Anda di halaman 1dari 89

TUGAS

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE


KOTA BLITAR

Oleh :
Dira Rosy Abdurachman (1722201006)
Moch. Zainal Arifin (1722201035)

Dosen:
NINDYA YUSNIARTANTI, ST., MT

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
BLITAR
2019
KATA PENGANTAR

Laporan Perencanaan Sistem Drainase Kota Blitar disusun untuk


memenuhi tugas mata kuliah Drainase Kota bagi mahasiswa Program Studi
Teknik Sipil, UNU Blitar. Diharapkan dengan adanya buku ini, para
mahasiswa dapat lebih memahami tentang bagaimana merencanakan sistem
drainase suatu kota berdasarkan keadaan sebenarnya kota tersebut, mulai
dari menentukan letak suatu saluran, perhitungan debit dan dimensi saluran,
sampai pada Bill of Quantity (BOQ).
Dengan selesainya penulisan laporan ini, penulis menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang turut mendukung, mengevaluasi, dan
memberikan kritik dan saran, khususnya kepada :
1. Dosen Pengampu Mata Kuliah Drainase Kota
2. Rekan-rekan mahasiswa Prodi Teknik Sipil, UNU Blitar
Penulis mengharapkan saran dan masukan dari pembaca guna
penyempurnaan laporan ini, semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.

Blitar, Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar (i)


Daftar Isi (ii)
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Maksud dan Tujuan
1.3 Ruang Lingkup
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Drainase Secara Umum
2.2 Fungsi Drainase
2.3 Analisa Hidrologi
2.3.1 Melengkapi Data Hujan
2.3.2 Tes Konsistensi Data Hujan
2.3.3 Harga Rata-rata Curah Hujan (R)
2.3.4 Hujan Harian Maksium
A. Metode Gumble
B. Metode Log Pearson Type III
C. Metode Iway Kadoya
2.3.5 Analisa Intensitas Hujan
A. Metode Van Breen
B. Metode Bell
C. Metode Hasper-Weduwen
2.3.6 Pemilihan Rumus Intensitas Hujan
A. Metode Talbot
B. Metode Sherman
C. Metode Ishiguro
2.4 Analisa Perhitungan Perencanaan Drainase
2.4.1 Perhitungan Limpasan Hujan
A. Koefisien Pengaliran
B. Time Overland Flow
C. Time of Drain
D. Time of Concentration
E. Daerah Pengaliran
2.4.2 Debit Aliran
2.4.3 Kecepatan Aliran
2.4.4 Ambang Bebas
2.5 Perhitungan Dimensi Saluran
2.5.1 Macam-macam Bentuk Saluran Drainase
2.5.2 Penampang Ekonomis
2.6 Kelengkapan Saluran
2.6.1 Sambungan Persil
2.6.2 Street Inlet
2.6.3 Sumuran Pemeriksa
2.6.4 Bangunan Terjunan
2.6.5 Gorong-gorong
Bab III Kondisi Umum Daerah Perencanaan
3.1 Luas dan Batas Wilayah Administrasi
3.2 Topografi, Geografi, Klimatologi, dan Curah Hujan
3.3 Tata Guna Lahan
3.4 Kepadatan Penduduk
Bab IV Kriteria Perencanaan Drainase
4.1 Umum
4.2 Jenis dan Bentuk Saluran
4.3 Jalur Perencanaan
4.4 Prinsip-prinsip Pengaliran
Bab V Perhitungan Analisa Hidrologi
5.1 Melengkapi Data Hujan
5.2 Uji Konsistensi
5.3 Perhitungan Curah Hujan Harian Rata-rata dengan
Metode Polygon Thiessen
5.4 Analisa Hujan Harian Maksimum (HHM)
5.4.1 Metode Gumble
5.4.2 Metode Log Pearson Type III
5.4.3 Metode Iway Kadoya
5.5 Analisa Intensitas Hujan
5.5.1 Metode Bell
5.5.2 Metode Van Breen
5.5.3 Metode Hasper-Weduwen
5.6 Pemilihan Rumus Intensitas Hujan/ Lengkung
Intensitas Hujan
5.6.1 Pemilihan Rumus Intensitas Hujan PUH 10 Tahun
5.6.2 Pemilihan Rumus Intensitas Hujan PUH 25 Tahun
Bab VI Perencanaan Sistem Drainase
6.1 Penentuan Blok Pelayanan
6.2 Perhitungan Debit Rencana dan Dimensi Saluran
6.2.1 Perhitungan Koefisien Pengaliran
6.2.2 Jumlah Saluran
6.2.3 Perhitungan Debit Saluran
6.2.4 Perhitungan Dimensi Saluran
Bab VII Bill of Quantity (BOQ)
8.1 Bill of Quantity Saluran
8.2 Penggalian, Pengangkutan, dan Tenaga Kerja
Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 (Judul Gambar) Hal


Gambar 2 (Nama/Judul Gambar) Hal

(dst)
DAFTAR TABEL

Tabel 1 (Nama/Judul Tabel) Hal


Tabel 2 (Nama/Judul Tabel) Hal

(dst)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tugas ini merupakan rangkaian dari mata kuliah Drainase Kota, dimana
mahasiswa diharuskan membuat suatu sistem perencanaan penyaluran air
hujan untuk suatu kota dengan data sekunder maupun data-data curah hujan
yang bukan data sebenarnya. Tugas perencanaan disusun sebagai salah satu
prasyarat kelulusan untuk mata kuliah Drainase Kota di Prodi Teknik Sipil,
UNU Blitar.
Dampak yang ditimbulkan karena permasalahan mengenai air buangan
merupakan salah satu hal yang melatarbelakangi disusunnya laporan tugas
perencanaan drainase kota ini. Pengaliran air hujan sebagai runoff yang
belum mendapatkan penanganan secara baik dan benar akan memberikan
dampak negatif terhadap kota dan masyarakatnya, misalnya banjir dan
genangan air. Pembangunan kota yang pesat menimbulkan banyak
permasalahan, antara lain semakin kecilnya area infiltrasi air hujan,
dikarenakan banyaknya bangunan gedung dan perkantoran yang
menyebabkan persentase air akan lebih besar mengalir sebagai runoff.
Untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan, diperlukan
suatu perencanaan yang baik dan benar. Mahasiswa Teknik Sipil yang
proyeksi ilmunya kearah tersebut diharapkan mampu mengatasi
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan penanganan air hujan.
Khususnya kota-kota besar yang menjadi pusat industri dan kota dengan
status rawan banjir, diperlukan penataan sistem drainase yang lebih serius.

1.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dari perencanaan ini adalah sebagai aplikasi dari mata kuliah
drainase kota, khususnya untuk Kota Blitar, namun tidak benar-benar sesuai
dengan kondisi riil kota tersebut, akan tetapi sebatas memberikan gambaran,
sehingga sedapat mungkin dapat terhindarkan dari akibat-akibat yang
muncul dari permasalahan air hujan.
Tujuan dari pembuatan tugas perncanaan ini adalah agar mahasiswa
Teknik Sipil UNU Blitar, mengerti dan memahami bagaimana membuat suatu
sistem perencanaan drainase, yang nantinya dapat mendukung kompetensi
dan keprofesiannya.

1.3 Ruang Lingkup


Batasan atau ruang lingkup dari perencanaan ini adalah :
1. Dasar Teori
2. Penentuan Daerah Pelayanan
3. Melengkapi Data Hujan
4. Analisa Hidrologi
a. Tes Konsistensi Data Hujan
b. Perhitungan Curah Hujan Rata-rata dengan Polygon Thiessen
c. Perhitungan Hujan Harian Maksimum dengan Metode Gumbel,
Metode Log Pearson Type III, dan Metode Iway Kadoya
d. Perhitungan Distribusi Hujan dengan Metode Bell, Metode Van Breen,
dan Metode Hasper-Weduwen
e. Perhitungan Lengkung Intensitas Hujan dengan Metode Talbot,
Metode Sherman, dan Metode Ishiguro
5. Perencanaan Sistem Jaringan Drainase
6. Perhitungan Beban Aliran (debit air hujan)
7. Perhitungan Dimensi dan Elevasi Saluran
8. Rencana Bangunan Pelengkap (jika ada)
9. Perhitungan Bill of Quantity (BOQ) Saluran Drainase
10. Gambar Profil Hidrolis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Drainase Secara Umum.


Drainase berasal dari bahasa inggris yaitu drainage dan kata kerja to
drain yang mempunyai arti mengalirkan, membuang atau mengalihkan air
dari suatu tempat ke tempat lain. Secara umum drainase bisa didefinisikan
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha untuk mengalirkan air
yang berlebihan dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu, baik yang
berasal dari hujan, rembesan maupun yang lainnya di suatu kawasan,
sehingga fungsi kawasan tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan
sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan
salinitas. Drainase perkotaan mencakup pengelolaan pengaliran air limpasan
/ run off yang berasal dari hujan pada daerah perkotaan kedalam sistem
pembuang/drainase alamiah seperti sungai, danau, dan laut.

Menurut Dr. Ir Suripin, M. Eng (2004) drainase mempunyai arti


mengalirkan, menguras, membuang atau mengalirkan air. Secara umum,
drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi
untuk mengurangi atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau
lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga
diartikan sebagai suatu cara pembuangan kelebihan air dari suatu kawasan
atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga
diartikan sebagai suatu cara pembuangan kelebihan air yang tidak di
inginkan pada suaru daerah, serta cara– cara penanggulangan akibat
ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.

Dari sudut pandang yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari
prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju
kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat. Prasarana drainase di
sini berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air
permukaan dan bawah permukaan tanah) dan atau bangunan resapan. Selain
itu juga berfungsi sebagai pengendali kebutuhan air permukaan dengan
tindakan untuk memperbaiki daerah becek dan genangan air

Untuk Drainase perkotaan sendiri secara umum memiliki arti suatu


ilmu dari drainase yang mengkhususkan pengkajian pada kawasan
perkotaan, yaitu merupakan suatu sistem pengeringan dan pengaliran air
dari wilayah perkotaan yang meliputi pemukiman, kawasan industri dan
perdagangan, sekolah, rumah sakit, lapangan olahraga, lapangan parkir,
instalasi militer, instalasi listrik dan telekomunikasi, pelabuhan udara,
pelabuhan laut, serta tempat-tempat lainnya yang merupakan bagian dari
sarana kota yang berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan,
sehingga menimbulkan dampak negatif dan dapat memberikan manfaat bagi
kegiatan kehidupan manusia

2.2 Fungsi Drainase.


Fungsi drainase juga bisa dikategorikan menjadi 2 yaitu Fungsi
drainase secara umum dan fungsi drainase perkotaan. Fungsi drainse secara
umum adalah :

1. Mengeringkan bagian wilayah kota yang permukaan lahannya rendah


dari genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif berupa
kerusakan infrastruktur kota dan harta benda milik masyarakat.
2. Mengalirkan kelebihan air permukaan badan air terdekat secepatnya
agar tidak membanjiri/ menggenangi kota yang dapat merusak selain
harta benda masyarakat juga infrastruktur perkotaan.
3. Mengendalikan sebagiaan air permukaan akibat hujan yang dapat
dimanfaatkan untuk persediaan air dan kehidupan akuatik.
4. Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian air tanah.

Sedangkan Fungsi drainase perkotaan adalah :


1. Fungsi Drainase Perkotaan Secara Umum :
 Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian air
tanah (konservasi air).
 Mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat
dimanfaatkan untuk persediaan air dan kehidupan akuatik.
 Mengeringkan bagian wilayah kota dari genangan sehingga
tidak menimbulkan gangguan atau kerugian terhadap
lingkungan.
 Mengalirkan air permukaan kebadan air penerima terdekat.
 Melindungi prasarana dan sarana perkotaan yang sudah
terbangun.
2. Fungsi Drainase Perkotaan Berdasarkan Fungsi Layanan :
 Sistem drainase lokal Yang termasuk sistem drainase lokal
adalah sistem drainase terkecil yang melayani suatu kawasan
kota tertentu seperti komplek, areal pasar, perkantoran, areal
industri dan komersial. Pengelolaan sistem drainase lokal
menjadi tanggung jawab masyarakat, pengembang atau
instansi terkait.
 Sistem drainase utama Yang termasuk dalam sistem drainase
utama adalah saluran drainase primer, sekunder, tersier
beserta bangunan pelengkapnya yang menerima aliran dari
sistem drainase lokal. Pengelolaan sistem drainase utama
merupakan tanggung jawab pemerintah kota. (sanitasi.net)
3. Fungsi Drainase Perkotaan Berdasarkan Fungsinya :
 Saluran primer Adalah saluran utama yang menerima masukan
aliran dari saluran sekunder dan/atau saluran tersier. Saluran
primer bermuara di badan penerima air.
 Saluran sekunder Adalah saluran terbuka atau tertutup yang
berfungsi menerima aliran air dari saluran tersier dan
limpasan air dari permukaan sekitarnya, dan meneruskan air
kesaluran primer.
 Saluran Tersier Adalah saluran drainase yang menerima air
dari saluran drainase lokal dan meneruskan kesaluran
sekunder/primer. Saluran untuk mengalirkan limbah rumah
tangga ke saluran sekunder, berupa pelesteran, pipa dan tanah.

2.3 Analisa Hidrologi.


Hidrologi berasal dari bahasa Yunani, Hydrologia yang berarti ilmu
air. Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya
(cairan, padat, gas) dalam atau di atas permukaan tanah termasuk di
dalamnya adalah penyebaran daur dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan
kimia, serta hubungannya dengan unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri.
Hidrologi juga mempelajari perilaku hujan terutama meliputi periode ulang
curah hujan karena berkaitan dengan perhitungan banjir serta rencana untuk
setiap bangunan teknik sipil antara lain bendung,bendungan dan jembatan.
Pegertian Hidrologi menurut para Ahli :

1. Marta dan Adidarma (1983), bahwa hidrologi adalah ilmu yang


mempelajari tentang terjadinya, pergerakan dan distribusi air di
bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi,tentang sifat
fisik, kimia air serta reaksinya terhadap lingkungan dan
hubunganya dengan kehidupan.
2. Linsley (1996), menyatakan pula bahwa hidrologi ialah ilmu yang
membicarakan tentang air yang ada di bumi, yaitu mengenai
kejadian, perputaran dan pembagiannya, sifat-sifat fisik dan kimia,
serta reaksinya terhadap lingkungan termasuk hubungannya
dengan kehidupan.
3. Singh (1992), menyatakan bahwa hidrologi adalah ilmu yang
membahas karakteristik menurut waktu dan ruang tentang
kuantitas dan kualitas air bumi, termasuk di dalamnya kejadian,
pergerakan, penyebaran, sirkulasi tampungan, eksplorasi,
pengembangan dan manajemen.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa hidrologi


adalah ilmu yang mempelajari tentang air, baik di atmosfer, di bumi, dan di
dalam bumi, tentang perputarannya, kejadiannya, distribusinya serta
pengaruhnya terhadap kehidupan yang ada di alam ini.

Berdasarkan konsep tersebut, hidrologi memiliki ruang lingkup atau


cakupan yang luas. Secara substansial, cakupan bidang ilmu itu meliputi: asal
mula dan proses terjadinya air pergerakan dan penyebaran air sifatsifat air
keterkaitan air dengan lingkungan dan kehidupan. Hidrologi merupakan
suatu ilmu yang mengkaji tentang kehadiran dan gerakan air di alam. Studi
hidrologi meliputi berbagai bentuk air serta menyangkut perubahan-
perubahannya, antara lain dalam keadaan cair, padat, gas, dalam atmosfer, di
atas dan di bawah permukaan tanah, distribusinya, penyebarannya,
gerakannya dan lain sebagainya.

Dalam merencanakan bangunan air termasuk drainase, analisis yang


penting perlu ditinjau adalah analisis hidrologi. Analisa hidrologi yaitu
penjelasan tentang pengolahan data-data hidrologi yang tersedia sehingga
didapat debit perencanaan yang diperlukan. Analisis hidrologi merupakan
faktor yang paling berpengaruh untuk merencanakan besarnya sarana
penampungan dan pengaliran. Hal ini diperlukan untuk dapat mengatasi
aliran permukaan yang terjadi agar tidak mengakibatkan terjadinya
genangan.

