Makalah Mikosis Kutan Dan Subkutan
Makalah Mikosis Kutan Dan Subkutan
OLEH :
KELOMPOK 11
YUSTINA INDRAWATI (1609010030)
ELISE MARGARET BALLO (1609010038)
MARIA MELANI OVERA (1609010042)
ANDIANUS FRANSISKUS SURAK (1609010044)
Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang mikosis kutaneus dan mikosis
subkutaneus baik pada hewan maupun pada manusia. Disekitar kita sering ditemukan penyakit
yang disebabkan oleh jamur, termasuk tanah, tanaman, pohon, dan bahkan pada kulit dan
bagian lain dari tubuh. Gejala infeksi jamur tergantung pada jenis dan lokasi di dalam tubuh.
Infeksi jamur mungkin ringan, dalam bentuk ruam atau masalah pernapasan ringan. Namun,
beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur bisa berat dan dapat menyebabkan komplikasi
serius dan kematian.
1.2 Tujuan
Mampu menjelaskan klasifikasi dan karakteristik etiologi, faktor virulensi, patogenesis, gejala
klinis dan teknik diagnostik laboratorik penyakit Fungi (mikosis) pada hewan.
2. Pembahasan
2.1 Mikosis Kutan
2.1.1 Dermatofitosis
Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan membentuk molekul yang
berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi untuk membentuk
kolonisasi. Dermatofitosis merupakan salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang
disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi hospes terhadap produk metabolit
jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan hidup. Dermatofitosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang
mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan.
2.1.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthtodermataceae
Genus : Microsporum, Trychophyton, Epidermophyton
Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan genus, spesies dan host
Genus Spesies Host Habitat
Microsporum Canis Kucing, anjing, kuda, rodents, manusia zoophilic
Equinium Kuda, kucing, anjing zoophilic
Gypseum Anjing, kucing, kuda manusia geophilic
Nanum Babi, manusia zoophilic
Persicolor Anjing. Kucing rodents zoophilic
Tricophyton Equinium Kuda. Anjing, kucing, manusia zoophilic
Erinacei Landak, anjing, kucing, manusia zoophilic
Mentagrophytes Kucing, anjing, rodents, manusia zoophilic
Verrucosum Sapi, domba, manusia zoophilic
2.1.1.2 Etiologi
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies
Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah
dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum
menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1
spesies Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku.
Tabel 2. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur
Penyebab
2.1.1.4 Transmisi
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent “carrier”).
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung maupun
tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau
sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman
hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan
menimbulkan reaksi radang.
2.1.1.6 Patogenesis
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non
spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa
hospes, serta kemampuan untuk menembus jaringan hospes, dan mampu bertahan dalam
lingkungan hospes, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia hospes untuk dapat
berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang.
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
a. Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit
yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan
memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas
proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator
plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi
hospes. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum
antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi
pada kulit.
b. Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora
melekat pada keratin. Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase,
lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Dalam upaya bertahan
menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa
cara:
Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu
pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak
terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel,
sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
Pengendalian, mengaktifkan mekanisme penghambatan imun hospes atau secara aktif
mengendalikan respons imun sehingga pertahanan menjadi tidak efektif, contohnya
Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag sehingga aktivasi makrofag akan terhambat.
Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau
memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur
mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat
menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang
digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.
c. Respon imun hospes
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons cepat dan imunitas
adaptif yang memberikan respons lambat.
Mekanisme pertahanan non spesifik
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari:
1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai barrier terhadap
masuknya dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu diperbarui dengan
keratinisasi sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang
menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap
dermatofitosis, termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi
imun yang dimediasi sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa pustul, secara
mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di
epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme
oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-
makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.
Mekanisme pertahanan spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan imunitas
humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi
dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan
penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi.
Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi
infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen
dermatofit dan CMI.
Secara singkat patogenesis dari dermatofitosis dimulai dengan menempelnya jamur pada kulit
jika keadaannya cocok jamur akan tumbuh lalu mengeluarkan enzim keratolitik yang akan
menghancurkan keratin dari hospes sehingga jamurnya dapat bertumbuh dan berkembang
dengan baik dan semakin bertambah jumlahnya demikian pula dengan enzimnya sehingga
penyakitnya semakin meluas di kulit.
