Anda di halaman 1dari 11

Pemenuhan tugas remedial bab cerpen

Bahasa Indonesia

Disusun oleh:
Aldi Farhan Fahrosa
02/XI Mipa 7
SUNGAI

(Karya Nugroho Notosusanto)

Setiap kali menyeberangi sungai, Sersan Kasim merasakan sesuatu keharuan yang mendenyutkan
jantungnya. Seolah-olah ia berpisah dengan sesuatu, sesuatu dalam hidupnya. Makin besar sungai itu,
makin besar pula keharuan yang menggetarkan sanubarinya.

Kini, kembali ia akan menyeberangi sebuah sungai. Sekali ini bukan sungai kecil, melainkan salah satu
sungai yang terbesar di Jawa Tengah, Sungai Serayu.

Sersan Kasim adalah Kepala Regu 3, Peleton 2 dari kompi TNI terakhir yang akan kembali ke daerah
operasinya di Jawa Barat. Tentara Belanda telah menduduki Yogya, persetujuan gencetan senjata telah
dilanggar, dan Republik tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada.

Jam satu malam cuaca gelap gulita dan murung, hujan turun selembut embun namun cukup
membasahkan. Hati-hati Kasim memimpin anak buahnya menuruni tebing yang curam dan licin. Ia sendiri
berjalan dengan sangat hati-hati, menggendong bayi pada panggulnya sebelah kiri. Dari bahu kanan
bergantung sebuah sten. Hanya samar-samar matanya yang terlatih melihat orang yang berjalan di
depannya. Untuk memudahkan penglihatan, tiap-tiap prajurit yng kurang baik penglihatannya, memasang
sepotong cendawan yang berpijar pada punggung kawan yang berjalan di depannya.

Sepuluh bulan yang lalu, pada bulan Februari 1948, Sersan Kasim juga menyeberangi Sungai Serayu
dengan kompinya. Tatkala itu mereka berjalan ke arah timur. Persetujuan Renville telah ditandatangani
dan pasukan-pasukan TNI harus hijrah ke kantong-kantong dalam wilayah de facto Belanda. Banyak
diantara bintara dan prajurit yng membawa serta anak istrinya.

Ketika itu Sersan Kasim telah setengah tahun menikah. Istrinya yang belia sudah lima bulan mengandung.
Namun, ia memaksa mengikuti suaminya ke wilayah kekuasaan Republik. Pernah terpikir oleh Kasim untuk
menitipkan istrinya kepada mertuanya di Pager Ageung. Tapi tidak sempat, lagipula Aminah tidak mau
ditinggalkan. Ia bersitegang hendak ikut. Dan siapa yang dapat bertahan terhadap sifat keras kepala
wanita yang sedang mengandung?

Dua bulan setelah mereka tiba di Yogya, Acep dilahirkan. Matanya hitam tajam, meskipun badannya
sangat kecil, dan rambutnya lebat seperti hutan di Priangan. Tapi untuk melahirkan anaknya, Aminah telah
menggunakan sisa-sisa tenaga rapuhnya yang terakhir. Ia meninggal sehari kemudian karena kepayahan.
Acep dapat dipertahankan hidupnya berkat rawatan khusus para dokter dan juru rawat di rumah sakit
tentara.

Kini Sersan Kasim berjalan kembali ke Jawa Barat. Kali ini jarak antara Yogya dan Priangan Timur harus
mereka tempuh dengan berjalan. Tidak ada truk Belanda yang mengangkut, tidak ada kereta api Republik
yang menjemput. Mereka berjalan kaki, menempuh jarak lebih dari 300 kilometer, turun lembah, naik
gunung, menyeberangi sungai kecil dan besar.

Akhirnya mereka kembali di tepian Sungai Serayu, akan tetapi jauh kesebelah hulu, di kaki pegunungan
daerah Banjarnegara. Kini tiada jembatan, tiada titian. Mereka harus terjun ke dalam air.

