Anda di halaman 1dari 8

Analisis Cerpen SUNGAI (Nugroho Noto Susanto)

Posted in
07.06

Cerpen "Sungai" karya Nugroho Noto Susanto adalah cerpen yang mengisahkan tentang
tokoh sentral bernama Kasim seorang kepala regu TNI. Cerpen ini mengangkat tema
pengorbanan yang ditandai dengan berbagai hal hingga mengharuskan Sersan Kasim
mengorbankan orang-orang yang dicintainya mulai dari istri juga anaknya. Hal ini tercermin saat
sepuluh tahun yang lalu Aminah, istri Sersan Kasim, memaksa untuk ikut menyebrang ke
wilayah kekuasaan Republik padahal saat itu istrinya sedang hamil, dua bulan kemudian Sersan
Kasim harus merelakan istrinya menghembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan Acep.
Selain itu saat penyebrangan berikutnya Sersan Kasim juga harus mengorbankan Acep, putranya,
demi menyelamatkan prajurit-prajurit yang dipimpinnya.
Tokoh dalam Cerpen "Sungai" terdiri atas Sersan Kasim, Aminah (istri Sersan Kasim),
Acep (anak Sersan Kasim), Komandan Peleton, dan para prajurit kompi. Namun tidak ada
penggambaran spesifikasi dari tiap tokoh kecuali Sersan Kasim sebagai tokoh sentral dalam
cerita dan Komandan Peleton sebagai tokoh periferal atau tokoh tambahan. Sersan Kasim
digambarkan berwatak penyayang, hal ini tercermin pada saat Sersan Kasim tetap bersi keras
membawa Acep, anaknya, dalam penyebrangan yang membahayakan daripada menitipkannya ke
orang asing. Sikap Sersan Kasim ini dapat dikatakan sebagai wujud cintanya kepada sang istri
dengan cara menjaga Acep. Sersan Kasim juga digambarkan mempunyai watak bertanggung
jawab, dapat dilihat dari sikap Sersan Kasim yang berani menjamin bahwa anaknya tidak akan
menangis dan membahayakan regu dalam penyebrangan. Selain itu pada saat situasi genting pun
Sersan Kasim rela mengorbankan anaknya demi keselamatan ratusan prajurit yang menjadi
tanggung jawabnya. Watak lain yang dimiliki Sersan Kasim adalah tabah, tercermin saat istrinya
meninggal ia tetap melanjutkan hidupnya dengan mengasuh dan menjaga Acep dengan penuh
kasih sayang, kemudian saat Acep akhirnya meninggal dunia dalam penyebrangan, Sersan
Kasim meskipun dengan kesedihan mendalam ia tetap melanjutkan perjalanan lagi.
Komandan peleton sebagai tokoh periferal atau tokoh tambahan dalam Cerpen "Sungai"
digambarkan memiliki watak yang sigap dan cermat yang tercermin dari sikapnya yang tanggap
terhadap Sersan Kasim yang ingin membawa anaknya dalam penyebrangan. Selain itu
Komandan Peleton juga memiliki watak yang bijaksana, hal ini tercermin pada saat ia
mengembalikan lagi keputusan tentang keinginan Sersan Kasim membawa serta anaknya dalam
penyebrangan pada Sersan Kasim sendiri, Komandan Peleton hanya mengingatkan bahwa
risikonya akan lebih besar jika Sersan Kasim membawa serta anaknya. Komandan Peleton juga
digambarkan memiliki watak bertanggung jawab karena ia perhatian kepada seluruh anggota
yang dipimpinnya, hal ini tercermin dari perhatiannya terhadap Sersan Kasim.
Latar/setting yang digunakan dalam Cerpen "Sungai" menggambarkan bahwa tempat
terjadinya adalah di Sungai Serayu di Jawa Tengah, terbukti dalam kutipan (Kini, kembali ia
akan menyebrangi sungai. Sekali ini bukan sungai kecil, melainkan salah satu sungai terbesar di
Jawa Tengah: Sungai Serayu). Waktu terjadinya peristiwa dalam Cerpen "Sungai" adalah masa
setelah kemerdekaan Indonesia, saat terjadi gencatan senjata melawan Belanda, terbukti dalam
kutipan (Tentara Belanda telah menduduki Yogya, persetujuan gencatan senjata telah dilanggar,
dan Republik tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada) Hal yang lebih
menjelaskan lagi bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah Kemerdekaan Indonesia adalah
Aminah, istri Sersan Kasim, meninggal pada tahun 1948.
Suasana yang tercipta dalam Cerpen "Sungai" adalah menegangkan dan mengharukan,
tercermin saat Acep mulai menangis dalam gendongan Sersan Kasim yang kemudian menarik
perhatian musuh yang menembakan peluru kembang api hingga membuat para prajurit merasa
terancam. Keharuan muncul saat ternyata Acep tidak selamat dalam penyebrangan.
Alur yang digunakan dalam Cerpen "sungai" adalah alur lurus atau alur maju meskipun
didalamnya terdapat back tarcking saat Sersan Kasim mengingat tentang istrinya yang bersikeras
untuk ikut Sersan Kasim dalam tugasnya kala itu, lalu dua bulan kemudian istrinya melahirkan
Acep, namun sehari setelah melahirkan, Aminah meninggal dunia.
Setelah mengidentifikasi Cerpen "Sungai" tentu ada pelajaran yang dapat diambil dari
cerita tersebut, antara lain adalah sebagai pemimpin hendaknya selalu mendahulukan
kepentingan kelompok dibanding kepentingan pribadi, tercermin dari sikap Sersan Kasim yang
lebih mengutamakan nyawa lebih dari seratus prajurit yang dipimpinnya dengan mengorbankan
anak semata wayangnya. Selain itu, sebagai seorang pemimpin juga dituntut untuk selalu
berpikir menentukan solusi dalam kondisi segenting apapun, tercermin dari keputusan Sersan
Kasim yang akhirnya mengorbankan anaknya saat regunya terancam.
Sungai
Karya Nugroho Notosusanto