2.2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi Jamur Penyebab penyakit Sporotrichosis yaitu jamur Sporothrix schenckii
Kingdom : Fungi
Division : Ascomycota
Class : Euascomycetes
Order : Ophiostomatales
Family : Ophiostomataceae
Genus : Sporothrix
Spesies : Sporothrix schenckii
2.2.1.2 Karakteristik
Sporothrix schenckii adalah jamur yang sering ditemukan di semak-semak bunga mawar,
barberi, lumut sfagnum dan jerami. Ia tampak sebagai sel-sel bertunas yang gram-positif,
berbentuk bulat kecil sampai berbentuk cerutu dan merupakan jamur dimorfik. Pada biakan
dalam suhu kamar dengan agar Sabouraud, dalam 3-5 hari terbentuk koloni-koloni berwarna
cokelat sampai hitam, melipat, menyerupai kulit (pembentukan pigmen dari berbagai strain S
schenckii bervariasi). Konidia sederhana berbentuk ovoid terdapat berkelompok pada ujung
konidiofor yang ramping dan panjang (menyerupai bunga aster). Biakan pada suhu 37◦C akan
menghasilkan sel-sel bertunas berbentuk sferis sampai ovoid. Koloni-koloni mudanya kadang
berwarna putih pada suhu 25◦C atau ketika diinkubasi pada suhu 37°C untuk menghasilkan
fase ragi sebagai salah satu bentuk dimorfiknya. Sedangkan koloni-koloni yang lebih tua akan
menjadi berwarna hitam untuk memproduksi konidia hitam yang nantinya akan muncul
langsung dari hifa sebagai fase keduanya. Demikanlah proses tersebut terus berjalan hingga
terbentuk lagi generasi berikutnya.
2.2.1.3 Etiologi
Telah disebutkan bahwa sporotrikosis disebabkan oleh jamur Sporothrix schenkii, termasuk dalam
genus Sporotrichum jamur ini memiliki 2 bentuk yaitu bentuk m i s e l i a l d a n b e n t u k r a g i
( yeast). Sporothrix schenckii yang dapat hidup di tanah, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sayuran
yang telah membusuk. Spora jamur masuk ke dalam tubuh melalui luka pada kulit dan sangat
jarang melalui inhalasi. Keadaan imunitas seseorang sangat berperan dalam mendapatkan
infeksi sporotrikosis. Penyakit ini dapat mengenai organ lain, seperti paru, tulang, sendi,
selaput lendir dan susunan saraf pusat
Bentuk miselial ditandai dengan adanya hifa ramping yang bersepta dan bercabang yang
mengandung konidiofor tipis yang pada ujungnya membentuk vesikel kecil yang bergabung
membentuk dentikel. Tiap dentikel menghasilakn satu konidium dengan ukuran kira-kira 2-4
µm dan konidia ini membentuk seperti gambaran bunga.
Gambar 1. gambar konidiofor dan konidia dari jamur Sporothrix schenkii
Sedangkan bentuk ragi dari jamur Sporothrix schenkii . Menunjukkan bentuk spindle dan/atau
oval dengan ukuran 2,5-5 µm dan menyerupai bentuk cerutu. Biakan secara invitro
dapat menunjukkan gambaran miselial pada suhu 25ºC, sedangkan gambaran
ragidapat ditemukan pada biakan dengan temperatur 37 ºC.
c. Protease
S. schenckii memecah protein dengan memproduksi dua protease terpisah, protease
serin dan protease aspartat . Protease ini tampaknya penting untuk pertumbuhan
jamur. Namun, mereka memiliki beberapa tumpang tindih fungsional sebagai inaktivasi
protein baik tidak mempengaruhi pertumbuhan tetapi inaktivasi keduanya menghambat
jamur. Aktivitas protease telah terbukti penting dalam infeksi in vivo pada tikus. Substrat
untuk protease ini termasuk protein kulit tipe-I kolagen , stratum korneum , dan elastin .
d. Heat Tolerance
Tumbuh pada suhu tubuh host (37 ° C (99 ° F)) merupakan persyaratan penting untuk
patogenesis. Beberapa strain S. schenckii terbatas untuk tumbuh pada 35 ° C (95 ° F) dan
akibatnya biasanya menyebabkan penyakit hanya pada kulit karena lebih dingin daripada
interior tubuh. Mereka yang mampu tumbuh pada suhu tubuh lebih sering dikaitkan dengan
penyakit disebarluaskan.
