Anda di halaman 1dari 31

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Polder

Sistem polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan kelengkapan


bangunan sarana fisik, yang meliputi saluran drainase, kolam retensi, pompa air, yang

dikendalikan sebagai satu kesatuan pengelolaan. Dengan sistem polder, maka lokasi

rawan banjir akan dibatasi dengan jelas, sehingga elevasi muka air, debit dan volume
air yang harus dikeluarkan dari sistem dapat dikendalikan. Oleh karena itu, sistem
polder disebut juga sebagai sistem drainase yang terkendali. Sistem ini dipakai untuk
daerah-daerah rendah dan daerah yang berupa cekungan, ketika air tidak dapat
mengalir secara gravitasi. Agar daerah ini tidak tergenang, maka dibuat saluran yang
mengelilingi cekungan. Air yang tertangkap dalam daerah cekungan itu sendiri
ditampung di dalam suatu waduk, dan selanjutnya dipompa ke kolam tampungan.

B. Karakteristik Sistem Polder

Polder adalah suatu kawasan yang didesain sedemikian rupa dan dibatasi
dengan tanggul sehingga limpasan air yang berasal dari luar kawasan tidak dapat
masuk. Dengan demikian hanya aliran permukaan atau kelebihan air yang berasal
dari kawasan itu sendiri yang akan dikelola oleh sistem polder. Di dalam polder tidak
ada aliran permukaan bebas seperti pada daerah tangkapan air alamiah, akan tetapi
dilengkapi dengan bangunan pengendali pada pembuangannya dengan penguras atau
pompa yang berfungsi mengendalikan kelebihan air. Muka air di dalam sistem polder
tidak bergantung pada permukaan air di daerah sekitarnya karena polder
mempergunakan tanggul dalam operasionalnya sehingga air dari luar kawasan tidak
dapat masuk ke dalam sistem polder.
C. Fungsi Polder

Pada awalnya polder dibuat untuk kepentingan pertanian. Tetapi beberapa

dekade belakangan ini sistem polder juga diterapkan untuk kepentingan


pengembangan industri, permukiman, fasilitas umum serta untuk kepentingan lainnya
dengan alasan keamanan. Fungsi utama polder adalah sebagai pengendali muka air di
dalam sistem polder tersebut. Untuk kepentingan permukiman, muka air di dalam
Sistem dikendalikan supaya tidak terjadi banjir/genangan. Air di dalam sistem
dikendalikan sedemikian rupa sehingga jika terdapat kelebihan air yang dapat
menyebabkan banjir, maka kelebihan air itu dipompa keluar sistem polder

D. Elemen-elemen Sistem Polder

Sistem polder terdiri dari jaringan drainase, tanggul, kolam retensi dan badan

pompa. Keempat elemen sistem polder harus direncanakan secara integral,


sehingga

dapat bekerja secara optimal.

1. Jaringan Drainase

Drainase adalah istilah yang digunakan untuk sistem penanganan kelebihan


air. Khusus istilah drainase perkotaan, kelebihan air yang dimaksud adalah air yang
berasal dari air hujan. Kelebihan air hujan pada suatu daerah, dapat menimbulkan
masalah yaitu banjir atau genangan air, sehingga diperlukan adanya saluran drainase
yang berfungsi menampung air hujan dan kemudian mengalirkan air hujan tersebut
menuju kolam penampungan. Dari kolam penampungan tersebut, untuk
mengendalikan elevasi muka air, kelebihan air tersebut harus dibuang melalui
pemompaan. Pada suatu sistem drainase perkotaan terdapat jaringan saluran drainase
yang merupakan sarana drainase lateral berupa pipa, saluran tertutup dan saluran
terbuka. Berdasarkan cara kerjanya saluran drainase terbagi dalam beberapa jenis,
yaitu saluran pemotong, saluran pengumpul dan asaluran pembawa.

a. Saluran Pemotong (interceptor) adalah saluran yang berfungsi sebagai pencegah

terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya.

