Anda di halaman 1dari 45

Evaluasi Program Pelatihan

Disusun Oleh :

Evi Togi Priana Purba

Heni Nur Rismawati

Lola Vitta Loka

Virika Pratiwi

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) PEMBANGUNAN


TANJUNGPINANG

T.A 2018
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1.1 Pengertian Evaluasi Program Pelatihan

Dalam peningkatan, pegembangan, dan pembentukan


sumber daya manusia dilakukan melalui upaya pembinaan,
pendidikan, dan pelatihan. Pelatihan pada hakikatnya mengandung
unsur-unsur pembinaan dan pendidikan. Pelatihan merupaka suatu
fungsi manajemen yan perlu dilaksanakan terus-menerus dalam
rangka pembinaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi.
Secara spesifik, proses pelatihan merupakan srangkaian tindakan
atau upaya yang dilaksanakan secara berkesinambungan, bertahap
dan terpadu. Setiap proses pelatihan harus terarah untuk mencapai
tujuan tertentu terkait dengan upaya pencapaian tujuan organisasi.

Evaluasi merupakan suatu komponen dalam manajemen


program pelatihan. Suatu kegiatan pelatihan harus dimulai dan
diakhiri dengan kegiatan evaluasi, sehingga proses pelatihan dapat
dinyatakan lengkap dan menyeluruh. Manajemen pelatihan memiliki
karakteristik tersendiri, dan evaluasi diarahkan untuk mengontrol
ketercapaian tujuan. Dengan evaluasi dapat diketahui efektifitan
dan efisiensi kegitan pelatihan yang telah dilaksanakan. Selain itu
evaluasi juga memberikan gambaran tentang tingkatan
keberhasilan peserta, hambatan-hambatan yang ada, kelemahan-
kelemahan dan kekuatan-kekuatan yang dirasakan.

Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses


dan hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu
program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien. Evaluasi
pelatihan merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data dan
informasi yang diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi
pelatihan lebih difokuskan pada peninjauan kembali proses
pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan yang
dikaitkan dengan kinerja SDM.

Evaluasi program pelatihan adalah usaha pengumpulan


informasi dan penjajagan informasi untuk mengetahui dan
memutuskan cara yang efektif dalam menggunakan sumber-
sumber latihan yang tersedia guna mencapai tujuan pelatihan
secara keseluruhan. Evaluasi pelatihan mencoba mendapatkan
informasi-informasi mengenai hasil-hasil program pelatihan,
kemudian menggunakan informasi itu dalam penilaian. Evaluasi
pelatihan juga memasukkan umpan balik dari peserta yang sangat
membantu dalam memutuskan kebijakan mana yang akan diambil
untuk memperbaiki pelatihan.

Evaluasi program pelatihan merupakan pengumpulan secara


sistimatis terhadap informasi deskriptif dan penilaian yang
diperlukan untuk membuat keputusan pelatihan yang efektif terkait
dengan seleksi, adopsi, nilai, dan modifikasi aktivitas pembelajaran
yang bervariasi (Werner dan Desimon, 2006 dalam Kaswan, 2011).
Kaswan (2011) menjabarkan definisi tersebut menjadi tiga poin
penying yaitu, pertama, informasi deskriptif yang dimaksud
memberikan gambaran tentang apa yang sedang dan telah terjadi,
sedangkan informasi penilaian mengkomunikasikan pendapat atau
kepercayaan tentang apa yang telah terjadi. Kedua, penilaian
meliputi pengumpulan informasi secara efektif menurut rencana
yang ditentukan sebelumnya untuk memastikan bahwa informasi
itu cocok dan bermanfaat. Terakhir, evaluasi dilakukan untuk
membantu manajer, karyawan dan professional HRD membuat
keputusan berdasarkan informasi mengenai program dan metode.
Brikerhoff dalam widoyoko (2009), menjelaskan bahwa
evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan
pendidikan dapat dicapai. Menurut Brikerhoff, dalam pelaksanaan
evaluasi ada tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu penentuan
focus yang akan dievaluasi (focusing the evatuation), penyusunan
desain evaluasi (designing the evatuation), pengumpulan informasi
(collecting information), analisis interpretasi informasi (analysing
and interpreting), pembuatan laporan (reporting information),
pengelolaan evaluasi (managing evaluation) dan evaluasi untuk
evaluasi.

Ernest J. McCormick (1985:231) mengemukakan : “As


Goldstein and Buxton (1952) point out, the evaluation of training
centers around two interacting concerns : 1. The establishment of
meansures of success; and 2. The experimental design used in the
evaluation”(Prabu, 2003)

1.1.1 Pengertian Evaluasi

Evaluasi merupakan bagian dari sistim manajemen yaitu


perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Tanpa Evaluasi, maka tidak akan diketahui bagaimana kondisi objek
evaluasi tersebiut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya.
Istilah evaluasi sudah menjadi kosakata dalam bahasa Indonesia.
Akan tetapi kata ini telah menjadi kata sarapan dari bahasa Inggris
yaitu evalution yang berarti penilaian atau pekasiran. Sedangkan
munurut istilah “evaluasi merupakan kegiatan yang terencana
untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan
instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk
memperoleh kesimpulan.
Menurut Arikunto (2010: 1). Evalusi sebagai sebuah proses
menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang
direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.

Menurut Husni (2010: 5-6). Menyatakan evaluasi adalah suatu


proses untuk menyediakan informasi mengenai hasil penilaian atas
permasalahan yang ditentukan. Dalam kutipan buku (Widodo Eka
Suparno, 2015)

Evaluasi pada umunya dilakukaan untuk mengumpulkan


informasi mengenai sesuatu program kegiatan atau proyek.
Informasi ini biasanya berguna untuk pengambilan keputusan,
seperti penyempurnaan lebih lanjut dari suatu kegiatan, atau
pengehentian suatu kegiatan proyek, atau penyebarluasan suatu
gagasan yang mendasari suatu kegiatan yang sedang diujicobakan.
Suharsini Arikunto (2002: 13) mendefinisikan evaluasi dengan lebih
dahulu menjelaskan tentang mengukur dan menilai. Mengukur
adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran yang bersifat
kuantatif. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap
sesuatu dengan ukuran baik buruk dan bersifat kuantatif.
Sedangkan mengadakan evaluasi meliputi kedua langkah diatas,
yaitu mengukur dan menilai. Dengan demikian evaluasi adalah
menilai (tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu) (Dewi,
2016)

Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi


yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan
harga dan jasa (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai,
desain, implementasi dan dampak untuk membantu keputusan.
Membantu pertanggung jawaban dan meningkatkan pemahan
terhadap fenomena. Menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi
adalah penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan.

1.1.2 Pengertian Program

Menurut Wiryanto Dewabroto program adalah hasil


penyusunan detail langkah-langkah solusi (algoritma) masalah
tersebut. Sementara menurut Sindunata progam adalah kelompk
pernyataan yang persis dan berurutan yang gunanya adalah untuk
memberi tahu komputer bagaimana melaksanakan sesuatu
pekerjaan.