Data hidrologi salah satunya adalah data curah hujan untuk


menganalisis jumlah debit yang ada. Data curah hujan diambil dari dua
stasiun hujan. Data kemudian diurutkan menurut fungsi waktu sehingga
merupakan data deret berkala. Data deret berkala tersebut kemudian
dilakukan pengetesan/pengujian tentang (Soewarno, 1995:23): 1.
Konsistensi, dan 2. Kesamaan jenis (homogenitas). Hasil analisis hidrologi
adalah besarnya debit air yang h arus ditampung oleh selokan samping.

Analisis hidrologi diperlukan untuk menentukan besarnya debit banjir


rencana yang mana debit banjir rencana akan berpengaruh besar
terhadap besarnya debit maksimum maupun kestabilan konstruksi yang
akan dibangun. Pada perencanaan konstruksi, data curah hujan harian
selama periode 10 tahun yang akan dijadikan dasar perhitungan dalam
menentukan debit banjir rencana.

Data hujan harian selanjutnya akan diolah menjadi data curah hujan
rencana,yang kemudian akan diolah menjadi debit banjir rencana. Data hujan
harian didapatkandari beberapa stasiun di sekitar lokasi rencana bendung, di
mana stasiun tersebut masuk dalam catchment area atau daerah pengaliran
sungai.Adapun langkah-langkah dalam analisis hidrologi adalah sebagai
berikut:

a. Menentukan Daerah Aliran Sungai (DAS) beserta luasnya.


b. Menentukan luas pengaruh daerah stasiun-stasiun penakar hujan
sungai.
c. Menentukan curah hujan maksimum tiap tahunnya dari data curah
hujan yang ada.
d. Menganalisis curah hujan rencana dengan periode ulang T tahun.
e. Menghitung debit banjir rencana berdasarkan besarnya curah
hujan rencana diatas pada periode ulang T tahun

Analisis hidrologi membutuhkan beberapa tahap pengambilan data


yang selanjutnya dihitung menggunakan rumus matematis, diantaranya :

2.3.1 Melengkapi Data Hujan


Hal pertama yang dilakukan setelah pengambilan data dari lapangan
adalah memeriksa apakah data dari lapangan sudah lengkap semua, apabila
sudah lengkap maka bisa langsung dilakukan tahap selanjutnya yaitu tes
konsistensi. Namun apabila data yang didapat belum lengkap maka harus
dilengkapi dahulu data dersebut. Untuk melengkapi data curah hujan yang
hilang dari suatu stasiun hujan, maka diperlukan data dari stasiun lain yang
memiliki data yang lengkap dan usahakan latak stasiunnya paling dekat
dengan stasiun yang datanya hilang.

2.3.2 Tes Konsistensi Hujan


Data-data hujan yang dipakai untuk keperluan pengujian konsistensi
adalah data Hujan Harian Maksimum (HHM), serta memenuhi persyaratan
kualitas dan kuantitas. Uji konsistensi data hujan diperlukan agar
perencanaan yang dilakukan dapat sedekat mungkin dengan kenyataan,
sehingga batasbatas toleransi kesalahan masih dalam batas yang diijinkan.
Syarat Uji Konsistensi Data Hujan ada 2 yaitu :

a. Kuantitas
 Jumlah data HHM (N) dari setiap stasiun pengukur hujan N ≥ 30
data, agar diperoleh tinggi hujan harian maksimum rata-rata yang
normal
 Jumlah Stasiun Pengamat Hujan/ SPH (M), dimana M ≥ (3 – 10) SPH
 Data hujan kontinyu setiap tahun pendataan, jika ada yang tidak
lengkap perlu diengkapi (melengkapi data hujan).
b. Kualitas
 Data hujan terpakai sudah lengkap dengan M ≥ 1 dari yang terdekat
serta paling berpengaruh pada daerah aliran saluran (DAS)
drainase yang direncanakan
 Ada data hujan dari SPH sekitarnya dengan M ≥ (3 – 10) SPH diluar
data-data hujan untuk perhitungan drainase
 Data-data hujan untuk perhitungan drainase harus konsisten.
Sebagai kontrol konsistensi adalah dari SPH pembanding dengan M
≥ (3 – 10) SPH
 Setelah konsisten, selanjutnya perlu dicek kehomogenitas-annya,
dengan grafik homogenitas. Jika tidak homogen,maka dicari array
data lain yang homogen
 Tidak konsitensinya sekumpuan data array data dapat disebabkan
adanya perubahan atau trend yang terjadi di suatu wilayah (DAS)
yang diakibatkan :
 Perubahan tata guna lahan pada DAS (daerah aliran
saluran) drainase dan sekitarnya. Misal ; DAS hutan
berubah menjadi DAS kota, akibatnya sederetan data
hujan pada tahun-tahun sebelumnya dijadikan daerah
perkotaan, memiliki tinggi hujan yang lebih besar pada
tahun-tahun sesudahnya
 Perpindahan tempat/lokasi stasiun pengukur hujan
 Perubahan ekosistem sehingga berakibat pada perubahan
iklim, misal ; kebakaran hutan, tanah longsor, dsb
 Kesalahan sistem observasi data pada sekumpulan data
hujan

Langkah-langkah Uji Konsistensi :

1) Satu kelompok (minimal 20-30 data) dari stasiun pengukur hujan


(SPH) dan disekeliling stasiun yang datanya akan di cek
konsistensinya
2) Disusun menurut array data masing-masing, misal ada 5 SPH (stasiun
A, B, C, D, dan E), dengan array data A1 – A30, B1 – B30, C1 – C30, D1 –
D30, dan E1 – E30 Misal : Stasiun yang akan dicek datanya adalah
stasiun A (1 – 30) data, maka 4 array data masing-masing stasiun
sekelilingnya B, C, D dan E dirata-rata (RB, RC, RD, dan RE)
3) Untuk setiap stasiun pengamat hujan, diuji konsistensinya satu per
satu. Apabila nilai konsistensinya lebih dari 10%, maka curah hujan
dianggap konsisten
2.3.3 Harga Rata-Rata Curah Hujan (R)
Ada beberapa metode yang bisa digunakan dalam mencari harga rata-
rata curah hujan di suatu daerah diataranya adalah metode Pholigon
Thiessen. Metode Thiessen adalah salah satu metode untuk menentukan
hujan rata-rata pada suatu wilayah berdasarkan luas daerah stasiun
penghitung hujan. Metode Thieesen ditentukan dengan cara membuat
poligon antar stasiun pada suatu wilayah kemudian tinggi hujan rata-rata
dihitung dari jumlah perkalian antara setiap luas poligon dan tinggi hujan
dibagi dengan seluruh luas wilayah.
Gambar 1. Metode Thiessen

Selanjutya dapat dihitung menggunakan rumus :

𝐑 𝐀 𝐀𝐀 +𝐑 𝐁 𝐀𝐁 +𝐑 𝐂 𝐀𝐂 +⋯+𝐑 𝐧 𝐀𝐧
𝐑= (1)
𝐀𝐀 +𝐀𝐁 +𝐀𝐂 +⋯+𝐀𝐧

Dimana :

A : luas areal

R : tinggi curah hujan rata-rata areal

RA,RB,..,Rn : tinggi curah hujan di pos 1,2,....,n

AA,AB,..,An : luas daerah pengaruh pos 1,2,....,n

2.3.4 Hujan Harian Maksimum

Untuk menghitung Hujan harian maksimum bisa dilakukan dengan


beberapa metode, diantaranya :

a) Metode Gumbel
̅ + 𝛔𝐑 ( 𝐘𝐭 − 𝐘𝐧 )
𝐑𝐭 = 𝐑 (2)
𝐒𝐧

𝐘𝐭 −𝐘𝐧
k= (3)
𝑺𝒏

b = √𝟏 + 𝟏, 𝟑 𝒌 + 𝟏, 𝟏 𝒌² (4)
𝛔𝐑
Se = b x (5)
√𝑵
Rk = ± t(a) x Se (6)

Dimana :

Rt : curah hujan rancangan dengan kala ulang T tahun

R : nilai rata – rata aritmatik hujan kumulatif

Yt : reduced variate,

Yn : Reduced mean

Sn : Reduced St.Deviasi

σn : standar deviasi

N : Jumlah Data

Se : Probability error

Rk : Rentang Keyakinan (mm/24 jam)

b) Metode Iway-Kadoya

Metode ini terdiri dari beberapa tahapan perhitungan yang harus dilakukan
dengan berurutan. Yaitu Metode Iway Kadoya disebut pula pola distribusi
terbatas sepihak (one sided finite distribution) Prinsip dasarnya adalah
merubah variabel (x) dari kurva kerapatan curah hujan harian ke log (x) atau
merubah kurva distribusi asimetris menjadi kurva distribusi normal

 Menentukan harga Xo
𝟏
𝐗𝐨 = 𝐧 ∑ 𝐥𝐨𝐠𝐗𝐢 (7)

 Memperkirakan harga b
𝟏 𝐧
𝐛 = 𝐦 ∑ 𝐛𝐢 , 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦 = 𝟏𝟎 (8)

(𝐗𝐬.𝐗𝐭)−𝐗𝐨𝟐
𝐛𝐢 = (9)
𝟐𝐗𝐨−(𝐗𝐬.𝐗𝐭)

 Memperkirakan harga Xo
𝟏
𝑿𝒐 = 𝒏 ∑ 𝐥𝐨𝐠(𝑿𝒊 + 𝒃) (10)
 Memperkirakan harga c
𝟏
𝟏 𝟐𝐧 𝟐
= [(𝐧−𝟏) (𝐗 𝟐 − 𝐗𝐨𝟐 )] (11)
𝐜

dengan :

X : harga dengan nomor pengamatan m dari yang terbesar

Xt : harga dengan nomer pengamatan m dari yang terkecil

n : banyaknya data variabel normal ξ yang sesuai pada W(x).

c) Metode Log Pearson III

Metode ini didasarkan pada perubahan data yang ada dalam bentuk
logaritma. Sesuai dengan anjuran The Hidrology Community of
the Water Reccurence Council dalam perhitungan praktis dari suatu data,
maka yang harus dilakukan adalah merubah data tersebut ke dalam bentuk
logaritma baru dihitung statical parameter-nya. Berikut tumus yang
digunakan dalam perhitungan metode Log Pearson III:

Ʃ ( 𝒙𝒊−𝐱̅)²
𝑺=√ (12)
𝑵−𝟏

𝑵 Ʃ ( 𝑿𝒊− 𝐱̅)³
Cs = ( 𝑵−𝟏)(𝑵−𝟐 ) (𝐬)³ (13)

Xt = 𝐱̅ + 𝒌𝒙 . 𝐒 (14)

Rt = antilog(Xt) (15)
Dimana :
S : Deviasi Rata – rata besaran Logaritma
Cs : Koefisien Asimetri
N : Jumlah data
Xt : Harga Log tiap data untuk tiap PUH
Rt : harga HHM tiap PUH

2.3.5 Analisa Intensitas Hujan.


Analisa Intensitas Hujan bisa dilakukan dengan beberapa metode, yaitu :
a) Metode Bell
Data hujan selama selang waktu yang cukup panjang harus
tersedia untuk keperluan analisis frekuensi hujan. Bila data ini tak
tersedia, bila diketahui besarnya curah hujan 1 jam (60 menit) dengan
periode ulang 10 tahun sebagai dasar, maka suatu rumus empiris yang
diberikan oleh Bell dapat dipakai untuk menentukan curah hujan dari 5–
120 menit dengan periode ulang 2–100 tahun. Menurut Tanimoto yang
didasarkan pada penelitian Dr. Borema bahwa untuk daerah Jawa,
distribusi curah hujan setiap jam diperkirakan sebagai berikut

Tabel 1. Distribusi Hujan Menurut Tanimoto


Hujan (mm)
Jam ke
170 230 350 470
1 87 90 96 101
2 28 31 36 42
3 18 20 26 31
4 11 14 20 25
5 8 11 16 22
6 6 9 14 20
7 6 8 13 19
8 4 7 12 18
9 2 5 10 15
10 - 5 10 15
11 - 4 9 14
12 - 4 9 14
13 - 4 9 14
14 - 4 9 14
15 - 3 8 13
16 - 3 8 13
17 - 3 7 13
18 - 3 7 12
19 - 2 7 11
20 - - 7 11
21 - - 7 11
22 - - 6 11
23 - - 4 10

Perkiraan pola distribusi curah hujan ini dilakukan apabila


durasi hujan tidak ada, sehingga dalam mencari hubungan intensitas
pada setiap durasi dilakukan dengan cara empiris. Perumusan secara
empiris didasarkan pada data curah hujan durasi 60 menit (1 jam).
Untuk data hujan yang telah dianalisis berdasarkan metode Gumbel,
pola distribusi curah hujan harian untuk setiap jam adalah hanya
sampai ranking 1 jam ke-4.
𝒕
R = (0,21ln(T)+0,52) (0,54 x t0,25–0,5) (R𝟔𝟎 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒕 ) (16)
𝑻 𝟏𝟎 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏

b) Metode Van Breen

Berdasarkan penelitian Ir. Van Breen di Indonesia, khususnya di


Pulau Jawa, curah hujan terkonsentrasi selama 4 jam dengan jumlah
curah hujan sebesar 90% dari jumlah curah hujan selama 24 jam
(Anonim dalam Melinda, 2007). Perhitungan intensitas curah hujan
dengan menggunakan Metode Van Breen adalah sebagai berikut :

𝟓𝟒𝐑 𝐓 +𝟎,𝟎𝟕𝐑 𝐓 𝟐
𝐈𝐓 = (16)
𝐭 𝐜 +𝟎,𝟑𝐑 𝐓

Dimana:

IT : Intensitas curah hujan pada suatu periode ulang (T tahun)

Rr : Tinggi curah hujan pada periode ulang T tahun (mm/hari)

c) Metode Hasper-Weduwen

Metode ini berasal dari kecenderungan curah hujan harian yang


dikelompokkan atas dasar anggapan bahwa curah hujan memiliki
distribusi yang simetris dengan durasi curah hujan lebih kecil dari 1
jam dan durasi curah hujan lebih kecil dari 1 sampai 24 jam ( Melinda,
2007) Perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan
Metode Haspers & der Weduwen adalah sebagai berikut :

𝟏𝟐𝟏𝟖𝐭+𝟓𝟒
𝐑𝐢 = 𝐗𝐭 ( ) (17)
𝐗 𝐭 (𝟏−𝐭)+𝟏𝟐𝟕𝟐𝐭

𝐑
𝐈= (18)
𝐭

Untuk 1 ≤ t < 24 jam:

𝟏𝟏𝟑𝟎𝟎𝐭 𝐗𝐢
𝐑=√ [ ] (19)
𝐭+𝟑,𝟏𝟐 𝟏𝟎𝟎

Dimana:
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)

R, Rt : Curah hujan menurut Haspers dan Der Weduwen


t : Durasi curah hujan (jam)

Xt : Curah hujan harian maksimun yang terpilih (mm/hari)

2.3.6 Pemilihan Rumus Intensitas Hujan.


Untuk menghitung Lengkung Intensitas hujan juga terdapat beberapa
metode, diantaranya :

a) Metode Talbot
Rumus Talbot dikemukakan oleh professor Talbot pada tahun
1881. Rumus ini banyak digunakan di Jepang karena mudah
diterapkan. Tetapan-tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga
terukur. Adapun rumus tersebut :
𝐚
𝐈= (20)
𝐭+𝐛
Dimana :

I : intensitas hujan (mm/jam),

T : lamanya hujan (jam),

a dan b : konstanta.

b) Metode Ishiguro
Rumus Ishiguro ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro tahun 1953.
Adapun rumus tersebut :
𝐚
𝐈= (21)
√𝐭+𝐛

Dimana :

I : intensitas hujan (mm/jam),

t : lamanya hujan (jam),

a dan b : konstanta.

c) Metode Sherman
Rumus Sherman dikemukakan oleh professor Sherman pada
tahun 1905. Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan
yang lamanya lebih dari 2 jam. Adapun rumus tersebut :
𝐚
𝐈= (22)
𝐭𝐧
Diamana :

I : intensitas hujan (mm/jam),

t : lamanya hujan (jam),

n : konstanta.

