Anda di halaman 1dari 138

Stefan Wolf

Bandit-bandit di Hotel Istana

Berlibur di Marbella, kota pariwisata di Spanyol yang terletak di tepi Laut Tengah.
Impian itu menjadi kenyataan bagi anak-anak STOP. Mereka semua diundang oleb
orangtua Oskar. Tetapi liburan yang semula tenang dalam sekejap berubah menjadi
petualangan yang menegangkan. Penyebabnya adalah seorang penipu yang
berhasil menggaet 2 juta Mark dari sebuah perusahaan asuransi. Penipu itu
sebenarnya bermaksud menikmati uang itu bersama istrinya. Namun kedatangan
seorang detektif swasta menghancurkan rencana mereka. Puncak kekacauan terjadi
ketika sebuah kelompok bandit mencium kesempatan untuk meraih keuntungan
besar. Pertarungan di antara para penjahat tak terelakkan—dan Sporty Thomas,
Oscar, serta Petra, berada di tengah-tengah keramaian.

_____________

PT. Gramedia

Jl. Palmerah Selatan 24 Lt. VI

Jakarta 10270

Bukan untuk dikomersilkan.

By: Ejo Hikaru

Ebook convert to other format by:

Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

TKKG: BANDITEN IM PALAST-HOTEL

Copyright @ 1983 by Pelikan AG. D-3000 I lannover 1

All rights reserved


STOP: BANDIT-BANDIT DI HOTEL ISTANA

AlihBahasa: Hendarto Setiadi

GM 31491180

Hak Cipta terjemahan Indonesia

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jl. Palmerah, Selatan 24—26, Jakarta 10270

Sampul dikerjakan oleh Itok Isdianto

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

anggota IKAPI, Jakarta, Agustus 1991

Perpustakaan Nasional : Katalog dalam terbitan (KDT)

WOLF Stefan,

STOP: Bandit-bandit di Hotel Istana / Stefan Wolf; alihbahasa: HendartoSetiadi.


—Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1991.

256 hlm, dus. :18 cm

Judul asli: TKKG: Banditen im Palast—Hotel.

ISBN 923-511—180—9

1. Ceritera Anak-anak Jerman I. Judul, II. Setiadi, Hendarto.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia. Jakarta

isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia


Daftar Isi

1. Berlibur Tanpa Sporty ? 15

2. Janda Seorang Penipu 26

3. Sebuah Rencana Busuk 42

4. Kecelakaan Kecil Setelah Tengah Malam 60

5. Pindah ke Hotel Istana 76

6. Perselisihan di Bandara 93

7. Penyamaran di Pesawat 112

8. Kepergok Penjahat 127

9. Dipermalukan di Tepi Kolam Renang 147

10. Laki-laki Bergigi Emas 163

11. Para Penjahat Bergabung 183

12. Kelompok STOP Terancam Bahaya 204

13. Petra Diculik 222

14. Akibat Terlalu Serakah 235

SPORTY

— nama sebenarnya Peter Carsten. Tapi ia boleh dibilang tidak dikenal dengan
nama aslinya itu. Ia pemimpin dari empat anak yang tergabung dalam kelompok
STOP. Ini merupakan rangkaian huruf-huruf depan nama mereka: 'S' dari Sporty,
'T' dari Thomas, 'O' dan Oskar, dan 'P' dari Petra. Sporty berumur 13 tahun,
jangkung dan langsing, berkulit coklat kemerahan (karena sering berada di luar),
berambut coklat ikal. Ia gemar sekali berolahraga - terutama judo, bola voli, dan
atletik ringan. Larinya cepat sekali! Sejak dua tahun Sporty tinggal di sekolahnya
yang juga menyediakan asrama. Ia duduk di kelas 9b. Ayahnya, seorang insinyur,
sudah meninggal dalam kecelakaan yang terjadi enam tahun yang lalu. Ibunya
sekarang bekerja di suatu perusahaan, pada bagian tata buku. Penghasilannya tidak
besar, sehingga biaya yang diperlukan untuk menyekolahkan Sporty merupakan
beban berat baginya. Tapi ia rela berkorban untuk anaknya itu. Dan Sporty anak
yang tahu membalas budi. Prestasinya di sekolah selalu baik. Meski begitu tidak
seorang pun yang pernah mengatainya 'sok rajin', karena itu memang tidak benar.
Bahkan sebaliknya, begitu ada persoalan yang sedikit saja berbau petualangan,
Sporty pasti akan langsung melibatkan diri. Ia sangat membenci ketidakadilan,
yang bisa menyebabkan ia naik pitam. Sudah sering ia terjerumus dalam kesulitan,
hanya untuk membela kebenaran.

THOMAS

(alias Komputer) — sekelas dengan Sporty. Tapi ia tidak tinggal di asrama


sekolah, karena orang tuanya tinggal di kota tempat sekolah mereka berada. Nama
keluarganya Vierstein. Ayahnya guru besar ilmu matematika di universitas. Daya
ingat Thomas yang benar-benar luar biasa, munqkin diwarisi dari ayahnya.
Otaknya benar-benar seperti komputer— segala-galanya diingat olehnya. Anak itu
bertubuh tinggi kurus. Jika ada sesuatu yang menggelisahkan dirinya, ia pasti akan
menyibukkan diri dengan mengelap lensa kaca matanya. Dan kalau terjadi
perkelahian, ia lebih senang menonton saja. Karena dalam perkelahian, yang
diperlukan tenaga otot - dan bukan daya ingat. Tapi Thomas bukan anak penakut.
Ia lebih suka beradu otak, daripada beradu otot.

OSKAR

(alias Gendut) — gemar sekali jajan. Kecuali cacat yang satu ini, anak itu benar-
benar top. Sahabat sejati! la sekelas dengan Sporty, dan juga tinggal sekamar
dengannya di asrama, yaitu di SARANG RAJAWALI. Orang tua Oskar kaya raya.
Mereka tinggal di kota itu juga. Tapi mereka tidak keberatan Oskar memilih
tinggal di asrama, karena anak itu lebih suka berkumpul dengan teman-temannya.
Katanya, di sekolab lebih asyik daripada di rumah, karena selalu ada-ada saja yang
terjadi di situ. Ayahnya memiliki pabrik coklat, jajanan yang paling digemari
Oskar Mobil ayahnya mentereng, sebuah Jaguar dengan mesin dua betas silinder.
Dalam hatinya, Oskar ingin sekali bisa langsing dan tangkas, seperti Sporty.
PETRA

(alias Salam) — berambut pirang keemasan. Matanya biru, dengan bulu mata
panjang lentik berwarna coklat tua. Gadis ini cantiknya bukan main - sampai
Sporty kadang-kadang tidak berani memandang, karena takut mukanya akan
menjadi merah. Sporty memang sangat suka pada Petra. Tapi kecantikan parasnya
tidak menyebabkan gadis belia itu lantas bersikap angkuh. Bahkan sebaliknya, ia
selalu mau jika diajak berbuat iseng. Sporty, Thomas dan juga Oskar yang gendut
selalu siap untuk melindungi Petra, apalagi jika sedang menghadapi keadaan yang
berbahaya. Terutama Sporty yang paling prihatin. Ia tidak mengatakannya secara
terang-terangan, tapi kalau perlu ia mau berkorban apa saja—demi Petra. Gadis
belia ini duduk sekelas dengan ketiga sahabatnya. Ia tinggal bersama orang tuanya
di kota. Ayahnya komisaris polisi, yang menangani urusan kriminal. Sedang
ibunya mempunyai sebuah toko kecil, tempat menjual bahan pangan. Petra renang
dengan spesialisasi gaya punggung, Sedang di sekolah, ia selalu mendapat nilai
terbaik dalam pelajaran bahasa. Ia sangat sayang pada binatang. Anjing yang
dijumpai selalu diajaknya bersalaman, itulah yang menyebabkan ia mendapat nama
julukan Salam.
Sayangnya luar biasa pada Bello, anjing spanil peliharaannya yang berbulu belang
hitam-putih. Mata anjing kesayangannya itu buta sebelah. Tapi penciumannya
sangat tajam — apalagi untuk mengendus bau ayam
panggang!

1. Berlibur Tanpa Sporty ?

HARI ini, semua sekolah di Jerman memasuki minggu terakhir sebelum liburan
musim panas. Karena itu sebenarnya agak mengherankan bahwa ruang-ruang kelas
di sekolah asrama masih penuh.

Namun konsentrasi para murid memang bukan ke pelajaran. Dalam hati semuanya
asyik menyusun rencana untuk mengisi waktu libur. Mereka sudah membayangkan
kehangatan sinar matahari di tepi pantai.

Sporty berdiri di samping pintu kelas 9b. Ia menunggu sahabat-sahabatnya sambil


bersandar pada dinding. Bukan hanya Petra dsn Thomas, tetapi juga Oskar. Teman
sekamarnya yang gendut itu melewatkan akhir pekan di rumah orangtuanya di
kota, sehingga ada kemungkinan trio itu akan datang bersamaan.
Markus Meyer, ketua kelas 9c, menghampiri Sporty. Seperti biasa ia nampak lesu
dan mengantuk

"Kau sudah dengar beritanya, Sporty? Jam pertama tidak ada pelajaran, karena ada
rapat guru..” katanya. “Kebetulan, deh."

Ia menambahkan sambil menguap lebar-lebar. "Jadi aku bisa lidur setengah jam
lagi”

Sporty mengangguk. "Apa sudah kaupastikan?"

"Bahwa aku mau tidur lagi."

"Bukan. soal rapat guru itu! Dasar pemalas."

"Oh, itu! Sudah! Pak Kepala Sekolah sendiri yang mengatakannya padaku.
Sebentar lagi pasti diumumkan."

Tapi Sporty tidak mau menunggu. Ia segera menuju ke luar.

Di pekarangan sekolah ia hertemu dengan Petra, Thomas, dan Oskar. Kecuali


mereka, masib ada sekitar tiga lusin murid lain— semuanya datang dengan
menumpang bis sekolah.

Sporty mencegat ketiga sahabatnya. lalu memberitahu mereka mengenai rapat


guru.

"Aku mau ke jalan-jalan ke taman. Kalian mau ikut? Cuacanya terlalu bagus untuk
duduk-duduk di dalam kelas."

"Mestinya sekolah memang diliburkan kalau cuaca lagi sebagus hari ini," Oskar
berkomentar.

Thomas ketawa. "Wah, itu ide yang bagus. Tapi para pengurus OSIS harus
berjuang setengah mati agar usulmu bisa diterima oleh pihak sekolah."

Petra tersenyum. "Aku ikut. deh!" Ia berkata pada Sporty.

"Nah bagaimana akhir pekan bersama orangtuamu ?" Sporty lalu bertanya pada
Oskar.

Oskar nampak berseri-seri. Matanya bersinar-sinar.


"Ya, lumayan juga. Ehm. kalau kita sudah sampai di taman, aku akan
mengumumkan sesuatu."

"Sejak di bis dia sudah bersikap penuh rahasia seperti ini," Petra bercerita pada
Sporty. "Barangkali dia diangkat sebagai Sinterklas. Kalau begitu pada hari Natal
nanti kita bakalan kebanjiran coklat."

"Ah, hari Natal kan masih lama." Oskar berseru. "Pengumumanku nanti
menyangkut urusan yang jauh lebih mendesak.”

Suasana di taman sekolah ternyata sepi-sepi saja. Hanya ada beberapa ekor burung
yang sedang berkicau riang.

Tiga buah tas sekolah dilemparkan begitu saja ke rumput di samping bangku
taman. Menjelang liburan musim panas, isi ketiga tas itu dianggap tidak terlalu
penting. Kemudian Petra, Sporty, dan Thomas, duduk bersebelahan.

Oskar tetap berdiri.

Dengan gaya sok penting ia bersiap-siap untuk memulai pidatonya. Burung-burung


pun berhenti berkicau dan memperhatikan tingkah anak itu.

Ya, ampun! pikir Sporty. Kejutan apa lagi yang nenunggu kita? Jangan-jangan
Oskar cuma mau memberitahu bahwa ia berhasil memecahkan rekor makan coklat,
dan bahwa namanya akan dicantumkan dalam Guinness Book of Record.

“Ehm, begini?" Oskar mulai berkata, lalu berdehem. "Hadirin dan anggota-anggota
kelompok STOP yang terhormat. Sebelum sampai pada pokok pembicaraan, ada
baiknya kalau latar belakangnya dijelaskan terlebih dahulu. Kita semua sudah tahu
bahwa sebentar lagi liburan musim panas akan dimulai.”

“Kalau kau tahu bahwa semuanya sudah tahu,” Sporty menyindir. "kenapa
disinggung lagi?"

“Para hadirin diharap agar tetap tenang." ujar Oskar dengan tegas. “Aku kan sudah
bilang bahwa ada yang perlu kujelaskan dulu. Jadi. sekali lagi, sebentar lagi kita
akan memasuki liburan musim panas. Orangtuaku punya kebiasaan untuk mengisi
waktu itu dengan bepergian ke tempat-tempat yang menarik. Bukan rahasia lagi
bahwa dunia penuh dengan daerah wisata yang menarik."
"Itu memang bukan rahasia!" Petra menimpalinya. "Jangan bertele-tele deh, Oskar!
Kalau tidak ada yang perlu kaukatakan, lebih baik kita dengarkan kicauan burung
saja. Daripada buang-buang waktu! Apa kau bermaksud terjun ke dunia
pariwisata?"

"Hahaha,” Oskar ketawa. "Dugaanmu tidak terlalu meleset, Petra. Kau kan tahu
bahwa orangtuaku selalu menghabiskan liburan musim panas di tempat yang sama,
dan di hotel yang sama. Aku sendiri sudah dua kali ikut. Tempatnya memang
hebat! Nah, tahun ini orangtuaku akan ke sana lagi, ke Marbella - kota pariwisata
terkenal di pantai selatan Spanyol. Mereka akan menginap di Hotel Istana yang
terkemuka."

Thomas mendesah. “Jadi, ini yang hendak kausampaikan pada kami?”

"Bukan,” jawab Oskar sambil menggeleng penuh semangat. “Itu hanya semacam
pembukaan saja. Tapi sekarang kita telah sampai pada pokok pembicaraan; aku
akan ikut lagi dengan mereka."

"Ya, untuk ketiga kalinya,” Petra berkomentar sambil mengangguk. "Mestinya


semua pegawai hotel itu diberi uang tunjangan khusus selama kau berlibur di sana.
Dan jangan lupa. tahun lalu kau sempat mencret-mencret di Marbella."

Oskar nyengir lebar. "Ah, itu kan dulu. Sekarang aku sudah jauh lebih dewasa
ketimbang tahun lalu. Artinya. aku akan lebih berhati-hati dibandingkan dulu. Lagi
pula, ayahku akan bertanggungjawab atas setiap kerusakan yang mungkin terjadi.
Selain itu, kali aku akan membawa persediaan coklat dalam jumlah yang memadai,
sehingga tidak perlu jajan. Dan yang paling penting, kalian juga ikut. Jadi, kalau
sampai terjadi apa-apa, maka kita akan menghadapinya bersama-sama .”

Untuk sejenak semuanya terdiam.

“Apa maksud dengan 'kalian juga ikut' ?"

"Maksudnya, kalian juga ikut!"

"Ke mana?"

"Kan sudah kukatakan tadi, ke Marbella, ke Hotel lstana."

"Hah, kami?"
Sporty, yang biasanya selalu berpikir cepat kali ini hanya bisa terbengong-
bengong.

"Ya kalian!” jawab Oskar dengan wajah berseri-seri. Aku akan mengulanginya
sekali kagi, oke? Petra Glockner, Thomas Vierstein, dan Peter Carsten, akan ikut
ke Marbella. Hahaha, kalian pasti tidak menyangkanya, bukan? Bapak Hermann
Sauerlich, si pemilik pabrik coklat terkenal -sekaligus juga ayahku - sudah
mengatur semuanya. Tiket pesawat sudah dibeli. Kamar-kamar hotel pun sudah
dipesan. Kita berangkat seminggu lagi."

"Maaf, Oskar, tapi liburan seperti itu terlalu mahal. Orangtuaku baru saja membeli
sebidang tanah di luar kota. Karena itu kami tidak bisa bepergian tahun ini." kata
Petra.

Thomas mengangguk. "Aku rasa orangtuaku juga tidak akan memberi izin. Hotel
Istana - wah! Dari namanya saja sudah ketahuan bahwa hotel itu pasti mahal
sekali."

"Sorry, Oskar! Maksudmu memang baik. Tapi dalam liburan kali ini anak-anak
STOP terpaksa berpisah untuk sementara waktu. Semuanya sudah punya rencana
sendiri, dan ...."

“Astaga!" Oskar berseru sambil mengentakkan kaki. "Masa kalian belum mengerti
juga, sih? Kalian diundang. Di-un-dang! Ayahku yang membayar semuanya.
Kalian hanya perlu menyediakan waktu. Tidak iebih dari itu.”

"Kami diundang?" bisik Petra sambil membelalakkan mata.

Oskar mengangguk empat kali berturut-turut.

"Kenapa heran?" Ia bertanya kemudian. "Kalian kan tahu bahwa orangtuaku sangat
menyukai kalian. Mereka akan senang sekali kalau kalian bisa ikut. Kecuali itu,
bisnis ayahku lagi maju pesat. Seluruh dunia tergila-gila pada coklat buatan
Sauerlich. Dengan demikian semuanya sudah jelas, bukan? Aku percaya bahwa
orangtua kalian takkan keberatan. Wow! Liburan kali ini pasti meriah sekali!"

Pada detik berikutnya Petra tiba-tiba melompat berdiri, lalu memeluk Oskar

Sahabatnya itu langsung tersipu-sipu. Wajahnya menjadi merah jambu. seakan


kelamaan berjemur di tepi pantai.
"Oskar!" Petra berseru sambil menari-nari. "Ini benar-benar kejutan! Kita berempat
di pantai selatan Spanyol—wah, bayangkan betapa asyiknya. Aku.. aku...”

Petra tidak bisa berkata apa-apa lagi. Thomas pun larut dalam kegembiraan. Ia
menjabat tangan Oskar erat, lalu melepaskan kacamata untuk menggosok-
gosoknya -seperti biasa kalau perasaannya kagi meluap-luap.

Hanya Sporty yang tidak terlalu terpengaruh oleh berita itu. Wajahnya tetap serius
ketika ia meletakkan tangan pada bahu Oskar.

"Terima kasih banyak atas undangan ini,” katanya. “Aku bisa Membayangkan
bahwa kalian bertiga pasti akan bersenang-senang di sana. Sayang sekali aku tidak
bisa ikut’

“Haaah???"

Oskar terbengong-bengong. Petra langsung berhenti menari-nari. Thomas pun


menatap Sporty dengan pandangan tak percaya.

“Aku tidak bisa ikut,” Sporty mengulangi sambil tersenyum getir.

“Kenapa?” Petra menghardiknya. Sikapnya Langsung berubah 180 derajat."


Apakah kau dicari polisi di Spanyol? Tentu saja tidak! Atau kau tidak tahan pada
udara yang panas di sana? Nah, mana mungkin? Jadi. apa alasanmu? Pertandingan
judo? Kalau begitu sih, keterlaluan sekali! Atau barangkali kau ingin menyendiri
selama satu minggu?”

"Busyet, Petra." kata Thomas. "Sekarang kau benar-benar ngawur."

Baru kemudian Thomas melihat bahwa mata gadis itu mulai merah dan berair. Dan
tiba-tiba ia sadar, kalau Sporty tidak ikut, maka Petra takkan bisa menikmati
ilburannya.

Sporty sendiri diam seribu bahasa. Sambil membisu ia menatap Petra


Gadis itu berusaha keras untuk menahan air mata. Ia nenghampiri Sporty, lalu
menyandarkan kepala pada bahu sahabatnya itu.

"Jangan terlalu dipikirkan," ujar Sporty sambil membelai rambut Petra yang
pirang.

"Kenapa sih kau tidak bisa ikut ?"


"Kalian tahu kan, aku jarang sekali memperoleh kesempatan untuk menghabiskan
liburan bersama ibuku. Sepanjang lahun ibuku harus membanting tulang agar aku
bisa bersekolah di sini. Minggu depan dia mulai cuti tahunan selama tiga minggu.
Kami ingin melewatkan waktu yang singkat itu bersama-sama. Dan terus terang
saja, aku sudah lama mendambakan kesempatan seperti ini. Sayang sekali,
waktunya bertepatan dengan rencana bepergian ke Marbella."

"Dasar sial!" Oskar mengumpat tertahan. "Kenapa kau tidak pernah


menceritakannya?"

“Habis, apa yang perlu diceritakan? Aku kan selalu pulang pada liburan musim
panas”

“Bagaimana kalau cuti ibumu ditunda?"

Sporty menggeleng lesu “Sayang sekali tidak bisa. Apalagi tanpa pemberitahuan
sebelumnya.”

“Masa tidak ada pemecahan lain?" Petra berseru.

Sporty hanya mengangkat ba[iu.


Ia merasa sedih sekali. Bukan karena tidak bisa ikut, tetapi karena ia terpaksa
mengecewakan ketiga sahabatnya - terutama Petra.

Oskar, yang beberapa menit masih berdiri dengan gagah, kini mulai khawatir
bahwa ia akan menghabiskan liburan bertiga dengan orangtuanya saja. Dasar sial.
Padahal semuanya sudah diatur!

2. Janda Seorang Penipu

KETIKA melewati pintu gerbang kuburan, Lisa Prachold tiba-tiba melihatnya.

Laki-laki itu berdiri di halte bis di seberang jalan. Baru saja sebuah bis nomor 41 -
satu- satunya yang melewati kuburan - berhenti, lalu berangkat lagi. Tetapi orang
itu tidak naik.

Kacamata hitamnya memantulkan sinar matahari. Siapa yang sedang


diperhatikannya?
Lisa Prachold merinding. Sebenarnya ia sudah terbiasa diperhatikan pria-pria tak
dikenal. Yang membuatnya cemas adalah penarnpilan laki-laki di seberang jalan
itu. Laki-laki itu kelihatan seperti orang Spanyol: tinggi, berkulit gelap, dan
wajahnya berkerut-kerut.

"...mirip orang Andalusia. (salah satu daerah di daerah selatan spanyol)" ujar Lisa
dalam hati. Dan tanpa sadar ia lalu berkata. "Erik meninggal di Pantai Andalusia.
Meninggal? Hmm, paling tidak, dia dianggap meninggal.”

Ia mulai menyusuri jalan-jalan setapak di kuburan itu. Hari masih pagi. Matahari
bersinar cerah. Pohon-pohon besar menberikan perlindungan terhadap sengatan
matahari. Burung-burung beterbangan ke sana kemari, laiu hinggap di atas batu-
batu nisan. Pagi-pagi begini, kuburan masih sunyi.Lisa Prachold menikmati
keheningan itu.

Batu nisan almarhum suaminya terbuat dan marmer. Di tengah-tengahnya ada foto
Erik yang telah diberi bingkai.

Erik nampak serius dan agak kikuk - seperti biasanya kalau melepaskan kacamata.
Hanya nama, tanggal lahir, serta tanggal meninggal, yang tercantum pada batu
nisannya.

Sambil membisu Lisa menghitung sampai enam puluh.

Setelah berdoa kira-kira selama satu menit, Ia memandang sekeliling. Selain dia,
ternyata ada seorang wanita tua yang sedang mencabuti rumput liar diatas sebuah
makam.

Lisa menuju pintu keluar.

Mobil-mobil lalu-lalang dengan kencang di jalan raya. Suasana di sini berbeda


sekali dengan di kuburan.

Lisa segera naik ke mobilnya. Namun ketika hendak berangkat, untuk keclua
kalinya ia melihat orang Spanyol tadi.

Laki-laki itu kini berdiri di bawah sebuah pohon. Ia menoleh ke arah mobil Lisa.

Siapa dia? Apa maksudnya? Mungkinkah semuanya hanya kebetulan saja?


Masa bodoh! pikir Lisa Tidak lama tagi aku toh sudah pergi dari sini. Dalam
beberapa hari impianku akan menjadi kenyataan: menikmati kehidupan tanpa harus
menbanting tulang untuk mencari nafkah.

Setibanya di rumab. wanita itu segera melepaskan pakaian berkabung, mengenakan


bikini lalu melompat ke swimming pool (kolam renang).

Bouboulette berlari di tepi kolam renang sambil menggonggong nyaririg. Anjing


kecil itu selalu ketakutan kalau majikannya terjun ke air. Bouboulette memang
takut air - dan rupanya ia juga takut kalau - kalau majikannya akan tenggelam.

Lisa Prachold berusia 29 lahun. Ia cantik sekali. Kulitnya berwarna putih-susu.


Rambutnya hitam kebiru-biruan. Matanya abu-abu. Selama lima tahun ia membina
rumah tangga yang bahagia bersama Erik Prachold, kepala kantor cabang sebuah
perusahaan terkemuka. Seandainya masih hidup Erik akan merayakan ulang tahun
ke-44 hari ini.

Ketika Lisa keluar dari kolam renang, ia melihat Komisanis Glockner.

Petugas polisi itu berdiri di pintu pagar. Dengan bahasa isyarat ia bertanya apakah
ia boleh masuk.

Lisa Prachold mengangguk tersenyum Lebar, mendesah tertahan, lalu mengenakan


pareo — sejenis kain sarung.

Komisaris Glockner melangkah ke teras. Ia hanya tersenyum seperlunya - sekadar


menjaga sopan santun saja. Ayah Petra memang tidak menyukai Lisa Prachold.
Sebenarnya tidak ada alasan untuk itu. Semua bukti yang telah terkumpul selama
ini hanya memberatkan suami wanita itu, namun itu bukan jaminan bahwa Lisa
Prachold tidak ikut terlibat.

Pak Glockner dipersilakan duduk oleb Lisa, yang masih tersenyum cerah.

“Mudah-mudahan Anda tidak terganggu karena anjing saya menggonggong terus-


menerus ."

"Tentu saja tidak. Saya sendiri juga punya anjing di rumah. Dia juga selalu
menggonggong kalau ada tamu yang tidak dikenalnya. ”

Ayah Petra termasuk tinggi. Badannya tegap. Rambutnya sudah mulai beruban.
Jarang sekali ada yang luput dan pandangannya.
“Begini, Bu Prachold, ia Iangsung menyinggung maksud kedatangannya.
“Penyidikan kami telah selesai. Dan saya terpaksa menyampaikan pada Anda
bahwa hasilnya tidak menggembirakan. Almarhum suami Anda tennyata tidak
sejujur yang Anda bayangkan. Kami telah nenemukan bukti-bukti bahwa dia
menggelapkan uang perusahaan sebanyak 520.O00 Mark. Penggelapan sebesar ini
tidak mungkin ditutupi untuk selama-lamanya. Suatu ketika kejahatannya pasti
akan terbongkar."

Lisa Prachold beradu pandang dengan Komisaris Glockner.

“Saya betul-betul tidak tahu apa-apa mengenai ini, Pak Glockner. Erik selalu
mengatakan bahwa penghasilannya memang besar. Dan selama ini tidak pernah
terbayang bahwa Erik berbohong pada saya.”

Mungkin saja. pikir Komisaris Glockner. Tapi mungkin juga tidak! Wanita ini
nampaknya licin bagaikan belut.

“Sekarang timbul pertanyaan, apakah suami Anda memang mengalami


kecelakaan," Pak Glockner melanjutkan. "Barangkali saja suami Anda bunuh diri
untuk ...”

“Tidak mungkin!" Lisa Prachold segera memotong. “Erik tidak seperti itu. Dia
memang ceroboh, tidak berpikiran panjang, dan - sayang sekali - juga tidak jujur.
Tapi dia bukan tipe orang, yang mungkin melakukan bunuh diri."

“Hmm. Coba Anda bayangkan. pada pagi hari tanggal 14 Mei suami Anda
membawa papan selancar anginnya ke pantai di depan Hotel Istana di Marbella.
Pada waktu itu pantainya masih sepi. Tiupan angin cukup kencang. Pelatih
selancar angin yang secara kebetulan melihat suami Anda, mengatakan bahwa
suami Anda berangkat dan menuju ke arah selatan - ke arah laut terbuka. Dia terus
berlayar, sampai menghilang di cakrawala. Pada saat itu jumlah perahu di Marbella
masih jauh lebih sedikit daripada yang dibayangkan kebanyakan orang. Tingkah
laku suani Anda menunjukkan bahwa dia memang berniat bunuh diri."

“Erik sudah lama main selancar angin. Dia benar-benar menguasai olahraga itu.
Saya yakin, dia bahkan sanggup menyeberang sampai ke Pantai Afrika."

"Tapi kondisi fisiknya pada waktu jauh dari sempurna. Anda tahu sendiri bahwa
mendiang suami Anda sehari sebelumnya menemui seorang dokter di Marbella -
karena ia merasa ada kelainan pada jantungnya."
“Inilah yang belum bisa saya pahami sampai hari ini. Enik tidak pernah bercerita
bahwa ada yang tidak beres dengan kesehatannya ?"

Pak Glockner menatap ke kolam renang. Angin lembut membelai permukaan


airnya. Dinding dan lantai kolam renang itu dilapisi tegel berwarna hijau lumut. Di
dekat tepi kolam, seekor kumbang yang baru saja jatuh ke air sedang berjuang
untuk menyelamatkan nyawanya.

Pak Komisaris melangkah ke pinggir kolam renang, mengangkat serangga itu, lalu
meletakkannya di tempat kering.

"Apakah suami Anda dulu sering pergi ke Marbella seorang diri?” Ia bertanya.

“Sekali-sekali saja. Untuk mengawasi pembangunan rumah kami di sana. Anda


pasti sudah tahu bahwa rumah peristirahatan kami hampir selesai dibangun. Kami
sebenarnya merencanakan untuk pindah ke sana. Itu merupakan impian Erik."

"Maaf, tapi saya terpaksa mengajukan pertanyaan yang bersifat pribadi. Apakah
Anda mencintai suami Anda?"

“Tentu saja, Pak Komisaris! Sampai sekarang pun saya masih mencintainya. Tali
cinta kami tidak bisa diputuskan oleh kematian”

“Bu Prachold, sejauh ini pihak polisi belum menemukan petunjuk bahwa Anda
terlibat dalam kasus penggelapan uang ini. Artinya, kami akan menghentikan
penyidikan terhadap Anda. Namun Anda tetap harus bertanggungjawab atas
kerugian yang ditimbulkan oleh almarhum suami Anda.”

"Saya tahu,” jawab Lisa Prachold sambil mengusap rambutnya yang basah.
"Karena itu saya akan menjual rumah ini. Saya bahkan sudah menemukan seorang
pembeli. Orang itu bersedia membayar 520.000 Mark Kecuali itu saya juga
memperoleh uang santunan sebesar 1,5 juta Mark dari asuransi jiwa Erik. Saya
sekarang jadi orang kaya."

“Kalau begitu Anda sebenarnya tidak perlu menjual rumah ini, bukan?"

Lisa Prachold mengangguk “Impian Erik kini jadi impian saya. Saya akan pindah
ke SpanyoL Terlalu banyak kenangan yang tersimpan di rumah ini. Saya akan
menunggu sampai vila di Marbella selesai dibangun, kemudian tinggal di sana.
Seluruh kekayaan saya sudah saya transfer lewat bank. Saya merasa masih terlalu
muda untuk menghabisken sisa hidup ini sebagai janda. Di Marbella saya punya
kesempatan untuk mulai dari awal lagi.”

“Sepertinya, semua urusan di sini sudah Anda selesaikan. Kapan Anda akan pindah
ke Marbella?”

“Minggu depan. Saya pada hari Senin."

Pak Glockner tersenyum hambar. "Di mana saya bisa menghubungi Anda,
seandainya masih ada hal-hal yang perlu kami tanyakan?”

“Selama rumah saya masih dibangun, saya akan tinggal di Hotel Istana

***

Sedang apa sih mereka? Sporty bertanya dalam hati. Hmm, mereka pasti lagi
memikirkan acara kelompok STOP selama berada di Marbella. Atau tepatnya,
kelompok TOP, sebab aku kan tidak ikut. Wah, lama-lama aku penasaran dengan
sikap mereka yang penuh rahasia. Tapi aku sudah berjanji pada Petra untuk tidak
menanyakan apa-apa.

Sikap ketiga sahabat Sporty memang menimbulkan tanda tanya besar dalam
dirinya. Teman-temannya itu merencanakan sesuatu. Tetapi Sporty sendiri tidak
boleh ikut campur.

Petra bahkan berkata, “Kali ini kau diam saja, deh! Kalau semuanya sudah beres,
kami akan memberitahumu. Pokoknya, urusan ini menyangkut dirimu. Dan kau
pasti akan terkejut?"

Sporty merasa seperti tersingkir, ketika ketiga sahabatnya terus-menerus berbisik-


bisik, dan langsung berlari ke luar ruang kelas pada waktu istirahat. Entah ke mana
mereka pergi.

Rupanya Petra, Thomas, dan Oskar, sedang sibuk setengah mati demi Sporty.
Sporty sampai merasa terharu. Tapi ia pun sadar bahwa upaya mereka tidak banyak
gunanya. Sebab tak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa rencana Sporty
untuk berlibur bersama ibunya ternyata bertepatan dengan rencana perjalanan
anak-anak STOP ke Spanyol.

Kesedihan terasa berat pada pundak Sporty. Selama jam pelajaran berlangsung, tak
sekalipun ia tersenyum. Sporty bahkan diam saja ketika celana Markus Pfeifer
tiba-tiba melorot. Ikat pinggang yang dipakai anak yang gempal itu mendadak
putus justru pada saat ia sedang berdiri di depan papan tulis! Dan sebelum sadar
apa yang telah terjadi, celananya telah turun sampai ke lutut. Tawa berderai-derai
langsung mengguncang ruang kelas.

Hanya Sporty yang tetap serius, ketika Markus terlibat perjuangan seru melawan
celana jeans-nya yang tidak mau diajak kompromi.

Pada akhir jam istirahat kedua, Petra, Thomas, dan Oskar, memasuki ruang kelas
dengan wajah berseri-seri. Sporty belum pernah melihat wajah-wajah yang begitu
bahagia.

Tapi rasa ingin tahunya terpaksa dipendam dulu, sebab jam pelajaran bahasa
Inggris telah dimulai. Pak Proger tidak suka kalau ada murid yang ngohrol sewaktu
ia sedang mengajar.

Petra menatap Sporty sambil tersenyum riang. Thomas mengedip-ngedipkan mata,


dan memberi isyarat kemenangan. Sedangkan Oskar nyengir lebar sambil
menggosok-gosok tangannya.

“Oskar Sauerlich!” Pak Proger tiba-tiba menegurnya. “Kau sudah selesai?"

“Sudah, Pak! Tapi maaf, selesai apa?"

"Mana saya tahu apa yang sedang kaulakukan? Apa kau sedang cuci tangan?"

“Itu agak sukar, Pak Guru, soalnya di sini tidak ada air.”

“Kalau begitu, kenapa kau cengar-cengir tak karuan?”

“Saya kebetulan teringat pada sesuatu yang menyenangkan.”

Pak Proger mengangguk-angguk. Ia sendiri memang belum kena demam liburan,


tapi ia cukup berjiwa besar untuk memahami perasaan anak-anak didiknya.

“Sampai hari Kamis pelajaran tetap-berjalan seperti biasa." Ia menjelaskan.


“Berusahalah untuk memusatkan pikiran pada pelajaran. Bayangkan kalau kalian
pergi ke luar negeri selama liburan. Pada kesempatan seperti itu, penguasaan
bahasa Inggris sangat bermanfaat. Aduh, Oskar, kenapa kau mulai cengar-cengir
lagi?"
"Habis Pak Guru, kami akan pergi ke Spanyol. Bahasa Inggris tidak banyak
gunanya di sana. Me entiende usted? Anda mengerti?"

“Si! Ya!” jawab Pak Proger sambil tersenyum. “Kau pergi dengan orangtuamu?"

“Ya,” Oskar berkata sambil mengangguk. "Dan dengan teman-teman saya: Petra
Thomas, dan Sporty.”

"Buen viaje - selamat jalan." ujar Pak Proger.

Setelah mendengar penjelasan Oskar, Sporty bertambah penasaran. Ia semakin tak


sabar menunggu sampai jam pelajaran usai.

Akhirnya bel sekolah berdering.

Anak-anak yang sedang tidur terkantuk-kantuk nampak tersentak kaget. Murid-


murid yang mengikuti pelajaran dengan setengah hati, langsung mengalihkan
perhatian. Pak Proger mendesah mengatakan sesuatu, kemudian menandatangani
daftar hadir.

Sementara yang lainnya berhamburan ke luar kelas, Sporty menghanpiri ketiga


sahabatnya. Ia berusaha untuk memasang tampang biasa.

“Nah, kalian masih mau main rahasia-rahasiaan?” ia bertanya pada mereka.


"Kau sudah boleh bergabung Lagi,” jawab Petra sambil ketawa.

“Sporty, kau dapat salam dan ibumu," ujar Thomas.

