“GLOBAL WARMING”
Kelompok 2:
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca sesuai dengan
kesepakatan Protokol Kyoto adalah sebagai berikut. 1. gas Metana (CH 4). 2. gas Nitrooksida
(N2O). 3. gas Perfluorocarbon (PFC). 4. gas Hidrofluorocarbon (HFC). 5. gas
Sulfurheksafluorida (SF6). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam
meningkatkan efek rumah kaca dan disebut gas rumah kaca. Dalam tabel di bawah ini
tampak kontribusi gas-gas tersebut pada efek rumah kaca yang akhirnya akan menimbulkan
kontribusi terhadap terjadinya pemanasan global (global warming).
Dari Tabel 1.1 tampak bahwa gas CO2 merupakan penyumbang terbesar bagi
terjadinya efek rumah kaca. Sebetulnya udara kita hanya mengandung sekitar 0,03 % gas
CO2, namun banyak hal yang menyebabkan kadar gas CO 2 meningkat. Pembakaran bahan
bakar fosil sebagai sumber energi untuk berbagai kegiatan, seperti transportasi, industri, dan
kegiatan dalam rumah tangga dengan meningkatnya populasi penduduk dunia akan
menghasilkan gas CO2 meningkat pula. Juga kebakaran hutan secara alamiah dan
pembakaran hutan yang dilakukan untuk pembukaan lahan pertanian/ perkebunan juga
menghasilkan gas CO2 yang cukup banyak karena semua perubahan senyawa organik akan
menghasilkan gas CO2, seperti reaksi berikut: (CH2O)n + nO2 (g) nCO2 (g) + H2O (g) Di
samping itu, pengolahan sampah dengan dibakar, yang banyak dilakukan masyarakat akan
memberikan kontribusi terhadap peningkatan gas CO2 di atmosfer.
Apakah Anda sudah merasakan suhu udara saat ini semakin panas? Apakah Anda
telah mengamati sekarang ini penggantian musim yang tidak bisa diprediksi lagi? Apakah
Anda mengalami atau mengetahui bahwa bencana alam akibat angin puting beliung sering
terjadi? Pertanyaanpertanyaan tersebut hanya sebagian dari dampak yang diakibatkan oleh
terjadinya Pemanasan Global (Global Warming), kalau demikian apa itu pemanasan global,
apa penyebabnya dan apa dampaknya? Pemanasan global sesungguhnya merupakan gejala
naiknya suhu di seluruh permukaan bumi yang terjadi di seluruh dunia yang diduga
disebabkan oleh naiknya intensitas efek rumah kaca. Dalam agenda Rio Summit 1992, isu
meningkatnya efek rumah kaca sebagai penyebab dari terjadinya pemanasan global masih
terus diperdebatkan. Pada tahun 1997, masyarakat dunia melanjutkan fenomena tersebut
yang dikenal dengan Protokol Kyoto, yaitu Konvensi Perubahan Iklim. Protokol Kyoto
adalah sebuah instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang untuk
mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan
konsentrasi gas rumah kaca agar tidak mengganggu sistem iklim di bumi. Efektivitas
Protokol Kyoto yang mensyaratkan agar diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara
menunjukkan bahwa protokol ini memerlukan partisipasi banyak negara, termasuk negara-
negara berkembang. Konvensi mensyaratkan agar negara-negara maju sebbagi pengemisi
utama gas rumah kaca harus menurunkan 55% emisinya. Seperti telah dikemukakan
sebelumnya bahwa terdapat hampir 20 jenis gas yang berkontribusi dalam peningkatan suhu
di bumi dan gas CO2 merupakan penyebab utamanya. Suatu studi yang dilakukan National
Academy of Science tahun 1979 meramalkan bila konsentrasi gas CO2 meningkat dua kali di
atmosfer akan menyebabkan kenaikan suhu bumi antara 1,5 sampai 4,5 derajat Celcius. Di
bawah ini tabel yang memperlihatkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca.