2.4 Analisa Perhitungan Perencanaan Drainase.


2.4.1 Perhitungan Limpasa Hujan (Storm Runoff)
Perhitungan debit limpasa hujan dapat dilakukan dengan
menggunakan metode rasional yaitu dengan rumus :

𝟏𝟎𝟎
Q= 𝑪. 𝑰. 𝑨 (23)
𝟑𝟔
Metode Rasional seperti rumus diatas hanya berlaku untuk
menghitung limpasa hujan (storm Runoff) pada daerah aliran seluas kurang
dari 13 km2. Sedangkan untuk daerah yang memiliki luas lebih dari 13 km2
digunakan metode rasional yang sudah dimodifikasi yaitu :
𝟏𝟎𝟎
Q= 𝑪𝒔. 𝑰. 𝑨 (24)
𝟑𝟔
Debit aliran (Q) merupakan hasil kali koifisien tampungan (sorage
coefficient ), rata-rata intensitas hujan (mm/jam) untuk duirasi yang
besarnya sama dengan waktu konsentrasi (tc) dan periode ulang tertentu
serta luas daerah tangkapan / cathment area (A).
A. Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran diperoleh dari hasil perbandingan antara
jumlah hujan yang jatuh dengan yang mengalir sebagai limpasan dari suatu
hujan di permukaan / tanah tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi
harga koefisien pengaliran adalah infiltrasi dan tampungan hujan pada tanah
sehingga mempengaruhi jumlah air hujan yang mengalir (masuk ke saluran)
Penerapan koefisien pengaliran (C) dalam pemakaian metode
rasional, disesuaikan dengan rencana tata guna lahan dari rencana
pengembangan kota. Pada suatu daerah pengaliran dengan tata guna lahan
yang berbeda-beda, besarnya koefisien pengaliran ditentukan dengan
mengambil harga rata-rata berdasarkan bobot luas daerah :
𝑪𝟏𝑨𝟏+𝑪𝟐𝑨𝟐+𝑪𝟑𝑨𝟑+⋯…..𝑪𝒏𝑨𝒏
CR= (25)
𝑨
Dimana :
Cr = harga rata-rata koefisien pengaliran
C1, C2, Cn = harga koefisien pengaliran pada masing-masing daerah
A1, A2, An = luas masing-masing daerah (dalam Ha)
A = luas total daerah pengaliran (Ha)

B. Time Overland Flow(to)


Time Overland Flow adalah waktu untuk melimpas ke dalam saluran
(overland time of flow). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap waktu
limpasan:
 Kekasaran permukaan tanah yang bersifat menghambat pengaliran
 Kemiringan tanah, yang berpengaruh terhadap kecepatan pengaliran
di atas permukaan
 Adanya lekukan pada tanah, menghambat dan mengurangi jumlah air
yang mengalir
 Ukuran luas daerah aliran dan jarak dari street inlet
 Banyaknya bangunan-bangunan yang berpengaruh terhadap jumlah
volume air yang meresap.
Dalam menghitung to pada perhitungan kapasitas saluran, digunakan rumus :
1. Untuk daerah pengaliran sangat kecil, dengan tali air sepanjang ±300
meter.
𝟑,𝟐𝟔 ((𝟏,𝟏−𝑪 )(𝑳𝒐)𝟏/𝟐
 to = 𝑺𝒐𝟏/𝟑
(26)

Dimana :
to = waktu limpasan (menit)
C = koefisien pengaliran
Lo = panjang limpasan (m)
So = kemiringan medan limpasan (%)
𝑳𝒐
 to = (𝑪𝒛 .𝑰.𝐬𝐢𝐧 𝜶)𝟐/𝟑 (27)

Dimana :
Cz = koefisien Cheezy
I = intensitas hujan (mm/jam)
α = sudut kemiringan lahan

2. Berlaku untuk daerah pengaliran kecil, dengan panjang tali air sampai
dengan 1000 m.

𝟏𝟎𝟖𝒏(𝑳𝒐)𝟏/𝟐
to = 𝑺𝟏/𝟓
(28)

dimana
to = waktu limpasan (menit)
n = harga kekasaran permukaan tanah
Lo = panjang limpasan
S = kemiringan medan limpasan (%)

Tabel 2. Pembototan Keadaan (n)


No Jenis Permukaan n
1 Permukaan diperkeras (paved surface) 0,015
2 Permukaan tanah terbuka (bare soil surface) 0,0275
3 Permukaan berumput sedikit 0,035
4 Permukaan berumput sedang 0,045
5 Permukaan berumput lebat 0,060

c. Time of Drain (td)


Time of drain (td) adalah waktu yang diperlukan air hujan untuk
mengalir di dalam saluran,Time of drain (td) ditentukan oleh karakteristik
hidrolis di dalam saluran dan dapat dihitung dengan rumus :

𝑳
td = (29)
𝑽
dimana :
L = panjang saluran
v = kecepatan rata-rata dalam saluran
Untuk memperkirakan kecepatan dalam perhitungan kapasitas saluran
yang direncanakan biasanya v (kecepatan) diasumsikan antara 1 – 3 m/detik.
Selain itu Menghitung kecepatan dalam saluran juga bisa atas dasar rumus
kecepatan Manning.
d. Time of Concentration (tc)
Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan
air hujan dari titik terjauh menuju suatu titik tertentu yang ditinjau pada
daerah pengaliran dan atau diperoleh debit maksimum. Perhitungan Time of
Concentration bergantung pada daerah di sekitar saluran, secara umum
rumus Time of Concentration terbagi menjadi 2 yaitu :
 Pada daerah terbangun waktu konsentrasi terdiri dari waktu yang
diperlukan oleh air untuk mengalir pada permukaan tanah menuju
ke saluran terdekat (overland time of flow/to) dan waktu untuk
mengalir di dalam saluran (td), maka;
tc = to + td (30)
 Pada daerah aliran dengan sebagian besar salurannya terbuka, dan
air masuk sepanjang tepinya, maka :
𝟗𝟐,𝟕 𝑳
tc= (31)
𝑨𝟎.,𝟏 𝑺𝒓𝟎,𝟐
Ʃ𝑳𝒊 √𝑺𝒊 𝟐
Sr = ( ) (32)
Ʃ𝑳𝒊
dimana :
tc = waktu konsentrasi (menit)
L = total panjang limpasan (ekivalen) aliran (km)
A = luas daerah (Ha) kumulatif
Si/Sr = kemiringan alur /rata-rata (‰ atau 10 per mil)

e. Daerah Pengaliran (A)


Luas daerah pengaliran harus diperhitungkan dengan akurat, karena
merupakan salah satu elemen perhitungan volume limpasan pada metode
rasional. Luas daerah dihitung berdasarkan tributary area yang masuk
menjadi beban pada saluran. Informasi daerah pengaliran antara lain :
 Tata guna tanah pada masa kini dan perencanaan di masa
mendatang
 Karakteristik tanah dan bangunan di atasnya
 Kemiringan tanah dan bentuk daerah pengaliran

2.4.2 Debit Aliran.


Menurut Asdak (2002) debit adalah laju aliran air (dalam bentuk
volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan
waktu. Dalam satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik
per detik (m3/dt). Pengukuran debit air sangat dipengaruhi oleh kecepatan
arus air. Kecepatan arus yang berkaitan dengan pengukuran debir air
ditentukan oleh kecepatan gradien permukaan, tingkat kekasaran,
kedalaman, serta lebarnya perairan. Data debit atau aliran sungai merupakan
informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air (Bazak. 1999).
Debit puncak (banjir) diperlukan untuk merancang bangunan pengendali
banjir. Sementara data debit aliran kecil diperlukan untuk perencanaan
alokasi (pemanfaatan) air untuk berbagai keperluan terutama pada musim
kemarau panjang. Debit rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran
potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran
sungai.
Menurut Harsoyo (1977) Metode pengukuran debit dilakukan dengan
dua metode, yaitu pengukuran debit secara langsung dan pengukuran debit
secara tidak langsung. Dimana pengukuran ini dilakukan dengan alat dan
cara yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pengukuran debit air
digunakan beberapa alat pengukur yang langsung dapat menunjukkan
ketersediaan air dalam pengairan bagi penyaluran melalui jaringan-jaringan
yang telah ada atau telah dibangun. Dalam hal ini berbagai alat pengukur
yang telah biasa digunakan yaitu :
a. Alat Ukur Pintu Romin ,Ambang dari pintu Romin dalam
pelaksanaan pengukuran dapat di naik turunkan, yaitu dengan
bantuan alat pengangkat. Pengukuran debit air dengan pintu
ukur romijin yaitu dengan menggunakan rumus:
𝟑
Q = 1,71 b 𝐡𝟐 (33)
Keterangan:
Q : debit air
b : lebar ambang
h : tinggi permukaan air
b. Sekat Ukur Thompson, Berbentuk segitiga sama kaki dengan
sudut 90 dapat dipindah-pindahkan karena bentuknya sangat
sederhana (potable), lazim digunakan untuk mengukur debit
air yang relatif kecil. Penggunaan dengan alat ini dengan
memperhatikan rumus sebagai berikut:

Q = 0,0138 h (34)
Keterangan:
Q : debit air
h : tinggi permukaan air

c. Alat Ukur Parshall Flume ,Alat ukur tipe ini ditentukan oleh
lebar dari bagian penyempitan, yang artinya debit air diukur
berdasarkan mengalirnya air melalui bagian yang menyempit
(tenggorokan) dengan bagian dasar yang direndahkan.
Selain beberapa rumus diatas, Untuk menghitung debit aliran didalam
suatu saluran bisa mengggunakan persamaan kontinuitas dan rumus
manning yaitu :
Q=VxA (35)
dimana :
Q = debit pengaliran (m3/detik)
V = kecepatan rata-rata dalam saluran (m/det)
A = luas penampang basah saluran (m2)
Perhitungan dengan rumus diatas disesuaikan dengan jenis bahan
saluran yang dipakai untuk perkotaan. Dalam mencari nilai kecepatan rata-
rata (v) digunakan rumus Manning dengan harga n sesuai dengan jenis dan
sifat bahan saluran (koef. kekasaran Manning).
𝟏
V= 𝒏 𝑹𝟐/𝟑 𝑺𝟏/𝟐 (36)

Tabel 3. Koefisien kekasaran manning


No Jenis Saluran n
1 Lapisan beton 0,015
2 Pasangan batu kali 0,025
3 Tanpa pengerasan (teratur) 0,030
4 Saluran alami (tidak teratur ) 0,045

Rumus Manning dianjurkan untuk dipakai dalam saluran buatan


dengan atau tanpa pasangan (lining). Untuk saluran alami biasanya
digunakan rumus kecepatan Cheezy, dimana untuk menghitung besarnya td
pada saluran alami (dimana karakter hidrolis sulit ditetapkan), maka
digunakan kecepatan rata-rata dalam saluran alami.
Tabel 4. Harga Perkiraan kecepatan rata-rata saluran alami
No Kemiringan Rata-rata dasar Saluran (%) Kecepatan Rata-rata (m/det)
1 1–2 0,6
2 2–4 0,9
3 4–6 1,2
4 6 – 10 1,5
5 10 – 15 2,4

2.4.3 Kecepatan Aliran


Penentuan kecepatan aliran di dalam saluran yang direncanakan
didasarkan pada kecepatan minimum yang diperbolehkan agar tetap terjadi
self cleansing velocity dan kecepatan maksimum yang diperbolehkan agar
konstruksi saluran tetap aman. Sesuai dengan bentuk dan tipe saluran yang
direncanakan, maka batasan kecepatan aliran di dalam saluran adalah
sebagai berikut :
Tabel 5. Batas kecepatam tiap tipe saluran
No Tipe Saluran Variasi Kecepatan (m/det)
1 Bentuk beton, buis beton 0,75 – 3,0
2 Bentuk persegi, pasangan batu kali 1,0 – 3,0
3 Bentuk trapesional, tanpa pengerasan 0,6 – 1,5

2.4.4 Ambang Bebas (Freeboard )


Ambang bebas pada saluran adalah jarak vertikal dari permukaan
salurantertinggi terhadap permukaan air di dalam saluran tersebut.

Gambar 2. Freeboard

Untuk saluran terbuka tinggi ambang bebas dan didasarkan pada


besar debit yang mengalir di saluran terebut maka freeboard dapat dihitung
dengan persamaan :
Fb =√𝑪 𝒙 𝒅 (37)
dimana :
Fb = freeboard
d = kedalaman air
C = koefisien ,
Tabel 6. Nilai Konstanta berdasarkan debit
Besar Debit (Q) Nilai Konstanta (C)
Q < 0,6 m³/det 0,14
0,6 m³/det - 8,0 m³/det 0,14 – 0,2
Q > 3,0 m³/det > 0,23

Jika perhitungan Freeboard tidak didasarkan pada besar debit yang


25% dari total tinggi air dalam saluran atau d.

2.5 Perhitungan Dimensi Saluran.


2.5.1 Macam – macam Jaringan Drainase Perkotaan
Sistem jaringan drainase perkotaan umumnya dibagi atas 2 bagian, yaitu :

a. Sistem Drainase Mayor


Sistem drainase mayor yaitu sistem saluran/badan air yang
menampung dan mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air
hujan (Catchment Area). Pada umumnya sistem drainase mayor ini
disebut juga sebagai sistem saluran pembuangan utama (major
system) atau drainase primer. Sistem jaringan ini menampung aliran
yang berskala besar dan luas seperti saluran drainase primer, kanal-
kanal atau sungai-sungai. Perencanaan drainase makro ini umumnya
dipakai dengan periode ulang antara 5 sampai 10 tahun dan
pengukuran topografi yang detail mutlak diperlukan dalam
perencanaan sistem drainase ini.

b. Sistem Drainase Mikro


Sistem drainase mekro yaitu sistem saluran dan bangunan
pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari
daerah tangkapan hujan. Secara keseluruhan yang termasuk dalam
sistem drainase mikro adalah saluran di sepanjang sisi jalan,
saluran/selokan air hujan di sekitar bangunan, gorong-gorong,
saluran drainase kota dan lain sebagainya dimana debit air yang
dapat ditampungnya tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase
mikro ini direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2, 5 atau 10
tahun tergantung pada tata guna lahan yang ada. Sistem drainase
untuk lingkungan permukiman lebih cenderung sebagai sistem
drainase mikro.

Sedangkan Pembagian drainase secara Umum bisa


dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu :

2. Menurut sejarah terbentuknya


 Drainase alamiah / Natural Drainage ,Drainase alamiah adalah
sistem drainase yang terbentuk secara alami dan tidak ada
unsur campur tangan manusia.
 Drainase buatan Artificial Drainage, Berkebalikan dengan
Drainase alami. Drainase buatan adalah drainase yang dibentuk
secara tidak alami / ada uncur campur tangan manusia.
3. Menurut letak saluran
 Drainase permukaan tanah Surface Drainage , Drainase
permukaan tanah adalah saluran drainase yang berada di atas
permukaan tanah yang berfungsi mengalirkan air limpasan
permukaan. Analisa alirannya merupakan analisa open channel
flow.
 Drainase bawah tanah Sub Surface Drainage, Drainase bawah
tanah adalah saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air
limpasan permukaan melalui media di bawah permukaan
tanah (pipa-pipa), dikarenakan alasan-alasan tertentu. Alasan
tersebut antara lain tuntutan artistik, tuntutan fungsi
permukaan tanah yang tidak membolehkan adanya saluran di
permukaan tanah seperti lapangan sepak bola, lapangan
terbang, taman, dan lain-lain.
4. Menurut konstruksi
 Saluran Terbuka , adalah sistem saluran yang biasanya
direncanakan hanya untuk menampung dan mengalirkan air
hujan (sistem terpisah), namun kebanyakan sistem saluran ini
berfungsi sebagai saluran campuran. Pada pinggiran kota,
saluran terbuka ini biasanya tidak diberi lining (lapisan
pelindung). Akan tetapi saluran terbuka di dalam kota harus
diberi lining dengan beton, pasangan batu (masonry) ataupun
dengan pasangan bata.
 Saluran Tertutup , adalah saluran untuk air kotor yang
mengganggu kesehatan lingkungan. Sistem ini cukup bagus
digunakan di daerah perkotaan terutama dengan tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi seperti kota Metropolitan dan
kota-kota besar lainnya.
5. Menurut fungsi
 Single Purpose, adalah saluran yang berfungsi mengalirkan satu
jenis air buangan saja.
 Multy Purpose , adalah saluran yang berfungsi mengalirkan
beberapa jenis buangan, baik secara bercampur maupun
bergantian. (H.A Halim Hasmar.2011)

2.5.2 Pola Jaringan Drainase


Dalam perencanaan sistem drainase suatu kawasan harus
memperhatikan pola jaringan drainasenya. Pola jaringan drainase pada suatu
kawasan atau wilayah tergantung dari topografi daerah dan tata guna lahan
kawasan tersebut. Adapun tipe atau jenis pola jaringan drainase sebagai
berikut.

a. Jaringan Drainase Siku,


Dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi
dari pada sungai. Sungai sebagai pembuang akhir berada di tengah
kota
Gambar 3. Jaringan Drainase Siku

b. Jaringan Drainase Paralel


Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan
saluran cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek,
apabila terjadi perkembangan kota, saluran-saluran akan
menyesuaikan.