Sporty langsung mengerutkan alis.

“Jadi kalian menelepon ibuku? Pantas! Kalian pasti mendesak-desaknya untuk


membatalkan rencana berlibur bersama aku, bukan?"

“Hus, jangan sembarangan!” balas Petra sambil menyikut sahabatnya itu. “Mana
mungkin kami berbuat seperti Ru? Yang benar saja."

"Sorry, deh. Tapi terus-terang sajalah, kalian pasti berusaha mempengaruhi ibuku,
bukan?”

“Wah, wah, wah” kata Oskar sambil ketawa cekikikan. “Jangan berprasangka
buruk, dong! Kami hanya berusaha untuk memuaskan semua pihak. Urusannya
sebenarnya tidak terlalu rumit. Ibumu gembira sekali, karena kita semua akan
terbang ke Spanyol. Dia juga ikut. Senin malam kita akan berjumpa di Bandara
Malaga.”

Dengan mata terbelalak. Sporty menatap teman-temannya.

“Hah? Kalian main-main, ya?”

“Ibumu tentu saja juga akan tinggal di Hotel Istana,” Oskar melanjutkan. “Itu
urusan ayahku. Ayahku juga sudah mengatur agar ibumu pasti dapat tiket. Untuk
apa dia punya relasi-relasi yang berpengaruh?"

Semakin lama tampang Sporty semakin cerah. Matanya mulai bersinar-sinar.

“Busyet! Kalau ibuku... ke Marbella... bersama kita... ini bakal jadi liburan
terindah! Tapi, tunggu dulu, teman-teman! Kebetulan aku tahu bagaimana keadaan
keuangan ibuku. Ibuku tidak mungkin berlibur di hotel mewah seperti Hotel
Istana."

“Betul,” ujar Oskar sambil mengangguk “Ibumu juga mengatakan hal yang sama.
Tapi uangnya masih cukup untuk tinggal selama setengah minggu di sana.”

"Oh, hanya tiga hari,” ujar Sporty. La nampak agak kecewa.

“Ibumu akan tinggal selama tiga minggu,” Oskar menjelaskan. “Seperti kita juga.
Tapi dia baru akan mengetahuinya setelah sampai di Marbella. Kalau diberitahu
dari sekarang, bisa-bisa dia malah tidak mau berangkat. Tapi kalau sudah sampal
di sana dia pasti tidak akan menolak undangan ayahku. Oh ya, ayahku juga titip
pesan untukmu. Sporty. dia sangat gembira bahwa dia bisa melakukan sesuatu
untuk sahabat anaknya. Nab. semua kesulitan sudah teratasi. Sekarang waktunya
untuk mulai bergembira."

Sporty harus berusaha keras agar tidak bersorak-sorak. Namun kemudian ia tidak
tahan lagi. Sambil nyengir lebar ia segera merangkul ketiga sahabatnya erat-erat.

“Tolong!" seru Petra, yang terjepit di antara Oskar dan Thomas.

Tulang-tulang Thomas berderak-derak.

Oskar mulai sukar bernapas.


"Rasanya, aku ingin memeluk kalian bertiga." ujar Sporty.

"Boleh-boleh saja.” balas Petra sambil ketawa. "Tapi satu per satu, dong."

3. Sebuah Rencana Busuk

MENJELANG malam hujan lebat melanda kota dan daerah sekitarnya. Lisa
Prachold sudah berada di kamar tidurnya. Bouboulette berbaring di ujung ranjang.
Tempatnya memang di sana, dan ia siap untuk mempertahankan tempat itu dengan
gigi-giginya yang kecil tapi tajam.

Kamar tidur Lisa Prachold terletak di lantai dua. Melalui jendela balkonnya, ia
mendengar suara angin yang menderu-deru. Tiba-tiba terdengar bunyi aneh.

Bunyi itu datang dan pintu belakang. Bouboulette mengangkat kepala sejenak, lalu
mendengus kesal. Anjing kecil itu sama sekali tidak kaget. Ia sudah mengenal
suara langkah yang kini menaiki tangga.

“Waldi?" Lisa berseru.

"Hahaha siapa lagi kalau bukan aku." balas sebuah suara pria. "Apa ada orang lain
yang pegang kunci pintu belakang?" Cara ketawa laki-laki itu terdengar khas.
Memang sudah sejak lama ia melatihnya.

Cepat-cepat Lisa Prachold melirik ke cermin. Ternyata ia merasa puas dengan


penampilannya. Sesaat kemudian Waldemar Luschner, alias Waldi, muncul di
ambang pintu. Orangnya berbadan langsing. Tapi bahunya hampir selebar daun
pintu. Waldi berusia 31 tahun. Tingginya sekitar 190 senti. Ia berambut coklat dan
bermata hitam. Pakaiannya selalu perlente. Malam ini misalnya, ia mengenakan
setelan jas sutera berwarna biru muda, kemeja berwarna biru tua, serta kalung
emas 24 karat. Semuanya itu dibayar oleh Lisa, termasuk sepasang sepatu kulit
yang khusus dipesan dari Itali. Begitu juga halnya dengan jam tangan seharga 8000
Mark, serta mobil sport yang diparkir di dekat rumah wanita itu.

“Halo, Sayang!"

Waldi menghampiri tempat tidur, lalu menghujani wajah Lisa dengan ciuman
bertubi-tubi.
Lisa membelai-belai pipi kekasih gelapnya. "Ada yang lihat kau kemari?”

“Tidak ada,” jawab Waldi. “Aku menyusup lewat pekarangan tetangga-


tetanggamu. Sambil membawa payung." Ia ketawa. “Tapi aku akan bersyukur
kalau kita tidak perlu berahasia-rahasia lagi."

“Sabarlah! Tinggal seminggu lagi. Maksudku, kita tetap harus berhati-hati setelah
pindah ke Marbella. Aduh Waldi, belakangan ini aku semakin cemas saja."

Waldi segera duduk di tempat tidur. "Ada apa sih sayang ?"

Lisa menarik-narik dasternya. Kemudian ia berkata, “Polisi sudah lepas tangan.


Tadi siang Komisaris Glockner sempat mampir ke sini untuk memberitahuku
bahwa penyidikan kasus Prachold akan dihentikan. Tapi aku merasa, gerak-gerikku
masih terus diawasi. "

“Kau diawasi?!” tanya Waldi sambil mengerutkan alis. Dulu ia sering berbuat
begitu ketika mengantarkan rekening. Waldi adalah bekas pelayan restoran. Tapi
sekarang ia sudah tidak bekerja. Kini seluruh hidupnya diserahkan pada Lisa.
Wanita itu sudah lama jatuh cinta padanya. Dan mengenai uang - selama ini belurn
pernah ada perselisihan. Lisa tidak bisa dikatakan pelit sehingga Waldi tidak punya
alasan untuk mengeluh.

“Ya,” jawab Lisa sambil mengangguk “Ada seorang laki-laki yang terus
mengikutiku. Tampangnya seperti orang SpanyoL”

Lisa bercerita.

Waldi menggigit-gigit bibir.

“Mmm, perkembangan ini kurang menggembirakan, Sayang. Jangan-jangan


suamimu mulai curiga. Jangan-jangan dia yang menyuruh orang itu untuk
mengawasimu.”

“Aku juga sudah memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tidak masuk akal.
Erik tidak mungkin mengambil tindakan seperti itu. Erik percaya penuh padaku.
Dia memang tidak berdaya kalau berhadapan dengan wanita. Dia tidak bisa
mengetahui isi hati wanita. Erik pasti kaget setengah mati kalau tahu bahwa kau
dan aku sudah berhubungan begini lama.”
“Oke, oke! Dalam keadaan biasa aku pasti sependapat denganmu. Tapi coba
bayangkan, bagaimana posisi Erik Prachold sekarang, hmm? Penipu itu seakan -
akan duduk di atas bom waktu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Suamimu itu dianggap
sudah meninggal. Secara resmi Erik Prachold tidak ada lagi. Sudah berminggu-
minggu dia harus bersembunyi terus - sejak 'kecelakaan' yang dialaminya di lepas
pantai Marbella. Dalam keadaan seperti itu, seseorang menjadi mudah curiga."

"Mungkin saja dia kini bahkan tidak lagi percaya pada dirinya sendiri.”

“Hmm, barangkali kau benar.”

“Kalau orang Spanyol itu muncul lagi, maka dia akan berurusan denganku. Akan
kutanyakan apa maksud dan tujuannya.”

“Waldi, lama-lama aku pikir orang Spanyol itu hanya kebetulan saja
memperhatikan aku."

“Mudah-mudahan saja begitu.”

"Erik bukan tipe laki-laki yang suka cemburu. Padahal itulab satu-satunya alasan
yang bisa kubayangkan mengapa dia menyuruh seseorang untuk memata-matai
aku. Uang santunan yang kuperoleh dari perusahaan asuransi jiwa sudah ditransfer
ke bank di Marbella. Sedangkan di sini aku tinggal membayar ganti rugi pada
perusahaan tempat Erik bekerja dulu. Setelah itu aku langsung ke Spanyol. Erik
sama sekali tidak rnenduga bahwa kita akan menyingkirkannya. Dalam mimpi pun
hal itu takkan terbayang olehnya.”

Waldi mengangkat bahu. “Kaulab yang lebih mengenal dia. Aku hanya tahu bahwa
suamimu itu seorang penipu licik. Tapi kita berdua, Sayang, kita masih satu tingkat
di atasnya.”

Memang, pikir Lisa. Rencanaku memang sempurna. Dan sampai sekarang


semuanya berjalan lancar. Bahkan Erik pun memainkan peranannya sesuai dengan
yang diharapkan— hanya saja dia tidak menyadari bahwa dialah yang kena tipu
kali ini. Sandiwara kematiannya telah membuat aku kaya-raya. Pihak asuransi
terpaksa membayar 1,5 juta Mark. Uangnya sudah ada di Spanyol, dan tak seorang
pun mencurigai aku. Komisaris Glockner pun lebih cenderung untuk percaya
bahwa Erik bunuh diri. Tak ada yang meragukan kematiannya. Semuanya berjalan
sesuai rencana. Uang asuransi ada di bank, dan Erik tidak bisa menyentuhnya.
Soalnya Erik Prachold sudah tidak ada lagi.
Si Dungu itu sekarang bernama Heribert Steiner. Dia menjalani operasi plastik
untuk mengubah wajahnya—supaya tak ada yang mengenalinya. Sebab menurut
rencananya, dia dan aku akan tinggal bersama-sama di Marbella begitu di sana
selesai dibangun. Dasar tolol! Sejak dulu ada yang mengenalinya. Sebab menurut
rencananya, dia dan aku akan tinggal bersama-sama di Marbella begitu rumah di
sana selesai dibangun. Dasar toLol! Sejak dulu aku tidak pernah mencintainya!
Tanpa hadiah-hadiah yang selalu diberikannya, aku takkan tahan hidup
bersamanya. Uang asuransi serta rumah di Marbella merupakan hadiah terakhir
darinya. Untung dia sudah membayar rumah itu. Waldi akan memastikan agar
sandiwaranya selama ini menjadi kenyataan. Dan suatu hari mayatnya akan
terdampar di pantai. Tulisan pada batu nisannya terpaksa diubah - tapi siapa yang
peduli? Uang serta rumah - semuanya akan menjadi milikku. Aku akan memulai
kehidupan baru bersama Waldemar Luschner. Dia seorang pria sejati. Sedangkan
Erik, dia hanya seorang penipu busuk. Kematiannya tidak akan mengguncangkan
dunia, tetapi malah membantuku untuk hidup bahagia.

“Hei, kau masih terbuai mimpi indah." tanya Waldemar Luschner.

“Aku hanya memikirkan rencana kita sekali lagi ."

"Rencana yang hebat.. bukan? Suamimu pura-pura mengalami kecelakaan dan


dinyatakan meninggal. Kau memperoleh uangnya. Dia pikir, kalian berdua akan
bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi kini Tuan Erik Prachold sudah tidak
berguna lagi. dan kita - maksudku, aku - akan membereskan dia untuk selama-
lamanya."

"Tidak lama lagi kita bisa menghentikan sandiwara ini, Waldi. Sebelumnya, jangan
lupa untuk mengambil uang yang dia sembunyikan di sana.”

Lisa tersenyum. Bayangan akan uang membuat hatinya berbunga-bunga.


Jumlahnya sekitar 300.000 Mark. Aku tidak tahu persis berapa jumlah yang Erik
keluarkan untuk operasi plastik dan biaya perawatannya. Dia berada selama 12 hari
di klinik itu."

“Astaga, dokter itu seperti dewa saja! Dewa berpakaian serba putih.
Penghasilannya pasti bukan hanya dari ongkos operasi saja. Aku yakin dia juga
sering mendapat uang untuk tutup mulut.”

“Ah, itu sih lumrah. Ngomong-ngomong, aku memberitahu Komisaris Glockner


bahwa aku akan tinggal di Hotel Istana sanpai rumahku selesai dibangun.
Sebaiknya kau juga pesan kamar di sana, supaya kita bisa ketemu setiap hari. Kita
bisa pura-pura berkenalan di kolam renang, atau di bar. Takkan ada yang curiga,
dan kita tidak perlu bersandiwara lagi.”

Waldi nyengir lebar. “Rencanamu bagus. Tapi itu baru mungkin kalau suamimu
sudah mati tenggelam. Dia pasti keberatan kalau aku berkencan dengan istrinya
yang cantik, bukan?"

Lisa mengangguk.

“Mudah-mudahan saja masih ada kamar kosong di hotel itu,” ujar Waldi, sambil
menarik-narik lengan bajunya.

“Kemungkinan besar sih masih ada. Hotel Istana adalab hotel termewah di
Marbella. Tarif kamarnya selangit. Hanya orang-orang tertentu saja yang sanggup
menginap di sana. Karena itu aku yakin, pasti masih ada kamar kosong."

“Aku sudah nenyusun rencana untuk melenyapkan suamimu untuk selama-


lamanya. Tapi, untuk itu aku butuh bantuanmu, Sayang.”

"Hmm kalau memang tidak ada jalan lain”

“Begini, kau harus menemui dia -malam-malam, di pantai. Aku akan


menyergapnya dari belakang, lalu membiusnya. Kemudian dia akan mati
tenggeIam. Mayatnya akan kubawa ke tengah laut. Berminggu-minggu,mungkin
bahkan berbulan-bulan — akan berlalu sebelum mayatnya terdampar. Dan itu pun
belum pasti. Satu-satunya cara untuk mengetahui identitas mayat itu adalah dengan
memeriksa giginya?"

“Ih, mengerikan,"

"Apa boleh buat?! Di setiap samudera terdapat mayat mengambang. Ada yang
tenggelam, dan ada yang tenggelam." Dengan nada sinis Waldi lalu menambahkan,
"Jangan khawatir, mutu air laut takkan bertambah buruk karenanya.”

"Pokoknya. aku hanya mau berenang di swimming pool."

"Kau memang berperasaan halus," ujar Waldi, sambil membelai pipi Lisa.

***
Waktu berlalu dengan lambat. Anak-anak STOP semakin tersiksa. Pembicaraan
mereka hanya berkisar pada satu hal, dan Petra memanfaatkan setiap berkas sinar
matahari untuk berjemur. Ia ingin agar kulitnya sudah coklat pada saat mereka tiba
di Marbella.

Sporty tidak punya kesulitan seperti itu. Sepanjang tahun kuLitnya selalu seperti
terbakar matahari.

Diam-diam Thomas sudah mulai mempelajari bagian selatan Spanyol, yaitu daerah
Andalusia. Ia menambah pengetahuannya mengenai Costa del Sol! - Pantai
Matahari, dan mengenai adat kebiasaan masyarakat daerah itu. Suatu waktu,
demikian pendapat
Thomas, pengetahuannya pasti berguna.

Sementara itu, Oskar sibuk belajar bahasa Spanyol. Untuk itu ia telah membeli
kamus seharga 5,95 Mark. Namun baru beberapa saat membuka-buka, Oskar sudah
mulai mengomel.

"Kamus brengsek." Ia marah-marah. “Kata-kata seperti arroz - nasi, compota -


bubur, dan helado -es krim, tercantum di sini. Tapi yang paling penting justru
terlupakan. Kata 'coklat' tak disinggung sama sekali. Kalau begini caranya,
bagaimana aku bisa berbicara dengan orang-orang Spanyol?"

Sporty baru saja mengenakan kemeja berwarna putih, lalu memasukkan bagian
bawahnya ke celana jeans yang masih baru.

"Masa tidak ada?" Ia bertanya. “Memang tidak semua orang yang mau pergi ke
Spanyol gila coklat seperti kau. Tapi aku rasa kata seperti itu pasti tercantum. Coba
kulihat sebentar.”

Ia memungut kamus yang telah dibuang Oskar, lalu mulai membolak-balik


halaman-halamannya. Kamus itu dibagi menjadi beberapa bagian. Pada halaman-
halaman terakhir ada daftar isi. Daftar isi itulah yang pertama-tama dibaca oleh
Sporty.

“Nah, ini dia! Coklat dalam bahasa Spanyol adalah chocolate. Es krim coklat
bernama helado de chocolate, dan kue tart kesukaanmu adalah tarta de chocolate."

Keterangan ini membuat Oskar lebih tenang.


"Muy bien -baiklah. Aku sudah mulai takut, jangan-jangan aku beli kamus yang
khusus orang-orang yang anticoklat. "

“Ayo, bersiap-siaplah. Kita sudah telat, nih!"

Oskar mengerutkan kening, lalu menatap keempat kemeja bersih di lemari


pakaiannya. Akhirnya ia memilih yang berwarna abu-abu. Kemeja itu cocok sekali
dengan celana blue jeansnya.

“Luar biasa!" Sporty berkomentar. “Dari jauh kau mirip tukang gali kuburan.
Untung keluarga Glockner sudah tahu bahwa kau bukan pemuram."

Kedua sahabat itu, serta Thomas, diundang makan malam di rumah orangtua Petra.
Bu Glockner ingin mengadakan semacam pesta perpisahan, sebelum anak-anak
STOP berangkat ke Spanyol untuk berlibur.

Sambil mengunyah coklat, Oskar mengenakan sepatu sandalnya. Ketika keluar dari
SARANG RAJAWALI, anak itu mengenakan kaus kaki yang berbeda warna.
Yang kanan berwarna merah menyala, sementara yang kiri bergaris-garis hijau-
kuning.

Sporty mellhatnya, namun tidak mengatakan apa-apa. Kalau Ia memberitahu


Oskar, make sahabatnya itu akan menghabiskan paling tidak 10 menit untuk
mencari pasangan kaus kaki yang cocok. Padahal mereka sudah tidak punya waktu
lagi. Tak ada yang lebih tidak sopan dibandingkan datang terlambat kalau
diundang makan malam.

Suhu udara di luar mencapai 28 derajat. Tanah terasa membara. Aspal jalanan
mulai meleleh. Burung-burung gereja pun nampak sempoyongan karena
kepanasan.

Sporty dan Oskar bergegas ke gudang untuk mengambil sepeda masing-masing.

“Satu hal yang aku tidak suka di negeri kita,” ujar Oskar, “cuacanya selalu dingin.
Yang ada hanya hujan dan kabut. Hah, di Spanyol semuanya berbeda. Di sana
matahari bersinar sepanjang tahun!”

“Memangnya kau kedinginan sekarang?" tanya Sporty.

“Tidak, kenapa?"
“Habis, sepertinya kau menderita sekali karena hujan, kabut, serta cuaca yang
dingin.”

“Oooh, itu maksudmu. Biasanya sih... Hmm, kadang-kaclang memang ada


kekecualian. Seperti hari ini, misalnya."

"Sudah dua minggu cuacanya seperti sekarang.”

“Kalau begitu kekecualian kali ini bertahan agak lebih lama dari biasanya. Tapi di
Andalusia - aku rasa, orang-orang di sana bahkan tidak mengenal istilah hujan."

“Siapa bilang?" Sporty langsung membalas. “Hujan dalam bahasa Spanyol adalab
iluvia. lapi kalau kau yakin bahwa di sana takkan hujan, maka kita tidak perlu
bawa impermeables - jas hujan. Lagi pula Petra pasti akan membawa sebuah
Paraguas - payung.”

“Astaga!” seru Oskar terheran-heran. Sejak kapan kau bisa bahasa Spanyol?”

“Aku hanya bisa sedikit-sedikit. Tapi mudah-mudahan saja tambah lancar setelah
kita pulang dari Marbella”

“Ya. ampun! Kau mau menggunakan waktu liburan untuk belajar bahasa Spanyol?
Aku pikir, kita pergi untuk bersantai dan beristirahat!”

Kedua sahabat itu menyusuri jalan raya menuju kota, kemudian mengarah ke
bagian kota lama.

Mereka tiba bersamaan dengan Thomas. Anak itu sebenarnya diberi tugas beli
bunga untuk Eu Glockner. Tapi karena bunga cepat layu, ia akhirnya memilih
kaktus.

“Tanaman itu pasti berasal dan Spanyol.” Oskar berkata dengan yakin. Hanya saja
kaktus-kaktus di sana jauh lebih besar. Tingginya kurang lebih segini, ia
menambahkan sambil melompat dan berusaha menjangkau jendela di tingkat dua
dengan sebelah tangan.

Sporty dan Thomas memperhatikan tingkah sahabat mereka sambil menggeleng-


geleng.

Bello, anjing spanil kepunyaan Petra, ternyata ia sudah menunggu di balik pintu. Ia
menyambut kedatangan Sporty, Thomas, dan Oskar, sambil melonjak-lonjak dan
menggonggong riang. Baru satu setengah menit kemudian Sporty mendapat
kesempatan untuk menyalami Bu Glockner dan suaminya.

Thomas lalu menyerahkan kaktus itu atas nama anak-anak STOP. Bu Glockner
menerimanya dengan gembira. Tapi Petra nampak mengerutkan alis.

"Kalian mau menyindir aku, ya?” Ia bertanya dengan manis.

"Lho, kenapa?" tanya Sporty terkejut.

“Kalian tentu tahu bahwa aku yang bertugas menyiram tanaman di rumah ini,
bukan? Kalian juga tahu bahwa tanaman kaktus hanya membutuhkan sedikit air.
Dengan membawa kaktus, kalian pasti bermaksud untuk menunjukkan bahwa aku
pelupa. Huh. rencana kalian sudah terbaca. Tapi aku takkan terpengaruh!”

Komisaris Glockner ketawa.

“Aduh, Petra! Coba lihat tampang teman-temanmu. Mereka pasti tidak berpikiran
sejauh itu."

Meja makan ternyata sudah penuh dengan hidangan yang nampak lezat.

Oskar segera mengelilingi meja, kemudian sampai pada kesimpulan bahwa taplak
serta piring-piringnya asli buatan Jerman.

"Malam ini kita akan menikmati masakan Spanyol,” ujar Bu Glockner. “Supaya
kalian sudah terbiasa kalau sampai di sana. Ayo, silakan duduk semuanya."

Petra pergi ke dapur, lalu kembali sambil membawa mangkuk sup berukuran besar.
Tetes-tetes air dingin nampak mengembun pada sisi mangkuk itu.

Lho, aneh benar, pikir Sporty.

Sebuah mangkuk berisi potongan-potongan roti panggang telah tersedia di meja.

"Saya menyiapkan gazpacho untuk makan malam,” Bu Glockner menjelaskan.


"Selain Oskar, mungkin belum ada yang tahu bagaimana rasanya, atau?”

“Sampai sekarang saya belum pernah mencicipinya,” Thomas angkat bicara. “tapi
saya tahu masakan itu. Gazpacho adalah masakan terkenal dan daerah Andalusia.
Sup itu dimakan dalam keadaan dingin. Isinya tomat, ketimun, irisan cabe, minyak
sayur, serta rempah-rempah."
“Wah, kalau begini saya tidak perlu beli buku masakan lagi." Bu Glockner
berkomentar sambil ketawa.

Mereka mulai mencicipi gazpacho.

“Bu Glockner, sup ini benar-benar lezat," Sporty akhirnya memuji.

Bu Glockner hendak mengucapkan terima kasih, tapi Oskar keburu


mendahuluinya. Tanpa malu-malu anak itu menyodorkan piringnya yang telah
kosong.

"Betul, sup ini memang enak sekali. Orang Spanyol saja tidak bisa membuat
gazpacho selezat ini. Saya jadi ingin tambah lagi, Bu Glockner.”

Semuanya ketawa.

Kemudian Komisaris Glockner berkata,

“Orangtua Oskar sempat memuji keahlian juru masak di Hotel Istana. Tapi mereka
juga mengatakan bahwa orang-orang Spanyol punya waktu makan yang berbeda
dengan kita. Karena cuacanya yang panas, mereka makan siang antara jam dua
sampai jam empat. Makan malam tidak pernah sebelum jam sembilan. Kalian
harus membiasakan diri dengan jadwal mereka nanti. Tapi tenang saja. Kalau
tamu-tamu Jerman yang lain bisa melakukannya maka kalian juga takkan menemui
kesulitan”

Untuk sesaat Pak Glockner menunduk sambil mengerutkan kening.

Selain Sporty tidak ada yang melihatnya. Tapi ia juga langsung menyadari bahwa
ada sesuatu yang mengganjal di hati ayah Petra.

4.Kecelakaan Kecil Setelah Tengah Malam

SPORTY meletakkan sendoknya. menggunakan serbet untuk mengelap mulut, lalu


melirik ke arah orang-orang yang duduk di sekeliling meja.
Semuanya masih menikmati masakan Bu Glockner. Oskar sudah nenyantap porsi
kedua, namun tetap saja lebih dulu selesai dibanding yang lain.

"Oskar sempat bercerita bahwa Hotel Istana dikunjungi oleh turis-turis dari
mancanegara. " ujar Sporty “Lalu Bapak tadi menyinggung tamu-tamu Jerman
yang lain. Apakah ada tamu tertentu yang Bapak maksud?

Komisaris Glockner nampak terkejut.

"Wah, Sporty, untung saya sudah tahu bahwa kau selalu mengamati segala sesuatu
dengan seksama. Kalau tidak, saya pasti akan menyangka bahwa kau bisa
membaca pikiran. Dugaanmu tepat sekali. Tamu yang saya maksud adalah seorang
wanita. Dia akan naik pesawat yang sama dengan kalian. Dan seperti kalian, dia
pun akan menginap di Hotel Istana. Hanya saja wanita itu takkan kembali ke
Jerman. Dia sedang membangun rumah di Marbella, dan bermaksud menetap di
sana.”

“Untuk selama-lamanya?” tanya Petra. "Berarti dia pasti telah berusia lanjut."

“Umurnya 29 tahun,” jawab Pak Glockner.

“Siapa wanita itu?" istrinya bertanya. “Apakah dia terlibat dalam suatu kejahatan?”

“Secara tidak langsung,” Pak Glockner menjelaskan sambil mengangguk.


“Sebenarnya Komisaris Kolbert yang memegang kasus ini. Tapi kemudian dia
jatuh sakit, sehingga saya ditugaskan untuk menggantikannya. Pada waktu itu
penyidikan sudah hampir selesai. Saya hampir tidak sempat berbuat apa-apa. Hari
ini kasusnya ditutup secara resmi. Tapi saya masih penasaran. Saya merasa ada
sesuatu yang tidak beres dalam kasus ini.”

Sporty langsung lupa pada gazpacho di hadapannya. Dengan tegang ia menunggu


kelanjutan penjelasan Kornisanis Glockner. Untuk sementara ia menyimpulkan
bahwa ada seorang pelanggar hukum yang berusaha meloloskan diri dari pihak
yang berwajib.

Bu Glockner dan Petra hanya mengucapkan "Aha!" dan “Ohi!”

Namun keduanya tidak memberi perhatian lebih lanjut, sebab mereka sudab
terbiasa dengan cerita-cerita seperti itu.
Oskar hanya melirik sejenak. Penuh harap. Ia lalu menoleh ke arah dapur.
Reaksinya memang sudah bisa diramalkan. Pokoknya kenyang - urusan lain bisa
diatur belakangan.

Kecuali Sporty, hanya Thomas yang nampak tertarik.

"Apakah kami boleh tahu apa yang telah terjadi?" tanya Sporty.

“Boleh saja,” jawab Pak Glockner sambil tersenyum. Kasus ini toh sudah dimuat
di koran-koran. Masalahnya begini: Erik Prachold, kepala kantor cabang sebuab
perusahaan besar, telah menggelapkan 520.000 Mark di tempat kerjanya. Uang itu
dipakainya untuk membeli sebidang tanah di Spanyol - tepatnya di Marbella.
Kemudian ia mulai membangun rumah di sana. Menurut istrinya. Erik Prachold
merencanakan untuk pindah ke Marbella setelah rumahnya selesai. Namun, cepat
atau lambat penggelapan uang itu pasti ketahuan. Prachold pun menyadari hal ini.
Tanggal 14 Mei yang lalu, ia mengalami kecelakaan fatal di Marbella. Dengan
papan selancar angin, ia berlayar ke tengah laut, dan tidak kembali lagi. Meskipun
mayatnya belum ditemukan, Secara resmi, Prachold telah dinyatakan meninggal.
Istrinya memperoleh uang santunan sebesar 1,5 juta Mark dari asuransi. Sekarang
dia berniat pindah ke Marbella. Hasil penjualan rumahnya di sini akan ia
pergunakan untuk mengganti uang yang digelapkan suaminya.

"Apakah Bapak menduga bahwa ada usaha penipuan di sini?" tanya Thomas.

Komisaris Glockner mengangguk "Dengan berpura-pura meninggal. Erik Prachold


bisa melepaskan diri dari tuntutan hukum. Dia tidak perlu
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan uang santunan yang
diperolehnya pasti lebih dari cukup untuk menikmati hidup dengan tenang”

“Tapi pihak asuransi pasti takkan mau menqeluarkan uang tanpa hukti-bukti yang
kuat." Sporty berkomentar.

“Betul, mereka baru mau membayar kalau memang tidak ada jalan lain. Pihak
kepolisian Spanyol pun telah dihubungi. Dan perusahaan asuransi itu sendiri juga
telah melakukan penyedikan. Sejauh daerah Costa del Sol telah diperiksa, namun
mayat Erik Prachold tetap tidak ditemukan. Namun ini sebenarnya belum berarti
apa-apa. Dia bisa saja bersembunyi di tempat lain. Kalau kematiannya memang
hanya sandiwara, maka dia pasti sudah memiliki surat identitas palsu. Dan siapa
tahu, mungkin juga dia telah menjalani operasi plastik untuk mengubah wajahnya.
Ini bukan pertama kalinya seseorang berusaha menipu asuransi. Dan sayangnya,
kejahatan semacam ini memang sering berhasil.”
“Kurang ajar." Oskar marah-marah.

Wah! ujar Sporty dalam hati. Kalau aku tidak salah, ini sebuah kasus untuk STOP.

Lagi enak-enak makan gazpacho. tahu-tahu sudah terlibat dalam kasus penipuan
asuransi. Pertanyaannya sekarang: apakah Tuan Prachold itu memang mengalami
kecelakaan, ataukah kematiannya hanya bagian dari sebuah sandiwara? Mungkin
saja Pak Glockner keliru, dan Erik Prachold sudah dimakan ikan hiu. Tapi... Tidak
mungkin! Jarang ada petugas polisi yang sehebat ayah Petra. Kalau Komisaris
Glockner merasa curiga, maka itu berarti bahwa memang ada yang tidak beres.

“Sporty!" kata Pak Glockner.

Yang dipanggil segera menoleh.

“Kau jangan membuat saya menyesal karena telah bersikap terbuka pada kalian,
oke?”

“Lho, kenapa?” jawab Sporty sambil nyengir.

“Biar hanya sedikit-sedikit, saya juga bisa membaca pikiran, lho,” ujar Komisaris
Glockner. “Dari tampangmu saja sudah kelihatan bahwa kau mulai menyusun
rencana”

“Ah sebenarnya saya belum punya rencana apa-apa."

“Mungkin lebih baik kalau saya menghidangkan Tortilla al Sacromonte." Bu


Glockner mengalihkan pembicaraan. "Masakan itu dibuat dari telur yang dicampur
dengan sayur-sayuran dari rempah-rempah. Petra, bantu Ibu, ya?"

Ketika keduanya pergi ke dapur. Pak Glockner kembali pada topik semula.

“Begini. Sporty. percuma saja kalian menyelidiki daerah Costa del Sol,” katanya.
"Kalau Erik Prachold memang masih hidup, maka kalian pun takkan
menemukannya.”

“Hmm,” Sporty bergumam. “Tapi tak ada salahnya kalau kami mengawasi istrinya.
Dia kan sama-sama tinggal di Hotel Istana. Andai kan saja Erik Prachold
menganggap keadaan sudah aman, maka ada kemungkinan dia akan menghubungi
istrinya. Bapak pasti tahu ciri-cirinya, bukan?"
Untuk sesaat Pak Glockner nampak ragu-ragu. Sepertinya ia tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya.

“Baiklah,” ayah Petra akhirnya memutuskan. “Memang tak ada salahnya kalau
kalian buka mata lebar-lebar. Erik Prachold berusia 44 tahun. Tingginya 172
sentimcter. Orangnya langsing, berwajah lonjong, dan mengenakan kacamata.
Matanya coklat, dan rambutnya berwarna pirang. Pada foto-foto yang pernah saya
lihat, dia kelihatan cukup simpatik. Tapi saya belum pernah bertemu dengannya. Ia
lancar berbahasa Spanyol, serta jago main tenis dan selancar angin. Ciri-ciri yang
paling menonjol adalah giginya. Erik Prachold punya 16 gigi palsu yang terbuat
dan emas."

"Busyet!" Oskar berseru. “Seperti tambang emas saja.”

Sporty menghafalkan keterangan itu dengan mata setengah terpejam.

“Barangkali kami bisa melihat fotonya?" tanya Thomas.

“Ah percuma!” Sporty berkomentar sambil menggeleng. “Aku yakin Erik Prachold
sudah menjalani operasi plastik - kalau dia memang masih hidup. Siapa tahu dia
bukan hanya tambah kaya, tapi juga tambah ganteng.”

Pak Glockner mengangguk.

"Mengubah wajah seseorang memang bukan pekerjaan yang sulit. Dalam hal ini
dugaan Sporty mungkin saja benar..”

Mereka mendengar Petra dan ibunya mondar-mandir di dapur. Tiba-tiba Petra


memekik. Rupanya tangannya kena benda panas.

"Mengenai kecurigaan Anda. Pak Glockner,” Sporty melanjutkan, “apakah


perasaan ini hanya didasarkan atas suatu firasat, ataukah sudah ada petunjuk yang
lebih pasti?"

Pak Glockner tersenyum.

"Rupanya kau masih ngotot juga, ya? Tapi kau benar, Sporty. Saya memang telah
menemukan sesuatu. Namun petunjuk itu kurang kuat untuk dasar meminta
penyidikan ulang. Ada sebuah-”
Pak Glockner terdiam, karena hidangan berikut sudah datang. Semuanya
berpendapat bahwa masakan itu lezat sekali. Sambil makan Sporty terus menatap
Pak Glockner.

“Ada sebuah kejadian yang cukup mencurigakan,” ujar Pak Glockner, setelah
habiskan sepotong tortilla. “Kejadian itu menyangkut seorang laki-laki bernama
Rudi Schleich. Dulu dia bekerja sebagai detektif di perusahaan asuransi yang harus
membayar uang santunan pada Nyonya Prachold. Rudi Schleich bertugas mencari
keterangan mengenai suami wanita itu. Saya percaya bahwa detektif itu
menjalankan tugasnya dengan baik. Dia hampir selalu bekerja di Spanyol -
mungkin karena ibunya orang Spanyol. Schleich menguasai bahasa Spanyol secara
sempurna. Dia memperoleh dukungan penuh dari pihak kepolisian di sana. Tetapi
kasus Prachold merupakan kasus terakhir yang ditanganinya. Setelah itu dia minta
berhenti. Aneh, bukan? Atas dasar apa seorang dengan pekerjaan yang disukai dan
gaji besar tiba-tiba minta berhenti?”

"Dan Anda menduga bahwa kejadian ini berhubungan dengan kasus Prachold?"
tanya Sporty.

Komisaris Glockner mengangkat bahu.

"Mungkin saja dia berhasil menemukan sesuatu. Dan sekarang dia mencium
kesempatan untuk mengeruk keuntungan pribadi.”

“Apakah tampang Rudi Schleich seperti orang Jerman atau lebih mirip orang
Spanyol?"

“Tampangnya lebih Spanyol dibandingkan orang Spanyol tulen." jawab Pak


Glockner. "Orangnya tinggi dan mukanya penuh kerut-kerut. Tapi sekarang lebih
baik kita makan dulu. Para wanita di sini sudah mulai pasang tampang masam. "

***

Bulan purnama memancarkan cahayanya yang keperak-perakan. Pantai nampak


sepi. Pada siang hari, ribuan pengunjung memadati hamparan pasir putih yang
membentang sejauh mata memandang. Tetapi kini, tidak ada yang memperhatikan
laki-laki yang berjalan seorang diri itu.