1.1.3 Pengertian Pelatihan

Dalam kutipan buku (Fajar Siti Al, 2010) pelatihan adalah


proses pembelajaran yang melibatkan penguasaan keterampilan,
konsep, aturan-aturan, atau sikap untuk meningkatkan kinerja
karyawan (Byars dan Rue, 2004). Pelatihan adalah proses
pembelajaran keterampilan dasar yang dibuthkan oleh karyawan
baru untuk melaksanakan pekerjaaanya (Dessler, 2003). Secara
prinsip kedua pengertian tersebut adalah sama yaitu pelatihan
merupakan proses pembelajaran yang ditujukan kepada karyawan
agar pelaksanaan pekerjaannya memuaskan.
Pelatihan dapat didefinisikan sebagai suatu upaya sistematis
untuk meningkatkanpengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
dan sikap kerja (behaviors), para karyawan melalui proses belajar.
Dengan training pengembangan diri (self development), diharapkan
pegawai dapat bertambah wawasan, berubah sikap, dan
berkembang kepribadian, Kirkpatrick (2009).

Menurut Mutiara Sibarani (2002:14), peltihan merupakan


suatu proses belajar mengajar terhadap pengetahuan dan
ketrampilan tertentu serta sikap agar peserta semakin terampil dan
mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, sesuai
dengan standar. Sedangkan Rivai, (2004) menyatakan bahwa,
Pelatihan adalah proses secara sistimatis mengubah tingkah laku
pegawai untk mencapai tujuan organisasi. Supaya efektif, pelatihan
biasanyanharus mencakup pengalaman belajar (learning
experience), aktifitas-aktifitas terencana (be a planned organization
activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan
yang paling dapat dilihat dan paling umum dari semua aktifitas
kepegawaian. Pelatihan juga sering dipakai sebagai solusi atas
persoalan kinerja organisasi.

Secara umum pelatihan merupakan bagian dari pendidikan


yang menggambarkan suatu proses dalam pengembangan
organisasi maupun masyarakat. pendidikan dengan pelatihan
merupakan suatu rangkaian yang tak dapat dipisahkan dalam sistim
pengembangan sumber daya manusia, yang didalamnya terjadi
proses perencanaan, penempatan, dan pengembangan tenaga
manusia. Dalam proses pengembangannya dupayakan agar sumber
daya manusia dapat diberdayakan secara maksimal, sehingga apa
yang menjadi tujuan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia
tersebut dapat terpenuhi.

Mathis and Jackson (2003) menyatakan bahwa, pelatihan


adalah sebuah proses dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk
membantu pencapaian tujuan-tujuan organisasional. Dalam
pengertian terbatas, pelatihan memberikan karyawan pengetahuan
dan keterampilan yang spesifik dan data diindentifikasi untuk
digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Selanjutnya Mondy and
Noe (2005) mendefenisikan, pelatihan sebagai jantung dari suatu
usaha yang dirancang secara kontinyu untuk meningkatkan
kemampuan serta kinerja organisasi. Dengan dilaksanakan kegiatan
pelatihan, maka para karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya
dengan cepat dan baik, peralatan dapat digunakan dengan baik dan
benar.

1.1.4 Pengertian Evaluasi Program

Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang


dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan
program. Ada beberapa pengertian tentang program sendiri. Dalam
kamus (a) program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan
yang dilakukan dengan seksama. Melakukan evaluasi program
adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa
tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan
(Suharsimi Arikunto, 1993; 297)

Menurut Tyler (1950) yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto


dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah
proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan telah
terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963) dan
Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi
Safruddin Abdul Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah upaya
menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil
keputusan.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa


evaluasi program merupakan proses pengumpulan data atau
informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan
alternatif kebijakan.

Goldstein dan Buxton berpendapat bahwa evaluasi pelatihan


dapat didasarkan pada kriteria (pedoman dan ukuran kesuksesan),
dan rancangan percobaan.

Kriteria dalam evaluasi pelatihan: Kriteria yang dapat


digunakan sebagai pedoman dari ukuran kesuksesan pelatihan,
yaitu kriteria pendapat, kriteria belajar, kriteria perilaku dan hasil

1. Kriteria Pendapat

Pendapat dilakukan untuk mengukur tingkat pendapat yang


didisain agar mengetahui opini dari para peserta pelatihan
mengenai program pelatihan. Pembelajaran mengetahui sejauh
mana daya serap peserta program pelatihan pada materi pelatihan
yang telah diberikan. Perilaku diharapkan setelah mengikuti
pelatihan terjadi perubahan tingkah laku peserta (karyawan) dalam
melakukan pekerjaan. Hasil untuk menguji dampak pelatihan
terhadap kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan.
Kriteria Pendapat ini sama halnya dengan mengukur tingkat
kepuasan peserta pelatihan. Komponen-komponen yang termasuk
dalam level reaksi ini yang merupakan acuan untuk dijadikan
ukuran. Komponen-komponen tersebut berikut indikator-
indikatornya adalah :

 Instruktur/ pelatih. Dalam komponen ini terdapat hal yang


lebih spesifik lagi yang dapat diukur yang disebut juga
dengan indikator. Indikator-indikatornya adalah kesesuaian
keahlian pelatih dengan bidang materi, kemampuan
komunikasi dan ketermapilan pelatih dalam mengikut
sertakan peserta pelatihan untuk berpartisipasi.
 Fasilitas pelatihan. Dalam komponen ini, yang termasuk
dalam indikator-indikatornya adalah ruang kelas, pengaturan
suhu di dalam ruangan dan bahan dan alat yang digunakan.
 Jadwal pelatihan. Yang termasuk indikator-indikator dalam
komponen ini adalah ketepatan waktu dan kesesuaian waktu
dengan peserta pelatihan, atasan para peserta dan kondisi
belajar.
 Media pelatihan. Dalam komponen ini, indikator-indikatornya
adalah kesesuaian media dengan bidang materi yang akan
diajarkan yang mampu berkomunikasi dengan peserta dan
menyokong instruktur/ pelatihan dalam memberikan materi
pelatihan.
 Materi Pelatihan. Yang termasuk indikator dalam komponen ini
adalah kesesuaian materi dengan tujuan pelatihan,
kesesuaian materi dengan topik pelatihan yang
diselenggarakan.
 Konsumsi selama pelatihan berlangsung. Yang termasuk
indikator di dalamnya adalah jumlah dan kualitas dari
makanan tersebut.
 Pemberian latihan atau tugas. Indikatornya adalah peserta
diberikan soal.
 Studi kasus. Indikatornya adalah memberikan kasus kepada
peserta untuk dipecahkan.
 Handouts. Dalam komponen ini indikatornya adalah berapa
jumlah handouts yang diperoleh, apakah membantu atau
tidak.

2. Kriteria Belajar

Pada tahap ini untuk mengetahui sejauh mana daya serap peserta
program pelatihan pada materi pelatihan yang telah diberikan, dan
juga dapat mengetahui dampak dari program pelatihan yang diikuti
para peserta dalam hal peningkatan knowledge, skill dan attitude
mengenai suatu hal yang dipelajari dalam pelatihan. Pandangan
yang sama menurut Kirkpatrick, bahwa evaluasi pembelajaran ini
untuk mengetahui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang diperoleh dari materi pelatihan. Oleh karena itu
diperlukan tes guna utnuk mengetahui kesungguhan apakah para
peserta megikuti dan memperhatikan materi pelatihan yang
diberikan. Dan biasanya data evaluasi diperoleh dengan
membandingkan hasil dari pengukuran sebelum pelatihan atau tes
awal (pre-test) dan sesudah pelatihan atau tes akhir (post-test) dari
setiap peserta. Pertanyaan-pertanyaan disusun sedemikian rupa
sehingga mencakup semua isi materi dari pelatihan.