Gambar 4. Jaringan Drainase Pararel

c. Jaringan Drainase Grid Iron


Untuk daerah dimana sungai terletak di pinggir kota, sehingga
saluran-saluran cabang dikumpulkan dulu pada saluran pengumpul.

Gambar 5. Jaringan Drainase Grid Iron

d. Jaringan Drainase Alamiah


Sama seperti pola siku, hanya beban sungai pada pola alamiah lebih
besar.
Gambar 6. Jaringan Drainase Alamiah

e. Jaringan Drainase Radial


Pada daerah berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala
arah.

Gambar 7. Jaringan Drainase Radial

f. Jaringan Drainase Jaring-Jaring


Mempunyai saluran-saluran pembuang yang mengikuti arah jalan
raya dan cocok untuk daerah dengan topografi datar.

Gambar 8. Jaringan Drainase Jaring jaring

2.5.3 Macam – macam Bentuk Saluran Drainase


Bentuk-bentuk untuk drainase tidak jauh berbeda dengan saluran
irigasi pada umunnya. Dalam perancangan dimensi saluran harus diusahakan
dapat membentuk dimensi yang ekonomis. Dimensi saluran yang terlalu
besar berarti kurang ekonomis, sebaliknya dimensi yang terlalu kecil akan
menimbulkan permasalahan karena daya tampung yang tidak memadai.
Tabel 7. Bentuk penampang saluran
No Bentuk Penampang Keterangan
1 Penampang Segi Empat  Saluran berukuran kecil biasanya
digunakan di pekarangan rumah,
sedangkan yang berukuran besar
untuk saluran air hujan di tepi jalan
 Konstruksi dapat berupa pasangan
batu kali (untuk saluran berdimensi
besar), dan pasangan bata (saluran
kecil)
 Terkadang bagian atas diberi penutup
2 Penampang Trapesium  Digunakan untuk mengalirkan air
hujan dengan debit yang besar
 Tidak memerlukan batu kali/pasangan
bata
 Pasangan batu kali atau bata dipakai
apabila keadaan tanah terhadap
kecepatan aliran menimbulkan erosi,
atau pada pertemuan saluran
3 Penampang Segitiga  Biasanya dipergunakan pada debit
pengaliran kecil di halaman rumah
 Bentuk saluran ini biasanya digunakan
pada lahan yang cukup terbatas

4 Penampang Setengah  Biasanya digunakan di tepi bangunan


Lingkaran rumah atau pekarangan rumah
penduduk
 Berfungsi untuk menyalurkan
limpasan air hujan dengan debit yang
kecil

5 Penampang kombinasi bentuk  Bentuk segitiga untuk aliran dengan


persegi dengan segitiga /
debit besardan yang berbentuk
setengah lingkaran
segitiga untuk aliran dengan debit
kecil
 Pemakaian penampang jenis ini
dimaksudkan agar pada debit kecil
alirannya hanya pada saluran segitiga,
untuk menjaga kecepatan tetap,
dimana pasir dan lumpur masih dapat
dihanyutkan (self cleansing velocity)
 Penampang jenis ini diperlukan jika air
hujan banyak membawa erosi tanah
maupun pasir dan space tanah kurang
mencukupi
6 Penampang kombinasi bentuk Digunakan untuk limpasan/ saluran air
trapezium dengan segitiga /
hujan yang mempunyai fluktuasi debit
setengah lingkaran
besar dan membawa erosi tanah/pasir,
dengan space tanah yang cukup

7 Penampang Lingkaran  Berfungsi sebagai saluran air yang


alirannya penuh air (bertekanan) atau
sebagian penuh
 Biasanya diguanakan dalam saluran
untuk air minum atau air buangan
2.5.4 Penampang Ekonomis
Unsur-unsur geometris dari penampang saluran terbuka meliputi bentuk segi empat, trapesium, segitiga, dan lingkaran
Kedalaman
Keliling Basah Jari-jari Lebar Puncak Penampang
Penampang Luas (A) Hidrolis
(P) Hidrolis (R) Hidrolis (T) Ekonomis
(d)
Segiempat
bxy
bxy b + 2y b y b = 2y
b + 2y

Trapesium T = 2y √1 + z²
(b + zy)y (𝑏 + 𝑧𝑦)𝑦 b + 2zy (b + 2y)y 1
b + 2y √1 + z² R = 2y
𝑏 + 2𝑦 √1 + z² b + 2zy
Z = 3√3
Segitiga
Zy2 Zy 2zy 1
2y√1 + z² y
2
2y√1 + z²

Lingkaran
𝑠𝑖𝑛ø 1 ø−sinø
(ø − sinø )Do² 1
ø D2 (1 − ø ) 1
((sin ø) x 2y(Do − y) [ ] y = 1,9 r
8 2 𝐷𝑜 2 8 𝑠𝑖𝑛1ø
4 2
2.6 Kelengkapan Saluran
Kelengkapan saluran dimaksudkan sebagai sarana pelengkap pada
sistem penyaluran air hujan, sehingga fungsi pengaliran dapat terjadi
sebagaimana yang direncanakan.
2.6.1 Sambungan Persil
Sambungan persil adalah sambungan saluran air hujan dari rumah ke
saluran air hujan yang berada di tepi jalan. Sambungan persil dapat berupa
saluran terbuka atau tertutup yang dibuat terpisah dari saluran air bekas.
2.6.2 Street Inlet
Street inlet adalah lubang disisi-sisi jalan yang berfungsi untuk
menampung dan menyalurkan limpasan air hujan yang berada di sepanjang
jalan menuju kedalam saluran drainase. Bangunan ini merupakan lubang
untuk aliran masuk limpasan air hujan, bisa jadi untuk saluran kombinasi.
Diletakkan pada saluran/ got pada permukaan terendah dari suatu area
tampungan, juga pada perempatan jalan, pada titik-titik terendah di area
perkampungan untuk mencegah genangan air hujan.

Gambar 12 . Inlet sederhana


Sesuai dengan kondisi dan penempatan saluran serta fungsi jalan yang
ada, maka jenis penggunaan saluran terbuka tidak diperlukan street inlet,
karena ambang saluran yang ada merupakan bukaan bebas. Perlengkapan
street inlet memiliki ketentuan sebagai berikut:
1. Diletakkan pada tempat yang tidak memberikan gangguan terhadap
lalu lintas jalan maupun pejalan kaki .
2. Ditempatkan pada daerah yang rendah dimana limpasan air hujan
menuju ke arah tersebut.
3. Air yang masuk melalui street inlet harus secepatnya menuju ke dalam
saluran.
4. Jumlah street inlet harus cukup dapat menangkap limpasan air hujan
pada jalan yang bersangkutan, dengan perhitungan jarak antar street
inlet /spacing menggunakan rumus :
𝟐𝟖𝟎
D= √𝑺 (38)
𝑾

dimana : D = distance (jarak) antara street inlet (m)


S = kemiringan (%), untuk D  50 cm
W = lebar jalan (m)
2.6.3 Sumuran Pemeriksaan (Manhole)
Bangunan tersebut banyak ditemui disepanjang jalan di kota-kota
Indonesia, umumnya bangunan tersebut awalnya dibangun di tepi jalan, oleh
karena perkembangan lalu lintas, jalan semakin lebar, maka posisi lubang
kontrol lambat-laun berada disekitar tengah jalan perkotaan. Pada saluran
yang tertutup dibuat sumuran pemeriksa dengan fungsi :
1. Sebagai bak kontrol,untuk pemeriksaan dan pemeliharaan saluran
2. Untuk memperbaiki saluran bila terjadi kerusakan saluran
3. Melengkapi struktur bila terjadi perubahan dimensi
4. Sebagai ventilasi untuk keluar masuknmya udara
5. Sebagai terjunan (drop manhole) saluran tertutup
Penempatan manhole terutama pada titik-titik dimana terletak street
inlet, belokan, pertemuan saluran dan diawal dan akhir saluran pada gorong-
gorong. Pada saluran yang lurus dan panjang, penempatan sumuran
pemeriksa (manhole) tergantung pada diameter saluran,
Tabel 8. Jarak penempatan Manhole
Diameter Saluran Jarak (Cm)
(Cm) Luar Negeri Indonesia
20 – 50 50 – 70 10 – 25
60 – 100 75 – 100 25 – 75
100 – 200 100 – 150 75 – 150
200 150 - 200 150 - 200
Gambar 12 . Manhole / Sumuran pemerikasaan
2.6.4 Bangunan Terjunan
Bangunan terjunan berfungsi mencegah terjadinya penggerusan
pada badan saluran akibat kecepatan dalam saluran telah melebihi kecepatan
maksimum yang diijinkan. Bangunan terjunan dapat berupa terjunan tegak
maupun terjunan miring dimana penerapannya tergantung pada kondisi
tanah yang ada.

Gambar 12 . Terjunan
2.6.5 Gorong – gorong
Gorong-gorong merupakan bangunan perlintasan karena adanya
saluran yang melintasi jalan. Perencanaan gorong-gorong didasarkan atas
besarnya debit pengaliran sesuai dengan keadaaan saluran dan sifat-sifat
hidrolisnya. Gorong-gorong harus terbebas dari endapan lumpur, dengan
batasan kecepatan dalam gorong-gorong harus lebih besar atau sama dengan
self cleansing velocity.
Gambar 12 . Gorong-gorong
2.6.6 Sands, Grease and Oil Traps (Bak pemisah minyak, lemak dan pasir).
Air buangan dari dapur, baik rumah kediaman, apartemen, restoran,
hotel, asrama, penjara, dll., mengandung minyak yang secara akumulasi
dapat menempel pada dinding pipa saluran pembuangan, sehingga dapat
menebabkan buntu pada saluran tersebut, sehingga pada beberapa kota yang
konskuen akan kebersihan dan perawatan jangka panjang yang efektif, perlu
dibangun bak-bak pemisah minyak pada jalur saluran dari tempat-tempat
tersebut yang akan menuju saluran buangan kota.

Gambar 16 . Bangunan Pelengkap Sands Grease and Oil Traps

2.6.7 Inverted Siphon (sipon).


Dalam pekerjaan air buangan, istilah sipon mengarah pada pipa
saluran yang meneruskan saluran terbuka yang terputus karena sebuah
halangan, seperti :
 Jalan kereta api.
 Jalan kereta bawah tanah,
 Sungai.
 Lembah, dll.
Fungsi utama sipon adalah meneruskan aliran secara gravitasi dari
satu titik yang lebih tinggi di hulu menuju ke titik yang lebih rendah di hilir.

Gambar 18 . Shipon melintasi Jalan dan Terowongan Kereta Api

Gambar 19 . Shipon melintasi Lembah dan Dibawah Sungai

Oleh karena aliran di dalam sipon merupakan aliran secara gravitasi


dan bertekanan, maka bahan pipa yang digunakan harus cukup kuat untuk
menerima tekanan air yang ada didalamnya. Bahan pipa yang digunakan
dapat berupa pipa besi tuang (cast-iron) atau pipa baja dimana pipa dengan
bahan-bahan tersebut yang sering digunakan. Bahan pipa lainnya adalah
beton bertulang, pipa beton pratekan (pre-stressed) dan pipa-pipa tekan
semen asbes (asbestos-cement pressure pipes).
BAB III
GAMBARAN UMUM DAERAH PERENCANAAN

3. 1. Luas dan Batas Wilayah Administrasi


Kota Blitar berada pada koordinat 8o 5’55’’S 112o 9’55’’E / 8.09861o S
112.16528o E. kota ini terletak 167 KM sebelah barat daya Surabaya dan 80
KM sebelah barat Malang dengan luas wilayah 32.58 Km2. Kota Blitar terdiri
dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Sananwetan,Kepanjen Kidul, dan Sukorejo seluas
32,57 km2 dengan jumlah penduduk keseluruhan sejumlah 123.787 jiwa. Kecamatan
dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Sananwetan (12,15 km2) sedangkan
kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Sukorejo (9,92 km2). Lahan
terbangun di Kota Blitar seluas 1.416.834 Ha atau sekitar 47.28 % dari keseluruhan
wilayah. Proporsi terbesar penggunaan tanahnya adalah lahan permukiman,
perumahan, kampung dan lahan persawahan. Sawah irigasi teknis masih cukup
dominan keberadaannya. Batas - batas wilayah kota Blitar adalah :

 Barat dibatasi oleh kecamatan Sanan Kulon.


 Timur dibatasi oleh kecamatan Kuningan
 Selatann di batasi oleh Jatinom,
 Utara di batasi oleh 3 kecamatan meliputi kecamatan Sananwetan,
Sukorejo, dan Kepanjenkidul.

Kota Blitar yang menjadi ibu kota Blitar sejak dahulu sering dikaitkan
dengan nama besar Bung Karno. Karena disinilah Bung Karno dimakamkan dan
pernah pula ttinggal disebuah rumah yang sekarang dinamakan Istana Gebang. Bisa
dikatakan Kota Blitar besar dan terkenal karena nilai dan historisnya. Wilayah Kota
Blitar merupakan wilayah terkecil kedua di propinsi Jawa Timur setelah Kota
Mojokerto. Tetapi dilihat dari konstelasi regional Blitar mempunyai beberapa
keuntungan strategis karena berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Blitar
yang mempunyai konstribusi dan pergerakan yang tinggi dan juga
sebagai salah satu pintu gerbang menuju wilayah tersebut. Hal ini membawa
konsekuensi pada pola transportasi dan penyediaan sarana transportasi dari dan
kearah Kota Blitar. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung juga dimaksudkan
agar semakin meningkatnya tingkat pelayanan terhadap pergerakan barang dan jasa
serta perekonomian yang sejalan, maka semakin baik pula tingkat pelayanan
kegiatan di seluruh wilayah Kota Blitar.

3. 2. Topografi, Geografi, Klimatologi, dan Curah Hujan


Kondisi geografis wilayah Kota Blitar rata-rata berada pada ketinggian
140-245 mdpl, dengan tingkat kemiringan 0-15o. Kondisi topografi Kota
Blitar dapat dikatakan tidak se-variatif seperti wilayah Kabupatennya. Akan
tetapi Kota Blitar berada pada kaki Gunung Kelud sehingga memiliki kondisi
udara yang sejuk dengan suhu rata-rata 29oC.
Berdasarkan data klimatologi tahun 2014 rata-rata tertinggi curah
hujan per bulan yang ada di Kota Blitar yaitu sebesar 32 mm dengan hari
hujan terbanyak pada Bulan Januari dengan 24 hari. Puncak kemarau pada
Bulan Agustus-Oktober. Dan pada tahun 2014 musim kemarau berlangsung
lebih panjang daripada tahun sebelumnya.