Erik Prachold tidak pernah menduga bahwa urusannya akan berkembang seperti
ini. Tak pernah terbayang olehnya bahwa ia akan terus-terusan dicekam rasa takut -
rasa takut kalau kalau sandiwaranya akan terbongkar.
Siang dan malam ia digerogoti rasa takut. Anehnya, rasa cemas itu baru timbul
setelah semuanya terjadi -setelah ia tidak bisa mundur lagi. Ia telah dinyatakan
meninggal dunia. Teman-teman serta kenalan-kenalannya takkan berkabung secara
berkepanjangan. Tetapi pasti ada beberapa pihak yang sangat menyesalkan
kepergiannya
Dan mengenai bekas tempat kerjanya dulu - Erik Prachold tersenyum ketika
membayangkan tampang teman-teman sekantornya pada waktu penggelapan yang
ia lakukan terbongkar. Ia mengetahui setiap perkembangan yang berhubungan
dengan dirinya. Istrinya yang memberitahukan semuanya melalui telepon.

Detak jantungnya bertambah kencang ketika ia teringat pada Lisa. Tinggal satu
hari lagi. Setelah itu mereka akan bertemu kembali. Paling tidak, Lisa akan berada
di dekatnya.

Erik Prachold berjalan pelan-pelan. Pada setiap langkah, kakinya terbenam ke pasir
yang halus. Satu-satunya bunyi yang memecahkan keheningan malam adalah
deburan ombak.

Di kejauhan terlihat lampu-lampu kapal yang sedang berlabuh di lepas pantai.


Jumlahnya tidak seberapa. Sebagian besar merapat di pelabuhan. Dengan demikian
para pemilik kapal beserta anak buah mereka bisa menikmati kehidupan malam.
Dan besok mereka akan melanjutkan perjalanan dengan kepala berdenyut-denyut
karena terlalu banyak minum.

Erik Prachold berada di Fuengirola. sebuah kota kecil yang berjarak 28 kilometer
dan Marbella. Dengan menggunakan nama Heribert Steiner, ia telah menyewa Vila
Esperanza - tetapi hanya sampai akhir bulan. Pada siang hari ia selalu bersembunyi
di dalam rumah. Tindakan pengamanan itu memang perlu, sebab wajahnya masih
memerlukan waktu sampai bekas-bekas operasi tidak kelihatan lagi. Baru sekarang
ia berani bertemu orang lain - dengan wajah yang telah berubah sama sekali. Ahli
bedah plastik yang mengoperasinya betul-betul menguasai bidangnya. Mata Erik
Prachold, yang semula besar dan berkesan tak berdosa, dibuat lebih sipit. Mulutnya
kini melengkung ke bawah, sehingga nampak seperti mencibir lerus. Hidungnya
mirip paruh burung elang.

Aku memang tidak tambah keren, pikir Erik Prachold, tapi yang penting tak ada
yang bisa mengenaliku.

Mulai besok, begitu ia memutuskan, ia akan memberanikan diri untuk keluar pada
siang hari. Ia sudah bisa bergabung dengan gerombolan turis-turis yang
berseliweran, tanpa perlu merasa was-was.
Tapi kini ia menikmati embusan angin laut yang sejuk. Udara malam dihirupnya
dalam-dalam. Pandangannya menyusuri garis pantai.

Sejauh mata memandang, terlihat cahaya lampu. Pada jam begini, tempat-tempat
hiburan malam sedang ramai-ramainya. Semua disko, bar, serta tempat
pertunjukan flamenco - tarian tradisional Spanyol -pasti penuh sesak. Keramaian
itu berlangsung sampai pukul tiga pagi.

Erik Prachoki memasukkan tangan ke kantong celana, lalu berjalan menjauhi laut.

Setelah sampai di jalan. Ia membuka sepatu dan membuang pasir yang berhasil
menyusup ke dalam. Kemudian ia menuju lapangan parkir.

Untuk sesaat ia berhenti sambil berusaha mengingat ciri-ciri mobil sewaannya. Di


hadapannya terdapat sekitar satu lusin kendaraan serupa. Mobil-mobil kompak itu
memang sangat digemari para wisatawan yang datang naik pesawat terbang -
terutama karena harga sewanya tidak terlalu tinggi.

Di bawab pohon-pohon palem terlihat sosok-sosok gelap. Tapi mereka bukan


pengunjung disko ataupun bar. Mereka adalah penduduk-penduduk setempat yang
sedang berjalan-jalan.

Erik Prachold membuka pintu mobil sewaannya, duduk di belakang kemudi. Ia


terpaksa mundur agar bisa keluar dan tempat parkirnya.

Sambil mundur, Enik Prachold melihat seorang pria berdiri di bawah pohon palem.

Selama beberapa detik mereka saling bertatapan.

Erik Prachold merasa seperti diguyur dengan air es. Brengsek! Rasanya Ia sudah
pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Tapi kapan? Hari ini? Kemarin? Di
sekitar rumahnya? Kalau memang betul, apa yang dikehendaki orang itu?

Jangan panik! Enik Prachold berkata pada diri sendiri. Kau mulai mengkhayal
karena ketakutan. Pertama-tama kau harus.

Tiba-tiba mobilnya membentur sesuatu.

Prachold segera menginjak rem. Kepalanya tersentak ke belakang.

Dasar sial!
Ternyata ia menabrak sebuah mobil kecil berwarna merah yang sudah agak tua,
tetapi kelihatannya dirawat dengan baik. Mobil itu pasti kebanggaan pemiliknya.
Sayang, kini pintunya telah penyok-penyok.
Prachold menggigit bibir. Ia memaksakan diri untuk tidak kabur begitu saja.
Seandainya tidak ada saksi. maka ia akan langsung pergi tanpa berpikir dua kali.
Tapi orang tadi masih juga memperhatikannya. Dalam keadaan seperti ini, usaha
kabur sama saja dengan bunuh diri.

Ia turun dan mobil, lalu mengamati kerusakan yang ditimbulkannya. Kemudian ia


merobek selembar kertas dan agenda saku yang selalu ia bawa. Dalam bahasa
Spanyol Prachold menulis:

Saya telah menabrak mobil Anda tanpa sengaja. Saya akan menanggung semua
ongkos perbaikan. Tolong hubungi saya di nomor ini.

Ia menuliskan nomor telepon Vila Esperanza, menyelipkan surat singkat itu ke


bawah wiper, kemudian pulang.

Vila kecil yang ditempatinya terletak di pinggiran Fuengirola. Prachold menyewa


rumah itu dari sehuah perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata.

Ia memarkir mobilnya di pekarangan belakang, lalu menuju pintu rumah. Semua


ruangan berisi perabot yang elegan. Prachold tidak membawa apa-apa kecuali dua
buah koper.

Kedua tangannya gemetaran. Lebih dari sekali dalam beberapa minggu terakhir
timbul kecurigaan dalam hatinya, bahwa ia tidak cocok sebagai penipu kelas
kakap. Tapi ia pun sadar bahwa pikiran seperti itu sangat berbahaya baginya.

Tangannya tetap gemetaran. Prachold menuangkan segelas wiski, kemudian mulai


berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Sepertinya ia tidak akan bisa tidur dengan
tenang malam ini.

5. Pindah Ke Hotel Istana


SETENGAH jam telah berlalu, namun kegelisahan yang dirasakan Erik Prachold
bukannya berkurang, melainkan malah semakin menjadi-jadi.

Ketika telepon tiba-tiba berdering. Prachold langsung tersentak kaget. Ia bergegas


ke pesawat telepon dan mengangkat gagang.

“Ya? Halo?"

"Saya sudah membaca surat yang Anda tinggalkan di mobil saya." seorang pria
berkata dalam bahasa Spanyol. "Pintu mobil saya harus diganti."

“Saya minta maaf atas kejadian itu,” jawab Prachold. “Saya tadi agak linglung.
Tapi jangan khawatir, saya akan bertanggung jawab. Saya akan mengganti semua
ongkos reparasi. Nanti, kalau sudah selesai, rekeningnya dikirim saja ke sini.”

“Perbaikannya tidak murah." ujar si penelepon. “Dan saya bukan orang kaya. Saya
akan berterima kasih sekali jika Anda membayar sebagian dulu - untuk uang muka
bengkel. Apakah saya bisa datang ke rumah Anda?"

Prachold agak ragu-ragu. Sebenarnya ia keberatan kalau tempat persembunyiannya


diketahui orang lain. Tapi di pihak lain, bagaimana kalau orang itu marah dan
menghubungi polisi?

“Tentu saja, Senor." Prachold akhirnya berkata. “Kalau Anda punya waktu besok!"

“Bukan besok! Sekarang juga."

“Sekarang? Apakah Anda tahu jam berapa sekarang?"

"Pukul dua lewat seperempat! Tapi Anda masih bangun, dan besok pagi-pagi saya
sudah harus berangkat ke Algericas."

Kalau begitu, kenapa kau belum tidur? Prachold bertanya dalam hati. Namun Ia
mengalah dan menyebutkan alamatnya.

Si penelepon menqatakan bahwa ia bernama Pedro Ramirez, dan bahwa ia akan


datang sepuluh menit lagi.

Prachold rnenunggu. Kenapa ia begitu gelisah? Orang itu akan memperoleh


uangnya, berapa pun harga pintu mobilnya. Dan kemudian urusan akan selesai.
Keadaanlah yang membuatku jadi begini, pikir Prachold. Aku harus belajar hidup
sebagai Heribert Steiner! Erik Prachold sudah mati. Brengsek! Masa begitu saja
aku tidak sanggup?

Bel pintu berdering.

Prachold berdiri dan membuka pintu. Kemudian ia seperti terpaku di tempat.

Ia berhadapan dengan orang yang tadi memperhatikannya di lapangan parkir. Dan


mendadak ia sadar bahwa ia sudah pernah bertemu dengan orang ini. Ya. pasti!
Tapi di mana? Dan apakah pertemuan mereka hanya kebetulan belaka?

Orang Spanyol yang berdiri di ambang pintu berusia sekitar 40 tahun. Wajahnya
persegi. Matanya berwarna hitam. Sebuah bekas luka melintang di pipinya. Dia
bukanlah tipe orang yang mungkin diundang untuk makan malam.

"Saya Pedro Ramirez."

Prachold mengangguk. Tenang saja. Ia berkata dalam hati. Di sepanjang Costa del
Sol pasti ada ratusan orang dengan tampang seperti ini. Dan andaikata memang dia
yang mengawasiku tadi - apa salahnya? Aku sendiri juga sering memperhatikan
orang lain. Kadang-kadang aku berjam-jam duduk di restoran sambil menonton
orang lewat!

Ia mempersilakan Ramirez masuk. Orang Spanyol itu duduk di salah satu kursi
tamu, kemudian melayangkan pandangan ke sekeliling.

"Tadi, Anda bersedia memberikan uang muka, Senor?”

Prachold kembali mengangguk.

"Berapa yang Anda perlukan."

“Untuk kali ini saya minta 500.000 Mark."

Terbengong-bengong Prachold menatap lawan bicaranya.

"Hah? 500.000 Mark? Rupanya Anda sudah tahu bahwa saya orang Jerman. Tapi -
hahaha - Anda pasti salah menyebutkan angka. Dengan setengah juta Mark Anda
bisa membeli seratus mobil seperti milik Anda sekarang.”

“Sekali lagi,” kata Ramirez. " saya minta 500.000 Mark!"


“Apa... Apa maksud ini semua."

"Berikan uang itu. Dan setelah itu saya takkan mengganggu Anda lagi, Senor
Prachold. Senor Erik Prachold."

Suasana menjadi hening.

Prachold merasa seakan-akan berada di dalam sebuah lemari es raksasa. Apakah


semua rencananya akan berakhir di sini?

"Muka Anda jadi pucat." kata Ramirez. Tapi itu tidak mengherankan. Saya sudah
mengawasi Anda, sejak Anda meninqgalkan kilnik Dr.Chapahonda”

Dr. Chapahonda adalah ahli bedah plastik yang mengoperasi Erik Prachold.

“Nah, barangkali Anda sekarang ingat lagi siapa saya?" Ramirez kembali bertanya.
"Saya adalah pembantu di klinik itu. Terus-terang saja. Itu bukan pekerjaan yang
menyenangkan. Gaji yang saya peroleh hanya pas-pasan untuk makan saja. Oleh
karena itu saya tergiur untuk mencuri perhiasan milik salah seorang pasien Dr.
Chapahonda. Tetapi saya tertangkap basah, dan dipecat oleh Tuan Dokter yang
terhormat. Dia memang tidak melaporkan saya ke polisi - tapi bukan karena apa-
apa. Dia takut jangan-jangan saya akan buka mulut. Dia sadar bahwa saya
mengetahui beberapa hal yang seharusnya bersifat rahasia. Nama baiknya bisa
berantakan. Karena dia juga menangani pasien-pasien yang berurusan dengan
polisi. Seperti Anda misalnya, Senor Prachold. Kebetulan sekali teman-teman saya
kemudian bercerita mengenai seorang detektif dari Jerman. Kata mereka. detektif
itu mencari seseorang bernama Erik Prachold yang dikabarkan mati tenggelam,
tetapi mungkin juga hanya pura-pura mati untuk memperoleh uang santunan dan
asuransi. Ciri-cininya cocok sekali dengan Anda. Setelah mendengar cerita itu,
saya menyusup ke kamar Anda dan memeriksa barang-barang Anda. Senor
Prachold. Sejak itulah saya terus mengawasi Anda. Dan sekarang sudah waktunya
untuk memperoleh bagian saya."

“Anda... Anda sudah.. gila, ujar Prachold terbata-bata. “Nama... nama saya...
Heribert Steiner."

"Jangan berdalih macam-macam, Bung. Mana uangnya?”

Prachold tidak pernah membayangkan bahwa ia bisa bertindak seperti itu. Ia baru
sadar lagi ketika Ramirez telah tergeletak di atas karpet - dengan kepala berdarah.
Sambil gemetaran Prachold menggenggam sepotong besi.

Ya, Tuhan! Apa yang telah ia perbuat?

Ia berlutut di samping orang Spanyol itu.

Ternyata Ramirez masih bernapas. Si pemeras hanya pingsan.

Prachold berlari ke dapur, lalu kembali sambil membawa segulung tali plastik.
Dengan tali itu ia mengikat kaki dan tangan Ramirez.

Kemudian ia berdiri sambil bersimbah peluh. Kedua tangannya mulai gemetaran


lagi. Untuk kedua kali ia meraih botol wiskinya.

Jangan-jangan Ramirez punya rekan-rekan yang bersekongkol dengannya! terlintas


di kepala Prachold.

Kemungkinan besar tidak. Ramirez bukan tipe laki-laki yang mau berbagi rejeki
dengan orang lain. Tapi di pihak lain - siapa yang bisa memastikannya? Bukankah
dia baru saja membicarakan teman-teman yang memberitahunya mengenai detektif
Jerman itu?

Hanya ada satu jalan keluar: Prachold harus memindahkan Ramirez dari Vila
Esperanza, lalu kabur dari sini. Tempat persembunyian ini sudah tidak aman,
bahkan justru bisa menjadi perangkap. Ia melangkah ke luar, dan mengamati
keadaan di jalanan. Beberapa lampu nampak menyala. Tapi cahayanya tidak cukup
terang. Untung ada cahaya bulan, sehingga ia bisa melihat semuanya dengan jelas.

Tidak ada mobil. Rupanya Ramirez datang dengan berjalan kaki. Tentu saja! Mobil
merah yang tertabrak tadi pasti milik orang lain.

Prachold menduga, Ramirez hanya mengambil surat yang terselip pada wiper.

Ia kembali ke dalam rumah. Ramirez belum siuman. Sambil menggotongnya.


Prachold keluar lewat pintu belakang.. Kemudian dia memasukkan orang yang
pingsan itu ke dalam mobilnya.

Lima menit setelah itu Prachold berhenti di tepi jalan raya menuju Mijas. Di
hadapannya, tebing-tebing Sierra de Mijas - Pegunungan Mijas menjulang tinggi
ke angkasa. Daerah ini sudah selama dua tahun tidak pernah kebagian hujan.
Hanya tanaman seperti kaktus yang masih bisa bertahan.
Ramirez mengerang kesakitan. Ia telah membuka mata, tetapi belum sadar
sepenuhnya.

Prachold menariknya melewati kerikil-kenkit tajam ke belakang semak-semak


yang telah mengering. Setelah melepaskan ikatan kaki dan tangan, ia membiarkan
Ramirez tergeletak di sana. Prachold tidak tega kalau bajingan itu sampai mati.

Kemudian ia kembali ke Vila Esperanza. Tapi ke mana selanjutnya?

Prachold telah mengambil keputusan. Tempat yang paling aman adalah di kandang
harimau. Takkan ada yang menyangka bahwa seseorang yang dikabarkan telah
meninggal berani muncul di sana.

Ia mengangkat gagang, lalu memutar nomor 952-770300.

“Hotel Istana Marbella. Buenas noches! Selamat malam,” seorang pria menyahut.

“Buenas noches!” jawab Prachold. "Begini, liburan saya sebenarnya sudah hampir
habis, tetapi mendadak saya memutuskan untuk tinggal dua atau tiga minggu lagi
di Marbella. Kalau bisa di hotel Anda yang tersohor. Masih ada kamar single
kosong?”

“Tunggu sebentar, Senor.”

Dalam sekejap si resepsionis telah memeriksa daftar kamar.

"Senor. Masih ada kamar yang tersedia. Pemesanan ini atas nama siapa?"

“Heribert Steiner. Saya berada di Fuengirola. Kurang lebih tiga-perempat jam saya
akan tiba di Marbella.”

Resepsionis di hotel dengan 226 kamar itu setuju saja. Ia toh tidak punya pekerjaan
lain. Sudah untuk kelima kalinya ia membaca sebuah cerita detektif, tetapi ia tetap
tidak ingat siapa penjahatnya. Lewat tengah malam suasana di hotel memang
sudah sepi—kecuali di El Serallo, kelab malam yang terletak di lantai dasar.

Prachold meletakkan gagang, dan membereskan pakaiannya ke dalam koper.


Setelah mengunci pintu, ia pergi ke kantor pemilik Vila Esperanza dan
memasukkan kuncinya ke kotak surat. Dengan demikian urusan rumah sudah
selesai, sebab Prachold sudah melunasi uang sewanya.
Ia juga sudah membayar sewa mobil, sehingga ia tidak perlu takut dituntut ketika
meninggalkan kendaraan itu di depan pintu perusahaan yang bersangkutan.
Kemudian ia menggotong kedua kopernya sampai ke pangkalan taksi terdekat.

Sopir taksi membantu memasukkan koper. Prachold duduk di depan, dan


memasang sabuk pengaman.

"Ke Marbella,” ia berkata. “Ke Hotel Istana.”

** *

Semuanya seperti dongeng saja.

Senin sore sekitar jam 16.00, sebuah mobil Jaguar 12 silinder - model terbaru,
tentu saja - berputar kota untuk menjemput para anggota rombongan Sauerlich.

Mobil itu dikemudikan oleh Georg, sopir keluarga Sauerlich yang ramah. Oskar
duduk di sebelahnya. Pertama-tama mereka menuju sekolah asrama. Sporty
ternyata menunggu di pintu gerbang. Di sampingnya ada sebuah koper yang tidak
terlalu besar.

Setelah itu Georg mengarahkan sedan mewah milik ayah Oskar ke arah pinggir
kota untuk menjemput Thomas. Anak itu juga sudah menunggu. Begitu melihat
sebuah Jaguar mendekat, ia langsung berpamitan pada kedua orangtuanya. Mata
Bu Vierstein nampak berkaca-kaca.

Petra mendapat giliran terakhir untuk dijemput. Hari ini ia mengenakan setelan
berwarna biru langit. Dari jauh gadis itu kelihatan seperti calon pramugari. Ia
merangkul ayah dan ibunya, kemudian membelai-belai Bello.

Oskar, Sporty, dan Thomas pun turun untuk berpamitan. Kesempatan ini
dimanfaatkan Bello untuk melompat ke dalam mobil. Hanya dengan susah-payah
Petra berhasil menarik anjingnya ke luar. Setelah suami-istri Glockner
mengucapkan selamat jalan, Georg beserta keempat penumpangnya berangkat
menuju bandar udara Orangtua Oskar sudah menunggu di sana. Mereka sudah
diantar oleh Georg, karena masih mau mampir di restoran bandara untuk makan
siang. Karena sudah sering terbang, mereka tahu bahwa makanan yang bakal
disajikan di dalam pesawat kurang cocok dengan selera mereka.
"Supaya jangan bingung di lapangan terbang nanti,” ujar Oskar, kalian ikut saja ke
mana aku pergi. Aku kan sudah berpengalaman. Sudah tiga kali aku terbang ke
Spanyol. Terus terang saja. naik pesawat terbang tidak bisa disamakan dengan naik
bis kota. Jadi, ikuti saja setiap langkahku."

Thomas mengangguk.

Oskar berlagak jadi pemimpin rombongan, Petra berkata dalam hati. Tapi kalau dia
emang sudah berpengalaman - apa salahnya?

Sebaiknya aku buka mata lebar-lebar, pikir Sporty. Pengalaman Oskar belum tentu
bisa diandalkan.

Suasana di bandara ternyata hiruk-piruk. Lapangan parkir yang berukuran raksasa


nampak penub sesak. Hampir tidak ada tempat kosong lagi. Rupanya sebagian
besar penduduk kota juga mau berangkat sore ini.

Georg berhenti di depan gedung pemberangkatan. Keempat sahabat STOP


bersalaman dengannya, kemudian masuk sambil membawa koper masing-masing.
Petra baru berjalan dua langkah ketika Sporty menawarkan bantuannya. Tentu saja
ia tidak menolak.

Oskar berjalan paling depan. Tanpa berpikir dua kali, ia Iangsung menuju restoran
fastfood.

Sporty langsung curiga, orangtua sahabatnya tidak mungkin mampir di restoran


seperti itu. Tapi ia diam saja. Dan benar saja! Oskar menggerutu dengan kesal,
karena orangtuanya tidak kelihatan.

"Mereka tidak ada di sini,” ia berkata, sambil meletakkan kopernya yang


keiihalannya berat sekali.

"Barangkali mereka berangkat duluan,” ujar Petra, “dan sekarang sudah hampir
sampai.”

“Mana mungkin?!” balas Oskar. "Tiket pesawat bukan seperti karcis bis. Nomor
penerbangan serta jam pemberangkatan sudah dicantumkan. Kita akan berangkat
pukul 18.25. dengan penerbangan nomor 36O7”

Petra tersenyum simpul. “Sebenarnya aku pun tahu perbedaan antara tiket pesawat
dengari karcis bis. Aku hanya main-main. Tapi untuk selanjutnya aku akan diam
dan mengikuti setiap langkahmu. Apakah di sini ada restoran lain yang lebih cocok
dengan selera orangtuamu?”

“Wah, betul juga." kata Oskar sambil nyengir kuda. "Kok aku jadi pelupa begini,
ya?”

Mereka menuju restoran sebelah, yang para pelayannya mengenakan seragam yang
lebih berwibawa.

Pak dan Bu Sauerlich ternyata duduk di salah satu meja pojok. Mereka baru saja
selesai makan.

Hermann Sauerlich, si pengusaha coklat terkemuka, kelihatan seperti Oskar pada


saat berusia 40-an nanti; bulat, ramah, hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan
anaknya, dan diam-diam sama-sama rakus. Bedanya, ia lebih menyukai makanan
seperti ham dan daging panggang. Bu Sauerlich justru kebalikannya. Ia malah
sama sekali tidak makan daging ataupun coklat.
Di antara ketiga anggota keluarganya, Ru Sauerlich-lah yang paling tinggi dan
paling langsing. Untuk menyembunyikan lehernya yang agak terlalu panjang, ia
selalu mengenakan sejumlah kalung.

"Ayo. silakan duduk,” kata Pak Sauerlich. "Kalian pasti lapar. Pesan saja apa yang
kalian sukai. Jangan malu-malu, ya. Bistik di sini lezat sekali.
“Tapi sup kacang polongnya lebih enak lagi.” Bu Sauerlich menimpali.

Namun Petra, Sporty, dan Thomas. terlalu tegang untuk mengisi perut. Bahkan
Oskar pun tidak memesan apa-apa. Ia hanya mengeluarkan sekeping cokiat dan
menggigitnya penuh semangat.

Sementara itu ayahnya membagikan tiket masing-masing.

“Sebaiknya koper-koper kalian diserahkan dulu,” ia mengusulkan. "Oskar tahu


bagaimana caranya. Barang-barang kami sudah ada di sana.” Ia berpaling pada
istrinya. kemudian melanjutkan, “Sambil menunggu anak-anak, bagaimana kalau
kita pesan sebolol anggur lagi, Erna? Sekadar untuk menghilangkan ketegangan."
Ia ketawa. “Hahaha, padahal kita sama sekali tidak tegang. Bagaimana dengan
kalian?"

“Naik pesawat terbang lebih aman ketimbang jalan kaki,” Oskar berkomentar.
Yang lain pun mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak gelisah. Langsung saja
mereka menuju tempat penimbangan dan penerimaan barang.

Setelah sampai di ruang tunggu, Oskar menunjuk loket perusahaan penerbangan


mereka.

“Koper-koper harus kita serahkan ke sana." katanya dengan gaya yakin. “Tas-tas
yang kecil boleh dibawa ke dalam pesawat. Oh ya, apakah aku sudah memberitahu
kalian bahwa berat koper masing-masing tidak boleh melebihi 20 kilo? Kalau lebih
dari itu. kite harus membayar denda?"

“Untung saja kau menyinggung soal ini?" ujar Thomas. “Hampir saja aku
membawa buku-buku seberat 25 kilo dan rumah.”

“Hmm, orang yang sudah berpengalaman seperti aku pun bisa lupa?" kata Oskar,
lalu mulai mengantri. Di depan mereka ada sekitar 15 penumpang lain.
Thomas dan Sporty masing-masing hanya membawa satu koper. Petra, selain
kopernya, juga membawa sebuah tas kecil berisi perlengkapan perawatan diri.

Oskar menggotong sebuah tas besar, yang kelihatannya cukup berat. Kemungkinan
besar isinya - ransum darurat berisi keping-keping cokiat.

Pandangan Sporty menyapu seluruh ruangan. Komisaris Glockner sempat


menggambarkan ciri-ciri Lisa Prachold - wanita yang dicurigai terlibat dalam
penipuan asuransi. Dia naik pesawat yang sama dengan anak-anak STOP, dan
seorang wanita cantik seperti dia pasti menonjol di tengah kerumunan orang. Tapi
ke mana pun Sporty memandang, Lisa Prachold tetap tidak kelihatan.

Sporty justru melihat hal lain, yaitu papan tulis di atas loket. Yang tertulis di sana
adalah BERLIN, jam 17.55, serta nomor penerbangan yang berbeda sama sekali
dari nomor yang tercantum pada tiketnya.

Langsung saja ia menyikut Oskar.

“Kau yakin bahwa kita harus mengantre di sini? Sepertinya penumpang yang lain
mau pergi ke Berlin?

Oskar tersentak kaget. Sambil mengedip-ngedipkan mata ia mengintip ke depan.

“Benar kok, ini loket perusahaan penerbangan kita?"


“Ke mana tujuan kalian?" tanya pria setengah baya yang berdiri di depan mereka.
Potongannya mirip seorang pensiunan jenderal, yang sangat berharap agar masih
sempat mengalami Perang Dunia III.

“Kami mau ke Marbella,” jawab Sporty. “Tapi bandara yang kami tuju adalah
Malaga?”

“Oh, kalau begitu kalian harus pergi ke terminal pemberangkatan internasional,”


sang Jenderal menjelaskan sambil tersenyum. “Di sini terminal pemberangkatan
dalam negeri.”

“Wah, betul juga!” ujar Oskar, sambil meraih kopernya." Aneh, baru kali ini aku
melakukan kesalahan beruntun seperti sekarang."

Sporty mengucapkan terima kasih pada sang Jenderal. Kemudian mereka


mengikuti Oskar. Tapi kepercayaan pada pengalamannya sudah mulai luntur.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya sampai di loket penerimaan barang
untuk penerbangan ke MALAGA. Antrean di sini ternyata lebih panjang lagi.
Sporty menaksir, ada sekitar 30 orang di depan mereka. Tapi ia menebak bahwa
hanya beberapa orang saja yang akan menginap di Hotel Istana di Marbella.

“Kalian sudah mulai terbiasa dengan tata cara di bandara?” tanya Oskar.“Ya, itulah
gunanya punya teman berpengalaman. Kalau tidak hati-hati, kalian bisa nyasar
sampai ke Beijing. Kalian harus bersyukur karena ada aku di sini”

“Kami benar-benar berutang budi padamu,” balas Petra.

“Tanpa bantuanmu, Oskar,” Thomas menimpali, “kami pasti turun di Honolulu.


Kecuali, kalau kami sudah diusir terlebih dahulu."

Oskar mengangguk. Ia menggigit sepotong coklat dan tersenyum puas.

6. Perselisihan di Bandara

PERLAHAN-LAHAN antrean para calon penumpang bergerak maju. Koper-koper


yang berada di kiri-kanan barisan diangkat sejauh satu-dua langkah, kemudian
diletakkan kembali. Pengumuman-pengumuman dalam berbagai bahasa
berkumandang lewat pengeras suara.

Sporty memperhatikan semuanya. Matanya yang tajam mencari Lisa Prachold. Di


mana wanita muda berambut hitam itu!?

Barangkali dia terlambat pikir Sporty, atau malah tidak datang sama sekali. Sayang
sekali, kalau begitu. Liburan kali ini sebenarnya bisa lebih asyik lagi kalau ada
tugas detektif.

Peristiwa itu terjadi, karena Thomas terlalu bersemangat ketika menggosok-gosok


kacamatanya.
Tiba-tiba saja kacamatanya terlepas dan jatuh. Untung saja Thomas masih sempat
menangkapnya sebelum membentur lantai. Tapi tanpa sengaja ia menabrak Petra
sehingga gadis itu terpaksa melangkah mundur untuk menjaga keseimbangan.

Baru kemudian Petra menyadari bahwa ia telah menginjak kaki seseorang.


Langsung saja ia berbalik untuk minta maaf.

Namun rupanya wanita yang mengantre di belakang Petra merasa tersinggung.

"Brengsek! Hati-hati, dong!” Ia berkata dengan ketus. Pada sepatu lars-nya yang
berwarna putih kini ada bercak hitam - bekas telapak sepatu Petra.

“Maaf." ujar Petra. “Saya tidak sengaja. Saya..."

“Coba lihat sepatu saya." Wanita itu memotong “Noda itu takkan hilang lagi. Gara-
gara kecerobohanmu saya terpaksa membuang sepatu ini.”

"Sebetulnya sepatu ini masih bisa diselamatkan dengan semir sepatu," kata Sporty.
"Tapi harus yang putih. Kalau Anda memakai yang hitam, akibatnya akan lebih
parah lagi.”

“Hei, jangan kurang ajar, ya." ujar wanita di hadapan Sporty.

Wanita itu masih muda. Rambutnya yang pirang dibiarkan terurai, sehingga
menyentuh bahu. Wajahnya tersembunyi di balik kacamata hitam berukuran besar.
Pakaian yang ia kenakan nampak disesuaikan dengan sepatunya. Semuanya
barang-barang mahal.
Wanita konyol yang kebanyakan uang, pikir Sporty sambil nyengir. Sebetulnya.
dengan demikian urusannya bisa dianggap selesai.

Tetapi tiba-tiba seorang pria yang juga sedang mengantre ikut campur.

"Jangan ganggu nona ini, orang itu." menggeram sambil melangkah maju.

"Saya tidak mengganggu siapa-siapa.” jawab Sporty dengan tenang. “Kami hanya
membicarakan sepatu konyol ini, yang rupanya lebih pantas dijadikan barang
pajangan daripada dipakai jalan. Sepatu semacam ini mestinya dibingkai dan
dipajang di dinding. Mudah-mudahan saja nona ini tidak perlu membatalkan
kepergiannya karena noda hitam pada sepatunya. Lagi pula teman saya sudah
minta maaf."

“Maaf, maaf! Seharusnya dia lebih berhati-hati. tahu?" pria itu membalas dengan
ketus. Tingginya hampir dua meter.

"Teman saya tidak sengaja." ujar Sporty sambil mengerutkan alis. "Kami tidak
terima diperlakukan seenak-enaknya, hanya karena kami belum dewasa.”

Pria jangkung itu menatap wanita di sampingnya. “Apakab Anda mau minta ganti
rugi?"

Wanita itu menggeleng.

“Nah. kalian masih beruntung.” ujar si pria. Dan dengan dua langkah panjang ia
kembali ke tempat semula.

"Aneh, orang gila kok dibiarkan bebas berkeliaran,” bisik Oskar - tetapi cukup
keras sehingga terdengar oleh orang-orang di sekelilingnya.

Si Jangkung sudah mengangkat tangan untuk menampar Oskar. Tetapi akhirnya ia


menahan diri, karena menyadari bahwa para calon penumpang yang lain tidak
berada di pihaknya.

Jangan-jangan dia juga mau ke Marbella dan juga menginap di Hotel Istana, pikir
Sporty. Potongannya sih cocok untuk itu. Begitu juga wanita di belakang Petra.
Mungkin memang orang-orang seperti merekalah yang menginap di hotel mewah.
Penampilan sih kelas dunia, tapi watak minta ampun.
Pria tadi sudah terpateri dalam ingatan Sporty. Orangnya tinggi-besar, dan
berambut gelap. Matanya yang hitam menyorot dingin. Kemeja suteranya
dibiarkan terbuka sampai ke ulu hati, seakan-akan hendak memamerkan bulu dada.
Seuntai kalung emas melingkar pada lehernya.

Akhirnya anak-anak STOP mendapat giliran untuk menitipkan koper-koper


mereka. Ternyata tidak ada koper yang kelebihan berat. Kemudian masing-masing
memperoleb boarding pass - tanda masuk pesawat - berikut nomor tempat duduk.

Oskar tiba-tiba teringat sesuatu, sehingga ia berkata pada petugas di loket. "Kami
tidak merokok. Tolong perhatikan hal itu”

Petra, Thomas, dan Oskar memperoleh kursi nomor 7G, 7E, dan 7F. Sporty
kebagian tempat duduk di baris berikutnya: 8A.

“Kalian tunggu saja di B5,” ujar petugas loket. “Nanti akan diumumkan kapan
kalian bisa memasuki pesawat."

B5?

Sporty sudah mengetahui bahwa selasar menuju ruang-ruang tunggu diberi kode A.
B, dan C.

Oskar memberikan penjelasan lebih lanjut. “Kita harus melewati selasar B, lalu
menuju ke ruang 5. Di sana kita tunggu sampai dipersilakan naik ke pesawat. Tapi
itu tergantung di mana pesawat kita diparkir. Kalau jauh dari ruang tunggu, maka
kita akan diangkut naik bis. Tapi kalau pesawat kita berada tepat di depan pintu.,
maka kita masuk lewat belalai."

"Oh semuanya begitu menegangkan," bisik Petra.

“Pertama kali aku juga gelisah,” ujar Oskar dengan gaya sok mantap. “Tapi
sekarang aku sudah terbiasa. Semuanya sudah jadi urusan rutin." .

Tidak lama kemudian Pak dan Bu Sauerlich menyusul.

“Kami duduk di baris 20." kata ayah Oskar ceria. “Di bagian perokok. Tak ada
yang lebih menyenangkan dibandingkan terbang di atas awan sambil mengisap
sebatang cerutu impor. Ngomong-ngomong, bagaimana urusan bagasi tadi? Beres
semua?"
“Semuanya lancar,” jawab Oskar. “Aku kan sudah tiga kali terbang ke Marbella.
Tapi... ehmm.. bagaimana selanjutnya. Ayah Aku... aku lupa lagi.”

“Pemeriksaan paspor. Penggeledahan. Kemudian masuk ruang tunggu. Kalian


tidak perlu ditemani, bukan? Kami masih ada keperluan sebentar”

Pak dan Bu Sauerlich menghilang ke arah WC.

Oskar mengerutkan alis.

“Pemeriksaan papor! Betul! Tapi - wah, gawat! Kalau tidak salah tadi pagi aku
memasukkan pasporku ke dalam koper”

“Kopermu sudah diangkut ke tempat pengumpulan bagasi,” kata Thomas datar.


“Ya Tuhan! Kau takkan bisa berangkat tanpa paspor. Para petugas takkan
membiarkanmu lewat. Astaga Kopermu ikut ke Spanyol, tapi kau harus tinggal di
sini.”

Sambil kalang-kabut Oskar membongkar isi tasnya. Dalam sekejap sudah ada
sekilar 20 keping coklat yang menumpuk di lantai.

Apa jadinya kalau paspor Oskar memang ada di kopernya, pikir Sporty. Berarti...