Sejak Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan yang disponsori PBB dan
diketuai (mantan) PM Norwegia Gro Halem Brundtland mempublikasikan laporannya yang
berjudul Masa Depan Kita Bersama, konsep pembangunan yang berkelanjutan segera
mendapatkan gaungnya secara internasional.
Salah satu isu penting dalam skala dunia adalah tercapainya kesepakatan
internasional mengenai pemanasan global. Trend meningkatnya suhu permukaan bumi ini
akhirnya di sepakati dalam pertemuan internasional di Sundvall, Swedia, akhir Agustus lalu
sebagai ulah manusia.
Konferensi yang membahas hasil temuan kelompok kerja In- tergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) yang disponsori PBB mengenai terjadinya perubahan iklim
akibat aktivitas manusia ini akhirnya mendapat persetujuan delegasi Amerika Serikat.
Amerika Serikat sebagai negara adidaya, selama ini menolak mengakui telah terjadi
perubahan iklim akibat aktivitas manusia. Negara yang merupakan pencemar udara terbesar
di dunia ini menginginkan dilakukannya sejumlah penelitian lagi sebelum sampai pada satu
kesimpulan.
Penerimaan AS mengenai hasil temuan IPCC jelas lebih memuluskan perundingan
mengenai tindakan untuk mengatasi factor penyebab perubahan yang diyakini bakal
merupakan kiamat pada seebagian besar umat manusia ini. Meskipun dalam berbagai
pertemuan internasional selanjutnya AS dan sejumlah negara industri lainnya seperti Inggris
dan Jepang masih enggan menentukan langkah konkret menghindari bencana ini.
Gas polutan terbesar penyebab pemanasan bumi ini adalah karbondioksida yang
merupakan hasil pembakaran bahan bakar asal osil seperti minyak bumi, gas, dan batubara.
Gas polutan lainnya adalah khlorofluorokarbon (CFC), salah satu gas buatan manusia yang
selama ini dianggap murah dan tidak berbahaya serta kegunaannya amat luas untuk
pendingin ruang, pembersih sirkuit komputer dan digunakan dalam kaleng aerosol. Gas
polutan lainnya adalah metana ang berasal dari pembusukan anaerobik seperti yang terjadi di
sawah perpengairan dan pembusukan kotoran hewan ternak. Yang tidalk kurang berbabaya
adalah oksida-oksida nitrogen yang antara lain berasal dari penggunaan pupuk kimia.
Isyu lingkungan global lainnya yang sebenarnya lebih banyak menyangkut negara
industri adalah penipisan lapisan ozon. Berbeda an global yang belum memperoleh langkah
penanggulangan konkret di dunia internasional, mengenai penipisan lapisan ozon-yang rusak
karena ozon bereaksi dengan CFC-dunia internasional sudah sepakat mengenai
penanggulangannya. Kalau tadinya Protokol Montreal untuk secara bertahap menghentikan
produksi CFC dan bahan sejenis yang menyebabkan penipisan lapisan ozon pada tahun
2000, maka belakangan disepakati penghentian itu dilakukan sebelum tahun 2000.
Selain masalah-masalah global tersebut, negara industri maju juga dihadang masalah
lingkungan setempat. Hujan asam misalnya, yang terjadi akibat limbah gas sulfur buangan
industri turun bersama air hujan sehingga menyebabkan hujan menjadi masam menyebabkan
rusaknya hutan di sebagian besar negara Eropa Barat dan AS, selain mencemari air tanah.
Pembuangan limbah industri ke sungai dan pantai-pantai Eropa menyebabkan kematian
dolfin, anjing laut, dan kehidupan laut lainnya di pantai laut Mediterania.
Kemudian setelah rezim komunis Eropa Timur tumbang, baru diketahui juga bahwa
negara-negara Eropa Timur seperti Jerman Timur, CekoSlowakia, Rumania, sangat tercemar
berat akibat pemimpin yang berkuasa mengabaikan masalah lingkungan. Air sungai yang
tidak dapat diminum, udara yang tercemar berat sehingga bisa membuat sakit paru-paru,
instalasi nuklir yang tidak terawat sehingga bukan tidak mungkin terjadi kebocoran seperti
di Chernobyl fasilitas pengolahan limbah industri yang tidak jalan atau tidak memadai,
merupakan masalah bagi Eropa Timur.
