang lain. Orang lain
maksimum hanya bisa meniru perilakunya yang dianggap sesuai dengan hati
nuraninya sendiri.
1. Penutup
Intuisionisme adalah gerak hati, bisikan hati, atau kemampuan memahami sesuatu
tanpa harus difikirkan, yang secara terminologi diartikan secara sebagai aliran atau
paham dalam filsafat dalam memperoleh pengetahuan dengan mengutamakan intuisi
atau gerak hati atau bisikan hati. Secara Epistemology, pengetahuan intuitif berasal
dari intuisi yang diperoleh melalui pengamatan secara langsung, tidak mengenai
objek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat suatu objek.
Daftar Pustaka :
1. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum; Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
Bandung: Remaja Rosda karya, 2001
2. Aqa, Rasionalisme dan Intuisionisme, Makalah, 23 Oktober 2009
3. Douglas V. Steere, “Mysticism” a Handbook of Christian Theology, New
York: World, 1958
4. Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2007
5. Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan
Bintang,1984
6. Jujun S.Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, 1990
7. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat : Intuisionisme, Yogyakarta: Tiara
wacana yogya, 2004
8. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz al-
Thaqafi al-‘Arabi, 1993
9. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,
2006
10. William James, The Varieties of Religious Experience, New York: The
Modern Liberty, 1932