Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ILMU PENYAKIT BAKTERIAL DAN MIKAL


“Mikosis Kutan Dan Subkutan”

OLEH :
KELOMPOK 11
YUSTINA INDRAWATI (1609010030)
ELISE MARGARET BALLO (1609010038)
MARIA MELANI OVERA (1609010042)
ANDIANUS FRANSISKUS SURAK (1609010044)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSUTAS NUSA CENDANA
KUPANG
2018
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penyakit dapat diakibatkan oleh berbagai sebab dan salah satunya adalah jamur/fungi. Penyakit
yang disebabkan oleh jamur disebut mikosis. Mikosis dibagi menjadi empat kategori yaitu:
kutaneus, subkutaneus, sistemik, dan oportunistik. Mikosis kutaneus adalah infeksi jamur pada
bagian dermis kulit. Mikosis subkutan adalah infeksi jamur yang menyerang bagian bawah kulit atau
hipodermis, misalnya karena masuknya jamur akibat adanya cedera atau luka. Mikosis sistemik adalah
penyakit jamur yang mengenai alat dalam. Penyakit ini dapat terjadi karena jamur langsung masuk ke
alat dalam (misalnya paru), melalui luka, atau menyebar dari permukaan kulit atau alat dalam lain.
Mikosis oportunistik adalah infeksi yang berhubungan dengan jamur yang memiliki virulensi yang
rendah yang berarti bahwa pathogen ini terdiri dari jamur dalam jumlah yang tidak terbatas.

Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang mikosis kutaneus dan mikosis
subkutaneus baik pada hewan maupun pada manusia. Disekitar kita sering ditemukan penyakit
yang disebabkan oleh jamur, termasuk tanah, tanaman, pohon, dan bahkan pada kulit dan
bagian lain dari tubuh. Gejala infeksi jamur tergantung pada jenis dan lokasi di dalam tubuh.
Infeksi jamur mungkin ringan, dalam bentuk ruam atau masalah pernapasan ringan. Namun,
beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur bisa berat dan dapat menyebabkan komplikasi
serius dan kematian.

1.2 Tujuan
Mampu menjelaskan klasifikasi dan karakteristik etiologi, faktor virulensi, patogenesis, gejala
klinis dan teknik diagnostik laboratorik penyakit Fungi (mikosis) pada hewan.

2. Pembahasan
2.1 Mikosis Kutan
2.1.1 Dermatofitosis
Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan membentuk molekul yang
berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi untuk membentuk
kolonisasi. Dermatofitosis merupakan salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang
disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi hospes terhadap produk metabolit
jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan hidup. Dermatofitosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang
mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan.
2.1.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthtodermataceae
Genus : Microsporum, Trychophyton, Epidermophyton
Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan genus, spesies dan host
Genus Spesies Host Habitat
Microsporum Canis Kucing, anjing, kuda, rodents, manusia zoophilic
Equinium Kuda, kucing, anjing zoophilic
Gypseum Anjing, kucing, kuda manusia geophilic
Nanum Babi, manusia zoophilic
Persicolor Anjing. Kucing rodents zoophilic
Tricophyton Equinium Kuda. Anjing, kucing, manusia zoophilic
Erinacei Landak, anjing, kucing, manusia zoophilic
Mentagrophytes Kucing, anjing, rodents, manusia zoophilic
Verrucosum Sapi, domba, manusia zoophilic

2.1.1.2 Etiologi
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies
Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah
dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum
menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1
spesies Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku.
Tabel 2. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur
Penyebab

Nama penyakit Lokasi infeksi/ciri tertentu Jamur Penyebab


Tinea capitis kulit dan rambut kepala Microsporum (beberapa
spesies)
Trichophyton (beberapa
spesies kecuali T.
consentricum)
Tinea barbae dagu dan jenggot T. mentagrophytes, T.
rubrum,
T. violaceum, T. verrucosum,
T. megninii, M. canis
Tinea corporis pada permukaan kulit yang T. rubrum, T.
tidak mentagrophytes, M.
berambut kecuali telapak audouinii,
tangan, M. canis
telapak kaki, dan bokong.
Tinea imbrikata susunan skuama yang T. concentricum
konsentris
Tinea cruris bokong, genitalia, area E. floccosum
pubis, T. rubrum
perineal dan perianal T. mentagrophytes
Tinea pedis pada kaki T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum
Tinea manuum tangan T. rubrum
E. floccosum
T. mentagrophytes
Tinea unguium kuku jari tangan dan jari T. rubrum
kaki T. mentagrophytes

2.1.1.3 Evolusi dan distribusi


Dermatofita terjadi di seluruh dunia. Semua jamur ringworm mungkin berada di tanah, tetapi
sejumlah besar tampaknya telah meninggalkan keberadaan saprofit untuk menjadi
parasit. Proses adaptif ini tampaknya menyebabkan hilangnya keadaan sempurna (siklus
kehidupan seksual). Meningkatnya kemampuan beradaptasi pada host manusia dan hewan
dianggap menghasilkan penurunan secara bertahap dari kedua keadaan sempurna dan
kemampuan untuk menghasilkan spora aseksual.
Dermatophytes adalah parasit yang beradaptasi dengan host yang tinggi, meskipun beberapa
diantaranya, seperti Microsporum gypseum dan Microsporum nanum dapat bertahan untuk
waktu yang lama di dalam tanah. Jamur ringworm dikategorikan sebagai geophilic, zoophilic,
atau anthropophilic tergantung pada habitat dan preferensi host. Jamur geofilik berada di tanah,
sedangkan jamur zoophilic dan anthropophilic terutama ditemukan sebagai parasit \hewan dan
manusia. Beberapa memiliki kisaran inang yang luas, sedangkan yang lain hanya menginfeksi
beberapa spesies hewan.

2.1.1.4 Transmisi
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent “carrier”).
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung maupun
tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau
sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman
hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan
menimbulkan reaksi radang.

2.1.1.5 Gejala klinis


• Pada anak sapi, Lesi terdapat pada sekitar fascia dan mata. 2-3 bulan kemudian terlihat
lesi tebal, bulat, menonjol dengan batas jelas, warna putih keabuan. Lesi berkembang
ke arah perifer, dapat mencapai diameter 5- 10 cm.
• Kuda terdapat lesi pada bahu, fascia, dada dan punggung, rambut rontok, bersisik atau
berbentuk benjolan dengan luka yang cukup dalam dan alopesia
• Terdapat lesi padatelinga, daerah muka dan kaki. Kerusakan kulit, disertai bercak
kemerahan dengan rambut patah atau rambut rontok disertai keropeng dan bersisik.
• Pada domba perubahan pada kulit berupa erupsi disertai rambut rontok dengan
pembentukan sisik dan biasanya terdapat pada muka dan punggung.
• Pada unggas gejala klinis berupa bercak kecil berwarna putih kotor pada jengger,.
Selanjutnya pada bagian yang terluar dari bercak tersebut akan tertutup oleh lapisan
cendawan berbentuk seperti kerak berbutir.

2.1.1.6 Patogenesis
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non
spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa
hospes, serta kemampuan untuk menembus jaringan hospes, dan mampu bertahan dalam
lingkungan hospes, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia hospes untuk dapat
berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang.
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
a. Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit
yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan
memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas
proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator
plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi
hospes. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum
antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi
pada kulit.
b. Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora
melekat pada keratin. Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase,
lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Dalam upaya bertahan
menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa
cara:
 Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu
pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak
terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel,
sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
 Pengendalian, mengaktifkan mekanisme penghambatan imun hospes atau secara aktif
mengendalikan respons imun sehingga pertahanan menjadi tidak efektif, contohnya
Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag sehingga aktivasi makrofag akan terhambat.
 Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau
memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur
mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat
menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang
digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.
c. Respon imun hospes
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons cepat dan imunitas
adaptif yang memberikan respons lambat.
 Mekanisme pertahanan non spesifik
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari:
1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai barrier terhadap
masuknya dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu diperbarui dengan
keratinisasi sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang
menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap
dermatofitosis, termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi
imun yang dimediasi sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa pustul, secara
mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di
epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme
oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-
makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.
 Mekanisme pertahanan spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan imunitas
humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi
dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan
penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi.
Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi
infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen
dermatofit dan CMI.
Secara singkat patogenesis dari dermatofitosis dimulai dengan menempelnya jamur pada kulit
jika keadaannya cocok jamur akan tumbuh lalu mengeluarkan enzim keratolitik yang akan
menghancurkan keratin dari hospes sehingga jamurnya dapat bertumbuh dan berkembang
dengan baik dan semakin bertambah jumlahnya demikian pula dengan enzimnya sehingga
penyakitnya semakin meluas di kulit.