Saluran ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan

bangunan kontur.

b. Saluran Pengumpul (collector) adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul


debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang
ke saluran pembawa. Letak saluran pembawa ini di bagian terendah lembah ini suatu
daerah sehingga secara efektif dapat berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang
saluran yang ada.

c. Saluran Pembawa (conveyor). adalah saluran yang berfungsi sebagai pembawa

air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa membahayakan daerah
yang dilalui. Sebagai contoh adalah saluran banjir kanal atau sudetan-sudetan atau
saluran by pass yang bekerja khusus hanya mengalirkan air secara cepat sampai ke
lokasi pembuangan.

Untuk menjamin berfungsinya saluran drainase secara baik, diperlukan


bangunanbangunan pelengkap di tempat-tempat tertentu. Jenis bangunan pelengkap
itu adalah :
a. Bangunan Silang; misalnya gorong-gorong atau siphon

b. Bangunan Pintu Air ; misalnya pintu geser atau pintu otomatis

c. Bangunan peresap (infiltrasi ) misalnya sumur resapan

Semua bangunan yang disebutkan di atas tidak selalu harus ada pada setiap jaringan
drainase. Keberadaannya tergantung pada kebutuhan setempat yang biasanya
dipengaruhi oleh fungsi saluran, tuntutan akan kesempurnaan jaringannya, dan
kondisi lingkungan. Gambar ilustrasi mengenai jaringan drainase dalam sistem polder
dapat dilihat pada Gambar 2.2. 4

2. Tanggul

Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air atau
daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi daripada elevasi di sekitar
kawasan tersebut, yang bertujuan untuk melindungi kawasan tersebut dari limpasan
air yang berasal dari luar kawasan. Dalam bidang perairan, laut dan badan air
merupakan daerah yang memerlukan tanggul sebagai pelindung di sekitarnya. Jenis –
jenis tanggul, antara lain : tanggul alamiah, tanggul timbunan, tanggul beton dan
tanggul infrastruktur.

Tanggul alamiah yaitu tanggul yang sudah terbentuk secara alamiah dari
bentukan tanah dengan sendirinya. Contohnya bantaran sungai di pinggiran sungai
secara memanjang. Tanggul timbunan adalah tanggul yang sengaja dibuat dengan
menimbun tanah atau material lainnya, di pinggiran wilayah. Contohnya tanggul
timbunan batuan di sepanjang pinggiran laut. Tanggul beton merupakan tanggul yang
sengaja dibangun dari campuran perkerasan beton agar berdiri dengan kokoh dan
kuat. Contohnya tanggul bendung, dinding penahan tanah ( DPT ).

Tanggul infrastruktur merupakan sebuah struktur yang didesain dan dibangun secara
kuat dalam periode waktu yang lama dengan perbaikan dan pemeliharaan secara terus
menerus, sehingga seringkali dapat difungsikan sebagai sebuah tanggul, misal jalan
raya.

2. Kolam Retensi

Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung

atau meresapkan air didalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan
dasar kolam. Kolam retensi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu kolam alami dan
kolam non alami.

Kolam alami yaitu kolam retensi yang berupa cekungan atau lahan resapan yang
sudah terdapat secara alami dan dapat dimanfaatkan baik pada kondisi aslinya atau
dilakukan penyesuaian. Pada umumnya perencanaan kolam jenis ini memadukan
fungsi sebagai kolam penyimpanan air dan penggunaan oleh masyarakat dan kondisi
lingkungan sekitarnya. Kolam jenis alami ini selain berfungsi sebagai tempat
penyimpanan, juga dapat meresapkan pada lahan atau kolam yang pervious, misalnya
lapangan sepak bola ( yang tertutup oleh rumput ), danau alami, seperti yang terdapat
di taman rekreasi dan kolam rawa Kolam non alami yaitu kolam retensi yang dibuat
sengaja didesain dengan bentuk dan kapasitas tertentu pada lokasi yang telah
direncanakan sebelumnya dengan lapisan bahan material yang kaku, seperti beton.
Pada kolam jenis ini air yang masuk ke dalam inlet harus dapat menampung air sesuai
dengan kapasitas yang telah direncanakan sehingga dapat mengurangi debit banjir
puncak (peak flow) pada saat over flow, sehingga kolam berfungsi sebagai tempat
mengurangi debit banjir dikarenakan adanya penambahan waktu kosentrasi air untuk
mengalir dipermukaan. Kapasitas kolam retensi yang dapat menampung volume air
pada saat debit banjir puncak, dihitung dengan persamaan umum seperti di bawah ini:

