Anda di halaman 1dari 5

- Obstruksi Jalan Nafas (Airway Obstruction)

Obstruksi jalan nafas terjadi karena pembengkakan, pendarahan, ataupun muntahan yang masuk
ke dalam saluran napas dapat mengganggu pertukaran gas. Beberapa mekanisme cedera bisa
menghasilkan jenis masalah ini. Cedera laring bisa bersamaan dengan trauma toraks atau hasil
dari hantaman langsung ke leher atau bahu. Dislokasi posterior kaput klavikula kadang-kadang
menyebabkan saluran napas terhalang. Atau, trauma tembus yang melibatkan leher atau dada
dapat menyebabkan cedera dan pendarahan, yang menghasilkan obstruksi. Meskipun presentasi
klinis kadang-kadang halus, obstruksi jalan napas akut dari trauma laring dapat mengancam jiwa.
1

Selama primary survey, cari bukti adanya udara, seperti pemakaian otot interkostal dan retraksi
supraklavikula. Periksa orofaring untuk melihat adanya benda asing. Dengarkan gerakan udara di
hidung, mulut, dan paru-paru pasien. Dengarkan bukti obstruksi saluran napas atas parsial
(stridor) atau ditandai perubahan dalam kualitas suara yang diharapkan pada pasien yang bisa
berbicara. Rasakan krepitasi di atas leher anterior.1

Pasien dengan obstruksi saluran napas dapat diobati dengan pembersihan darah atau muntahan
dari jalan nafas dengan peghisapan. Manuver ini seringkali hanya menunda, dan penempatan
saluran napas definitif diperlukan. Melakukan perabaan untuk kelainan di wilayah sendi
sternoklavikular. Dislokasi posterior atau fraktur klavikula dengan memegang bahu atau
menggenggam klavikula dengan penetrasi penjepit handuk, yang dapat meringankan obstruksi.

PENGELOLAAN JALAN NAFAS


Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap
bebas.
1. Bicara kepada pasien
Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya bebas.
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan.
Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke
belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea
tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.
2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( selfinvlating)
3. Menilai jalan nafas1
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
• Suara berkumur
• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
• Pasien gelisah karena hipoksia
• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
• Sianosis
Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Cara membebaskan jalan nafas diuraikan
pada Appendix 1
Jangan memberikan obat sedativa pada pasien seperti ini.
4. Menjaga stabilitas tulang leher
5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan1
Indikasi tindakan ini adalah :
• Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
• Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar
• Apnea
• Hipoksia
• Trauma kepala berat
• Trauma dada
• Trauma wajah / maxillo-facial

- Flail Chest dan Pulmonary Contusion

Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak memiliki kontinuitas tulang dengan sisa
Cavum toraks. Kondisi ini biasanya dihasilkan dari trauma yang terkait dengan beberapa fraktur
tulang rusuk (yaitu, dua atau lebih rusuk yang berdekatan retak dalam dua atau lebih tempat),
meskipun itu juga bisa terjadi ketika ada pemisahan costochondral dari tulang rusuk tunggal dari
thorax.1

Kontusio paru adalah memar paru-paru, yang disebabkan oleh trauma toraks. Darah dan cairan
lainnya menumpuk di jaringan paru-paru, mengganggu ventilasi dan berpotensi menyebabkan
hipoksia. Memar paru dapat terjadi tanpa fraktur tulang rusuk, terutama pada pasien muda yang
tulang rusuknya belum mengeras. Dinding dada anak-anak berbeda dari orang dewasa dan
mungkin menderita kontusio dan cedera dada internal lainnya tanpa terdapat fraktur iga.1

Pada orang dewasa, kontusio paru paling sering dijumpai dengan patah tulang rusuk, dan itu
merupakan cedera dada berpotensi mematikan yang paling umum.