"Ini dia!" Oskar tiba-tiba berseru sambil mengeluarkan sekeping cokiat yang
terbungkus kertas berwarna hijau. “Eh, bukan. Tapi. Nah, ini yang kucari!"

Dengan senyum penuh kemenangan. Oskar mengacungkan paspornya.

"Untung saja” Petra mendesah lega. “Tapi kalau aku tidak salah dengar, nanti
bakal ada penggeledahan, ya?”

Oskar mengangguk. “Setelah urusan paspor selesai, barang-barang kita akan


diperiksa dengan sinar-X. Jadi, kalau ada di antara kalian yang membawa pistol
atau granat lebih baik dikeluarkan sekarang saja. Mesin sinar-X itu tidak bisa
ditipu. Dalam sekejap mesin itu bisa tahu apakah kita membawa barang berbahaya
di dalam tas."

Petra nampak terheran-heran. Barang berbahaya di dalam tas peralatan


kecantikan??? Menggelikan. Thomas hanya geleng-geleng kepala.
Sporty mengangkat tangannya yang berotot. “Hanya ini senjata yang kumiliki.
Mudah-mudahan saja tidak ditahan oleh petugas keamanan. Tapi sebenarnya aku
cinta damai dan selalu menghormati hak sesama - termasuk musuh-musuhku.”

"Jadi” ujar Petra, “barang bawaan kita akan diperiksa dengan sinar-X. Lalu, siapa
yang menggeledah kita?”

“Petugas polisi. Mereka akan meraba-raba tubuh kita untuk memastikan bahwa
kita tidak menyembunyikan senjata di balik pakaian."

“Huh, aku tidak sudi diraba-raba!" Petra membalas dengan ketus, padahal Oskar
sama sekali tidak bersalah. "Seenaknya saja!”

“Kau akan diperiksa oleh petugas polisi wanita,” Oskar berusaha menenangkan
sahahatnya."

"Kenapa sih, harus digeledah segala?" Petra ingin tahu.

“Karena-” jawab Oskar sambil mengerutkan kening. “Ya, sebenarnya apa alasan
mereka."

“Masalahnya, dulu sering terjadi pembajakan pesawat.” Sporty menjelaskan. “Para


pembajak tidak bisa dikenali begitu saja. Mereka diam-diam menyusup ke
pesawat, lalu beraksi setelah pesawat mengudara Tapi itu hanya bisa dilakukan jika
mereka bersenjata. Karena itulah semua calon penumpang digeledah dulu. Habis,
para petugas keamanan harus berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.”

“Kalau begitu, aku juga termasuk orang yang dicurigai?” tanya Petra.

"Secara langsung sih tidak.” jawab Sporty sambil ketawa. “Tapi apa jadinya kalau
setiap orang menuntut perlakuan istimewa?"

Mereka masih menunggu selama beberapa waktu.

Sampai sekarang Lisa Prachold belum juga menampakkan diri.

Kemudian anak-anak melewati pos pemeriksaan paspor Di sini tak ada masalah,
sebab di antara mereka memang tidak ada buronan polisi.
Oskar khawatir, pemeriksaan dengan sinar-X bisa berakibat buruk bagi coklatnya
Tetapi kekhawatirannya tidak terbukti.
Setelah melewati pos penggeledahan, keempat sahabat STOP menuju ruang tunggu
B5. Ternyata hampir semua kursi sudah diduduki orang.

Ketika memandang sekeliling. Sporty melihat wanita yang tadi sempat berurusan
dengan mereka. Pria berkalung emas telah duduk didekat wanita itu. Dan diam-
diam ia terus menatap ke arahnya.

Sporty tidak bisa memastikan apakah wanita itu membalas tatapan si Kalung
Emas. Kacamata hitam yang ia kenakan menutup hampir seluruh wajahnya.

Pak dan Bu Sauerlich datang. Thomas dan Sporty segera berdiri agar orangtua
Oskar bisa duduk. Kemudian keduanya berbincang-bincang dengan ayah Oskar -
terutama mengenai masalah-masalah sekolah. Pak Sauerlich adalah salah satu
anggota dewan pembina sekolah asrama. Artinya, ia memberikan sumbangan besar
jika subsidi dari pemerintah tidak mencukupi kebutuhan.

Akhirnya nomor penerbangan menuju Malaga berkumandang lewat pengeras


suara. Para calon penumpang segera berebut memasuki bis yang akan membawa
mereka ke pesawat. Lima menit kemudian mereka telah berada di samping
Pesawat Airbus. Dengan pesawat inilah mereka akan terbang ke Spanyol.

Di sini, di tengah-tengah landasan parkir pesawat angin bertiup kencang. Parar


petugas teknik sudah selesai dengan tugas masing-masing, dan kini kembali ke
hanggar

“Kalau tidak salah kita harus lewat pintu belakang,” ujar Oskar.

Ketiga sahabat STOP yang lain mengikutinya. Ternyata baris 7 dan 8 ada di depan,
sehingga mereka harus menyusuri kabin ruang penumpang dari ekor sampai ke
hidung pesawat. Seharusnya mereka masuk lewat pintu depan.

Tanpa kesulitan mereka menemukan tempat duduk masing-masing. Thomas dan


Oskar mempersilakan Petra duduk di pinggir jendela. Sporty juga beruntung. Ia
pun memperoleh kursi di samping jendela, meskipun terpisah dan teman-
temannya. Tapi dengan menegakkan badan, ia masih bisa berkomunikasi dengan
mereka.

Sporty memandang sekeliling. Para penumpang yang penakut nampak pucat.


Mereka duduk dengan tegang, sambil berdoa dalam hati. Penumpang-penumpang
yang lain sudah memasang sabuk pengaman, dan menunggu saat lepas - landas
sambil membaca atau berbincang-bincang.
Lisa Prachold masih belum kelihatan. Si Kalung Emas duduk di baris 16, di tepi
gang. Untuk sesaat ia memelototi Sporty, kemudian mengalihkan pandangan.

Penumpang-penumpang terakhir berdatangan. Wanita yang sempat berselisih


dengan Petra muncul di pintu dan mendekat.

Mudah-mudahan dia duduk jauh-jauh dari aku! ujar Sporty dalam hati.
Namun kali ini harapannya tidak terkabul. Wanita itu ternyata mengambil tempat
duduk di sebelah Sporty.

Thomas dan Oskar nampak cengar-cengir. Petra pasang wajah masam. Sporty
memasang sabuk pengaman, lalu memandang ke luar jendela.

“Saya salut padamu,.” wanita cli sebelahnya tiba-tiba berkata. “Saya kagum
melihat kau begitu bersungguh-sungguh ketika membela temanmu tadi."

Eh, tunggu dulu - mungkin dia tidak sekonyol yang disangka.

Sporty menoleh, dan berhadapan dengan kacamata hitam seukuran lapangan bola.

"Oh, ya?"

"Ya, betul!"

“Tapi bukan itu masalahnya. Anda telah menyinggung perasaan Petra.”

"Sebenarnya saya tidak bermaksud bersikap sekasar tadi. Habis - sebagian besar
remaja sekarang pasti kurang ajar kalau dikasih hati. Karena itulah saya langsung
marah-marah."

“Ah, itu cuma prasangka buruk. Menurut saya, sebagian besar remaja cukup
mengenal sopan santun. Hanya orang-orang kolot yang berpendapat lain.”

“Wah, wawasanmu rupanya cukup luas.”

“Sebagai remaja, tentu saja saya selalu mengikuti perkembangan dunia anak muda.
Di negara-negara lain, anak-anak muda punya peranan yang cukup besar. Sayang
di Jerman tidak begitu. Remaja-remaja di sini sama sekali tidak dianggap. Padahal
kamilah yang harus membangun, membentuk, serta memelihara dunia di masa
mendatang. Dan yang pasti, kamilah yang akan memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya. Jadi,” Sporty menambahkan
sambil nyengir, “sudah sepantasnya kalau kaum remaja sedikit lebih dihormati.”

Wanita di sebelahnya nampak tersenyum.

Ia membungkuk dan menatap ketiga sahabat Sporty.

“Petra, ternyata tadi saya keliru. Kau tidak termasuk remaja brengsek! Gadis
dengan teman sehebat ini pasti memiliki banyak keistimewaan.”

“Saya sama sekali tidak merasa istimewa." ujar Petra. “Tapi saya rasa sekarang
kita sudah bisa berdamai.”
“Nah! puas?” Wanita itu berpaling pada Sporty.

Sporty hanya nyengir.

Rayuan gombal! anak itu berkata dalam hati. Seharusnya dia minta maaf pada
Petra.

Tanda DILARANG MEROROK telah dinyalakan. Kemudian pesawat mulal


bergerak.

Mula-mula masih pelan. Tetapi semakin lama semakin cepat, sampai akhirnya
mengudara.

Tanpa berkedip Sporty menyaksikan landasan pacu tertinggal jauh di bawah. Ia


melongok teman-tenannya. Ternyata mereka pun sedang memandang ke luar
jendela.

“Luar biasa,” Thomas berkomentar. “Dan atas, bumi kelihatannya lumayan indah.
Segala polusi dan pohon-pohon mati tidak tampak."

“Kita memang harus mengambil jarak, supaya hal-hal yang jelek-jelek tidak
merusak pandangan,” Petra menanggapinya. "Eh, coba Lihat, tuh! Itu seperti
sekolah kita”

Dari sisi Sporty tidak kelihatan apa-apa. Tapi di jendela seberang Thomas dan
Oskar berseru, ya, itu memang sekolah mereka. Oskar bahkan bisa mengenali
jendela SARANG RAJAWALI - dari ketinggian 5.000 meter.
Beberapa saat kemudian suara pilot terdengar melalui pengeras suara. Ia
memperkenalkan diri, lalu mengatakan bahwa mereka akan terbang selama kurang
lebih tiga jam. Sebagian besar waktu dilewatkan pada ketinggian 11.000 meter.

Setelah itu, tiga pramugari memperagakan langkah-langkah yang harus diambil


jika terjadi kecelakaan. bagaimana cara memakai masker oksigen serta
mengenakan jaket pelampung. Sporty agak heran, apa gunanya jaket pelampung,
kalau pesawat mereka hanya terbang di atas daratan saja?

Dengan kecepatan 950 km/jam, Pesawat Airbus itu menuju ke arah barat, mengejar
matahari.

Sebelum berangkat, Sporty beranggapan bahwa ia takkan bisa melihat banyak dari
ketinggian 11.000 meter. Ternyata justru sebaliknya! Daerah pedesaan, kota-kota
besar dan kecil, puncak-puncak gunung bersalju - semuanya kelihatan dengan
jelas.

"Ini pertama kali kau dan teman-temanmu naik pesawat ya?" tanya wanita di
samping Sporty.

“Betul.”

"Kalian hanya berempat?"

"Orangtua Oskar duduk agak lebih ke belakang. Dan di Malaga ibu saya akan
bergabung dengan kami. Dia berangkat dari kota lain, dan akan tiba lebih dulu.”

"Laluu kalian akan menghabiskan liburan bersama-sama?"

"Itulah rencananya.”

"Di sekitar Malaga?"

Astaga, apa-apaan sih ini? Untuk apa dia memberondongku dengan seribu
pertanyaan? pikir Sporty dengan kesal. Tetapi ia masih berusaha untuk
menyembunyikan kejengkelannya.

“Kami akan meneruskan perjalanan ke Marbella”

"Wah kebetulan sekali. Saya juga mau ke sana. Daerahnya indah sekali.
Percayalah, kalian takkan kecewa."
Sporty mengangguk, lalu kembali memandang ke luar jendela.

Tapi wanita itu tidak mau menyerah begitu saja.

“Jadi, kalian pergi bertujuh.” Ia menyimpulkan. "Kalau begitu, kalian pasti


menyewa bungalo yang cukup besar, ya?"

“Kami akan menginap di hotel. Di Hotel Istana. Sayang sekali saya belum bisa
menyebutkan di kamar nomor berapa. Soalnya saya sendiri belum tahu.”

Sporty sengaja bersikap ketus untuk mengakhiri percakapan, tetapi lawan


bicaranya ternyata tidak ambil pusing. Wanita itu hanya terheran-heran. Hampir
saja ia melepaskan kacamala hitamnya.

"DI Hotel Istana? Oh! Itu hotel paling mewah antara Almeria dan Gibraltar. Kalau
begitu kita akan sering bertemu nanti, sebab saya sendiri juga akan menginap di
sana.”

Sering bertemu? Sporty mengulangi dalam hati. Mudah-mudahan saja tidak!


Sporty sama sekali tidak gembira mendengar kabar ini. Tapi demi menjaga sopan
santun, ia tersenyum ramah.

Pengeras suara kembali berbunyi. Kali ini seorang pramugari mengumumkan


bahwa sebentar lagi akan ada pembagian makanan.

Seketika minat Oskar terhadap pemandangan di luar lenyap. Langsung saja ia


membuka meja lipat. lalu menunggu giliran dilayani..

Wanita di samping Sporty berdiri, meraih tasnya, kemudian berjalan ke arah toilet
di belakang.

Kebetulan saja Sporty memperhatikannya. Sebetulnya ia hanya ingin melihat


bagaimana
keadaan Pak dan Bu Sauerlich.

Namun tiba-tiba ia seperti terpaku di tempat. Hampir saja ia tidak mempercayai


pandangan matanya.

Si Kalung Emas yang bertubuh raksasa duduk di tepi gang. Wanita tadi baru saja
melewatinya. Untuk sejenak si Kalung Emas menatap ke atas. Kemudian ia
menggenggam tangan wanita itu - tetapi hanya selama sepersekian detik saja.
Selain Sporty tidak ada yang melihat kejadian itu.

Aneh tapi nyata, terlintas di kepala Sporty.

Mereka ternyata saling mengenal! Tapi kenapa mereka berlagak seperti orang
asing di bandara tadi?

Kini trolley - kereta dorong - dari dapur pesawat telah sampai di baris delapan.
Sporty langsung diberi kotak makanan.

“Bagaimana dengan wanita tadi?” si pramugari bertanya sambil menunjuk kursi


yang kosong.

“Saya kurang tahu,’ jawab Sporty. "Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi letakkan
sajalah. Kalau dia tidak berminat makan, maka sudah ada yang mau
menampungnya."

Sambil nyengir ia menunjuk arah Oskar.

7. Penyamaran di Pesawat

KALAU Oskar sudah mulai makan, maka ia tidak peduli lagi pada kejadian-
kejadian di sekelilingnya. Biarpun dunia kiamat - anak itu baru akan bereaksi
setelah menghabiskan hidangan cuci mulut.

Lain halnya dengan Thomas. Dia bisa makan sambil berceramah panjang lebar -
seperti sekarang, misalnya. Dengan suara direndahkan, Thomas mulai menyiksa
Petra dan Oskar.

Tetapi kata-katanya tidak luput dan pendengaran Sporty.

"...yang dimaksud dengan Costa del Sol atau pantai matahari adalah sebagian
pantai Spanyol yang menghadap ke Laut Tengah. Daerah itu berawal dan Teluk
Almeria, lalu membentang sarnpai ke Gibraltar dan Teluk Algericas”
Thomas menelan sepotong daging. kemudian melanjutkan, "Menurut apa yang
telah kubaca, kegiatan pariwisata di Costa del Sol baru berkembang sejak tabun
1955. Tapi sekarang daerah itu sudah penuh dengan bar-bar. Tempat-tempat
hiburan, serta pusat-pusat wisata”

“Betul sekali,” Oskar bergumam sambil mengunyah.

"Kota Malaga terletak di tengah-tengah Costa del Sol. Ke arah timur dan barat
terdapat hamparan pantai kerikil dan pasir putih. Di beberapa tempat iuga ada
tebing-tebing curam. Sebelum tahun 1955, Costa del Sol hanya dihuni oleb para
nelayan. Tapi kini kota-kota pariwisata telah menjemur. Dan sampai sekarang pun
jumlahnya terus bertambah. Para pengusaha begitu sibuk membangun sehingga
tidak sadar bahwa alam lingkungan yang menjadi korban. Beberapa orang
berpendapat bahwa Costa del Sol sudah tidak berbeda dengan Manhattan, pusat
kota New York. Di mana-mana hanya ada pencakar langit. Costa del Sol
membentang sepanjang 400 kilometer. Iklimnya termasuk sub-tropis. Ke arah
pedalaman, daerah itu dibatasi oleh Pegunungan Andalusia. Dalam bahasa
Spanyol, pegunungan disebut sierra. Pegunungan yang terletak di belakang
Marbella bernama Sierra Blanca atau Pegunungan Putih.

Oskar, yang baru saja selesai makan, langsung berkomentar, "Sierra Blanca benar-
benar kekurangan air. Di kaki pegunungan itu memang ada Laut Tengah, tetapi di
bagian yang lebih tinggi hampir tidak pernah turun hujan. Daerah itu berbatu-batu.
Semuanya penuh debu. Pohon-pohon hanya sedikit, dan itu pun kurus kering.”

Thomas mengangguk. “Curah hujan di sana hanya 400 milimeter per tahun.
Dengan demikian Costa del Sol adalah daerah dengan curah hujan terkecil di
seluruh Eropa Barat!"

Dengan senyum penuh kemenangan Oskar berpaling pada Sporty.

“Nah apa kubilang? Temyata Thomas pun sependapat denganku."

“Tunggu dulu,” balas Sporty sambil ketawa. "Aku tidak pernah menyangkal bahwa
daerah itu kering. Tapi kau mengatakan bahwa orang-orang di sana tidak
mempunyai istilah untuk hujan. Padahal mereka pun mengenal iluvia atau hujan.”

"Apa sih artinya 400 milimeter hujan per tahun?” Oskar berusaha membela din.
“Berapa, ehm.... berapa senti sih itu? Oh! Cuma 40 senti? Ah jumlah segitu bisa
kuhabiskan dengan sekali teguk”
“Tapi hanya kalau berupa susu coklat”

Petra mengolok-olok sahabatnya.

Sporty mulai makan. Ia juga menghabiskan kopi dalam cangkir.

Sebuah gerakan di sampingnya membuat Sporty menoleh. Rupanya wanita tadi


telah kembali dan toilet.

Namun Sporty terheran-heran ketika ia menatap seorang wanita yang belum


pernah dilihatnya.

"Maaf kursi ini sudah terisi." anak itu berkata.

Pada detik berikutnya ia menyadari: pakaiannya sama, sepatu larsnya sama Tapi.
Busyet! Ini, ini... Ah tidak mungkin! Wanita di sampingnya mirip sekali dengan -
Lisa Prachold!

“Apa kau tidak mengenali saya?" wanita itu bertanya sambil tersenyum. "Pasti
karena saya sudah membuka rambut palsu, dan kacamata hitam, bukan? Tapi
begitulah kaum wanita. Kami suka mengubah-ubah penampilan.

Rambut wanita di samping Sporty kini nampak hitam kebiru-biruan. Matanya


berwarna abu-abu, dan kulitnya putih susu.

Tingqinya cocok. Figurnya cocok Suaranya pun cocok. Semuanya cocok. Wanita
itu cocok sekali dengan gambaran mengenai Lisa Prachold yang diberikan oleh
Komisaris Glockner.

"Aha! Rupanya Anda merayakan karnaval sepanjang tahun, ya? Hampir saja saya
menyangka bahwa Anda seorang penumpang gelap."

Wanita itu ketawa, kemudian mulai mencicipi makanannya. Oskar langsung


mendesah dengan kecewa.

Dia memang Lisa Prachold. Ujar Sporty dalam hati. Tidak ada kemungkinan lain.
Pantas saja aku sia-sia mencarinya di bandara tadi. Rupanya dia menyamar.
Barangkali dia tidak mau kalau kepergiannya diketahui orang lain. Tapi kenapa?
Bukankah pihak polisi sudah menghentikan penyidikan? Hmm, siapa lagi yang
berminat untuk memata-matai dia? Bekas detektif asuransi itu, mungkin? Si Rudi
Schleich, yang tiba-tiba minta berhenti dari tempat kerjanya? Wab, ini benar-benar
teka-teki yang rumit Tapi. awas saja, Nyonya Prachold! Tak ada teka-teki yang
tidak bisa dipecahkan oleh anak-anak STOP.

Sementara itu, Petra telah berdiri dan tempat duduknya untuk melihat ke arah Pak
dan Bu Sauerlich. Untuk sesaat Sporty bertatapan dengannya. Ternyata Petra pun
merasa heran.

Penerbangan selanjutnya tetap berlangsung dengan tenang. Dan setelah terbang


selama dua jam dan 49 menit mereka mendarat di bandara Malaga.

Matahari masih memancarkan cahayanya yang terakhir. Angin lembut membelai-


belai pohon-pohon palem.
Setelab melewati pos pemeriksaan paspor, Sporty langsung mendahului yang lain
dan bergegas ke ruang penjemputan.

Jantungnya berdenyut kencang. Sejak liburan Paskah yang lalu, ia belum pernah
bertemu lagi dengan ibunya. Sporty memang selalu mengirim surat, dan ibunya
pun hampir setiap minggu menelepon ke asrama - tapi itu tidak bisa mengobati
rasa rindunya.

Sporty berhenti. Pandangannya berkeliaran ke segala arah. Ratusan wisatawan


memenuhi ruangan luas itu. Dua buah ban berjalan terus berputar sambil
mengangkut koper-koper dari pesawat yang baru tiba dari Amsterdam. Para
penumpang nampak bercucuran keringat. Meskipun hari telah menjelang malam,
suhu masih terasa menyesakkan napas. Di mana....
Pada detik itulah Sporty menemukan ibunya di tengah-tengah kerumunan orang.
Dan pada sama yang sama Bu Carsten pun melihat putranya. Dalam sekejap
mereka telah berpelukan erat-erat.

“Ibu sehat-sehat saja? Kelihatannya sih begitu. Rupanya Anda sudah mulai
menikmati liburan, Bu Carsten? Anda nampak segar bugar, seakan-akan baru
datang dari Marbella!"

Bu Carsten menjewer telinga Sporty, kemudian mencium pipi putra tunggalnya itu.

"Peter, Ibu benar-benar terharu karena keluarga Sauerlich telah berbaik hati dengan
mengundang kita untuk berlibur bersama. Di mana mereka? Dan di mana teman-
temanmu?”

Pak dan Bu Sauerlich, serta sisa kelompok STOP menunggu di tempat yang agak
jauh. Mereka tidak ingin mengganggu perjumpaan antara ibu dan anak. Tetapi
kelima-limanya menyaksikan adegan itu dengan wajah berseri-seri. Baru kemudian
mereka saling bersalaman. Susanne Carsten telah mengenal semua anak STOP.
Dan ia juga sudah pernah berjumpa dengan orangtua Oskar. Thomas dan Oskar
mengaguminya. Dan bagi Petra, Bu Carsten merupakan bayangan ideal tentang
seorang mertua. Tapi ini merupakan rahasia yang tersimpan rapat dalam hati Petra.

Susanne Carsten berusia 38 tahun Tetapi penampilannya jauh lebih muda. Orang
nyaris tidak percaya bahwa wanita itu mempunyai anak seumur Sporty, sebab
Sporty nampak lebih dewasa ketimbang usianya yang baru 14 tahun. Bu Carsten
berbadan langsing. Rambutnya berwarna pirang kecokiat-coklatan. Bulu matanya
lentik, dan sorot matanya hangat. Ia berpakaian elegan, tetapi tidak berlebihan.
Perhiasan yang dikenakannya berupa sepasang anting-anting mutiara, serta sebuab
katung emas.

“Nah sekarang kalian tolong ambil koper-koper kita," Pak Sauerlich memutuskan,
"Para orangtua ingin beristirahat sejenak”

“Koper saya sudah saya ambil tadi" ujar Bu Carsten.

“Bagammana perjalanan Anda, Bu Carsten?" tanya Erna Sauerlich.

Hanya itu yang sempat tendengar oleh anak-anak STOP. Mereka menjauh, lalu
mengelilingi ban berjalan yang akan membawa koper-koper mereka.

Ban berjalan itu mengeluarkan bunyi seperti tikus kejepit.

“Ya, ampun!” Oskar berseru. "Beginilah keadaannya di Selatan, Padahal beberapa


tetes minyak saja sudah cukup untuk mengatasi kebisingan ini. Sekarang ikuti
contohku! Begitu kalian melihat salah satu koper kita - langsung diangkat saja!
Dan setelah itu kita masih harus melewati pabean. Mudah-mudahan mereka tidak
mengira bahwa aku memborong coklat di pesawat."

“Kalau sampai kepergok maka kau terpaksa membayar bea masuk,” ujar Thomas.

“Bagaimana kalau aku menyelundupkan coklatku lewat pos pemeriksaan?” kata


Oskar sambil tersenyum penuh arti. “Kalau aku menelan kedua puluh keping
coklat itu, maka para petugas pemeriksa takkan curiga. Mereka kan tidak
menggunakan mesin sinar-X terhadap para penumpang”

Ternyata Oskar beruntung.


Bukan di ban berjalan. Di sini hanya dia seorang yang tidak kebagian koper.
Sporty dan Thomas yang mengangkat semua barang bawaan milik rombongan
Sauerlich.

Tetapi ketika Oskar membawa kopernya melewati pos pemeriksaan, tak ada yang
mencegahnya. Tidak ada yang menduga bahwa anak itu baru saja berhasil
menyelundupkan coklat.

Udara tak bergerak. Para wanita mulai menggunakan tangan sebagai kipas angin.
Oskar bercucuran keringat.. Dan Pak Sauerlich mengalami nasib yang sama..

Bis penjemput sudah menunggu di luar.

Anak-anak STOP duduk di bangku paling belakang.

Mereka melihat wanita yang dicurigai sebagai Lisa Prachold masuk lewat pintu
depan, lalu duduk dua baris di belakang sopir

Kini si Kalung Emas muncul

“Aku berani bertaruh bahwa dia juga mau ke Hotel Istana,” bisik Sporty. "
sebenarnya dia bisa saja turun di tempat lain. Bis ini kan berhenti di beberapa
hotel, seperti yang baru saja dikatakan oleh si pengemudi. Tapi aku yakin, Si
Kalung Emas dan wanita itu akan tinggal di satu tempat."

“Berarti kita harus tinggal di satu tempat dengan dua orang yang tidak kusukai."
ujar Petra.

"Tapi berdasarkan pengalaman yang lalu," Thomas berkomentar sambil nyengir.


"Merekalah yang akan menyesal. Kita sih tetap akan menikmati liburan ini.
Entahlah bagaimana dengan mereka berdua.”

Langsung saja ia mencopot kacamata dan mulai menggosok-gosoknya. Padahal di


luar hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu di kejauhan sudah mulai dinyalakan.
Bintang-bintang gemerlapan di langit. Dan tidak lama kemudian bulan purnama
pun menampakkan diri.

Si Kalung Emas ternyata duduk di belakang Lisa Prachold. Kemunqkinan besar


mereka sedang berbisik-bisik.
Ketika bis berangkat, Sporty berjalan ke depan dan duduk di samping ibunya.
Selama perjalanan mereka saling berbagi cerita. Mengenal keadaan di rumah.
Mengenai kenalan-kenalan mereka. Mengenai kejadian-kejadian di kota kelahiran
Sporty, yang kini sudah mulai terasa asing baginya.

“Sebenarnya menyenangkan sekali kalau ibu bisa memperoleh pekerjaan di dekat


sekolahku?" ujar Sporty.

“Memang?" jawab Bu Carsten sambil tersenyum. “Ibu juga berusaha. Tapi


harapannya tipis, dan Ibu tidak bisa melepaskan pekerjaan di kantor Ibu sekarang.”

Bis penjemput mereka antara lain berhenti di Torremolinos, Boliches, dan


Fuengirola. Setiap kali ada beberapa penumpang turun di depan gedung-gedung
hotel bertingkat. Kemudian mereka tiba di Marbella, kota pelabuhan dengan
48.000 penduduk.
Suasana di kota itu semarak sekali. Di mana-mana ada cahaya. kebisingan, dan
manusia. Tapi bis penjemput terus melaju, meiewati kota, kemudian membelok ke
kiri - ke arah laut.

Penumpang yang masih berada di dalam bis hanyalah rombongan Sauerlich, Lisa
Prachold, serta Tuan Kalung Emas.

Nab, apa kubilang, ujar Sporty dalam hati.

Beberapa saat kemudian mereka sampai di Hotel Istana.

Semuanya turun. Pelayan-pelayan berseragam bergegas mendekat, dan langsung


mengangkat koper-koper para tamu yang baru datang.

Anak-anak STOP berdiri bergerombol. Terkagum-kagum keempat sahabat tlu


menatap bangunan hotel di hadapan mereka.

“Nah, sekarang terbukti kan bahwa ceritaku tidak berlebihan,” Oskar berkoar.
Padahal selama ini ia sama sekali belum bercerita tentang Hotel Istana. “Delapan
lantai. Sebuah bangunan modern selebar 25 ruangan - aku menghitungnya waktu
terakhir kali ke sini. Modern, modern! Apalagi bagian dalamnya. Ayo, kita masuk
dulu! Yang lainnya sudah mendahului kita.”

Sebagai tamu langganan, keluarga Sauerlich disambut dengan hangat oleh petugas
penerima tamu. Sepertinya semua pegawal hotel sudah tahu siapa mereka.
Oskar nampak berseri-seri. Sementara itu ayahnya membereskan semua urusan
yang harus diselesaikan, dan mulai membagi-bagikan uang tip.

Sporty memandang sekeliling. Petra mengikuti contohnya.

Tinggi lobi hotel mencapai dua tingkat. Luasnya sama dengan dua lapangan tenis.
Dan penataan ruang dalamnya sangat mewah. Di balik jendela-jendela yang
menghadap ke laut anak-anak melihat taman yang memisahkan hotel dengan
pantai. Pintu kaca menuju ke taman terbuka lebar Sepasang suami-istri berpakaian
elegan baru saja melangkah masuk. Si pria mengenakan setelan jas. lstrinya
memakal gaun malam.

Wah, kalau semua orang berpenampilan seperti ini, pikir Sporty, bisa-bisa kita
dilarang berkeliaran di hotel. Suasana di sini benar-benar seperti di sebuah istana.

Wanita yang diduga sebagai Lisa Prachold serta si Tuan Kalung Emas, sedang
dilayani okh petugas penerirna tamu yang fasih berbahasa Jerman.
Sporty langsung memasang telinga.

"...si, Mrs. Prachold,” ia sempat mendengar.

Nab, sekarang sudah terbukti!

“...Senor Waldemar Luschner?"

"Ya, saya punya pesanan kamar atas nama Anda”

Waldemar Luschner, pikir Sporty. Hmm, nama baru dalam kasus Prachold.
Ternyata dia bukan Rudi Schleich.

Kemudian Petra menarik lengan Sporty. Mereka lalu bergabung dengan


rombongan Sauerlich yang telah berkumpul di depan lift.

“Pengaturan kamar di sini sebagai berikut” ujar ayah Oskar. “Kamar-kamar dengan
double-bed menghadap ke selatan, jadi ke laut. Kamar-kamar single menghadap ke
utara. Itu adalah sisi depan yang kita lihat dari luar tadi. Para penghuni kamar-
kamar itu bisa melihat Sierra Blanca. Tetapi pemandangan itu kalah jauh dengan
pemandangan ke laut taman, berikut swimming pool. Saya sudah mengatur
semuanya sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang kebagian kamar single.
Mudah-mudahan saja tidak ada yang keberatan."
Semuanya rnengangguk tanda setuju. Tidak ada yang mengajukan protes.

"Kita menempati kamar 110,” Pak Sauerlich berpaling pada istrinya. “seperti biasa
Anda, Bu Carsten, dan Petra memperoleh kamar nomor 109. Saya sudah minta
tempat tidur tambahan untuk kamar 108. Jadi sisa kelompok STOP pun tidak perlu
berebut tempat tidur.”

“Siiip!" Pak Sauerlich dipuji oleh anaknya“Kalau begitu kita semua tinggal di
kamar yang bersebelahan. Tapi di lantai berapa, Ayah?"’

“Aduh, Oskar, itu kan bisa dilihat dari nomor kamar. Perhatikan angka yang
pertama. Kita Menempati kamar 8, 9, dan 10, di tingkat pertama."

Meskipun hanya perlu naik satu tingkat, mereka tetap menggunakan lift.

Waldemar Luschner juga ikut.

Dari dekat, pria itu menyebarkan bau minyak wangi yang menusuk hidung. Sambil
memasang tampang kecut, ia menekan tombol tingkat 4. Barangkali ini
membuatnya kesal, sebab Lisa Prachold tinggal di tingkat pertama.

Ketika rombongan Sauerlich keluar dari lift, Sporty melihat wanita itu. Pelayan
yang mengangkat kopernya baru saja membuka pintu karnar nomor 106.

Kebetulan sekali, ujar Sporty dalam hati. Kalau begitu, kami takkan mengalami
kesulitan untuk mengawasi gerak-geriknya.

Sporty, Thomas, dan Oskar memasuki kamar nomor 108. Koper-koper mereka
menyusul. Kamar itu ternyata cukup luas, sehingga masih bisa menampung tempat
tidur tambahan,

Dalam sekejap Sporty sudah membereskan barang-barangnya. Kemudian ia


melangkah ke balkon.

8. Kepergok Penjahat

UNTUK sesaat, pemandangan di hadapan Sporty membuatnya menahan napas.


Daun-daun pohon palem bergerak-gerak seirama tiupan angin yang lembut. Tiga
buah kolam renang berbentuk bulat nampak terang-benderang. Sejumlah lampu
yang dipasang di bawah permukaan air pada dinding kolam menerangi air laut
yang telah dihangatkan.

Semuanya itu disinari oleh bulan purnama. Pada lapangan rumput yang
mengelilingi kolam renang terdapat belasan kursi malas, serta payung penahan
panas matahari berukuran besar. Di latar belakang, Sporty melihat sebuah teras.
Pantai dan bagian ujung taman hanya terpisah oleh tembok setinggi pinggang.
Sayup-sayup terdengar deburan ombak. Dan jauh di lepas pantai sejumlah kapal
pesiar sedang berlabuh.

Lampu di balkon kamar 109 juga diterangi lampu.

Sporty mengintip ke sebelah dan bertatapan dengan Petra.

“Hah,, sudah kuduga, kau pasti ada di balkon,” ujar gadis itu sambil ketawa.
"Pemandangannya indah sekali, ya? Aku jadi takut, jangan-jangan aku tidak
sempat tidur nanti malam. Bisa-bisa aku menghabiskan malam ini dengan duduk-
duduk di balkon untuk menikmati pemandangan.”

Bu Carsten pun menyusul ke luar.

“Bagaimana kamar kalian?" Ia bertanya pada Sporty.

“Menyenangkan sekali! Dibandingkan dengan kamar ini, SARANG RAJAWALI


tidak lebih dari sebuah gudang.”

Susanne Carsten menoleh ke arah laut. "Pemandangan ini takkan pernah saya
lupakan."

Kini Thomas dan Oskar bergabung dengan Sporty. Dan di kamar sebelah, kamar
110, Pak dan Bu Sauerlich juga menampakkan diri.

“Halo, semuanya!” ujar ayah Oskar. "Saya baru saja menelepon ke bawah.
Ternyata restoran sudah tutup. Tapi kita bisa pesan makanan untuk dibawa ke
kamar masing-masing. Ada yang berminat?"

Oskar tidak perlu ditanya dua kali. Bu Carsten dan Thomas juga ikut memesan.

“Saya belum lapar," kata Petra. “Sebenarnya saya ingin.."


“...berenang,” Sporty memotong ucapannya.

"Rupanya kau bisa membaca pikiran. Petra. Aku juga nyebur ke swimming pool.”

“Eh! tunggu sebentar." kata Oskar. "Ada yang perlu kujelaskan dulu. Peraturan di
sini melarang para tamu untuk mondar-mandir di dalam hotel hanya dengan
pakaian renang. Kalian harus pakai T-shirt atau semacamnya. Nanti, kalau sudah
sampai di luar baru boleh dibuka."

Sporty memilih T-shirt berwarna merah menyala, serta celana pendek berwarna
biru. Kemudian ia keluar dari kamar, dan menunggu Petra di depan lift.

Gadis itu muncul dengan sandal jepit dan tubuh terbungkus kimono berwarna
putih. Rambutnya yang pirang diikat ke atas.

"Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Hotel Istana semewah ini," Petra
mengakui terus-terang. “Dan semuanya bertambah menyenangkan karena kita bisa
menikmati liburan bersama-sama.”

"Lagi pula di sini segala macam fasilitas sudah tersedia,” Sporty menambahkan.
Sambil ketawa mereka memasuki lift. "Kita bisa berenang, main selancar angin,
jalan-jalan di pantai, berjemur - dan mengawasi gerak-gerik Lisa Prachold. Aku
yakin kita tidak bakal sempat merasa bosan selama tinggal di sini."

Mereka melewati restoran. Para pelayan sedang sibuk membereskan meja-meja.