Perlahan-lahan Sersan Kasim menuruni tebing yang curam. Ia menggigil dilanda angin pegunungan dari
sebelah lembah. Dengan cermat ia perbaiki letak selimut berlapis dua yang menutupi Acep dalam
gendongan. Acep, biji matanya, harapan idamannya. Kemudian, dengan satu gerakan ia usap air hujan
pada wajahnya sendiri. Ia menggigil lagi. Iring-iringan sekonyong-konyong berhenti. Prajurit di depannya
juga menggigil. Mereka menggigil berdekat-dekatan.

Kemudian ada pesan dari depan.

“Kepala Regu, kumpul!” dibisikkan dari mulut ke mulut. Kasim berjalan ke muka. Komandan Peleton sudah
menanti di depan Regu I. Mereka menerima instruksi mengenai penyeberangan.

Menurut intelligence, musuh menjaga tepian sana dengan kekuatan satu kompi. Sungai diawasi mulai
bagian yang airnya setinggi perut. Karena itu pasukan akan menyeberangi lebih ke hilir. Ada kemungkinan
air mencapai dada. Perintis telah menyiapkan tali untuk berpegangan.

”Ada pertanyaan?” tanya Komandan Peleton.

Tidak ada yang menyahut. Samar-samar Sersan Kasim melihat pandangan Komandan tertuju kepadanya.

”Bagaimana bayimu?” tanya Komandan.

”Tidur Pak,” jawab Kasim singkat.


”Kalau pikiranmu berubah, masih ada waktu untuk menitipkannya pada barisan keluarga.”

Kasim tak segera menjawab. Sebentar pikirannya melayang kepada para wanita dan kanak-kanak yang
dititipkan kepada Pak Lurah dan penduduk Karangboga. Kalau situasi aman, mereka akan diseberangkan
sedikit demi sedikit oleh rakyat. Mereka akan dijemput oleh satu regu di seberang sungai setelah
diberitahu oleh kurir.

”Sersan Kasim tinggal. Lainnya bubar!” kata Komandan menembus kesepian. Kepala regu lainnya kembali
kepada anak buahnya.

Lagi Kasim merasa pandangan mata Komandan tertuju kepadanya dan kepada anaknya. Kasim tahu apa
arti pandangan itu. Ya, ia tahu sebenarnya Komandan ingin bertanya, apakah ia menyadari bahwa
tangisan seorang bayi dapat membawa kebinasaan bagi lebih dari seluruh kompi. Bahwa bayinya, si Acep,
dapat mmbahayakan jiwa lebih dari seratus orang prajurit. Itulah yang tersirat dalam pandangan
Komandan.

Pandangan Komandan itu seolah-olah berkata, ”Ingatlah Kompi 3 batalyon B yang kehilangan 16 prajurit
dan 10 keluarga, karena serangan mendadak oleh musuh. Hanya karena seorang bayi yang menangis.
Tangis yang dengan cepat menular pada beberapa anak kecil lainnya”.

Samar-samar Sersan Kasim mendengar derau sungai di bawah. Dia bayangkan kesunyian malam yang
aman dirobek-robek oleh letusan senjata. Dia bayangkan kompinya terjebak di tengah-tengah sungai, tak
berdaya.

Tatkala itu Acep bergerak-gerak dalam gendongan bapaknya. Kasim merasa anaknya menyusup-
nyusupkan kepala ke dadanya, ke ketiaknya, seakan-akan mencari perlindungan yang lebih aman. Rasa
sayang membual keluar dan menyesakkan kerongkongan Kasim. Anakku yang tak sempat mengenal
ibunya, pikirnya. Anakku yang disusui oleh botol. Dan kini dia harus dititipkan pada orang lain! Untuk
berapa lama? Dan amankah dia dalam asuhan orang lain? Akan selamatkah dibawa orang asing dalam
penyeberangan nanti? Anak lelaki titipan satu-satunya, pusat rasa yang sehalus-halusnya, peninggalan
istri yang setia dan keras hati. Cucu yang akan dibawanya sebagai oleh-oleh untuk orang tuanya di Garut,
untuk mertuanya di Pager Ageung, sebagai tanda mata anak dan menantu dari istrinya tercinta yang telah
meninggal.

