Oleh :
Dira Rosy Abdurachman (1722201006)
Moch. Zainal Arifin (1722201035)
Dosen:
NINDYA YUSNIARTANTI, ST., MT
Penulis
DAFTAR ISI
(dst)
DAFTAR TABEL
(dst)
BAB I
PENDAHULUAN
Dari sudut pandang yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari
prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju
kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat. Prasarana drainase di
sini berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air
permukaan dan bawah permukaan tanah) dan atau bangunan resapan. Selain
itu juga berfungsi sebagai pengendali kebutuhan air permukaan dengan
tindakan untuk memperbaiki daerah becek dan genangan air
Data hujan harian selanjutnya akan diolah menjadi data curah hujan
rencana,yang kemudian akan diolah menjadi debit banjir rencana. Data hujan
harian didapatkandari beberapa stasiun di sekitar lokasi rencana bendung, di
mana stasiun tersebut masuk dalam catchment area atau daerah pengaliran
sungai.Adapun langkah-langkah dalam analisis hidrologi adalah sebagai
berikut:
a. Kuantitas
Jumlah data HHM (N) dari setiap stasiun pengukur hujan N ≥ 30
data, agar diperoleh tinggi hujan harian maksimum rata-rata yang
normal
Jumlah Stasiun Pengamat Hujan/ SPH (M), dimana M ≥ (3 – 10) SPH
Data hujan kontinyu setiap tahun pendataan, jika ada yang tidak
lengkap perlu diengkapi (melengkapi data hujan).
b. Kualitas
Data hujan terpakai sudah lengkap dengan M ≥ 1 dari yang terdekat
serta paling berpengaruh pada daerah aliran saluran (DAS)
drainase yang direncanakan
Ada data hujan dari SPH sekitarnya dengan M ≥ (3 – 10) SPH diluar
data-data hujan untuk perhitungan drainase
Data-data hujan untuk perhitungan drainase harus konsisten.
Sebagai kontrol konsistensi adalah dari SPH pembanding dengan M
≥ (3 – 10) SPH
Setelah konsisten, selanjutnya perlu dicek kehomogenitas-annya,
dengan grafik homogenitas. Jika tidak homogen,maka dicari array
data lain yang homogen
Tidak konsitensinya sekumpuan data array data dapat disebabkan
adanya perubahan atau trend yang terjadi di suatu wilayah (DAS)
yang diakibatkan :
Perubahan tata guna lahan pada DAS (daerah aliran
saluran) drainase dan sekitarnya. Misal ; DAS hutan
berubah menjadi DAS kota, akibatnya sederetan data
hujan pada tahun-tahun sebelumnya dijadikan daerah
perkotaan, memiliki tinggi hujan yang lebih besar pada
tahun-tahun sesudahnya
Perpindahan tempat/lokasi stasiun pengukur hujan
Perubahan ekosistem sehingga berakibat pada perubahan
iklim, misal ; kebakaran hutan, tanah longsor, dsb
Kesalahan sistem observasi data pada sekumpulan data
hujan
𝐑 𝐀 𝐀𝐀 +𝐑 𝐁 𝐀𝐁 +𝐑 𝐂 𝐀𝐂 +⋯+𝐑 𝐧 𝐀𝐧
𝐑= (1)
𝐀𝐀 +𝐀𝐁 +𝐀𝐂 +⋯+𝐀𝐧
Dimana :
A : luas areal
a) Metode Gumbel
̅ + 𝛔𝐑 ( 𝐘𝐭 − 𝐘𝐧 )
𝐑𝐭 = 𝐑 (2)
𝐒𝐧
𝐘𝐭 −𝐘𝐧
k= (3)
𝑺𝒏
b = √𝟏 + 𝟏, 𝟑 𝒌 + 𝟏, 𝟏 𝒌² (4)
𝛔𝐑
Se = b x (5)
√𝑵
Rk = ± t(a) x Se (6)
Dimana :
Yt : reduced variate,
Yn : Reduced mean
Sn : Reduced St.Deviasi
σn : standar deviasi
N : Jumlah Data
Se : Probability error
b) Metode Iway-Kadoya
Metode ini terdiri dari beberapa tahapan perhitungan yang harus dilakukan
dengan berurutan. Yaitu Metode Iway Kadoya disebut pula pola distribusi
terbatas sepihak (one sided finite distribution) Prinsip dasarnya adalah
merubah variabel (x) dari kurva kerapatan curah hujan harian ke log (x) atau
merubah kurva distribusi asimetris menjadi kurva distribusi normal
Menentukan harga Xo
𝟏
𝐗𝐨 = 𝐧 ∑ 𝐥𝐨𝐠𝐗𝐢 (7)
Memperkirakan harga b
𝟏 𝐧
𝐛 = 𝐦 ∑ 𝐛𝐢 , 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦 = 𝟏𝟎 (8)
(𝐗𝐬.𝐗𝐭)−𝐗𝐨𝟐
𝐛𝐢 = (9)
𝟐𝐗𝐨−(𝐗𝐬.𝐗𝐭)
Memperkirakan harga Xo
𝟏
𝑿𝒐 = 𝒏 ∑ 𝐥𝐨𝐠(𝑿𝒊 + 𝒃) (10)
Memperkirakan harga c
𝟏
𝟏 𝟐𝐧 𝟐
= [(𝐧−𝟏) (𝐗 𝟐 − 𝐗𝐨𝟐 )] (11)
𝐜
dengan :
Metode ini didasarkan pada perubahan data yang ada dalam bentuk
logaritma. Sesuai dengan anjuran The Hidrology Community of