2.2.1.5 Patogenesis
Protease adalah faktor virulensi yang mungkin dari S. schenckii. Telah dicatat bahwa
komposisi gula dinding sel juga mencerminkan virulensi. Bentuk yang lebih ganas memiliki
rhamnose: rasio molar manosa 1,7: 1,0, sedangkan bentuk avirulen memiliki rasio 1,0: 1,7.
Hubungan pengamatan ini dengan virulensi belum ditentukan.
Sporothriz schenkii dijumpai di tanah, kayu, tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan kasus
soportrichosis di dapat dari lingkungan, sebagai akibat dari kontak antara kulit yang luka
dengan spora jamur. Luka penetrasi dari tumbuhan mati sering menjadi infeksi. Gigitan,
garukan, cakaran dan sengatan dapat juga menginokulasikan organisme ke dalam luka melalui
spora yang terbawa kepermukaan tubuh.
Perjalanan penyakit termauk keluhan utama dan keluhan tambahan. Spora masuk melalui luka.
Mula-mula timbul papula atau nodula subkutan, disusul pembengkakan proksimal dari lesi.
Papula atau nodula tersebut kemudian pecah membentuk ulkus granulomatosa disertai
perdangan pembuluh limfe yang menyebar mengikuti aliran pembuluh limfe.
Infeksi pada manusia dan beberapa hewan ditandai dengan pembentukan nodul subkutan atau
pyogranuloma. Organisme biasanya menembus luka di kulit dan menyebar melalui
limfatik. Bentuk pertumbuhan adalah blastokonidia. Nodul-nodul tersebut akhirnya
membusukan dan mengeluarkan nanah. Keterlibatan tulang, sendi, dan organ visceral dengan
terminasi fatal jarang terjadi tetapi telah dilaporkan pada anjing, kucing, dan kuda. Infeksi telah
dijelaskan pada manusia dan pada anjing, kucing, kuda, keledai, keledai, unta, sapi, unggas,
dan hewan liar lainnya.
Diagnosis Laboratorium
Diagnosa:
2.2.2 Phaeohyphomycosis
2.2.2.1 Karakteristik Etiologi
Phaeohyphomycosis disebabkan oleh Dematiaceous fungi (jamur yang dinding selnya
berwarna kecoklatan karena mengandung pigmen melanosit) yang karakteristik morfologi
dalam jaringan termasuk hifa, sel seperti ragi, atau kombinasi dari keduanya ini seperti
Wangiella dermatitidis, Exophiala jeanselmei, Philophora verrucosa, Aureobasidium
pullulans, spesies Alternania, Cladophialophora bantiana, Cochliobolus spicifera, spesies
Ulocladium, Moniliella suaveolens, spesies Stemphylium.
Jamur dalam kategori ini adalah organisme saprofit yang terdistribusi luas terutama wilayah
tropis yang ditemukan di tanah, air, dan bahan nabati yang membusuk. Infeksi dapat terjadi
akibat implantasi jamur ke jaringan di tempat cedera.
2.2.2.3 Patogenesis
Bentuk klinis dari berbagai phaeohyphomycosis dari infeksi superfisial terlokalisasi dari
stratum korneum (tinea nigra) ke kista subkutan (kista phaeomycotic) ke invasi otak.
Phaeohyphomycosis subkutan: Infeksi subkutan terjadi di seluruh dunia, biasanya mengikuti
implantasi traumatik unsur-unsur jamur dari tanah yang terkontaminasi, duri atau serpihan
kayu.
Paranasal sinus phaeohyphomycosis: Sinusitis yang disebabkan oleh jamur dematiaceous,
khususnya spesies Bipolaris, Exserohilum, Curvularia dan Alternaria semakin sering
dilaporkan, terutama pada pasien dengan riwayat rinitis alergi atau imunosupresi.