Cadangan ventilasi yang terbatas dapat mempengaruhi orang dewasa yang lebih tua pasien gagal
napas awal. Segmen flail mungkin tidak terlihat dari pemeriksaan fisik, terutama segera setelah
cedera. Penurunan upaya pernapasan, akibat memar dan atelectasis, dapat membatasi pergerakan
dinding dada. Ketebalan otot-otot dinding dada juga dapat membatasi visualisasi dari gerakan
dada yang abnormal. Jika cedera yang terjadi menyebabkan kontusio paru-paru yang signifikan,
hipoksia dapat terjadi. Gerakan dinding dada yang terbatas berhubungan dengan rasa sakit dan
kontusio paru-paru dapat menyebabkan kegagalan pernafasan.1

Observasi gerakan pernafasan yang abnormal dan palpasi krepitasi dari tulang rusuk atau tulang
rawan bisa membantu diagnosis. Foto rontgen dada dapat melihat beberapa tulang rusuk yang
fraktur tetapi mungkin tidak dapat menunjukkan pemisahan costochondral.

Karakteristik Flail Chest2


1. Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding toraks saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada
pasien dalam ventilator
2. Menunjukkan trauma hebat
3. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)

Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang
seringkali diperberat oleh edema atau kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest
tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan
splint atau bandage yang melingkari toraks, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik
pernapasan secara keseluruhan.2

Penatalaksanaan awal dari flail chest dan pulmonary contusio termasuk pemberian humidified
oksigen, ventilasi yang cukup, dan cairan resusitasi. Tanpa adanya hipotensi sistemik, pemberin
administrasi larutan intravena kristaloid harus dikontrol dengan hati-hati untuk mencegah
volume overload, yang dapat lebih jauh menurunkan status pernafasan pasien.1

Pasien dengan hipoksia bermakna (yaitu, PaO2 <60 mmHg [8,6 kPa] atau SaO2 <90%) pada
udara ruangan mungkin memerlukan intubasi dan ventilasi dalam satu jam pertama setelah
terjadinya cedera. Kondisi medis terkait, seperti penyakit paru obstruktif kronik dan gagal ginjal,
kemungkinan membutuhkan intubasi dini dan ventilasi mekanis.

Perawatan definitif dari flail chest dan kontusio paru termasuk memastikan oksigenasi yang
memadai, mengatur cairan dengan bijaksana, dan menyediakan analgesia untuk meningkatkan
ventilasi. Rencana untuk manajemen definitif dapat berubah seiring waktu dan bergantung dari
tanggapan pasien, menjamin pemantauan yang cermat dan reevaluasi pasien.1
Analgesia dapat dicapai dengan narkotik intravena atau administrasi anestesi lokal, yang
menghindari potensi depresi pernapasan umum dengan sistemik narkotika. Pilihan untuk
mengatur anestesi lokal termasuk blok interkostal dan intrapleural transkutan, extrapleural, atau
epidural anestesi. Ketika digunakan dengan benar, agen anestesi lokal dapat memberikan
analgesia yang sangat baik dan mencegah kebutuhan untuk intubasi. Namun, pencegahan
hipoksia adalah sangat penting untuk pasien trauma, periode intubasi yang pendek dan ventilasi
mungkin diperlukan sampai dokter telah mendiagnosis seluruh pola cedera. Penilaian yang
cermat terhadap tingkat pernapasan pasien, saturasi oksige, dan kerja pernapasan akan
menunjukkan waktu yang tepat untuk intubasi dan ventilasi, jika perlu.1

Indikasi Operasi atau stabilisasi pada flail chest:


1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain, seperti hematotoraks masif.
2. Gagal atau sulit weaning ventilator.
3. Menghindari cacat permanen.
4. Indikasi relatif Menghindari prolong ICU stay dan prolong hospital stay.

Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area yang
melayang atau flail.
Flail chest. Adanya fragmen flail chest merupakan hasil dari gangguan pergerakan dinding dada.
A. Flail chest dari multiple fraktur iga. B. Flail chest dari terpisahnya bagian costochondral. C.
Foto polos thorax menunjukkan trauma thorax yang berhubungan dengan frqktur iga multiple.
Segmen dari dinding dada tidak harus ada hubungan antar tulang dengan sisa dari cavum thorax.

Daftar pustaka
1. Committee on Trauma: American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support:
Students Course Manual. 10th edition. Chicago: American College; 2018. h. 62-71
2. Rachmad KB, editor. Penanganan trauma toraks. Pendidikan berkelanjutan untuk ahli bedah.
Divisi Bedah Toraks, Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM. Jakarta. 2001.

Anda mungkin juga menyukai