V = ∫t0(Q in – Q out) dt (2.1)

Dengan : V = volume kolam


t = waktu awal air masuk ke dalam inlet

t0 = waktu air keluar dari outflow

Qin = debit inflow

Qout = debit outflow 6

4. Stasiun Pompa

Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang digunakan untuk mengeluarkan air
yang sudah terkumpul dalam kolam retensi atau junction jaringan drainase ke luar
cakupan area. Prinsip dasar kerja pompa adalah menghisap air dengan menggunakan
sumber tenaga, baik itu listrik atau diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut
atau sungai/banjir kanal yang bagian hilirnya akan bermuara di laut. Biasanya pompa
digunakan pada suatu daerah dengan dataran rendah atau keadaan topografi atau
kontur yang cukup datar, sehingga saluran-saluran yang ada tidak mampu mengalir
secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas pompa yang disediakan di dalam stasiun
pompa harus disesuaikan dengan volume layanan air yang harus dikeluarkan. Pompa
yang menggunakan tenaga listrik, disebut dengan pompa jenis sentrifugal, sedangkan
pompa yang menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar solar adalah pompa
submersible.

E. Drainase Perkotaan

Dalam bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai
suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air
hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan atau lahan,
sehingga fungsi kawasan tersebut tidak terganggu. Drainase sering diabaikan dan
seringkali direncanakan seolah-olah bukan pekerjaan yang penting. Pekerjaan
drainase merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks. Memerlukan biaya, tenaga,
dan waktu yang lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan pengendalian banjir.
Saat ini drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yan sangat
penting. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas sistem drainase
yang ada. Sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota dari genangan air.
Genangan 7air yang menyebabkan lingkungan yang tidak sehat. Menjadi sarang
nyamuk, sumber penyakit, sehingga menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan
masyarakat.

2.5.1 Drainase Jalan Raya

Salah satu aspek terpenting dalam perencanaan jalan raya adalah melindungi jalan
dari air permukaan tanah dan air tanah. Genangan air di permukaan jalan
memperlambat kendaraan dan memberikan andil terjadinya kecelakaan akibat
terganggunya pandangan oleh cipratan dan semprotan air. Jika air memasuki struktur
jalan, perkerasan dan tanah dasar menjadi lemah, dan hal ini akan mengakibatkan
konstruksi jalan lebih peka terhadap kerusakan akibat lalu lintas. Sampai saat ini,
faktor drainase jalan belum mendapatkan perhatian yang cukup dari para ahli jalan.
Terdapat kesalahan persepsi bahwa sistem drainase jalan yang baik tidak diperlukan
lagi jika ketebalan didesain berdasarkan kondisi jenuh. Dengan semakin
meningkatnya beban yang diterima oleh jalan. Air dapat menyebabkan kerusakan
pada perkerasan jalan.

Berdasarkan fungsinya, drainase jalan dibedakan menjadi drainase permukaan


dan drainase bawah permukaan. Drainase permukaan ditunjukkan untuk
menghilangkan air hujan dari permukaan jalan sehingga lalu lintas dapat melaju
dengan aman dan efisien. Drainase bawah permukaan berfungsi untuk mencegah
masuknya air kedalam struktur jalan atau menangkap dan mengeluarkan air dari
struktur jalan.

 Drainase Permukaan

Sistem drainase permukaan pada jalan raya mempunyai tiga fungsi utama, yaitu:
1. Membawa air hujan dari permukaan jalan ke pembuangan air.

2. Menampung air tanah dan air permukaan yang mengalir menuju lahan.

3. Membawa air melewati alignment jalan secara terkendali.

Dua fungsi pertama dikendalikan oleh komponen drainase memanjang, sementara


fungsi ketiga memerlukan bangunan drainase melintang, seperti culvert, gorong-
gorong, dan jembatan.