Sersan Kasim membelai anaknya yang dalam gendongan,


”Saya minta izin untuk membawanya,” katanya.

”Kau yakin dia tidak menangis?”

”Insya Allah, tidak.”

”Baik kalau begitu. Hati-hati saja.”

”Siap Pak. Terima kasih.”

Ketika giliran peletonnya untuk menyeberang, Kasim menggigil lebih keras lagi. Bukan hanya karena hujan
tambah keras turun. Bukan hanya karena angin pegunungan yang menembus sela-sela rusuknya. Ia juga
menggigil karena Acep mulai resah dalam gendongannya. Air hujan sudah merembes masuk mengenai
kulitnya dan ia menggeliat-geliat kebasahan dan kedinginan.

Sersan Kasim mulai memegang tali yang terentang dari tepi ke tepi. Air membasahi kakinya, membasahi
celananya, membasahi sebagian bajunya, menjilat-jilat gendongan anaknya. Ia mulai repot meninggikan
anak dan senjatanya bersama-sama. Pada suatu saat ia terperosok ke dalam lubang pada alas sungai dan
ia terhuyung-huyung dilanda arus yang deras dan dingin. Air mencapai dada, merendam anaknya. Dan
tiba-tiba Acep menangis....

Acep menangis.

Melolong-lolong.

Merobek-robek kesunyian malam dari tebing ke tebing. Suaranya tajam menyayat hati. Menyayat hati
bapaknya, hingga sesak bagaikan tak dapat bernapas.

Di hulu sungai, sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara. Malam jadi terang-benderang. Seluruh
kompi menahan napas. Masing-masing terpaku pada tempatnya. Peleton 1 di seberang sana. Peleton 3 di
seberang sini, sedangkan Peleton 2 di tengah-tengah sungai. Di tengah-tengah Peleton 2 itulah Acep
menangis pada dada bapaknya.
Tak ada orang yng mengetahui dengan pasti, apa yang terjadi dalam beberapa menit, yang terasa seperti
berjam-jam. Juga Sersan Kasim tidak sadar. Ia hanya tahu anaknya menangis, setiap saat musuh dapat
menumpas mereka dengan senapan mesin dan mortir di bawah peluru cahaya kembang api yang telah
mereka tembakkan. Seluruh kompi memandang kepada dia, bergantung kepada dia. Nasib seluruh kompi
tertimpa pada bahunya.

Sejurus kemudian suara Acep meredup. Sesaat lenyap sama sekali.

Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang jantungnya berdegup seperti
bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit mulai mati, dan kelam mulai menyelimuti kembali
suasana di lembah sungai itu. Kini yang terdengar hanya derau air yang tak putus-putusnya ditingkahi oleh
kwek-kwek katak di tepian. Beberapa menit kemudian kompi menghela napas lega dan selamat tiba di
seberang.

Keesokan harinya, pada waktu fajar merekah, kompi menunda perjalanannya sementara waktu, meskipun
masih terlalu dekat kepada kedudukan musuh. Mereka berhenti pada sebuah desa. Dengan bersama Pak
Lurah dan banyak diantara penduduk, mereka berkumpul di pinggir desa. Di sana, dalam upacara yang
singkat, Acep diturunkan ke liang kubur. Kemudian semua mata tertuju kepada sosok tubuh Sersan Kasim
yang berjongkok di hadapan pusara kecil yng baru ditimbun. Kepalanya terkulai, menunduk.

Akhirnya, ia berdiri dan memandang ragu-ragu sekeliling. Kesedihan yang dalam, jelas terukir pada
wajahnya. Baju seragamnya tampak kuyup, hingga lehernya. Komandan kompi tampil ke muka. Ia
menghampiri Kasim. Ia menggenggam tangan kanan sersannya dalam kedua belah tangan. Matanya
merah, tidak hanya kurang tidur. Dalam angan-angannya terbayang Nabi Ibrahim, yang siap
mengorbankan putranya. Tapi ia tak berkata apa-apa.