2.1.1.7 Diagnosis Laboratorium


Pertama, periksa pasien dalam gelap dengan lampu Wood (sinar ultraviolet yang disaring, 3650
A) dapat menunjukan adanya fluoresens pada jamur patogen tertentu. Jika ada, beberapa
rambut yang berfluoresensi diambil untuk pemeriksaan mikroskopis. Juga lepaskan bulu di tepi
lesi untuk diperiksa. Fluoresensi jika berwarna hijau atau biru kehijauan menunjukan terjadinya
penyakit tinea kapitis dan jika kuning keemasan berarti terjadi penyakit pitriasis versikolor.
Kedua, diagnosis dermatofitosis mudah ditegakan denagan pemeriksaan mikroskopik langsung
dari infeksi spesimen yaitu rambut, kuku, dan kerokan kulit diperiksa dengan 10% atau 20%
KOH di bawah cover glass untuk melihat adanya arthrospora atau hifa. Penetrasi dan kejelasan
dapat ditingkatkan dengan penambahan DMSO (36%; dimethylsulfoxide) ke KOH (20%;
kalium hidroksida).
Ketiga, beberapa dermatifita dapat diidentifikasi berdasarkan kultur primernya dan banyak
juga dermatofita yang membutuhkan diferensiasi lebih lanjut berdasarkan media kultur yang
spesifik atau melalui tes biokimia yang spesifik. Kultur pada dermatofitosis ditujukan untuk
melihat mikrokonidia dan makrokonidia pada dermatofita penyebab infeksi. Berbagai media
yang umum digunakan adalah Sabourad’s Dextrose Agar (SDA) dan Dermatophyte Test
Medium (DTM).

2.2 Mikosis Subkutan


2.2.1 Sporotrichosis
Sporotrichosis merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh dimorfik fungus
(jamur)Sporothrix schenckii. Sporotrichosis biasanya menyerang kulit dan sistem pernafasan,
namun penyakit ini juga dapat menyerang tulang dan otak. Penyakit ini disebabkan oleh spora
jamur yang masuk ke dalam tubuh melalui luka abrasi atau melalui udara yang masuk ke
saluran pernafasan. Kontak dengan luka yang terkontaminasi spora Sporothrix juga dapat
menularkan penyakit Sporotrichosis.
Kucing yang terkena Sporotrichosis akan cenderung menularkannya pada kucing lain atau pun
pada manusia. Spora Sporothrix biasanya berasal dari tanah dan tumbuh-tumbuhan. Spora ini
juga dapat dibawa oleh hewan yang terinfeksi. Kucing merupakan hewan yang mudah sekali
terinfeksi Sporothrix karena sangat sering ditemukan di lingkungan sekitar. Terlebih waktu
birahi pada kucing membuat kucing suka berkeliaran sehingga rentan terjangkit Sporotrichosis.
Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya penularan penyakit ini baiknya kucing dipelihara
di dalam rumah. Sterilisasi yang dilakukan pada kucing juga dapat mencegah kucing keluar
rumah sehingga dapat menghindari kontaminasi penyakit ini.
Transmisi sporotrichosis dapat terjadi melalui lingkungan sekitar (seperti adanya kontak antara
kulit yang luka dengan Spora fungus) dan dari hewan terinfeksi.

2.2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi Jamur Penyebab penyakit Sporotrichosis yaitu jamur Sporothrix schenckii
Kingdom : Fungi
Division : Ascomycota
Class : Euascomycetes
Order : Ophiostomatales
Family : Ophiostomataceae
Genus : Sporothrix
Spesies : Sporothrix schenckii

2.2.1.2 Karakteristik
Sporothrix schenckii adalah jamur yang sering ditemukan di semak-semak bunga mawar,
barberi, lumut sfagnum dan jerami. Ia tampak sebagai sel-sel bertunas yang gram-positif,
berbentuk bulat kecil sampai berbentuk cerutu dan merupakan jamur dimorfik. Pada biakan
dalam suhu kamar dengan agar Sabouraud, dalam 3-5 hari terbentuk koloni-koloni berwarna
cokelat sampai hitam, melipat, menyerupai kulit (pembentukan pigmen dari berbagai strain S
schenckii bervariasi). Konidia sederhana berbentuk ovoid terdapat berkelompok pada ujung
konidiofor yang ramping dan panjang (menyerupai bunga aster). Biakan pada suhu 37◦C akan
menghasilkan sel-sel bertunas berbentuk sferis sampai ovoid. Koloni-koloni mudanya kadang
berwarna putih pada suhu 25◦C atau ketika diinkubasi pada suhu 37°C untuk menghasilkan
fase ragi sebagai salah satu bentuk dimorfiknya. Sedangkan koloni-koloni yang lebih tua akan
menjadi berwarna hitam untuk memproduksi konidia hitam yang nantinya akan muncul
langsung dari hifa sebagai fase keduanya. Demikanlah proses tersebut terus berjalan hingga
terbentuk lagi generasi berikutnya.

2.2.1.3 Etiologi
Telah disebutkan bahwa sporotrikosis disebabkan oleh jamur Sporothrix schenkii, termasuk dalam
genus Sporotrichum jamur ini memiliki 2 bentuk yaitu bentuk m i s e l i a l d a n b e n t u k r a g i
( yeast). Sporothrix schenckii yang dapat hidup di tanah, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sayuran
yang telah membusuk. Spora jamur masuk ke dalam tubuh melalui luka pada kulit dan sangat
jarang melalui inhalasi. Keadaan imunitas seseorang sangat berperan dalam mendapatkan
infeksi sporotrikosis. Penyakit ini dapat mengenai organ lain, seperti paru, tulang, sendi,
selaput lendir dan susunan saraf pusat
Bentuk miselial ditandai dengan adanya hifa ramping yang bersepta dan bercabang yang
mengandung konidiofor tipis yang pada ujungnya membentuk vesikel kecil yang bergabung
membentuk dentikel. Tiap dentikel menghasilakn satu konidium dengan ukuran kira-kira 2-4
µm dan konidia ini membentuk seperti gambaran bunga.
Gambar 1. gambar konidiofor dan konidia dari jamur Sporothrix schenkii
Sedangkan bentuk ragi dari jamur Sporothrix schenkii . Menunjukkan bentuk spindle dan/atau
oval dengan ukuran 2,5-5 µm dan menyerupai bentuk cerutu. Biakan secara invitro
dapat menunjukkan gambaran miselial pada suhu 25ºC, sedangkan gambaran
ragidapat ditemukan pada biakan dengan temperatur 37 ºC.

Gambar 2. Gambar bentuk ragi dari jamur Sporothrix schenkii

2.2.1.4 Faktor virulensi


a. Produksi Melanin
S. schenckii mensintesis melanin baik secara in vitro dan in vivo Produksi melanin
merupakan faktor virulensi yang ditemukan pada banyak jamur yang menyebabkan
penyakit dan produksinya di S. schenckii melindungi jamur dari stres oksidatif serta sinar
ultraviolet dan makrofag pembunuhan. Melanin telah terbukti disintesis menggunakan jalur
pentaketide 1,8-DHN (bawah).