Dan dengan terbukanya tirai-tirai besi di sana, negara tetangganya di Barat serta
merta berjanji menyediakan dana untuk mbantu membersihkan Eropa Timur. Organisasi
Kesehatan Du (WHO) menyatakan paling tidak butuh dana 30-45 juta dolar AS (lebih Rp
56-84 milyar) selama 18 bulan mendatang untuk memerangi buruknya kualitas lingkungan
di Eropa Timur dan Tengah.
Masalah limbah industri tahun ini menjadi salah satu isu penting di dalam negeri.
Awal tahun ini Indonesia sempat kebobolan etika sebuah perusahaan dari Singapura
membuang limbah industri ke Tanjung Uban, Bintan (Riau). Untungnya upaya ilegal itu
segera diketahui dan empat tersangka, dua dari Indonesia dan dua dari Singapura segera
dimejahijaukan. Limbah yang sudah sempat tertimbun di Tanjung Uban kemudian disepakati
pemerintah dua negara untuk dibersihkan atas bebas biaya perusahaan Singapura dan
dibuang sesuai ketentuan. Tindakan ini, demikian Menteri KLH Emil Salim, merupakan
peringatan bagi perusahaan asing maupun domestik bahwa Indonesia menolak dijadikan
tempat pembuangan limbah.
Untuk menangani limbah industri yang tergolong bahan beracun berbahaya (B3),
pemerintah mengusahakan tempat pembuangan khusus, yaitu di Cibinong, Jabar, Medan dan
Lhokseumawe di Sumatera bagian utara, serta Surabaya, Jatim. Tetapi rencana yang
kelihatannya lebih konkret muncul dari Pemda Jawa Timur yang akan membangun tempat
pembuangan dan pengolahan limbah B3 di kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik. Biayanya
diperkirakan Rp 2,7 trilyun dan rencananya dimulai Maret tahun depan dan mulai beroperasi
1993. Bila pekerjaan ini selesai, maka ini merupakan tempat pengolahan limbah bersama
terbesar dan termahal di Indonesia.
Upaya menangani limbah industri yang digalakkan kantor Meneg KLH akhirnya
memang tidak sia-sia. Upaya memperkenalkarn analisis mengenai dampak lingkungan
(andal) bukan saja kepada masyarakat industri dan umum, tetapi juga kepada pihak
eksekutif, yudikatif, dan legislatif, mulai bersambut. Terbukti diajukannya tuntutan oleh
LSM seperti Walhi kepada pemerintah dan PT Inti Indo Rayon yang dianggap tidak
mengindahkan aspek lingkungan dalam mengembangkan industri pulp di Sumut. Kemudian
diajukannya pula tuntutan kepada pencemar sungai di Surabaya, membuktikan bangkitnya
kesadaran masyarakat mengenai masalah lingkungan skipun kedua tuntutan terhadap kasus
kelas berat ini belum berhasil.
Sejak beberapa dekade terakhir, para pakar iklim terus mencemaskan dampak
pemanasan global, khususnya yang menimpa kedua kutub bumi. Yang terutama diamati dan
diteliti adalah kawasan Kutub Utara. Pasalnya, lapisan es di Kutub Utara terus menyusut
drastis dalam 30 tahun terakhir ini.
Hancurnya Ekosistem
Tapi juga diingatkan, pemanasan global dan efek rumah kaca tetap akan berdampak
besar, juga pada ketinggian muka air laut global. Jika ramalan pakar iklim terbukti, dalam 80
tahun mendatang di setiap musim panas, lapisan es Kutub Utara akan mencair seluruhnya,
pastilah terdapat konsekuensi drastis bagi flora dan fauna di kawasan Kutub Utara. Akan
terjadi kerusakan drastis pula bagi ekosistem yang khas untuk banyak organisme. Misalnya
habitat kehidupan plankton, ikan, anjing laut atau beruang es. Demikian diungkapkan Iris
Werner, biolog dari Universitas Kiel. Sebab organisme itu amat tergantung dari habitat
lautan es di sekitar kutub. Jika setiap musim panas lapisan es mencair seluruhnya, artinya
binatang-binatang ini kehilangan ruang hidupnya dan juga makanannya. Pada akhirnya
banyak binatang khas kutub akan musnah.
Meminimalisasi Dampak Pemanasan Global
c) Keterpaduan
Seluruh elemen masyarakat harus mendukung upaya pelestarian
lingkungan dan sumberdaya alam serta penegakan hukumnya. Upaya ini harus
dilakukan secara komprehensif dan lintas sektor. Misalnya, untuk mengatasi emisi
gas- gas rumah kaca akibat peningkatan jumlah kendaraan di Kota Jakarta, harus
di atas secara bersama dengan daerah sekitar seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan
Tangerang. Karena pekerja yang menggunakan kendaraan bermotor setiap hari
masuk ke kota Jakarta bermukim di empat kota tersebut. Demikian halnya
mengatasi banjir di Kota Gorontalo, misalnya, tidak dapat diatasi dengan
perbaikan fasilitas lingkungan dan membina kesadaran penduduk kota, tetapi
secara menyeluruh dengan masyarakat di wilayah lain (hulu dan DAS) yang
memberi kontribusi terhadap bencana banjir. Masyarakat dan pemerintah daerah
terdekat seperti Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo turut
bertanggungjawab dalam upaya penanggulangan banjir di Kota Gorontalo. Secara
geografis, terdapat daerah aliran sungai dimana dua sungai besar yang melewati
dan bermuara di kota ini. Karena itu bencana alam dan kerusakan lingkungan tidak
dapat dipilah menurut wilayah administratif semata, tetapi bersifat area geografis-
ekologis.
d) Mengubah pola pikir dan sikap
Faktor-faktor lingkungan fisik, mahluk hidup lain dan manusia memiliki
peran masing-masing dalam lingkungan hidup. Manusia sebagai mahluk yang
diberi kemampuan logika harus mampu memandang kepentingan hidupnya terkait
dengan kehidupan mahluk hidup lain beserta kejadian proses-proses alam. Sikap
dan perilaku manusia terhadap alam cepat atau lambat memberi berdampak pada
lingkungan hidupnya. Peduli terhadap lingkungan pada dasarnya merupakan sikap
dan perilaku bawaan manusia. Akan tetapi munculnya ketidak pedulian manusia
adalah pikiran atau persepsi yang berbeda-beda ketika manusia berhadapan
dengan masalah lingkungan. Manusia harus memandang bahwa dirinya adalah
bagian dari unsur ekosistem dan lingkungannya. Naluri untuk mempertahankan
hidup akan memberi motivasi bagi manusia untuk melestarikan ekosistem dan
lingkungannya.
e) Etika lingkungan
Kecintaan dan kearifan kita terhadap lingkungan menjadi filosofi kita tentang
lingkungan hidup. Apa pun pemahaman kita tentang lingkungan hidup dan sumber
daya, kita harus bersikap dan berperilaku arif dalam kehidupan. Dalam wujud budaya
tradisional, kearifan lokal melahirkan etika dan norma kehidupan masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungannya. Selama masyarakat masih
menghormati budaya tradisional yang memiliki etika dan nilai moral terhadap
lingkungan alamnya, maka konservasi sumber daya alam dan lingkungan menjadi hal
yang mutlak. Dalam kehidupan masyarakat demikian, etika lingkungan tidak tampak
secara teoretik tetapi menjadi pola hidup dan budaya yang dipelihara oleh setiap
generasi. Etika lingkungan akan berdaya guna jika muncul dalam tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Daniel D. Chiras. (1991). Enviromental Science: Action for a Sustainable Future. California: The
Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Donald G. Crosby. (1998) Enviromental Toxicology and Chemistery. New York: Oxford
University Press, Inc
Frank C. Lu. (1955). Toksikologi Dasar (Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko).
Penerjemah Edi Nugroho. Jakarta: UI-Press.