Sungai

Setiap kali menyeberangi sungai, Sersan Kasim merasakan sesuatu keharuan yang
mendenyutkan jantungnya. Seolah-olah ia berpisah dengan sesuatu, sesuatu dalam hidupnya.
Makin besar sungai itu, makin besar pula keharuan yang menggetarkan sanubarinya.

Kini, kembali ia akan menyeberangi sebuah sungai. Sekali ini bukan sungai kecil, melainkan
salah satu sungai yang terbesar di Jawa Tengah, Sungai Serayu.

Sersan Kasim adalah Kepala Regu 3, Peleton 2 dari kompi TNI terakhir yang akan kembali ke
daerah operasinya di Jawa Barat. Tentara Belanda telah menduduki Yogya, persetujuan gencetan
senjata telah dilanggar, dan Republik tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada.

Jam satu malam cuaca gelap gulita dan murung, hujan turun selembut embun namun cukup
membasahkan. Hati-hati Kasim memimpin anak buahnya menuruni tebing yang curam dan licin.
Ia sendiri berjalan dengan sangat hati-hati, menggendong bayi pada panggulnya sebelah kiri.
Dari bahu kanan bergantung sebuah sten. Hanya samar-samar matanya yang terlatih melihat
orang yang berjalan di depannya. Untuk memudahkan penglihatan, tiap-tiap prajurit yng kurang
baik penglihatannya, memasang sepotong cendawan yang berpijar pada punggung kawan yang
berjalan di depannya.

Sepuluh bulan yang lalu, pada bulan Februari 1948, Sersan Kasim juga menyeberangi Sungai
Serayu dengan kompinya. Tatkala itu mereka berjalan ke arah timur. Persetujuan Renville telah
ditandatangani dan pasukan-pasukan TNI harus hijrah ke kantong-kantong dalam wilayah de
facto Belanda. Banyak diantara bintara dan prajurit yng membawa serta anak istrinya.