Gambar 3. Struktur beberapa intermediet di jalur pentaketide biosintesis melanin di S.


schenckii
b. Adhesins
Adhesi merupakan komponen penting dari patogenesis. Bentuk ragi S. schenckii menunjukkan
peningkatan kemampuan untuk mengikat ke host matriks matriks ekstraseluler fibronektin dan
laminin menggunakan dua reseptor terpisah khusus untuk protein ini.

c. Protease
S. schenckii memecah protein dengan memproduksi dua protease terpisah, protease
serin dan protease aspartat . Protease ini tampaknya penting untuk pertumbuhan
jamur. Namun, mereka memiliki beberapa tumpang tindih fungsional sebagai inaktivasi
protein baik tidak mempengaruhi pertumbuhan tetapi inaktivasi keduanya menghambat
jamur. Aktivitas protease telah terbukti penting dalam infeksi in vivo pada tikus. Substrat
untuk protease ini termasuk protein kulit tipe-I kolagen , stratum korneum , dan elastin .

d. Heat Tolerance
Tumbuh pada suhu tubuh host (37 ° C (99 ° F)) merupakan persyaratan penting untuk
patogenesis. Beberapa strain S. schenckii terbatas untuk tumbuh pada 35 ° C (95 ° F) dan
akibatnya biasanya menyebabkan penyakit hanya pada kulit karena lebih dingin daripada
interior tubuh. Mereka yang mampu tumbuh pada suhu tubuh lebih sering dikaitkan dengan
penyakit disebarluaskan.

2.2.1.5 Patogenesis
Protease adalah faktor virulensi yang mungkin dari S. schenckii. Telah dicatat bahwa
komposisi gula dinding sel juga mencerminkan virulensi. Bentuk yang lebih ganas memiliki
rhamnose: rasio molar manosa 1,7: 1,0, sedangkan bentuk avirulen memiliki rasio 1,0: 1,7.
Hubungan pengamatan ini dengan virulensi belum ditentukan.
Sporothriz schenkii dijumpai di tanah, kayu, tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan kasus
soportrichosis di dapat dari lingkungan, sebagai akibat dari kontak antara kulit yang luka
dengan spora jamur. Luka penetrasi dari tumbuhan mati sering menjadi infeksi. Gigitan,
garukan, cakaran dan sengatan dapat juga menginokulasikan organisme ke dalam luka melalui
spora yang terbawa kepermukaan tubuh.
Perjalanan penyakit termauk keluhan utama dan keluhan tambahan. Spora masuk melalui luka.
Mula-mula timbul papula atau nodula subkutan, disusul pembengkakan proksimal dari lesi.
Papula atau nodula tersebut kemudian pecah membentuk ulkus granulomatosa disertai
perdangan pembuluh limfe yang menyebar mengikuti aliran pembuluh limfe.
Infeksi pada manusia dan beberapa hewan ditandai dengan pembentukan nodul subkutan atau
pyogranuloma. Organisme biasanya menembus luka di kulit dan menyebar melalui
limfatik. Bentuk pertumbuhan adalah blastokonidia. Nodul-nodul tersebut akhirnya
membusukan dan mengeluarkan nanah. Keterlibatan tulang, sendi, dan organ visceral dengan
terminasi fatal jarang terjadi tetapi telah dilaporkan pada anjing, kucing, dan kuda. Infeksi telah
dijelaskan pada manusia dan pada anjing, kucing, kuda, keledai, keledai, unta, sapi, unggas,
dan hewan liar lainnya.

2.2.1.6 Gejala klinis


Lesi sporotrichosis pada kucing sering ditemukan pada ekstermitas, muka, hidung. Dimulai
dari luka kecil yang kemudian membentuk nodul berulserasi atau supurasi. Kucing akan
menunjukkan penurunan bobot badan, anoreksia, demam, depresi hingga dispenea jika lesi
sudah menyebar.

Sporotrichosis dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk: limfokutan, kutaneus, dan


disebarluaskan(disseminated). Bentuk limfokutan adalah yang paling umum. Kecil, dermal
kuat untuk nodul subkutan, berdiameter 1-3 cm, berkembang di tempat inokulasi. Ketika
infeksi naik di sepanjang pembuluh limfatik, cording dan nodul baru berkembang. Lesi
memborok dan mengeluarkan eksudat serohemorrhagic. Pada kucing, lesi paling sering terlihat
di kepala, terutama pada hidung dan pinnae. Meskipun penyakit sistemik tidak terlihat pada
awalnya, penyakit kronis dapat menyebabkan demam, lesu, dan depresi. Tanda-tanda
pernapasan dapat terlihat. Bentuk kulit cenderung tetap terlokalisir ke tempat inokulasi,
meskipun lesi mungkin multisentris. Disseminated ( menyebar ke jaringan lain menuju tempat
infeksi ) Sporotrichosis jarang tetapi berpotensi fatal dan dapat berkembang dengan
mengabaikan bentuk kulit dan limfokutan atau jika hewan tidak diobati dengan
kortikosteroid. Infeksi berkembang melalui hematogen atau jaringan menyebar dari tempat
awal inokulasi ke tulang, paru-paru, hati, limpa, testis, saluran pencernaan, atau CNS.
Gambar 4. Feline sporotrichosis. (1) lesi yang terletak di wajah,
(2) ulkus di jembatan hidung

2.2.1.7 Diagnosa Laboratorium


Peneguhan diagnosa sporotrichosis dapat melalui evaluasi sitologik (mikroskopis) sampel yang
diperoleh melalui aspirasi abses atau nodul, ulas lesi eksudat, ulas dari spesimen swab atau
kerokan kulit.
Pemeriksaan Langsung
Dalam nanah dan jaringan, organisme ini muncul sebagai tubuh berbentuk cerutu bersel satu,
biasanya dalam neutrofil. Struktur-struktur ini (fase ragi) sangat sulit untuk didemonstrasikan
dalam noda bernoda dan tunggul basah nanah dan kerokan jaringan kecuali pada spesimen
kucing, yang mengandung banyak sel ragi. Fluorescenil antibodi, asam periodik-Schiff, dan
pewarnaan putih calcofluor bahan klinis sering menghasilkan hasil yang positif. Karakteristik
"tubuh asteroid" yang terdiri dari kelompok sel ragi dengan sinar cosinofilik perifer terlihat di
bagian jaringan.

Diagnosis Laboratorium
Diagnosa:

Gambar 5. Sporothrix schenckii, tissue smear


Diagnosis dapat dilakukan dengan kultur (sampel yang diperoleh dari lesi yang belum dibuka)
atau pemeriksaan mikroskopis dari spesimen eksudat atau biopsi. Dalam jaringan dan eksudat,
organisme ini hadir hanya sedikit, berbentuk banyak, sel tunggal dalam makrofag. Sel-sel
jamur pleomorfik dan kecil (2-10x1-3 μm); tunas dapat hadir dan memberikan penampilan
dayung ping-pong. Teknik antibodi fluoresen telah digunakan untuk mengidentifikasi sel-sel
mirip ragi dalam jaringan. Pada spesies selain kucing, organisme Sporothrix sering jarang di
dalam eksudat dan jaringan yang terinfeksi, sehingga diagnosis biasanya membutuhkan
kultur. Dalam budaya, miselium sejati diproduksi, dengan halus, bercabang, septate hyphae
yang mengandung konidia berbentuk buah pir pada konidiofor ramping.

2.2.2 Phaeohyphomycosis
2.2.2.1 Karakteristik Etiologi
Phaeohyphomycosis disebabkan oleh Dematiaceous fungi (jamur yang dinding selnya
berwarna kecoklatan karena mengandung pigmen melanosit) yang karakteristik morfologi
dalam jaringan termasuk hifa, sel seperti ragi, atau kombinasi dari keduanya ini seperti
Wangiella dermatitidis, Exophiala jeanselmei, Philophora verrucosa, Aureobasidium
pullulans, spesies Alternania, Cladophialophora bantiana, Cochliobolus spicifera, spesies
Ulocladium, Moniliella suaveolens, spesies Stemphylium.
Jamur dalam kategori ini adalah organisme saprofit yang terdistribusi luas terutama wilayah
tropis yang ditemukan di tanah, air, dan bahan nabati yang membusuk. Infeksi dapat terjadi
akibat implantasi jamur ke jaringan di tempat cedera.