 Drainase Bawah Permukan

Drainase bawah permukaan terutama berfungsi untuk menampung dan membuang air
yang masuk ke dalam struktur jalan, sehingga tidak sampai menimbulkan kerusakan
pada jalan. Pencegahan masuknya air ke dalam struktur perkerasan memerlukan
penangkap air tanah (interceptor) dan penutup permukaan kekerasan. Pengaruh daya
merusak air tanah telah mendapat perhatian yang memadai dari para ahli jalan dengan
membuat penangkap air tanah, sedangkan pengaruh penutup permukaan untuk
mencegah infiltrasi air

hujan kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya adalah banyaknya air yang


memasuki struktur perkerasan.Untuk meminimalkan infiltrasi air permukaan ke
dalam perkerasan, diperlukan sistem drainase permukaan yang baik.

2.5.2 Drainase Pemukiman

Pada pembukaan suatu lahan pemukiman perlu disediakan tempat untuk sarana
drainase. Ketinggian tanah untuk perumahan harus cukup tinggi, untuk
8mengantisipasi bila terjadi penurunan tanah pada rumah dan agar aliran drainase
dapat mengalir menjauhi rumah. Kemiringan lahan di daerah pemukiman harus
mempunyai kemiringan minimum 2%. Untuk mengurangi resiko terjadinya
genangan dan untuk mempertahankan tinggi muka air tanah, di daerah perumahan
diperlukan adanya sumur-sumur resapan. Beberapa hal yang perlu dihindari pada
waktu membuat sumur resapan adalah:

 Sumur resapan hanya menampung air hujan saja.

 Tidak membangun sumur resapan di dekan septic tank atau daerah

bekas timbunan sampah.

 Tidak mengganggu kestabilan bangunan yang ada.

 Tidak membangun di daerah yang tanahnya tidak stabil atau mudah longsor.

2.6 Perencanaan Drainase Perkotaan

2.6.1 Tahapan Perencanaan Drainase Perkotaan

Dalam penanganan suatu proyek drainase diperlukan prosedur pengembangan.

Prosedur pengembangan proyek drainase perkotaan berbeda untuk setiap proyek,

bergantung pada besar kecilnya skala proyek. Namun secara garis besar tahapan
siklus

proyek masih sama, yaitu:

1. Tahap Survei – Inventarisasi Data

2. Tahap Perencanaan Tata Letak Sistem Drainase


3. Tahap Perancangan Teknis

4. Tahap Pelaksanaan / Implementasi Konstruksi

5. Tahap Operasi dan Pemeliharaan10


Perbedaan antara perencanaan dan perancangan di sini adalah jika perencanaan

menghasilkan kerangka sistem atau konsep jaringan, sedangkan perancangan

menghasilkan desain detail.

Dalam tahap perencanaan terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu :

1. Survei Lapangan dan Pengumpulan Data

Pada tahapan survei ini dilakukan pengukuran-pengukuran, pencatatan situasi

baik jaringan beserta fasilitasnya maupun daerah-daerah genangan dan akibatnya.

Inventarisasi jaringan drainase dan fasilitasnya serta kondisi pada saat itu harus pula

dilakukan. Sebagai penunjang yang diperlukan dalam proses perencanaan saluran

drainase memerlukan data peta-peta topografi, tataguna lahan, kemampuan tanah,

luas tanah, situasi dan layout pengembangan, data dan peta sistem drainase yang ada
secara mikro dan makro, data dan peta daerah genangan, data kependudukan sosial

ekonomi, batas administrasi, data peraturan dan kewenangan, data hidrologi dan data

lain.

2. Sistem Drainase yang Ada Secara Makro dan Mikro

Studi sistem drainase yang ada secara makro dan mikro dilakukan untuk

mendapatkan konfigurasi sistem yang ada pada saat itu yang nantinya dapat

dimanfaatkan untuk rencana yang baru. Secara makro dilakukan supaya rencana

mikro tidak terlepas dari rencana keseluruhan. Jika terpisah mungkin hasil rencana

tidak optimal seperti tinggi muka air drainase pembawa lebih rendah dari tinggi

muka air dan badan sungai yang mengakibatkan air tidak dapat dialirkan.