Sedangkan kemiringan rata – rata Kota Blitar adalah antara 0 – 2 %,


kecuali pada daerah utara kemiringan antara 2 – 15 .Kedalaman tanah
diwilayah ini bervariasi mulai dari 30 - 90 cm yang meliputi 71.5 %dari Iuas
wilayah. Urutan selanjutnya dengan kedalainan 60 - 90 cm meliputi 15.5 %
dan terkecil dengan kedalaman 30 - 60 cm meliputi areal 13%. Tekstur tanah
terbesar berupa tekstur halus ( 85.3 % ) yang berarti bahwa tanah yang ada
di wilayah ini mempunyai kemampuan menahan atau mengikat air cukup
besar. Sisanya adalah tekstur sedang yang meliputi 24.7% dari luas wilayah.
Tekstur yang demikian kurang dapat menahan air, namun dilihat dari segi
menyediakan unsur hara yang diperlukan tanaman,relatif lebih baik daripada
tanah yang bertekstur halus. Kota Blitar mempunyai tipe iklim agak basah
dengan suhu rata - rata 29°C dengan curah hujan rata-rata pertahun sekitar
102 hari dan besarnya curah hujan rata-rata sebesar 122.857 mm/tahun.
Sungai yang mengalir mengelilingi Kota Blitar membentuk pola aliran radial
yaitu Sungai Lahar sepanjang 7,84 km menuju ke selatan menyatu dengan
Sungai Brantas.
3. 3. Tata Guna Lahan
Berdasarkan rencana tata ruang wilayah tahun 2008-2028,total
Kawasan lindung di kotaBlitar sebesar 1412,51 Ha, yang terdiri dari
Kawasan 51% RTH, 9%Sempa dan mata air, 16% Kawasan resapan air, 11%
. Perubahan tataguna lahan sawah menjadi nonpertanian sebagian besar
untuk pemukiman. Sebagain akibat meningkatnya jumlah penduduk
sehingga kebutuhan tempat tinggal meniingkat. Dengan data Luas
Persawahan sebagai berikut : tahun 2012 seluas 1218Ha, tahun 2013 seluas
1212 Ha, tahun 2014 seluas 1210Ha, 2015 seluas 1205Ha, dan 2016 seluas
1200Ha.
Kota Blitar di aliri 7 sungai antara lain sungai Lahar, Sungai Abab,
Sungai Cari, Sungai Sumber Tulung, Sungai Sumber gedog, Sungai Cerme, dan
Kucur. Hasil dari pengujian kualitas air menunjukkan Indeks Kualitas Air
(IKA) =45, kondisi kualitas air (khususnya kualitas air sungai) masih rendah,
hal ini menunjukkan terjadi pencemaran air sungai di Kota Blitar.

3. 4. Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk terpadat adalah di kecamatan Sananwetan yaitu
sejumlah 45.011 jiwa, sedangkan penduduk terkecil adalah kecamatan
Kepanjen Kidul sejumlah 37.529jiwa . Dan kecamatan Sukorejo sebanyak
41.247 jiwa. Dengan table sebagai berikut.

Tabel.

Penduduk
NO Kecamatan
Jumlah (Jiwa) Kepadatan (Jiwa/Km2)
1 Sananwetan 45.011 3.704
2 Kepanjen Kidul 37.529 3.574
3 Sukorejo 41.247 4.157
TOTAL 123.787 3.812
BAB IV
KRITERIA PERENCANAAN DRAINASE

4. 1. Umum
Dalam perencanaan sistem drainase, direncanakan suatu sistem
drainase yang terpisah dari sistem saluran pengumpul air buangan kota.
Beberapa parameter digunakan sebagai dasar dalam perencanaan sistem
drainase. Penentuan arah dan jalur saluran air hujan direncanakan terdapat
batasan-batasan sebagai berikut :
 Arah pengaliran dalam saluran mengikuti garis ketinggian yang ada
(sistem pengaliran secara gravitasi)
 Air secepat mungkin dibuang ke badan air penerima dengan pemilihan
jalur terpendek
 Pemanfaatan sungai/anak sungai sebagai badan air penerima dari outfall
yang direncanakan
 Menghindari banyaknya perlintasan saluran pada jalan, sungai, rel KA,
dan sebagainya, agar sesedikit mungkin penggunaan gorong-gorong
 Alternatif pemilihan jalur saluran drainase dipertimbangkan secara
teknis dan ekonomis
Pekerjaan drainase meliputi rehabilitasi yaitu perbaikan atau
normalisasi saluran dan pengembangan atau penambahan saluran baru, dan
yang kedua yaitu perencanaan baru yang disesuaikan dengan tata letak
bangunan daerah perencanaan, dan menjadi satu kesatuan dengan sistem
saluran drainase yang ada.
Sedangkan data yang diperlukan dalam perencanaan sistem drainase
meliputi data sekunder dan data primer.
Data Primer:
Data primer diwujudkan dalam bentuk survey lapangan, meliputi :
 Aspirasi pemerintah dan peran serta masyarakat
 Data genangan (lokasi, lama/durasi), tinggi, frekuensi, luas), penduduk
terkenan genangan dan kerugian yang ditimbulkan
 Arah aliran pada saluran sekunder yang ada
 Kondisi saluran (kapasitas, tebal lumpur/endapan,), penyebab
terlambatnya aliran, bahan saluran
 Kapasitas, bahan saluaran dan kondisi dari bangunan pelengkap
(gorong-gorong, pintu air, street inlet, syphon, dan lainnya).
 Topografi, untuk profil hidrolis dan detail desain
Data Sekunder :
 Data untuk analisa hidrologi ; data hujan, data elevasi muka air badan air
penerima, data banjir badan air
 Kondisi fisik daerah perencanaan ; topografi, detail struktur perkerasan
permukaan tanah, strukutr bangunan didalam tanah, kondisi lapisan
tanah, jaringan jalan, saluran drainase alami
 Rencana pengembangan wilayah ; laju pertumbuhan penduduk, rencana
tata guna lahan, rencana pengembangan wilayah
 Kebijaksanaan pemerintah ; batas administrasi, peraturan perundang-
undangan, peraturan berkaitan dengan pembiayaan, dinas yang
bertanggungjwab terhadap operasional dan pemeliharaan serta investasi
 Data sarana dan prasarana yang telah ada ; pengelolaan sampah, sistem
distribusi air bersih, sistem penyaluran air buangan, listrik, telefon, gas,
dan lalu lintas
 Master Plan Drainase Kota
 Kondisi sosial – ekonomi
 Kesehatan lingkungan pemukiman

4. 2. Jenis dan Bentuk Saluran


Jenis saluran yang digunakan ada dua macam, yaitu saluran tertutup
dan saluran terbuka. Bentuk saluran meliputi berbagai macam jenis dan
bentuk, antara lain :
 Bulat : terbuat dari beton tak bertulang dan saluran tertutup, biasanya
pada daerah perdagangan atau pemukiman dengan kepadatan penduduk
tinggi. Saluran dilengkapi street inlet. Penyaluran optimum dengan
ketinggian di dalam saluran 0,8 x diameter saluran.
 Persegi : terbuat dari pasangan batu kali atau bata, dengan lebar saluran
 1 m dan biasanya untuk daerah pemukiman. Lebar saluran > 1 m maka
saluran dibuat dari beton bertulang. Profil hidrolis optimum dengan
harga kemiringan dinding saluran (m) = 0.
 Trapesium : tanpa perkerasan dan biasanya pada daerah dengan
kepadatan penduduk rendah (daerah rural/pinggiran), dimana lahan
masih tersedia. Kemiringan saluran yang ekstrim dengan kecepatan
pengaliran tinggi saluran diperkeras dengan pasangan batu kali. Pada
daerah pemukiman padat saluran terbat dari beton bertulang.
 Kemiringan sudut alas bagian luar saluran 600, dan harga m =

1/ 3 3 .
 Kemiringan sudut alas bagian luar saluran 450, harga m = 1

4. 3. Jalur Saluran
Saluran direncanakan terletak di kiri dan kanan jalan hingga batas lebar
atas  1 m, dan jika lebar saluran lebih dari 1 m, maka dicari jalur yang paling
sesuai. Jalur saluran drainase dibuat dengan kemiringan dan dimensi
tertentu. Semakin besar debit yang mengalir pada saluran, maka dimensi
saluran drainase juga semakin besar. Saluran drainase biasanya berjenis
saluran tertutup maupun terbuka. Pada saluran tertutup biasanya dilengkapi
dengan lubang pemeriksa (manhole), untuk memeriksa kemungkinan adanya
penyumbatan oleh kotoran atau sampah yang menumpuk. Kemiringan
saluran drainase diusahakan sesuai dengan kemiringan medan, untuk
mengurangi jumlah galian (cut) dan timbunan (fill).

4. 4. Prinsip-prinsip Pengaliran
 Diusahakan saluran alamiah sebagai badan air penerima
 Awal saluran sampai pada daerah dimana air tidak dapat lagi meresap
dengan cepat ke dalam tanah (selama mungkin terjadi infiltrasi untuk
konservasi air tanah)
 Saluran sebesar mungkin memberi kesempatan terjadi infiltrasi
(kapasitas saluran sekecil mungkin)
 Kecepatan maksimum 2,5 m/detik, diusahakan agar terjadi aliran tanpa
menyebabkan erosi atau penggerusan dinding saluran
 Kecepatan minimum 0,3 m/detik, diusahakan agar tidak terjadi endapan
(terjadi proses self cleansing velocity)
 Kapasitas saluran maupun badan air penerima mampu menerima debit
maksimum dari daerah tangkapan air sesuai dengan PUH yang
direncanakan.
BAB V
PERHITUNGAN ANALISA HIDROLOGI

5. 1. Data Curah Hujan dan Melengkapi Data Hujan


Data Curah Hujan Awal :

Stasiun A Stasiun B Stasiun D Stasiun E


No. Tahun
(mm) (mm) (mm) (mm)
1 1991 125 112 131 132
2 1992 142 171 152 155
3 1993 139 162 155 133
4 1994 140 - 150 134
5 1995 138 156 168 115
6 1996 110 163 185 135
7 1997 147 163 168 155
8 1998 167 170 179 118
9 1999 169 186 175 128
10 2000 157 150 136 132
11 2001 - 146 140 125
12 2002 156 169 165 -
13 2003 147 148 148 169
14 2004 123 130 - 164
15 2005 158 148 161 129
16 2006 138 146 152 170
17 2007 149 139 185 115
18 2008 142 119 170 117
19 2009 150 141 151 142
20 2010 148 135 145 120
Rata - rata 144.47 150.21 158.74 136.21

Perhitungan untuk mencari Data hujan yang hilang di setiap stasiun :


144,47 146 140 125
ST. A = (150,21 + + ) = 133,48 mm
3 158,74 136,21
150,21 150 134 140
ST. B = (158,74 + + ) = 149,09 mm
3 136,21 144,47
158,74 164 123 130
ST. D = (136,21 + + ) = 154,55 mm
3 144,47 150,21
136,21 156 169 165
ST. E = (144,21 + + ) = 154,55
3 150,21 158,74
Data Curah Hujan yang telah dilengkapi :

No. Tahun Stasiun A Stasiun B Stasiun D Stasiun E


(mm) (mm) (mm) (mm)
1 1991 125 112 131 132
2 1992 142 171 152 155
3 1993 139 162 155 133
4 1994 140 145,09 150 134
5 1995 138 156 168 115
6 1996 110 163 185 135
7 1997 147 163 168 155
8 1998 167 170 179 118
9 1999 169 186 175 128
10 2000 157 150 136 132
11 2001 133,48 146 140 125
12 2002 156 169 165 147,30
13 2003 147 148 148 169
14 2004 123 130 154,55 164
15 2005 158 148 161 129
16 2006 138 146 152 170
17 2007 149 139 185 115
18 2008 142 119 170 117
19 2009 150 141 151 142
20 2010 148 135 145 120
Rata - rata 143,92 149,95 158,53 136,77

5. 2. 1Uji Konsistensi
Data Curah Hujan :

No. Tahun Stasiun A Stasiun B Stasiun D Stasiun E


(mm) (mm) (mm) (mm)
1 1991 125 112 131 132
2 1992 142 171 152 155
3 1993 139 162 155 133
4 1994 140 145,09 150 134
5 1995 138 156 168 115
6 1996 110 163 185 135
7 1997 147 163 168 155
8 1998 167 170 179 118
9 1999 169 186 175 128
10 2000 157 150 136 132
11 2001 133,48 146 140 125
12 2002 156 169 165 147,30
13 2003 147 148 148 169
14 2004 123 130 154,55 164
15 2005 158 148 161 129
16 2006 138 146 152 170
17 2007 149 139 185 115
18 2008 142 119 170 117
19 2009 150 141 151 142
20 2010 148 135 145 120
Jumlah 2878.475822 2999.091656 3170.548129 2735.30375
Rata - rata 143,92 149,95 158,53 136,77

Uji Konsistensitas
Suatu data curah huja dinyatakan konsisten apabila nilai konsistensinya
melebihi 10 %, berikut perhitungan Konsistensi tiap stasiun :
Stasiun A
RA-RB : 143,92 – 149,95 = -6,03
RA-RD: 143,92 – 158,53 = -14,60
RA-RE: 143.92 – 136,77 = -7,16
−14,60
Konsistensi Stasiun A = | | x 100% = 10,16 % (Konsisten )
143,92

Stasiun B
RB-RA : 149,95 – 143,92 = 6,03
RB-RD: 149,95 – 158,53 = -8,57
RB-RE: 149,95 – 136,77 = 13,19
13,19
Konsistensi Stasiun B = | | x 100% = 8,80 % ( Tidak Konsisten )
149,95

Stasiun D
RD-RE : 158,53– 136,77 = 14,60
RD-RA: 158,53– 143,92 = 8,57
RD-RB: 158,53– 149,95 = 21,76
21,76
Konsistensi Stasiun D = | | x 100% = 13,73 % ( Konsisten )
158,53