2.2.2.2 Faktor Virulensi


Melanin
Adanya melanin pada dinding sel menimbulkan adaptasi jamur terhadap perubahan lingkungan
seperti radiasi ultraviolet dan temperatur yang ekstrim. Melanin menimbulkan daya tahan
jamur selama proses infeksi, melindungi jamur dari reactive oxygen speciesdan berperan
sebagai suatu antioksidan. Melanin juga berperan untuk integritas dinding sel yang penting
dalam proteksi terhadap agen antijamur pada permukaan sel. Peranan melanin dalam interaksi
antara hospes dan patogen adalah bahwa melanin kemungkinan melindungi sel patogen karena
efek antioksidan serta oleh adanya efek pada permukaan dinding sel yang merupakan
perlindungan terhadap sejumlah efektor imunitas selular.
Karotenoid dan Mycosporine
Zat pelindung seperti karotenoid dan mycosporine merupakan adaptasi fisiologis pasif yang
memungkinkan jamur hitam sangat tahan terhadap tekanan lingkungan.
Radikal bebas
Kapsul
Membantu organisme tersebut menghindar dari respons sistem imun, yaitu melindungi patogen
dari fagositosis dan penghancuran oleh neutrofil, monosit, dan makrofag. Kapsul ini dapat
menghambat migrasi leukosit dari aliran darah ke tempat inflamasi sehingga berguna dalam
invasi organisme dan memudahkan berkembangnya infeksi.

2.2.2.3 Patogenesis
Bentuk klinis dari berbagai phaeohyphomycosis dari infeksi superfisial terlokalisasi dari
stratum korneum (tinea nigra) ke kista subkutan (kista phaeomycotic) ke invasi otak.
Phaeohyphomycosis subkutan: Infeksi subkutan terjadi di seluruh dunia, biasanya mengikuti
implantasi traumatik unsur-unsur jamur dari tanah yang terkontaminasi, duri atau serpihan
kayu.
Paranasal sinus phaeohyphomycosis: Sinusitis yang disebabkan oleh jamur dematiaceous,
khususnya spesies Bipolaris, Exserohilum, Curvularia dan Alternaria semakin sering
dilaporkan, terutama pada pasien dengan riwayat rinitis alergi atau imunosupresi.
Phaeohyphomycosis serebral: Phaeohyphomycosis serebral adalah infeksi yang jarang terjadi,
terjadi terutama pada pasien imunosupresif setelah menghirup konidia.

2.2.2.4 Gejala Klinis


Presentasi klinis yang paling umum termasuk nodul kutaneus ulserasi pada jari-jari, pinnae,
abses atau kista dan lesi yang menyebar ke seluruh tubuh. Nodul-nodul tersebut dapat
mengalami ulserasi dan telah mengeringkan saluran fistula.

2.2.2.5 Diagnosa Laboratorium


Spesimen klinis : Kerokan kulit dan / atau biopsi; dahak; cairan serebrospinal, cairan pleura
dan darah; biopsi jaringan dari berbagai organ visceral.
Kultur (untuk mengidentifikasi genus dan spesies dari agen etiologi)
Spesimen klinis harus diinokulasi ke media isolasi primer, seperti Sabouraud dextrose agar
(SDA). Lalu diinkubasi pada 25ºC selama 2-4 minggu kemudian diidentifikasi.
Prinsip Pemeriksaan:
Sabouraud’s Dextrose Agar merupakan media yang mengandung pepton, glukosa, dan dengan
pH rendah yang optimal bagi jamur. Pepton merupakan sumber nitrogen sedangkan glukosa
merupakan sumber energi untuk pertumbuhan jamur. Glukosa dalam konsentrasi tinggi
memberikan suatu keuntungan dalam pertumbuhan jamur.

Mikroskop (karakteristik morfologi dari agen etiologi)


 Kerokan kulit, sputum, pencucian bronkus dan aspirasi harus diperiksa menggunakan 10%
KOH dan tinta Parker;
 Exudates dan cairan tubuh harus disentrifugasi dan sedimen diperiksa menggunakan baik
10% KOH dan tinta Parker,
 Bagian jaringan harus diwarnai menggunakan HE, digest PAS, dan Grocott's methenamine
silver (GMS).
Secara mikroskopis, agen-agen etiologi hadir sebagai elemen ragi, pseudo-hyphae, hifa septate,
hifa yang bercabang (pendek atau panjang; teratur atau meringkuk) atau kombinasi dari temuan
ini dengan warna kecoklatan.

Gambar 6. Phaeohyphomycosis. (a) Nodul merah muda keabu-abuan di pergelangan kaki


kanan. (B) Phialemoniopsis endophytica. Permukaan koloni setelah 56 hari inkubasi pada
Sabouraud dextrose agar (SDA) pada 27°C. (c) Kultur slide setelah 14 hari inkubasi. (D)
Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) menunjukkan mikro-organisme dalam sel raksasa
multinuklear (panah). (e) Grocott-Gomori's methenamine silver stain. (f) Kista subkutan di
tangan kanan. (g) Exophiala jeanselmei. Permukaan koloni setelah 14 hari inkubasi pada
Sabouraud dextrose agar (SDA) pada 27 ° C. (h) Kultur slide setelah 14 hari inkubasi. (c – e,
h: pembesaran asli 400x. c, h Lactophenol cotton blue stain.)

2.2.3 Rhinosporidiosis
Rhinosporidiosis adalah infeksi granulomatosa kronis yang tidak menular, sporadis, yang
ditandai dengan produksi polip yang luas. Polip terjadi terutama di daerah hidung, mata dan
kadang-kadang pada kulit kuda, sapi, anjing, kucing, dan burung air . Daerah tropis dan
subtropis dipertimbangkan menjadi daerah endemik. Rhinosporidiosis telah dilaporkan terjadi
di lebih dari 70 negara dan jumlah terbesar kasus rhinosporidiosis tercatat di India dan Sri
Lanka.
Rhinosporidium seeberi adalah patogen eukariotik yang menyebakan penyakit ini dan
merupakan jamur yang berada di alam (air ). Tanah dan air menyimpan spora dari patogen ini
dan karenanya air dan tanah bertindak sebagai reservoir untuk patogen ini ( Rath e t al., 2015).
Rhinosporidiosis diperoleh dengan menghirup spora dari materi yang membusuk, tanah yang
terkontaminasi atau air yang tergenang. Modus infeksi dapat melalui penetrasi transepitelial.
Banyaknya sungai dan danau adalah faktor predisposisi kuat untuk rhinosporidiosis.
Rhinosporidium seeberi tampak sebagai sporangium dalam berbagai stadium di jaringan.
Sporangium matang berdiameter 100 - 350 μm dengan dinding setebal 3 - 5 μm, terdiri atas
lapisan hialin di bagian dalam dan lapisan eosinofilik di luar. Sporangium berisi sejumlah
endospora yang membentuk patogen yang ukurannya berkisar dari 60-450 mikron atau lebih.
Mungkin ada sekitar 12.000 spora di dalam sporangia matang. Spora ini bisa berkisar dari 7-
15 mikrometer dengan diameter yang bisa dilewatkan melalui pori-pori ( Herr dkk., 1999b ).

2.2.3.1 Klasifikasi
Domain : Eukaryota
(unranked) : Opisthokonta
(unranked) : Holozoa
Kelas : Mesomycetozoea
Ordo : Dermocystida
Genus : Rhinosporidium
Spesies : R. seeberi

2.2.3.2 Etiologi
Rhinosporidium spp adalah jamur oportunistik saprofit yang secara umum diklasifikasikan
memiliki satu spesies,yakni Rhinosporidium seeberi yang dapat menyebabkan rhinosporidiosis
pada manusia, kuda, sapi, dan pada tingkat yang lebih rendah seperti anjing, kucing, rubah, dan
burung.