Ketika itu Sersan Kasim telah setengah tahun menikah. Istrinya yang belia sudah lima bulan
mengandung. Namun, ia memaksa mengikuti suaminya ke wilayah kekuasaan Republik. Pernah
terpikir oleh Kasim untuk menitipkan istrinya kepada mertuanya di Pager Ageung. Tapi tidak
sempat, lagipula Aminah tidak mau ditinggalkan. Ia bersitegang hendak ikut. Dan siapa yang
dapat bertahan terhadap sifat keras kepala wanita yang sedang mengandung?

Dua bulan setelah mereka tiba di Yogya, Acep dilahirkan. Matanya hitam tajam, meskipun
badannya sangat kecil, dan rambutnya lebat seperti hutan di Priangan. Tapi untuk melahirkan
anaknya, Aminah telah menggunakan sisa-sisa tenaga rapuhnya yang terakhir. Ia meninggal
sehari kemudian karena kepayahan. Acep dapat dipertahankan hidupnya berkat rawatan khusus
para dokter dan juru rawat di rumah sakit tentara.

Kini Sersan Kasim berjalan kembali ke Jawa Barat. Kali ini jarak antara Yogya dan Priangan
Timur harus mereka tempuh dengan berjalan. Tidak ada truk Belanda yang mengangkut, tidak
ada kereta api Republik yang menjemput. Mereka berjalan kaki, menempuh jarak lebih dari 300
kilometer, turun lembah, naik gunung, menyeberangi sungai kecil dan besar.

Akhirnya mereka kembali di tepian Sungai Serayu, akan tetapi jauh kesebelah hulu, di kaki
pegunungan daerah Banjarnegara. Kini tiada jembatan, tiada titian. Mereka harus terjun ke dalam
air.

Perlahan-lahan Sersan Kasim menuruni tebing yang curam. Ia menggigil dilanda angin
pegunungan dari sebelah lembah. Dengan cermat ia perbaiki letak selimut berlapis dua yang
menutupi Acep dalam gendongan. Acep, biji matanya, harapan idamannya. Kemudian, dengan
satu gerakan ia usap air hujan pada wajahnya sendiri. Ia menggigil lagi. Iring-iringan sekonyong-
konyong berhenti. Prajurit di depannya juga menggigil. Mereka menggigil berdekat-dekatan.

Kemudian ada pesan dari depan.


“Kepala Regu, kumpul!” dibisikkan dari mulut ke mulut. Kasim berjalan ke muka. Komandan
Peleton sudah menanti di depan Regu I. Mereka menerima instruksi mengenai penyeberangan.
Menurut intelligence, musuh menjaga tepian sana dengan kekuatan satu kompi. Sungai diawasi
mulai bagian yang airnya setinggi perut. Karena itu pasukan akan menyeberangi lebih ke hilir.
Ada kemungkinan air mencapai dada. Perintis telah menyiapkan tali untuk berpegangan.

”Ada pertanyaan?” tanya Komandan Peleton.


Tidak ada yang menyahut. Samar-samar Sersan Kasim melihat pandangan Komandan tertuju
kepadanya.
”Bagaimana bayimu?” tanya Komandan.
“Tidur Pak,” jawab Kasim singkat.
”Kalau pikiranmu berubah, masih ada waktu untuk menitipkannya pada barisan keluarga.”

Kasim tak segera menjawab. Sebentar pikirannya melayang kepada para wanita dan kanak-kanak
yang dititipkan kepada Pak Lurah dan penduduk Karangboga. Kalau situasi aman, mereka akan
diseberangkan sedikit demi sedikit oleh rakyat. Mereka akan dijemput oleh satu regu di seberang
sungai setelah
diberitahu oleh kurir.

”Sersan Kasim tinggal. Lainnya bubar!” kata Komandan menembus kesepian. Kepala regu
lainnya kembali kepada anak buahnya.