Setengah jam kemudian, kompi melanjutkan perjalanannya pada punggung bukit yng sejajar dengan
tebing sungai. Matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembap oleh
hujan semalam. Ditengah-tngah barisannya Sersan Kasim berjalan dengan sten tergantung sunyi pada
bahunya. Jauh di bawah, di lembah yang dalam, Sungai Serayu sayup-sayup menderau. Keharuan yang
luar bisa kini meluap-luap dalam dada Sersan Kasim, membanjir, menghanyutkan. Dan ia berjalan terus.
Dan di bawah, sungai mengalir terus.
1. TEMA

Pengorbanan

adalah tentang kasih sayang seorang suami kepada istrinya, kasih sayang bapak kepada anaknya, dan
pengorbanan dari apa yang sangat dikasihinya, untuk mendapatkan sesuatu yang lebih mulia. Dalam
rangkaian ceritanya, penulis hendak menyampaikan kepada pembaca bahwa pada saat-saat tertentu
dalam kondisi yang sangat mendesak/darurat, dituntut dengan penuh kesadaran dan keikhlasan untuk
siap berkorban.

Hal ini tercermin dalan cerpen “Sungai”, Sersan Kasim yang akhirnya mengijinkan istrinya ikut menyertai
hijrahnya ke Yogya, walau dalam kondisi yang seba sulit, dan istrinya bersikeras untuk ikut. Kemudian
Sersan Kasim memilih untuk tetap membawa bayinya dalam perjalanan panjang yang penuh resiko, dari
pada menitipkannya pada orang asing. Dan dalam kondisi yang sangat terdesak, Sersan Kasim
“mengorbankan “anak yang sangat dikasihinya untuk menyelamatkan ratusan prajurit lainnya dari
serangan musuh.

2. PENOKOHAN DAN PERWATAKAN

a. PENOKOHAN

1) Tokoh Inti/Tokoh Utama

Cerpen “Sungai” menampilkan tokoh inti atau tokoh utama, yaitu Sersan Kasim yang memiliki watak
penyayang; nampak betapa ia menyayangi istrinya yang baru setengah tahun dinikahinya. Selain itu
Begitu sayangnya ia kepada Acep anaknya, makanya ia bersikeras untuk tetap membawa Acep dalam
perjalanan yang sulit dan penuh tantangan dari pada menitipkannya pada orang asing, khawatir akan
keselamatan dalam pengasuhannya. Hanya bapaknyalah keluarga yang dimilikinya, tanpa tahu ibunya,
Sersan Kasim ingin tetap bersama dan mengasuh dalam buaian dan kasih sayangnya.

2) Tokoh Tambahan/Tokoh Pembantu

Cerpen “Sungai” menampilkan Komandan Peleton sebagai tokoh pembantu yang melengkapi penokohan
Sersan Kasim. Komandan adalah pimpinan yang cermat, bertanggung jawab, dan bijak dalam
memutuskan. Pada saat ia mendapat informasi tentang keberadaan musuh yang berjaga-jaga di hulu
sungai, ia mengambil langkah yang tepat untuk segera mengumpulkan para pemimpin regu, kemudian
menyampaikan info tersebut dan mengambil sikap untuk memerintahkan para pemimpin regu untuk
memimpin anak buahnya menyeberang lewat hilir sungai.

b. PERWATAKAN

 Watak Kasim protagonist . Bertanggung jawab; sebagai seorang pimpinan regu, ia bertanggung
jawab atas keselamatan anak buahnya. Bahkan iapun mempertaruhkan harapan idam-
idamannya, biji matanya, anak kesayangannya untuk menjadi jaminan atas keselamatan anak
buahnya sera anggota kompi yang lainnya.
 Watak Komandan protagonist . Bertanggung jawab dan bijak, nampak ketika ia mengumpulkan
para ketua regu, mengingatkan kepada Sersan Kasim tentang banyaknya prajurit yang menjadi
korban, gara-gara tangis bayi yang memecahkan kesunyian, hingga perjalanan rombongan
tentara dan para keluarganya tercium musuh. Namun demikian, sisi manusiawinya menjadikan ia
bijak ketika akhirnya mengijinkan Sersan Kasim tetap akan membawa anaknya dengan catatan
tetap waspada akan keselamatan semua prajurit.

3. PLOT / ALUR

4. SETTING / LATAR

Pengertian :

Setting adalah latar peristiwa, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal
dan fungsi psikologis (Aminudin, 2004:67).

Data :

Kini, kembali ia akan menyeberangi sebuah sungai. Sekali ini bukan sungai kecil, melainkan salah satu
sungai yang terbesar di Jawa Tengah, Sungai Serayu.

Sersan Kasim adalah Kepala Regu 3, Peleton 2 dari kompi TNI terakhir yang akan kembali ke daerah
operasinya di Jawa Barat. Tentara Belanda telah menduduki Yogya, persetujuan gencetan senjata telah
dilanggar, dan Republik tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada. Jam satu malam cuaca
gelap gulita dan murung, hujan turun selembut embun namun cukup membasahkan.

Setengah jam kemudian, kompi melanjutkan perjalanannya pada punggung bukit yng sejajar dengan
tebing sungai. Matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembap oleh
hujan semalam. Ditengah-tngah barisannya Sersan Kasim berjalan dengan sten tergantung sunyi pada
bahunya. Jauh di bawah, di lembah yang dalam, Sungai Serayu sayup-sayup menderau. Keharuan yang
luar bisa kini meluap-luap dalam dada Sersan Kasim, membanjir, menghanyutkan. Dan ia berjalan terus.
Dan di bawah, sungai mengalir terus.

Analisis :

1) Setting Tempat
(1) Sungai

Dari judulnya, cerpen tersebut menggambarkan bahwa kisaran tempat adalah di sungai, tepatnya Sungai
Serayu, di kaki pegunungan daerah Banjarnegara. Cerpen ini diawali dengan istilah menyeberangi sungai,
dan pada klimaks cerita, peristiwa itu terjadi di sungai, dalam perjalanan Yogya-Priangan.

(2) Jawa Barat

Jawa Barat adalah daerah operasi tempat Sersan Kasim bertugas. Daerah yang ditinggalkannya karena
Sersan Kasim beserta beberapa kompi prajurit harus meninggalkannya untuk hijrah ke Yogya, kota yang
diduduki Belanda seiring dengan pelanggaran persetujuan gencatan senjata.

(3) Yogya

Yogya adalah tempat tujuan hijrah TNI, dan tempat Acep, anak Sersan Kasim dilahirkan, sekaligus tempat
istri Sersan Kasim meninggal sehari setelah Acep dilahirkan dengan sisa tenaganya.

(4) Di pinggir desa

Tempat Acep dimakamkan, saksi bisu pengorbanan Sersan Kasim.

2) Setting Waktu

(1) Jam satu malam

Malam yang gulita dan hujan di mana pada saat itu para prajurit melakukan perjalanan menuju ke
Priangan, Jawa Barat. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, dan dilakukan malam agar tidak diketahui
oleh musuh.

(2) Sepuluh bulan yang lalu

Tepatnya pada bulan Februari 1948, ketika Sersan Kasim dan kompi lainnya sera para keluarganya juga
menyeberangi sungai yang sama. Pada saat itu istri Sersan Kasim memaksa untuk menyertai suaminya,
walau dalam kondisi hamil.

(3) Pada waktu fajar merekah

Saat para prajurit menunda perjalanan untuk menyertai pemakaman Acep.

