Anda di halaman 1dari 6

Makalah

MUAWIYAH II BIN YAZID

DISUSUN
OLEH :

NAMA : 1. RISMA APRILIA


2. RISKI MUTIA ANANDA
KELAS : XI MIA-3
PELAJARAN : SKI (SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM)

MADRASAH ALIYAH NEGERI 3


BANDA ACEH
2018-2019
A. Proses Menuju Kekuasaan Bani Umayah II bin Yazid bin Muawiyah
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang 90 tahun. Sampai
Muawiyah wafat tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh
anaknya Yazid yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya.
Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang
dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemeberontakan kaum Syiah yang
telah mambaiat Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di Karbala, yang
menyebabkan terbunuhnya Husain cucu Nabi SAW itu. Yazid menghadapi
pemberontak di Makkah dan Madinah dengan keras . Dinding Ka’bah runtuh
dikarenakan terkena lemparan manjaniq, alat pelempar batu kearah lawan.
Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada masanya.
Penduduk Madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya untuk
kemudian mengangkat Abdullah ibn hanzalah dari kaum Ansar. Mereka juga
memenjarakan kaum Umayah di Madinah dan mengusirnya dari kota suci kedua
bagi umat Islam itu, sehingga terjadilah bentrok fisik antara pasukan yang dikirim
oleh Yazid yang dipimpin oleh Muslim ibn Uqbah al-Murri, dan penduduk
Madinah. Peperangan antara kedua pasukan itu terjadi di al-Harrah yang
dimenangkan oleh pasukan Yazid, pada tahun 63 H. Sedangkan kaum Quraisy
mengangkat Abdullah ibn mu’ti sebagai pemimpin mereka tanpa pengakuan
terhadap kepimpinan Yazid.
Penduduk Makkah lain lagi keadaanya, sebagaian dari mereka
membaiat Abdullah ibn Zubair sebagai khalifah. Maka, pasukan Yazid yang telah
menundukkan Madinah meneruskan perjalannya ke Makkah untuk menguasinya.
Abdullah ibn Zubair selamat dari gempuran pasukan Yazid, karena ada berita
bahwa Yazid berangkat sehingga ditariklah pasukannya ke suriah. Tetapi kota
Makkah menjadi porak poranda akibat perlakuan pasukan Yazid tersebut. Yazid
meninggal tahun 64 H. Setelah memerintah 4 tahun dan digantikanya oleh
anaknya, Muawiyyah II bin Yazid

B. Biografi Muawiyah II bin Yazid


Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah adalah seorang pemuda yang
tampan. Dia disebut juga Abu Abdur Rahman, ada juga yang menyebutnya Abu
Yazid dan Abu Laila. Beliau anak Yazid yang lemah dan sakit-sakitan, disamping
itu dia adalah seorang ahli Kimia pada masa pemerintahan Kakeknya Muawiyah
bin Abu Sufyan diantara murid beliau yang paling terkenal adalah Abu Musa
Jabir ibn Hayyan. Muawiyah II bin Yazid menjadi Khalifah atas dasar wasiat
ayahnya pada bulan Rabiul Awal tahun 64 Hijriah atau berkenaan tahun 683 M.
Dia adalah seorang pemuda yang shalih. Tatkala dia diangkat menjadi kholifah
dia sedang menderita sakit. Sakitnya bertambah-tambah hingga akhirnya dia
meninggal dunia. Dia bahkan tidak pernah keluar pintu sejak dia diangkat
menjadi khalifah. Dia belum sempat melakukan apa-apa, dan belum pernah
menjadi imam sholat untuk rakyatnya. Ada yang mengatakan bahwa masa
kekhalifahannya sekitar 40 hari ada pula yang mengatakan dia menjadi khalifah
selama 2 bulan , ada yang mengatakan juga 3 bulan. Wallahu a’lam bissowab.
Saat meninggalnya dikatakan kepadanya “Tidakkah kau akan menentukan siapa
yang aka menjadi penggantinmu”. Dia berkata “Saya belum pernah mencicipi
kelezatan dan manisnya, lalu mengapa saya harus menanggung kegitarannya”.

C. Masa Pemerintahan Umayyah II bin Yazid


Disamping Muawiyah II ini menjadi khalifah atau naik tahta atas dasar
ayahnya Muawiyah II juga dipilih penduduk Syam untuk menjabat khalifah
sesudah ayahnya Yazid meninggal. Ketika itu Muawiyah II baru berumur 21
tahun. Pemerintahan Muawiyah II sangat singkat sekali dibandingkan dengan
ayahnya Yazid bin Muawiyah (60-64 H/681-682 M) maupun kakeknya
Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M). Kalau kita menarik benang
merah bahwa Pada Masa khalifah Muawiyyah II, beliau dalam keadaan sakit dan
sudah dihadapkan dengan peristiwa pemberontakan oleh Abdullah ibnu Zubair
di Makkah.dan tidak ada perkembangan yang signifikan dalam masa itu,
dibandingkan pada masa Muawiyah bin Abu sufyan yang memindahkan daulah
Amawiyah pindah ke Damaskus, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan
pada masa Muawiyyah II juga tidak pernah menguasai daerah-daerah,
dibandingkan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang menguasai Andalus,
Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurasan dan ke benteng Tiongkok. Hanya saja
pada pemerintahan Muawiyah II dititik beratkan pada pemeliharaan yang sudah
di lakukan ayahnya maupun kakeknya. Diantaranya adalah :
1. Meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang kuat di daerah Syam (Syria).
2. Menata administrasi pemerintahan dengan baik.
3. Membentuk angkatan bersenjata (militer).
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5. Mendirikan percetakan uang, dan mendirikan pos surat.
6. Membuat anjungan di dalam masjid, yang berguna sebagai pengaman.
7. Mendirikan istana untuk khalifah.
Ada juga yang mengatakan bahwa dirinya atau jiwanya (Muawiyah II
bin Yazid) memberontak tidak dapat bertanggung jawab atas perubahan dan
kerusakan yang ditinggalkan oleh ayahnya.

D. Khalifah Muawiyah II Yang Tahu Diri


Sedikit penulis ingin mengembalikkan ingatan kita bahwa ketika
Panglima Alhushain bin Al-namir dari Syria yang bertugas menaklukkan
pasukan Abdullah bin Zubair di Makkah, menemukan jalan buntu. Karena tak
mampu menembus pertahanan lawan dan mendengar berita wafatnya Khalifah
Yazid bin Muawiyah, Alhushain menyerukan gencatan senjata. Abdullah bin
Zubair tidak keberatan. Masa damai itu membuat kedua pasukan membaur satu
sama lain, seolah tak terjadi permusuhan. Anggota pasukan dari Syria dengan
bebas melaksanakan umrah, thawaf di sekitar Ka’bah, dan sa’i antara Shafa dan
Marwah. Ketika thawaf itulah, Panglima Alhushain bin Alnamir berpapasan
dengan Abdullah bin Zubair. Sambil memegang lengan Abdullah, Alhushain
berbisik, “Apakah anda mau berangkat bersamaku ke Syria? Saya akan berupaya
supaya orang banyak mengangkat anda sebagai khalifah”.
Abdullah bin Zubair menarik lengannya seraya menjawab, “Bagiku tak
ada pilihan lain kecuali perang. Bagi setiap satu korban di tanah Hijaz, harus
ditebus dengan sepuluh korban di Syria”. Panglimah Alhushain menjawab
dengan kata-kata yang cukup terkenal dalam sejarah, “Bohong orang yang
menganggap anda sebagai cendekiawan Arab. Saya bicara dengan berbisik,
tetapi anda menjawab dengan berteriak”. Tidak lama setelah itu, Alhushain dan
pasukannya kembali ke Syria. Boleh jadi, tawarannya bukan basa-basi. Sebab,
di Syria sendiri sedang terjadi kemelut yang cukup mengkhawatirkan.
Sepeninggal Yazid bin Muawiyah, ditunjuklah putranya, Muawiyah bin Yazid
sebagai khalifah yang kala itu berusia 23 tahun.
Berbeda dengan ayahnya, Muawiyah bin Yazid lebih mengutamakan
ibadah ketimbang urusan duniawi. Hari-harinya dipenuhi dengan keshalihan dan
ketaatan. Jabatan sebagai khalifah bukanlah keinginannya, tetapi warisan dari
sang ayah. Muawiyah bin Yazid bukanlah seorang negarawan, tetapi seorang
ahli agama. Ia sendiri merasa tidak layak menduduki jabatan khilafah. Ia merasa
tak sanggup menghadapi urusan pemerintahan dan kenegaraan. Apalagi
sepeninggal ayahnya, Yazid bin Muawiyah, bumi Syria terus dilanda kemelut.
Didukung lagi oleh pangaruh Abdullah bin Zubair di tanah Hijaz yang semakin
meluas.Dengan segala pertimbangan itu, akhirnya khalifah ketiga Bani
Umayyah ini menyatakan mundur dari jabatan khalifah setelah hanya kurang
lebih tiga bulan memerintah dan di hadapan para tokoh istana, ia menyerahkan
jabatannya. Para pemuka istana dan tokoh keluarga Bani Umayyah memintanya
untuk menunjuk seorang pengganti. Namun, cucu pendiri Daulah Umayyah itu
dengan tegas menjawab, “Aku bukan seperti Abu Bakar yang mampu menunjuk
seorang pengganti. Aku belum menemukan seorang pun di antara kalian yang
mempunyai keutamaan seperti Umar bin Al-Khathab. Aku juga bukan seperti
Umar yang bisa menunjuk Ahli Syura. Kalian lebih tahu dan pilihlah orang yang
kalian kehendaki.”
Sejak saat itu, Muawiyah bin Yazid menyerahkan hidupnya hanya
untuk beribadah dengan uzlah (mengasingkan diri). Menjelang pengujung tahun
64 H/684 Masehi, ia meninggal dunia dalam usia masih 23 tahun. Ada yang
mengatakan kematiannya tidak wajar, ia dibunuh secara diam-diam.
Sepeninggalanya, terjadi perpecahan di wilayah Syam (Syria dan Palestina).
Satu pihak cenderung mengikuti pendirian penduduk Hijaz untuk mengangkat
baiat atas Abdullah bin Zubair yang berkedudukan di Makkah. Apalagi
penduduk wilayah Irak dan Iran telah menyatakan baiat. Abdullah bin Ziyad
yang menjabat gubernur wilayah itu buru-buru melarikan diri ke Syria untuk
meminta perlindungan dari para tokoh Bani Umayyah.
Dengan demikian, wilayah kekuasaan Abdullah bin Zubair sudah meliputi Hijaz,
Yaman, Irak dan Iran. Sebuah perutusan yang berangkat dari Mesir ke Makkah
membawa berita bahwa penduduk bumi Piramida
itu pun menyatakan dukungan atas Abdullah bin Zubair.
Sementara itu, perpecahan di wilayah Syam semakin tajam. Pihak yang
mendukung Abdullah bin Zubair dipimpin oleh Dhahak bin Qais. Sedangkan
dibelahan utara wilayah Syam, tepatnya di kota Hims dan Halab, gerakan
pendukung Abdullah dipimpin Nu’man bin Basyir Al-Anshari. Gerakan ini
semakin meluas sehingga hampir mampu menguasai
istana yang sedang krits. Oleh sebab itu, kalau Abdullah bin Zubair menerima
tawaran Panglima Alhushain untuk berangkat ke Syria, tidak mustahil ia akan
dibaiat oleh banyak orang. Apalagi dari sisi keturunan, ia termasuk keluarga
dekat Rasulullah Saw. Namun sejarah tak menghendaki hal itu. Abdullah bin
Zubair bersikeras menetap di wilayah Hijaz dengan segala dukungan
penduduknya. Agaknya, apa yang menimpa Husain bin Ali bin Abi Thalib,
begitu membekas di benaknya.

Anda mungkin juga menyukai