Lagi Kasim merasa pandangan mata Komandan tertuju kepadanya dan kepada anaknya. Kasim
tahu apa arti pandangan itu. Ya, ia tahu sebenarnya Komandan ingin bertanya, apakah ia
menyadari bahwa tangisan seorang bayi dapat membawa kebinasaan bagi lebih dari seluruh
kompi. Bahwa bayinya, si Acep, dapat mmbahayakan jiwa lebih dari seratus orang prajurit.
Itulah yang tersirat dalam pandangan Komandan.

Pandangan Komandan itu seolah-olah berkata, ”Ingatlah Kompi 3 batalyon B yang kehilangan
16 prajurit dan 10 keluarga, karena serangan mendadak oleh musuh. Hanya karena seorang bayi
yang menangis. Tangis yang dengan cepat menular pada beberapa anak kecil lainnya”.

Samar-samar Sersan Kasim mendengar derau sungai di bawah. Dia bayangkan kesunyian malam
yang aman dirobek-robek oleh letusan senjata. Dia bayangkan kompinya terjebak di tengah-
tengah sungai, tak berdaya.
Tatkala itu Acep bergerak-gerak dalam gendongan bapaknya. Kasim merasa anaknya menyusup-
nyusupkan kepala ke dadanya, ke ketiaknya, seakan-akan mencari perlindungan yang lebih
aman. Rasa sayang membual keluar dan menyesakkan kerongkongan Kasim. Anakku yang tak
sempat mengenal ibunya, pikirnya. Anakku yang disusui oleh botol. Dan kini dia harus dititipkan
pada orang lain! Untuk berapa lama? Dan amankah dia dalam asuhan orang lain? Akan
selamatkah dibawa orang asing dalam penyeberangan nanti? Anak lelaki titipan satu-satunya,
pusat rasa yang sehalus-halusnya, peninggalan istri yang setia dan keras hati. Cucu yang akan
dibawanya sebagai oleh-oleh untuk orang tuanya di Garut, untuk mertuanya di Pager Ageung,
sebagai tanda mata anak dan menantu dari istrinya tercinta yang telah meninggal.

Sersan Kasim membelai anaknya yang dalam gendongan, ”Saya minta izin untuk
membawanya,” katanya.
”Kau yakin dia tidak menangis?”
”Insya Allah, tidak.”
”Baik kalau begitu. Hati-hati saja.”
”Siap Pak. Terima kasih.”

Ketika giliran peletonnya untuk menyeberang, Kasim menggigil lebih keras lagi. Bukan hanya
karena hujan tambah keras turun. Bukan hanya karena angin pegunungan yang menembus sela-
sela rusuknya. Ia juga menggigil karena Acep mulai resah dalam gendongannya. Air hujan sudah
merembes masuk mengenai kulitnya dan ia menggeliat-geliat kebasahan dan kedinginan.

Sersan Kasim mulai memegang tali yang terentang dari tepi ke tepi. Air membasahi kakinya,
membasahi celananya, membasahi sebagian bajunya, menjilat-jilat gendongan anaknya. Ia mulai
repot meninggikan anak dan senjatanya bersama-sama. Pada suatu saat ia terperosok ke dalam
lubang pada alas sungai dan ia terhuyung-huyung dilanda arus yang deras dan dingin. Air
mencapai dada, merendam anaknya. Dan tiba-tiba Acep menangis....
Acep menangis.
Melolong-lolong.
Merobek-robek kesunyian malam dari tebing ke tebing. Suaranya tajam menyayat hati.
Menyayat hati bapaknya, hingga sesak bagaikan tak dapat bernapas.

Di hulu sungai, sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara. Malam jadi terang-
benderang. Seluruh kompi menahan napas. Masing-masing terpaku pada tempatnya. Peleton 1 di
seberang sana. Peleton 3 di seberang sini, sedangkan Peleton 2 di tengah-tengah sungai. Di
tengah-tengah Peleton 2 itulah Acep menangis pada dada bapaknya.