Petra dan Sporty juga bisa melihat ke bar, yang besarnya tidak kalah jauh dengan
restoran. Paling tidak ada seratus tamu yang duduk menghadapi gelas masihg-
masing, sambil mendengarkan seorang pianis yang bermain seadanya. Mungkin ia
sudah mulai mengantuk, karena malam sudah larut.

Kedua sahabat STOP melangkah ke luar.

Dua wanita muda berpapasan dengan mereka. Mereka rupanya orang Prancis.
sebab keduanya berbincang-bincang dalam bahasa itu.

Sebuah jalan setapak yang dilapisi dengan batu berbentuk pipih melewati
sekelompok pohon palem, dan menuju ke lapangan rumput tempat berjemur. Baru
dari dekat Sporty menyadari bahwa kedua swimming pool yang lebih besar
ternyata menyatu, sehingga membentuk angka 8. Kedua kotam renang itu
dihubungkan oleh sebuah kanal, yang ditutupi dengan pelat beton. Tetapi pelat itu
dipasang di alas kaki beton, sehingga orang yang berada di bawahnya bisa
mengintip ke luar.

Petra melepaskan kimononya, dan Sporty pun membuka T-shirt dan celana
pendek. Bikini yang dikenakan Petra berwarna hijau. Sporty memakai celana
renang berwarna biru.

Setelah membasuh tubuh masing-masing, mereka melompat ke dalam air.


Petra ketawa ceria ketika menyadari bahwa air di kolam renang itu adalah air laut
yang telah dibersihkan. Langsung saja ia mencipratkan air ke wajah Sporty,
kemudian kabur sambil berenang gaya punggung.

Untuk beberapa saat kedua sahabat itu mondar-mandir sambil bercanda ria. Selain
mereka tidak ada siapa-siapa di taman. Pada jam begini, para pengunjung yang
belum tidur lebih tertarik untuk mengunjungi bar.

“Aku mau melewati kanal dulu, ah!" ujar Sporty.

"Untuk apa?” tanya Petra.

"Katanya sih, air di kolam sebelah lebih asyik lagi.”

Petra ketawa. “Oke! Siapa yang sampai duluan.”

“Sst!”

Pandangan Sporty mengarah ke hotel.


Bangunan berlantai delapan itu membatasi pekarangan ke arah utara. Hampir
semua lampu kamar masih menyala.

Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Sporty. Ia memperhatikan sosok yang
sedang mendekati kolam renang. Seorang wanita. Ia berpakaian serba putih. Hanya
itu yang nampak dalam kegelapan malam. Namun melihat cara jalan wanita itu,
Sporty menebak bahwa dia adalah Lisa Prachold.

“Awas, Lisa Prachold sedang menuju ke sini?" bisik Sporty. “Cepat, kita
bersembunyi di kanal.”

Mereka berenang tanpa mengeluarkan suara. Dengan beberapa kali mengayuhkan


tangan, kedua anak itu telah berada di bawah pelat beton. Cahaya lampu bawah air
tidak sampai ke sini, sehingga air di kanal nampak seperti tinta hitam.
Sporty dan Petra menunggu sambil mengintip melalui celah antara pelat beton
dengan tepi kanal.

“Ternyata bukan kita saja yang tidak betah di kamar.” ujar Petra dengan suara
tertahan.

“Dia mengenakan pakaian lengkap. Berarti dia tidak bermaksud berenang."

Wanita itu semakin mendekat.

"Sporty!" Petra berbisik ke telinga sahabatnya. “Si Kalung Emas baru saja keluar
dan hotel.”

Pengamatan Petra tidak keliru. Sporty pun melihat pria bertubuh raksasa itu.

Lisa Prachold telah sampai di kolam pertama, dan berhenti di tepinya - hanya
beberapa langkah dan tempat persembunyian Petra dan Sporty.

Si Kalung Emas memandang ke segala arah. Baru kemudian ia menghampiri


wanita itu.

“Ah, Sayangku! Akhirnya! Aku sudah bosan dengan sandiwara brengsek ini.
Selalu berdekatan, tetapi terpaksa pura-pura tidak kenal,” katanya.

"Besok kita akan berkenalan secara resmi, Waldi!” jawab Lisa Prachold. “Di sini,
di kolam renang. Dan setelah itu semuanya akan beres.”

Si Kalung Emas mencoba untuk mencium kekasihnya. Tetapi Lisa Prachold


menolak dengan halus, sambil bergumam mengenai lipstick-nya. Setelah itu kata-
katanya terdengar lebih jelas

“Aku sebenarnya tidak setuju kau ikut campur waktu anak ingusan itu menginjak
kakiku di lapangan terbang tadi,” ia berkata sambil memasang tampang cemberut.

“Lho? Kenapa?"

“Kita kan sudah bersepakat untuk tidak saling memperhatikan dalam perjalanan ke
sini."

“Memang. Tapi...” Si Kalung Emas berdehem. “Tindakanku kan tidak


mencurigakan. Lagi pula tidak ada siapa-siapa yang mengenal kita. Atau mungkin
kau melihat orang Spanyol itu?”
“Rasanya sih, dia tidak ada. Tapi tetap saja, Waldi, kita tetap harus bersikap
waspada! Sampai sekarang semuanya berjalan sesuai rencana. Jangan sampal kita
gagal karena bertindak sembrono."

"Hmm. Ya.”

Untuk sesaat keduanya terdiam sanbil bergandengan tangan.

"Kapan kau akan meneleponnya?” si Kalung Emas bertanya.

“Besok. Tapi sekarang aku akan kembali ke kamar dulu. Aku lelah sekali.
Sebenarnya aku hanya ingin menghirup udara segar sebelum tidur. Kamarku
menghadap ke utara. Bagaimana dengan kamarmu ?"

Si Kalung Emas menggumankan sesuatu.

Tetapi Sporty dan Petra tidak sempat mendengar apa yang dikatakannya. sebab
Lisa Prachold sudah menarik tangan kekasihnya. Secara terpisah mereka lalu
memasuki hotel.

Si Kalung Emas masih sempat menghabiskan sebatang rokok.Kemudian ia menuju


ke bar.

“Waldi." ujar Petra sambil ketawa cekikikan. “Si Kalung Emas dipanggil Waldi
oleh Lisa Prachold. Aduh, mesranya! Ternyata mereka malah lebih akrab dari yang
kita duga."

“Dan besok mereka akan berkenalan secara resmi. Pertunjukan itu tidak boleh kita
lewatkan.”

"Bagaimana pendapatmu tentang kejadian ini?" tanya Petra.

"Hmm, aku rasa Erik Prachold memang sudah meninggal. Buktinya, istrinya sudah
punya gandengan baru."

“Itu sih belum membuktikan apa-apa."

"Maksudmu?"
“Seorang wanita seperti Lisa Prachold mungkin saja menjalin hubungan dengan
dua laki-laki sekaligus," Petra menjelaskan. "Yang satu dibutuhkan untuk
bermesraan, yang satu lagi untuk memperoleh uang.”

“Hmm, benar juga. Dugaanmu diperkuat oleh kenyataan bahwa Lisa Prachold akan
menelepon seseorang besok. Orang itu mungkin saja Erik Prachold - suaminya
yang dikabarkan telah meninggal. Kecuali itu, mereka juga berbicara mengenal
orang Spanyol. Siapa tahu yang mereka maksud adalah Rudi Schleich, bekas
detektif itu."

"Kalau begitu ada kemungkinan lebih dari dua orang terlibat dalam penipuan
mereka." Petra berkomentar.

“Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya. Pokoknya, sekarang sudah terbukti


bahwa ada yang tidak beres di sini. Kalau perlu, aku akan mengubah taktik. Aku
akan bersikap ramah pada Lisa Prachoid. Dengan demikian aku bisa mengawasi
dia tanpa menimbulkan kecurigaan.”

"Huh, kurang ajar! Dia menyebut aku sebagai anak ingusan.”

"Ah, dia hanya cemburu padamu, Petra. Wanita seperti dia tidak segan-segan
unruk cemburu pada gadis ingusan yang... Aduh."

Teriakan Sporty diredam oleh pelat beton di atas mereka.

Di bawah air, Petra telah melayangkan tinjunya ke perut Sporty.

“Oh, maaf! Kau kena sikut, ya?" ujar Petra sambil tersenyum manis. “Sekarang
aku mau balik ke kamar dulu. Soalnya aku sudah mulai lapar. Bagaimana? Kau
mau ikut, atau mau bermalam di sini?’

***

Pedro Ramirez terbangun di apartemennya. Matahari telah bersinar cerah. Hanya


di atas laut masih ada kabut tipis.

Kepala Ramirez terasa berdenyut-denyut. Kalau saja ia mau pergi ke dokter, maka
sudah bisa dipastikan bahwa ia akan disuruh beristirahat sambil berbaring di
tempat tidur. Namun bajingan itu tidak punya pikiran ke arah sana.
Ramirez memang sempat dihajar dengan keras ketika mencoba memeras Erik
Prachold. Tapi - itulah resiko profesi yang ditekuninya. Sewaktu siuman, ia
tergeletak di tepi jalan raya menuju Mijas. Untung ada pengemudi truk yang
bersedia membawanya ke kota.

Kini kepalanya diikat dengan perban. Dan kecuali itu, ia merasa malu sekali karena
telah gagal.

Dengan susah-payah Ramirez turun dari tempat tidur. Kepalanya masih terasa sakit
sekali. Sambil tertatih-tatih ia melangkah ke dapur untuk membuat kopi. Tiba-tiba
ia mendengar langkah kaki di selasar. Dan sedetik kemudian pintu apartemennya
diketok dari luar.

“Hei, Pedro!” ujar seseorang bersuara serak. “Ini kami."

Ramirez membuka pintu, dan kedua tamunya melangkah masuk.

“Nah, bagaimana keadaanmu? Sudah mendingan?" Carlo Morganzini bertanya.

"Belum. Jangan-jangan aku gegar otak."

"Ah paling-paling juga gegar otak ringan,” Heiko Mohlen berkomentar. Langsung
saja ia menarik satu-satunya kursi di dapur, lalu duduk.

Heiko Mohlen berasal dari Jerman. Orangnya tegap, dengan kulit kemerah-
merahan. Ia dikenal sebagai pemimpin sebuah komptotan pencuri mobil.
Kendaraan-kendaraan mewah yang mereka curi selalu dijual ke Timur Tengah.
Heiko Mohlen memilih daerah Costa del Sol sebagai markas. Demi uang, ia
bersedia melakukan apa saja. Ia mengetahui segala sesuatu, dan ikut campur di
mana-mana.

Carlo Morganzini, orang Itali tulen. berambut hitam legam. Bentuk wajahnya
memanjang - agak mirip seekor kuda. Keahliannya adalah membuat uang palsu.
Tetapi baru-baru ini polisi Itali menggerebek percetakannya di Milan. Semua rekan
Morganzini tertangkap. Hanya dia sendiri yang berhasil meloloskan diri. Ia
beruntung karena polisi mencarinya dengan nama Silvio Pontizzi. Nama itulah
yang digunakannya ketika menangani aksi pemalsuan uang.

“Kami terpaksa bekerja keras, Pedro,” ujar Heiko Mohlen, yang lancar berbahasa
Spanyol.
Ramirez mengangguk.

“Tapi seperti biasanya,” Morganzini menambahkan sambil nyengir, “Kami tidak


pulang dengan tangan kosong.”

“Kalian berhasil menemukannya?"

"Ya, tapi baru setelah kami menghubungi semua hotel di daerah Costa del Sol clan
sekitarnya - lewat telepon, tentu saja," Mohlen menjelaskan sambil
menggeleng.“Kau tahu, di daerah ini ada beberapa ratus hotel”

“Oh. ya? Terus. bagaimana?"

“Setelah menelepon hotel ketiga puluh tujuh, aku berhenti menghitung. Pokoknya,
Erik Prachold - alias Heribert Steiner - kini tinggal di Marbella."

“Ah, itu tidak jauh dari sini.”

“Dia tinggal di Hotel lstana."

“Uih, hebat benar," Ramjrez berkomentar. “Dia bergaya jutawan."

“Sekarang dia memang masih jadi jutawan,” Mohien menanggapinya. Ia menyeka


keringat yang membasahi kening “Tapi tidak lama lagi, kitalah yang kaya-raya.
Gara-gara kau, Pedro, rencana kita jadi sedikit terganggu. Terus terang saja, aku
tidak menyangka kau akan kewalahan menghadapi penipu amatiran itu. Rupanya
dia tidak sebodoh yang kita duga.”

"Dari mana aku bisa tahu bahwa dia akan menghajarku sampai pingsan? Semuanya
terjadi begitu cepat. Aku tidak sempat-”

“Sudahlah! Tak ada gunanya bertengkar mengenai sesuatu yang telah terjadi,”
UJar Mohlen sambil berdiri. “Biar kami saja yang menangani urusan ini. Kau akan
memperoleh 10 persen. Tapi untuk kali ini 500.000 Mark tidak memadai. Menuruf
Piteau, detektif bermnma Ruth Schleich itu menyinggung uang santunan sebesar 1
juta Mark atau bahkan dua juta”

Piteau, Jules Piteau, juga anggota kelompok mereka. Dia orang Prancis Biasanya
dia beraksi sebagai pencuri di Marseille - kota pelabuhan di Prancis bagian selatan.
"Hmm, lumayan juga." ujar Ramirez. “Sebenarnya sih. aku ingin ikut membantu.
Tapi dalam keadaan seperti sekarang, aku tidak bisa berbuat banyak.”

Mohlen hanya nyengir. Ia menepuk bahu Ramirez, lalu meninggalkan apartemen


rekannya itu.

Morganzini mengikutinya.

Sebuah Mercedes penuh debu menunggu mereka.

Jules Piteau, seorang laki-laki bertampang mirip cecurut, duduk di belakang


kemudi. Selama menunggu, Ia mengisi waktu dengan menggigit-gigit kuku.

Mohlen dan Morganzini naik ke Mercy itu. Piteau segera menyalakan mesin.
Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sepatah kata pun.

Sekitar pukul 10.00 siang mereka membelok ke pekarangan Hotel Istana.

Sebuah taksi berhenti di depan pintu masuk. Penumpangnya baru saja turun, dan
kini menyerahkan beberapa lembar yang pada si pengemudi.

Ketika meiihathya, Piteau langsung mendesis tertahan dan menginjak rem.


“Astaga! Itu dia!”

"Siapa?" tanya Mohlen sambil mengerutkan kening. "Erik Prachold."


“Bukan! Itu Rudi Schleich bekas detektif yang kuceritakan pada kalian."

"Kalau begitu, berhenti di sini!” Mohlen memerintah. “Dia tidak boleh


melihatmu."

Mereka memperhatikan bagaimana Schleich memasuki hotel sambil menenteng


sebuah tas. Kopernya sudab dibawa oleh seorang pelayan.

“Ayo, maju pelan-pelan,” kata Mohlen. “Carlo dan aku turun di sini. Kau langsung
pergi lagi. Detektif itu tidak mengenal kami berdua. Dan dia tidak akan melihatmu
jadi tidak ada masalah”

Beberapa saat kemudian, Mohlen dan Morganzini sudah berada di lobi hotel.
Rencana mereka tidak mungkin gagal. Mereka sudah memesan, dua kamar
sebelumnya .
Mohlen menghampiri meja penerima tamu. Ia berpakaian necis. Sebenarnya,
pakaian necis saja belum cukup untuk mengalihkan perhatian orang dari
tampangnya yang minta ampun. Tapi dalam dunia perhotelan isi kantong lebih
penting dibandingkan pertimbangan lain.

Morganzini berada di belakang rekannya. Ia nampak agak gelisah.


Moblen bersandar pada meja dan menunggu.

Rudi Schleich berdiri hanya beberapa langkah di sebelahnya. Detektif itu sedang
mengisi daftar tamu, dan menunjukkan paspornya.

Ia bertubuh tinggi kurus. Tampangnya seperti orang Spanyol asli. Setelan jas
bermotif kotak-kotak yang dikenakannya begitu menyolok mata, sehingga justru
berakibat sebaliknya orang-orang cenderung untuk tidak memperhatikannya.

Heiko Mohlen berlagak menguap. Tapi pandangan matanya terus terarah pada pria
di sebelahnya.

Schleich menyorongkan selembar uang ke hadapan petugas penerima tamu yang


melayaninya.

“Ada yang ingin saya tanyakan,?" Ia berkata dengan suara tertahan. “Apakah
Nyonya Prachold sudah tiba di sini?”

“Terima kasih, Senor. Ya. Senor. Kemarin malam."

“Saya ingin meneleponnya dari kamar saya nanti. Di kamar berapa”

“Kamar nomor 106.”

Schleich nyengir, mengangguk, kemudian berjalan ke arah lift.

Mohlen dan Morganzini saling berpandangan.

Kini giliran mereka untuk mengisi daftar tamu.

"Senor." ujar si petugas di balik meja.


Lima menit kemudian mereka memasuki dua kamar bersebelahan di lantai dua.

Mohlen hanya sepintas lalu mengamati kamarnya. Kemudian ia mengambil tiga


botol wiski ukuran mini dari lemsri es. menuangkan semuanya ke dalam satu gelas
besar dan pergi ke sebelah. Morganzini ternyata juga sedang menguras isi lemari
es. Hanya saja ia lebih suka cognac.

"Mari kita rayakan keberuntungan kita," ujar Mohlen sambil mengangkat gelasnya.
"Aku yakin seratus persen. rencana kita akan berhasil dengan gemilang."

Rekannya mengangguk. "Istri si Prachold ternyata juga sudah datang. Ini berarti,
dia membawa uang santunan yang diperolehnya dari asuransi. Tentu saja dia tidak
menentengnya dalam tas. Tapi aku yakin, dia telah mentransfer uang itu lewat
bank. Yang membuatku cemas hanyalah kehadiran detektif itu.”

Dia pasti juga sudah mencium sandiwara yang dimainkan oleh Erik Prachold,” ujar
Mohlen “Karena itulah dia membuntuti istrinya.”

“Untuk melacak tempat persembunyian Prachold?"

"Apa lagi kalau bukan itu?" balas Mohlen. Raut wajahnya menjadi brutal. "Tetapi
kita akan menggagalkan rencana Tuan Detektif. Erik Prachold adalab tambang
emas kita. Kita yang akan menguras uangnya. Hanya kita!

“Tapi, Bos menurut aku ada yang aneh di sini. Kalau si Schleich memang sudah
mencium bahwa ada yang tidak beres, maka seharusnya dia sudah menghubungi
polisi. Dan dengan demikian istri si Prachold tidak akan memperoleh uang
santunan dan asuransi. Tapi nyatanya dia sudah memperoleh uang itu. Kalau
belum, dia tidak akan muncul di sini. Dan kecuali itu, mereka berdua takkan
menginap di hotel semewah ini."

"Rasanya aku bisa membayangkan bagaimana ceritanya." kata Mohlen sambil


menghabiskan isi gelasnya. Si Schleich sekarang sudah bukan pegawai perusahaan
asuransi. Berarti kehadirannya di sini adalah atas inisiatif sendiri. Jangan-jangan
dia punya rencana yang sama dengan kita."

"Maksudmu, dia juga mau memeras si Prachold?"

Mohien mengangguk.

Morgonzini nyengir. "Persetan! Si Prachold dicecar dari segala penjuru. Aku jadi
kasihan sama dia. Segala usahanya sia-sia saja. Dan dia bahkan tidak bisa minta
bantuan polisi. Hah, tapi itu sih salahnya sendiri!"

Mohlen meletakkan gelasnya, lalu mengangkat gagang telepon.


“Pertama-tama kita harus mencari informasi mengenai detektif itu,” katanya. “Aku
punya teman di Jerman yang bisa membantu dalam hal ini. Setelah itu kita akan
mengunjungi Tuan Schleich. Kita akan menjelaskan padanya bahwa ia akan
menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda kalau ia berani mengusik kita. Dan
akhirnya kita akan menerima uang itu dari tangan Erik Prachold. Terus-terang
Carlo belum pernah aku mendapatkan uang semudah ini.”

9. Dipermalukan di Tepi Kolam Renang

PADA pagi hari berikutnya, seluruh rombongan Sauerlich berkumpul di restoran


untuk menikmati sarapan.
Ternyata semuanya bisa tidur nyenyak. Bahkan Petra pun terbuai mimpi indah.
sehingga ia tidak menghabiskan waktu semalam suntuk dengan mengagumi
pemandangan laut dari balkon kamarnya.

Ruang restoran mempunyai dinding kaca yang menghadap ke taman. Dari tempat
duduknya, Sporty mengamati bahwa sudah banyak tamu yang berenang, main
ping-pong, atau sekadar berjemur.

Ketujuh anggota rombongan Sauerlich pun sudah mengenakan pakaian renang,


yang ditutupi dengan T-shirt atau kimono.

Sarapan ala Spanyol ternyata berupa hidangan ringan seperti roti dan kue. Bagi
selera Sporty, makanannya agak terlalu manis. Tapi ia tidak ambil pusing, sebab ia
toh tidak terlalu lapar.
Para pelayan, yang mengenakan seragam mirip seragam matador, bekerja dengan
ramah dan sopan.

Ketika Oskar hendak meraih rotinya yang kelima, ibunya mengangkat ails dengan
heran.

"Oskar! Biasanya kau tidak pernah makan sebanyak ini."

Ketiga sahabat Oskar langsung menunduk sambil menahan tawa.


Rupanya Bu Sauerlich merupakan satu-satunya orang yang belum mengetahui
kerakusan anaknya.

“Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku jadi lapar begini, Bu,” Oskar bergumam
tenang. "Mungkin karena pengaruh cuaca. Tapi aku rasa tidak ada salahnya. Aku
kan masih dalam masa pertumbuhan”

Mudah-mudahan saja bertambah tinggi, dan bukan malah semakin melebar, pikir
Sporty.

Tiga meja di sebelah kanan mereka, Lisa Prachold pun sedang sarapan.

Sporty, yang duduk menghadap ke wanita itu, sempat menganggukkan kepala


dengan sopan. Lisa Prachold membalasnya dengan sebuah senyum tetapi
kemudian wajahnya kembali tegang seperti semula.

Sejak tadi wanita itu belum makan apa-apa. Roti dan kuenya sama sekali tidak
disentuh. Ia hanya duduk sambil minum kopi susu dan memandang ke taman.

Waldi Luschner tidak menampakkan diri. Barangkali ia sudah makan pagi sebelum
rombongan Sauerlich meninggalkan kamar masing-masing.

Oskar sebenarnya bisa saja melanjutkan sarapan sampai matahari tenggelam. Tapi
Pak Sauerlich -yang sudah hafal kebiasaan Oskar - keburu menarik piringnya.

“Oskar, kau pasti ingin berenang, bukan? Kalau begitu, perutmu tidak boleh terlalu
penuh."

Ucapan Pak Sauerlich seperti aba-aba bagi Sporty.

Nah, akhirnya kita bisa keluar dan sini! ia berkata dalam hati. Bersama Petra ia
mendahului yang lain. Hawa panas menyambut mereka.

Tadi pagi alat penyemprot air telah membasahi rumpul di taman hotel. Tapi
sekarang semuanya sudah kering-kerontang lagi. Batu-batu pipih di jalan setapak
seakan-akan membara. Petra langsung memekik dan melompat-lompat di tempat.

"Adub, kakiku rasanya seperti dipanggang!

Langsung saja ia mengenakan sandalnya.


Semua payung penahan panas matahari telah dibuka. Kursi-kursi malas telah diberi
alas busa, dan ditutupi dengan seprai.

Tamu-tamu hotel yang lain berlalu-lalang. Tak seorang pun nampak murung.
Orang-orang yang sudah agak lama tinggal di Hotel istana langsung menuju tempat
pilihan masing-masing. Namun ada juga yang masih kebingungan mencari tempat
berjemur.

Petra dan Sporty memilih tempat berjarak selemparan batu dari kolam renang.
Mereka menggeser dua buah payung, lalu menarik tujuh buah kursi malas. Tempat
yang mereka pilih memang istimewa. Mereka bisa melihat laut, semua tamu,
keramaian di kolam renang. serta restoran terbuka di seberang taman.

Pak dan Bu Sauerlich, serta Bu Carsten segera membaringkan diri. Kemudian


Sporty mengolesi punggung ibunya dengan krim sunscreen.

Sambil melirik ia memperhatikan Lisa Prachold, yang baru keluar dari pintu hotel.
Wanita itu mengenakan bikini berukuran mini. Tapi potongan tubuhnya memang
cocok untuk itu. Tidak mengherankan kalau semua pria di sekitar kolam renang
segera menoleh ke arahnya.

Seperti di pesawat kemarin, ia memakai kacamata hitam. Untuk sesaat ia nampak


ragu-ragu. Tapi kemudian ia menaruh tas yang dibawanya di salah satu kursi malas
di teras.

“Di mana si Waldi?" bisik Sporty.

“Barangkali dia takut kena matahari atau air,” ujar Petra.

“Katanya dia mau kenalan dengan Lisa Prachold - supaya orang tidak curiga kalau
mereka sering bersama-sama."

“Yang pasti bukan itu orangnya-”


Petra sedang memperhatikan seorang pria yang menempati kursi malas di sebe!ah
kanan Lisa Prachold. Orang itu nampak seperti orang Spanyol, tapi wajahnya
tersembunyi di balik kacamata hitam dan topi jerami.

Lisa Prachold mengeluarkan seluruh isi tasnya handuk, majalah, serta sebuah botol
kecil berisi lotion.

Ketika melangkah ke kolam renang, ia kembali menjadi pusat perhatian.


Tiba-tiba saja Waldemar Luschner muncul dari balik sebatang pohon palem.
Dengan langkah ringan Ia menghampiri kekasih gelapnya.
Celana renang yang dikenakan pria itu bermotif kulit ular. Ia berbadan langsing
dan berbahu lebar. Tetapi otot-otot di bawah kulitnya nampak lembek.

Lisa Prachold masih berdiri di tepi kolam sambil menatap permukaan air. Mungkin
ia mau meyakinkan diri dulu bahwa kolam renang tidak berisi buaya - seperti yang
dijanjikan dalam iklan Hotel Istana. Karena itu ia menunggu sampai Waldi berada
tepat di belakangnya.

Waldemar Luschner rupanya merasa geli melihat tingkah wanita itu. Selain itu, ia
memang lagi ingin bercanda.

Lisa Prachold masih sempat menarik napas panjang. Kemudian Waldi


mendorongnya dari belakang.

Wanita itu memekik kaget, mengangkat tangan tingqi-tinggi, kemudian jatuh ke


air. Waldi hanya nyengir sambil bertolak pinggang di tepi kolam.

“Kesempatan yang baik untuk mengajar sopan santun pada laki-laki konyol itu."
ujar Sporty. Langsung saja ia berdiri. Dengan beberapa langkah panjang ia telah
berdiri di samping Waldi.

Lisa Prachold muncul di permukaan air. Untung saja ia bisa berenang. Tetapi
karena matanya kemasukan air, ia harus bersusah payah agar dapat mencapai tepi
kolam.

“Saudara jangan ganggu wanita itu." Sporty menghardik Waldemar Luschner.

Pria itu sampai terbengong-bengong. "Hah? Apa katamu?"

“Jangan ganggu wanita itu. Memangnya Anda kira orang-orang di sini tidak
memperhatikan tingkah Anda yang kurang ajar? Keterlaluan. Kemarin Anda masih
memarahi teman saya karena tidak sengaja menginjak ujung kaki seseorang. Tapi
ternyata kelakuan Anda sendiri lebib buruk lagi!"

Penuh dendam Walciemar Luschner memelototi Sporty.

"Dasar bocah tengil! Pergi sana! Kau minta ditampar bolak-balik, ya?"
Lisa Prachold berpegangan pada tepi kolam. Ia memasang tampang kecut Rupanya
acara perkenalannya dengan Waldi tidak berlahgsung seperti yang diharapkannya.

Sporty nyengir ke arah wanita itu. "Apakah Anda mau minta ganti rugi?" Ia
bertanya - sambil meniru kata-kata yang diucapkan Waldemar Luschner di
lapangan terbang kemarin.

"Tentu saja tidak!” jawab Lisa Prachold. Dengan tegas ia menggelengkan kepala -
mungkin untuk mengeluarkan air yang sampai masuk ke telinganya. “Wal.. Tuan
itu kan hanya main-main. Dia hanya bercanda”

"Kalau begitu Anda masih beruntung,” Sporty berkata pada Waldemar Luschner.
Kemudian ia berbalik dan hendak kembali.

Ternyata urusannya belum selesai.

Waldemar Luschrier ingin memberikan hiburan gratis dengan menceburkan Sporty


ke kolam. Langsung saja Ia meraih lengan anak itu.

Namun sejak awal rencananya itu sudah ditakdirkan untuk gagal.


Semuanya berlangsung begitu cepat. Orang-orang hanya sempat melihat kaki dan
tangan seseorang melayang-layang di udara. Waldemar bersalto, berteriak-teriak
tak terkontrol, kemudian jatuh ke air.

Air bercipratan ke segala arah. Seketika meledaklah tawa semua orang yang
menyaksikan kejadian itu. Mereka yang sebelumnya hanya sepintas lalu saja
memperhatikan perselisihan di tepi kolam kini ikut berdiri untuk mengikuti
kelanjutannya.

Waldemar Luschrier muncul di permukaan air. Wajahnya merah padam. Dengan


gerakan liar ia berenang ke tepi kolam. Seorang pelatih renang bisa mati ketawa
melihat gaya bebas yang benar-benar bebas itu. Ia keluar dan air. Dalam benaknya
hanya ada satu pikiran menghajar bocah tengil yang telah mempermalukannya di
hadapan para tamu hotel.

Niatnya itu merupakan suatu kesalahan besar. Kejadian yang baru saja dialaminya
masih bisa dianggap sebagai lelucon. Namun kini semua orang menyadari bahwa
pria yang tinggi-besar itu tidak main-main lagi.
Waldi berusaha menyergap Sporty. Tetapi anak itu menghindar dengan gesit.
Waldi kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh lagi. Dengan geram ia
berbalik. Tanpa membuang-buang waktu ia mengulurkan tangan untuk menjambak
rambut lawannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sporty. Secepat kilat ia
menangkap lengan Waldi, kemudian memuntirnya. Waldi berteriak kesakitan. Dan
pada detik berikut tubuhnya kembali melayang di udara. Dan... byurrr!!

Kali ini ia mendarat di perut - alias jatuh tengkurap.

Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu ketawa terbahak-bahak. Beberapa di


antara mereka bahkan bertepuk tangan.

Hampir saja Sporty membungkuk seperti pemain sandiwara seusai pertunjukan.


Tetapi ia menahan diri dan hanya tersenyum. Kemudian Ia mengangguk ke arah
Lisa Prachold yang sejak tadi masih berdiri seperti patung.

“Anda harus berhati-hati terhadap orang itu. Kelihatannya dia sama sekali tidak
mengenal sopan santun. Sebaiknya sejak sekarang Anda menghindari dia. Orang
seperti dia seharusnya diusir dari sini. Tapi seandainya Anda memerlukan bantuan.
saya selalu siap sedia. Kecuali kalau Anda membutuhkan seseorang untuk
membersihkan sepatu lars Anda yang kotor."

Dengan tenang Sporty kembali ke tempat duduknya. Ia masih melihat Waldeman


Luschner naik ke darat. Laki-laki itu benar-benar kelimpungan. Ia kelihatan seperti
seseorang yang kehilangan celana renang pada waktu melompat ke air, dan kini -
dasar brengsek! - tidak bisa menemukannya lagi.

Petra duduk di rumput sambil memegangi perut. Ia ketawa sampai matanya berair.
Keadaan Oskar dan Thomas pun tidak jauh berbeda.
Pak Sauerlich, yang potongan tubuhnya mirip Oskar sehingga harus memakai
celana renang berukuran XL, tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Di satu
pihak ia merasa geli, tapi di pihak lain ia agak terkejut mellhat ulah Sporty.

Bu Sauerlich dan Bu Carsten dari tadi telah menghentikan percakapan mereka.

Bu Carsten segera memanggil anaknya.

“Peter!” Ia berkata dengan serius. "Kenapa kau mempermalukan pria itu di


hadapan tamu-tamu hotel yang lain? Apakah kau tidak sadar bahwa dengan
demikian kau telah merusak liburannya? Tindakanmu benar-benar keterlaluan! Ibu
heran, biasanya kau tidak pernah bersikap seperti itu.”
“Aku hanya membalas dendam, Bu!"

“Membalas dendam?"

“Aku tahu bahwa aku seharusnya tidak boleh bersikap seperti itu. Tapi orang
seperti dia tidak bisa dihadapi dengan sopan santun. Di bandara kemarin dia
memperlakukan kami seperti sampah masyarakat. Dia sempat membentak-bentak
kami, hanya karena Petra tanpa sengaja menginjak kaki pacarnya - wanita
berbikini itu. Aku hanya mengikuti contoh yang ia berikan kemarin - bahkan
dengan kata-kata yang sama."
Bu Carsten nampaknya kurang memahami penjelasan anaknya. Tapi ketika
memandang Petra, Oskar, dan Thomas, ia melihat bahwa mereka menyetujui
tindakan Sporty. Rupanya sikap Sporty bisa dibenarkan jika dilihat dari sudut anak
muda. Karena itu ia memutuskan untuk melupakan persoalan itu.

Sporty duduk di tengah-tengah ketiga sahabatnya.

“Hebat!” Petra berkomentar.

“Biar kapok!” Thomas menambahkan. “Rencana perkenalan mereka ternyata gagal


total”

"Astaga, Thomas!” seru Oskar. "Kaca- matamu berembun, ya? Siapa bilang
mereka tidak jadi berkenalan? Coba lihat, tuh!”

Benar saja! Lisa Prachold dan Waldemar Luschner sedang menuju teras, Waldi
sambil memaksakan diri tersenyum, kekasih gelapnya sambil menggoyang
pinggul.

“Lho aku kira kau telah membuyarkan rencana mereka,” kata Petra.

“Maksudku memang begitu." jawab Sporty, sambil meletakkan kepalanya di lutut


Petra. “Tapi rupanya mereka berkulit badak. Ah, biarkan saja! Lebih baik kita
menikmati suasana tenang dan santai di sini."

“Mudah-mudahan lututku cukup empuk sebagai bantal,” kata Petra.

“Ya, lurmayan. Pokoknya masih kalah tajam dengan rumput."

“Enak saja! Kakiku tidak berbulu, tahu."


"Kau mempunyai lutut yang paling halus di seluruh Eropa,” balas Sporty sambil
memejamkan mata.

Sayup-sayup terdengar suara lonceng.


“Suara apa sih itu?” tanya Sporty tanpa membuka mata.

“Ada pelayan yang membawa papan nama dan lonceng kecil. Rupanya dia sedang
mencari seorang tamu,”jawab Petra. “Mungkin ada telepon.”

“Oh, cuma itu.”

Sporty kembali santai. Deburan ombak di kejauhan miulai mengantarkannya ke


ambang alam mimpi.

“Astaga!" seru Thomas tiba-tiba

“Ini baru kejutan!” Oskar menimpali.

Petra tidak mengatakan apa-apa. Tetapi ia menarik lututnya, lalu memegang bahu
Sporty.

"Hei! Aku lagi liburan, nih!” anak itu memprotes. Kemudian ia membuka mata.

“Coba baca itu!" bisik Petra.

"Baca apa? "

“Papan nama yang dibawa si pelayan.”

Sporty terduduk.

Orang-orang di sekelilingnya tetap berbaring. Sebagian besar datang untuk


berlibur, dan tidak ingin diganggu oleh urusan telepon dan sebagainya.

Papan yang dibawa oleh si pelayan memang hanya mencantumkan satu nama -
yang langsung menarik perhatian anak-anak STOP. Nama itu adalah: Rudi
Schleich.

“Teman-temar!" ujar Sporty. “Itu... itu kan si detektif yang menangani kasus Erik
Prachold. Apakah dia juga ada di sini?"
“Si... si... detektif... yang... yang..." Oskar tergagap-gagap, “... yang harus
menyelidiki urusan ini, tapi kemudian minta berhenti. Waaah, ini benar-benar
mencurigakan."

“Jangan melotot seperti itu, dong." Sporty menggeram. “Sikapmu terlalu


menyolok! "

“Awas, teman-teman! Sebentar lagi kita bakal tahu siapa orangnya. Dan knowledge
is power - pengetahuan adalah kekuasaan, seperti kata orang Inggris. Paling tidak
bagi kita, urusannya sudah mulai jelas. Lisa Prachold ada di sini. Sikapnya sangat
mencurigakan. Si Kalung Emas pasti juga bukan kebetulan saja hadir. Dan
sekarang ditambah lagi dengan detektif itu. Aku yakin, pasti akan terjadi sesuatu di
sini.

“Berkat keterangan ayahku," ujar Petra, “kita sudah tahu latar belakang Rudi
Schleich. Tapi Lisa Prachold tidak tahu siapa dia. Lihat saja! Wanita itu sama
sekali tidak menoleh. Dan Waldi kelihatannya juga tidak peduli."