2.2.3.3 Patogen, gejala klinis dan lesi


R. seeberi adalah penghuni alami air yang terkontaminasi dan partikel debu mengandung spora.
Saat minum air, mukosa hidung terabrasi mungkin mendapatkan infeksi dan memalui debu
yang terhirup. Ini tidak menular atau menular melalui kontak seksual. Di negara-negara kering
seperti itu India dan Iran bentuk yang paling umum adalah pada mata terbentuk melalui fomit
debu. Kasus-kasus lebih sering diamati berada di dekat daerah rawa karena terkontaminasi air
berfungsi sebagai sumber infeksi, maka sebelumnya dianggap sebagai jamur akuatik. Ini
menunjukkan kemungkinan kemungkinan sinergisme di antara mikro-organisme akuatik dan
Rhinosporidium seeberi untuk penyebaran infeksi melalui genangan air. Penularan dapat
terjadi melalui kontak langsung dengan jamur spora melalui aerosol, menghirup partikel debu,
pakaian yang terinfeksi dan melalui berenang di dalam air yang terkontaminasi (Reddy dan
Lakshminarayana, 1962; Venbreuseghem, 1976).
Setelah masuknya pathogen atau spora kemudian menuju tempat target utama yaitu membran
mukosa dari rongga hidung dan nasofaring (dalam 70% insiden), lebih jarang pada konjungtiva
atau selaput lendir mata tetapi bagian lain seperti mukosa palatum mulut, bibir, epiglotis,
bronkus, laring, trakea, genitalia eksternal, tulang, rektum dan uretra mungkin juga
mendapatkan infeksi, meskipun telinga, rongga bukal, pharynx, anus, vulva, penis dan jaringan
kulit jarang mendapat infeksi (Srinivasa, 1962; Rao et al., 1965). Dalam studi yang dilaporkan
sistem parotid saliva juga menunjukkan presentasi luar biasa ekstra hidung untuk
rhinosporidiosis (Mahadevan, 1952; Kini et al., 2001). Gejala klinis dapat dimulai dengan
epistaksis, ketidaknyamanan, sumbatan hidung dan rinorea mukopurulen. Nyeri juga terjadi
karena lesi papillomatous berukuran besar yang menghalangi saluran hidung atau bagian yang
terkena dan menerapkan tekanan pada saraf dan pembuluh darah di dekatnya. Tergantung pada
tahap siklus hidup, status host dan situs yang terkena gejala dapat bervariasi.
Penyakit ini dimulai dengan pembentukan massa kecil yang merosot menjadi polip yang rapuh
dengan warna berbeda sesuai warna sporangia yang bervariasi dari putih, kuning, abu-abu, dan
merah muda hingga ungu. Gejala klinis dapat disajikan dalam empat bentuk: hidung, okular,
cutaneous dan diseminata.
 Bentuk Hidung
Ini adalah bentuk paling umum dari rhinosporidiosis, ditandai dengan epitaxis dan
pengembangan dari sessile, pink ke ungu, polip peduncular seperti hidung obstruksi yang dapat
terjadi secara unilateral atau bilateral di saluran pernapasan bagian atas luar biasa pada anterior
nares, nasal septum, konka inferior dan di lantai dari rongga hidung diisi dengan materi
granular berwarna abu-abu buram atau putih. Polip mungkin juga terletak pada langit-langit,
laring dan nasofaring. Regresi alami polip hidung kadang juga bisa terjadi.
 Bentuk Okuler
Bentuk ini dimulai sebagai pertumbuhan yang tidak sessile, yang memburuk polip peduncular
yang rapuh di mata. Sesuai ukuran gejala pertumbuhan robek, keluar, mata kemerahan,
fotofobia, eversi penutup, dan infeksi konjungtiva mungkin muncul. Polip yang terbentuk di
mata kebanyakan datar, relatif lunak, kebiruan atau merah muda sampai kemerahan warna,
lobular dan mengekspresikan pin berukuran kepala karena bintik-bintik untuk kehadiran
sporangia matang yang mendasari. Biasanya 15% dari infeksi rhinosporidial bertahan hidup di
bulbar dan konjungtiva palpebra, sakus lakrimal dan naso-lakrimal saluran terdiri dari bentuk
ocular Rhinosporidiosis. Ada bukti bahwa predileksi primer situs rhinosporidiosis adalah
kantung lakrimal dari mana infeksi menyebar ke bawah melalui naso-lacrimal saluran ke
bagian hidung untuk pembentukan polip.
 Bentuk Cutaneous
Lesi ini biasanya terjadi sebagai papila kecil yang menjadi seperti kutil dengan permukaan
yang basah, yang mudah berkembang menjadi ulkus dan terinfeksi tetapi jarang menjadi
peduncular.
 Bentuk Diseminata
Bentuk ini jarang dilaporkan jika ada ditandai dengan kehadiran spherule R. seeberi di tulang,
hati, paru-paru, viscera, limpa, batang tubuh, anggota badan dan otak saat otopsi. Jika otak
terlibat, penyakit bisa menjadi fatal, sementara jika anggota tubuh terkena pembongkaran
bertahap tulang yang adalah fitur penting. Manifestasi kulit secara kasar dapat terjadi dalam
bentuk tanpa rasa sakit besar, tunggal atau banyak, sessile atau bertangkai lesi polypoid
pseudotumoral pada mukosa, lesi vaskular papillomatous dari hidung atau polip uretra,
papiloma atau kutil yang tumbuh lambat seperti pertumbuhan noninfiltasi sebagian besar di
rongga hidung (Vallarelli et al., 2011). Terkadang, massa jaringan lunak yang rapuh
menyerupai warna stroberi atau kemerahan karena peningkatan vaskularisasi baik secara
unilateral atau bilateral atau mikroabses juga bisa hadir rongga hidung. Selain sumbatan
hidung, sistemik dan bentuk penyakit kulit juga didokumentasikan (Rajam et al., 1955).
Pemeriksaan mikroskopis histologis mengungkapkan hiperplasia multifokal dan ulserasi pada
mukosa, epitelium hiperplastik terutama di dalam mukosa lamina propria, sangat
tervaskularisasi dengan jaringan ikat fibromyxomatous, sejumlah besar R. seeberi dengan
morfologi variabel dalam juvenile dan sporangia matang dapat dilihat oleh PAS dan Mayer
Mucicarmin stain. Kadang-kadang, hiperemia ringan, pendarahan multifokal ringan sugestif
vascular invasi, daerah fokal nekrotik pada submukosa atau kadang-kadang hemosiderosis
multifokal ringan mungkin juga hadir. Mukosa hidung yang meradang dapat diinfiltrasi dengan
neutrofil (sel polimorfonuklear), eosinofil, limfosit, sel plasma (plasmocytes), mastosit, giant
cell dan histiosit bersama dengan edema dan banyak sporangiospora jamur di dalam
sporangium. Ukuran sporangium bisa berkisar 10 hingga 180 μm dengan diameter,
melampirkan sporangiospora sekitar Ukuran 2 hingga 5 μm atau dapat bervariasi sering.
Kematangan datang keluar melalui permukaan epitel dan melepaskan banyak endospora ke
eksudat nasal.
Numerousneutrofil hadir di sekitar freeendospores sementara sel inflamasi kronis termasuk
macrophages, giant cell dan limfosit membentuk bagian dari fibro-myxomatous atau stroma
fibrosa. Dalam stroma giant cel dapat terjadi di sporangia dan juga fibrosis yang menonjol
terutama di lokasi tubuh non-pernapasan. Polymorphonuclear leukocyticresponse kebanyakan
diamati di lokasi pecahnya sporangia. Sel epiteloid granulomatosa dan respon giant sel diamati
pada 47% kasus. Transepitelial migrasi sporangia diamati pada 76% kasus (Makannavar dan
Chavan 2001).