Tak ada orang yng mengetahui dengan pasti, apa yang terjadi dalam beberapa menit, yang terasa
seperti berjam-jam. Juga Sersan Kasim tidak sadar. Ia hanya tahu anaknya menangis, setiap saat
musuh dapat menumpas mereka dengan senapan mesin dan mortir di bawah peluru cahaya
kembang api yang telah mereka tembakkan. Seluruh kompi memandang kepada dia, bergantung
kepada dia. Nasib seluruh kompi tertimpa pada bahunya.

Sejurus kemudian suara Acep meredup. Sesaat lenyap sama sekali.


Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang jantungnya
berdegup seperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit mulai mati, dan kelam mulai
menyelimuti kembali suasana di lembah sungai itu. Kini yang terdengar hanya derau air yang tak
putus-putusnya ditingkahi oleh kwek-kwek katak di tepian. Beberapa menit kemudian kompi
menghela napas lega dan selamat tiba di seberang.

Keesokan harinya, pada waktu fajar merekah, kompi menunda perjalanannya sementara waktu,
meskipun masih terlalu dekat kepada kedudukan musuh. Mereka berhenti pada sebuah desa.
Dengan bersama Pak Lurah dan banyak diantara penduduk, mereka berkumpul di pinggir desa.
Di sana, dalam upacara yang singkat, Acep diturunkan ke liang kubur. Kemudian semua mata
tertuju kepada sosok tubuh Sersan Kasim yang berjongkok di hadapan pusara kecil yng baru
ditimbun. Kepalanya terkulai, menunduk.

Akhirnya, ia berdiri dan memandang ragu-ragu sekeliling. Kesedihan yang dalam, jelas terukir
pada wajahnya. Baju seragamnya tampak kuyup, hingga lehernya. Komandan kompi tampil ke
muka. Ia menghampiri Kasim. Ia menggenggam tangan kanan sersannya dalam kedua belah
tangan. Matanya merah, tidak hanya kurang tidur. Dalam angan-angannya terbayang Nabi
Ibrahim, yang siap mengorbankan putranya. Tapi ia tak berkata apa-apa.