Sporty rnengernyitkan dahi.

Si pelayan kini melewati deretan kursi malas di teras.

Lisa Prachold tidur-tiduran sambil telungkup. Waldi Luschner berbaring di sebelah


kirinya. Ia nampak agak terpukul karena kejadian tadi. Kepercayaan dirinya seperti
hilang tertiup angin.

Laki-laki yang bersantai di sebelah kanan Lisa Prachold menengok ke arah si


pelayan, kemudian berdiri.

Ia berbadan tegap. Celana renangnya yang berwarna emas adalah yang terindah di
sekitar kolam renang. Namun anak-anak STOP tidak bisa melihat wajahnya,
karena tertutup kacamata hitam dan topi jerami yang lebar.

Dengan beberapa langkah saja ia menyusul si pelayan.

“Berarti itu Rudi Schleich” Thomas menyimpulkan. Tampangnya lebih mirip


matodor - pemain adu banteng - ketimbang detektif.

Mereka memperhatikan pria itu berbicara dengan si pelayan. Si pelayan menunjuk


ke arah hotel. Rudi Schleich mengangguk, dan menyerahkan selembar uang. Si
pelayan menerimanya sambil tersenyum, kemudian menghapus nama pada papan
yang dibawanya, dan pergi. Tugasnya sudah selesai.

Schleich kembali ke kursinya, mengambil tas dan kemeja Hawaii, kemudian


menuju pintu masuk.
Ia tidak sadar bahwa ada empat remaja yang mengikutinya.

“Kami mau pergi sebentar,” ujar Oskar pada kedua orangtuanya.

Baru di depan pintu masuk hotel mereka mengenakan T-shirt dan kimono.

Rudi Schleich berjalan menyeberangi lobi membelok ke kanan kemudian ke kiri.


Di sana terdapat ruang operator serta tiga kotak telepon.

Schleich menyapa wanita yang sedang bertugas.

“Ada telepon untuk saya, Senorita? Nama saya Rudi Schleich.”

“Ada, Senor. Kabin nomor dua."

Keempat sahabat STOP mengawasi detektif itu dari jauh.

Mereka melihat seorang pria berambut hitam dan berwajah kuda berhenti di depan
kabin nomor tiga. Orang itu sedang nyengir, seakan-akan membayangkan sesuatu
yang lucu.

10. Laki-laki Bergigi Emas

RUDI SCHLEICH - umur 39, bukan residivis, tetapi berdarah dingin seperti
pembunuh anjing laut - nampak tetap tenang. Namun itu hanya kesan luarnya saja.
Dalam hati ia merasa gelisah sekali. Sejak tepat 98 detik yang lalu ia berusaha
menebak siapa -persetan - yang meneleponnya. Siapa?

Tak ada yang tahu bahwa ia menginap di sini. Pokoknya begitulah yang ia sangka.
Tahu-tahu papan bertuliskan namanya dibawa keliling taman oleh seorang pelayan
hotel.
Ia mengangkat gagang.

“Halo? Di sini Rudi Schleich."

"Dengar baik-baik, kawan." sebuah suara serak berkata dalam bahasa Jerman.
"Kalau kau masih ingin menikmati sinar matahari di Marbella, sebaiknya kau...”

“Dengan siapa saya bicara?" Schleich memotong.

“Hahaha, mana mungkin aku menyebutkan namaku, heh? Yang benar saja! Begini,
kawan, aku baru menerima kabar dari seorang rekan di Jerman. Katanya, kau
sudah minta berhenti dari tempat kerjamu Rupanya kau sudah tidak membutuhkan
gaji dari mereka. Tapi itu sih urusanmu sendiri. Yang membuat aku heran kenapa
kau tiba-tiba muncul di Marbella? Kalau kau sudah keluar dan perusahaan asuransi
itu, maka kedatanganmu ke sini adalah atas tanggungan sendiri. Kenapa, aku ingin
tanya, kau mengincar Lisa Prachold?"

"Saya tidak mengerti maksud Anda. Saya sedang berlibur. Mengenai Nyonya
Prachold - sebenarnya, sejak berhenti dari tempat kerja saya, saya sudah tidak ada
urusan lagi dengan dia. Baru dari Anda saya tahu bahwa dia ada di sini.”

Heiko Mohlen, yang berada di sebuah kotak telepon umum yang tidak jauh dan
hotel, ketawa terkekeh-kekeh.
"Jangan menyangkal. Schleich. Kami mengawasi setiap langkahmu. Apa yang
kauketahui tentang dia?”

“Dalam hal apa?"

"Busyet, kau masih berlagak bodoh?! Sudah bosan hidup, ya? Bung. jangan coba-
coba mengelabui kami! Dan ingat, jangan ganggu Lisa Prachold! Awas kalau kau
berani mendekati dia! Sebaiknya kau segera meninggalkan Hotel Istana dan
Marbella. Lebih cepat lebih baik. Jelas? Ini adalah peringatan yang pertama dan
terakhir bagimu.”

Rudi Schleich sebenarnya ingin memberi jawaban yang pedas. Tetapi ia terpaksa
menbatalkan niatnya itu. sebab lawan bicaranya telah memutuskan hubungan.

Si detektif meletakkan gagang. Untuk sesaat ia hanya berdiri sambil merenung.


Ia memang masih meraba-raba dalam gelap. Yang diketahuinya secara pasti
hanyalah bahwa Erik Prachold masih hidup. Kematian laki-laki tersebut hanya
sandiwara agar istrinya, Lisa, bisa memperoleh uang santunan dari pihak asuransi.

Informasi yang dimiliki Schleich memang baru sedikit. Tetapi sumbernya dapat
dipercaya. Secara kebetulan ia berhasil menemukan seorang nelayan Spanyol, yang
sempat melihat seorang laki-laki mendaratkan perahu karet di bagian pantai yang
terpencil. Laki-laki itu bersikap sangat mencurigakan. Begitu naik ke darat, ia
langsung kabur seakan-akan takut kepergok oleh patroli Guardia Civil polisi
Spanyol.

Tanpa mengetahui siapa yang dilihatnya, si nelayan menceritakan kejadian itu pada
teman-temannya. Kebetulan saja Rudi Schleich mendengarnya. Dengan imbalan
uang rokok, si nelayan lalu memberitahukan ciri-ciri laki-laki itu pada Schleich.
Sambil tersenyum simpul Schleich memastikan bahwa laki-laki yang
mencurigakan itu tidak lain dari Erik Prachold. Namun temuan itu tidak dilaporkan
pada perusahaan asuransi tempat ia bekerja. Justru sebaliknya. Detektif itu
mencium kesempatan untuk meraih keuntungan besar dengan memeras suami-istri
Prachold Mereka tidak bisa minta tolong pada orang lain, terutama pada polisi.
Dengan demikian mereka tidak menpunyai pilihan selain menyerahkan uang
santunan asuransi padanya.

Begitulah rencana Rudi Schleich. Tapi kini - persetan! - situasinya sudah berubah.

Sambil tetap merenung, si detektif keluar dari kotak telepon umum.

Siapa yang meneleponnya? ia bertanya dalam hati.

Seorang saingan yang telah memperoleh kabar mengenai penipuan yang dilakukan
Erik Prachold?

Ataukah Erik Prachold sendiri? Munqkin saja dia menggunakan cara itu untuk
menyelamatkan uangnya.

Ah, mana mungkin. pikir Rudi Schleich. Prachold tidak selihai itu! Ini pasti ulah
seorang pemeras yang tidak mau berbagi keuntungan denganku. Hah, kita lihat saja
siapa yang lebih cepat.

***
Petra, Sporty, Thomas, serta Oskar berdiri bergerombol sambil mendiskusikan
kelebihan dan kekurangan berbagai merek papan selancar. Mereka nampak serius
sekali, seakan-akan tidak ada hal lain yang lebih penting.

Sikap pria berwajah kuda yang berdiri di dekat kotak telepon umum sambil
merokok, makin lama semakin mencurigakan. Sekali-sekali Sporty melirik ke
arahnya, kemudian kembali mengamati kabin nomor dua.

Schleich melangkah ke luar. Wajahnya masih tersembunyi di balik topi jerami dan
kacamata hitam. Tanpa terburu-buru detektif itu kembali ke taman.

Si Muka Kuda tampak cengar-cengir.

Sporty memutuskan untuk mengingat baik-baik tampang orang itu. Kelihatannya,


dia bukan tipe orang yang rajin pergi ke gereja. Dia lebih mirip orang Sicilia yang
terlibat dalam kegiatan mafia.

Keempat anak STOP menunggu beberapa saat, baru kemudian mereka mulai
mengikuti Schleich.

Ketika mereka sampai di tempat duduk masing-masing, keadaan di teras telah


kembali seperti semula.

Lisa Prachold masih berjemur. Di sebelah kirinya ada Waldi. Di sebelah kanannya
ada Rudi Schleich. Detektif itu sepertinya sama sekali tidak peduli pada wanita di
sampingnya.

Sporty dan sahabat-sahabatnya sengaja duduk di rumput supaya tidak mengganggu


Bu Carsten serta orangtua Oskar. Untuk sementara urusan penipuan asuransi akan
mereka rahasiakan.

Ibu pasti cemas kalau tahu apa yang sedang terjadi, pikir Sporty. Karena itu lebib
baik kalau aku tidak mengatakan apa-apa - paling tidak untuk sementara waktu.

“Urusannya semakin mencurigakan saja," bisik Oskar

"Aku masih heran.” ujar Sporty. "Kenapa si Schleich minta berhenti tetapi pada
saat yang tepat muncul di sini, lalu memata-matai Lisa Prachold?”

“Karena dia yakin bahwa suaminya masih hidup,” jawab Thomas.


“Kalau begitu, dua-duanya penipu, Petra berkomentar. “Soalnya mereka sudah
memperoleh uang santunan dari asuransi."

“Rudi Schleich minta berhenti dari tempat kerjanya,” kate Sporty. "namun tetap
mengawasi wanita yang ia curigai. Rupanya ia berharap agar wanita itu secara
tidak sadar memberi pertunjuk atau bukti, yaitu dengan bertemu dengan suaminya.
Pasti itu tujuan si Schleich. Tapi setelah itu? Apakah ia akan menelepon bekas
bosnya di perusahaan asuransi untuk mengatakan- 'Halo. di sini Schleich! Saya
sudah menemukan penipu itu. Tinggal menangkapnya saja. Mohon saya
dipekerjakan lagi.' Itukah maksudnya?"

Thomas menggeleng. "Menurut aku. bukan begitu duduk perkaranya. Schleich


menggarap suami-istri Prachold untuk mencari keuntungan pribadi. Yang
diincarnya adalah uang santunan yang mereka peroleh dari asuransi.”

Sporty mengangguk.

Petra mendesah.

Oskar agak lebih lambat dibandinqkan ketiga sahabatnya.

"Maksud kalian,” ia berkata, “si detektif akan merampas uang santunan dari tangan
pasangan penipu itu?”

"Tepat sekali,” jawab Petra. ‘Dan mereka sama sekali tidak bisa melawan. Rudi
Schleich akan memeras mereka. Erik Prachold dan istrinya hanya punya dua
pilihan; menyerahkan uangnya, atau dilaporkan ke polisi. Tentu saja mereka
memilih hidup di luar penjara. Sebab kalau ditangkap, mereka tetap saja
kehilangan uang itu. Uang hasil kejahatan selalu harus dikembalikan. Paling-paling
mereka bisa menyembunyikannya. Tetapi itu berarti bahwa semuanya akan
terulang lagi begitu mereka dibebaskan. Mereka akan terus diawasi, baik oleh
polisi maupun oleh para bajingan. Menurut aku sih, kemungkinan besar Rudi
Schlcich akan memperoleh uang itu. Tapi barangkali saja dia cukup bermurah hati
untuk menyisakan sebagian untuk mereka. 500.000 Mark kan lumayan untuk
melewatkan musim dingin.”

"Lumayan sih lumayan. Tapi aku ragu apakah Rudi Schleich akan puas dengan
satu juta Mark itu." balas Sporty sambil ketawa.

Untuk beberapa saat keempat sahabat STOP terdiam. Semuanya sibuk dengan
pikiraan masing-masing.
Tiba-tiba sebuah bola plastik menggelinding ke arah mereka.

Oskar segera berdiri. Dengan gaya Maradona ia menembakkan bola itu kembali ke
kolam renang, di mana beberapa tamu sedang bermain-main.

Tapi Oskar memang bukan Maradona. Bidikannya meleset, dan bola itu mengenai
punggung seorang kakek yang berdiri di tepi kolam,

Tembakan Oskar sebenarnya tidak terlalu kencang, tetapi cukup keras untuk
membuat kakek itu terjatuh ke air.

“Astaga!" seru Oskar terkejut.

“Oskar hampir sama hebatnya denganmu.” Petra berkata pada Sporty “Dia bahkan
tidak perlu menggunakan teknik judo."

“Ya. Tuhan! Bagairnana kalau kakek itu tenggelam?" bisik Oskar dengan wajah
pucat pasi. “Airnya terlalu dingin untuk dia.”

Langsung ia berlari ke kolam renang untuk melancarkan aksi penyelamatan.


Namun ternyata kakek tadi sudah sampai di pinggir.

“Wah, untung saja." ujar Oskar sambil membungkuk. “Maaf, saya tidak sengaja.
Apakah saya bisa membantu Anda keluar dari kolam? "

“Kau yang menembak saya?" kakek itu bertanya. Ternyata dia juga orang Jerman.

"Ya!" Oskar mengaku, "tapi tidak sengaja,"

“Kalau begitu bantu saya keluar dari sini." Sambil tersenyum si kakek
mengulurkan tangan.

Sporty sudah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi ia diam saja.

Pada detik berikut, si kakek menarik tangan Oskar, lalu - byuuur! Untuk sesaat
cipratan air nampak berkilau-kilau bagai permata di bawah sinar matahari.

Si kakek ketawa terbahak-bahak, sampai nyaris tersedak.

Oskar sendiri sama sekali tidak marah. Ia malah balapan renang dengan kakek itu.
Kekuatan mereka ternyata seimbang. Tak ada yang kalah dan tak ada yang
menang.
"Bayangkan,” Oskar rnelaporkan ketika ia kembali pada teman-temannya, "Pak
Menzinger sudah berusia 79 tahun. Musim gugur nanti dia akan merayakan ulang
tahunnya yang ke-8O. Luar biasa, bukan? Musim dingin yang lalu dia ikut kursus
bahasa Spanyol. Dan sekarang dia datang ke Marbella untuk berlatih.”

"Orang seperti itulah yang harus dicontoh,” Sporty berkomentar.


Ketika Pak Menzinger akhirnya naik dan kolan renang, ia melambaikan tangan ke
arah anak-anak STOP.

Petra berjemur sambil menghadap matahari. Rambutnya yang pirang diikat dengan
sepotong kain berwarna merah.

“Ternyata para penipu itu memang bertiga,” Ia bergumam tanpa membuka mata,
“suami istri Prachold, serta si Waldi. Barangkali mereka nenyewa Waldi sebagai
pengawal - semacam bodyguard untuk menghadapi bajingan-bajingan seperti Rudi
Schleich”

“Kalau begitu,” ujar Thomas, “Waldi kelihatannya kurang cocok untuk tugasnya."

"Kan tidak semua orang merupakan ahli petarungan jarak dekat seperti Sporty”

Pujian Petra membuat hati Sporty berbunga-bunga. Namun ia tetap berbaring


sambil telentang. Kedua tangannya disilangkan di bawah kepala. Pandangannya
tertuju ka arah hotel. Pada sore hari seperti sekarang, semua tamu hotel berada di
luar. Di sini, di kolam renang, atau di pantai. Kamar-kanar kini dikuasai oleh para
pegawai hotel yang bertugas membereskan tempat tidur dan sebagainya.

Tanpa maksud tertentu, pandangan Sporty menyusuri deretan balkon di


hadapannya.

Kosong, kosong, kosong.

Hanya di lantai delapan ada handuk berwarna merah yang digantungkan pada
pagar balkon.

Sporty memejamkan mata, dan kembali bersantai. Sayup-sayup terdengar


percakapan antara ibunya dan orangtua Oskar. Sporty gembira sekali bahwa
mereka bisa cocok.
Sekali lagi ia mengintip. Untuk sesaat pandangannya tertuju pada Petra. Tiba-tiba
saja matanya disilaukan oleh seberkas sinar - mirip sinar pantulan cermin yang
digunakan untuk mengirim isyarat.

Ia membuka mata.

Berkas cahaya itu datang dan atas, dari salah satu balkon di lantai lima -balkon
paling kiri. Lebih ke kiri lagi hanya ada pemandangan ke arah bukit-bukit Sierra
Blanca.

Seorang laki-laki sedang berdiri di balkon sambil memandang melalui teropong.


Lensa teropongnya itulah yang memantulkan sinar matahari.

Sporty berdiri, lalu membalik dan menatap ke laut.

Apa yang sedang diperhatikan laki-laki di balkon itu?

Laut nampak tenang seperti air di bak mandi. Di kejauhan sebuah perahu layar
sedang meluncur tenang. Para pemain selancar angin sedang beristirahat.

Tak ada ular laut. Tak ada badai mendekat. Tak ada perenang yang sedang
mengalami kesulitan. Pendek kata, tak ada yang menarik.

Sporty kembali menatap ke balkon tadi. Ia terpisah sekitar 180 meter dari laki-laki
yang berdiri di sana. Dan orang itu rupanya tidak menyadari bahwa ada yang
memperhatikannya. Ia terus saja menatap melalui teropongnya.

Yang dilihatnya bukan laut, Sporty akhirnya menyadari. Orang itu sedang
memperhatikan keramaian di kolam renang. Sekadar iseng saja? Mana mungkin?!
Kalau begitu lebih baik dia keluar dari kamarnya. Dia pasti sedang mengamati
seseorang Tapi siapa?

Sporty duduk bersandar, menyangga kepala dengan kedua tangan, lalu melirik ke
atas.

Ternyata teropong di tangan laki-laki itu tidak diarahkan ke lapangan rumput


melainkan ke teras.

Satu orang lagi yang memata-matai Lisa Prachold?


“Sst, kalian jangan menoleh dulu” Sporty berbisik pada teman-temannya.
“Rasanya aku menemukan seseorang yang perlu kita selidiki lebih lanjut?"

“Di mana?" tanya Thomas.

“Dia berdiri di balkon paling kiri di lantai lima. Dari tadi dia terus melihat melalui
teropongnya. Mungkin si Muka Kuda, yang kita lihat berkeliaran di sekitar telepon
umum. Sikapnya cukup mencurigakan. Siapa mau ikut? Aku akan masuk sebentar.
Kita harus mengenali semua pihak yang terlibat dalam urusan ini."

Tentu saja tak ada yang mau ketinggalan. Tidak lama kemudian keempat sahabat
itu keluar dan lift di lantai lima.

Suasana hening.

Di sebelah kanan ada ruang biliar yang cukup luas, tapi kini sunyi sepi. Pintunya
setengah terbuka.

Sambil lewat anak-anak mengintip ke dalam. Tak ada yang main. Di sudut ruangan
ada pohon palem dalam pot. Bukit-bukit Sierra Blanca terlihat di luar jendela.

Sporty telah memberitahukan rencananya pada yang lain. la yang akan menghadapi
laki-laki berteropong itu.

Mereka berjalan sampai ke ujung selasar. Pintu ruangan yang menghadap ke laut
ternyata bernomor 530.

Petra, Thomas, dan Oskar berhenti agak jauh, sementara Sporty menggedor-gedor
pintu.

"Halo? Cepat, cepat! Halo. Ini penting! Istri Anda...? Cepat!”

Siasat Sporty berhasil. Pintu di hadapannya membuka.

"Pak Vandental, istri Anda membutuhkan obat untuk..." Sporty terdiam, lalu
berlagak heran. Ketiga sahabatnya pun memasang tampang terkejut.

“Lho, Anda bukan Pak Vandental,” kata Sporty. Sambil mengerutkan kening ia
menatap nomor kamar pada pintu. "Wah, brengsek! Saya lupa, Pak Vandental
tinggal di nomor 530 atau 630?"
"Yang pasti bukan di sini,” ujar pria yang berdiri di ambang pintu. "Saya bukan
Pak Frankental.”

"Vandental” Sporty membetulkan.

Pria itu menatap Petra dan tersenyum.

Matanya sipit, dan hidungnya mirip paruh elang yang ditempelkan pada wajahnya.
Dan... Astaga! Senyumnya menampilkan sederetan gigi emas.

Sederetan gigi emas???

Hampir saja Sporty mencekik pria itu supaya terus menganga, lalu menghitung
jumlah gigi emas di mulutnya. Tapi tanpa menghitung pun, Sporty berani
memastikan bahwa jumlahnya enam belas. 16 gigi emas. yang sempat disinggung
oleh Komisaris Glockner - ciri-ciri seorang pria bernama Erik Prachold!

“Maaf” Sporty bergumam, "kami harus menemukan Pak Franken... Vandental.


Istrinya pusing-pusing karena kelamaan berjemur. Permisi sir."
Keempat sahabat itu berbalik dan mendengar pria itu menutup pintu.
Tanpa berkata apa-apa mereka segera menyelinap ke ruang biliar.

Petra langsung membelalakkan mata “Aku hampir berteriak waktu melihat gigi
orang itu.”

Thomas mengangguk. “Tinggi badan serta usianya cocok dengan gambaran yang
diberikan oleh ayah Petra. Hanya wajahnya saja yang lain. Tapi bisa saja dia telah
menjalani operasi plastik. Mungkin memang dia orangnya."

“Mungkin?!” Sporty menggeleng dengan pasti. “Tak salah lagi, laki-laki itu adalah
Erik Prachold. Hmm, pantas! Istrinya ada di sini, juga si Waldi - apa pun tugasnya
- dan juga Rudi Schleich. Hanya Erik Prachold yang belum berani menampakkan
diri secara terang-terangan. Barangkali dia masih kurang yakin pada tampangnya
yang baru. Karena itu dia hanya memperhatikan jandanya dari jauh, dan...”

Sporty terdiam.

Ia mendengar pintu lift membuka. Seseorang melangkah keluar. Langkah-langkah


mendekat. Sepertinya langkah dua laki-laki.

Thomas segera menarik pintu, tetapi meninggalkan celah selebar jempol tangan.
“Di kamar 530,” seorang pria bergumam. Berdasarkan suaranya, dia pasti bukan
anggota paduan suara.
Orang itu berbicara dalam bahasa Jerman. Ia dan rekannya sedang mencari Erik
Prachold. Sporty merasa seperti kesambar petir.

Beqitu keduanya melewati ruang biliar, Sporty segera mengintip ke selasar.


Kedua laki-Laki tadi masih sempat dilihatnya dari belakang. Dari gerak-gerik
mereka, Sporty segera menyimpulkan bahwa mereka berniat jahat. Yang satu
bahkan langsung dikenalinya. Dia adalah si Muka Kuda yang tadi berjaga di dekat
telepon umum. Yang satu lagi berbadan gempal dan berambut merah.

Petra pun tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Ia ikut mengintip ke selasar.

Hampir saja ia memekik kaget, ketika melihat kedua pria itu mengeluarkan pistol
di depan pintu kamar Erik Prachold.

Si Rambut Merah segera menoleh. Tapi Petra dan Sporty lebih cepat. Terburu-buru
mereka menarik kepala dan bersembunyi.

Salah satu dan kedua laki-laki tadi mulai menggedor-gedor pintu.

“Heh, Steiner! Heribert Steiner. keluar! Kau tidak merasa dipanggil, ya? Hahaha.
bagaimana kalau aku menggunakan nama Erik Prachold?”

Keempat sahabat STOP saling bertatapan. Dugaan mereka ternyata benar!

Mereka mendengar pintu membuka.

“Apa." Erik Prachold mencoba memprotes.

Tapi ucapannya segera terpotong.


"Masuk! Ayo, minggir." si Rambut Merah menghardiknya. “Tidak sepantasnya
kita membicarakan uang jutaan di ambang pintu.”

Pintu kembali menutup.

“Kalian tunggu di sini,” kata Sporty. “Aku akan menguping pembicaraan mereka.
Tadi aku sempat melihat bahwa pintunya tidak begitu tebal. Mungkin saja aku bisa
mengetahui sesuatu yang berguna bagi kita."

Ia bergegas ke selasar .
Tak ada suara yang keluar dari kamar 530. Berarti ketiganya berdiri jauh dari
pintu.

Sporty menempelkan telinga, lalu bersandaran pada pintu.

Namun kali ini ia kelewat terburu-buru, sehingga tidak menyadari bahwa pintunya
tidak tertutup rapat.

Begitu Sporty menyandarkan diri, pintu itu langsung membuka.

Hampir saja ia menabrak si Rambut Merab. Pria itu segera membalik sambil
menyembunyikan pistolnya di balik jas.

Prachold berdiri di dekat jendela. Bibirnya gemetaran. Keningnya basah karena


keringat dingin.

Si Muka Kuda, yang sedang menodongkan pistolnya ke arah Prachold, juga ikut
menoleh. Ketika melihat Sporty, ia mengerutkan kening tetapi tidak mengatakan
apa-apa.

“Maaf,” seru Sporty sambil tersenyum. “Sebenarnya saya tidak bermaksud


mendobrak pintu seperti ini, Pak Frankert. Vandental. Saya hanya ingin
menyampaikan bahwa istri Anda... Astagal Masa sih saya keliru lagi? Pasti ada
yang tidak beres dengan lift di hotel ini. Pokoknya. Anda tidak perlu khawatir, Pak.
Istri - maksud saya, wanita yang bukan istri Anda sekarang sudah sembuh. Selamat
berlibur! Saya permisi dulu. Hasta pronto - sampai jumpa!”

Secepat kilat Sporty menghilang ke arah lift.

Ketiga pria di kamar 530 nampak terheran-heran.

Dasar sial. Sporty mengumpat dalam hati. Kenapa aku jadi begitu ceroboh?!
Sekarang sudah ketahuan bahwa STOP mengawasi mereka. Brengsek!

11. Para Penjahat Bergabung

KEHENINGAN terasa mencekam - terutama bagi Erik Prachold. Pria itu nyaris
tak dapat bernapas.
Gagal! Ia meratap dalam hati. Semuanya gagal!

Mohlen menyimpan pistol, kemudian mengelap tangannya yang kotor kena oli.

Morganzini mengikuti contoh rekannya. Ia pun merasa bahwa mereka tidak


membutuhkan senjata untuk menghadapi seorang penakut seperti Prachold.

Namun suasana di kamar hotel itu lidak bertambah baik karenanya.

"Siapa bocah tadi?" tanya Mohien.

Prachold mengangkat bahu. "Entahlah. Dia... dia sudah pernah datang sebelumnya.
Dengan teman-temannya. Baru saja."

"Kenapa dia menyapamu dengan nama Franke-Vandental. heh? Bukankah kau


ganti nama jadi Heribert Steiner?"

"Katanya dia... dia salah masuk. Tapi -tunggu dulu! Sebenarnya ini memang agak
aneh!"

Dalam bahasa Jerman yang lumayan bisa dimengerti, Morganzini, si orang Itali,
berkata, “Kelihatannya dia juga sudah tahu siapa kau sebenarnya. Busyet deh,
Prachold! Apakah kau pasang iklan untuk mengumumkan bahwa Heribert Steiner,
alias Erik Prachold, kini tinggal di Hotel Istana di Marbella? Apakah kau
mengundang semua pemeras, baik yang profesional maupun yang amatiran,
untuk..."

"Sudahlah." Mohlen menghentikan ocehan rekannya dengan tegas. "Lihat tuh,


sebentar lagi dia akan menangis tersedu-sedu."

Penampilan Prachold memang jauh dari meyakinkan. ia berdiri sambil


menundukkan kepala. Kedua matanya nampak merah.

Dengan letih pria itu duduk di tepi tempat tidur. Teropongnya tergeletak di atas
bantal.

“Aku temannya Ramirez." ujar Mohien. "Tak perlu penjelasan lebih lanjut, bukan?
Ramirez titip salam untukmu. Dia masih agak pusing, tapi sudah tak sabar uniuk
menerima bagiannya. Ya, Prachold! Kau benar-benar terjepit. Aku bahkan
menduga bahwa bocah tadi juga bermaksud mengeruk keuntungan dari
keadaanmu. Tapi bukan dia saja yang berniat seperti itu. Kau tahu, siapa saja yang
ada di hotel ini - kecuali istrimu? Pertama-tama ada seorang detektif bernama Rudi
Schleich. Dulu dia bekerja pada perusahaan asuransi yang membayar uang
santunanmu. Dia ada di sini karena berhasil melacak jejak istrimu. Tujuannya
sudah jelas: dia mengincar uangmu. Selain dia masih ada seorang peragawan
kesasar, yang sekarang lagi sibuk mendekati istrimu. Aku rasa dia juga berminat
untuk menambah tabungan hari tuanya. Nah, kau lihat sendiri, kan? Sudah ada tiga
orang yang mencarimu. Kau pasti paham bahwa kami harus melindungimu
terhadap mereka. bukan?"

Prachold nampak megap-megap. Untuk ketiga kalinya ia menyeka keringat yang


membasahi dahi.

“Rudi Schleich,” Mohlen melanjutkan sambil nyengir, "akan menghadapkanmu


pada pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan: menyerahkan uangmu, atau
masuk penjara. Mengenai bocah tadi - aku tidak bisa mengira-ngira seberapa
banyak yang bakal dia minta. Tapi akulah rajanya di sini, mengerti? Dengan
mengerahkan anak buahku, aku bisa melindungimu dari segala kesulitan itu. Asal
saja kau mau bekerja sama dengan kami."

“Apa... apa yang harus kulakukan?" Prachold bertanya dengan ragu-ragu.

"Mudah saja. kau hanya perlu jadi anggota dalam perkumpulan kami. Setelah itu
kamilah yang akan menangani segala urusanmu. Kau akan bisa hidup dengan
tenang."

"Lalu. Apa persyaratannya?"

“Persyaratannya sama saja dengan Perkumpulan lain. Untuk menjadi anggota, kau
harus membayar uang pangkal dulu.”

“Oh begitu." Prachold langsung mengerti, setelah membayar uang pangkal, ia


takkan memiliki sepeser pun lagi.

“Berapa yang harus kubayar?" ia bertanya.

“Hei, jangan terburu-buru. Pertama-tama kita harus menghitung kekayaanmu dulu.


Kau pasti punya lebih dari 1,5 juta Mark yang berhasil kausikat dari perusahaan
asuransi. Biar istrimu saja yang membawa laporan keuangan terakhir dari bank.
Setelah itu kita akan berunding untuk mencari kata sepakat. Nanti malam, tepat
pukul 20.00. kami akan datang ke sini. Jadi kau masih punya waktu untuk
berbicara dengan istrimu. Tapi jangan coba-coba pasang jebakan. Kami akan
mengawasi semua gerak-gerik kalian. Mengerti?”

Prachold mengangguk. Ia memang tidak punya pilihan lain.

“Nah, Carlo." Mohlen berkata pada rekannya. “Sekarang kita akan mengunjungi
restoran untuk menikmati makan siang. Hasta pronto, Prachold!"

Anak-anak STOP duduk di lobi hotel tempat terbaik untuk mengamati para tamu.
Setiap orang yang mau meninggalkan hotel, keluar ke taman, ataupun masuk ke
lift, harus lewat ruang ini.

Sporty sudah tidak begitu kesal atas kecerobohannya tadi, ia toh tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Namun sayangnya, Enk Prachold serta kedua pengunjungnya pasti
sudah curiga.

“Mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati,” ujar Sporty. “Aku yakin, kedua
laki-laki itu bukanlah teman Erik Prachold. Mereka malah kelihatan seperti bandit.
Mereka tahu bahwa Prachold belum mati. Dan mereka menodongnya dengan
pistol. Jadi, apa tujuan mereka?"

“Mereka menginginkan uangnya,” kata Petra.

“Masalahnya,” Oskar berkomentar, "Rudi Schleich punya rencana yang sama”

“Suami-istri Prachold benar-benar dikelilingi musuh,” Thomas menyimpulkan.


“Dan semuanya mengincar uang mereka. Tetapi si Prachold dan istrinya takkan
menyerah begitu saja. Hmm, aku ingin tahu bagaimana mereka mengatasi
persoalan ini. Apa tidak lebih baik kalau kita menghubungi polisi saja?”

Pertanyaan yang masuk akal.

Tapi Sporty menggelengkan kepala.

“Menurut aku, sebaiknya kita tunggu perkembangan selanjutnya. Prachold dan


istrinya tidak mungkin kabur dari sini. Dan aku yakin, mereka takkan
menimbulkan masalah baru. Mereka hanya penipu, bukan penjahat yang suka
menggunakan kekerasan. Aku berpendapat bahwa kita harus mengumpulkan bukti-
bukti yang kuat dulu. Rudi Schleich dan kedua bandit itu bisa saja menyangkal
bahwa mereka bermaksud memeras Erik Prachold. Lain halnya kalau mereka
sudah memperoleh uang itu. Mereka takkan bisa berkelit lagi, dan pihak kejaksaan
akan tersenyum lebar”

“Yang berhak menangani kasus ini adalah kejaksaan Jerman." kata Petra. “sebab
penipuannya terjadi di Jerman.."

“Tapi para pemeras beraksi di sini, " balas Sporty.

Petra berpikir sejenak, kemudian mengangguk. “Hmm, kemungkinan besar kedua


perkara itu akan disidangkan secara terpisah. Erik Prachold dan istrinya akan
diadili di Jerman. sedangkan yang lainnya di sini-”

Thomas menggeleng-geleng dengan heran. "Kalian bersikap seakan-akan


semuanya sudah ditangkap polisi.”

Sporty nyengir. “Tinggal tunggu tanggal mainnya saja. Kapan waktu yang terbaik?
Setelah kita jalan-jalan ke Granada? Atau ... Eh, awas!”

Sporty kebetulan duduk menghadap ke lift, sehingga ia sempat melihat si Muka


Kuda dan si Rambut Merah melangkah keluar. Mereka nampak amat puas dan
segera menuju pintu hotel.

Anak-anak STOP sama sekali luput dari perhatian mereka.

Sporty dan teman-temannya memang memilih tempat yang strategis. Bangku yang
mereka duduki terlindung oleh pilar beton dan beberapa tanaman pot

“Si Muka Kuda pasti bukan kebetulan saja berdiri di dekat telepon umum tadi,”
kata Sporty. “Dia pasti ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Rudi Schleich.”

"Dengan demikian mereka bisa mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh
pihak lawan,” Oskar berkomentar.

Tidak lama kemudian Erik Prachold muncul dan lift.

Ia masih berpakaian seperti tadi -celana berwarna terang, serta kemeja bermotif ala
Hawaii - tetapi raut wajahnya telah berubah sama sekali.
Ia nampak seperti mayat hidup.

Kelihatannya laki-laki itu sama sekali tidak menyadari bahwa matahari, laut, serta
tanaman-tanaman, sedang berusaha keras untuk menyenangkan para tamu hotel.
Erik Prachold menuju taman.

“Ayo, kita ikuti dia!” kata Sporty.

Suasana di luar ternyata telah berubah. Kini tinggal segelintir orang yang masih
tidur-tiduran sambil berjemur. Kolam renang bahkan sudah kosong sama sekali.
Hampir semua orang berada di restoran taman.

Para pelayan hotel telah menyiapkan hidangan prasmanan di atas meja sepanjang
kurang-lebih 20 meter.

Rudi Schleich, yang masih mengenakan topi jerami dan kacamata hitam, sedang
memindahkan sepotong daging ke atas piringnya. Pak dan Bu Sauerlich serta Bu
Carsten, baru mengambil piring.

Waldi menempati salah satu meja paling depan.

Si Muka Kuda dan rekannya pun sibuk memilih makanan yang mereka sukai.

Hanya Lisa Prachold yang masih berada di teras. Tapi kini wanita itu pun berdiri,
memasang kacamatanya, lalu menuju tempat duduk Waldi.

“Aha." ujar Oskar tiba-tiba.

Ia baru saja melihat Erik Prachold. Laki-laki itu sejak tadi mencari istrinya, dan
kini mendekat dengan tergopoh-gopoh.

Lisa Prachold menatapnya sejenak, memalingkan kepala, mengerutkan kening, lalu


menoleh tak peduli.

"Dia tidak mengenali suaminya.” ujar Thomas sambil menahan geli. "Nah,
sekarang dia mulai sadar. Ayo, Tuan Prachold, senyum dong. Apa gunanya punya
sederet gigi emas?"

***

Dengan mata terbelalak Lisa menatap pria itu. Tiba-tiba ia merinding.

Itu kan... Ah bukan! Atau? Ya, itu dia! Dengan wajah baru, hidung baru, mulut
baru, dan mata baru. Cara melangkahnya, sikap tubuhnya -ya, tidak salah lagi.
Memang Lisa Prachold sudah tahu bahwa suaminya telah menjalani operasi
plastik. Namun ia tetap kaget ketika berhadapan langsung.
Selama lima tahun ia hidup bersama laki-laki yang kini bertatapan dengannya -
sebagai orang asing.