Stasiun E
RE-RA : 136,77 – 143,92 = -7,16
RE-RB: 136,77 – 149,95 = -13,19
RE-RD: 136,77 – 158,53= -21,76
−21,76
Konsistensi Stasiun E = | | x 100% = 15,91 % ( Konsisten )
143,92
Konsistensi Stasiun A
Akumulasi Rata-
ST . A ST. B ST. D ST. E Rata-Rata Stasiun Akumulasi
Tahun Rata Stasiun Y = ( 10-3 ) X = ( 10-3 )
(mm) (mm) (mm) (mm) Pembanding Stasiun A
Pembanding
2010 148 135 145 120 133.33 148 133.33 0.15 0.13
2009 150 141 151 142 144.67 298 278.00 0.30 0.28
2008 142 119 170 117 135.33 440 413.33 0.44 0.41
2007 149 139 185 115 146.33 589 559.67 0.59 0.56
2006 138 146 152 170 156.00 727 715.67 0.73 0.72
2005 158 148 161 129 146.00 885 861.67 0.89 0.86
2004 123 130 154.55 164 149.52 1008 1011.18 1.01 1.01
2003 147 148 148 169 155.00 1155 1166.18 1.16 1.17
2002 156 169 165 147.30 160.43 1311 1326.62 1.31 1.33
2001 133.48 146 140 125 137.00 1444.48 1463.62 1.44 1.46
2000 157 150 136 132 139.33 1601.48 1602.95 1.60 1.60
1999 169 186 175 128 163.00 1770.48 1765.95 1.77 1.77
1998 167 170 179 118 155.67 1937.48 1921.62 1.94 1.92
1997 147 163 168 155 162.00 2084.48 2083.62 2.08 2.08
1996 110 163 185 135 161.00 2194.48 2244.62 2.19 2.24
1995 138 156 168 115 146.33 2332.48 2390.95 2.33 2.39
1994 140 145.09 150 134 143.03 2472.48 2533.98 2.47 2.53
1993 139 162 155 133 150.00 2611.48 2683.98 2.61 2.68
1992 142 171 152 155 159.33 2753.48 2843.31 2.75 2.84
1991 125 112 131 132 125.00 2878.48 2968.31 2.88 2.97
Jumlah 2878.48 2999.09 3170.55 2735.30
Rata-rata 143.92 149.95 158.53 136.77
Konsistensi Stasiun B
Akumulasi Rata-
ST. B ST. D ST. E ST . A Rata-Rata Stasiun Akumulasi
Tahun Rata Stasiun Y = ( 10-3 ) X = ( 10-3 )
(mm) (mm) (mm) (mm) Pembanding Stasiun B
Pembanding
2010 135 145 120 148 137.67 135 137.67 0.14 0.14
2009 141 151 142 150 147.67 276 285.33 0.28 0.29
2008 119 170 117 142 143.00 395 428.33 0.40 0.43
2007 139 185 115 149 149.67 534 578.00 0.53 0.58
2006 146 152 170 138 153.33 680 731.33 0.68 0.73
2005 148 161 129 158 149.33 828 880.67 0.83 0.88
2004 130 154.55 164 123 147.18 958 1027.85 0.96 1.03
2003 148 148 169 147 154.67 1106 1182.52 1.11 1.18
2002 169 165 147.30 156 156.10 1275 1338.62 1.28 1.34
2001 146 140 125 133.48 132.83 1421 1471.44 1.42 1.47
2000 150 136 132 157 141.67 1571 1613.11 1.57 1.61
1999 186 175 128 169 157.33 1757 1770.44 1.76 1.77
1998 170 179 118 167 154.67 1927 1925.11 1.93 1.93
1997 163 168 155 147 156.67 2090 2081.78 2.09 2.08
1996 163 185 135 110 143.33 2253 2225.11 2.25 2.23
1995 156 168 115 138 140.33 2409 2365.44 2.41 2.37
1994 145.09 150 134 140 141.33 2554.09 2506.78 2.55 2.51
1993 162 155 133 139 142.33 2716.09 2649.11 2.72 2.65
1992 171 152 155 142 149.67 2887.09 2798.78 2.89 2.80
1991 112 131 132 125 129.33 2999.09 2928.11 3.00 2.93
Jumlah 2999.09 3170.55 2735.30 2878.48
Rata-rata 149.95 158.53 136.77 143.92
Konsistensi Stasiun D
Akumulasi Rata-
ST. D ST. E ST . A ST. B Rata-Rata Stasiun Akumulasi
Tahun Rata Stasiun Y = ( 10-3 ) X = ( 10-3 )
(mm) (mm) (mm) (mm) Pembanding Stasiun D
Pembanding
2010 145 120 148 135 134.33 145 134.33 0.15 0.13
2009 151 142 150 141 144.33 296 278.67 0.30 0.28
2008 170 117 142 119 126.00 466 404.67 0.47 0.40
2007 185 115 149 139 134.33 651 539.00 0.65 0.54
2006 152 170 138 146 151.33 803 690.33 0.80 0.69
2005 161 129 158 148 145.00 964 835.33 0.96 0.84
2004 154.55 164 123 130 139.00 1118.55 974.33 1.12 0.97
2003 148 169 147 148 154.67 1266.55 1129.00 1.27 1.13
2002 165 147.30 156 169 157.43 1431.55 1286.43 1.43 1.29
2001 140 125 133.48 146 134.83 1571.55 1421.26 1.57 1.42
2000 136 132 157 150 146.33 1707.55 1567.59 1.71 1.57
1999 175 128 169 186 161.00 1882.55 1728.59 1.88 1.73
1998 179 118 167 170 151.67 2061.55 1880.26 2.06 1.88
1997 168 155 147 163 155.00 2229.55 2035.26 2.23 2.04
1996 185 135 110 163 136.00 2414.55 2171.26 2.41 2.17
1995 168 115 138 156 136.33 2582.55 2307.59 2.58 2.31
1994 150 134 140 145.09 139.70 2732.55 2447.29 2.73 2.45
1993 155 133 139 162 144.67 2887.55 2591.96 2.89 2.59
1992 152 155 142 171 156.00 3039.55 2747.96 3.04 2.75
1991 131 132 125 112 123.00 3170.55 2870.96 3.17 2.87
Jumlah 3170.55 2735.30 2878.48 2999.09
Rata-rata 158.53 136.77 143.92 149.95
Konsistensi Stasiun E
Akumulasi Rata-
ST. E ST . A ST. B ST. D Rata-Rata Stasiun Akumulasi
Tahun Rata Stasiun Y = ( 10-3 ) X = ( 10-3 )
(mm) (mm) (mm) (mm) Pembanding Stasiun E
Pembanding
2010 120 148 135 145 142.67 120 142.67 0.12 0.14
2009 142 150 141 151 147.33 262 290.00 0.26 0.29
2008 117 142 119 170 143.67 379 433.67 0.38 0.43
2007 115 149 139 185 157.67 494 591.33 0.49 0.59
2006 170 138 146 152 145.33 664 736.67 0.66 0.74
2005 129 158 148 161 155.67 793 892.33 0.79 0.89
2004 164 123 130 154.55 135.85 957 1028.18 0.96 1.03
2003 169 147 148 148 147.67 1126 1175.85 1.13 1.18
2002 147.30 156 169 165 163.33 1273.30 1339.18 1.27 1.34
2001 125 133.48 146 140 139.83 1398.30 1479.01 1.40 1.48
2000 132 157 150 136 147.67 1530.30 1626.67 1.53 1.63
1999 128 169 186 175 176.67 1658.30 1803.34 1.66 1.80
1998 118 167 170 179 172.00 1776.30 1975.34 1.78 1.98
1997 155 147 163 168 159.33 1931.30 2134.67 1.93 2.13
1996 135 110 163 185 152.67 2066.30 2287.34 2.07 2.29
1995 115 138 156 168 154.00 2181.30 2441.34 2.18 2.44
1994 134 140 145.09 150 145.03 2315.30 2586.37 2.32 2.59
1993 133 139 162 155 152.00 2448.30 2738.37 2.45 2.74
1992 155 142 171 152 155.00 2603.30 2893.37 2.60 2.89
1991 132 125 112 131 122.67 2735.30 3016.04 2.74 3.02
Jumlah 2735.30 2878.48 2999.09 3170.55
Rata-rata 136.77 143.92 149.95 158.53
Grafik Konsistensi diambil dari kolom X dan Y dari kolom Konsistensi tiap stasiun dan didapat grafik sebagai berikut :

KONSISTENSI STASIUN A KONSISTENSI STAISUN B


3.50 3.50
3.00 3.00
2.50 2.50
2.00 2.00
y = 1.0395x - 0.0442 y = 0.9569x + 0.074
1.50 1.50
R² = 0.9995 R² = 0.9987
1.00 1.00
0.50 0.50
0.00 0.00
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50

KONSISTENSI STSIUN D KONSISTENSI STASIUN E


3.50 3.50
3.00 3.00
2.50 2.50
2.00 2.00
y = 0.9091x - 0.017 y = 1.109x - 0.0115
1.50 1.50
R² = 0.9994 R² = 0.9984
1.00 1.00
0.50 0.50
0.00 0.00
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00

Gambar Grafik Konsistensi Stasiun A, B ,D dan E


5. 3. Perhitungan Curah Hujan Rata-rata dengan Metode Poligon
Thiessen
Curah hujan rata-rata dihitung dengan menggunakan metode Poligon
Thiessen, sedangkan letak stasiun pengamat A, B, D dan E, sesuai dengan
gambar (peta milimeter). Perhitungan luas daerah yang diwakili masing-
masing stasiun pengamat hujan ditentukan dengan teknik planimeter,
dimana luas daerah = jumlah kotak x skala peta.
Skala peta yang digunakan adalah 1 : 30.000 yang berarti 1 cm di peta
sama dengan 30.000 cm di dunia nyata. 1 kotak berarti memiliki luas 30.000
x 30.000 = 900.000.000 cm2 = 90.000 m2. Berikut adalah luas daeah untuk
masing-masing stasiun pengamat hujan :
Stasiun A
Jumlah Kotak = 49,5
Luas Daerah = 49,5 x 90.000
= 4432500 m2 = 4,4 km²
Stasiun B
Jumlah Kotak = 101,5
Luas Daerah = 101,5 x 90.000
= 9157500 m2 = 9,2 km²
Stasiun D
Jumlah Kotak = 91
Luas Daerah = 91 x 90.000
= 8190000 m2 = 8,2 km²
Stasiun E
Jumlah Kotak = 35,5
Luas Daerah = 35,5 x 90.000
= 3172500 m2 = 3,2 km²
Luas Daerah Total = 4,43 + 9,15 + 8,2 + 3,2
= 25 km²
Perhitungan Hujan harian rata-rata dengan Metode Thiessen :
(125 𝑥 4,4) +(112 𝑥 9,2)+(131 𝑥 8,2 )+(132 𝑥 3,2 )
Tahun 1991 = = 123,08
25
(142 𝑥 4,4) +(171 𝑥 9,2)+(152 𝑥 8,2 )+(155 𝑥 3,2 )
Tahun 1992 = = 157,62
25
Begitu seterusnya hingga mencapai tahun 2010, hasil perhitungan Metode
Thiessen dapat dilihat dalam table :

Tahun Stasiun A Stasiun B Stasiun D Stasiun E Metode


(mm) (mm) (mm) (mm) Thiessen
1991 125 112 131 132 123.08
1992 142 171 152 155 157.62
1993 139 162 155 133 151.94
1994 140 145,09 150 134 144.39
1995 138 156 168 115 151.52
1996 110 163 185 135 157.30
1997 147 163 168 155 160.80
1998 167 170 179 118 165.77
1999 169 186 175 128 171.98
2000 157 150 136 132 144.34
2001 133,48 146 140 125 139.14
2002 156 169 165 147,30 162.62
2003 147 148 148 169 150.51
2004 123 130 154,55 164 141.17
2005 158 148 161 129 151.59
2006 138 146 152 170 149.63
2007 149 139 185 115 152.78
2008 142 119 170 117 139.52
2009 150 141 151 142 145.99
2010 148 135 145 120 138.65
Jumlah 2878.475822 2999.091656 3170.54813 2735.30375 3000.34
Rata - rata 143,92 149,95 158,53 136,77 150.02

5. 4. Analisa Hujan Harian Maksimum (HHM)


Perhitungan HHM dilakukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu
Metode Gumbel, metode Log Pearson Tipe III, dan metode Iway Kadoya. Data
curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan rata-rata stasiun A, B, D,
dan E dengan menggunakan metode Poligon Thiessen yang telah
dirangking/diurutkan. Berikut adalah HHM dengan ketiga metode di atas.

5.4.1 Metode Gumbel


Langkah pertama dalam Metode Gumbel adalah mengurutkan Nilai
Metode Thiessen dari besar ke kecil, mencari nilai Ri – R dan (Ri – R )²:
Rangking Ri Ri – R ( Ri – R )2
171.98 21.96 482.21
165.77 15.75 248.10
162.62 12.61 158.91
160.80 10.78 116.28
157.62 7.60 57.75
157.30 7.29 53.10
152.78 2.76 7.61
151.94 1.93 3.71
151.59 1.58 2.48
151.52 1.50 2.26
150.51 0.50 0.25
149.63 -0.38 0.15
145.99 -4.02 16.20
144.39 -5.63 31.71
144.34 -5.68 32.27
141.17 -8.85 78.23
139.52 -10.50 110.18
139.14 -10.88 118.31
138.65 -11.37 129.25
123.08 -26.94 725.59

Nilai Ri – R didapat dari nilai Rangking Ri yang dikurangi dengan nilai Rata-
rata Metode Thiessen yaitu 150,02.
Selanjutnya adalah menentukan nilai Yt, Sn dan Yn untuk setiap PUH
yang dapat dilihat pada Tabel Metode Gumbel .

PUH ( Tahun ) Yt
2 0.3665
5 1.4999
10 2.2504
25 3.1985
50 3.9019
100 4.6001
Nilai Sn dan Yn didasarkan pada jumlah data hujan (n ) yang sudah diketahui,

N 20
Sn 1.0628
Yn 0.5236
A 90%
t(a) 1.64

Setelah semua data yang diperlukan dalam perhitungan Metode Gumbel


diketahui, langkah selanjutnya adalah menghitung HHM Metode Gumbel tiap
PUH. Namun harus dihitung terlebih dahulu nilai Rt, k , b, Se dan Rk untuk
tiap PUH.
Perhitungan untuk PUH 2 tahun
Standar Deviasi = 11,18
Rata – rata Thiessen = 150,02
11,18
Rt = 150,02 + 1,0628 (0,3665 − 0,5236) = 148,36
(0,3665 – 0,5236 )
K = = -0.15
1,0628

b = [1 + (1,3 x -0,15 ) + (1,1 x -0,15²)]0,5 = 0,91


(0,91 𝑥 11,18 )
Se = = 2,28
200,5
Rk = 1,64 x 2,28 = 3,74
HMM 2 tahun = Rt x Rk = 148,36 x 3,74 = 152,10
Perhitungan PUH 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat dalam table

T Rt k B Se Rk HMM Gumbel
2 148.36 -0.15 0.91 2.28 3.74 152.10
5 160.29 0.92 1.77 4.42 7.24 167.53
10 168.18 1.62 2.45 6.13 10.06 178.24
25 178.15 2.52 3.35 8.38 13.74 191.90
50 185.55 3.18 4.03 10.08 16.52 202.08
100 192.90 3.84 4.71 11.77 19.30 212.20

5.4.2 Metode Log Pearson Tipe III


Metode ini didasarkan pada perubahan data yang ada kedalam bentuk
logaritma. Berikut adalah perhitungan metode Log Pearson Tipe III yang
disajikan dalam bentuk tabel dan varian.
Langkah pertama dalam Metode Log Pearson III adalah mengurutkan
Nilai Metode Thiessen dari besar ke kecil, mencari nilai Xi, Xi – X rata-rata, (Xi
- X rata2)2 , dan (Xi - X rata2)3 :

Rangking Ri xi xi-x rata-rata (Xi - X rata2)2 (Xi - X rata2)3


171.98 2.24 0.0605 0.00366 0.000221
165.77 2.22 0.0445 0.00198 0.000088
162.62 2.21 0.0362 0.00131 0.000047
160.80 2.21 0.0313 0.00098 0.000031
157.62 2.20 0.0226 0.00051 0.000012
157.30 2.20 0.0218 0.00047 0.000010
152.78 2.18 0.0091 0.00008 0.000001
151.94 2.18 0.0067 0.00005 0.000000
151.59 2.18 0.0057 0.00003 0.000000
151.52 2.18 0.0055 0.00003 0.000000
150.51 2.18 0.0026 0.00001 0.000000
149.63 2.18 0.0001 0.00000 0.000000
145.99 2.16 -0.0106 0.00011 -0.000001
144.39 2.16 -0.0154 0.00024 -0.000004
144.34 2.16 -0.0156 0.00024 -0.000004
141.17 2.15 -0.0252 0.00064 -0.000016
139.52 2.14 -0.0303 0.00092 -0.000028
139.14 2.14 -0.0315 0.00099 -0.000031
138.65 2.14 -0.0331 0.00109 -0.000036
123.08 2.09 -0.0848 0.00719 -0.000609
Jumlah 43.50 -0.000000000000003 0.02 -0.000318
Rata-rata 2.17 -0.0000000000000002 0.001 -0.000016

Xi didapat dari nilai Ri yang dilogaritma lalu xi – x rata-rata merupakan hasil


pengurangan dari log Ri yang dikuranngi dengan rata-rata log Ri yaitu 2,17.
Setelah itu mencari nilai S dengan rumus 12 :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ (Xi − X rata2)² 0,02
S=√ = √20−1 = 0,33
𝑛−1

Lalu mencari nilai Cs dengan rumus 13 :


𝑵 Ʃ ( 𝑿𝒊− 𝐱̅)³ 𝟐𝟎 𝒙 −0.000318
Cs = ( 𝑵−𝟏)(𝑵−𝟐 ) (𝐬)³ = ( 𝟏𝟗)(𝟏𝟖 ) (𝟎,𝟑𝟑)³ = -0,5

Setelah nilai Cs diketahui maka langkah selanjutnya adalah mencari nilai kx


untuk tiap PUH di table Log Pearson III berdasarkan nilai Cs.

