Besarnya aliran permukaan dapat dievaluasi dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan atau dengan memprediksinya yaitu dengan menggunakan metode pendugaan. Pendugaan debit limpasan (DRO) dapat dilakukan dengan pendekatan matematis. Pendekatan ini dilakukan apabila data kuantitatif tentang kuantitas, waktu limpasan dan aliran sungai pada suatu DAS tidak dijumpai. Debit limpasan (DRO) dapat diestimasi dengan menggunakan karakteristik fisik DAS dan data hujan sebagai masukan. Salah satu metode numerik yang digunakan adalah metode SCS-CN yang dikembangkan oleh United States Soil Conservation Services (SCS, 1986). Metode ini mengasumsikan bahwa curah hujan total dialokasikan untuk (Dingman, 1993) : (1) Initial Abstraction (Ia), yaitu jumlah infiltrasi yang harus dipenuhi sebelum aliran dimulai; (2) Retensi (S), yaitu jumlah hujan yang jatuh setelah initial abstraction terpenuhi tetapi tidak menambah aliran yang terjadi; (3) Direct Run Off (DRO).
Gambar 1. Asumsi dalam model pendugaan limpasan dengan Metode SCS-CN, dimana hujan dialokasikan untuk infiltrasi, retensi, hingga akhirnya menjadi DRO (...., ....) Model SCS didasarkan pada hubungan imbangan air yang digunakan untuk menentukan DRO. Metoda SCS berusaha mengkaitkan karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi, dan penggunaan lahan dengan bilangan kurva (Curve Number (CN)) yang menunjukkan potensi air larian untuk curah hujan tertentu (Asdak, 2004). Nilai CN merupakan fungsi dari penggunaan lahan dan tanah dari suatu DAS. Estimasi nilai CN ditentukan berdasarkan batas penggunaan lahan dan kategori tanah yang spesifik dalam batas DAS.
Estimasi Nilai Curve Number (CN) Nilai bilangan kurva (CN) pada metode SCS-CN ditentukan berdasarkan kombinasi dari penggunaan lahan, tanah, dan kondisi kelembaban tanah sebelumnya (AMC) (Helley et al, 2005). Pendugaan nilai CN dapat diawali dengan menentukan jenis kelompok tanah. SCS mengembangkan sistem klasifikasi tanah berdasarkan sifat-sifat tanah, peta tanah detail, atau laju infiltrasi tanah (Arsyad, 1989). Klasifikasi kelompok tanah pada Tabel 1 dan 2.
Kelas Tanah A B C
Karakteristik Tanah Pasir dalam, loess dalam, debu yang beragregat Loess dangkal, lempung berpasir Lempung berlian, lempung berpasir dangkal, tanah kadar bahan organik rendah dan tanah berkadar liat tinggi Tanah-tanah yang mengembang secara nyata, jika basah liat berat, dan tanah-tanah saline tertentu
D
Sumber : SCS, 1972
< 0.13
Kelas Tekstur Pasir Pasir Bergeluh Geluh Berpasir Geluh Geluh Berdebu Geluh Lempung Berpasir Geluh Berlempung Geluh Lempung Berdebu Lempung Berpasir Lempung Berdebu Lempung
Sumber : Arsyad, 1989
Kapasitas Efektif Air (in/in) 0.35 0.31 0.25 0.19 0.17 0.14 0.14 0.11 0.09 0.09 0.08
Nilai Infiltrasi Minimum (In/hari) 0.27 2.41 1.02 0.52 0.27 0.17 0.09 0.06 0.05 0.04 0.02
Berdasarkan klasifikasi kelompok tanah maka dapat ditentukan nilai Curve Number (CN) pada suatu DAS dengan menampalkan dengan informasi penggunaan lahan yang ada. Klasifikasi kompleks penggunaan lahan SCS terdiri atas 3 (tiga) faktor, yaitu (Arsyad, 1989) : (1) Penggunaan Lahan, (2) Perlakuan atau tindakan yang diberikan pada penggunaan lahan tersebut, (3) Kondisi hidrologi dari penggunaan lahan tersebut. Penentuan nilai Curve Number (CN) dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai CN juga dipengaruhi oleh kondisi AMC (Antecedent Moisture Categories) atau nilai kelembaban sebelumnya. Nilai AMC mempengaruhi nilai volume dan laju aliran permukaan. Terdapat 3 (tiga) klasifikasi nilai AMC, yang diberi tanda angka romawi I, II, dan III (Craciun et al, 2007). Nilai CN pada Tabel 3 menunjukkan nilai CN pada kondisi AMC II. Klasifikasi kelompok AMC didasarkan pada (Arsyad, 1989) : Kondisi I Kondisi II Kondisi III : Tanah dalam keadaan kering tetapi tidak sampai pada titik layu; pernah ditanami dengan hasil memuaskan : Keadaan rata-rata : Hujan lebat atau hujan ringan dan temperatur rendah telah terjadi dalam lima hari terakhir; tanah jenuh air
Nilai AMC juga dapat didekati dengan nilai curah hujan pada 5 hari sebelumnya (Tabel 4).
2 3
77 61 57 54 51 98 98 76 72 45 81 39 49 77 72 67 70 65 66 62 65 63 63 61 61 59 66 58 64 55 63 51 68 49 39 47 25 6 30 45 36 25 59
85 75 72 70 68 98 98 85 82 66 88 61 69 86 81 78 79 75 74 71 76 75 74 73 72 70 77 72 75 69 73 67 79 69 61 67 59 35 58 66 60 55 74
90 83 81 80 79 98 98 89 87 77 91 74 79 91 88 85 84 82 80 78 84 83 82 81 79 78 85 81 83 78 80 76 86 79 74 81 75 70 71 77 73 70 82
92 87 86 85 84 98 98 91 89 83 93 80 84 94 91 89 88 86 82 81 88 87 85 84 82 81 89 85 85 83 83 80 89 84 80 88 83 79 78 45 36 25 86
4 5 6
7 8
10
11
12
12
Kelompok AMC Tanah AMC I (Kering) AMC II (Sedang) AMC III (Basah) Sumber : Arsyad, 1988
Jumlah Curah Hujan yang Turun 5 Hari Sebelumnya (mm) < 35 35-53 > 53
Nilai klasifikasi di atas digunakan apabila klasifikasi AMC pada Kelas II. Untuk Kelas I dan III dapat digunakan konversi dari nilai AMC Kelas II atau menggunakan grafik konversi (Gambar 2). Nilai konversi dapat dirumuskan sebagai berikut :
CN I
4.2 x CN II 10 0.058 x CN II
CN III
23 x CN II 10 0.13 x CN II
Gambar 2. Diagram konversi nilai CN pada AMC II ke nilai CN AMC I dan CN AMC III (DVWK, 1989)
Estimasi Nilai DRO (Direct Run Off) Persamaan yang digunakan dalam SCS Bilangan Kurva adalah (SCS, 1972):
Qsurf
(P - Ia)2 ( P Ia) S
Dimana: Qsurf : Limpasan permukaan (mm H2O) P : Tebal hujan (mm H2O) Ia : Besarnya air yang hilang melalui simpanan permukaan, intersepsi, dan infiltrasi sebelum menjadi limpasan S : Parameter retensi
S
Dimana: S : Parameter retensi CN : Bilangan Kurva
25400 254 CN
Nilai Ia pada umumnya diasumsikan sebesar 0.2S, sehingga persamaan diatas menjadi:
Qsurf
(P - 0.2S)2 ( P 0.2S ) S