3. Kriteria Prilaku
Pada tahap ini, diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi
perubahan tingkah laku peserta (karyawan) dalam melakukan
pekerjaan. Dan juga untuk mengetahui apakah pengetahuan,
keahlian dan sikap yang baru sebagai dampak dari program
pelatihan, benar-benar dimanfaatkan dan diaplikasikan di dalam
perilaku kerja sehari-hari dan berpengaruh secara signifikan
terhadap peningkatan kinerja/ kompetensi di unit kerjanya masing-
masing.

4. Kriteria Akhir

Hasil akhir tersebut meliputi, peningkatan hasil produksi dan


kualitas, penurunan harga, peningkatan penjualan. Tujuan dari
pengumpulan informasi pada level ini adalah untuk menguji
dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara
keseluruhan. Sasaran pelaksanaan program pelatihan adalah hasil
yang nyata yang akan disumbangkan kepada perusahaan sebagai
pihak yang berkepentingan. Walaupun tidak memberikan hasil yang
nyata bagi perusahan dalam jangka pendek, bukan berarti program
pelatihan tersebut tidak berhasil. Ada kemungkinan berbagai faktor
yang mempengaruhi hal tersebut, dan sesungguhnya hal tersebut
dapat dengan segera diketahui penyebabnya, sehingga dapat pula
sesegera mungkin diperbaiki.

2.1 Tujuan Program Evaluasi Pelatihan


2.1.2 Tujuan Pelatihan

2.1.3 Tujuan Evaluasi Pelatihan

Setiap kegiatan yang dilaksanakan pasti mempunyai tujuan, dengan


demekian juga dengan evaluasi. Menurut Arikunto (2002;13),ada
dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum diarahkan kepada program secara keseluruhan, sedangkan
tujuan khusus lebih difokuskan pada masing-masing komponen.
Menurut Crawford (2000;30) ,tujuan dan atau fungsi evaluasi adalah
sebagai berikut ;
1. Untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan telah tercapai dalam kegiatan.
2. Untuk memberikan objektivitas pengamatan terhadap
perilaku hasil.
3. Untuk mengetahui kemampuan dan menentukan kelayakan
4. Untuk memberikan umpan balik bagi kegeiatan yang
dilakukan.
Pada dasarnya tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan
bahan-bahan pertimbangan untuk menentukan atau membuat
kebijakan tertentu, yang diawali dengan suatu proses pengumpulan
data yang sistematis.
2.1.4 Tujuan Program Pelatihan
Penyelenggaraan program pelatihan dapat mengembangkan
kompetensi tenaga kerja meningkatkan kemampuan,
produktifitas,dan kesejahteran. Secara rinci tujuan-tujuan dari
pelatihan menurut (Simamora Henry, 2004) adalah sebagai
berikut :
1. Memperbaiki kinerja karyawan yang tidak memuaskan karena
kekurangan keterampilan.
2. Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan
kemajuan teknologi.
3. Mengurangi waktu pembelajaran bagi karyawan baru agar
kompeten di dalam pekerjaan.
4. Membantu memecahkan masalah operasional.
5. Mempersiapkan karyawan untuk promosi
6. Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.
3.1 Model Evaluasi Program Pelatihan

Evaluasi program ditujukan supaya fleksibel dan spesifik


untuk mondisi tertentu, dalam artian untuk menjawab pertanyaan,
menguji hipotesis atau menjelaskan proses program. Evaluasi
difokuskan untuk memperoleh informasi yang dapat menurunkan
ketidakpastiaan mengenai masalah yang dihadapi selama evaluasi
(Mc.David & Hawthorn; 2006; p.375)

Evaluasi sebaiknya melibatkan sistem yang mengumpukan


informasi yang verifiable pada suatu program dan menunjukkan
fakta dari hasil dan efektifitas biaya. Tujuan adanya untuk
menghasilkan data yang kredibel, obyektif dan berguna secara
berkala untuk alokasi sumber daya, perbaikan dan akuntabilitas
program (Office of The Controller General of Canada; 1981;p.3)
salah satu permasalahan ketika kita hendak melakukan evaluasi
adalah pemilihan model yang dianggap paling sesuai terhadap
program yang hendak dievaluasi. Pemilihan model evaluasi ini
menjadi penting karena setiap program memiliki karakteristik yang
berbeda dan setiap model evaluasi memiliki asumsi, pendekatan,
terminology, dan logika berpikir yang berbeda pula. Oleh karenanya
pengunaan lebih dari satu moedel dalam satu evaluasi sangat tidak
disarankan karena justru akan memunculkan kerancuan dan
benturan logika antar model.

Meskipun setiap model evaluasi tetap memilki keterbatasan,


namun pemilihan model yang tepat akan berimplikasi langsung
terhadap kualitas informasi yang dihasilkan oleh suatu evaluasi.
Kualitas informasi dalam suatu evaluasi bisa menjadi ukuran
keberhasilan suatu evaluasi. Sebab tujuan evaluasi adalah
menyediakan informasi bagi pengambil keputusan mengenai suatu
program untuk menentukan apakah suatu program diteruskan
dengan perbaikan, atau diteruskan dengan pengembangan.

Evaluator biasanya tergnatung pada manajer program untuk


memperoleh informasi-informasi kunci, dan akses kepada
organisasi, sunber data dan sumber evaluasi lain. Hubungan
kerjasama antar evaluator dengan manajer sangat dipengaruhi oleh
tujuan evaluasi keengganan kerjasama dari manajer dapat terjadi
apabila masa depan program dipertaruhkan (McDavid & Hawthorn;
p.376) untuk menentukan jenis atau model evaluasi yang hendak
digunakan, seorang evaluator biasanya mempertimbankan dua hal
yaitu jenis program yang hendak dievaluasi dan tujuan atau untuk
kepentingan apa suatu evaluasi dilakukan.

Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli


yang dapat dipakai dalam mengevaluasi program pelatihan.
Krikpatrick, salah seorang ahli evaluasi program training dalam
bidang pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi
yang diberi nama Krikpatrick’s training evaluation model juga
menunjukkan model model lain yang dapat dijadikan sebagai
pilihan dalam mengadakan evaluasi terhadap sebuah program
training. Model-model yang ditunjuk tersebut diantaranya adalah :
1) CIPP Model (Daniel Stufflebeam’s); 2) Evaluasi Model Brinkerhoff;
3) Evaluasi Model Krikpatrick; 4) Evaluasi Model Stake (Model
Countenance), 5) Evaluasi Model CSE-UCLA. Dari berbagai model
tersebut di atas akan diuraikan secara singkat beberapa model.

Model model evaluasi yang satu dengan yang lainnya


memang tampak bervariasi, akan tetapi maksud dan tjuannya sama
yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang
berkenaan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi
yang terkumpul dapat diberikan kepada pengambil keputusan agar
dapat dengan tepat menentukan tidak lanjut tentang program yang
sudah di evaluasi. Pemilihan model evaluasi yang akan digunakan
tergantungan pada tujuan evaluasi. Dalam pelaksanaan evaluasi
program pembelajaran keterampilan memasak digunakan
pendekatan sistem.