Phaeohyphomycosis serebral: Phaeohyphomycosis serebral adalah infeksi yang jarang terjadi,
terjadi terutama pada pasien imunosupresif setelah menghirup konidia.
2.2.3 Rhinosporidiosis
Rhinosporidiosis adalah infeksi granulomatosa kronis yang tidak menular, sporadis, yang
ditandai dengan produksi polip yang luas. Polip terjadi terutama di daerah hidung, mata dan
kadang-kadang pada kulit kuda, sapi, anjing, kucing, dan burung air . Daerah tropis dan
subtropis dipertimbangkan menjadi daerah endemik. Rhinosporidiosis telah dilaporkan terjadi
di lebih dari 70 negara dan jumlah terbesar kasus rhinosporidiosis tercatat di India dan Sri
Lanka.
Rhinosporidium seeberi adalah patogen eukariotik yang menyebakan penyakit ini dan
merupakan jamur yang berada di alam (air ). Tanah dan air menyimpan spora dari patogen ini
dan karenanya air dan tanah bertindak sebagai reservoir untuk patogen ini ( Rath e t al., 2015).
Rhinosporidiosis diperoleh dengan menghirup spora dari materi yang membusuk, tanah yang
terkontaminasi atau air yang tergenang. Modus infeksi dapat melalui penetrasi transepitelial.
Banyaknya sungai dan danau adalah faktor predisposisi kuat untuk rhinosporidiosis.
Rhinosporidium seeberi tampak sebagai sporangium dalam berbagai stadium di jaringan.
Sporangium matang berdiameter 100 - 350 μm dengan dinding setebal 3 - 5 μm, terdiri atas
lapisan hialin di bagian dalam dan lapisan eosinofilik di luar. Sporangium berisi sejumlah
endospora yang membentuk patogen yang ukurannya berkisar dari 60-450 mikron atau lebih.
Mungkin ada sekitar 12.000 spora di dalam sporangia matang. Spora ini bisa berkisar dari 7-
15 mikrometer dengan diameter yang bisa dilewatkan melalui pori-pori ( Herr dkk., 1999b ).
2.2.3.1 Klasifikasi
Domain : Eukaryota
(unranked) : Opisthokonta
(unranked) : Holozoa
Kelas : Mesomycetozoea
Ordo : Dermocystida
Genus : Rhinosporidium
Spesies : R. seeberi
2.2.3.2 Etiologi
Rhinosporidium spp adalah jamur oportunistik saprofit yang secara umum diklasifikasikan
memiliki satu spesies,yakni Rhinosporidium seeberi yang dapat menyebabkan rhinosporidiosis
pada manusia, kuda, sapi, dan pada tingkat yang lebih rendah seperti anjing, kucing, rubah, dan
burung.
2.2.4.1 Klasifikasi
Phylum : Heterokontophyta
Class : Oomycota
Ordo : Perohosporales
Family : Pythiaceae
Genus : Pythium
Spesies : P. insidiosum
2.2.4.2 Patogenesis
Setelah zoospora bersentuhan dengan permukaan jaringan yang terluka, zoospora yang
dienkode mensekresi glikoprotein amorf lengket yang memediasi adhesi zoospora ke jaringan
sebelum memasuki jaringan (Mendoza et al., 1993, 1996). Zoospora yang dienkode
dirangsang oleh suhu tubuh host dan kemudian mengembangkan tabung kuman (hifa) yang
memanjang dari zoospora ke dalam jaringan yang terinfeksi dan kemudian juga dapat
menembus pembuluh darah ( manusia ), yang membuat penyebaran di dalam jaringan tubuh
lebih mudah.
Penyakit ini juga bisa didapat melalui traumatik lesi dan kontak dengan hifa
P. insidiosum (Mendoza et al., 1980). Invasi pembuluh darah dapat menyebabkan trombosis
dan invasi arteri besar). Pada penambahan P. inidiosum inang kolonisasi oleh invasif
pertumbuhan, sekresi protease dan pengerahan kekuatan mekanik dengan ujung hifa
memanjang miliki telah terlibat sebagai faktor virulensi putatif ( Shipton, 1987; Ravishankar
et al., 2001).