“Lisa, ini aku -"

“Erik! Kau... Demi Tuhan! Kenapa kau ada di sini? Ini kan menyimpang dan
rencana kita. Bagaimana kalau sandiwara kita terbongkar? Kita."

“Terlambat, Lisa. Semuanya telah terjadi. Lagi pula - aku tinggal di sini, di lantai
lima. Aku tidak punya pilihan lain. Aku terpaksa kabur dari tempat
persembunyianku di Fuengirola. Aku kira, tempat inilah yang paling aman.
Ternyata aku keliru. Aku harus berbicara denganmu. Sekarang juga. Aku akan
jalan-jalan di pantai. Ke arah Estepona. Kau tunggu beberapa menit, kemudian
susul aku."

Erik Prachold berusaha untuk tersenyum, namun hasilnya jauh dari memuaskan.
Kemudian ia berbalik, dan melangkah ke tangga yang menuju pantai.

Lisa merasakan seluruh tubuhnya gemetaran. Cepat-cepat ia kembali memakai


kacamata hitam, lalu menoleh ke arah restoran. Waldi sedang makan sambil
membelakanginya. Tanpa memberitahu kekasih gelapnya itu, Lisa mulal menyusul
suaminya.

Sebuah tembok setinggi pinggang merupakan pembatas antara taman hotel dengan
pantai. Satu-satunya jalan untuk mencapai tepi laut adalah sebuah tangga batu.

Bagian pantai itu sepi dari pengunjung. Mungkin karena letaknya yang agak jauh
dari Marbella. Para pelancong jarang lewat di sini.

Dan tamu-tamu hotel lebih senang bersantai di tepi kolam renang.

Beberapa pemain selancar angin sedang beraksi di tengah taut. Malahani bersinar
terik. Tanpa pohon sebagai pelindung, udara terasa panas seperti di neraka.

Lisa mengikuti suaminya, yang berjalan pelan-pelan, kemudian menyusulnya.

"Erik."
Erik Prachold segera berbalik. Wajahnya masih mencerminkan rasa putus asa,
tetapi kedua natanya menyorot tajam.

“Siapa laki-laki yang terus berada di sekitarmu, heh?"

“Dia... dia... Baru tadi pagi aku berkenalan dengannya. Orangnya ramah. Dia..
dia... kalau tidak salah, namanya Walter.”

"Rupanya kau tidak sadar kalau aku terus memperhatikanmu, ya."

"Erik. Apa-apaan ini?"

"Sudahlah! Ini tidak penting. Keadaan sudah berubah sekarang. Kita-”

Ia bercerita - mengenai pemerasan kedua bandit tadi, mengenai kehadiran Rudi


Schleich, dan mengenai jalan buntu yang telah menjebak mereka.

Ketika Erik Prachold terdiam, istrinya tampak pucat-pasi.

Tapi pria itu sama sekali tidak bisa menduga apa yang berkecamuk di benak
istrinya.

Lisa langsung kalang-kabut. Semuanya sia-sia! Dan ia memikul tanggung jawab


yang sama beratnya dengan Erik. Kecuali itu, ia telah melibatkan Waldi dalam
urusan ini. Waldi seharusnya membereskan Erik. Tapi kini Lisa menyadari bahwa
rencana itu tak mungkin terlaksana. Paling tidak ada empat orang yang mengetahui
bahwa Erik masih hidup kedua pemeras tadi, Rudi Schleich, serta seorang pemuda
bersama teman-temannya. Pemuda yang mana? Jangan-jangan Si jago judo, yang
dijuluki Sporty oleh teman-temannya! Semuanya sudah mengetahui duduk perkara
sebenarnya. Berarti. kesempatan untuk melenyapkan Erik Prachold telah hilang.
Jika mayatnya tiba-tiba terdampar di pantai, maka semua akan tahu bahwa dia
korban pembunuhan, bukan kecelakaan. Dan siapa yang akan dituduh paling dulu?

Aku harus menemui Waldi, pikir Lisa. Dia..

"Kelihatannya ada yang mau menemani kita,” kata Erik. Ia menatap ke arah hotel.

Lisa ikut berbalik.

Pria itu sudah hampir sampai di tempat mereka berdiri.


Lisa ingat bahwa orang itu tadi berjemur di sebelahnya. Dia masih mengenakan
celana renang berwarna emas. Wajahnya pun masih tersembunyi di balik kacamata
hitam dan topi jerami.

Karena orang itu sama sekali tidak berusaha mendekatinya, maka tadi Lisa tidak
begitu memperhatikan dia.

“Nah, teman-teman,” pria itu berkata sambil nyengir, “pasangan kita rupanya
sudah bergabung lagi, ya?”

Ia melepaskan kacamata dan topi.

Lisa langsung tersentak kaget Pria itu adalah orang Spanyol yang sempat
dilihatnya waktu ia mengunjungi kuburan Erik di Jerman. Itu terjadi seminggu
yang lalu. Kemudian dia tidak pernah kelihatan lagi, sehingga Lisa melupakannya.

“Anda... Anda Rudi Schleich?" wanita itu bertanya.

Si detektif mengangguk “Betul, aku Rudi Schleich. Tapi - dari mana kalian
mengetahui namaku? Oh, ya! Itu pasti ulab saingan-sainganku. Mereka pasti sudah
memberitahu kalian untuk berhati-hati, bukan? Sayangnya sudah terlambat, teman-
teman. Sebaiknya kita mulai berunding mengenai jumlah yang harus kalian bayar
agar aku tetap tutup mulut."

Erik Prachold mulai ketawa histeris. Seluruh tubuhnya terguncang-guncang.

"Luar biasa!" Ia berseru. “Semuanya mata duitan! Para pemeras sampai mengantri
untuk minta bagian. Aku jadi malu karena uang santunan yang aku peroleh hanya
1.5 juta Mark. Coba kalau lima juta! Pasti cukup untuk semua. Untuk gerombolan
kalian, maksudku. Kami takkan mengambil sepeser pun. Soalnya sejak dulu aku
punya prinsip bahwa tidak ada yang lebih mulia ketimbang membagi-bagikan uang
pada orang yang membutuhkan."

Rudi Schleich mengerutkan kening.

“Aha! Jadi sudah ada yang berusaha untuk memeras kalian? Hebat, hebat! Mereka
ternyata tidak membuang-buang waktu. Tapi sampai sekarang aku belum sempat
berkenalan dengan mereka.”
"Yang satu bernama Carlo." ujar Prachold sambil cekikikan. “Yang satu lagi tidak
menyebutkan namanya. Tapi. kenapa kau tidak bertanya saja pada yang
bersangkutan? Itu mereka datang."

Schleich segera membalik.

Mohlen dan Morganzini teryata melihat Lisa Prachold menyusul suaminya ke


pantai. Mereka juga mengetahui bahwa tidak lama kemudian Rudi Schleich
mengikuti keduanya. Karena tidak berani mengambil risiko, para pemeras itu
langsung beraksi.

Morganzini nampak gusar. Mohlen mengedip-ngedip mata karena kesilauan.

“Nah, sekarang semuanya sudah berkumpul di sini,” katanya “Bagaimana kalau


kita duduk saja supaya lebih santai? Tak ada yang lebih menyenangkan daripada
duduk-duduk di pantai sambil ngobrol, bukan?”

“Sori aku berdiri saja,” jawab Schleich. “Aku tidak berminat mati konyol di sini.
Kalau gelagatnya mulai kurang enak, maka kaulah yang pertama-tama akan
kuhajar. Jelas?!"

“Seharusnya kau mengikuti nasihatku untuk secepatnya pergi dari sini, Schleich.
Sekarang sudah terlambat. Supaya jangan ada salah paham - ini juga berlaku untuk
kau dan istrimu, Prachold - akulah yang pegang daerah inii. Nyawa kalian bertiga
ada di tanganku. Mengerti?"

Lisa Prachold langsung membelalakkan mata. Semula ia memang merencanakan


pembunuhan. Tapi ia tidak pernah membayangkan bahwa nyawanya akan
terancam. Ia harus memaksakan diri agar tidak menjerit.

Erik Prachold nampak gemetaran. Apakah dia akan kalap?

Hanya Rudi Schleich yang tetap tenang. Kalaupun ia merasa takut, ia tidak
memperlihatkannya.

“Sebaiknya kita berunding saja,” ia berkata pada Mohlen. “Uangnya kan cukup
untuk kita semua. Memang, masing-masing dapat lebih sedikit. Tapi jumlahnya
tetap lumayan besar. Tak perlu ada pertumpahan darah segala. Polisi takkan pernah
tahu apa yang terjadi di sini. Artinya, kita tidak perlu mengambil risiko sama
sekali. Kalau kau memang seorang profesional, maka kau pasti tahu bahwa inilah
pemecahan yang terbaik. "
Mohlen nyengir. “Perkenalkan, aku Heiko Mohlen.”

Schleich mengangkat ails. “Ah.! Rajanya para pencuri mobil!”

“Dan bukan cuma itu. Seperti yang kaulihat aku tidak terpaku pada satu bidang
saja.”

“Memang sudah sepantasnya untuk bandit kelas kakap seperti kau," Schleich
berkomentar. Kemudian ia berpaling pada Prachold.

“Kelihatannya kau takkan sempat menikmati hasil penipuanmu. Tapi mestinya kau
justru berterima kasih pada kami. Karena bantuan kamilah kau terhindar dari nasib
buruk.”

“Apa maksudmu?”

“Aku rasa istrimu ingin menceritakan sesuatu padamu." ujar si detektif, sambil
tersenyum ke arah Lisa.

Lisa Prachold semakin bingung. Meskipun suhu mencapai 35 derajat Celsius,


wanita itu nampak menggigil seakan-akan kedinginan.

“Sudah cukup lama aku memata-matai istrimu yang manis ini,” Schleich
melanjutkan. “Dia memanfaatkan kematianmu untuk bersenang-senang dengan
pacar gelapnya. Tapi bukan itu saja. Dia bahkan mengajaknya ke sini dari Jerman.
Anehnya, mereka tidak memesan tiket pulang-pergi. Tapi hanya untuk sekali jalan
saja. Bagi istrimu sih, itu tidak aneh. Tapi rupanya Waldemar Luschner, alias
Waldi, juga bermaksud menetap di sini. Orangnya tinggi besar dan bertampang
lebih dari lumayan. Dibandingkan dengan dia, Prachold, kau tidak ada apa-apanya”

Si penipu menatap istrinya sambil membelalakkan mata. Keringatnya bercucuran.


Berulang kali ia harus menelan ludah.

"Aku menduga,” Schleich kembali menjelaskan, mereka bermaksud


melenyapkanmu. Itu tidak terlalu sulit. asal saja tak ada yang tahu bahwa kau
masih hidup. Orang yang sudah meninggal tak mungkin dicari lagi, bukan? Aku
sudah menyelidiki latar belakang Waldemar Luschner. Dia tipe orang yang mau
melakukan apa saja demi uang. Aku yakin, dia dan istrimu telah merencanakan
pembunuhan terhadapmu.”
“Bohong!” Lisa berteriak. “Bagaimana... Atas dasar apa Anda berkata seperti itu?
Saya.... Tidak mungkin! Saya.. mencintai Erik."

Rudi Schleich tersenyum simpul. Mohlen dan Morganzini ikut-ikutan nyengir.


Hanya Erik Prachold dan istrinya yang tidak bisa ketawa.
Lisa nampak gemetaran. Protesnya tidak meyakinkan. Ia tidak berani beradu mata
dengan suaminya.
Prachold sudah hafal kebiasaan-kebiasaan istrinya. Karena itu, ia tahu persis
bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh Rudi Schleich tidak mengada-ada.

“Lisa! Kau... Aku tak pernah menyangka bahwa kau...” Prachold tergagap-gagap.
Kemudian ia menundukkan kepala.

"Dia bohong, Erik! Mana mungkin aku... aku punya pikiran seperti itu?"

“Nah, itu kekasihnya."

Mohlen menyikut rekannya, lalu menunjuk ke arah hotel.

12. Kelompok STOP Terancam Bahaya

“SEKARANG semuanya sudah hadir," ujar Morganzini sambil ketawa.

Tapi kelihatannya Waldemar Luschner tidak berminat untuk bergabung dengan


mereka.

Ketika sedang makan di restoran taman, Waldi masih sempat melihat bahwa Lisa
pergi ke pantai. Namun ia tidak tahu kenapa. Kini, sewaktu melihat gerombolan
orang yang berkumpul di pantai, ia tiba-tiba mendapat firasat buruk. Ia langsung
memutuskan untuk bersikap seakan-akan tidak tahu apa-apa.

Untuk menunjukkan bahwa ia tidak terlibat, pria itu berdiri seperti patung sambil
memandang ke laut. Ia berharap orang-orang yang sedang berkumpul tidak
melihatnya, sehingga ia bisa kembali ke hotel dengan diam-diam.
Tetapi harapan Waldi tidak terkabul, sebab Schleich telah mengetahui
kedatangannya.

"Sekarang kita akan membuktikan apakah tuduhanku benar atau salah. Mohlen,
Prachold! Kalian ikut aku. Tapi biarkan aku yang bicara dengan dia, oke? Carlo,
kau jaga si Manis ini. Jangan sampai dia terjun ke laut, lalu mencoba berenang ke
Afrika. Sayang sekali kalau dia harus tenggelam di tengah jalan."

Mohien menggenggam lengan Prachold, lalu menarik pria itu.


Bertiga mereka menyusuri pantai.

Waldi melihat mereka mendekat. la berbalik dan segera menuju arah yang
berlawanan.

Tapi ia baru berjalan dua langkah, kelika Schleich berseru. “Halo, tunggu sebentar!
Kami ingin menanyakan sesuatu."

Mau tidak mau Waldi harus menghadapi mereka.

Sambil berlagak santai ia menunggu ketiga orang itu. Raut wajahnya tetap tenang.
Hanya matanya yang menunjukkan kecemasannya.

“Buenas dias - selamat siang, Senor Lusdiner,” ujar Schleich sambil nyengir.
Mohlen dan Prachold segera mengepung Waldi. "Pertama-tama saya ingin
menekankan bahwa kami takkan mengambil tindakan terhadap Anda dalam bentuk
apa pun! Dan tentu saja kami juga tidak akan menghubungi polisi. Anda hanya
perlu menjawab sebuah pertanyaan sederhana. Biarpun jawabannya memberatkan
Anda, Anda takkan diapa-apakan. Percayalah! Begini: Lisa Prachold, pacar Anda,
mengaku bahwa dia ingin melenyapkan suaminya dengan bantuan Anda. Apakah
betul demikian?"

Untuk sesaat Watch nampak seperti badut sirkus.

"Katakan yang sebenarnya, Bung!" Schleich mengancam. “Kalau berani bohong,


maka kau akan kami jadikan umpan ikan hiu!"

Waldi benar-benar gelagapan. "Ehm.. Lisa... Lisa memang bermaksud begitu. Ide
konyol! Apakah dia serius... ehm.. saya tidak tahu. Sejak semula saya... saya tidak
begitu percaya. Saya tidak mau terlibat dalam kejahatan seperti itu. Saya bukan
ehm... bukan pembunuh."
Si detektif segera berpaling pada Prachold.

“Cukup."

Prachold mengangguk. Matanya nampak menyala-nyala penuh dendam.


Sebelum yang lain sempat bereaksi, ia telah mengambil ancang-ancang dan
melayangkan tinjunya ke perut Waldi. Tindakannya itu benar-benar di luar dugaan.

Waldi membungkuk, memegangi perut dengan kedua tangan, mengerang


kesakitan, namun tetap berdiri.

Mohien langsung menahan Prachold.

"Sudah?!" katanya tegas. Pertanyaan kita sudah terjawab sekarang. Dan peragawan
ini, sekarang juga sudah tahu siapa kau sebenarnya. Tapi itu sih urusanmu sendiri.
Ayo, kita kembali! Dan jangan bertengkar dengan istrimu. Masalah rumah-tangga
kalian bisa kalian selesaikan belakangan. Sekarang kita akan membicarakan urusan
uang. kawan. Mengerti?”

Napas Waldi masih tersengal-sengal, ketika Schleich, Mohien, dan Prachold.


meninggalkannya.

Wajah Erik Prachold kini nampak merah padam. Sambil menahan marah, ia terus-
terusan menggertakkan gigi.

“Sekarang semuanya sudah jelas,” ujar Schleich, ketika mereka kembali ke Lisa
Prachold dan penjaganya.

"Peragawan itu tentu saja melemparkan semua kesalahan padamu, manis.” Ia


berkata pada wanita itu. “Tapi itu tidak penting. Urusan itu harus kalian selesaikan
berdua."

Lisa menatap lurus ke depan. Sampai sekarang ia belum berani menatap suaminya.

"Selama ini, aku pikir akulah yang paling cerdik di dunia,” ujar Prachold.
"Ternyata.. Tapi sudahlah! Lebih baik kita langsung pada inti permasalahan. Aku
sependapat dengan apa yang dikatakan Schleich tadi. Memang paling
menguntungkan kalau kita bisa mencapai kata sepakat tanpa banyak ribut-ribut.
Terutama bagi aku. Aku telah kehilangan segala-galanya. Dalam hal ini kalian
telah melakukan kesalahan dengan memberitahukan penyelewengan Lisa -lebih-
lebih rencana pembunuhannya - padaku. Masuk penjara pun aku tidak keberatan
sekarang. Karena itu. aku akan membagi keuntungan dengan kalian bertiga. Tapi
aku sendiri juga harus memperoleh jumlah uang yang lumayan. Oh, ya! Satu hal
lagi, tolong jelaskan pada wanita ini." Prachold berkata sambil menunjuk Lisa,
“bahwa dia dan pacarnya akan mengalami nasib buruk kalau mereka berani buka
mulut."

Schleich, Mohlen, dan Morganzini, mengangguk

“Ah, panas betul." ujar Prachold sambil menghapus keringat. "Bagaimana kalau
kita duduk di bawah pohon-pohon itu saja? Di sana kita bisa berunding dengan
tenang."
ia menunjuk ke arah sekumpulan pohon palem.

“Untuk sementara kau tidak diperlukan lagi,” Prachold lalu berkata pada Lisa.
"Pergi dari sini! Tapi jangan coba-coha kabur dari hotel. Hanya kau yang bisa
mengambil uang kita di bank. Tugas itu masih harus kauselesaikan.”

“Lumayan juga, si Prachold.” Mohlen berkomentar sambil ketawa. "Dia belajar


dengan cepat."

Kemudian ia berpaling pada Lisa. "Asal tahu saja, Sayang! Kau berada di bawah
pengawasan kami. Anak buahku ada di mana-mana. Jadi sebaiknya kau kembali
berjemur saja. Jangan macam-macam, kalau kau masih menyayangi nyawamu.”

Dengan kepala tertunduk Lisa Prachold menuju hotel. Waldi malah sudah
mendahuluinya.

Keempat laki-laki itu berjalan ke arah pohon-pohon palem, lalu duduk di pasir.

“Uangmu, Prachold, akan kita bagi empat” kata Mohien. "Tapi sebelum kite
tentukan bagian masing-masing, sebaiknya kita singkirkan rintangan terakhir
dulu."

“Yaitu?” tanya Schleich.

“Si bocah ingusan itu." jawab Mohlen.

"Oh.... dia!” Namun kemudian Schleich memutuskan untuk mengakui


ketidaktahuannya. “Brengsek. Siapa sih yang kaumaksud ?"

Mohlen menjelaskannya.
“Hmm," ujar Schleich sambil membetulkan letak kacamata hitamnya. "Memang
ada kemungkinan gerombolan anak-anak itu telah mengetahui identitas Erik yang
sebenarnya.Tapi itu kan belum pasti."

“Betul.” kata Mohlen. “Tapi aku tidak mengambil risiko?"

“Lalu? Apa yang akan kaulakukan?” Mohlen meremas-remas jarinya. “Kita harus
memastikan apakah anak-anak itu memang benar-benar mengetahui sesuatu.
Bayangkan, apa jadinya kalau mereka tiba-tiba melaporkan kita pada polisi? Kita
bahkan takkan sempat membagi-bagi uang kita.”

Schleich mengangguk. Betul juga. Tapi bagaimana kita bisa memastikannya"

Mohlen berpikir sejenak "Hmm, kemungkinan besar mereka masih ingat tampang-
tampang kita. Berarti. Nah, aku ada akal. Kita berempat jangan turun tangan
sendiri. Sebab barangkali saja mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa?"

“Sampai sekarang aku belum bisa menebak rencanamu." Schleich menggeram. Ia


sudah mulai tidak sabar.

“Aku akan menugaskan dua anak buahku, yaitu Piteau dan Ramirez, untuk
menangani bocah-bocah itu. Dengan sedikit tekanan mereka pasti akan buka
mulut."

"Kau mau menyiksa mereka?" tanya Schleich sambil mengerutkan kening.

“Siapa yang bilang begitu?" balas Mohlen sambil mengangkat bahu. “Semuanya
tergantung pada sikap mereka sendiri. Kalau mereka keras kepala, ya - apa boleh
buat? Tapi biasanya anak-anak seperti itu sudah tahu apa yang baik untuk
kesehatan mereka. Ada berapa orang, sih?”

“Mereka berempat,” jawab Prachold "Kalian sudah ketemu dengan si Jangkung


berambut hitam. Selain dia masih ada si Gendut, si Ceking berkacamata, dan
seorang gadis berambut pirang yang manis sekali."

“Oh, yang itu maksud kalian!" seru Schleich sambil nyengir. “Aku juga sudah
memperhatikan mereka. Terutama si Jangkung. Anaknya pemberani dan jago judo.
Tadi pagi dia sempat memberi pelajaran pada Waldemar Luschner”

“Berarti kita incar gadis itu saja. Makhluk mungil seperti dia pasti lebih gampang
diajak bicara - apalagi kaiau Ramirez mengancam untuk membakar rambutnya.
Ramirez tidak segan-segan untuk berbuat seperti itu. Dia memang agak sinting.
Bagaimana, setuju semua? Kuulangi sekali lagi: Ramirez dan Piteau menunggu
kesempatan berikut untuk menculik Si Pirang. Kemudian..."

“Ramirez kan lagi cedera." Morganzini mengemukakan keberatannya.

"Tapi cederanya kan tidak parah. Lagi pula dia tidak perlu repot-repot. Yang
penting dia ikut sambil memasang tampang seram. Kecuali itu, dia kan juga minta
bagian. Jadi sudah sepantasnya kalau dia bekerja sedikit. Kalau gadis itu sudah
buka mulut, maka kita akan tahu bagaimana duduk perkaranya. Dan kemudian kita
bisa menyusun langkah berikut.

“Sekarang anggaplah bahwa anak-anak itu memang mengetahui sesuatu, ujar


Schleich. “Langkah apa yang akan kita ambil?"

“Gadis itu akan kita jadikan sandera. Kita akan menahan dia sampai besok pagi.
Jam sembilan bank sudah buka. Istrimu, Prachold, akan mengambil seluruh uang
yang ada di rekening kalian. Kemudian kita bagi-bagi uangnya. Setelah itu
semuanya bebas pergi ke mana saja.. Tak ada yang bisa membuktikan bahwa kita
yang menculik gadis itu. Mengenal Piteau dan Ramirez - mereka toh sudah
merencanakan untuk bersembunyi di Prancis selama beberapa mingqu."

"Bagaimana dengan vilaku?" tanya Prachold. "Dalam empat minggu


pembangunannya sudah selesai. Urusan pembayaran juga sudah hampir beres.
Secara resmi, vila itu milik istriku.”

“Kelihatannya kau tidak bisa berbuat banyak, kawan?" ujar Mohlen sambil
mengangguk. "Apa kau berani mengadukan istrimu ke polisi? Sudahlah biarkan
saja! Itu sekaligus jadi jaminan bahwa dia tidak buka mulut”

Si penipu hanya meringis. Ia menyadari bahwa Mohlen benar. Tetapi keputusan itu
tetap saja kurang berkenan di hatinya.

"Sejauh ini kita hanya berbicara mengenai anak-anak itu," Morganzini kembali
pada pembicaran semula, “Tapi mereka kan tidak sendirian ke sini. Bagaimana
dengan orangtua mereka?"

"Orangtua mereka tidak tahu apa-apa,” Scleich langsung berkata. “Sebab kalau
sebaliknya, maka polisi pasti sudah lama menangkap Prachold. Anak-anak itu -
kalau mereka memang sudab mencium jejak Prachold - pasti berusaha sendiri.
Kalau lagi seusia mereka kepercayaan pada orang dewasa tidak terlalu besar.
Paling tidak, mereka berkeinginan untuk mengatasi keadaan ini tanpa bantuan
orang dewasa. Jadi, menurut aku, kita tidak perlu khawatir mengenai orangtua
mereka.”

“Tapi begitu gadis itu kita culik, maka teman-temannya pasti bakal ribut” ujar
Prachold.

“Untuk mencegah hal itu,” balas Mohien, "kita harus menjelaskan bahwa
keselamatan gadis itu tergantung pada yang lain. Kalau teman-temannya mengadu
pada orangtua mereka, apalagi pada polisi, maka merekalah yang
bertanggungjawab atas nasib yang akan menimpanya. Lihat saja nanti - mereka
pasti akan menurut kalau diancam begitu.”

Rencana itu disetujui dengan suara bulat.

Mohlen lalu berkata, bahwa sekarang ia akan menghubungi Ramirez dan Piteau.

Prachold memikirkan uangnya. Kini ia terpaksa mengikuti kemauan para bandit.

Berapa yang akan mereka sisakan untukku? ia bertanya dalam hati. Dan setelah itu,
apa yang akan kulakukan?

***

Anak-anak STOP sedang berbaring di bawah semak-semak berdaun tebal. Tempat


itu cukup menyenangkan, karena terlindung dan sengatan matahari.

Dari sini mereka bisa mengawasi seluruh daerah pantai. Tak ada yang luput dan
pengamatan mereka. Anak-anak melihat Waldi dihajar oleh Prachold, juga
bagaimana Waldi dan Lisa Prachold kembali ke hotel dengan lega.

Kini keempat sahabat mengintai para laki-laki yang sedang berunding di bawah
naungan pohon-pohon palem: Prachold, Schleich, si Muka Kuda, dan rekannya
yang berambut merah
Sayangnya Sporty dan teman-temarinya tidak bisa mendengar apa yang
dibicarakan oleh mereka. Jaraknya terlalu jauh, sedangkan keadaan medan tidak
memungkinkan untuk mendekat.

“Kelihatannya mereka sudah mencapai kata sepakat,” ujar Thomas.


“Mula-mula Prachold nampak keberatan." kata Petra. “Itu terlihat dan raut
wajahnya. "Tapi sekarang dia sudah pasrah pada nasib.”

"Tampangnya sih masih kecewa," Sporty berkomentar sambil nyengir. “Dia sadar
bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa. Rupanya para pemeras telah berhasil
meyakinkan." Prachold untuk menyerahkan sebagian kekayaannya pada mereka”

“Tapi Lisa dan Waldi tidak kebagian apa-apa." Oskar menambahkan. "Buktinya
mereka tidak diikutsertakan dalam perundingan. Prachold sekarang sudah tahu
bahwa istrinya menyeleweng selama dia bersembunyi di Spanyol”

“Kalau begitu, tugas Waldi bukan seperti yang kau duga,” Sporty
menyimpulkan,“Kelihatannya, semua orang saling menipu di sini. Lisa mengajak
Waldi ke Spanyol untuk menyingkirkan suaminya. Tapi ternyata Erik Prachold
mengawasi gerak-gerik istrinya melalui teropong. Lisa tidak menyadari hal ini.
Karena itu dia nyaris pingsan ketika dihampiri oleh suaminya. Barangkali saja para
bajingan yang lain telah menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya pada
Prachold. Tapi itu semua baru dugaanku saja."

Tiba-tiba Oskar mengerang.

“Ada apa?” tanya Petra.

“Pakai tanya segala." balas Oskar sambil geleng-geleng. "Tamu-tamu yang lain
sedang duduk di restoran taman sambil menikmati makan siang. Tapi kita malah
berpanas-panas di pantai sambil mengintai empat bajingan.”

“Jangan khawatir,” Sporty menenangkan sahahatnya. “Hidangan prasmanan takkan


dibereskan sampai pukul setengah empat sore. Pasti masih ada yang tersisa
untukmu.”

Kini para bandit berdiri.

Si Muka Kuda dan si Rambut Merah membersihkan pasir yang menempel pada
celana masing-masing.

Prachold menggunakan sebelah tangan untuk melindungi matanya dan sinar


matahari yang menyilaukan, lalu menatap ke laut lepas. Schleich mengangguk
singkat, kemudian mulai menyusuri pantai ke arah hotel.
Prachold mengikuti si detektif. Langkah-langkahnya nampak berat, seakan-akan
harus menyeberangi Gurun Sahara.

Si Muka Kuda dan rekannya menunggu beberapa saat. Lima menit kemudian,
mereka kembali ke hotel.

“Mereka tidak ingin terlihat bersama-sama,” Oskar menyimpulkan. “Aku juga mau
ke restoran, ah! Bau daging panggangnya tercium sampai ke sini. Kalau aku
menunggu lebih lama lagi, maka bisa-bisa ayahku sudah menyikat semuanya.”

Namun kekhawatiran Oskar tidak terbukti. Ketika mereka sampai di restoran


taman, persediaan makanan ternyata masih melimpah.

Orangtua Oskar serta Bu Carsten duduk di latar belakang. Mereka menempati


salah satu meja yang dinaungi atap pergola. Bu Carsten sudah selesai makan. Erna
Sauerlich masih menikmati makan siangnya, yakni salad berbagai sayuran segar.
Dengan kening bekerut - namun tanpa berkomentar apa-apa -ia menyaksikan
suaminya menuju meja prasmanan untuk mengambil sepotong daging lagi.

“Ah, akhirnya kalian datang juga,” ujar Bu Carsten ketika melihat anak-anak.

"Suatu semua orang pasti merasa lapar,” kata Petra sambil tersenyum. "Bahkan
orang yang tidak doyan makan seperti Oskar. Bukan begitu, Oskar? Kau harus
memaksakan diri agar bisa makan sebanyak tadi pagi."

“Mudah-mudahan saja berhasil,” Oskar mendesah.

Ibunya langsung memberi semangat. Yang lainnya harus berusaha keras agar tidak
ketawa terbahak-bahak.

“Tapi jangan ambil daging.’ Bu Sauerlich memperingatkan putranya. "Lebih baik


kau makan sayur-sayuran segar saja. "

Keempat sahabat mengambil makanan, kemudian duduk di meja sebelah.


Untuk kesekian kali Sporty memandang sekeliling.

Erik Prachold, si Muka Kuda, maupun si Rambut Merah, tidak kelihatan. Rupanya
mereka langsung naik ke kamar masing-masing.

Lisa Prachold sedang tidur-tiduran di kursi malasnya. Waldi, yang berbaring di


kursi sebelah, melakukan hal yang sama. Bagi orang yang tidak mengerti duduk
perkaranya, mereka tampak tengah bersantai. Tapi Sporty dan teman-temannya
tahu bahwa keduanya lagi pusing tujuh keliling.

Rudi Schleich sedang berenang - tanpa topi dan kacamata hitam.

Kemudian, setelah naik dan kolam renang, ia mengambil barang-barangnya dan


pindah ke kursi lain. Mungkin ia keberatan untuk berjemur di dekat pasangan tadi.

Seusai makan. anak-anak STOP menyusuri taman hotel sampai mencapai suatu
tempat yang dinaungi pohon-pohon palem. Tak seorang pun berada di sini.

Thomas yang pertama-tama melihatnya.

"Teman-teman!” Ia tiba-tiba berseru. "Di sana ada tempat peminjaman sepeda.


Gratis lagi."

Hal itu diketahuinya dengan membaca papan pengumuman dalam empat bahasa
yang terpasang di atas gudang sepeda.

Semangat Petra langsung berkobar-kobar. “Itu yang ingin kulakukan sekarang.


Naik sepeda menyusuri jalan-jalan setapak sepanjang pantai. Ke arah Estepona.
Pantai di sana tidak begitu ramai. Dan di sana itu aku mau berenang di laut.

"Setuju sekali!" Thomas berseru.

"Tapi aku tidak ikut, ya?” ujar Oskar. "Siang-siang begini udaranya kelewat panas.
Kecuali itu aku masih terlalu kenyang. Aku akan beristirahat sambil berjemur
saja."

“Sebenarnya aku ingin ikut” kata Sporty. "Tapi siapa yang menjamin bahwa
bajingan-bajingan itu akan bersikap seperti Oskar? Salah seorang dan kita harus
mengawasi mereka. Kalian berangkat saja, aku akan tinggal di sini."

Petra nampak ragu-ragu. Perjalanan naik sepeda pasti lebih mengasyikkan kalau
Sporty ikut. Tapi ia tidak mau kelihatan terlalu tergantung pacla sahabatnya itu.
Lagi pula ia tidak bermaksud pergi jauh - hanya sampai ke teluk berikut yang lebih
sepi.

“Baiklah, Thomas! Kita berangkat berdua saja.”

Tidak lama kemudian Sporty telah ditinggal seorang diri.


Sambil berjalan mondar-mandir, anak itu mengawasi Lisa Prachold dan Waldi dari
jauh. Sporty juga melihat bahwa Schleich sedang membaca koran. Kemudian ia
menemani ibunya untuk beberapa saat. Akhirnya ia membereskan barang-
barangnya, dan naik ke kamar.

Sporty sebenarnya juga mencari Prachold dan kedua bandit tadi. Tapi mereka
seolah-olah lenyap dan muka bumi.

Apakah mereka ada di ruang TV?


Sporty segera memutuskan untuk memastikannya. Udara di ruangan itu terasa
sejuk. Sekitar selusin orang Spanyol sedang berkumpul di depan layar kaca.

Mereka tengah menyaksikan siaran berita dan TV Andalusia.

Sporty pun ikut nonton, tetapi tidak memahami sepatah kata pun. Ia hanya bisa
meraba-raba bahwa inti berita yang sedang ditayangkan menyangkut sebuah
perampokan.

"Si, Senor,” salah seorang pelayan yang bisa bahasa Jerman menjelaskan. "Seorang
laki-laki bertopeng telah mencegat petugas pengantar uang sebuah toserba. Dia
berhasil merampas 20 juta peseta. Dalam mata uang Jerman, itu sekitar 360.000
Mark, kalau saya tidak salah. Si perampok menggunakan overall berwarna hijau.
dengan inisial LCV. Dia menggunakan senapan mesin."

“Di mana perampokan itu terjadi?" tanya Sporty.

“Di Malaga.”

“Wah, berarti tidak jauh dari sini."

Si pelayan mengangguk. “Pelaku kejahatan itu kabur dengan mobil. Namun tak
ada saksi mata yang sempat melihat kendaraan itu."

Sporty mengucapkan terima kasih, lalu meneruskan pencariannya.

13. Petra Diculik


“SEPERTI di surga saja." Petra bersorak riang. Kemudian ia melompat turun dan
sepedanya dan berlari menyambut ombak.

Pasir putih membentang sejauh mata memandang. Di sepanjang pantai tidak ada
siapa-siapa selain Petra dan Thomas.

Gadis itu menghirup udara dalam-dalam.

Teluk yang sepi ini persis seperti yang ia bayangkan.

Petra membuka T-shirt-nya dan kini hanya mengenakan bikini. Angin sejuk
membelai-belai punggungnya. Ketika ia membungkuk untuk memungut kulit
kerang, rambutnya yang pirang rnenyentuh pasir.

Tiba-tiba terdengar suara-suara dari arah jalan setapak.

Petra menoleh.

Thomas sedang memegangi kedua sepeda mereka.

Sebuah Mercedes yang penuh debu berhenti di sampingnya.

Dua pria dewasa turun.

Yang satu bergerak dengan hati-hati. Kepalanya diikat dengan perban. Yang satu
lagi berbadan tinggi tapi kurus. Wajahnya mirip seekor cecurut.

Dengan sikap mengancam, kedua laki-laki itu menghampiri Thomas.

Petra menyadari bahwa ada yang tidak beres. Ia membuang kulit kerang dan
kembali memakai T-shirt-nya. Kemudian ia memasang telinga.

Salah seorang dari kedua pria itu berkata dalam bahasa Jerman,

"Jangan berteriak, ini adalah penculikan. Kalau kau tetap tenang, maka kami tidak
perlu menggunakan kekerasan. ”

Jules Piteau nampak cengar-cengir.


“Apa-apaan ini?” Thomas memprotes sambil mengepalkan tangan. “Kenapa Anda
mau menculik saya?"

“Bukan kau yang kami incar, tolol! Kami menginginkan gadis itu. Kau boleh saja
terus berjemur di sini."

Kemudian Thomas sadar bahwa ia takkan sanggup menghadapi mereka, tapi


dengan gagah berani ia berbalik.

"Petra!" Thomas berseru. "Cepat, kabur! Mereka mau menculikmu. Aku akan
menahan mereka sampai.."