Pendekatan sistem adalah pendekatan yang dilaksanakan dalam


mencakup seluruh proses pendidikan yang dilaksanakan. (Widodo
Eka Suparno, 2015)

1. Evaluasi Model CIPP

Konsep evaluasi model CIPP (Context, Input, Prosess and


Product) pertama kali ditawarkan oleh Stufflebeam pada tahun
1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA (the Elementary
and Secondary Education Act) Konsep tersebut ditawarkan oleh
Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi
adalah bukan membuktikan tetapi memperbaiki. The CIPP approach
is based on the view that the most important purpose of evaluation
is not to improve (Madaus, Scriven, Stufflebeam, 1993:118).
Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang,
seperti pendidikan, manajemen, perusahaan sebagainya serta
dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program maupun institusi.
Dalam bidang penddidikan stufflebeam menggolongkan sistem
pendidikan atas 4 dimensi, yaitu context, input, process dan
product, sehingga model evaluasi yang ditawarkan diberi nama
CIPP model yang merupakan singkatan ke empat dimensi tersebut.
Nana Sudjana & Ibrahim (2004 : 246) menterjemahkan masing
masing dimensi tersebut dengan makna sebagai berikut a) Context
: situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis jenis tujuan
dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem
yang bersangkutan , seperti misalnya masalah pendidikan yang
dirasakan, keadaan ekonomi negara, pandangan hidup masyarakat.
b) Input : sarana/modal /bahan dan rencana strategi yang
ditetapkan untuk mencapai tujuan tujuan pendidikan. c) Process :
pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/bahan di
dalam kegiatan nyata di lapangan. d) Product : hasil yang dicapai
baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem pendidikan
yang bersangkutan.

2. Evaluasi Model Krikpatrick

Menurut Krikpatrick evaluasi terhadap efektivitas program


training mencakup empat level evaluasi, yaitu: level 1- Reaction,
level 2- Learning, level 3- Behavior, level 4- Result.

a. Evaluating Reaction

Mengevaluasi terhadap reaksi peserta training berarti


mengukur kepuasan peserta (customer satisfaction). Program
training dianggap efektif apabila proses training dirasa
menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training
sehingga mereka tertarik termotivasi untuk belajar dan
belatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi
apabila proses training berjalan secara memuaskan bagi
peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari
peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta
tidak merasa puas terhadap proses training yang diikutinya
maka mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti training
lebih lanjut. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa
keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari
minat, perhatian dan motivasi peserta training dalam
mengikuti jalannya kegiatan training.

b. Evaluating Learning

Menurut Krikpatrick (1988: 20) Ada tiga hal yang dapat


instruktur ajarkan dalam program training, yaitu
pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Peserta training
dikatakan telah belajar apabila dirinya telah mengalami
perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun
peningkatan keterampilan. Oleh karena itu untuk mengukur
efektivitas program training maka ketiga aspek tersebut perlu
untuk diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan
pengetahuan maupun perbaikan keterampilan pada peserta
training. Maka program dapat dikatakan gagal.

Penilaian evaluating learning ini ada yang menyebut dengan


penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena itu dalam
pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti
penentuan satu atau lebih sebagai berikut; a). Pengetahuan
apa yang telah dipelajari?; b). Sikap apa yang telah berubah?;
c). Keterampilan apa yang telah dikembangkan atau
diperbaiki?

c. Evaluating Behavior

Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda


dengan evaluasi terhadap sikap pada level 2. Penilaian sikap
pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang
terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih
bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan
pada perubahan tingkah laku setelah peserta kembali ke
tempat kerja. Sehingga penilaian tingkah laku ini bersifat
eksternal. Perubahan perilaku apa yang terjadi tempat kerja
setelah peserta mengikuti program training. Dengan kata lain
yang perlu dinilai adalah apakah peserta merasa senang
setelah mengikuti training dan kembali ke tempat kerja?

d. Evaluating Result

Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir


(final result) yang terjadi karena peserta telah mengikuti
suatu program. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari
suatu program training diantaranya adalah kenaikan produksi,
peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas
terjsdinya kecelakaan kerja, penurunan turnover dan kenaikan
keuntungan. beberapa program mempunyai tujuan
meningkatkan moral kerja maupun membangun teamwork
yang lebih baik.
Menurut krikpatrick (2006), dalam kutipan jurnal (Sitorus
Hotna Marina, 2012) untuk dapat menganalisis efektivitas
pelatihan maka tidak dapat dilakukan evaluasi terhadap hasil
saja melainkan perlu melakukan evaluasi terhadap reaksi
peserta yang akan menunjukkan hasil pembelajaran yang
diperoleh. Hasil pembelajaran tersebut kemudian diwujudkan
dalam tindakan sehingga mampu mengubah perilaku. Apabila
diurutkan secara terbalik, hasil yang baik diakibatkan oleh
perilaku pekerja yang memuaskan. Perilaku yang baik
tersebut diperoleh melalu materi yang diberikan selama
pelatihan. Materi dapat diterima dengan baik apabila orang
tersebut tertarik terhadap materi yang diberikan. Konsep
krikpatrick dalam mengevaluasi pelatihan sangat intuitif dan
dapat diaplikasikan secara luas pada program sumber daya
manusia dimana program-program tersebut ditujukan untuk
meciptakan perubahan dalam organisasi melalui individu-
individu di dalamnya (Edwards et al. 2003)

3. Evaluasi Model Krikpatrick Plus

Model ini dikenal dengan sebagai model evaluasi return on


investment (ROI). Tahapan ini biasanya diterapkan pada saat kita
melakukan evaluasi terhadap peserta pelatihan yang berasal dari
organisasi profit atau perusahaan.

Logika berfikir yang melatarbelakangi dilakukannya evaluasi


ROI ini adalah asumsi bahwa setiap keping yang keluar dari
kantong perusahaan selalu dianggap sebagai investor yang pada
gilirannnya harus mendatangkan profit atau keuntungan bagi
perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu pada tahap
evaluasi ROI ini seorang evaluator dituntut mampu membuat
perbandingan antara biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
mengirim pekerjanya mengikuti suatu pelatihan dengan keuntungan
yang akan diperoleh oleh perusahan dari keikutsertaan pekerjanya
dalam pelatihan tersebut. Dalam tahapan ini seorang evaluator bisa
melakukan dokumentasi terhadap berbagai catatan yang
diperlukan. Catatan tersebut bisa berujud produktifitas atau
keuntungan perusahaan sebelum dan sesudah program pelatihan,
serta besarnya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
suatu program pelatihan.

4. Evaluasi Model CSE-UCLA

Model evaluasi CSE-UCLA yang dikembangkan oleh Alkin


memiliki lima macam tahapan evaluasi, yaitu: system, assessment,
program planning, program implementation, program improvement,
dan program certification (Tayibnapis, 2000) Hal senada
diungkapkan oleh Suryanto Gafur, dan Sudarsono bahwa evaluasi
CSE-UCLA yang dikembangkan oleh Alkin mengevaluasi program
dalam lima tahap evaluasi yaitu: system assessment, program
planning, program implementation, program improvement, dan
program certification (Suryanto, Gafur, dan Sudarsono, 2013).
Model CSE-UCLA merupakan model evaluasi yang memilki lima
dimensi evaluasi (system assessment, program planning, program
implementation, program improvement, program certification) dan
cocok digunakn untuk mengevaluasi program layanan yang
membantu kehidupan manusia, seperti: program perpustakaan,
bank, koperasi, e-government, e-learning dan lainnya (Divayana,
2015)
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu
sintesis secara umum bahwa model CSE-USLA merupakan model
evaluasi yang memiliki lima dimensi evaluasi antara lain system
assessment yang memberikan informasi tentang keadaan sistem,
program planning yang membantu pemilihan program tertentu
untuk memenuhi kebutuhan program,program implementation yang
menyiapkan informasi untuk memperkenalkan program, program
improvement yang memberika informasi tentang fungsi/kinerja
program, program certification yang memberi informasi tentang
manfaat atau guna program.

5. Evaluasi Model Brinkerhoff

Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-


elemen yang sama, ada banyak cara untuk menggabungkan
elemen tersebut, masing masing ahli evaluasi atau evaluator
mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & CS
mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan
penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-
evaluator yang lain, namun dalam komposisi dan versi mereka
sendiri sebagai berikut :

a. Fixed vs Emergent Evaluation Design

Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan


secara sistematik sebelum implementasi dikerjakan. Desain
mengembangkan berdasarkan tujuan program disertai seperangkat
pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan
diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat
sebelumnya dimana sipemakai akan menerima informasi seperti
yang telah ditentukan dalam tujuan.

b. Formation vs Sumative Evoluation

Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang


dapat membantu memperbaiki program. Evaluasi formatif
dilaksanakan pada saat implementasi program sedang berjalan.
Focus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh
karyawan atau orang-orang program. Evaluasi sumatif dilaksanakan
untuk menilai manfaat suatu program sehingga dari hasil evaluasi
akan dapat ditentukan suatu program tertentu akan diteruskan atau
dihentikan. Pada evaluasi sumatif difokuskan pada variable-variable
yang dianggap penting bagi sponsor maupun pihak pembuat
keputusan.

c. Experimental and Quasi experimental Design vs


Natural/Unotrusive

Beberapa evaluasi memakai metodelogi penelitian klasik. Dalam hal


seperti ini subyek penelitian diacak, perlakuan diberikan dan
pengukuran dampak dilakukan. Tujuan dari penelitian untuk menilai
manfaat suatu program yang dicobakan. Apabila siswa atau
program dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat pada
populasi yang agak lebih luas. Dalam beberapa hal ini intervensi
tidak mungkin dilakukan atau tidak dikehendaki. Apabila proses
sudah diperbaiki, evaluator harus melihat dokumen-dokumen,
seperti mempelajari nilai tes atau menganalisis penelitian yang
dilakukan dan sebagainya. Strategi pengumupulan data terutama
menggunakan instrument formal speerti tes, survey, kuesioner
serta memakai metode penelitian terstandar.
6. Evaluasi Model Stake (Model Countenance)

Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi


yaitu description dan judgement dan membedakan adanya tiga
tahap dalam program pelatihan, yaitu antecedent (context),
transaction (process) dan outcomes. Stake mengatakan bahwa
apablia kita menilai suatu program pelatihan, kita melakukan
perbandingan yang relatif antara program dengan program yang
lain, atau perbandingan yang relatif absolut yaitu membandingkan
suatu program dengan standar tertentu. Penekanan yang umum
atau hal yang penting dalam model ini adalah bahwa evaluator
yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi.

Kegiatan peniliaian dalam evaluasi program pelatihan tidak


hanya dilaksanakan pada akhir kegiatan program, tetapi sebaliknya
dilakukan sejak awal, yaitu dari penyusunan rancangan program
pelatihan, pelaksanaan program pelatihan dan hasil dari pelatihan.
Penilaian hasil pelatihan tidak cukup hanya pada hasil jangka
pendek (output) tetapi dapat menjangkau hasil dalam jangka
panjang (outcome and impact program). Ada berbagai macam
model evaluasi program yang dapat dipilih untuk mengevaluasi
program pelatihan. Model mana yang akan digunakan tergantung
pada tujuan maupun evaluator. Evaluator dalam kegiatan evaluasi
program pelatihan dapat dari orang dalam maupun dari orang luar,
dapat bersifat individual maupun tim, dari tenaga paruh waktu
maupun penuh waktu, orang professional maupun tenaga amatir.

7. Evaluasi Model IPO


Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli
yang dapat dipakai dalam mengevaluasi program pelatihan. Salah
satu modelnya adalah IPO (Input, Process, Output, Outcome) Berikut
penjelasan model IPO (Muslihin,2016):

a) Input : input (masukan) merupakan proses evaluasi yang


paling awal dilakukan yaitu dengan melihat indikator kinerja
sistem seperti kualifikasi peserta, ketersediaan bahan,
keseseuaian pelatiha dan sebagainya. Evaluasi di tahp
pertama ini memiliki tujuan untuk mengukur apakah pada
proses input terdapat permasalahan atau tidak. Jika ada
kekurangan akan dicatat dan mungkin dapat langsung
diperbaiki. Apakah proses persiapan sebelum mengadakan
pelatihan sudah benar-benar sip dan matang sehingga pada
saat proses pelatihan dilakukan tdiak adanya kekurangan,
baik itu dari bahan pelatihan, orang yang mengikuti pelatihan
serta orang yang melihatnya.
b) Proses : evaluasi pada tahap ini berhubungan dengan melihat
atau menilai proses yang dijalankan saat pelatihan
berlansung. Apakah sudah sesuai dengan persiapan yang
dilakukan dan juga untuk meningkatkan perencanaan, desain,
pengembangan, serta penyampaian program pelatihan.
c) Output : pada tahap ini kita melihat hasil setelah mengikuti
pelatihan, apakah hasilnya sesuai dengan apa yang telah
direncanakan dan memiliki dampak yang positif serta
karyawan bisa mengimplikasikan lingkungan kinerja dan
berdampak baik terhadap produktivitas kerja karyawan.
d) Outcome : pada tahap ini melihat hasil jangka panjang yang
dikaitkan dengan peningkatkan lini bawah perusahaan,
keuntungan, daya kompetensinya.
Contoh :

Implementasi Evaluasi Model Krikpatrick dilakukan pada proses


pembelajaran pada mata kuliah “Masalah Nilai Awal dan Syarat
Batas” di Universitas Negeri Gorontalo.

Pada evaluasi level 1 pada reaksi mahasiswa, proses


pembelajaran perkuliahan menggunakan instrument angket/
kuesioner kepada mahasiswa yang mengontrak mata kuliah
tersebut. Dalam keberhasilan proses kegiatan pembelajaran tidak
terlepas dari minat, perhatian, dan motivasi dalam mengikuti
jalannya perkuliahan. Mahasiswa belajar lebih baik mereka memberi
reaksi positif terhadap lingkungan belajar. Kepuasaan mahasiswa
terhadap proses pembelajaran yang dilakukan dikaji dari beberapa
aspek, yaitu materi yang diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi
penyampaian materi oleh dosen, dan media pembelajaran yang
tersedia. Dari data yang diperoleh tersebut diperoleh persentase
ukelas A adalah 58, 06% mahasiswa menyatakan sangat
memuaskan terhadap proses pembelajaran yang dilakukan, 29,03%
mahasiswa menyatakan memuaskan, 9,68% menyatakan kurang
memuaskan dan 3.23% menyatakan tidak memuaskan. Maka dapat
dikatakan bahwa mahasiswa yang mengikuti kuliah “Masalah Nilai
Awal dan Syarat Batas” memberikan reaksi yang posotif terhadap
proses pembelajaran yang dilakukan. Evaluasi ini menjadi acuan
untuk melakukan perbaikan ataupun peningkatan kualitas proses
belajarr mengajar oleh dosen.

Pada level 2, yaitu evaluasi belajar pada model krikpatrick


dilakukan dengan asesmen kinerja melalui rubric penilaian yang
telah ditetapkan. Proses pembelajaran Masalah Nilai Awal dan
Syarat Batas” dilakukan dengan harapan untuk mengembangkan
dan mengungkapkan seluruh potensi yang dimiliki mahasiswa. Hal
ini dilakukan mengingat kompetensi dari mata kuliah ini sangat
bermanfaat bagi mahasiswa untuk melakukan simulasi atau
pemodelan yang berkaitan dengan fenomena-fenomena alam atau
fenomena kehidupan sehari-hari. Evaluasi belajar mahasiswa
dilakukan secara individu tentang pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang dimiliki. Setiap mahasiswa dinilai menggunakan
rubric penilaian berdasarkan yang direncanakan. Rata-rata nilai
mahasiswa adalah 29,55 atau 92,33%. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan mahasiswa kelas A pada mata kuliah “Masalah Nilai
Awal dan Syarat Batas” sangat memuaskan.

Adapun pada tahapan evaluasi level 3, evaluasi perilaku


untuk mengukur kemampuan mahasiswa menerapkan atau
mengaplikasikan konsep-konsep “Masalah Nilai Akhir dan Syarat
Batas” dalam hal pemodelan yang berkaitan dengan fenomena
alam atau fenomena kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran
mata kuliah “Masalah Nilai Akhir dan Syarat Batas” mahasiswa
diberikan kesempatan untuk membuat suatu artikel yang berkaitan
dengan pemodel dan menerapkan konsep-konsep “Masalah Nilai
Akhir dan Syarat Batas” kemudian melakukan presentasi. Hasil
prensentasi menjadi informasi sejauh mana penguasaan mahasiswa
terhadap konsep-konsep yang sudah dipelajari. Level terakhir dari
evaluasi model krikpatrick pada program pembelajaran “Masalah
Nilai Awal dan Syarat Batas” ditekankan pada hasil akhir dengan
kegiatan akademik mahasiswa.
Keberhasilan mahasiswa pada level 4 dapat dilihat pada level
ketiga dari evaluasi model krikpatrick. Kriteria penilaian pada level
ini merupakan lanjutan dari peniliaian level pertama yaitu
pemanfaatan konsep-konsep dalam simulasi dan pemodelan.
Mahasiswa membuat model simulasi terhadap salah satu fenomena
alam atau fenomena kehidupan sehari-hari dengan menggunakan
konsep-konsep “Masalah Nilai Akhir dan Syarat Batas”. Hasil yang
telah diperoleh melalui kegiatan komputansi kemudian
dipresentasikan sebagai salah satu aspek penilaian pada rubric
yang telah ditetapkan.

4.1 Perbandingan Antar Model Evaluasi Program


Pelatihan
4.1.1 Evaluasi Model CIPP dalam pelaksanaannya

Menurut Eko Putro Widoyoko model evaluasi CIPP lebih


banyak digunakan oleh para evaluator, hal ini dikarenakan
model evaluasi ini lebih komprehensif jika dbandingkan
dengan model evaluasi lainnya. Karena objek evaluasi tidak
hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks,
masukan, proses dan hasil. Selain kelebihan tersebut, di satu
sisi model evaluasi ini juga memiliki keterbatasan, antara lain
penerapan model ini dalam bidang program pembelajaran
dikelas mempunyai tingkat keteerlaksanakaan yang kurang
tinggi jika tidak adanya modifikasi.

 Keunggulan model CIPP :


1. CIPP memiliki pendekatan yang holistik dalam evaluasi,
bertujuan memberikan gambaran yang sangat detail dan luas
terhadap satu proyek, mulai dari konteksnya hingga saat
proses implementasi.
2. CIPP memiliki potensi untuk bergerak di wilayah
evalusiformative dan summative. Sehingga sama baiknya
dalam membantu melakukan perbaikan selama program
berjalan, maupun memberikan informasi final.
 Kelemahan model CIPP
1. Telalu mementingkan bagaimana proses seharusnya daripada
kenyataan dilapangan.
2. Kesannnya terlalu top down dengan sifat manajerial dalam
pendekatannya.
3. Cenderung focus pada retional management ketimbang
mengakui kompleksitas realitas empiris.

4.1.2 Evaluasi Model Kirkpatrick,


 Kelebihan model Kirkpatrick
1. Lebih komprehensif, karena mencakup had skill dan soft skill.
2. Objek evaluasi tidak hanya hasil belajar semata tapi juga
mencakup proses, output dan outcomes.
3. Mudah untuk diterapkan.
 Kelemahan model Kirkpatrick
1. Kurang memperhatikan input.
2. Untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit
tolak ukurnya juga sudah di luar jangkaun antra trainer
maupun lokasi.
4.1.3 Evaluasi Model UCLA
 Kelebihan model UCLA
1. Pendekatan proses dimana dalam mengembangkan kriteria
evaluasi atas dasar tradisi naturalistic inquiry a kualitatif.
2. Menekankan evaluasi yang komprehensif dengan langkah-
langkah evaluasi yang sistematis.
3. Menyedikan deedback dalam pengembangan program.
 Kelemahan model UCLA
1. Trainer sebagai tolak ukur, keberhasilan diukur menurut
trainer bukan menurut kurikulumnya.
2. Pendekatan yang paling ril dilapangan tapi palinglabil.
3. Tugas evaluator lebih berat, harus sensiif & banyak berdialog.
4. Evaluator menjadi instrument hidup sebelum kriteria dan alat
evaluasi dikembangkan.
Tidak bisa secara tegas menunjukkan apakah program sukses
atau efektif.

4.1.4 Evaluasi Model Brinkerhof


 Kelebihan model Brinkerhoff
1. Evaluasi formatif digunakan untuk memperbaiki program
selama program tersebut sedang berjalan. Caranya dengan
menyediakan balikan tentang seberapa bagus program
tersebut telah berlangsung. Melalui evaluasi formatif ini dapat
dideteksi adanya ketidakefisienan sehingga segera dilakukan
revisi.
2. Evaluasi sumatif bertujuan mengukur efektifitas keseluruhan
program yang bertujuan untuk membuat keputusan tentang
keberlangsungan program twersebut, yaitu dihentikan atau
dilanjutkan.
 Kelemahan model Brinkerhoff
1. Tidak terdapat langkah-langkah sistematis yang harus
dilakukan dalam evaluasi, hanya menekankan pada obyek
sasaran saja.
4.1.5 Evaluasi Model Stake atau Model Countenance
Menurut Howard, E (2008), kelebihan dan kelemahan evaluasi
model Countenance Stake’s adalah:

 Kelebihan model Countenance


1. Dalam penilaiannya melihat kebutuhan program yang dilayani
oleh evaluator.
2. Upaya untuk mendeskripsikan kompleksitas program sebagai
realita yang mungkin terjadi.
3. Memiliki potensi besar untuk memperoleh wawasan baru dan
teori-teori tentang lapangan dan program yang akan di
evaluasi.
 Kelemahannya model Countenance
1. Pendekatan yang dilakukan terlalu subjektif.
2. Terjadi kemungkinan dalam meminimalkan pentingnya
instrument pengumpulan data dan evaluasi kuantitatif.
3. Kemungkinan biaya yang terlalu besar dan padat karya

Selain hal tersebut menurut Kemble (2010), mengatakan bahwa


kelebihan evaluasi model Countenance Stake antara lain adalah:

1. Dalam evaluasi memasukkan data tentang latar belakang


program, proses dan hasil yang merupakan perluasan ruang
lingkup evaluasi pada tahun 1970-an.
2. Evaluator memegangkan kendali dalam evaluasi dan juga
memutuskan cara yang paling tepat untuk hadir dan
menggambarkan hasil.
3. Focus pada kekhawatiran stakeholder dan isu-isu
meningkatkan komunikasi antara evaluator dan stakeholder.

Sedangkan menurut Robinson (2006) kelebihan model


Countenance Stake yaitu bahwa model tersebut memiliki
kehatian-hatian dalam memberikan judgment mengenai nilai
aspek yang bervariasi. Model ini juga dapatmemfasilitasi sebuah
pahaman yag mendalam mengenai semua aspek program
pembelakaran, yang tidak hanya memungkinkan evaluator untuk
menentukan out come pembelajaran, tetapi juga menunjukkan
alasan dan konsekuensi dampaknya. Model ini memberikan
dasar yang kuat untuk memberikan rekomdasi dan judgment
yang menarik atas nilai sebuah pembelajaran.

Dapwell, F & Glynis, (2008) kekuatan model Contenance Stake


adalah di akomodasi dan penataan sebagai tingat data. Dalam
evaluasi yang dilakukan data yang dikumpulkan adalah
campuran data kualitatif dan kuantitatif, formal dan informal,
primer dan sekunder. Dalam model countenance stake semua
data diolah sesuai dengan katagori melayani dalammatriks.
Woods (1988) mengatakan bahwa kekuatan model countenance
stake adalah cara dan tindakannya pasti dan dapat diamati
secara bersamaan antara standard dan judgement.

Berikut kelebihan dan kekurangan model Stake atau Model


Countenance:

 Kelebihan model Countenance


1. Diperluas dari konsep sasaran meliputi sasaran untuk
pendidik dan untuk factor kontekstua dalam penambahan
sasaran tingkah laku untuk para pelatih.
2. Menyediakan dasar, meski tidak semprna, untuk evaluasi
sasaran (melalui perbandingan yang rasional).
3. Yang pertama focus pada penilaian sebagai suatu aspek
evaluasi, gambran tindakan penuh termasuk deskripsi dan
penilaian.
4. Menyajikan penurunan standard, keduanya mutlak dan
relative.
5. Menyediaakan dasar empiris untuk menyelesaikan
rekomendasi Tyler.
6. Bahwa hipotesis dikembangkan dan diuji meliputi
pengamatan pola atas kelemahan dan kekuatan. Catatan juga
atas informasi yang menghubungkan antecedent dan
transaksional factor dalam evaluasi formatifis.
 Kelemahan model Countenance
1. Adanya keharusan evaluator untuk membandingkan kondisi
hasil evaluasi program tertentu dengan yang terjadi di
program lain, dengan obyek yang sama.
2. Meninggalkan rata-rata untuk menurunkan standard besar
yang tidak spesifik.
3. Disediakan sedikit bimbingan opeasional untuk evaluator.
4. Tidak mencoba memecahkan pertanyaan-pertanyaan
bagaimana cara mengatur nilai bersaing (meski dalam
menentukan tujuan atau menurunkan standar). Yang
dilanjutkan asumsi implisit awal tentang nilai
kemasyarakatan. Nilai plurrakisme diabaikan.
5. Gagal untuk menyediakan di bagaimana cara berhubunagan
dengan non-intended effect meski menyuruh evaluator untuk
menghitungnya.
6. Dilanjutkan dengan satu penekanan pada evaluasi formal
yang didasari paradigm ilmih dan pengukuran prosedur
selanjutnya.
7. Disain rumit dan barangkali erlalu bagus, praktis evaluator
menemukan keulitan untuk memahami dan menerapkannya.
4.1.6 Perbedaan Dari Masing-Masing Model

Evaluasi merupakan komponen yang sangat penting dalam


menjalankan atau melaksanakan suatu programterkhususnya
dalam ruang lingkup pembelajaran dengan adanya evaluasi kita
akan dapat lebih mudah untuk mengetahui apakah program
yang telah dilakukan atau dilaksanakan tersebut sudah berjalan
dengan baik atau sebaliknya. Setiap model-model evaluasi
tertentu memiliki pengertian dan tujuan yang berbeda-beda
dalam setiap penerapannya, perbedaan tersebut dapat kita lihat
dari elemen-elemen yang terdapat didalamnya misalnya:

a. Model evaluasi CIPP terdiri dari


1. Contect evaluation to serve planning decision
2. Input evaluation, structuring decision
3. Process evaluation, to serve implementing decision
4. Product evaluation, to serve recycling decision
b. Model evaluasi UCLA terdiri dari
1. System assessment
2. Program planning
3. Program implementation
4. Program improvement
5. Program certification
c. Model evaluasi Brinkerhoff yang terdiri dari
1. Fixed vs emergent evaluation desaign
2. Formative vs summative evaluation
3. Experimental design vs natural/unobtrusive inquiry
d. Model Stake atau model countenance yang terdiri dari
1. Antecedents (Context)
2. Transaction (Process)
3. Outcomes (Output)

5.1ROI (Return on Investment)

Return On Investment (ROI), adalah suatu ukuran dalam


bentuk keuntungan monetr yang diperoleh oleh suatu organisasi
setelah jangka waktu tertentu sebagai timbal balik terhadap
investasi suatu program pelatihan. ROI dihitung berdasarkan
setimasi atau data terhadap biaya maupun keuntungan yang
berhubungan dengan program pelatihan. Dengan memanfaatkan
ROI ini, unit bisnis dapat secara efektif mengalokasikan sumber
daya yang ada untuk meningkatkan kinerja dan mendorong
keberhasilan suatu organisasi. Dalam dunia pendidikan perhitungan
ROI dapat dibandingkan dengan mengkonversi data kinerja peserta
pelatihan dengan mengasumsikannya bahwa peningkatan kinerja
merupakan aste yang tidak terhitung kepada nilai moneter. Empat
langkah untuk mrngukur ROI pelatihan yaitu 1) Mengisolasi
pengaruh pelatihan terhadap hal0hal diluar pelatihan, 2)
Mengkonversi pengaruh-pengaruh pelatihan ke dalam bentuk
moneter, 3) Menghitung biaya pelatihan dan 4) Membandingkan
biaya pelatihan dengan nilai tambah moneter yang diperoleh
sebagai hasil pelatihan. Berikut ini gambar model ROI:

a. Menghitung Biaya Pelatihan

Tahap ini sering disebut sebagai analisa biaya manfaat (cost-


benefit analysis) analisis biaya manfaat dalam perhitungan ROI
adalah proses menentukan nilai ekonomis dari suatu program
pelatihan dengan menggunakn metode akuntansi. Menentukan nilai
ekonomis dari suatu program pelatihan meliputi perhitungan biaya
pelatihan (cost) dan hasil (benefits yang didapat setelah mengikuti
program pelatihan.
Dalam menghiyung biaya suatu program pelatihan, jangan
lupa untuk memperhitungkan biaya biaya tidak langssung, seperti
penggunaan material, peralatan, ruangan dan sebagainya. Contoh
biaya yang terlihat dalam program pelatihan: pengembangan
modul-perancangan, penulisan, ilutrasi, validasi tes, dan instrument
evaluasi.

Membandingkan biaya pelatihan dengn nilai tambah moneter,


dengan rumus ROI adalah sebagai berikut:

Keterangan:

1. Net Program Benefits adalah program benefits dikurangin


total incurred costs.
2. Program benefits merupakan sejumlah keuntungan yang
diperoleh karena melakukan investasi.
3. Total incurred costs merupakan biaya yang dikeluarkan
sebagai investasi.

Rumus ROI ini diturunkan dari rumus BCR (Benefits/Cost Ratio):


Nilai ROI yang didapat ini kemudian dianalisis dan
dimanfaatkan sebagai salah satu hal penting dalam pengambilan
keputusan maupun perbaikan dan pengembangan program
pelatihan. Menurut Jack J. Phillips, salah satu metode yang paling
mudah digunakan adalah memperoleh data berdasarkan perkiraan
dan participant (eks-peserta) training itu sendiri, yaitu dengan
menggunakan metode Participant Estimate. Efektivitas pendekatan
ini terletak pada asumsi bahwa participant memiliki kemampuan
untuk menentukan atau memperkirakan seberapa besar
peningkatan kinerja dialaminya itu terkait dengan program training
yang diikutinya. Participant seharusnya merupakan pihak yang
paling mengetahui seberapa besar perubahan yang disebabkan
oleh pengaplikasian program training dalam pekerjaannya sehari-
hari.

Lebih jauh lagi, Phillips juga berpendapat bahwa meskipun


hanya merupakan estimasi, nilai yang diperoleh biasanya memiliki
kredibilitas yang tinggi, terutama mengingat participant berada di
tengah-tengah perubahan atau peningkatan kinerja yang terjadi.
Pemikiran ini pula, di samping pertimbangan factor biaya dan
waktu, yang mendasari pemilihan metode Participant Estimate.
Sementara itu, terdapat pula kelemahan dari pendekatan ini yaitu
adanya unsur subyektivitas responden dalam memberikan
perkiraan besarnya kontribusi masing-masing faktor. Hal yang dapat
dilakukan untuk mengurangi pengaruh subyektivitas ini adalah
dengan menanyakan seberapa jauh tingkat keyakinan (level of
confidence) responden dalam memberikan perkiraannya tersebut.
Namun, sebelum menetapkan metode mana yang akan digunakan,
Phillips juga menekankan perlunya terlebih dahulu mengidentifikasi
faktor-faktor apa saja yang memiliki kontribusi terhadap perubahan
yang terjadi setelah program training diselenggarakan.

Model ROI atau lebih dikenal dengan ROTI (Return on Training


Investment) merupakan evaluasi terakhir untuk melihat cost-benefit
setelah pelatihan dilaksanakan. Manfaat dari model ini adalah agar
pihak manajemen perusahaan melihat bahwa pelatihan bukan
sebagai sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak keuangan,
tetapi merupakan investasi. Sehingga dengan hitungan yang akurat
terhadap keuntungan yang akan diperoleh setelah melaksanakan
pelatihan. Dan evaluasi ini merupakan tambahan dari model
krikpatrick.

Pengembalian investasi (ROI) membandingkan manfaat pelatihan


dengan biaya pelatihan. Biaya pelatihan bisa langsung dan tidak
langsung. Biaya langsung termasuk gaji dan tunjangan bagi seluruh
karyawan yang terlibat dalam pelatihan, termasuk pelatihan,
instruktur, konsultan, dan karyawan yang merancang materi
program dan supplies kantor; peralatan atau penyewaan kels atau
pembelian; dan biaya perjalanan. Biaya tidak langsung tdiak
berhubungan langsung dengan desain, pengembangan, atau
pengiriman program pelatihan. Mereka termasuk perlengkapan
umum kantor, fasilitas, dan biaya terkait, dan biaya perjalanan.
Oleh karena itu strategi umum untuk mengevaluasi biaya pelatihan
adalah untuk mengukur indikator biaya dan manfaat.
Logika berfikir yang melatarbelakangi dilaksanakan evaluasi ROI ini
adalah asumsi bahwa setiap keping yang ke luar dari kantong
perusahaan selalu dianggap sebagai investasi, yang pada gilirannya
harus mendatangkan profit atau keuntungan bagi perusahaan yang
bersangkutan. Oleh karena itu pada tahapan evaluasi ROI ini
seorang evaluator dituntut mampu membuat perbandingan antara
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengirim sumber
daya manusianya untuk mengikuti pelatihan dengan keuntungan
yang akan diperoleh oleh perusahaan dari keikutsertaan dalam
pengembangan tersebut. Dalam tahapan ini seorang evaluator bisa
melakukan dokumen yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk suatu
program pekatihan. (Nurbiyanti Titik, 2015)

Contoh:

LPMP akan mengadakan suatu pelatihan bagi para kepala sekolah


dengan durasi pelatihan 48 jam, jumlah peserta 50 orang dan
jangka waktu perhitungan keuntungan adalah 12 bulan.
LAMPIRAN
PEMBAGIAN TUGAS DESKRIPSI
Evi Togi Priana Purba -mencari bahan / meminjam
buku diperpustakaan
-memulai pembagian tugas
(Model Evaluasi Program
Pelatihan dan ROI serta
Rangkuman)
-Mengoperasikan Mandeley
-Mencari Jurnal
Heni Nur Rismawati -Mencari bahan/meminjam buku
diperpustakaan
-Memulai pembagian tugas
(Tujuan Evaluasi Program
Pelatihan)
-Membuat Daftar Isi
Mengoperasikan Mandeley
Lola Vitta Loka -Mencari bahan/meminjam buku
diperpustakaan
-Memulai pembagian tugas
(Pengertian Evaluasi Program
Pelatihan)
-Mencari Jurnal
-Membuat Kata Pengantar
Virika Pratiwi -Mencari Bahan/meminjam buku
diperpustakaan
-Memulai pembagian tugas
(Perbandingan Model Evaluasi
Program Pelatihan)
-Membuat Daftar Pertanyaan
Prabu, M. A. (2003). Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Bandung: PT Refika Aditama.
Simamora Henry. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta.
Sitorus Hotna Marina, T. P. (2012). EVALUASI PELAKSANAAN
PELATIHAN BERDASARKAN KONSEP KRIKPATRICK&KRIKPATRICK
STUDI KASUS DI PT.X BANDUNG. SIMPOSIUM NASIONAL, 1.
Suryadana M.Liga. (2015). Pengelolaan SDM Berbasis Kinerja.
Bandung: ALFABETA.
Widodo Eka Suparno. (2015). Manajemen Pengembangan Sumber
Daya Manusia. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

Anda mungkin juga menyukai