PUH Kx
2 0.083
5 0.856
10 1.216
25 1.567
50 1.777
100 1.955

Nilai Sn dan Yn didasarkan pada jumlah data hujan (n ) yang sudah diketahui,

N 20
Sn 1.0628
Yn 0.5236
A 90%
t(a) 1.64
Setelah semua data yang diperlukan dalam perhitungan Metode Log
Pearson III diketahui, langkah selanjutnya adalah menghitung HHM Metode
Log Pearson tiap PUH. Namun harus dihitung terlebih dahulu nilai Xt dan Rt
untuk tiap PUH.
Perhitungan untuk PUH 2 tahun
Mencari Nilai Xt dan Rt dengan rumus 14 dan 15 :
Xt = x̅ + 𝑘𝑥 . S = 2.17 + (0.083 x 0,33) = 2,18
Rt = antilog(Xt) = antilog (2,18) = 150,56
HMM 2 tahun Log Pearson III = nilai Rt = 150,56
Perhitungan PUH 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat dalam table :

T Xt Rt HMM Log Pearson III


2 2.18 150.56 150.56
5 2.20 159.63 159.63
10 2.21 164.04 164.04
25 2.23 168.46 168.46
50 2.23 171.16 171.16
100 2.24 173.48 173.48

5.4.3 Metode Iway Kadoya


Prinsip dari metode Iway Kadoya adalah merubah variabel X dari kurva
kemungkinan kepadatan curah hujan harian maksimum (HHM) ke log X atau
merubah kurva distribusi yang asimetris menjadi kurva distribusi normal.
Langkah pertama dalam Metode Iway Kadoya adalah mengurutkan
Nilai Metode Thiessen dari besar ke kecil, mencari nilai Xi, Xi – X rata-rata
dan (Xi - X rata2)2:

Rangking Ri xi xi-x rata-rata (Xi - X rata2)2


171.98 2.24 0.0605 0.00366
165.77 2.22 0.0445 0.00198
162.62 2.21 0.0362 0.00131
160.80 2.21 0.0313 0.00098
157.62 2.20 0.0226 0.00051
157.30 2.20 0.0218 0.00047
152.78 2.18 0.0091 0.00008
151.94 2.18 0.0067 0.00005
151.59 2.18 0.0057 0.00003
151.52 2.18 0.0055 0.00003
150.51 2.18 0.0026 0.00001
149.63 2.18 0.0001 0.00000
145.99 2.16 -0.0106 0.00011
144.39 2.16 -0.0154 0.00024
144.34 2.16 -0.0156 0.00024
141.17 2.15 -0.0252 0.00064
139.52 2.14 -0.0303 0.00092
139.14 2.14 -0.0315 0.00099
138.65 2.14 -0.0331 0.00109
123.08 2.09 -0.0848 0.00719
Jumlah 43.50 -0.000000000000003 0.02
Rata-rata 2.17 -0.0000000000000002 0.001

Selanjutnya adalah menghitung nilai Log X0, X02, Xs , Xt , bi dan b :


Log Xo = Rata – Rata Xi = 2,17
Xo = 102,17 = 149,61
Xo2 = 149,612 = 22384,23
Xs = 2 nilai tertinggi dari Rangking Ri = 171,98 dan 165,77
Xt = 2 nilai terendah dari Rangking Ri = 138,65 dan 123,09
Bi = [ Xs.Xt – Xo2 ] x [ 2Xo - (Xs+Xt) ]
B = bi : 2

Xs Xt Xs. Xt Xs + Xt Xs.Xt – Xo2 2Xo - (Xs+Xt) bi b


171.98 138.65 23844.13 310.62 1459.90 -11.397 -128.09
-159.5
165.77 123.08 20402.73 288.85 -1981.50 10.379 -190.91

Karena nilai b negatif maka perhitungan dengan metode Iwai Kadoya tidak
bisa diteruskan.

5. 5. Analisa Distribusi Hujan


Perhitungan distribusi hujan dilakukan dengan tiga metode, yaitu
metode Bell, metode Van Breen, dan metode Hasper-Weduwen yang
didasarkan pada HHM terpilih.
HHM (mm/hari)
PUH
Gumbel Log Pearson III Iwai Kadoya
2 152.10 150.56 0
5 167.53 159.63 0
10 178.24 164.04 0
25 191.90 168.46 0
50 202.08 171.16 0
100 212.20 173.48 0

Perhitungan distribusi hujan dilakukan dengan menggunakan HHM dari


hasil perhitungan dengan metode Gumbel, karena memiliki nilai HHM 10
tahun yang tertinggi dibandingkan dengan metode Log Pearson III dan Iwai
Kadoya. Tabel berikut menyatakan hujan harian maksimum dengan metode
Gumbel yang telah mengalami pembulatan.

Metode Gumbel
PUH HHM
2 152
5 168
10 178
25 192
50 202
100 212

5.5.1Metode Bell
Perhitungan metode Bell didasarkan pada data intensitas curah hujan
Tanimoto, yaitu :

Jam ke Hujan (mm/jam)


170 230 350 470
1 87 90 96 101
2 28 31 36 42
3 18 20 26 31
4 11 14 20 25
5 8 11 16 22
6 6 9 14 20
7 6 8 13 19
8 4 7 12 18
9 2 5 10 15
10 0 5 10 15
11 0 4 9 14
12 0 4 9 14
13 0 4 9 14
14 0 4 9 14
15 0 3 8 13
16 0 3 8 13
17 0 3 7 13
18 0 3 7 12
19 0 2 7 12
20 0 0 7 11
21 0 0 7 11
22 0 0 6 11
23 0 0 4 10
Jumlah 170 230 350 470

Dipilih 170 mm, karena yang paling mendekati 178 (HHM 10 tahun Metode
Gumbel). Berdasarkan pola distibusi hujan Tanimoto, diketahui bahwa pada
jam ke-1 untuk I = 170 mm/hari (60 menit pertama = 87 mm) dan pada jam
ke-2, untuk I = 170 mm/hari (120 menit pertama = 28 mm) maka :

Distribusi Hujan tiap Jam menurut Tarimoto


1 87
2 28 170

Perhitungan Distribusi hujan (60 menit untuk PUH 10 tahun ) Metode


Gumbel :
87
 x 178 = 91,21
170
28
 x 178 = 29,36
170

R 10
60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
= ( 91,21 + 29,36 ) : 2 = 60,29

Selanjutnya adalah menghitung Distribusi Hujan Rata-rata per 5, 10, 20, 40,
60, 120, 240 menit untuk tiap PUH. Perhitungan Distribusi menggunakan
rumus 16.
𝑡
R = (0,21ln(T)+0,52) (0,54 x t0,25–0,5) (R60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 )
𝑇 10 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
Perhitungan PUH 2 Tahun

R 5 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 5 0,25– 0,5) (60,29) = 12,34


2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

R10 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 10 0,25– 0,5) (60,29) = 18,47


2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

R20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 20 0,25– 0,5) (60,29) = 25,76


2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

R40 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 40 0,25– 0,5) (60,29) = 34,43


2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

R60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 60 0,25– 0,5) (60,29) = 40,24


2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

R120 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 120 0,25– 0,5) (60,29) = 51,65
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

R240 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 240 0,25– 0,5) (60,29) = 65,22
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛
Hasil perhitungan untuk PUH 5, 10, 25, 50, 100 Tahun per 5, 10, 20, 40, 60,
120, 240 menit dapat diliht dalam tabel :

Durasi (t) PUH (T) (Tahun)


( menit ) 2 5 10 25 50 100
5 12.34 15.90 18.60 22.17 24.87 27.57
10 18.47 23.81 27.85 33.19 37.22 41.26
20 25.76 33.20 38.84 46.29 51.92 57.55
40 34.43 44.38 51.91 61.86 69.39 76.92
60 40.24 51.87 60.68 72.31 81.11 89.91
120 51.65 66.58 77.88 92.81 104.11 115.40
240 65.22 84.07 98.34 117.19 131.46 145.72

Selanjutnya adalah menghitung Intensitas Hujan berdasarkan Distribusi


hujan yang sudah dihitung diatas :
Perhitungan PUH 2 Tahun

I 5 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
5
= ( ) x 12,34 = 139,70
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛 60

I 10 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( ) x 18,47
10
= 104,56
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛 60

I 20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( 60 ) x 25,76
20
= 72,91
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

I 40 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( 60 ) x 34,43
40
= 48,73
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

I 60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( 60 ) x 40,24
60
= 37,97
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

I 120 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( 60 ) x 51,65


120
= 24,37
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛
I 240 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( 60 ) x 65,22
240
= 15,38
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛

Hasil perhitungan Intensitas untuk PUH 5, 10, 25, 50, 100 Tahun per 5, 10,
20, 40, 60, 120, 240 menit dapat diliht dalam tabel :

Durasi (t) PUH (T) (Tahun)


( menit ) 2 5 10 25 50 100
5 148.05 190.85 223.23 266.04 298.42 330.80
10 110.81 142.84 167.08 199.11 223.35 247.58
20 77.27 99.61 116.51 138.86 155.76 172.66
40 51.64 66.57 77.87 92.80 104.09 115.38
60 40.24 51.87 60.68 72.31 81.11 89.91
120 25.82 33.29 38.94 46.41 52.05 57.70
240 16.30 21.02 24.58 29.30 32.86 36.43

350.00

300.00

250.00 2
5
200.00
10
150.00 25

100.00 50
100
50.00

0.00
0 50 100 150 200 250 300

5.5.2 Metode Van Breen


Langkah pertama dalam Metode Vanbreen adalah menghitung Intensitas
curah hujan tiap tahun berdasarkan nilai HHM Gumbel. Perhitungan
intensitas menggunakan rumus :
90% 𝑥 𝐻𝑀𝑀 𝐺𝑢𝑚𝑏𝑒𝑙
It =
4
90% 𝑥 152
I2 = = 34,22
4
90% 𝑥 168
I5 = = 37,69
4
Hasil perhitungan Intensitas 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat pada
table :
PUH Intensitas (IT)
2 34.22
5 37.69
10 40.10
25 43.18
50 45.47

Selanjutnya adalah menghitung Intensitas curah hujan tiap 5, 10, 20, 40, 60,
120, 240 menit yang didasarkan pada data curah hujan Jakarta.

Durasi PUH ( Tahun )


(menit ) 5 10 25 50 100
5 126 148 155 180 191
10 114 126 138 156 168
20 102 114 123 135 144
40 76 87 96 105 114
60 61 73 81 91 100
120 36 45 51 58 63
240 21 27 30 35 40

Penghitung Intensitas curah hujan tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120, 240 menit
menggunakan rumus :

𝐼 (𝑡 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 )𝐾𝑜𝑡𝑎 𝐽𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎


I= x It
𝐼 (240 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 )𝐾𝑜𝑡𝑎 𝐽𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎

Perhitungan PUH 2 tahun


126
5 menit = x 34,22 = 205,34
21
114
10 menit = x 34,22 = 185,78
21
102
20 menit = x 34,22 = 166,23
21
76
40 menit = x 34,22 = 123,86
21
61
60 menit = x 34,22 = 99,41
21
36
120 menit = x 34,22 = 58,67
21
21
240 menit = x 34,22 = 34,22
21
Hasil Perhitungan untuk PUH 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat dalam
table :

Durasi (t) PUH (T) (Tahun)


( menit ) 2 5 10 25 50 100
5 205.34 206.62 207.20 222.05 217.11 -
10 185.78 175.91 184.47 192.45 190.96 -
20 166.23 159.15 164.42 166.54 163.68 -
40 123.86 121.46 128.33 129.53 129.58 -
60 99.41 101.91 108.28 112.26 113.67 -
120 58.67 62.82 68.18 71.55 71.61 -
240 34.22 37.69 40.10 43.18 45.47 -

5.5.3 Metode Hasper-Weduwen


Perhitungan pertama dalam Metode Hasper Weduwen adalah perhitungan
curah hujan (Ri) untuk 5, 10, 20, 40 menit berdasarkan nilai Metode Gumbel.
Perhitungannya menggunakan rumus
1218−54
Ri = HHM Gumbel [ ]
𝑥𝑡 (1−𝑡)+1272 𝑡

Perhitungan untuk PUH 2 tahun :


1218−54
5 menit = 152 [ ] = 162,48
148 (1−5)+1272 𝑥 5

1218−54
10 menit = 152 [ ] = 163,93
148 (1−10)+1272 𝑥 10

1218−54
20 menit = 152 [ ] = 164,68
148 (1−20)+1272 𝑥 20

1218−54
40 menit = 152 [ ] = 165,05
148 (1−40)+1272 𝑥 40

Hasil Peerhitungan Ri untuk PUH 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat
dalam tabel :

Durasi Nilai Ri PUH (tahun)


(menit)
2 5 10 25 50 100
5 162.48 180.90 193.92 210.82 223.64 236.56
10 163.93 182.80 196.16 213.56 226.78 240.15
20 164.68 183.77 197.31 214.97 228.40 241.99
40 165.05 184.26 197.89 215.68 229.22 242.93

Setelah nilai Ri diketahui makan selanjutnya adalah menghitung Intensitas


hujan dengan waktu yang diubah menjadi jam (R), Perhitungan nilai R
menggunakan 2 rumus yang didasarkan pada durasi, yaitu :

11300 𝑡 𝑅𝑖
Untuk 0 < t < 1 : R = √𝑡 + (100) ( untuk 5, 10, 20, 40 menit )
3,12

11300 𝑡 𝐻𝐻𝑀 𝐺𝑢𝑚𝑏𝑒𝑙


Untuk 0 < t < 24 : R = √𝑡 + ( ) ( untuk 60, 120, 240 menit )
3,12 100

Perhitungan PUH 2 Tahun


Untuk 0 < t < 1 :
Durasi 5 menit = 0,08333 jam
11300 𝑥 0,08333 162,48
R = √ 0,08333 + ( ) = 27,86
3,12 100

Durasi 10 menit = 0,16667 jam


11300 𝑥 0,16667 163,93
R = √ 0,16667 + ( ) = 39,24
3,12 100

Durasi 20 menit = 0,33333 jam


11300 𝑥 0,33333 164,63
R = √ 0,33333 + ( ) = 54,39
3,12 100

Durasi 40 menit = 0,66667 jam


11300 𝑥 0,66667 165,05
R = √ 0,66667 + ( ) = 76,32
3,12 100

Untuk 0 < t < 24


Durasi 60 menit = 1 jam
11300 𝑥 1 152
R = √1+ (100) = 79,66
3,12

Durasi 120 menit = 2 jam


11300 𝑥 2 152
R = √2+ (100) = 101,06
3,12

Durasi 240 menit = 4 jam


11300 𝑥 4 152
R = √4+ (100) = 121,19
3,12
Hasil Perhitungan untuk PUH 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat dalam
table :

Durasi Nilai R PUH (tahun)


(jam)
2 5 10 25 50 100
0.083333 27.86 31.02 33.25 36.15 38.34 40.56
0.166667 39.24 43.76 46.96 51.12 54.29 57.49
0.333333 54.39 60.69 65.17 71.00 75.43 79.92
0.666667 73.62 82.18 88.27 96.20 102.24 108.35
1 79.66 87.74 93.34 100.50 105.83 111.13
2 101.06 111.30 118.42 127.49 134.26 140.98
4 121.19 133.48 142.01 152.90 161.01 169.07

Setelah nilai R diketahui maka langkah selanjutnya adalah menghitung


Intensitas hujan menggunakan rumus :

𝑅
I=
𝑡

Perhitungan PUH 2 tahun

27,86
I 5 menit = = 334,30
5
39,24
I 10 menit = = 235,45
10
54,39
I 20 menit = = 163,16
20
73,62
I 40 menit = =110,43
40
79,66
I 60 menit = = 79,66
60
101,06
I 120 menit = =50,53
120
121,19
I 240 menit = =30,30
240
Hasil Perhitungan untuk PUH 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat dalam
table :
Durasi Intensitas Hujan Hasper Weduwen (mm/jam) PUH (tahun)
(menit)
2 5 10 25 50 100
5 334.30 372.20 398.98 433.76 460.12 486.72
10 235.45 262.55 281.75 306.73 325.72 344.92
20 163.16 182.07 195.50 212.99 226.29 239.76
40 110.43 123.28 132.40 144.30 153.36 162.53
60 79.66 87.74 93.34 100.50 105.83 111.13
120 50.53 55.65 59.21 63.75 67.13 70.49
240 30.30 33.37 35.50 38.22 40.25 42.27

5. 6. Analisa Lengkung Intensitas Hujan


Untuk perhitungan lengkung intensitas hujan, intensitas awal yang
digunakan adalah intensitas dengan menggunakan metode Hasper-
Weduwen. Hal ini dikarenakan metode Hasper-Weduwen lebih representatif
dalam perhitungannya. Berikut adalah perhitungan lengkung intensitas
hujan untuk PUH 10 tahun dan 25 tahun yang disajikan dalam bentuk tabel.
(Tabel perhitungan lengkung intensitas hujan PUH 10 tahun)

t I I.t I2 I2.t log I log t log I . log t log2 t (t)^0,5 I. (t)^0,5 I2. (t)^0,5
5 398.98 1994.91 159186.50 795932.48 2.60 0.70 1.82 0.49 2.24 892.15 355951.83
10 281.75 2817.46 79380.54 793805.37 2.45 1.00 2.45 1.00 3.16 890.96 251023.30
20 195.50 3909.91 38218.52 764370.34 2.29 1.30 2.98 1.69 4.47 874.28 170918.40
40 132.40 5296.03 17529.97 701198.85 2.12 1.60 3.40 2.57 6.32 837.38 110869.27
60 93.34 5600.63 8713.08 522784.82 1.97 1.78 3.50 3.16 7.75 723.04 67491.23
120 59.21 7105.03 3505.65 420678.41 1.77 2.08 3.69 4.32 10.95 648.60 38402.51
240 35.50 8520.71 1260.46 302510.32 1.55 2.38 3.69 5.67 15.49 550.01 19526.96
Jumlah 1196.68 35244.68 307794.72 4301280.58 14.76 10.84 21.53 18.90 50.39 5416.41 1014183.50

(Tabel perhitungan lengkung intensitas hujan PUH 25 tahun)

t I I.t I2 I2.t log I log t log I . log t log2 t (t)^0,5 I. (t)^0,5 I2. (t)^0,5
5 433.76 2168.81 188148.80 940743.99 2.64 0.70 1.84 0.49 2.24 969.92 420713.50
10 306.73 3067.34 94085.82 940858.16 2.49 1.00 2.49 1.00 3.16 969.98 297525.47
20 212.99 4259.74 45363.52 907270.48 2.33 1.30 3.03 1.69 4.47 952.51 202871.85
40 144.30 5771.98 20822.34 832893.60 2.16 1.60 3.46 2.57 6.32 912.63 131692.04
60 100.50 6029.92 10099.98 605998.94 2.00 1.78 3.56 3.16 7.75 778.46 78234.13
120 63.75 7649.63 4063.66 487639.77 1.80 2.08 3.75 4.32 10.95 698.31 44515.22
240 38.22 9173.82 1461.09 350662.31 1.58 2.38 3.77 5.67 15.49 592.17 22635.15
Jumlah 1300.25 38121.23 364045.22 5066067.24 15.00 10.84 21.90 18.90 50.39 5873.97 1198187.36
5.6.1 Pemilihan Rumus Lengkung Intensitas Hujan untuk PUH 10 Tahun
a. Metode Talbot
Sebelum perhitungan Metode talbot, maka harus dihitung terlebih
dahulu nilai a dan b menggunakan rumus :
(∑𝐼.𝑡)(∑𝐼 2 )−(∑𝐼 2 .𝑡)(∑𝐼)
a= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=
(∑𝐼)(∑𝐼.𝑡)−𝑁(∑𝐼 2 .𝑡)
b= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=

Setelah nilai a dan b diketahui maka dapat dihitung nilai lengkung


intensitas untuk PUH 10 tahun tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit
menggunakan rumus :
𝑎
I = 𝑡+𝑏
7980,24
I 5 menit = =
5+15,7

Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :

Perhitungan Intensitas
t I
5 363.57
10 295.49
20 214.98
40 139.15
60 102.87
120 57.72
240 30.74

b. Metode Sherman
Sebelum perhitungan Metode Serman, maka harus dihitung terlebih
dahulu nilai a dan n menggunakan rumus :
(∑ log 𝐼 )(∑ log² 𝑡)−(∑ log t .log 𝐼)(∑ log 𝑡)
Log a =
(𝑛.∑𝑙𝑜𝑔2 𝑡)−(∑ log 𝑡)2
=

a = 10log a =
(∑ log 𝐼 ∑ log 𝑡)− 𝑛 (∑ log t .log 𝐼)
N=
(𝑛.∑𝑙𝑜𝑔2 𝑡)−(∑ log 𝑡)2
=
Setelah nilai a dan b diketahui maka dapat dihitung nilai lengkung
intensitas untuk PUH 10 tahun tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit
menggunakan rumus :
𝑎
I=
tᴺ
1199.12
I 5 menit = =
50.62
Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :

Perhitungan Intensitas
T I
5 437.19
10 283.11
20 183.33
40 118.72
60 92.07
120 59.62
240 38.61

c. Metode Ishiguro
Sebelum perhitungan Metode Ishiguro, maka harus dihitung terlebih
dahulu nilai a dan b menggunakan rumus :
(∑𝐼.√𝑡)(∑𝐼2 )−(∑𝐼2 .√𝑡.∑𝐼)
a= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=

(∑𝐼∑𝐼.√𝑡)−𝑁(∑𝐼 2 .√𝑡)
b= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=

Setelah nilai a dan b diketahui maka dapat dihitung nilai lengkung


intensitas untuk PUH 10 tahun tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit
menggunakan rumus :
𝑎
I=
√𝑡+𝑏
627,64
I 5 menit = =
√5+ −0,85

Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :
Perhitungan
Intensitas
t I
5 454.39
10 272.00
20 173.51
40 114.75
60 91.08
120 62.15
240 42.88

Setelah nilai Intensitas metode Talbot, Sherman dan Ishiguro untuk


PUH 10 tahun diketahui maka langkah selanjutnya adalah menghitung I dari
masing masing metode.

I Hasper I Hasper - I I Hasper - I I Hasper - I


t I talbot I Sherman I Ishiguro
Weduwen talbot Sherman Ishiguro
5 398.98 363.57 35.41 437.18 -38.21 454.38 -55.40
10 281.75 295.49 -13.75 283.1 -1.36 272 9.74
20 195.50 214.98 -19.49 183.32 12.17 173.50 21.99
40 132.40 139.15 -6.75 118.71 13.68 114.74 17.65
60 93.34 102.86 -9.52 92.07 1.27 91.07 2.26
120 59.21 57.718 1.49 59.62 -0.41 62.14 -2.94
240 35.50 30.736 4.77 38.60 -3.11 42.88 -7.38

I Talbot = 35,41 + |−13,75| + |−19,49|+ |−6,75|+|−9,52| + 1,49 + 4,77


= 89,22
I Sherman = |−38,21|+ |−1,36|+ 12,17 + 13,68 + 1,27 + |−0,41|+ |−3,11|
= 66,49
I Ishiguro = |−55,40|+ 9,74 + 21,99 + 17,65 + 2,26 + |−2,94|+ |−7,38|
= 111,28
Dari perhitungan I untuk PUH 10 tahun, terlihat bahwa I Sherman
memiliki nilai I terkecil, sehingga persamaan intensitas hujan (I) untuk PUH
10 tahun yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya adalah I Sherman.

5.6.2 Pemilihan Rumus Lengkung Intensitas Hujan untuk PUH 25 Tahun


a. Metode Talbot
Seperti perhitungan Metode talbot untuk PUH 10 tahun, harus
dihitung terlebih dahulu nilai a dan b menggunakan rumus :
(∑𝐼.𝑡)(∑𝐼 2 )−(∑𝐼 2 .𝑡)(∑𝐼)
a= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=
(∑𝐼)(∑𝐼.𝑡)−𝑁(∑𝐼 2 .𝑡)
b= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=

Setelah nilai a dan b diketahui maka dapat dihitung nilai lengkung


intensitas untuk PUH 10 tahun tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit
menggunakan rumus :
𝑎
I = 𝑡+𝑏
8500,64
I 5 menit = 5+16,44 =

Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :

Perhitungan Intensitas
t I
5 396.38
10 321.44
20 233.24
40 150.60
60 111.20
120 62.30
240 33.15

b. Metode Sherman
Seperti perhitungan Metode Sherman untuk PUH 10 tahun, maka
harus dihitung terlebih dahulu nilai a dan n menggunakan rumus :
(∑ log 𝐼 )(∑ log² 𝑡)−(∑ log t .log 𝐼)(∑ log 𝑡)
Log a =
(𝑛.∑𝑙𝑜𝑔2 𝑡)−(∑ log 𝑡)2
=

a = 10log a =
(∑ log 𝐼 ∑ log 𝑡)− 𝑛 (∑ log t .log 𝐼)
N=
(𝑛.∑𝑙𝑜𝑔2 𝑡)−(∑ log 𝑡)2
=
Setelah nilai a dan b diketahui maka dapat dihitung nilai lengkung
intensitas untuk PUH 10 tahun tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit
menggunakan rumus :
𝑎
I=
tᴺ
1315,28
I 5 menit = =
50.63
Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :

Perhitungan Intensitas
t I
5 476.91
10 308.10
20 199.04
40 128.58
60 99.59
120 64.33
240 41.56
c. Metode Ishiguro
Seperti perhitungan Metode Ishiguro untuk PUH 10 tahun, maka
harus dihitung terlebih dahulu nilai a dan b menggunakan rumus :
(∑𝐼.√𝑡)(∑𝐼2 )−(∑𝐼2 .√𝑡.∑𝐼)
a= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=

(∑𝐼∑𝐼.√𝑡)−𝑁(∑𝐼 2 .√𝑡)
b= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=

Setelah nilai a dan b diketahui maka dapat dihitung nilai lengkung


intensitas untuk PUH 10 tahun tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit
menggunakan rumus :
𝑎
I=
√𝑡+𝑏
627,64
I 5 menit = =
√5+ −0,85

Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :
Perhitungan Intensitas
t I
5 496.91
10 295.77
20 188.10
40 124.17
60 98.49
120 67.14
240 46.30

Setelah nilai Intensitas metode Talbot, Sherman dan Ishiguro untuk


PUH 25 tahun diketahui maka langkah selanjutnya adalah menghitung I dari
masing masing metode.

I Hasper I Hasper - I I Hasper - I I Hasper - I


t I talbot I Sherman I Ishiguro
Weduwen talbot Sherman Ishiguro
5 433.76 396.38 37.38 476.91 -43.15 496.91 -63.14
10 306.73 321.44 -14.71 308.10 -1.36 295.77 10.96
20 212.99 233.24 -20.26 199.04 13.95 188.10 24.89
40 144.30 150.60 -6.30 128.58 15.71 124.17 20.13
60 100.50 111.20 -10.70 99.59 0.91 98.49 2.01
120 63.75 62.30 1.45 64.33 -0.59 67.14 -3.39
240 38.22 33.15 5.08 41.56 -3.34 46.30 -8.07

I Talbot = 37,38 + |−14,71| + |−20,26|+ |−6,30|+|−10,70| + 1,45 +


5,08 = 93,99
I Sherman = |−43,15|+ |−1,36|+ 13,95 + 15,71 + 0,91 + |−0,59|+ |−3,34|
= 73,63
I Ishiguro = |−63,14|+ 10,96 + 24,89 + 20,13 + 2,01 + |−3,39|+ |−8,07|
= 123,66
Dari perhitungan I untuk PUH 25 tahun, terlihat bahwa I Sherman
memiliki nilai I terkecil, sehingga persamaan intensitas hujan (I) untuk PUH
25 tahun yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya adalah I Sherman.
BAB VI
PERENCANAAN SISTEM DRAINASE

6. 1. Penentuan Blok Pelayanan


Penentuan blok pelayanan berguna untuk mempermudah perancangan
sistem drainase dan untuk memudahkan dalam perhitungan beban limpasan
air hujan yang disalurkan ke saluran – saluran drainase yang melewati blok
atau daerah pelayanan
Pada perencanaan drainase ini direncanakan melayani sebagian besar
beban limpasan air hujan pada daerah yang ada di peta perencanaan dengan
prinsip pengaliran secepatnya pada sungai terdekat. Berdasarkan pada peta
yang ada dapat diketahui bahwa sungai pada kawasan ini terletak di bagian
Selatan Kota Blitar, dari keseluruhan peta Kota Blitar, yaitu sungai Brantas.
Pembagian blok berdasarkan pada letak sungai tersebut, selain
dipertimbangkan juga faktor lain, seperti daerah yang memiliki koefisien
pengaliran hampir sama. Dalam perencanaan ini terbagi menjadi 10 blok
yang dapat dilihat pada peta berikut.

6. 2. Perhitungan Debit Rencana dan Dimensi Saluran


6.2.1 Perhitungan Koefisien Pengaliran (Cs)
Perhitungan koefisien pengaliran dihitung untuk setiap blok, sesuai
dengan harga C untuk masing – masing tipe daerah aliran. Perhitungan
koefisien pengaliran dapat dilihat pada Tabel ...

(Tabel perhitungan koefisien pengaliran masing-masing blok)

6.2.2 Jumlah Saluran


Pada perencanaan ini, setiap saluran masing – masing melayani satu
blok pelayanan, dimana panjang limpasan diusahakan tidak melebihi dari 2
km. Jumlah saluran dalam perencanaan sistem drainase ini sejumlah X
saluran yang terdiri dari Y saluran sekunder, dan Z saluran primer (sesuai
dengan perencanaan masing-masing mahasiswa).
6.2.3 Perhitungan Debit Saluran
Untuk menghitung debit saluran perlu mengetahui bentuk dan jenis
saluran yang direncanakan. Dalam perencanaan ini digunakan saluran
berbentuk persegi yang terbuat dari pasangan batu kali, yang merupakan
campuran dari spasi (pasir dan semen) dan batu kali.

Gambar X. Penampang saluran persegi

[Contoh perhitungan untuk salah satu saluran, dituliskan mulai dari


perhitungan slope saluran, waktu limpasan permukaan/time overland flow
(to), asumsi V, time of drain (td), waktu konsentrasi (tc), Intensitas hujan
(rumus yang terpilih), sampai pada perhitungan debit saluran]
Diketahui :
- panjang limpasan = .............
- panjang saluran = ................
- luas pelayanan = ..............
- koefisien pengaliran (C) = ..........
Dst ........
Perhitungan :
 Time verland flow (to)= .............
 Time of drain (td) = ...............
 Intensitas Hjan (dari rumus yang terpilih berdasarkan pemilihian rumus
intensitas hujan, Talbot, Sherman atau Ishiguro) = ...............
 Debit saluran = ..............
Dst...
6.2.4 Perhitungan Dimensi Saluran
[Contoh perhitungan dimensi untuk salah satu saluran]
Diketahui :
- Q saluran = ............... m3/detik
- n (koef Manning) = ...............
- Elevasi awal saluran = ................... m
- Elevasi akhir saluran = .................. m
Perhitungan :
 Luas penampang saluran = ...........
 V asumsi dalam saluran = ..... m/det
 Perhitungan A
 Perhitungan P
 Perhitungan freebooard
 H total = ?
 Perhitungan R (jari-jari hidrolis)
 V cek = ........... (dengan rumus Manning)
 Elevasi saluran awal = ............ m (sesuai kontur, ketinggian tempat)
 Perhitungan Elevasi Dasar Saluran (EDS)
EDS = elevasi salurana wal – h total
 Perhitungan Elevasi Akhir Saluran = EDS – (slope x panjang saluran)

Untuk perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada Tabel Y, sampai


Tabel Z yang meliputi perhitungan debit dan dimensi untuk saluran primer
dan sekunder, serta perhitungan elevasi yang akan digunakan untuk
menggambar profil hidrolis yang terdapat pada lampiran.

(Tabel Perhitungan Debit Saluran Sekunder)


(Tabel Perhitungan Debit Saluran Primer)
(Tabel Perhitungan Dimensi Saluran Sekunder)
(Tabel Perhitungan Dimensi Saluran Primer)
(Perhitungan Elevasi Dasar Saluran Primer)
(Perhitungan Elevasi Dasar Saluran Sekunder)
BAB VII
BANGUNAN PELENGKAP
(JIKA ADA)

7.1 Umum
7.2 Gorong-gorong
BAB VIII
BILL OF QUANTITY (BOQ)

8.1 Bill of Quantity Saluran


A. Bahan Saluran

fb

pasangan batu kali 0,2

0,2 0,2 b 0,2 0,2

Gambar X. Galian saluran


Contoh perhitungan BOQ untuk saluran sakunder dan saluran primer :
- Direncanakan tebal dinding untuk saluran adalah 0,2 m, sehingga dapat
dihitung ;
- Diketahui : (untuk saluran x – y)
b = ................. m
h total = .................. m
Ld = ................... m
Maka, diperoleh ;
A total saluran = b x h total = .....................
Volume total saluran = A total saluran x Ld
Volume galian = [ b x (4 x tebal dinding saluran)]x [ h total x (1 x lebar
dinding alas saluran)] x Ld = m3
Volume batu kali = volume galian – volume total saluran = ............. m3
Volume spesi, diasumsikan 0,25 x volume batu kali
Maka, volume spesi = (1/4) x volume batu kali = ................... m3
Spesi beton = 1 : 3
Volume semen = (1/4) x volume spesi = ................... m3
Volume pasir = (3/4) x volume spesi = ..................... m3
Untuk perhitungan BOQ saluran primer sama dengan perhitungan BOQ
untuk saluran sekunder, seperti contoh perhitungan di atas. Tabel
perhitungan BOQ untuk saluran primer dan sekunder dapat dilihat pada
Tabel.... dan Tabel .....

(Tabel BOQ untuk saluran Sekunder)


(Tabel BOQ untuk saluran Primer)
DAFTAR PUSTAKA

(Penulisan Daftar Pustaka sesuai penulisan Daftar Pustaka berdasarkan


Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang benar)
LAMPIRAN

B. Gambar Profil Hidrolis di kertas milimeter dengan gambar skala


untuk semua saluran primer dan sekunder

Anda mungkin juga menyukai