2.2.3.4 Diagnosa Laboratorium


 Pemeriksaan Langsung
Oleh karena Rhinosporidium seeberi tidak dapat dikultur, maka pemeriksaan langsung dengan
melihat pertumbuhan polipoid dan pemeriksaan histologi merupakan satu-satunya jalan untuk
menegakkan diagnosa. Dengan melihat permukaan dari polip tersebut dapat terlihat adanya
bintik-bintik putih kecil yang merupakan sporangia, terletak di daerah superfisial. Adanya
eksudat yang mukoid pada permukaan lesi menunjukkan adanya kumpulan spora-spora dari
sporangia. Pemeriksaan mikroskopis dari potongan jaringan yang telah diwarnai dan potongan
sporangia dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis. Dengan aspirasi sitologi dapat terlihat
gambaran sel-sel jamur yang bulat dengan dinding yang jelas seperti kista (sporangia) dengan
diameter sampai 0,5 mm, yang didalamnya terdapat banyak sekali endospora yang melingkar
dengan diameter 6-7µm.
Sporangia dari Rhinosporidium seeberi dapat dibedakan dengan Coccidioides immitis, dimana
ukuran sporangia Rhinosporidium lebih besar dan dindingnya lebih tebal dibanding pada
C.immitis. Pada coccidioides ukuran sporangia lebih kecil dari 60µm.
 Diagnosa Banding
Penegakkan diagnosa tidak sulit dengan pemeriksaan histopatologi, tanpa melakukan
pewarnaan jamur. Gambaran dari lesi yang khas membantu penegakkan diagnosa. Lesi pada
hidung dapat didiagnosa bandingkan dengan polip akibat alergi. Lesi pada vagina mirip dengan
gambaran kondilomata. Lesi pada rektum terlihat seperti gambaran hemorrhoid internal.
Rhinosporidiosis kulit dapat didiagnosabandingkan dengan warts, tuberculosis verrukosa dan
granuloma pyogenikum.

2.2.4 Cutaneous pythiosis (rawa kanker)


Phythiosis adalah penyakit kulit kronis pada sebagian besar hewan seperti kuda, sapi, dan
anjing yang paling sering terjadi di daerah dengan iklim tropis dan sub-tropis seperti Asia
Tenggara, pantai timur Australia, Amerika Selatan, dan Amerika Serikat. (Di Amerika Serikat,
ini paling sering ditemukan di negara-negara Teluk Selatan, terutama Louisiana, Florida, dan
Texas, tetapi juga telah dilaporkan sejauh California dan Wisconsin).
Penyakit ini yang disebabkan oleh organisme air seperti jamur yang disebut Pythium
insidiosum. Pythium insidiosum terutama ditemukan dalam air dan kadang-kadang pada tanah.
Patogen ini beradaptasi dengan baik untuk suhu tubuh mamalia, dengan suhu optimum untuk
pertumbuhan 34–36°C (93–97°F). Dinding sel Pythium insidiosum terdiri dari β-glucans
(dibandingkan dengan dinding kitin dari fungi), dan membran sitoplasmanya tidak memiliki
sterol.

2.2.4.1 Klasifikasi
Phylum : Heterokontophyta
Class : Oomycota
Ordo : Perohosporales
Family : Pythiaceae
Genus : Pythium
Spesies : P. insidiosum
2.2.4.2 Patogenesis
Setelah zoospora bersentuhan dengan permukaan jaringan yang terluka, zoospora yang
dienkode mensekresi glikoprotein amorf lengket yang memediasi adhesi zoospora ke jaringan
sebelum memasuki jaringan (Mendoza et al., 1993, 1996). Zoospora yang dienkode
dirangsang oleh suhu tubuh host dan kemudian mengembangkan tabung kuman (hifa) yang
memanjang dari zoospora ke dalam jaringan yang terinfeksi dan kemudian juga dapat
menembus pembuluh darah ( manusia ), yang membuat penyebaran di dalam jaringan tubuh
lebih mudah.
Penyakit ini juga bisa didapat melalui traumatik lesi dan kontak dengan hifa
P. insidiosum (Mendoza et al., 1980). Invasi pembuluh darah dapat menyebabkan trombosis
dan invasi arteri besar). Pada penambahan P. inidiosum inang kolonisasi oleh invasif
pertumbuhan, sekresi protease dan pengerahan kekuatan mekanik dengan ujung hifa
memanjang miliki telah terlibat sebagai faktor virulensi putatif ( Shipton, 1987; Ravishankar
et al., 2001).
Untuk P. insidiosum gaya ini telah diukur dan dibandingkan dengan resistansi kulit manusia
dan kuda untuk penyisipan jarum. Menunjukkan data bahwa penurunan yang signifikan dalam
kekuatan jaringan harus diperoleh dengan aksi protease, sebelum penetrasi jaringan oleh hifa
dapat berlangsung. Ketiga strain yang diuji P. insidiosum mensekresikan tiga atau lebih
protease dari berat molekul yang berbeda. Dua dari mereka hadir dalam tiga strain.
Kekhususan protease tidak diketahui, tetapi percobaan penghambatan mengidentifikasi mereka
sebagai serin protease (Davis et al., 2006). Sekresi protease tampaknya menjadi fitur umum
patogenik oomycetes ( Bangyeekhun et al., 2001; Torto-Alalibo dkk., 2005). Pythiosis
berkembang dengan cepat dan jika tidak dirawat di tahap awal bisa menjadi ancaman
kehidupan pada manusia dan hewan. Sejauh ini sifat zoonosis belum ditunjukkan untuk
P. insidiosum.

2.2.4.3 Gejala Klinis


Kuda
Pada kuda, pythiosis subkutan adalah bentuk yang paling umum dan infeksi terjadi melalui
luka sambil berdiri di air yang mengandung patogen. Lesi paling sering ditemukan di tungkai
bawah, perut, dada, dan alat kelamin .
Gambar 7. Pythiosis pada kuda
Mereka adalah granulomatosa dan gatal, dan mungkin mengalami ulserasi atau fistula . Lesi
Pythiosis pada hewan yang berbeda sering mengandung massa jaringan mati kuning yang
dikenal sebagai 'kunker'. Ada kemungkinan infeksi kronis untuk penyakit menyebar ke tulang
di bawahnya.
Tanda-tanda klinis kuda dengan pythiosis bisa termasuk di samping lesi kulit dan tulang,
kepincangan dan pembesaran kelenjar getah bening regional, anemia dan
hipoproteinemia. Baik hipoproteinemia dan anemia terjadi sebagai akibat dari kehilangan
darah dan hilangnya eksudat yang terdiri dari serum dan kation melalui lesi kulit ulserasi besar
(Miller, 1983; Mendoza dan Alfaro, 1986)
Anjing
Pythiosis pada kulit pada anjing jarang terjadi, dan muncul sebagai benjolan yang mengalami
ulserasi. Infeksi primer juga dapat terjadi pada tulang dan paru-paru. Anjing dengan bentuk
gastrointestinal pythiosis memiliki penebalan parah dari satu atau lebih bagian dari saluran
pencernaan yang mungkin termasuk lambung, usus kecil, usus besar, rektum, atau dalam kasus
yang jarang, bahkan esofagus. Hasil patologi yang dihasilkan dalam anoreksia, muntah, diare
(kadang-kadang berdarah), dan tegang perut. Kehilangan berat badan secara luas mungkin
terbukti.