Untuk P. insidiosum gaya ini telah diukur dan dibandingkan dengan resistansi kulit manusia
dan kuda untuk penyisipan jarum. Menunjukkan data bahwa penurunan yang signifikan dalam
kekuatan jaringan harus diperoleh dengan aksi protease, sebelum penetrasi jaringan oleh hifa
dapat berlangsung. Ketiga strain yang diuji P. insidiosum mensekresikan tiga atau lebih
protease dari berat molekul yang berbeda. Dua dari mereka hadir dalam tiga strain.
Kekhususan protease tidak diketahui, tetapi percobaan penghambatan mengidentifikasi mereka
sebagai serin protease (Davis et al., 2006). Sekresi protease tampaknya menjadi fitur umum
patogenik oomycetes ( Bangyeekhun et al., 2001; Torto-Alalibo dkk., 2005). Pythiosis
berkembang dengan cepat dan jika tidak dirawat di tahap awal bisa menjadi ancaman
kehidupan pada manusia dan hewan. Sejauh ini sifat zoonosis belum ditunjukkan untuk
P. insidiosum.
2. Histopatologi
Berbeda dengan zygomycetes dalam urutan mukosanya dan dalam urutan entomophthorales
( Basidiobolus dan Conidiobolus ) P. insidiosum hifa tidak mewarnai dengan baik
menggunakan Hematoxylin dan Eosin (H & E). Histopatologi suatu inflamasi
pyrogranulomatous infiltrasi dengan eosinofilik dalam jumlah besar granulosit sering terlihat
(Rees, 2004; Mendoza, 2005; Grooters , 2007). Meskipun visualisasi hifa sulit terlihat dalam
pewarnaan H & E, kehadiran nekrotik granuloma eosinofilik harus mengarah pada
pertimbangan kehadiran jamur entomophthoromycetous (Conidiobolus dan Spesies
Basidiobolus), P. insidiosum, dan/atau infeksi parasit diduga seperti habronemiasis di kuda
(gambar 12).
Gambar 12. P. insidiosum, dan/atau infeksi parasit diduga seperti habronemiasis di kuda
Untuk memvisualisasikan P. insidiosum hifa di jaringan, sampel dapat diwarnai dengan PAS
(periodic acid-Schiff) atau pewarnaan gomori methenamine perak yang terakhir lebih
disukai (Mendoza, 2005).
P. insidiosum hifa adalah hadir dengan lebar 2.6–6.4mm (kadang-kadang sebesar > 10.0mm),
filamen hialin tidak beraturan septate yang tidak teratur dengan dinding sel yang tebal.
Kadang-kadang cabang terbentuk di sudut 90°.
Serodiagnosis
Serodiagnosis dari pythiosis dapat dilakukan oleh imunodifusi . Tesnya sangat spesifik tapi
sayangnya memiliki sensitivitas rendah (Mendoza et al., 1986; Pracharktam et al., 1991). Tes
lain berdasarkan deteksi antibodi, seperti Enzim Linked Immuno-Sorbent Assay
(ELISA), tes immunochromatographic atau Western blot dikembangkan kemudian untuk
meningkatkan sensitivitas dan kekhususan. P. insidiosum juga dapat diidentifikasi di jaringan
tetap oleh imunofluoresensi (Mendoza et al., 1987) atau dengan teknik pewarnaan
immunoperoxidase (Brown dan Roberts , 1988 ).
Diagnosis molekuler, PCR.
Teknik-teknik molekuler telah dikembangkan untuk mengidentifikasi P. insidosum di
laboratorium klinis tanpa adanya budaya . PCR diagnostik spesifik menggunakan internal
ditranskripsikan spacer (ITS) dari lokus rRNA P. insidiosum telah digunakan oleh beberapa
laboratorium. Karena kebanyakan kulit dan lesi usus terkontaminasi dengan lingkungan
mikroba yang urutan DNAnya belum tersedia dari basis data, diagnosa hanya berdasarkan
spesifik berat molekul amplikon harus ditafsirkan hati-hati . Sebuah probe DNA khusus
spesies, berdasarkan pada 530 bp fragmen dari spacer intergenic ribosomal (IGS), adalah
dikembangkan oleh Schurko et al. (2004). Meskipun ini metodologi belum tersedia dalam
skala besar, mereka dapat membantu dalam kasus di mana jaringan tetap disampaikan untuk
histopatologi (lihat juga serodiagnosis ).