Setengah jam kemudian, kompi melanjutkan perjalanannya pada punggung bukit yng sejajar
dengan tebing sungai. Matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi
yang lembap oleh hujan semalam. Ditengah-tngah barisannya Sersan Kasim berjalan dengan sten
tergantung sunyi pada bahunya. Jauh di bawah, di lembah yang dalam, Sungai Serayu sayup-
sayup menderau. Keharuan yang luar bisa kini meluap-luap dalam dada Sersan Kasim,
membanjir, menghanyutkan. Dan ia berjalan terus.
Dan di bawah, sungai mengalir terus
Unsur-unsur Intrinsik :
1. Tema :
Tema cerpen "Sungai" adalah menunjukkan sikap rela berkorban (kasih), tabah dalam
menghadapi masalah (teguh hati), dan tidak mudah menyerah dengan keadaan (optimis). Hal ini
sesuai dengan isi cerita di mana sersan Kasim sebagai tokoh utama berusaha dengan segenap
tenaga untuk membawa Acep (anaknya yang masih bayi) menyeberangi sungai Serayu agar
sampai di tepi dengan selamat. Meskipun perbuatan yang dilakukannya tersebut menimbulkan
konflik batin dalam diri sersan Kasim, tetapi dia tetap tegar menghadapi kenyataan yang ada
sampai akhirnya Acep meninggal dunia.
2. Alur/Plot :
Dalam cerpen "Sungai" tersebut konflik yang ditimbulkan masih dalam bentuk konflik biasa,
artinya konflik tersebut masih dapat diselesaikan atau ditebak oleh pembacanya. Konflik yang
ditunjukkan pada cerpen terdiri dari konflik internal, yaitu konflik batin tokuh utama (Sersan
Kasim) dan konflik eksternal, yaitu konflik antara tokoh utama dengan tokoh utama lainnya
(Acep) dan dengan tokoh bawahan (Aminah dan Komandan peleton). Di sini sebenarnya
pembaca dapat menduga apa yang akan terjadi selanjutnya, namun Nugroho Notosusanto
menyajikan konflik ini secara sempurna dengan bahasa cerpen yang menggunakan kalimat
retoris, seperti dalam kalimat, "…Dan siapa yang dapat bertahan terhadap sifat keras kepala
wanita yang mengandung?", dan terdapat beberapa konflik lain yang cukup menegangkan
sehingga mendorong pembacanya untuk terus mengikuti jalan cerita dari cerpen tersebut.
3. Amanat :
Setelah menganalisis karya sastra cerpen "Sungai" karya Nugroho Notosusanto tersebut, maka
ada beberapa nilai-nilai Kristiani yang dapat diambil dan dijadikan sebagai pelajaran yang
berharga bagi setiap pribadi yang takut akan Tuhan, dengan meneladani tokoh utama. Tokoh
utama cerpen, Sersan Kasim, memiliki semangat rela berkorban demi kepentingan orang lain dan
membantu orang lain tersebut dengan setulus hati. Selain itu, Sersan Kasim adalah seorang
pribadi yang tabah dan tidak mudah menyerah dengan keadaan, menghadapi setiap masalah yang
terjadi dengan pengharapan penuh bahwa setiap masalah pasti dapat diselesaikan dengan baik,
asalkan mempercayakan seluruh hidup kita kepada. Seperti halnya Yosua yang selalu
mempercayakan hidupnnya kepada Tuhan dan melihat segala sesuatu memakai kaca mata rohani
serta selalu bersikap optimis terhadap segala sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari.
Oleh sebab itu sebagai orang percaya di dalam Kristus, apapun yang terjadi dalam hidup ini, baik
masalah, pergumulan maupun masa depan kita serahkan semua ke dalam tangan Tuhan dan
melakukan apa yang menjadi bagian kita, seperti motto hidup saya, "Terus berusaha selagi ada
kesempatan, jangan menyerah selagi ada harapan, dan terus berdoa selagi Ia mau
mendengarkan".
4. Latar :
1) Setting Tempat
1 Sungai : Dari judulnya, cerpen tersebut menggambarkan bahwa kisaran tempat adalah di
sungai, tepatnya Sungai Serayu, di kaki pegunungan daerah Banjarnegara. Cerpen ini diawali
dengan istilah menyeberangi sungai, dan pada klimaks cerita, peristiwa itu terjadi di sungai,
dalam perjalanan Yogya-Priangan.
2 Jawa Barat : Jawa Barat adalah daerah operasi tempat Sersan Kasim bertugas. Daerah yang
ditinggalkannya karena Sersan Kasim beserta beberapa kompi prajurit harus meninggalkannya
untuk hijrah ke Yogya, kota yang diduduki Belanda seiring dengan pelanggaran persetujuan
gencatan senjata.
3 Yogya : Yogya adalah tempat tujuan hijrah TNI, dan tempat Acep, anak Sersan Kasim
dilahirkan, sekaligus tempat istri Sersan Kasim meninggal sehari setelah Acep dilahirkan dengan
sisa tenaganya.
4 Di pinggir desa : Tempat Acep dimakamkan, saksi bisu pengorbanan Sersan Kasim.
2) Setting Waktu
1 Jam satu malam : Malam yang gulita dan hujan di mana pada saat itu para prajurit melakukan
perjalanan menuju ke Priangan, Jawa Barat. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, dan
dilakukan malam agar tidak diketahui oleh musuh.
2 Sepuluh bulan yang lalu : Tepatnya pada bulan Februari 1948, ketika Sersan Kasim dan kompi
lainnya sera para keluarganya juga menyeberangi sungai yang sama. Pada saat itu istri Sersan
Kasim memaksa untuk menyertai suaminya, walau dalam kondisi hamil.