Gambar 8. Pythiosis pada anjing


Sapi
Pythiosis pada sapi biasanya terjadi saat hujan musim di daerah subtropis. Ini dianggap
sporadis penyakit pada spesies ini. Namun, peristiwa epizootic melibatkan lebih dari 60 anak
sapi dilaporkan di Venezuela ( Pe ´ rez et al., 2005). Penyakit ini lebih sering terjadi
anggota badan dengan pruritus dan klaudikasio. Tumor seperti massa dengan fistula dan
jaringan ulkus pada anggota badan umum. Hifa biasanya terlokalisasi di pusat granuloma
eosinofilik. Daerah yang terkena dampak sangat luar biasa menyakitkan dan kebanyakan
hewan tidak bisa berdiri yang biasanya menyebabkan dehidrasi dan kematian. Bakteri
sekunder kontaminasi dengan bakteri anaerob dan lainnya umum (Gambar 6) (Miller et al.,
1985; Santurio et al., 1998; Pe ´ rez et al., 2005).

Gambar 9. Pythiosis pada sapi


Telah disarankan bahwa dalam negara-negara tropis penyakit pada sapi disebut '' menular
pododermatitis '' biasanya dikaitkan dengan bakteri anaerob, mungkin disebabkan oleh
P. insidiosum, yang bisa membuka pintu untuk bakteri anaerobik yang menyebabkan
pododermatitis sebagai infeksi sekunder (Perez et al., 2005).
Domba
Pythiosis pada domba telah dilaporkan menyebabkan kulit lesi di daerah anatomi yang berbeda
dan sebagai rhinopharyngeal penyakit ( Tabosa et al., 2004; Riet -Correa et al., 2008). Lesi
granulomatosa eosinofilik biasanya dilaporkan di bagian tubuh dan rhinopharingeal. Klinis
tanda - tanda yang melibatkan rhinopharinge termasuk bilateral serosanguineous discharge
hidung, pembengkakan lubang hidung, dan kulit wajah (Gbr. 7) ( Riet- Correa et al., 2008).
Keterlibatan paru-paru juga telah dilaporkan ( Tabosa et al., 2004).
Gambar 10. Pythiosis pada domba

2.2.4.4 Diagnosa Laboratorium


Pythiosis diduga sangat kurang terdiagnosis karena ketidakbiasaan dengan penyakit,
perkembangan cepat dan morbiditas, dan kesulitan dalam membuat diagnosis. Gejala sering
muncul setelah penyakit telah berkembang ke titik di mana pengobatan kurang efektif. Karena
organisme itu bukan bakteri, virus, atau jamur, tes rutin sering gagal mendiagnosisnya.
Koleksi sampel
Untuk pythiosis pada kuda koleksi beberapa kunkers dan dibawa ke laboratorium
dalam air atau larutan garam dengan antibiotik (streptomisin dan ampisilin) dianjurkan.
Biopsi dan kerokan seharusnya diangkut ke laboratorium sesegera mungkin. Sampel tersebut
harus dicuci dengan air suling dan diangkut pada suhu kamar dalam air atau garam
solusi untuk perjalanan jauh (dua hari atau lebih) secara klinis sampel (termasuk kunker) harus
diangkut dalam larutan garam dengan beberapa tetes spektrum luas antibiotik seperti
kloramfenikol atau tetrasiklin. Namun, itu menunjukkan bahwa spesimen juga bisa
didinginkan dan P. insidiosum dapat diperoleh kembali dari spesimen itu telah didinginkan
hingga 5 hari ( Grooters et al., 2002b). Dalam pengalaman kami Namun, pendinginan di 4°C
( pengiriman pada es) menghambat pertumbuhan P. insidiosum dari sekitar 20% dari sampel
klinis.
Kultur dan Uji Wet Mount
Pemeriksaan wet-mount dalam 10% KOH dapat dilakukan langsung pada sampel yang
diambil dari hewan yang terinfeksi. Persiapan dudukan basah adalah cara cepat untuk
mikroskopis mendeteksi adanya hifa yang jarang septate, yang mungkin menyarankan adanya
P. insidiosum dan pythiosis.
Gambar 11. Sampel positif terdeteksi setelah 24-48 jam inkubasi sebagai kecil memancarkan
koloni yang tumbuh berasal blok diinokulasi (L. Mendoza, data tidak dipublikasikan).
Untuk diagnosis yang akurat, biopsi jaringan atau jaringan dalam kerokan dapat diambil dari
kulit dan subkutan kasus pythiosis ; sampel klinis dapat dikultur dan diperiksa
secara mikroskopis untuk kehadiran septate hyaline hyphae yang jarang.
Karena fakta bahwa P. insidiosum dalam budaya tidak mengembangkan sporangia pada media
agar yang umum digunakan, induksi sporangium memproduksi zoospora biflagelata motil
biasanya harus dilakukan untuk mengidentifikasi patogen sebagai P. insidiosum.

2. Histopatologi
Berbeda dengan zygomycetes dalam urutan mukosanya dan dalam urutan entomophthorales
( Basidiobolus dan Conidiobolus ) P. insidiosum hifa tidak mewarnai dengan baik
menggunakan Hematoxylin dan Eosin (H & E). Histopatologi suatu inflamasi
pyrogranulomatous infiltrasi dengan eosinofilik dalam jumlah besar granulosit sering terlihat
(Rees, 2004; Mendoza, 2005; Grooters , 2007). Meskipun visualisasi hifa sulit terlihat dalam
pewarnaan H & E, kehadiran nekrotik granuloma eosinofilik harus mengarah pada
pertimbangan kehadiran jamur entomophthoromycetous (Conidiobolus dan Spesies
Basidiobolus), P. insidiosum, dan/atau infeksi parasit diduga seperti habronemiasis di kuda
(gambar 12).
Gambar 12. P. insidiosum, dan/atau infeksi parasit diduga seperti habronemiasis di kuda
Untuk memvisualisasikan P. insidiosum hifa di jaringan, sampel dapat diwarnai dengan PAS
(periodic acid-Schiff) atau pewarnaan gomori methenamine perak yang terakhir lebih
disukai (Mendoza, 2005).
P. insidiosum hifa adalah hadir dengan lebar 2.6–6.4mm (kadang-kadang sebesar > 10.0mm),
filamen hialin tidak beraturan septate yang tidak teratur dengan dinding sel yang tebal.
Kadang-kadang cabang terbentuk di sudut 90°.
Serodiagnosis
Serodiagnosis dari pythiosis dapat dilakukan oleh imunodifusi . Tesnya sangat spesifik tapi
sayangnya memiliki sensitivitas rendah (Mendoza et al., 1986; Pracharktam et al., 1991). Tes
lain berdasarkan deteksi antibodi, seperti Enzim Linked Immuno-Sorbent Assay
(ELISA), tes immunochromatographic atau Western blot dikembangkan kemudian untuk
meningkatkan sensitivitas dan kekhususan. P. insidiosum juga dapat diidentifikasi di jaringan
tetap oleh imunofluoresensi (Mendoza et al., 1987) atau dengan teknik pewarnaan
immunoperoxidase (Brown dan Roberts , 1988 ).
Diagnosis molekuler, PCR.
Teknik-teknik molekuler telah dikembangkan untuk mengidentifikasi P. insidosum di
laboratorium klinis tanpa adanya budaya . PCR diagnostik spesifik menggunakan internal
ditranskripsikan spacer (ITS) dari lokus rRNA P. insidiosum telah digunakan oleh beberapa
laboratorium. Karena kebanyakan kulit dan lesi usus terkontaminasi dengan lingkungan
mikroba yang urutan DNAnya belum tersedia dari basis data, diagnosa hanya berdasarkan
spesifik berat molekul amplikon harus ditafsirkan hati-hati . Sebuah probe DNA khusus
spesies, berdasarkan pada 530 bp fragmen dari spacer intergenic ribosomal (IGS), adalah
dikembangkan oleh Schurko et al. (2004). Meskipun ini metodologi belum tersedia dalam
skala besar, mereka dapat membantu dalam kasus di mana jaringan tetap disampaikan untuk
histopatologi (lihat juga serodiagnosis ).