(4) Matahari telah naik

Hari mulai siang, kompi segera melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Dalam cerpen dituliskan,
“matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembab oleh hujan
semalam.” Penulis menafsirkan bahwa keputusan terberat yang diambil Sersan Kasim dan
menyelamatkan banyak nyawa menjadi sebuah pengorbanan yang mulia, sebagaimana Nabi Ibrahim,
yang siap mengorbankan anak tercintanya untuk memenuhi ujian akan kecintaannya kepada Alloh SWT.
Kini para prajurit itu telah selamat, dan ada harapan baru dengan semangat yang baru, dengan tetap
melanjutkan perjuangan.

3) Setting Suasana

Cerpen “sungai” menggambarkan suasana kesedihan ., dapat dibuktikan pada penggalan cerita .
Kesedihan yang dalam, jelas terukir pada wajahnya. Baju seragamnya tampak kuyup, hingga lehernya.
Komandan kompi tampil ke muka. Ia menghampiri Kasim. Ia menggenggam tangan kanan sersannya
dalam kedua belah tangan. Matanya merah, tidak hanya kurang tidur. Dalam angan-angannya terbayang
Nabi Ibrahim, yang siap mengorbankan putranya. Tapi ia tak berkata apa-apa.

4) Setting Peristiwa

Cerpen “Sungai” mengisahkan peristiwa pada masa “perang”. Meskipun sudah tiga tahun Indonesia
merdeka, namun Belanda masih bercokol di Indonesia dan masih ingin menguasai kembali.

5. KONFLIK

Pengertian :

Salah satu hal yang merupakan bagian dari kehidupan manusia bahkan kadang menjadi penentu alur
hidup seseorang adalah konflik. Konflik sendiri sangat luas cakupannya. Secara umum konflik dalam karya
sastra bisa digolongkan menjadi dua, yakni konflik internal dan konflik eksternal. Untuk lebih jauh, konflik
internal adalah permasalahan yang terjadi dalam diri seorang tokoh dan mengalami pergulatan dalam
dirinya tanpa disebabkan atau mempengaruhi orang lain di sekitarnya. Sedangkan konflik eksternal adalah
masalah yang terjadi dengan faktor lain di luar diri.

Data :

Ketika giliran peletonnya untuk menyeberang, Kasim menggigil lebih keras lagi. Bukan hanya karena hujan
tambah keras turun. Bukan hanya karena angin pegunungan yang menembus sela-sela rusuknya. Ia juga
menggigil karena Acep mulai resah dalam gendongannya. Air hujan sudah merembes masuk mengenai
kulitnya dan ia menggeliat-geliat kebasahan dan kedinginan.

Sersan Kasim mulai memegang tali yang terentang dari tepi ke tepi. Air membasahi kakinya, membasahi
celananya, membasahi sebagian bajunya, menjilat-jilat gendongan anaknya. Ia mulai repot meninggikan
anak dan senjatanya bersama-sama. Pada suatu saat ia terperosok ke dalam lubang pada alas sungai dan
ia terhuyung-huyung dilanda arus yang deras dan dingin. Air mencapai dada, merendam anaknya

Di hulu sungai, sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara. Malam jadi terang-benderang. Seluruh
kompi menahan napas. Masing-masing terpaku pada tempatnya. Peleton 1 di seberang sana. Peleton 3 di
seberang sini, sedangkan Peleton 2 di tengah-tengah sungai. Di tengah-tengah Peleton 2 itulah Acep
menangis pada dada bapaknya.

Analisis :

Dalam Cerpen tersebut terdapat Konflik Eksternal yang didalamnya terdapat konflik Sosial dan fisik .
Dibuktikan dengan permasalahan yang dialami kasim dengan para pasukan tentara belanda yang ingin
menyerang , sedangkan keadaan kasim yang memiliki istri yng sedang hamil .

Terdapat pula permasalahan yang dialami kasim dengan cuaca alam yang membuat ia dan anaknya harus
berjuang dengan keadaan hujan yang sangat deras untuk melawan tentara yang menyerangnya .

Anda mungkin juga menyukai