3 Pada waktu fajar merekah : Saat para prajurit menunda perjalanan untuk menyertai
pemakaman Acep.
4 Matahari telah naik : Hari mulai siang, kompi segera melanjutkan perjalanan yang masih
panjang. Dalam cerpen dituliskan, “matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana,
memanasi bumi yang lembab oleh hujan semalam.” Penulis menafsirkan bahwa keputusan
terberat yang diambil Sersan Kasim dan menyelamatkan banyak nyawa menjadi sebuah
pengorbanan yang mulia, sebagaimana Nabi Ibrahim, yang siap mengorbankan anak tercintanya
untuk memenuhi ujian akan kecintaannya kepada Alloh SWT. Kini para prajurit itu telah
selamat, dan ada harapan baru dengan semangat yang baru, dengan tetap melanjutkan
perjuangan.
3) Setting Peristiwa : Cerpen “Sungai” mengisahkan peristiwa pada masa “perang”. Meskipun
sudah tiga tahun Indonesia merdeka, namun Belanda masih bercokol di Indonesia dan masih
ingin menguasai kembali.
5. Penokohan (antagonis, protagonist, tritagonis) :
Tokoh yang diperankan dalam cerita ini menampilkan tiga macam penokohan, yaitu protagonis
(Sersan Kasim, Acep), antagonis (Aminah, Komandan/ Pak Letnan), dan tokoh tritagonis
(anggota peleton 1, 2, 3, Pak Lurah dan penduduk desa). Pada penokohan (karakter) ini
pengarang menyatakan beberapa karakter tokoh dengan jelas dalam teks cerpen seperti Sersan
Kasim, Aminah dan Komandan peleton. Berikut ini akan diuraikan dengan detail karakter tokoh,
baik tokoh atas (tokoh utama) maupun tokoh bawahan (tokoh pelengkap cerita) :
Sersan Kasim : sensitif (perasa/ mudah terharu), sabar, suka mengalah, bertanggung jawab,
loyalitas tinggi, rela berkorban dan tidak mudah menyerah (optimis), mudah berempati kepada
orang lain, tegar menghadapi ujian/ masalah yang terjadi atas dirinya.
Aminah : keras kepala, setia kepada suami.
Acep : manja.
Komandan peleton : bijaksana, menerapkan gaya kepemimpinan yang demokratis/ dapat
memahami perasaan orang lain (simpatik).
Pak Lurah dan penduduk desa : simpatik, ramah.
6. Sudut Pandang :
Untuk menentukan sudut pandang dalam cerpen agak sulit, karena hal ini berkaitan dengan baik
jeleknya karya sastra yang dihasilkan dan merupakan versi pengarang. Sehingga banyak yang
mengatakan bahwa sudut pandang itu sama dengan gaya si pengarang. Dalam cerpen "Sungai"
ini menggunakan sudut pandang yang bertipe pengarang, artinya pengarang sangat berkuasa
dalam menentukan cerita yang seharusnya muncul atau pemunculan tokoh secara tiba-tiba. Hal
tersebut dapat dibaca pada kalimat "……Di hulu sungai sebuah peluru kembang api
ditembakkan ke udara. Malam jadi terang benderang. Seluruh kompi menahan nafas". Kalimat
ini dengan jelas menunjukkan bahwa pengarang berkuasa menentukan cerita dan memunculkan
peristiwa secara tiba-tiba tanpa diketahui siapa yang melakukan tindakan (yang menembakkan
peluru kembang api) tersebut.
7. Gaya Bahasa/Majas :
Gaya (style) merupakan cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan
suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.Unsur-unsurnya antara lain
terletak pada pilihan kata, penataan kata dalam kalimat, dan nuansa makna serta suasana
penuturan yang ditampilkannya.
Cerpen “Sungai” banyak menampilkan kata-kata istimewa yang bersifat “asosiatif-reflektif”.
Penataan kata dalam kalimatnya juga istimewa, serta nampak nuansa makna penuturan yang
ditampilkannya pun berbeda. Ada beberapa pilihan kata dalam penataan yang istimewa, yang
disuguhkan penulis untuk memperindah bahasanya, misalnya keharuan mendenyutkan
jantungnya; cuaca gulita dan murung, hujan turun selembut embun, namun cukup
membasahkan; rambutnya lebat seperti hutan di Priangan; rasa sayang membual keluar dan
menyesakkan kerongkongan Kasim; fajar merekah; merobek-robek kesunyian malam dari tebing
ke tebing; suaranya tajam menyayat hati; serta pada kalimat Matahari telah naik, menghalau
kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembab oleh hujan semalam.
Selain pilihan kata dalam penataan yang istimewa, terdapat variasi panjang pendek kalimatnya.
Misalnya ada kalimat yang hanya terdiri atas dua kata, seperti pada kalimat Acep menangis.
Terdapat juga kalimat yang hanya terdiri atas komplemen, seperti Melolong-lolong. Serta
terdapat kalimat yang panjang, misalnya pada paragraf di bawah ini.
Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang jantungnya
berdegup seperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit mulai mati,, dan kelam
mulai menyelimuti kembali suasana di lembah sungai itu. Kini tang terdengar hanya derau air
yang tak putus-putusnya ditingkah oleh kwek-kwek-kwek katak di tepian.
Dengan kata lain, beberapa paragraf banyak mengandung unsur-unsur gaya bahasa atau
figurative language seperti repetisi, metonimi, dan hiperbola.