the Water Reccurence Council dalam perhitungan praktis dari suatu data,
maka yang harus dilakukan adalah merubah data tersebut ke dalam bentuk
logaritma baru dihitung statical parameter-nya. Berikut tumus yang
digunakan dalam perhitungan metode Log Pearson III:
Ʃ ( 𝒙𝒊−𝐱̅)²
𝑺=√ (12)
𝑵−𝟏
𝑵 Ʃ ( 𝑿𝒊− 𝐱̅)³
Cs = ( 𝑵−𝟏)(𝑵−𝟐 ) (𝐬)³ (13)
Xt = 𝐱̅ + 𝒌𝒙 . 𝐒 (14)
Rt = antilog(Xt) (15)
Dimana :
S : Deviasi Rata – rata besaran Logaritma
Cs : Koefisien Asimetri
N : Jumlah data
Xt : Harga Log tiap data untuk tiap PUH
Rt : harga HHM tiap PUH
𝟓𝟒𝐑 𝐓 +𝟎,𝟎𝟕𝐑 𝐓 𝟐
𝐈𝐓 = (16)
𝐭 𝐜 +𝟎,𝟑𝐑 𝐓
Dimana:
c) Metode Hasper-Weduwen
𝟏𝟐𝟏𝟖𝐭+𝟓𝟒
𝐑𝐢 = 𝐗𝐭 ( ) (17)
𝐗 𝐭 (𝟏−𝐭)+𝟏𝟐𝟕𝟐𝐭
𝐑
𝐈= (18)
𝐭
𝟏𝟏𝟑𝟎𝟎𝐭 𝐗𝐢
𝐑=√ [ ] (19)
𝐭+𝟑,𝟏𝟐 𝟏𝟎𝟎
Dimana:
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)
a) Metode Talbot
Rumus Talbot dikemukakan oleh professor Talbot pada tahun
1881. Rumus ini banyak digunakan di Jepang karena mudah
diterapkan. Tetapan-tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga
terukur. Adapun rumus tersebut :
𝐚
𝐈= (20)
𝐭+𝐛
Dimana :
a dan b : konstanta.
b) Metode Ishiguro
Rumus Ishiguro ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro tahun 1953.
Adapun rumus tersebut :
𝐚
𝐈= (21)
√𝐭+𝐛
Dimana :
a dan b : konstanta.
c) Metode Sherman
Rumus Sherman dikemukakan oleh professor Sherman pada
tahun 1905. Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan
yang lamanya lebih dari 2 jam. Adapun rumus tersebut :
𝐚
𝐈= (22)
𝐭𝐧
Diamana :
n : konstanta.
𝟏𝟎𝟎
Q= 𝑪. 𝑰. 𝑨 (23)
𝟑𝟔
Metode Rasional seperti rumus diatas hanya berlaku untuk
menghitung limpasa hujan (storm Runoff) pada daerah aliran seluas kurang
dari 13 km2. Sedangkan untuk daerah yang memiliki luas lebih dari 13 km2
digunakan metode rasional yang sudah dimodifikasi yaitu :
𝟏𝟎𝟎
Q= 𝑪𝒔. 𝑰. 𝑨 (24)
𝟑𝟔
Debit aliran (Q) merupakan hasil kali koifisien tampungan (sorage
coefficient ), rata-rata intensitas hujan (mm/jam) untuk duirasi yang
besarnya sama dengan waktu konsentrasi (tc) dan periode ulang tertentu
serta luas daerah tangkapan / cathment area (A).
A. Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran diperoleh dari hasil perbandingan antara
jumlah hujan yang jatuh dengan yang mengalir sebagai limpasan dari suatu
hujan di permukaan / tanah tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi
harga koefisien pengaliran adalah infiltrasi dan tampungan hujan pada tanah
sehingga mempengaruhi jumlah air hujan yang mengalir (masuk ke saluran)
Penerapan koefisien pengaliran (C) dalam pemakaian metode
rasional, disesuaikan dengan rencana tata guna lahan dari rencana
pengembangan kota. Pada suatu daerah pengaliran dengan tata guna lahan
yang berbeda-beda, besarnya koefisien pengaliran ditentukan dengan
mengambil harga rata-rata berdasarkan bobot luas daerah :
𝑪𝟏𝑨𝟏+𝑪𝟐𝑨𝟐+𝑪𝟑𝑨𝟑+⋯…..𝑪𝒏𝑨𝒏
CR= (25)
𝑨
Dimana :
Cr = harga rata-rata koefisien pengaliran
C1, C2, Cn = harga koefisien pengaliran pada masing-masing daerah
A1, A2, An = luas masing-masing daerah (dalam Ha)
A = luas total daerah pengaliran (Ha)
Dimana :
to = waktu limpasan (menit)
C = koefisien pengaliran
Lo = panjang limpasan (m)
So = kemiringan medan limpasan (%)
𝑳𝒐
to = (𝑪𝒛 .𝑰.𝐬𝐢𝐧 𝜶)𝟐/𝟑 (27)
Dimana :
Cz = koefisien Cheezy
I = intensitas hujan (mm/jam)
α = sudut kemiringan lahan
2. Berlaku untuk daerah pengaliran kecil, dengan panjang tali air sampai
dengan 1000 m.
𝟏𝟎𝟖𝒏(𝑳𝒐)𝟏/𝟐
to = 𝑺𝟏/𝟓
(28)
dimana
to = waktu limpasan (menit)
n = harga kekasaran permukaan tanah
Lo = panjang limpasan
S = kemiringan medan limpasan (%)
𝑳
td = (29)
𝑽
dimana :
L = panjang saluran
v = kecepatan rata-rata dalam saluran
Untuk memperkirakan kecepatan dalam perhitungan kapasitas saluran
yang direncanakan biasanya v (kecepatan) diasumsikan antara 1 – 3 m/detik.