3. Perumusan Masalah dan Penyelesaiannya

Masalah-masalah yang ada dirumuskan secara rinci dan dibuat prioritas yang
paling mendesak untuk segera ditangani. Beberapa alternatif penanganan
12dirumuskan dan disusun sesuai dengan penyelesaian urutan prioritas masalah yang

mendesak untuk segera ditangani.

4. Penentuan Batasan Layanan Drainase

Batas layanan ditentukan berdasarkan kondisi lapangan, tata guna lahan, peta

situasi dengan mempertimbangkan prospek pengembangan, keadaan kontur tanah,

badan air, perlengkapan drainase yang telah ada, dinding tutupan dan sarana jalan

yang ada.

5. Identifikasi Daerah Layanan

Dalam upaya perencanaan sistem drainase ada tiga hal yang perlu

diidentifikasikan berkaitan dengan daerah layanan. Ketiga hal tersebut adalah

karakteristik daerah layanan, tata guna lahan, dan prospek pengembangan lahan.

6. Penentuan Tata Letak dan Pembagian Daerah Layanan

Pembagian daerah layanan sangat menentukan dimensi saluran dan fasilitasnya.


Di daerah perkotaan yang telah tertata dengan baik, pembagian daerah layanan tidak

mengalami kesulitan. Biasanya batas daerah berdasarkan jalan. Di kanan kiri jalan

biasanya ada saluran untuk mengalirkan air yang jatuh di jalan, Hal ini dimaksudkan

agar jalan dapat lebih tahan lama dari kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh

hujan.

Dengan penataan tata ruang yang baik pembagian daerah layanan dapat digolongkan

menurut jenisnya:

- Daerah pemukiman

- Daerah perdagangan dan industri

- Daerah persawahan

- Daerah rawa dan hutan bakau 13


Jika daerah tidak tertata rapi, pembagian berdasarkan lokasi yang berdekatan,

dengan luas area hampir sama satu sama lain tergantung kondisi lapangan. Tata letak
jaringan dilakukan setelah daerah layanan terbagi dengan baik. Pada tahap ini

dikategorikan jenis salurannya yaitu:

- Drainase lokal dari blok-blok yang sudah dibagi sebelumnya

- Drainase pengumpul, menerima pembuangan dari beberapa drainase pengumpul

- Drainase pembawa, yang membawa air dari big collector drain ke badan air

Dalam penentuan tata letak ini juga direncanakan fasilitas drainasenya, misalnya

layout melewati saluran lain dapat digunakan talang atau sifon, dan jika melewati
jalan

dapat digunakan gorong-gorong.

2.6.2 Kriteria Desain

Dalam mendesain saluran pada sistem jaringan drainase harus memenuhi

beberapa kriteria yaitu antara lain :

1. Kecepatan aliran

Hal yang dipertimbangkan dalam penentuan kecepatan aliran yang


diijinkan pada suatu saluran adalah faktor sedimentasi dan erosi/gerusan pada

saluran. Kecepatan aliran yang sangat lambat akan menyebabkan sedimen yang

terapung di air akan mengendap dan mendorong pertumbuhan tanaman air dan

ganggang. Sedangkan kecepatan aliran yang besar dan membawa sedimen

abrasif akan mengakibatkan penggerusan pada saluran, namun hal ini tergantung

pula pada bahan saluran tersebut.

Umumnya batas kecepatan minimum dan maksimum yang diijinkan adalah : 15


¾ Vmin = 0,3 m/d

¾ Vmax = 1,5 m/d

2. Ambang Bebas (tinggi jagaan)

Ambang bebas adalah jarak antara permukaan tertinggi saluran dengan

permukaan air pada saluran. Ambang bebas harus disediakan sebagai


kewaspadaan untuk menghadapi penimbunan sedimen, sampah dan gerakan

ombak pada saluran. Tinggi ambang bebas yang ditentukan, yaitu:

¾ ambang bebas = 0,5 m untuk 1,0 < Q = 2,0 m3

/s

¾ ambang bebas = 0,7 m untuk 6,0 < Q = 10,0 m3

/s

¾ ambang bebas = 0,9 m untuk 15,0 < Q = 50,0 m3

/s

¾ ambang bebas = 1,2 m untuk 50,0 < Q = 150,0 m3

/s

¾ ambang bebas = 1,5 m untuk Q = 150,0 m3

/s

2.6.3 Kriteria Desain Standar Debit Banjir Rencana


Upaya pengendalian banjir dengan wujud fisik dan non fisik harus mampu

melewatkan debit banjir yang besarnya lebih kecil atau sama dengan debit banjir

rencana dengan aman. Besarnya debit banjir rencana umumnya didefinisikan sebagai

besarnya debit dengan periode ulang tertentu. Prosedur standar untuk memilih debit

banjir rencana merupakan kriteria utama yang sangat dibutuhkan oleh perencana dan

teknisi sistem pengendalian banjir dalam merencanakan bangunan pengendali banjir.

Pemilihan debit banjir rencana dapat dilakukan dengan 2 metode. Metode

pertama dengan menggunakan standar debit banjir rencana yang berlaku umum di

seluruh wilayah Indonesia, yaitu debit banjir rencana dengan periode ulang minimum.

Sedangkan metode kedua, yaitu dengan menggunakan debit banjir rencana optimum
17yang didapat dari hasil analisa kelayakan ekonomi yang sangat tergantung pada
kondisi

sosial dan ekonomi suatu daerah. Periode ulang minimum untuk menentukan
besarnya

debit banjir rencana pengendalian banjir, drainase perkotaan dan drainase di dataran
banjir dapat dilihat pada tabel 2.1. 18

2.7 Program XP-SWMM

XP-SWMM merupakan suatu paket program model simulasi yang

mampu mengkombinasikan GIS (arcview), Auto Cad, dengan Storm Water

Management Model (SWMM), yang dapat mensimulasikan kualitas dan 18kuantitas


air, aliran permukaan air, aliran bawah permukaan dan penelusuran

aliran di saluran serta analisis masalah-masalah yang berhubungan dengan

hidrologi dan hidrolika sekaligus. GIS (Geography Information System) dan

Auto Cad digunakan untuk mempermudah proses pemasukan data dengan

digitasi peta berikut informasinya. Setelah itu digunakan simulasi dilanjutkan

dengan menggunakan paket program SWMM.

Pertama kali program ini dibuat pada tahun 1971 dan sudah mengalami

perkembangan dan modifikasi, sampai memiliki beberapa versi. SWMM

memiliki peran yang besar untuk menjadi sebuah paket program analisis
hidrologi dan hidrolika sekaligus yang paling relevan dalam aplikasi praktek

dalam dunia hidroteknik sekarang ini. Program XP SWMM ini mempunyai

kapasitas dengan tujuan untuk mendesain saluran, perencanaan dan

penggambaran masalah drainase dan masalah – masalah yang berhubungan

dengan perairan lainnya. 19


2.7.1 Metode Perhitungan Blok Runoff

¾ Simpanan Cekungan

Simpanan cekungan dipergunakan untuk asumsi bahwa tidak ada aliran

permukaan yang terjadi sebelum seluruh cekungan penuh. Secara otomatis, 25 %

daerah kedap air (kecuali dinyatakan oleh pemakai) dinyatakan mempunyai

simpanan cekungan nol, untuk menstimulasikan limpasan segera.

Air pada simpanan cekungan di daerah tidak kedap, dapat habis oleh

infiltrasi. Nilai simpanan cekungan yang berbeda dapat diberikan untuk daerah
kedap pada setiap sub daerah layanan, sama halnya dengan nilai presentase

kedap air dengan simpanan cekungan no. l. 20


¾ Aliran Permukaan (Overland Flow)

Aliran permukaan didefinisikan sebagai pergerakan air melalui

permukaan tanah sebelum dan sesudah mencapai saluran. Meskipun berada di

dalam daerah tangkapan di daerah pedalaman/pedesaan, volume limpasan

dipengaruhi oleh curah hujan – infiltrasi – proses aliran permukaan.