3. Daftar Pustaka
Barros MB, de Almeida Paes R, Schubach AO (October 2011). "Sporothrix schenckii and
Sporotrichosis". Clin. Microbiol. Rev. 24 (4): 633–54
Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st Edition. Hlm:476. London:
Publisher.Hoad. J. 2006.
Bolognia, Jean L,dkk. Subcutaneous mycosis dalam Dermatology. Volume I. Edisi
II(Editor: Callen, Jeffrey, dkk). Elsevier Inc. 2008.
Carter, G. R., and Darla J. Wise. 2004. Essential of Veterinary Bacteriology and mycology. -
6th ed. Lowa State Press.
Hogan LH, Klein BS, Levitz SM (October 1996). "Virulence factors of medically important
fungi". Clin. Microbiol. Rev. 9 (4): 469–88
Lima OC, Bouchara JP, Renier G, Marot-Leblond A, Chabasse D, Lopes-Bezerra LM
(September 2004). "Immunofluorescence and flow cytometry analysis of fibronectin and
laminin binding to Sporothrix schenckii yeast cells and conidia". Microb. Pathog. 37 (3): 131–
40.
Lopes-Bezerra, Leila M,dkk. Sporothrix schenkii and sporotrichosis dalam Annals
of B r a z i l i a n A c a d e m y o f S c i e n c e . I S S N 0 0 0 1 -
3 7 6 5 . 2 0 0 6 . A v a i l a b l e f r o m : U R L : http://www.scielo.br/aabc. diakses tanggal
13 Mei 2018
Miller, Scott D. Dermatologic manifestation of sporotrichosis. 2009. Available
from:URL:http://www.emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 13 Mei 2018
Morris-Jones R, Youngchim S, Gomez BL, et al. (July 2003). "Synthesis of melanin-like
pigments by Sporothrix schenckii in vitro and during mammalian infection". Infect.
Immun. 71 (7): 4026–33.
Rao SPN. 2006. Introduction of Mycology. JJMMC. Davangere: Dept. of Microbiology.
Revankar SG, Sutton DA (October 2010). "Melanized fungi in human disease". Clin.
Microbiol. Rev. 23 (4): 884–928.
Taboada J . 2018. Merck & Co., Inc., Kenilworth, N.J., U.S.A. MSD and the MSD Veterinary
Manual. https://www.msdvetmanual.com/generalized-conditions/fungal-
infections/sporotrichosis. Diakses 14 Mei 2018.
Tsuboi R, Sanada T, Ogawa H (July 1988). "Influence of culture medium pH and proteinase
inhibitors on extracellular proteinase activity and cell growth of Sporothrix schenckii". J. Clin.
Microbiol. 26 (7): 1431–3
[CFSPH]. 2006. The Center for Food Security and Public Health. 2006 . Sporotrichosis. Ames,
lowa (US): lowa State University.
Werner AH, Werner BE. 1993. Feline sporotrichosis. Compend Contin Educ Pract Vet. 15:
1189-1197.
Taboada J. Phaeohyphomycosis-MSD Veterinary Manual. School of Veterinary Medicine,
Louisiana State University
Severo B. C., dkk. 2012. Phaeohyphomycosis: a clinical-epidemiological and diagnostic
study of eighteen cases in Rio Grande do Sul, Brazil. Mem. Inst. Oswaldo
Cruz vol.107 no.7 Rio de Janeiro
(http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_serial&pid=0074-0276&lng=en&nrm=iso),
diakses pada 14 Mei 2018
https://www.medicaljournals.se/acta/content/html/10.2340/00015555-2734, diakses pada 14
Mei 2018
Tiwari R, Karthik K, Dhama K, Shabbir MZ, Khurana SK (2015). Rhinosporidiosis: a riddled
disease of man and animals. Adv. Anim. Vet. Sci. 3(2s): 54-63.
Wim Gaastra, Len J.A. Lipman, Arthur W.A.M. De Cock(2010). Pythium Insidiosum : An
Overview