Ramirez menarik bahu Thomas. Pukulannya sudah diperhitungkan masak-masak.

Thomas sampai terbengong-bengong ketika kepalan tinju Ramirez mendarat di


perutnya. Selama dua detik, rasa sakit yang luar biasa membuatnya berdiri seperti
patung. Kemudian ia terjatuh ke rumput yang gosong. Kacamatanya terlempar ke
pasir.

“Hei, Piteau!” Ramirez membentak rekannya. “Apa lagi yang kautunggu? Lihat
tuh! Sebentar lagi gadis itu akan mengambil langkah seribu.”

Namun seluruh badan Petra terasa seperti lumpuh.

Piteau mulai bergegas ke arahnya.

Petra terlambat bereaksi. Piteau berhasil mengejarnya. Dengan kasar bajingan itu
menangkap lengan Petra

Sementara itu Ramirea mendorong Thomas dengan ujung sepatu.

“Ingat baik-baik apa yang kukatakan sekarang!” ia berkata. “Kau.. Heh.. kau bisa
mendengar apa yang kukatakan?"

Bahasa Jermannya terpatah-patah, tetapi Thomas mengerti apa yang dimaksud.


Dengan lemah ia menganggukkan kepala.

“Kalau kau ingin agar gadis manis ini bisa kembali dengan selamat, maka kejadian
ini jangan kauberitahukan pada siapa pun. Mengerti? Orangtua kalian tidak boleh
tahu. Apalagi polisi! Kau hanya boleh bercerita pada kedua temanmu. Tapi mereka
juga harus menjaga rahasia ini. Kalau orangtua kalian tanya ke mana si - namanya
Petra, bukan?katakan saja bahwa dia sedang pergi ke kota untuk membeli sesuatu.
Kau mengerti?”

“Ya,’ jawab Thomas sambil menahan sakit. “Tapi kenapa.”

“Siapa namamu?"’

“Thomas Vierstein.”

"Kami akan meneleponmu di hotel. Dan peringatkan teman-temanmu agar mereka


mengikuti nasihatku. Keselamatan Petra tergantung pada sikap kalian”

Thomas mendengar Petra merintih. Gadis itu tidak bisa berteriak. Rupanya
mulutnya disekap.

Mercedes tadi berangkat.

Thomas memaksakan diri untuk berdiri. Ia bermaksud menghafalkan pelat nomor


kendaraan ini. Tetapi tanpa kacamata ia tidak bisa melihat apa-apa. Dan
kacamatanya baru ia temukan setelab mencari beberapa saat.

Menit-menit berharga kembali berlalu, karena Thomas terpaksa duduk dulu sambil
menunggu perasaan mual yang dideritanya hilang. Baru setelah itu ia mampu
kembali ke hotel.

Sporty sedang berada di kolam renang. Thomas segera memanggil sahabatnya itu.

“Ada apa, Thomas? Kenapa tampangmu kusut begitu? Di mana Petra?"

“Sporty, demi Tuhan, aku harap kau tetap tenang sampai aku selesai bercerita!
Petra diculik oleh dua laki-laki. Sebelumnya salah satu dari mereka sempat
menghajarku."

Thomas melaporkan kejadian itu. Wajah Sporty seperti membatu.

Oskar, yang sempat melihat kedua sahabatnya, menghampiri mereka, dan Thomas
harus bercerita sekali lagi.
Kemudian suasana menjadi hening.
Aku harus tetap tenang, agar bisa berpikir dengan kepala dingin, ujar Sporty dalam
hati. Kita harus mengutamakan keselamatan Petra. Itulab yang terpenting sekarang.

"Kau tidak mengenali kedua laki-laki itu?” Ia lalu bertanya pada Thomas.

"Aku belum pernah melihat mereka,” jawab Thomas sambil menggeleng.

“Petra ada di tangan mereka. Jadi, untuk sementara kila tidak punya pilihan selain
mengikuti kemauan mereka. Kita belum bisa berbuat apa-apa. Kalau orangtua
Oskar, atau ibuku, menanyakan Petra, maka kita akan mengatakan bahwa dia lagi
pergi ke kota. Tapi mereka pasti curiga kalau Petra belum kembali sampai waktu
makan malam. Para penculik pasti menyadari hal ini. Karena itu aku yakin mereka
pasti sudah menghubungi kita sebelum waktu makan malam. Thomas, sebaiknya
kau tetap di kamar untuk menunggu telepon dan mereka. Aku akan berjaga di lobi.
Kalau Petra belum kembali pada waktu makan malam, maka aku akan mengambil
tindakan yang sama. Aku akan menculik salah satu dari para bajingan itu.
Kemudian aku akan mematahkan tulang-tulangnya satu per satu, sampai dia
mengatakan di mana Petra disekap.”

Dengan terkejut Thomas menatap sahabatnya. Mata Sporty nampak berapi-api.

“Maksudmu, merekalah yang mendalangi penculikan Petra?”

“Siapa lagi?”

Thomas mengangguk. "Barangkali mereka sudah sadar bahwa kita mengetahui


duduk perkara yang sebenarnya. Dengan menculik Petra, mereka ingin memastikan
bahwa kita tidak menghubungi polisi.”

“Aku juga berpikiran seperti itu.’

“Gawat,” ujar Oskar. “Aku jadi kasihan sama Petra. Coba kalau aku ikut bersepeda
dengan kalian tadi. Siapa tahu akulah yang mereka culik.”

***

Rumah di tepi kota itu tak punya tetangga. Lokasinya memang agak terpencil, di
ujung sebuah jalan buntu yang berakhir di antara bongkahan-bongkahan batu.
Selama perjalanan ke sana, Petra dimasukkan ke dalam ruang bagasi. Kaki dan
tangannya diikat dengan tall. Mulutnya disumbat kain, sehingga ia hampir tidak
bisa bernapas.

Mercedes berwarna abu-abu yang penuh debu itu menggelinding ke pekarangan


betakang, lalu berhenti.Ramirez langsung turun.

Ia membuka tutup bagasi, mengangkat Petra, lalu menggotongnya ke rumah.

Petra tidak melawan sama sekali. Gadis itu berada dalam keadaan setengah
pingsan. Satu menit lagi, dan ia akan kehilangan kesadaran.

“Sampai nanti." Piteau berseru pada rekannya “Dan jangan ragu-ragu untuk
menggunakan kekerasan kalau memang perlu! Bos kita ingin mendapat keterangan
mengenai teman-temannya.”

“Jangan khawatir!” balas Ramirez. Dengan sebelah kaki ia mendorong pintu


belakang sampai membuka.

Piteau berangkat lagi. Mungkin saja ada yang sempat melihat mobil mereka.
Karena di sini tidak ada garasi, maka ia harus membawa Mercedesnya ke tempat
lain.

Piteau pulang ke rumahnya, sebuah bangunan apartemen raksasa di dekat pantai. Ia


memasukkan kendaraannya ke tempat parkir bawah tanah, lalu keluar lagi.
Apartemennya tidak dilengkapi telepon. Tapi ia harus menghubungi Mohlen.
Bosnya perlu diberitahu bahwa penculikan Petra berjalan dengan lancar.

Sambil mengisap sebatang rokok, ia berjalan menuju kantor pos terdekat. Untuk
sampai ke sana, si penculik harus melewati daerah perumahan kumuh. Rumah-
rumah reyot yang ada di sini tinggal menunggu waktu untuk digusur. Kemudian
tanahnya akan dipergunakan untuk membangun hotel- hotel baru.

Selalu waspada! Manfaatkan setiap kesempatan!

ltulah prinsip yang dianut Piteau. Dan kini, ketika melewati sebuah gerbang
pekarangan yang terbuka lebar, ia melihat pemandangan yang menggiurkan.

Mobil itu berwarna abu-abu metalik. model terbaru. Pengemudinya seorang pria
berbadan tinggi besar, baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kelihatan agak pincang.
Piteau sempat melihat bahwa orang itu membawa dua buah tas kulit. Tapi itu tidak
panting bagi Piteau. Yang menggodanya adalah kenyataan bahwa kunci kontak
belum dicabut.

Tanpa ragu-ragu bajingan itu membelok. Dengan lima langkah panjang ia telah
berada di samping kendaraan tadi. Perlahan-lahan ia menutup ruang bagasi, lalu
melirik ke rumah. Pintu rumah tertutup rapat. Piteau segera duduk di belakang
kemudi dan menghidupkan mesin. Si penculik memundurkan mobil itu, lalu
berangkat tanpa terburu-buru.

Melalui kaca spion ia memandang ke belakang. Ternyata keadaan tetap aman-


aman saja.

Piteau tahu bahwa ia punya waktu 10-15 menit sampai polisi mulai mencari mobil
itu. Ia memang berpengalaman dalam hal ini, karena keahliannya sebenarnya
adalah mencuri mobil. Sudah bertahun-tahun ia mencari nafkah dengan menekuni
pekerjaan yang tak terpuji itu.

Kali ini ia hanya membutuhkan 9 menit. Kemudian ia memasuki sebuah gedung


parkir, menarik karcis dan kotak otomat, menunggu palang membuka, dan
langsung naik ke lantai enam.

Ia berhenti di salah satu sudut gelap, lalu turun dari mobil.

Piteau menoleh ke kiri-kanan. Di sekitarnya tidak ada siapa-siapa.

Tempat ini cukup aman sampai Mohlen datang membawa pelat nomor palsu.
bajingan itu berkata dalam hati. Tapi sekarang aku mau lihat dulu apa saja yang
ada di dalam mobil ini.

Di laci hanya ada barang-barang tak berharga. Selain itu masih ada kartupos
bergambar dari Maroko dan Prancis, yang dialamatkan pada seseorang bernama
Miguel Manolita. Piteau tidak berharap bahwa ruang bagasi ada isinya. Tadi ia
sudah melihat ruang bagasi yang kosong. Tetapi ternyata hanya hampir. Sebuah
selimut menutupi.

Dengan mata terbelalak Piteau menatap sebuah senapan mesin. Senjata itu
menindih sebuah overall (pakaian kerja) berwarna hijau. Pada dada kirinya
terdapat inisial LCV. Sarung tangan yang tergeletak di samping overall itu nampak
tipis dan kotor. Sebuah topeng berupa kaus kaki wanita terasa lembap ketika
dipegang. Keringat. Berarti topeng itu baru saja dipakai.
Piteau menoleh ke arah lift. Tak ada yang mengganggunya. Karena itu ia meraih
senapan mesin tadi, lalu mencium ujung larasnya. Ternyata tidak ada bau mesiu.

Ia mengunci ruang bagasi, lalu memutar otak. Mobil ini adalah yang ke-5O yang
dicurinya untuk Mohlen - suatu kesempatan yang pantas dirayakan. Kalau Mohlen
langsung pulang ke rumahnya, maka dalam waktu singkat ia sudah bisa sampai di
sini dengan membawa pelat nomor serta surat-surat palsu. Mohlen punya stok
untuk beberapa jenis mobil, dan Piteau hanya bertugas mencuri mobil seperti itu.
Namun kali ini urusannya agak berbeda.

Piteau menuju kantor pos, lalu menelepon ke Hotel Istana.

Mohlen sendiri yang menyahut.

“Halo, Bos? Ini aku,” ujar Piteau. “Semuanya beres. Gadis itu sudah ada di tangan
kita. Pedro lagi mengorek keterangan dan dia. Tapi kita mungkin harus menunggu
satu atau dua jam. Soalnya dia sempat pingsan. Terus ini, Bos, aku sekalian
menyikat sebuah mobil. Tapi sepertinya ada yang tidak beres dengan mobil ini."

Ia bercerita.

“Overall berwarna hijau?" tanya Mohlen "dengan inisial LCV? Dan pengemudinya
bernama Miguel Manolite - seorang laki-laki tinggi besar yang agak pincang?"

“Ya, kaki kirinya pincang. Tapi aku hanya melihatnya dari belakang."

"Busyet, Piteau! Beritanya baru saja disiarkan di TV. Setengah jam lalu si
Manolite itu merampok petugas pengantar uang di Malaga
dan berhasil menggondol 20 juta peseta. Gila! Mau tidak mau dia harus membagi
hasilnya dengan kita. Piteau, kelihatannya kita lagi dilindungi Dewi Fortuna. Kau
tunggu saja di sana. Kita harus mengamankan mobil itu.”

Piteau kembali ke gedung parkir. lalu menunggu sampal Mohlen tiba.

Sementara Piteau berjaga-jaga. Mohlen mencopot pelat nomor mobil itu, lalu
menggantinya dengan pelat nomor palsu.

Setelah itu keduanya berjalan ke rumah Manolite.

Moblen, seperti biasa, membawa senjata. Pistolnya tersembunyi di balik jaket.


14. Akibat Terlalu Serakah

SORE pun berlalu.

Sporty merasa seperti duduk di atas bom waktu.

Baik Erik Prachold, si Muka Kuda, maupun si Rambut Merah, tidak menampakkan
diri. Tapi Schleich serta Lisa Prachold dan Waldemar Luschner tidak terlepas dan
pengawasannya.

“Ke mana si Petra?” Bu Carsten bertanya dengan heran. “Lama-lama ibu mulai
khawatir.”

Pak Sauerlich, yang sedang membaca koran, banya berguman tak jelas. lslrinya
sedang tidur di bawah payung penghalang matahari. Oskar nampak gelisah.
Thomas berada di kamar dan menunggu telepon dari para penculik. Tapi sampai
sekarang mereka belum menghubunginya.

“Petra pasti datang,” kata Sporty. “Katanya, ada yang perlu ia beli di kota.” Sporty
nyaris menggigit ujung lidahnya karena terpaksa berbohong.

Matahari semakin condong ke barat. Para tamu pun mulai meninggalkan taman.

Kemudian orangtua Oskar dan Bu Carsten mengatakan bahwa mereka akan naik ke
kamar masing-masing. Sebentar lagi sudah waktunya makan malam.

“Aku masih mau duduk-duduk di sini,” kata Sporty.

Tapi ia menyuruh Oskar naik ke kamarnya untuk mengambil celana pendek, T-


shirt, dan sepatu kets.

Ketika Oskar kembali, Sporty langsung berpakaian. Tak ada yang tahu apa yang ia
sembunyikan di balik handuknya.

“Bagaimana?” Ia bertanya setelah orangtua Oskar dan ibunya pergi.


Oskar menggeleng lesu “Thomas sejak tadi nongkrong terus di depan telepon. Tapi
sampai sekarang belum ada kabar dan para penculik”

Sporty melihat Lisa Prachold dan Waldi masuk ke hotel.

Rudi Schleich masih membaca sambil berbaring di kursi malasnya.

“Aku tidak bisa tunggu lebih lama lagi, Oskar. Kau tidak perlu ikut. Biar aku saja
yang menanggung semua akibat."

“Tentu saja aku ikut." jawab Oskar. "Aku...” Ia terdiam

Sporty pun melihat pria itu. si Muka Kuda.

Bajingan itu keluar dan hotel. Ia berjalan di seberang kolam renang dan
menghampiri Schleih. Kini tinggal detektif itu yang masih berada di teras. Semua
tamu lain sudah menyingkir.

"Ayo." kata Sporty sambil berdiri.

Oskar sebenarnya agak ragu-ragu. Namun setelah membulatkan tekad, ia pun


mengikuti sahabatnya.

Sporty menggunakan handuknya untuk menutupi tangan kirinya.


Schleich dan si Muka Kuda sedang berbincang-bincang. Kedua bajingan itu baru
menoleh ketika Sporty dan Oskar sudah berdiri di hadapan mereka.

“Buenos noches - selamat malam!”

Sporty tersenyum. Ia berdiri di depan si Muka Kuda. Secepat kilat tangannya


bergerak maju, dan meraih ke dalam jas yang dikenakan bandit itu. Sebelum si
Muka Kuda sempat bereaksi, Sporty telah merebut pistolnya, lalu mundur
selangkah. Moncong pistol terarah pada kedua penjahat.

Mereka terbengong-bengong.

"Saya yakin, Anda tidak punya surat izin untuk senjata ini,” kata Sporty “Tapi
jangan takut. Di sini bukan tempat latihan menembak."

Sporty langsung melemparkan pistol si Muka Kuda ke sebelah kanan. Senjata itu
jatuh ke kolam renang dan langsung tenggelam.
“Nah,” ujar Sporty, “hanya benda itulah yang bisa menyelamatkan kalian.”

Ia membiarkan handuknya jatuh ke lantal. Di tangan kirinya ternyata ada sepotong


pipa besi.

“Kalau anak kemarin sore yang menghajar kalian dengan pipa ini,” Sporty berkata.
"Maka kalian hanya akan sakit kepala. Tapi kalau aku yang menggunakannya,
maka takkan ada yang tersisa dari kalian. Sekarang jawah mana Petra?”

Schleich tidak bereaksi. Ia hanya melotot ke arah Sporty.

Tapi si Muka Kuda membuat kesalahan fatal. Rupanya ia menganggap babwa anak
ingusan di hadapannya bukanlah lawan yang sepadan. Sambil nyengir ia
melangkah maju dan berusaha merebut pipa besi dari tangan Sporty.

Tap Sporty memang tidak main-main. Tanpa ragu-ragu ia menyodokkan pipanya


ke perut Si Muka Kuda.

Bajingan itu membelalakkan mata. Ia tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba tidak


bisa menarik napas. Sambil terengah-engah, ia ambruk dan berlutut di depan
Sporty.

Sambil tersenyum manis Sporty menatap Schleich.

"Mau minta bagian juga?" Ia bertanya. “Dengan senang hati aku akan menghajar
kepalamu dengan pipa ini. Jadi, sekali lagi, di mana Petra?"

Si Muka Kuda terjatuh ke depan sambil memegangi perut.

“Hei, sebaiknya kau pergi ke pantai kalau mau muntah,” ujar Sporty sambil
menepuk bajingan itu. “Siapa namanya?" Ia lalu bertanya pada Schleich.

“Dia. ehm.. Hei, kau tak perlu mengadakan pertumpahan darah di sini. Namanya
Carlo Morganzini.”

“Dan yang satu lagi? Si Rambut Merah?"

“Heiko Mohlen."

“Oskar, tolong ingat nama-nama itu!” káta Sporty. “Nah, Schleich! Untuk ketiga
dan terakhir kalinya, di man Petra? Kami tahu, kalian yang menculiknya. Tapi
kalau sampai aku keliru, maka nasibmu akan buruk. Soalnya kalau kau tidak mau
menjawab, maka kepalamu akan kubuat jadi bubur. Sayang sekali kalau kejadian
seperti ini menimpa seseorang yang tidak bersalah. Tapi aku yakin, dugaanku pasti
tidak meleset. Karena itu, aku takkan segan-segan menggunakan kekerasan.
Perkara dihukum karena melakukan penganiayaan berat - itu soal belakangan.
Demi Petra aku rela masuk penjara. Ayo jawab! Di mana dia?”

Schleich menatap Sporty. Ia sadar bahwa ia akan keluar sebagai pihak yang kalah
dalam perrnainan ini.

Celaka! Anak ini tidak main-main. bekas detektif itu mengumpat dalam hati. Anak
ini tidak bisa dianggap enteng.
“Aku.... ehm_ aku tidak tahu di mana dia. Soal penculikan itu... ehm... sebenarnya
aku tidak terlibat langsung. Aku hanya mendengar bahwa Mohlen dan Morganzini
menyuruh anak buah mereka untuk menculik seorang gadis. Kini dia disekap di
sebuah rumah di pinggir kota, di utara”

“Siapa yang menjaganya di sana?"

“Salah satu anak buah Mohlen. Namanya Ramirez?"

“Ada dua orang yang menculik Petra."

Schleich mengangguk. “Yang satu lagi - kalau tidak salah namanya Piteau -baru
saja menelepon Mohlen.Morganzini yang menceritakannya padaku. Piteau dan
Mohlen secara kebetulan memergoki seorang perampok. Nanti, setelah gelap,
mereka akan merampas hasil rampokannya. Morganzini yang tahu rencana mereka.
Dia juga tahu di mana teman kalian ditahan.”

“Ceritamu kedengarannya agak berlebihan. Tapi aku tahu, kenyataan kadang-


kadang memang tidak masuk akal. Dan aku percaya bahwa kau mengatakan yang
sebenarnya. Kau beruntung, Schleich! Sebab seandainya aku merasa dibohongi,
maka kesehatanmu yang jadi korban."

Sporty menyepak Morganzini. “Ayo, bangun! Kita semua akan naik salah salu
taksi yang mangkal di depan hotel. Kita akan pergi ke tempat Petra ditahan. Dan
awas kalau kau tidak ingal jalannya! Sodokan tadi menu pembukaan. Aku takkan
memberi ampun kalau kau berani melawan."

Kemudian ia berpaling pada Oskar. “Tolong panggil Thomas di atas. Dan sekalian
ambil tongkat biliar. Setelah itu kita akan jalan-jalan naik taksi."
“Mudah-mudahan urusan ini bisa kita selesaikan sebelum waktu makan malam,”
ujar Oskar, kemudian bergegas masuk hotel.

***

Berulang kali Petra menggelengkan kepala. “Tapi saya tidak tahu apa-apa."

Ia berkeras. "Sungguh, saya betul-betul tidak tahu apa-apa. Saya tidak tahu apa
yang Anda inginkan dan saya. Mungkin... mungkin Anda telah menculik orang
yang salah. Saya belum pernah mendengar nama Prachpold. Sumpah!”

Ramirez berjalan mondar-mandir. Dengan gelisah ia mempermainkan kotak korek


api di tangannya. Bajingan itu telah mengancam untuk membakar rambut Petra.
Menurutnya, Peira pasti ngeri menghadapi ancaman seperti itu.

Namun ternyata gadis itu tetap ngotot bahwa ia tidak tahu apa-apa. Ramirez jadi
ragu-ragu. Jangan-jangan rekan-rekannya keliru.

“Tapi kalian telah mendatangi Prachold” si bandit berkata, ‘untuk memastikan


apakah memang dia orang yang kalian cari.”

“Kami tidak mendatangi siapa-siapa. Saya sama sekali tidak mengerti maksud
Anda."

Namun Ramirez sudah diberi informasi oleh Mohlen.

“Yang saya maksud adalah Tuan di kamar nomor 530.”

“Oh, Pak Vandental? Tapi... sebenarnya bukan itu namanya. Kami mengetok
kamar yang salah." jawab Petra sambil tersenyum malu. “Teman saya malah dua
kali mengganggu Tuan itu. Belakangan kami baru ketemu dengan Tuan Vandental
yang asli. Orangnya ternyata gendut sekali.”

Ramirez menggeleng-geleng. Langsung saja kepalanya mulai berdenyut-denyut


lagi.

"Saya, saya agak mual,” Petra mengeluh dengan suara yang mengibakan hati.
“Apakah saya boleh mengambil segelas air di dapur?"

Dapur rumah itu berada di sebelah ruangan tempat Petra disekap.


Ramirez mengangguk.

Namun pandangannya tak terlepas dan pintu dapur. Bagaimana sekarang? Ke mana
yang lain? Matahari sudah hampir tenggelam, tapi mereka belum muncul juga.
Padahal sudah waktunya untuk menelepon ke Hotel istana.

Petra masuk dapur dan mengamati ruangan itu. Sebenarnya ia tidak merasa mual
sama sekali. Ia memang dicekam ketakutan, dan jantungnya berdetak kencang, tapi
di kepalanya hanya ada satu pikiran: keluar dari rumah ini.

Sebuah penggorengan tergantung di dinding dapur. Penggorengan itu terbuat dari


besi. Beratnya sekitar tiga sampai empat kilo.

Petra membuka keran air, meraih sebuah gelas, mengambil penggorengan,


melangkah ke balik pintu, lalu mengumpulkan seluruh keberanian yang masih
tersisa. Kemudian ia melemparkan gelasnya ke lantai.

“To.. Tolong!”

Ramirez langsung menyerbu masuk Dalam hati ia menduga, ia akan menemukan


seorang gadis tergeletak pingsan. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa seorang
gadis manis seperti Petra bisa membela diri.

Petra membayangkan kembali bagaimana perlakuan Ramirez terhadap Thomas.


Kedua tangannya menggenggam tangkai penggorengan erat-erat.

Ketika kepala Raminez muncul dari balik pintu, Petra segera mengayunkan
senjatanya dengan sekuat tenaga.

Benturan yang terjadi menimbulkan suara seperti dua mobil balap yang
bertabrakan pada saat sedang melaju dengan kencang.

Sejak dihajar oleh Prachold, konclisi kepala Ramirez me,ang sudah agak
mengkhawatirkan. Kini keadaannya bertambah buruk saja.

Petra melepaskan penggorengan, lalu berlari menuju pintu keluar. Seluruh


tubuhnya gemetaran.

***
Sopir taksi itu sampai terheran-heran. Kelima penumpang yanq duduk di dalam
taksinya merupakan rombongan paling aneh yang pernah ia bawa: seorang pria
dewasa yang memakai setelan jas dan bernapas tersengal-sengal sambil
memegangi perutnya, satu laki-laki dewasa lagi yang mengenakan pakalan renang;
serta tiga pemuda yang masing-masing menggenggam tongkat dan memasang
wajah seram.

Ketiga sahabat STOP serta Morganzini duduk di belakang. Schleich duduk di


samping sopir. Sporty mengawasinya dengan ketat.

Morganzini menyebutkan tujuan mereka. Perjalanan ke sana ternyata tidak


memakan waktu banyak. Dalam beberapa menit saja taksi yang mereka tumpangi
sudah berhenti di depan rumah di ujung sebuah jalan buntu.

Sporty Ianqsung melompat turun.

“Esperor - tunggu." Ia berkata pada sopir taksi. Laki-laki itu mengangguk

"Kita akan menyerbu rumah ini.” ujar Sporty pada kedua sahabatnya. “Semua
orang yang menghalangi kita akan kita hajar, dan... Hei!”

Dengan perasaan kaget bercampur gembira Sporty melihat Petra, yang sedang
mengintip dan balik pintu.

Pada detik berikutnya, gadis itu telah berada dalam pelukan Sporty. Ia menangis
tersedu-sedu. Dengan sabar Sporty berusaha menenangkan Petra Sementara itu
Thomas dan Oskar mengawasi kedua bajingan yang masih duduk di dalam taksi.

Dua menit kemudian Petra baru bisa bercerita.

“Orang itu masih pingsan. Waktu sampai di sini, aku langsung dimasukkan ke
ruang bawah tanah. Ruangan itu tidak berjendela. Pintunya kokoh sekali. Mereka
mengancam akan bahwa aku akan melewatkan sisa hidupku di sana, kalau aku
tidak mengatakan yang sebenarnya. Kecuali itu, dia juga mengancam akan
membakar rambutku”

“Apakah ruangan itu bisa dikunci dari luar?" tanya Sporty, sambil membelai
rambut Petra “Kita perlu tempat untuk menyekap bajingan-bajingan ini."
Dalam sekejap Morganzini, Schleich, dan Ramirez telah berada di ruang bawah
tanah.

Ramirez sudah siuman lagi. Ia bisa berjalan tanpa bantuan orang lain, tetapi belum
menyadari apa yang terjadi di sekeiilingnya.

“Ahora a la policia - sekarang ke polisi."Sporty memberitahu si sopir taksi.

Anak-anak STOP beruntung. Capitan Viti yang mereka temui di comisaria -


kantor polisi - ternyata bisa berbahasa Jerman.

Terheran-heran ia mendengarkan laporan keempat sahabat. Laporan itu


menyangkut usaha penipuan asuransi, pemerasan, serta penculikan. Langsung saja
ia mengutus beberapa anak buahnya untuk menjemput para penjahat di rumah tadi.
Ia juga bersedia menelepon ke Jerman.
Sporty berpendapat bahwa sekarang sudah waktunya untuk menghubungi
Komisaris Glockner.

Petra yang pertama bicara dengan ayahnya. Kemudian Sporty melaporkan apa
yang telah terjadi di sini.

“Usaha kalian berhasil dengan gemilang." Komisaris Glockner memuji. “Tetapi


seharusnya kalian lebih cepat menghubungi saya atau para petugas polisi di sana.
Kalau begitu Petra takkan sempat diculik. Saya tahu, kalian pasti bermaksud
menggulung sendiri seluruh komplotan itu. Sekarang saya akan minta
tolong pada Capitan Viti untuk menangkap suami-istri Prachold serta Waldemar
Luschner. Tapi sebelumnya saya masih punya berita untuk kalian - mengenai Lisa
Prachold. Kalian tidak tahu bahwa wanita itu mempunyai seekor anjing Peking
bernama Bouboulette. Saya kebetulan pernah melihat anjing itu pada waktu saya
mendatangi Lisa Prachold di rumahnya. Nah, kemudian - setelah Lisa Prachoki
berangkat ke Spanyol - saya membaca berita di koran mengenai seekor anjing yang
ditemukan dalam keadaan telantar di hutan dekat rumah Lisa Prachold. Saya
langsung curiga, lalu pergi ke tempat penampungan hewan. Anjing itu ternyata
Bouboulette."

“Lisa Prachold ternyata benar-benar tidak mengenal belas kasihan,” ujar Sporty.
“Saya kira, wataknya malah lebih buruk dibandingkan suaminya. Sampai jumpa,
Pak Glockner.”

Sebuah mobil patroli ditugaskan untuk mengantar anak-anak STOP kembali ke


Hotel Istana. Keempat sahabat itu melihat sendiri bagaimana Lisa Prachold,
Waldemar Luschner, serta Heribert Steiner, alias Erik Prachoki, ditangkap polisi.
Para penjahat itu benar-benar tidak menyangka bahwa mereka akan diciduk.

Namun Heiko Mohlen tidak berhasil ditemukan. Ia tidak berada di hotel.

“Astaga!" seru Sporty. “Saya baru ingat! Rudi Schleich mengatakan bahwa
Mohlen dan rekannya yang bernama Piteau berhasil memergoki seorang
perampok. Mereka merencanakan untuk merampas hasil rampokan orang itu.
Morganzini yang tahu ceritanya. Mudah-mudahan dia juga tahu kapan dan di mana
kedua rekannya akan beraksi”

“Kalau begitu, sekarang juga saya akan kembali ke kantor untuk minta keterangan
dari dia” ujar Capitan Viti "Kalau yang mereka incar adalah perampok yang
beraksi di Malaga tadi siang - wah, ini benar-benar kejutan.”

***

Mohlen dan Piteau sudab melewatkan setengah jam dengan mengamati rumah
yang dipergunakan sebagai tempat persembunyian oleh Manuel Manolite.
Perampok itu berada di dalam. Beberapa kali ia memperlihatkan diri di balik
jendela. Sepertinya ia sangat gelisah.

“Dia pasti cemas karena mobilnya hilang,” Mohlen berkomentar. "Dia sadar bahwa
pencuri mobilnya pasti akan mengenali dia sebagai perampok yang sedang dicari-
cari oleh polisi. Tapi di pihak lain - seorang pencuri mobil sebenarnya rekan
seprofesi. Sekarang Manolite sedang menunggu untuk dihubungi. Dan itulah yang
akan kita lakukan. Tapi dengan cara yang tak diduganya, dan baru setelah gelap.
Para tetangga tidak perlu tahu apa yang terjadi. Lagi pula aku ingin tahu dulu
keterangan apa yang berhasil diperoleh Ramirez dan gadis itu. Kita tidak perlu
terburu-buru. Manolite tidak mungkin kabur."

Mereka memanggil taksi, lalu menuju tempat penyekapan Petra. Untuk berjaga-
jaga, mereka turun agak jauh lalu berjalan kaki.

Ketika suara sirene tiba-tiba terdengar di belakang mereka kedua bajingan ituu
masih sempat bersembunyi di balik tembok pekarangan. Kemudian mereka
menyaksikan bagaimana Sebleich, Ramirez, dan Morganzini, digiring oleh polisi
dengan tanqan terborgol.

Mohlen langsung pucat pasi. Rekannya mulai berkeringat dingin.


“Rencana kita gagal,” Mohlen berkata dengan sengit “Gagal total! Entah siapa
yang melakukan kesalahan. Pokoknya, kita berdua yang jadi sasaran berikut. Aku
yakin, polisi pasti sudah menunggu kedatangan kita di hotel. Berarti, Prachold dan
istrinya juga sudah ditangkap. Brengsek! Urusan ini boleh kita lupakan. Untung
kita masih bisa menyelamatkan diri. Kita harus kabur dari sini - secepatnya! Tapi
aku tidak mau pergi dengan tangan kosong. Kita akan mengunjungi Manolite
sekarang juga.”

***

Morganzini menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya. Tapi Capitan Viti


masih menunggu. Ketika matahari akhirnya tenggelam, Ia mulai membagi tugas
pada anak buahnya. Beberapa penembak tepat, yang masing-masing dilengkapi
dengan lampu sorot, ditempatkan di jalanan, dan di beberapa pekarangan yang
mengeliling rumah Manolite. Capitan Viti memantau persiapan anak buahnya
melalui walkie-talkie.

Tidak lama kemudian pemimpin satuan tugas itu melaporkan. “Senor Capitan,
semua petugas sudah siap pada pos masing-masing. Manolite ada di ruang tamu.
Dia berjalan mondar-mandir seperti orang gila. Sekarang dia menuangkan
minuman keras. dan.:. Hei! Mereka sudah datang. Dua orang, Senor Capitan. Pasti
Mohlen dan Piteau. Mereka memanjat lewat tembok yang membatasi sisi belakang
pekarangan. Mereka mengendap-endap menuju pintu belakang.”

***

Piteau hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk membuka pintu
belakang. Kemudian ia dan Mohlen memasang telinga. Dan dalam terdengar suara
minuman dituang. Mereka menyelinap masuk. Mohlen menutup pintu. Tanpa
bersuara mereka melewati dapur dan menuju ruang tamu. Mohlen maju selangkah
dan mengarahkan pistolnya pada si perampok.

Manolite berdiri seperti patung.

“Hehehe, kau pasti kaget,” ujar Mohlen dalam bahasa Spanyol. "Temanku ini yang
mencuri mobilmu. Aku tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, bukan? Mobilmu
boleh kauambil kembali dengan segala isinya. Tapi uangnya harus kauserahkan
pada kami! Mengerti?”"

Manolite terbengong-bengong. "Semuanya??? Apa kalian sudah gila?! Masa


semuanya? Setengahnya sih boleh-boleh saja.”
“Barangkali kami akan menyisihkan sedikit untukmu, kawan,” ujar Mohlen sambil
nyengir. “Tapi sekarang aku mau lihat uangnya dulu!”

Manolite nampak ragu-ragu. Namun ketika Mohlen menutupi pistolnya dengan


kantong kertas - sebagai peredam suara - ia akhirnya mengalah.

“Baiklah! Uangnya ada di ruang sebelah. Tapi aku minta..."

Pada detik yang sama, belasan lampu sorot tiba-tiba menyala secara berbarengan.
Cahaya yang terang-benderang terarah ke semua jendela. Dan melalui pengeras
suara terdengar suara Capitan Viti.

"Perhatian! Polisi! Rumah ini telah kami kepung. Ayo keluar satu per satu. Dengan
tangan terangkat dan tanpa senjata. Melawan tak ada gunanya. Saya ulangi..”

Malam itu, sel-sel di kantor polisi Marbella mendadak penuh sesak Penjahat-
penjahat itu telah berhasil diringkus. Berkali-kali mereka dimintai keterangan. Dan
akhirnya semua rencana terbongkar - termasuk rencana pembunuhan terhadap Erik
Prachold, yang didalangi oleh istrinya sendiri. Waldemar Luschner tetap berkeras
bahwa ia tidak terlibat tetapi tidak ada yang percaya padanya.

Suami-istri Prachold, serta Waldemar Luschner, akhirnya dihadapkan pada


pengadilan di Jerman. Ketiga-tiganya menerima hukuman yang setimpal dengan
perbuatan mereka.

Mohlen, Morganzini, Ramirez, dan Piteau, diadili di Spanyol. Mereka pun dikenai
hukuman berat.

Manuel Manolite, yang hanya kebetulan ikut terjaring, juga harus mendekam di
penjara selama beberapa tahun.

Selama beberapa hari peristiwa itu menjadi topik pembicaraan nomor satu di Hotel
Istana. Banyak tamu hotel yang terkejut karena sempat tinggal seatap dengan
penjahat-penjahat kelas kakap. Pihak direksi hotel menunjukkan rasa terima kasih
mereka dengan menyelenggarakan jamuan makan malam untuk menghormati
anak-anak STOP. Semua anggota rombongan Sauerlich menerima hadiah berlibur
gratis selama 14 hari. Semua biaya ditanggung oleh Hotel Istana. Ini berarti: paling
lambat musim panas mendatang mereka akan kembali berlibur di Marbella.
Tapi sekarang pun masih tersisa tiga
minggu lagi. Dan semuanya bersepakat untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan
yang berharga itu.

GM

Bukan untuk dikomersilkan.

Ebook DJVU

By: Ejo Hikaru

convert to other format by:

Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai