Anda di halaman 1dari 42

KUIS BESAR

AKUNTANSI PERTANGGUNG JAWABAN SOSIAL


STANDAR LAPORAN BERKELANJUTAN/G4
(GLOBAL REPORTING INITIATIVE - GRI)

Jurisa Jonathan – 111610041

UNIVERSITAS MA CHUNG
Villa Puncak Tidar N-01 Malang 65151
Telp. (0341) 550171
2018
KUIS BESAR
AKUNTANSI PERTANGGUNG JAWABAN SOSIAL
STANDAR LAPORAN BERKELANJUTAN/G4
(GLOBAL REPORTING INITIATIVE - GRI)

Jurisa Jonathan – 111610041

UNIVERSITAS MA CHUNG
Villa Puncak Tidar N-01 Malang 65151
Telp. (0341) 550171
2018

i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
ABSTRAK/ABSTRACT ............................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1


1.2 Tujuan Penulisan Makalah .............................................................. 2
1.3 Manfaat Penulisan Makalah ............................................................ 2
1.3.1. Manfaat Teoretis ........................................................... 2
1.3.2. Manfaat Praktis ............................................................. 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 3

2.1.Environmental Cost of Quality ....................................................... 3


2.1.1. Definisi Biaya Lingkungan ............................................. 4
2.1.2. Pelaporan Biaya Lingkungan .......................................... 6
2.1.3. Laporan Keuangan Lingkungan...................................... 8
2.2.Strategi Berdasarkan Akuntansi Pertanggungjawab Lingkungan ... 9
2.3.Triple Bottom Line .......................................................................... 10
2.3.1. Pengungkapan Triple Bottom Line ................................. 12
2.3.2. Triple Bottom Line Lebih Dari Sekedar Profit ............... 13
2.3.3. Corporate Social Responsibility (CSR) .......................... 14
2.3.4. Persepsi Perusahaan Terhadap Kegiatan CSR ................ 16
2.4.Global Reporting Initiative (GRI) ................................................... 17
2.4.1. Standar Pengungkapan GRI ............................................ 18
BAB III KONTROVERSI DAN GAP ........................................................ 27
BAB IV PEMBAHASAN DAN OPINI ..................................................... 30
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

ii
ABSTRAK
Memenuhi kebutuhan hidup sebagai sebuah upaya dalam mencapai kesejahteraan
merupakan tujuan pokok dalam ekonomi. Secara praktis, dunia modern sekarang
ini menaruh perhatian yang lebih terhadap persoalan lingkungan. Pedoman laporan
berkelanjutan bagi perusahaan mendorong kemampuan untuk meminimalisasi
persoalan-persoalan triple bottom line yang dihadapinya. Banyak perusahaan besar
industri dan jasa yang kini menerapkan laporan berkelanjutan. Pedoman laporan
berkelanjutan atau GRI diharapkan dapat menjadi salah satu rangkaian sistem yang
bertujuan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan, sehingga tercapai model
pengukuran kinerja yang seimbang antara ukuran financial profit dengan kinerja
pengelolaan lingkungan dan kepedulian sosial. Di Indonesia, penerapan GRI adalah
dalam bentuk ISRA dan ARA. Program pemerintah ini ditujukan untuk mengawasi
kinerja perusahaan dalam bidang lingkungan. Prinsip yang harus mulai dihidupi
oleh perusahaan adalah No Deorestatio, No Peal, and No Exploitation. Di era
modern saat ini, sebuah perusahaan dikatakan berhasil apabila mampu
menyeimbangkan antara keuntungan dan tanggung jawab, baik tanggung jawab
sosial maupun tanggung jawab lingkungan. GRI digunakan dalam proses
manajemen lingkungan. Dengan adanya pedoman akuntansi berkelanjutan atau
GRI, maka perusahaan memiliki sistem yang dapat digunakan sebagai acuan
sekaligus alat ukur/indikator keberhasilan kinerja perusahaan.
Kata Kunci: Global Reporting Initiative, CSR, Triple Bottom Line.
ABSTRACT
Meeting the needs of life as an effort in achieving prosperity is a fundamental goal
in the economy. Practically, today's modern world is paying more attention to
environmental issues. The ongoing reporting guidance for the company encourages
the ability to minimize its triple bottom line issues. Many major industry companies
and services are now implementing sustainable reports. The ongoing GRI reporting
guidelines are expected to become one of a series of systems aimed at measuring
the performance of a company, so as to achieve a balanced performance
measurement model between the size of financial profit and environmental
management performance and social awareness. In Indonesia, the implementation
of GRI is in the form of ISRA and ARA. This government program is intended to
oversee the company's performance in the environmental field. The principles that
must be started by the company are No Deorestatio, No Peal, and No Exploitation.
In today's modern era, a company is said to be successful if it is able to balance
between profit and responsibility, both social responsibility and environmental
responsibility. GRI is used in environmental management processes. With the
guidance of sustainable accounting or GRI, then the company have a system that
can be used as a references and also measuring tools/indicator to value the
successfulness of company performance.
Key Words: Global Reporting Initiative, CSR, Triple Bottom Line.