Selain itu Menghitung kecepatan dalam saluran juga bisa atas dasar rumus
kecepatan Manning.
d. Time of Concentration (tc)
Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan
air hujan dari titik terjauh menuju suatu titik tertentu yang ditinjau pada
daerah pengaliran dan atau diperoleh debit maksimum. Perhitungan Time of
Concentration bergantung pada daerah di sekitar saluran, secara umum
rumus Time of Concentration terbagi menjadi 2 yaitu :
Pada daerah terbangun waktu konsentrasi terdiri dari waktu yang
diperlukan oleh air untuk mengalir pada permukaan tanah menuju
ke saluran terdekat (overland time of flow/to) dan waktu untuk
mengalir di dalam saluran (td), maka;
tc = to + td (30)
Pada daerah aliran dengan sebagian besar salurannya terbuka, dan
air masuk sepanjang tepinya, maka :
𝟗𝟐,𝟕 𝑳
tc= (31)
𝑨𝟎.,𝟏 𝑺𝒓𝟎,𝟐
Ʃ𝑳𝒊 √𝑺𝒊 𝟐
Sr = ( ) (32)
Ʃ𝑳𝒊
dimana :
tc = waktu konsentrasi (menit)
L = total panjang limpasan (ekivalen) aliran (km)
A = luas daerah (Ha) kumulatif
Si/Sr = kemiringan alur /rata-rata (‰ atau 10 per mil)
Q = 0,0138 h (34)
Keterangan:
Q : debit air
h : tinggi permukaan air
c. Alat Ukur Parshall Flume ,Alat ukur tipe ini ditentukan oleh
lebar dari bagian penyempitan, yang artinya debit air diukur
berdasarkan mengalirnya air melalui bagian yang menyempit
(tenggorokan) dengan bagian dasar yang direndahkan.
Selain beberapa rumus diatas, Untuk menghitung debit aliran didalam
suatu saluran bisa mengggunakan persamaan kontinuitas dan rumus
manning yaitu :
Q=VxA (35)
dimana :
Q = debit pengaliran (m3/detik)
V = kecepatan rata-rata dalam saluran (m/det)
A = luas penampang basah saluran (m2)
Perhitungan dengan rumus diatas disesuaikan dengan jenis bahan
saluran yang dipakai untuk perkotaan. Dalam mencari nilai kecepatan rata-
rata (v) digunakan rumus Manning dengan harga n sesuai dengan jenis dan
sifat bahan saluran (koef. kekasaran Manning).
𝟏
V= 𝒏 𝑹𝟐/𝟑 𝑺𝟏/𝟐 (36)
Gambar 2. Freeboard
Trapesium T = 2y √1 + z²
(b + zy)y (𝑏 + 𝑧𝑦)𝑦 b + 2zy (b + 2y)y 1
b + 2y √1 + z² R = 2y
𝑏 + 2𝑦 √1 + z² b + 2zy
Z = 3√3
Segitiga
Zy2 Zy 2zy 1
2y√1 + z² y
2
2y√1 + z²
Lingkaran
𝑠𝑖𝑛ø 1 ø−sinø
(ø − sinø )Do² 1
ø D2 (1 − ø ) 1
((sin ø) x 2y(Do − y) [ ] y = 1,9 r
8 2 𝐷𝑜 2 8 𝑠𝑖𝑛1ø
4 2
2.6 Kelengkapan Saluran
Kelengkapan saluran dimaksudkan sebagai sarana pelengkap pada
sistem penyaluran air hujan, sehingga fungsi pengaliran dapat terjadi
sebagaimana yang direncanakan.
2.6.1 Sambungan Persil
Sambungan persil adalah sambungan saluran air hujan dari rumah ke
saluran air hujan yang berada di tepi jalan. Sambungan persil dapat berupa
saluran terbuka atau tertutup yang dibuat terpisah dari saluran air bekas.
2.6.2 Street Inlet
Street inlet adalah lubang disisi-sisi jalan yang berfungsi untuk
menampung dan menyalurkan limpasan air hujan yang berada di sepanjang
jalan menuju kedalam saluran drainase. Bangunan ini merupakan lubang
untuk aliran masuk limpasan air hujan, bisa jadi untuk saluran kombinasi.
Diletakkan pada saluran/ got pada permukaan terendah dari suatu area
tampungan, juga pada perempatan jalan, pada titik-titik terendah di area
perkampungan untuk mencegah genangan air hujan.
Gambar 12 . Terjunan
2.6.5 Gorong – gorong
Gorong-gorong merupakan bangunan perlintasan karena adanya
saluran yang melintasi jalan. Perencanaan gorong-gorong didasarkan atas
besarnya debit pengaliran sesuai dengan keadaaan saluran dan sifat-sifat
hidrolisnya. Gorong-gorong harus terbebas dari endapan lumpur, dengan
batasan kecepatan dalam gorong-gorong harus lebih besar atau sama dengan
self cleansing velocity.
Gambar 12 . Gorong-gorong
2.6.6 Sands, Grease and Oil Traps (Bak pemisah minyak, lemak dan pasir).
Air buangan dari dapur, baik rumah kediaman, apartemen, restoran,
hotel, asrama, penjara, dll., mengandung minyak yang secara akumulasi
dapat menempel pada dinding pipa saluran pembuangan, sehingga dapat
menebabkan buntu pada saluran tersebut, sehingga pada beberapa kota yang
konskuen akan kebersihan dan perawatan jangka panjang yang efektif, perlu
dibangun bak-bak pemisah minyak pada jalur saluran dari tempat-tempat
tersebut yang akan menuju saluran buangan kota.
Kota Blitar yang menjadi ibu kota Blitar sejak dahulu sering dikaitkan
dengan nama besar Bung Karno. Karena disinilah Bung Karno dimakamkan dan
pernah pula ttinggal disebuah rumah yang sekarang dinamakan Istana Gebang. Bisa
dikatakan Kota Blitar besar dan terkenal karena nilai dan historisnya. Wilayah Kota
Blitar merupakan wilayah terkecil kedua di propinsi Jawa Timur setelah Kota
Mojokerto. Tetapi dilihat dari konstelasi regional Blitar mempunyai beberapa
keuntungan strategis karena berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Blitar
yang mempunyai konstribusi dan pergerakan yang tinggi dan juga
sebagai salah satu pintu gerbang menuju wilayah tersebut. Hal ini membawa
konsekuensi pada pola transportasi dan penyediaan sarana transportasi dari dan
kearah Kota Blitar. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung juga dimaksudkan
agar semakin meningkatnya tingkat pelayanan terhadap pergerakan barang dan jasa
serta perekonomian yang sejalan, maka semakin baik pula tingkat pelayanan
kegiatan di seluruh wilayah Kota Blitar.
3. 4. Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk terpadat adalah di kecamatan Sananwetan yaitu
sejumlah 45.011 jiwa, sedangkan penduduk terkecil adalah kecamatan
Kepanjen Kidul sejumlah 37.529jiwa . Dan kecamatan Sukorejo sebanyak
41.247 jiwa. Dengan table sebagai berikut.
Tabel.
Penduduk
NO Kecamatan
Jumlah (Jiwa) Kepadatan (Jiwa/Km2)
1 Sananwetan 45.011 3.704
2 Kepanjen Kidul 37.529 3.574
3 Sukorejo 41.247 4.157
TOTAL 123.787 3.812
BAB IV
KRITERIA PERENCANAAN DRAINASE
4. 1. Umum
Dalam perencanaan sistem drainase, direncanakan suatu sistem
drainase yang terpisah dari sistem saluran pengumpul air buangan kota.
Beberapa parameter digunakan sebagai dasar dalam perencanaan sistem
drainase. Penentuan arah dan jalur saluran air hujan direncanakan terdapat
batasan-batasan sebagai berikut :
Arah pengaliran dalam saluran mengikuti garis ketinggian yang ada
(sistem pengaliran secara gravitasi)
Air secepat mungkin dibuang ke badan air penerima dengan pemilihan
jalur terpendek
Pemanfaatan sungai/anak sungai sebagai badan air penerima dari outfall
yang direncanakan
Menghindari banyaknya perlintasan saluran pada jalan, sungai, rel KA,
dan sebagainya, agar sesedikit mungkin penggunaan gorong-gorong
Alternatif pemilihan jalur saluran drainase dipertimbangkan secara
teknis dan ekonomis
Pekerjaan drainase meliputi rehabilitasi yaitu perbaikan atau
normalisasi saluran dan pengembangan atau penambahan saluran baru, dan
yang kedua yaitu perencanaan baru yang disesuaikan dengan tata letak
bangunan daerah perencanaan, dan menjadi satu kesatuan dengan sistem
saluran drainase yang ada.
Sedangkan data yang diperlukan dalam perencanaan sistem drainase
meliputi data sekunder dan data primer.
Data Primer:
Data primer diwujudkan dalam bentuk survey lapangan, meliputi :
Aspirasi pemerintah dan peran serta masyarakat
Data genangan (lokasi, lama/durasi), tinggi, frekuensi, luas), penduduk
terkenan genangan dan kerugian yang ditimbulkan
Arah aliran pada saluran sekunder yang ada
Kondisi saluran (kapasitas, tebal lumpur/endapan,), penyebab
terlambatnya aliran, bahan saluran
Kapasitas, bahan saluaran dan kondisi dari bangunan pelengkap
(gorong-gorong, pintu air, street inlet, syphon, dan lainnya).
Topografi, untuk profil hidrolis dan detail desain
Data Sekunder :
Data untuk analisa hidrologi ; data hujan, data elevasi muka air badan air
penerima, data banjir badan air
Kondisi fisik daerah perencanaan ; topografi, detail struktur perkerasan
permukaan tanah, strukutr bangunan didalam tanah, kondisi lapisan
tanah, jaringan jalan, saluran drainase alami
Rencana pengembangan wilayah ; laju pertumbuhan penduduk, rencana
tata guna lahan, rencana pengembangan wilayah
Kebijaksanaan pemerintah ; batas administrasi, peraturan perundang-
undangan, peraturan berkaitan dengan pembiayaan, dinas yang
bertanggungjwab terhadap operasional dan pemeliharaan serta investasi
Data sarana dan prasarana yang telah ada ; pengelolaan sampah, sistem
distribusi air bersih, sistem penyaluran air buangan, listrik, telefon, gas,
dan lalu lintas
Master Plan Drainase Kota
Kondisi sosial – ekonomi
Kesehatan lingkungan pemukiman
1/ 3 3 .
Kemiringan sudut alas bagian luar saluran 450, harga m = 1
4. 3. Jalur Saluran
Saluran direncanakan terletak di kiri dan kanan jalan hingga batas lebar
atas 1 m, dan jika lebar saluran lebih dari 1 m, maka dicari jalur yang paling
sesuai. Jalur saluran drainase dibuat dengan kemiringan dan dimensi
tertentu. Semakin besar debit yang mengalir pada saluran, maka dimensi
saluran drainase juga semakin besar. Saluran drainase biasanya berjenis
saluran tertutup maupun terbuka. Pada saluran tertutup biasanya dilengkapi
dengan lubang pemeriksa (manhole), untuk memeriksa kemungkinan adanya
penyumbatan oleh kotoran atau sampah yang menumpuk. Kemiringan
saluran drainase diusahakan sesuai dengan kemiringan medan, untuk
mengurangi jumlah galian (cut) dan timbunan (fill).
4. 4. Prinsip-prinsip Pengaliran
Diusahakan saluran alamiah sebagai badan air penerima
Awal saluran sampai pada daerah dimana air tidak dapat lagi meresap
dengan cepat ke dalam tanah (selama mungkin terjadi infiltrasi untuk
konservasi air tanah)
Saluran sebesar mungkin memberi kesempatan terjadi infiltrasi
(kapasitas saluran sekecil mungkin)
Kecepatan maksimum 2,5 m/detik, diusahakan agar terjadi aliran tanpa
menyebabkan erosi atau penggerusan dinding saluran
Kecepatan minimum 0,3 m/detik, diusahakan agar tidak terjadi endapan
(terjadi proses self cleansing velocity)
Kapasitas saluran maupun badan air penerima mampu menerima debit
maksimum dari daerah tangkapan air sesuai dengan PUH yang
direncanakan.
BAB V
PERHITUNGAN ANALISA HIDROLOGI
5. 2. 1Uji Konsistensi
Data Curah Hujan :
Uji Konsistensitas
Suatu data curah huja dinyatakan konsisten apabila nilai konsistensinya
melebihi 10 %, berikut perhitungan Konsistensi tiap stasiun :
Stasiun A
RA-RB : 143,92 – 149,95 = -6,03
RA-RD: 143,92 – 158,53 = -14,60
RA-RE: 143.92 – 136,77 = -7,16
−14,60
Konsistensi Stasiun A = | | x 100% = 10,16 % (Konsisten )
143,92
Stasiun B
RB-RA : 149,95 – 143,92 = 6,03
RB-RD: 149,95 – 158,53 = -8,57
RB-RE: 149,95 – 136,77 = 13,19
13,19
Konsistensi Stasiun B = | | x 100% = 8,80 % ( Tidak Konsisten )
149,95
Stasiun D
RD-RE : 158,53– 136,77 = 14,60
RD-RA: 158,53– 143,92 = 8,57
RD-RB: 158,53– 149,95 = 21,76
21,76
Konsistensi Stasiun D = | | x 100% = 13,73 % ( Konsisten )
158,53
Stasiun E
RE-RA : 136,77 – 143,92 = -7,16
RE-RB: 136,77 – 149,95 = -13,19
RE-RD: 136,77 – 158,53= -21,76
−21,76
Konsistensi Stasiun E = | | x 100% = 15,91 % ( Konsisten )
143,92
Konsistensi Stasiun A
Akumulasi Rata-
ST . A ST. B ST. D ST. E Rata-Rata Stasiun Akumulasi
Tahun Rata Stasiun Y = ( 10-3 ) X = ( 10-3 )
(mm) (mm) (mm) (mm) Pembanding Stasiun A
Pembanding
2010 148 135 145 120 133.33 148 133.33 0.15 0.13
2009 150 141 151 142 144.67 298 278.00 0.30 0.28
2008 142 119 170 117 135.33 440 413.33 0.44 0.41
2007 149 139 185 115 146.33 589 559.67 0.59 0.56
2006 138 146 152 170 156.00 727 715.67 0.73 0.72
2005 158 148 161 129 146.00 885 861.67 0.89 0.86
2004 123 130 154.55 164 149.52 1008 1011.18 1.01 1.01
2003 147 148 148 169 155.00 1155 1166.18 1.16 1.17
2002 156 169 165 147.30 160.43 1311 1326.62 1.31 1.33
2001 133.48 146 140 125 137.00 1444.48 1463.62 1.44 1.46
2000 157 150 136 132 139.33 1601.48 1602.95 1.60 1.60
1999 169 186 175 128 163.00 1770.48 1765.95 1.77 1.77
1998 167 170 179 118 155.67 1937.48 1921.62 1.94 1.92
1997 147 163 168 155 162.00 2084.48 2083.62 2.08 2.08
1996 110 163 185 135 161.00 2194.48 2244.62 2.19 2.24
1995 138 156 168 115 146.33 2332.48 2390.95 2.33 2.39
1994 140 145.09 150 134 143.03 2472.48 2533.98 2.47 2.53
1993 139 162 155 133 150.00 2611.48 2683.98 2.61 2.68
1992 142 171 152 155 159.33 2753.48 2843.31 2.75 2.84
1991 125 112 131 132 125.00 2878.48 2968.31 2.88 2.97
Jumlah 2878.48 2999.09 3170.55 2735.30
Rata-rata 143.92 149.95 158.53 136.77
Konsistensi Stasiun B
Akumulasi Rata-
ST. B ST. D ST. E ST . A Rata-Rata Stasiun Akumulasi
Tahun Rata Stasiun Y = ( 10-3 ) X = ( 10-3 )
(mm) (mm) (mm) (mm) Pembanding Stasiun B
Pembanding
2010 135 145 120 148 137.67 135 137.67 0.14 0.14
2009 141 151 142 150 147.67 276 285.33 0.28 0.29
2008 119 170 117 142 143.00 395 428.33 0.40 0.43
2007 139 185 115 149 149.67 534 578.00 0.53 0.58
2006 146 152 170 138 153.33 680 731.33 0.68 0.73
2005 148 161 129 158 149.33 828 880.67 0.83 0.88
2004 130 154.55 164 123 147.18 958 1027.85 0.96 1.03
2003 148 148 169 147 154.67 1106 1182.52 1.11 1.18
2002 169 165 147.30 156 156.10 1275 1338.62 1.28 1.34
2001 146 140 125 133.48 132.83 1421 1471.44 1.42 1.47
2000 150 136 132 157 141.67 1571 1613.11 1.57 1.61
1999 186 175 128 169 157.33 1757 1770.44 1.76 1.77
1998 170 179 118 167 154.67 1927 1925.11 1.93 1.93
1997 163 168 155 147 156.67 2090 2081.78 2.09 2.08
1996 163 185 135 110 143.33 2253 2225.11 2.25 2.23
1995 156 168 115 138 140.33 2409 2365.44 2.41 2.37
1994 145.09 150 134 140 141.33 2554.09 2506.78 2.55 2.51
1993 162 155 133 139 142.33 2716.09 2649.11 2.72 2.65
1992 171 152 155 142 149.67 2887.09 2798.78 2.89 2.80
1991 112 131 132 125 129.33 2999.09 2928.11 3.00 2.93
Jumlah 2999.09 3170.55 2735.30 2878.48
Rata-rata 149.95 158.53 136.77 143.92
Konsistensi Stasiun D
Akumulasi Rata-
ST. D ST. E ST . A ST. B Rata-Rata Stasiun Akumulasi
Tahun Rata Stasiun Y = ( 10-3 ) X = ( 10-3 )
(mm) (mm) (mm) (mm) Pembanding Stasiun D
Pembanding
2010 145 120 148 135 134.33 145 134.33 0.15 0.13
2009 151 142 150 141 144.33 296 278.67 0.30 0.28
2008 170 117 142 119 126.00 466 404.67 0.47 0.40
2007 185 115 149 139 134.33 651 539.00 0.65 0.54
2006 152 170 138 146 151.33 803 690.33 0.80 0.69
2005 161 129 158 148 145.00 964 835.33 0.96 0.84
2004 154.55 164 123 130 139.00 1118.55 974.33 1.12 0.97
2003 148 169 147 148 154.67 1266.55 1129.00 1.27 1.13
2002 165 147.30 156 169 157.43 1431.55 1286.43 1.43 1.29
2001 140 125 133.48 146 134.83 1571.55 1421.26 1.57 1.42
2000 136 132 157 150 146.33 1707.55 1567.59 1.71 1.57
1999 175 128 169 186 161.00 1882.55 1728.59 1.88 1.73
1998 179 118 167 170 151.67 2061.55 1880.26 2.06 1.88
1997 168 155 147 163 155.00 2229.55 2035.26 2.23 2.04
1996 185 135 110 163 136.00 2414.55 2171.26 2.41 2.17
1995 168 115 138 156 136.33 2582.55 2307.59 2.58 2.31
1994 150 134 140 145.09 139.70 2732.55 2447.29 2.73 2.45
1993 155 133 139 162 144.67 2887.55 2591.96 2.89 2.59
1992 152 155 142 171 156.00 3039.55 2747.96 3.04 2.75
1991 131 132 125 112 123.00 3170.55 2870.96 3.17 2.87
Jumlah 3170.55 2735.30 2878.48 2999.09
Rata-rata 158.53 136.77 143.92 149.95
Konsistensi Stasiun E
Akumulasi Rata-
ST. E ST . A ST. B ST. D Rata-Rata Stasiun Akumulasi
Tahun Rata Stasiun Y = ( 10-3 ) X = ( 10-3 )
(mm) (mm) (mm) (mm) Pembanding Stasiun E
Pembanding
2010 120 148 135 145 142.67 120 142.67 0.12 0.14
2009 142 150 141 151 147.33 262 290.00 0.26 0.29
2008 117 142 119 170 143.67 379 433.67 0.38 0.43
2007 115 149 139 185 157.67 494 591.33 0.49 0.59
2006 170 138 146 152 145.33 664 736.67 0.66 0.74
2005 129 158 148 161 155.67 793 892.33 0.79 0.89
2004 164 123 130 154.55 135.85 957 1028.18 0.96 1.03
2003 169 147 148 148 147.67 1126 1175.85 1.13 1.18
2002 147.30 156 169 165 163.33 1273.30 1339.18 1.27 1.34
2001 125 133.48 146 140 139.83 1398.30 1479.01 1.40 1.48
2000 132 157 150 136 147.67 1530.30 1626.67 1.53 1.63
1999 128 169 186 175 176.67 1658.30 1803.34 1.66 1.80
1998 118 167 170 179 172.00 1776.30 1975.34 1.78 1.98
1997 155 147 163 168 159.33 1931.30 2134.67 1.93 2.13
1996 135 110 163 185 152.67 2066.30 2287.34 2.07 2.29
1995 115 138 156 168 154.00 2181.30 2441.34 2.18 2.44
1994 134 140 145.09 150 145.03 2315.30 2586.37 2.32 2.59
1993 133 139 162 155 152.00 2448.30 2738.37 2.45 2.74
1992 155 142 171 152 155.00 2603.30 2893.37 2.60 2.89
1991 132 125 112 131 122.67 2735.30 3016.04 2.74 3.02
Jumlah 2735.30 2878.48 2999.09 3170.55
Rata-rata 136.77 143.92 149.95 158.53
Grafik Konsistensi diambil dari kolom X dan Y dari kolom Konsistensi tiap stasiun dan didapat grafik sebagai berikut :
Nilai Ri – R didapat dari nilai Rangking Ri yang dikurangi dengan nilai Rata-
rata Metode Thiessen yaitu 150,02.
Selanjutnya adalah menentukan nilai Yt, Sn dan Yn untuk setiap PUH
yang dapat dilihat pada Tabel Metode Gumbel .
PUH ( Tahun ) Yt
2 0.3665
5 1.4999
10 2.2504
25 3.1985
50 3.9019
100 4.6001
Nilai Sn dan Yn didasarkan pada jumlah data hujan (n ) yang sudah diketahui,
N 20
Sn 1.0628
Yn 0.5236
A 90%
t(a) 1.64
T Rt k B Se Rk HMM Gumbel
2 148.36 -0.15 0.91 2.28 3.74 152.10
5 160.29 0.92 1.77 4.42 7.24 167.53
10 168.18 1.62 2.45 6.13 10.06 178.24
25 178.15 2.52 3.35 8.38 13.74 191.90
50 185.55 3.18 4.03 10.08 16.52 202.08
100 192.90 3.84 4.71 11.77 19.30 212.20
PUH Kx
2 0.083
5 0.856
10 1.216
25 1.567
50 1.777
100 1.955
Nilai Sn dan Yn didasarkan pada jumlah data hujan (n ) yang sudah diketahui,
N 20
Sn 1.0628
Yn 0.5236
A 90%
t(a) 1.64
Setelah semua data yang diperlukan dalam perhitungan Metode Log
Pearson III diketahui, langkah selanjutnya adalah menghitung HHM Metode
Log Pearson tiap PUH. Namun harus dihitung terlebih dahulu nilai Xt dan Rt
untuk tiap PUH.
Perhitungan untuk PUH 2 tahun
Mencari Nilai Xt dan Rt dengan rumus 14 dan 15 :
Xt = x̅ + 𝑘𝑥 . S = 2.17 + (0.083 x 0,33) = 2,18
Rt = antilog(Xt) = antilog (2,18) = 150,56
HMM 2 tahun Log Pearson III = nilai Rt = 150,56
Perhitungan PUH 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat dalam table :
Karena nilai b negatif maka perhitungan dengan metode Iwai Kadoya tidak
bisa diteruskan.
Metode Gumbel
PUH HHM
2 152
5 168
10 178
25 192
50 202
100 212
5.5.1Metode Bell
Perhitungan metode Bell didasarkan pada data intensitas curah hujan
Tanimoto, yaitu :
Dipilih 170 mm, karena yang paling mendekati 178 (HHM 10 tahun Metode
Gumbel). Berdasarkan pola distibusi hujan Tanimoto, diketahui bahwa pada
jam ke-1 untuk I = 170 mm/hari (60 menit pertama = 87 mm) dan pada jam
ke-2, untuk I = 170 mm/hari (120 menit pertama = 28 mm) maka :
R 10
60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
= ( 91,21 + 29,36 ) : 2 = 60,29
Selanjutnya adalah menghitung Distribusi Hujan Rata-rata per 5, 10, 20, 40,
60, 120, 240 menit untuk tiap PUH. Perhitungan Distribusi menggunakan
rumus 16.
𝑡
R = (0,21ln(T)+0,52) (0,54 x t0,25–0,5) (R60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 )
𝑇 10 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
Perhitungan PUH 2 Tahun
R120 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 120 0,25– 0,5) (60,29) = 51,65
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛
R240 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = (0,21 ln(2)+0,52) (0,54 x 240 0,25– 0,5) (60,29) = 65,22
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛
Hasil perhitungan untuk PUH 5, 10, 25, 50, 100 Tahun per 5, 10, 20, 40, 60,
120, 240 menit dapat diliht dalam tabel :
I 5 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
5
= ( ) x 12,34 = 139,70
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛 60
I 10 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( ) x 18,47
10
= 104,56
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛 60
I 20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( 60 ) x 25,76
20
= 72,91
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛
I 40 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( 60 ) x 34,43
40
= 48,73
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛
I 60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = ( 60 ) x 40,24
60
= 37,97
2 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛
Hasil perhitungan Intensitas untuk PUH 5, 10, 25, 50, 100 Tahun per 5, 10,
20, 40, 60, 120, 240 menit dapat diliht dalam tabel :
350.00
300.00
250.00 2
5
200.00
10
150.00 25
100.00 50
100
50.00
0.00
0 50 100 150 200 250 300
Selanjutnya adalah menghitung Intensitas curah hujan tiap 5, 10, 20, 40, 60,
120, 240 menit yang didasarkan pada data curah hujan Jakarta.
Penghitung Intensitas curah hujan tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120, 240 menit
menggunakan rumus :
1218−54
10 menit = 152 [ ] = 163,93
148 (1−10)+1272 𝑥 10
1218−54
20 menit = 152 [ ] = 164,68
148 (1−20)+1272 𝑥 20
1218−54
40 menit = 152 [ ] = 165,05
148 (1−40)+1272 𝑥 40
Hasil Peerhitungan Ri untuk PUH 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat
dalam tabel :
11300 𝑡 𝑅𝑖
Untuk 0 < t < 1 : R = √𝑡 + (100) ( untuk 5, 10, 20, 40 menit )
3,12
𝑅
I=
𝑡
27,86
I 5 menit = = 334,30
5
39,24
I 10 menit = = 235,45
10
54,39
I 20 menit = = 163,16
20
73,62
I 40 menit = =110,43
40
79,66
I 60 menit = = 79,66
60
101,06
I 120 menit = =50,53
120
121,19
I 240 menit = =30,30
240
Hasil Perhitungan untuk PUH 10, 25, 50 dan 100 tahun dapat dilihat dalam
table :
Durasi Intensitas Hujan Hasper Weduwen (mm/jam) PUH (tahun)
(menit)
2 5 10 25 50 100
5 334.30 372.20 398.98 433.76 460.12 486.72
10 235.45 262.55 281.75 306.73 325.72 344.92
20 163.16 182.07 195.50 212.99 226.29 239.76
40 110.43 123.28 132.40 144.30 153.36 162.53
60 79.66 87.74 93.34 100.50 105.83 111.13
120 50.53 55.65 59.21 63.75 67.13 70.49
240 30.30 33.37 35.50 38.22 40.25 42.27
t I I.t I2 I2.t log I log t log I . log t log2 t (t)^0,5 I. (t)^0,5 I2. (t)^0,5
5 398.98 1994.91 159186.50 795932.48 2.60 0.70 1.82 0.49 2.24 892.15 355951.83
10 281.75 2817.46 79380.54 793805.37 2.45 1.00 2.45 1.00 3.16 890.96 251023.30
20 195.50 3909.91 38218.52 764370.34 2.29 1.30 2.98 1.69 4.47 874.28 170918.40
40 132.40 5296.03 17529.97 701198.85 2.12 1.60 3.40 2.57 6.32 837.38 110869.27
60 93.34 5600.63 8713.08 522784.82 1.97 1.78 3.50 3.16 7.75 723.04 67491.23
120 59.21 7105.03 3505.65 420678.41 1.77 2.08 3.69 4.32 10.95 648.60 38402.51
240 35.50 8520.71 1260.46 302510.32 1.55 2.38 3.69 5.67 15.49 550.01 19526.96
Jumlah 1196.68 35244.68 307794.72 4301280.58 14.76 10.84 21.53 18.90 50.39 5416.41 1014183.50
t I I.t I2 I2.t log I log t log I . log t log2 t (t)^0,5 I. (t)^0,5 I2. (t)^0,5
5 433.76 2168.81 188148.80 940743.99 2.64 0.70 1.84 0.49 2.24 969.92 420713.50
10 306.73 3067.34 94085.82 940858.16 2.49 1.00 2.49 1.00 3.16 969.98 297525.47
20 212.99 4259.74 45363.52 907270.48 2.33 1.30 3.03 1.69 4.47 952.51 202871.85
40 144.30 5771.98 20822.34 832893.60 2.16 1.60 3.46 2.57 6.32 912.63 131692.04
60 100.50 6029.92 10099.98 605998.94 2.00 1.78 3.56 3.16 7.75 778.46 78234.13
120 63.75 7649.63 4063.66 487639.77 1.80 2.08 3.75 4.32 10.95 698.31 44515.22
240 38.22 9173.82 1461.09 350662.31 1.58 2.38 3.77 5.67 15.49 592.17 22635.15
Jumlah 1300.25 38121.23 364045.22 5066067.24 15.00 10.84 21.90 18.90 50.39 5873.97 1198187.36
5.6.1 Pemilihan Rumus Lengkung Intensitas Hujan untuk PUH 10 Tahun
a. Metode Talbot
Sebelum perhitungan Metode talbot, maka harus dihitung terlebih
dahulu nilai a dan b menggunakan rumus :
(∑𝐼.𝑡)(∑𝐼 2 )−(∑𝐼 2 .𝑡)(∑𝐼)
a= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=
(∑𝐼)(∑𝐼.𝑡)−𝑁(∑𝐼 2 .𝑡)
b= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=
Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :
Perhitungan Intensitas
t I
5 363.57
10 295.49
20 214.98
40 139.15
60 102.87
120 57.72
240 30.74
b. Metode Sherman
Sebelum perhitungan Metode Serman, maka harus dihitung terlebih
dahulu nilai a dan n menggunakan rumus :
(∑ log 𝐼 )(∑ log² 𝑡)−(∑ log t .log 𝐼)(∑ log 𝑡)
Log a =
(𝑛.∑𝑙𝑜𝑔2 𝑡)−(∑ log 𝑡)2
=
a = 10log a =
(∑ log 𝐼 ∑ log 𝑡)− 𝑛 (∑ log t .log 𝐼)
N=
(𝑛.∑𝑙𝑜𝑔2 𝑡)−(∑ log 𝑡)2
=
Setelah nilai a dan b diketahui maka dapat dihitung nilai lengkung
intensitas untuk PUH 10 tahun tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit
menggunakan rumus :
𝑎
I=
tᴺ
1199.12
I 5 menit = =
50.62
Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :
Perhitungan Intensitas
T I
5 437.19
10 283.11
20 183.33
40 118.72
60 92.07
120 59.62
240 38.61
c. Metode Ishiguro
Sebelum perhitungan Metode Ishiguro, maka harus dihitung terlebih
dahulu nilai a dan b menggunakan rumus :
(∑𝐼.√𝑡)(∑𝐼2 )−(∑𝐼2 .√𝑡.∑𝐼)
a= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=
(∑𝐼∑𝐼.√𝑡)−𝑁(∑𝐼 2 .√𝑡)
b= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=
Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :
Perhitungan
Intensitas
t I
5 454.39
10 272.00
20 173.51
40 114.75
60 91.08
120 62.15
240 42.88
Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :
Perhitungan Intensitas
t I
5 396.38
10 321.44
20 233.24
40 150.60
60 111.20
120 62.30
240 33.15
b. Metode Sherman
Seperti perhitungan Metode Sherman untuk PUH 10 tahun, maka
harus dihitung terlebih dahulu nilai a dan n menggunakan rumus :
(∑ log 𝐼 )(∑ log² 𝑡)−(∑ log t .log 𝐼)(∑ log 𝑡)
Log a =
(𝑛.∑𝑙𝑜𝑔2 𝑡)−(∑ log 𝑡)2
=
a = 10log a =
(∑ log 𝐼 ∑ log 𝑡)− 𝑛 (∑ log t .log 𝐼)
N=
(𝑛.∑𝑙𝑜𝑔2 𝑡)−(∑ log 𝑡)2
=
Setelah nilai a dan b diketahui maka dapat dihitung nilai lengkung
intensitas untuk PUH 10 tahun tiap 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit
menggunakan rumus :
𝑎
I=
tᴺ
1315,28
I 5 menit = =
50.63
Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :
Perhitungan Intensitas
t I
5 476.91
10 308.10
20 199.04
40 128.58
60 99.59
120 64.33
240 41.56
c. Metode Ishiguro
Seperti perhitungan Metode Ishiguro untuk PUH 10 tahun, maka
harus dihitung terlebih dahulu nilai a dan b menggunakan rumus :
(∑𝐼.√𝑡)(∑𝐼2 )−(∑𝐼2 .√𝑡.∑𝐼)
a= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=
(∑𝐼∑𝐼.√𝑡)−𝑁(∑𝐼 2 .√𝑡)
b= (𝑛.∑𝐼 2 )−(∑𝐼)2
=
Hasil perhtungan untuk 5, 10, 20, 40, 60, 120 dan 240 menit dapat
dilihat dalam tabel :
Perhitungan Intensitas
t I
5 496.91
10 295.77
20 188.10
40 124.17
60 98.49
120 67.14
240 46.30
7.1 Umum
7.2 Gorong-gorong
BAB VIII
BILL OF QUANTITY (BOQ)
fb