Untuk lebih memahami proses konversi kejadian hujan menjadi limpasan

permukaan pada blok runoff, rumus limpasan permukaan yang digunakan dapat

dijabarkan secara singkat sebagai berikut.

Rainfall – ( infiltrasi + evaporasi ) = overland (2.2)

Besarnya debit aliran permukaan pada pemodelan SWMM Blok Runoff

dihitung dengan konsep nonlinear reservoir. Teknik nonlinier reservoir ini

merupakan gabungan persamaan Continuity Lumped dengan persamaan Manning


untuk aliran permukaan.

Beberapa parameter yang diperlukan dapat dilihat pada Gambar 2.3 di dalam

sebuah daerah tangkapan “reservoir” dengan memperlihatkan hubungan antara

aliran yang masuk (inflow) dan aliran yang keluar (outflow), atau kehilangan. 21
¾ Infiltrasi

Persamaan Green-Ampt telah dikembangkan untuk meresapkan kelebihan air

pada permukaan. Persamaan yang digunakan adalah:

Untuk F < Fs

Untuk i > Ks, f = i dan tidak ada perhitungan untuk i ≤ Ks

(2.13)

Untuk F ≥ Fs

(2.14)
(2.15)

Dengan : f = laju infiltrasi (ft/detik)

fp = kapasitas infiltrasi (ft/s)

i = intensitas hujan (ft/s)

F = volume infiltrasi kumulatif yang terjadi (ft)

Fs = volume infiltrasi kumulatif yang dibutuhkan agar permukaan

jenuh (ft)

S = isapan kapiler rata-rata (ft)

IMD = kekurangan kelembaban awal yang terjadi (ft/ft)

Ks = konduktifitas hidraulik tanah jenuh (ft/s)

Persamaan di atas menunjukkan bahwa volume hujan yang dibutuhkan agar

permukaan jenuh tergantung pada nilai intensitas hujan yang terjadi. Untuk i> Ks,
nilai 22fs dihitung dan dibandingkan dengan volume hujan yang diresapkan untuk
kejadian ini.

Hanya jika F ≥ Fs kondisi ini dihitung lagi dengan menggunakan persamaan kedua.
Ketika hujan yang terjadi intensitasnya kurang dan sama dengan Ks , semua

curah hujan diresapkan dan digunakan hanya untuk memperbaiki kekurangan

kelembaban awal, IMD. Kumulatif infiltrasi tidak dirubah untuk intensitas hujan yang

rendah seperti ini. (relatif terhadap konduktivitas hidraulik tanah jenuh, Ks).

Persamaan menunjukkan bahwa kapasitas infiltrasi setelah permukaan jenuh

tergantung pada volume yang diinfiltrasikan, tergantung pada laju infiltrasi pada
langkah

sebelumnya. Untuk menghindari kesalahan numerik selama tahapan waktu,


persamaan

Green-Ampt diintegralkan, dengan fp diganti menjadi dF/dt:

Ks(t2 − t1) = F2 − C.ln(F2 + C) − F1+ C.ln(F1+ C) (2.16)

Dengan : C = IMD . S (ft)

T = waktu (second)

1,2 = notasi awal dan akhir interval waktu


Volume infiltrasi selama tahapan waktu (t2 - t1) adalah (t2 – t1) x i jika

permukaan belum jenuh dan (F2 – F1) jika kejenuhan telah terjadi sebelumnya dan

ketersediaan air di permukaan cukup. Ketika hujan berhenti (dibawah kapasitas

infiltrasi) maka sejumlah air yang tertampung di permukaan diizinkan untuk meresap

dan menambah volume komulatif infiltrasi.

Untuk menghitung besarnya infiltrasi ini dibutuhkan 3 (tiga) parameter sebagai

masukan data, yaitu: 241. Suct, atau tinggi penyerapan kapiler rata-rata.

2. Hydcon, atau konduktivitas hidraulik tanah jenuh.

3. SMDMAX, atau kekurangan kelembaban awal tanah. 24


2.7.2 Metode Perhitungan Blok Hidrolik

¾ Penelusuran Aliran

Elemen aliran pada saluran mencakup gorong-gorong dan pipa, termasuk selokan

dalam daerah tangkapan drainase perkotaan. Ketika dan setelah terjadinya hujan,
aliran
tidak tunak terjadi pada elemen ini. Terdapat dua jenis pendekatan yang dapat
dilakukan

dalam menyelesaikan masalah saluran aliran tak tunak, yaitu pendekatan dari segi

hidrolika. Bentukan ini berdasarkan pada konsep kolam penyimpanan atau reservoir.

Salah satu hal penerapan pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan

melakukan penelusuran aliran, yaitu sebuah prosedur analisis untuk mengetahui jejak

aliran air pada suatu sistem hidrologi, dengan beberapa kejadian hujan sebagai input.

Untuk hydrologic routing input I (t), output Q(t), dan tampungan (storage) S (t)

berhubungan dengan persamaan kontinuitas:

I(t) Q(t) dt

ds = − (2.3)

Dari konsep nonlinier reservoir yang merupakan penggabungan dari persamaan

kontinuitas dengan Manning , maka ditetapkan rumus kontinuitas dapat ditulis untuk

sebuah area adalah :


Ai Q

dA

v*=×−∂

∂=∂

∂ (2.4)

Dengan : V = A . d = volume air pada daerah layanan (m3

d = tinggi air (m) 26


t = waktu (second)

A = luas daerah layanan ( m2

)
i*= curah hujan bersih = intensitas hujan dikurangi

evaporasi, infiltrasi, (m/s)

Q = debit aliran di saluran (m3

/s)

Volume aliran permukaan per meter lebar sub daerah layanan

diperhitungkan berdasarkan persamaan Manning sebagai berikut :

13

ys

q = (2.5)
Dengan : q = debit aliran permukaan per meter lebar (m3

/s/m)

n = koefisien kekasaran Manning

y = kedalaman aliran (m) = d - dp

s = kemiringan lahan (mm/mm ) 28


maka debit aliran dirumuskan sebagai berikut :

2/3 1/2 ) (d dp) S

1 Q = W ( − (2.6)

Dengan : Q = debit aliran permukaan (m3

/s)

q = debit aliran permukaan per meter lebar (m3

/s/m)

W = Lebar daerah layanan (m)


dp = tinggi depression storage (m)

s = kemiringan daerah tangkapan (m/m)

Sedangkan rumus gelombang kinematik mengasumsikan bahwa limpasan

persatuan lebar dari daerah tangkapan adalah sebagai berikut :

Persamaan Kinematic Wave :

+ = q dt

dA

dx

dQ (2.7)

Ql = a ×Am (2.8)

Dengan: QL = Aliran per satuan lebar daerah tangkapan (m3

/s)

A = Kedalaman air (m)


a, m = parameter gelombang kinematik

Dengan mensubstitusi persamaan 2.7 dan 2.8 maka di dapat

+ + = q dx

dA (a.m A m - 1) dt

dA (2.9)

Mendapatkan nilai koefisien n dapat dihitung dengan persamaan :

5 n = (n0 + n1+ n2 + n3 + n4)m (2.10) 30


¾ Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh air untuk bergerak dari

titik terjauh mencapai titik tertentu di hilir.

Waktu konsentrasi pada aliran permukaan adalah sebagai berikut :

Tc = ( L )1-m (2.11)

a x i*(m-1)
Dengan : Tc = waktu konsentrasi

L = panjang daerah tangkapan

i* = intensitas hujan

a, m = parameter gelombang kinematik

Nilai a dan m tergantung dari perhitungan aliran seragam pada aliran normal.

a = 1,49 x S1/2 (2.12)

m = 5/3 31

3. Sifat-Sifat Sistem Periodik


SIFAT-SIFAT SISTEM PERIODIK

Anda mungkin juga menyukai