B. Unsur-unsur Ekstrinsik :
1. Latar Belakang Pengarang :
Pengarang cerita tersebut merupakan seorang yang berkarir di bidang militer dan pendidikan.
Selain itu juga, dia juga terkenal sebagai sastrawan. Cerita ini juga didasarkan tentang
perjuangan seorang tentara yang rela berkorban dan tidak pernah mengeluh meskipun dalam
rintangan yang sulit, dan juga ceritanya tidak jauh berbeda dari kenyataan yang ada dalam
kehidupan.
2. Kondisi Masyarakat pada saat Karya Sastra diciptakan :
Sebagian masyarakat masih ada yang memiliki keadaan sama seperti yang diceritakan pada
cerpen tersebut. Maka, cerpen ini mengangkat cerita tentang gambaran kehidupan yang mereka
alami.

Nilai-nilai Cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto


Kasih sayang :
Sebagaimana dalam cerpen tersebut, yang ditokohkan oleh Sersan Kasim. Kasing sayang pada
istrinya tergambar bagaimana akhirnya ia mengijinkan istrinya yang memaksa ikut, walau
sedang hamil. Juga kepada anaknya. Ia ingin selalu merawatnya, mendampinginya, memberi
kehangatan kasih sayang padanya.

Tanggung jawab dan amanah :


Sebagai pemimpin, ia harus menjaga keselamatan anak buahnya. Meski dalam kondisi tersulit ia
dituntut untuk selalu mengambil keputusan yang tepat dan bijak. Ia tetap bisa memimpin walau
dengan menggendong bayinya.
Pengorbanan :
Dalam menjalankan amanahnya, apapun akan dilakukan. Untuk menjaga keselamatan anak
buahnya, ia berusaha “mendiamkan “ bayinya yang menangis, agar pernyeberangan mereka
tidak diketahui musuh. Ia lakukan hal yang terberat dalam hidupnya, ketika anak satu-satunya,
warisan dari istri tercinta, pelipur laranya, akhirnya dikorbankan sebagai tanggung jawabnya
sebagai pimpinan. Tidak dijelaskan dengan pasti, apa yang dilakukan Sersan Kasim untuk
mendiamkan bayinya. Yang jelas Komandan Peleton teringat akan Nabi Ibrahim yang siap
mengorbankan buah hatinya, Ismail untuk sesuatu yang mulia, sebagai bukti kecintaannya pada
Alloh SWT.

Anda mungkin juga menyukai