2.2.5 Epizootic lymphangitis (Afrika farcy)


 Fungi penyebab penyakit : Histoplasma farciminosum
 Distribusi : Afrika, Asia, Timur Tengah
 Host : Equidae
 Lesi : Infeksi pyogranulomatous kronis pada kulit kuda dan limfatik. Kelenjar getah
bening regional terlibat dan diseminasi dapat terjadi
 Mikroskop : Sel ragi yang berbentuk intraseluler, berbentuk pir, dan ganda (2-4 µm).
Biasanya di dalam sel mononuklear atau neutrofil. Budding terjadi paling sering pada
ujung sel yang runcing
2.2.6 Zygomycosis subkutan
 Fungi penyebab penyakit : Basidiobolus ranarum, Conidiobolus coronatus
 Distribusi : Afrika, Asia, Karibia, Amerika Selatan. Beberapa kasus di USA
 Host : Manusia dan jarang pada hewan
 Lesi : Basidiobolus ranarum dikaitkan dengan lesi pada anggota badan dan tubuh.
Conidiobolus coronatus cenderung menyebabkan infeksi rhinofacial. Lesi subkutan
nodular dihasilkan. Jika tidak diobati, lesi secara perlahan bersifat progresif
 Mikroskop : Luas, bercabang tidak teratur, hifa (5-18 µm), jarang septate dan tertutup
dalam bahan eosinofilik (Splendore-Hoeppli fenomena)
2.2.7 Chromoblastomycosis
 Fungi penyebab penyakit : Fonsecaea pedrosoi, F. compacta, Philophora verrucosa,
Cladophialophora carrioni, Rhinocladiella aquaspersa
 Distribusi : Afrika, Australia, Amerika Selatan dan Jepang. Phialophora verrucosa di
daerah beriklim sedang
 Host : Manusia dan jarang pada hewan
 Lesi : Kaki dan kaki paling sering terkena. Lesi dimulai sebagai nodul tetapi
pertumbuhan menjadi besar dan seperti kembang kol atau seperti kutil. Pertumbuhan
awal dan satelit tetap terlokalisasi dan bertahan selama bertahun-tahun
 Mikroskop : Tubuh sklerotik gelap (5-12 µm) hadir. Mereka berdinding tebal,
muriform (dibagi dengan septa vertikal dan horizontal), dan biasanya coklat kastanye.
Dalam krusta, dematiaceous (gelap), septate, hifa bercabang dapat dilihat
2.2.8 Mycetoma
 Fungi penyebab penyakit : Pseudallescheria boydi, Exophiala jeanselmei, Curvularia
genicata, Macurella mycetomatis
 Distribusi : Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah. Kadang-kadang kasus di
beberapa daerah beriklim sedang
 Host : Manusia dan lebih jarang pada sapi, kuda, anjing dan kucing
 Lesi : Mietoma dapat disebabkan oleh jamur dan aktinomisetes. Ditandai dengan
pembengkakan granulomatosa dengan saluran sinus mengeluarkan eksudat yang
mengandung butiran. Perlahan-lahan progresif dan dapat melibatkan jaringan yang
berdekatan
 Mikroskop : Butiran dalam nanah berukuran kecil (0,5-3,0 mm), bentuknya tidak
beraturan dan beragam warna. Secara mikroskopis, granula terdiri dari sel-sel hifa dan
bengkak yang lebar (2-5 µm) dan terjalin (15 µm atau lebih) di pinggiran
2.2.9 Lobomycosis (keloidal blastomycosis)
 Fungi penyebab penyakit : Lacazia (Loboa) loboi
 Distribusi : Lumba-lumba di lepas pantai Florida dan di Sungai Surinam
 Host : Manusia dan lumba-lumba
 Lesi : Lesi berbentuk nodular dan keloidal. Pada awal infeksi, mereka bergerak bebas,
nodul subkutan, tetapi kemudian verukosa, plak nodular terbentuk. Lesi disebarkan
oleh ekstensi perifer
 Mikroskop : Sel ragi berdinding tebal dan berdinding tebal (diameter 5-12 µm) hadir.
Tunas adalah tunas tunggal tetapi berurutan dapat menyebabkan rantai sel
dihubungkan oleh isthmus tubular

3. Daftar Pustaka
Barros MB, de Almeida Paes R, Schubach AO (October 2011). "Sporothrix schenckii and
Sporotrichosis". Clin. Microbiol. Rev. 24 (4): 633–54
Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st Edition. Hlm:476. London:
Publisher.Hoad. J. 2006.
Bolognia, Jean L,dkk. Subcutaneous mycosis dalam Dermatology. Volume I. Edisi
II(Editor: Callen, Jeffrey, dkk). Elsevier Inc. 2008.
Carter, G. R., and Darla J. Wise. 2004. Essential of Veterinary Bacteriology and mycology. -
6th ed. Lowa State Press.
Hogan LH, Klein BS, Levitz SM (October 1996). "Virulence factors of medically important
fungi". Clin. Microbiol. Rev. 9 (4): 469–88
Lima OC, Bouchara JP, Renier G, Marot-Leblond A, Chabasse D, Lopes-Bezerra LM
(September 2004). "Immunofluorescence and flow cytometry analysis of fibronectin and
laminin binding to Sporothrix schenckii yeast cells and conidia". Microb. Pathog. 37 (3): 131–
40.
Lopes-Bezerra, Leila M,dkk. Sporothrix schenkii and sporotrichosis dalam Annals
of B r a z i l i a n A c a d e m y o f S c i e n c e . I S S N 0 0 0 1 -
3 7 6 5 . 2 0 0 6 . A v a i l a b l e f r o m : U R L : http://www.scielo.br/aabc. diakses tanggal
13 Mei 2018
Miller, Scott D. Dermatologic manifestation of sporotrichosis. 2009. Available
from:URL:http://www.emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 13 Mei 2018
Morris-Jones R, Youngchim S, Gomez BL, et al. (July 2003). "Synthesis of melanin-like
pigments by Sporothrix schenckii in vitro and during mammalian infection". Infect.
Immun. 71 (7): 4026–33.
Rao SPN. 2006. Introduction of Mycology. JJMMC. Davangere: Dept. of Microbiology.
Revankar SG, Sutton DA (October 2010). "Melanized fungi in human disease". Clin.
Microbiol. Rev. 23 (4): 884–928.
Taboada J . 2018. Merck & Co., Inc., Kenilworth, N.J., U.S.A. MSD and the MSD Veterinary
Manual. https://www.msdvetmanual.com/generalized-conditions/fungal-
infections/sporotrichosis. Diakses 14 Mei 2018.
Tsuboi R, Sanada T, Ogawa H (July 1988). "Influence of culture medium pH and proteinase
inhibitors on extracellular proteinase activity and cell growth of Sporothrix schenckii". J. Clin.
Microbiol. 26 (7): 1431–3
[CFSPH]. 2006. The Center for Food Security and Public Health. 2006 . Sporotrichosis. Ames,
lowa (US): lowa State University.
Werner AH, Werner BE. 1993. Feline sporotrichosis. Compend Contin Educ Pract Vet. 15:
1189-1197.
Taboada J. Phaeohyphomycosis-MSD Veterinary Manual. School of Veterinary Medicine,
Louisiana State University
Severo B. C., dkk. 2012. Phaeohyphomycosis: a clinical-epidemiological and diagnostic
study of eighteen cases in Rio Grande do Sul, Brazil. Mem. Inst. Oswaldo
Cruz vol.107 no.7 Rio de Janeiro
(http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_serial&pid=0074-0276&lng=en&nrm=iso),
diakses pada 14 Mei 2018
https://www.medicaljournals.se/acta/content/html/10.2340/00015555-2734, diakses pada 14
Mei 2018
Tiwari R, Karthik K, Dhama K, Shabbir MZ, Khurana SK (2015). Rhinosporidiosis: a riddled
disease of man and animals. Adv. Anim. Vet. Sci. 3(2s): 54-63.
Wim Gaastra, Len J.A. Lipman, Arthur W.A.M. De Cock(2010). Pythium Insidiosum : An
Overview

Anda mungkin juga menyukai