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memenuhi kebutuhan hidup sebagai sebuah upaya dalam mencapai


kesejahteraan merupakan tujuan pokok dalam ekonomi. Maka segala aktivitas
ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi merupakan sebuah keniscayaan
yang mau tidak mau harus dilakukan. Hal ini dikarenakan sumber daya sebagai alat
untuk memenuhi kebutuhan sangatlah terbatas, sementara kebutuhan manusia tidak
terbatas. Oleh karena itu, munculnya masalah ekonomi karena sumber daya yang
terbatas harus dihadapkan pada kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Sebagai
bukti bahwa sumber daya terbatas adalah seseorang tidak akan bisa menggunakan
waktu lebih dari 24 jam dari sehari. Sementara kebutuhan manusia yang tidak
terbatas dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah sifat alami manusia yang
serba kurang dan kebutuhan manusia untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.

Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas tersebut, perusahaan


selaku produsen melakukan inovasi produk. Inovasi tersebut ditujukan agar
perusahaan mampu bersaing dengan perusahaan lain untuk mempertahankan
keberadaannya di dunia industri. Untuk melakuka inovasi tentunya pihak
perusahaan membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit mulai dari bahan baku,
biaya, dan tenaga kerja. Jadi tidak mengejutkan apabila ditemukan kasus beberapa
perusahaan melakukan eksploitasi sumber daya secara massive agar dapat
memenuhi permintaan konsumen.

Kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya mempedulikan sumber daya di


bumi untuk kepentingan generasi mendatang, melahirkan kepedulian akan
pentingnya menjaga kelestarian dan ketersediaan sumber daya. Kepedulian pada
lingkungan yang meliputi kualitas udara, air dan bahan beracun yang dapat merusak
alam juga berpengaruh terhadap bisnis perusahaan yang dituntut agar perusahaan
berbisnis dengan ramah lingkungan. Hal ini menyebabkan perusahaan harus
berusaha memenuhi tuntutan ini dengan melakukan bisnis yang ramah lingkungan.
Perusahaan harus menyiapkan anggaran yang terkait dengan aktivitas untuk

1
memastikan bahwa mereka tidak menghasilkan/ harus mengolah limbah yang
berbahaya bagi lingkungan. Hal ini pada akhirnya akan menjadi biaya bagi
perusahaan. Perusahaan harus memikirkan bagaimana agar dapat meminimalkan
atau bahkan menghilangkan biaya yang terkait dampak lingkungan (Environment
Cost of Quality) yang berkaitan dengan Global Reporting Initiative.

1.2 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami mengenai standar laporan berkelanjutan
(Global Reporting Initiative-GRI).
2. Mengetahui dan memahami tujuan dari penggunaan dan penerapan
pedoman laporan berkelanjutan (Global Reporting Initiative-GRI) oleh
perusahaan.
3. Mengetahui perusahaan di Indonesia yang menerapkan standar atau
pedoman laporan berkelanjutan (Global Reporting Initiative-GRI).
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Manfaat penulisan makalah ini dijabarkan menjadi manfaat teoretis dan praktis,
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Manfaat Teoretis
Penulisan makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
informasi yang berkaitan dengan pendidikan ataupun refrensi dan
pengetahuan bagi mahasiswa yang ingin mengetahui mengenai GRI
(Global Reporting Initiative).
1.3.2 Manfaat Praktis
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat dijadikan informasi
dengan refrensi bacaan bagi pihak lain yang akan melakukan penulisan
makalah dengan topik yang sejenis

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Environmental Cost of Quality

Kepedulian akan pentingnya perusahaan memperhatikan dampak


lingkungan dalam aktivitas industri, mendorong munculnya banyak peraturan yang
mewajibkan perusahaan untuk melakukan pengelolaan atas dampak yang
dihasilkan dari kegiatan produksi. Hal ini mendorong perusahaan perlu
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit terkait lingkungan. Untuk meminimalkan
biaya yang harus dikeluarkan terkait lingkungan, maka perusahaan harus
menerapkan suatu sistem produksi yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, muncul
suatu konsep yang dinamakan ecoefficiency.
Ekoefisiensi merupakan suatu konsep yang bertujuan untuk menyatukan
antara tujuan bisnis perusahaan dengan menyelesaikan berbagai permasalahan
terkait lingkungan sebagai akibat dari kegiatan produksi. Secara esensi, ekoefisiensi
menjaga agar organisasi dapat memproduksi makin banyak barang dan jasa yang
mana secara simultan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, konsumsi
sumber daya, dan biaya. Ekoefisiensi paling tidak mengandung tiga hal penting.
Pertama, peningkatan kinerja ekologi dan ekonomi dapat dan sudah seharusnya
saling melengkapi. Kedua, peningkatan kinerja lingkungan seharusnya tidak lagi
dipandang hanya sebagai amal dan untuk nama baik, tetapi juga sebagai suatu
persaingan (competitiveness). Ketiga, ekoefisiensi adalah suatu pelengkap dan
pendukung pengembangan yang berkesinambungan (sustainable development).
Pengembangan yang berkesinambungan didefinisikan sebagai pengembangan yang
memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Ekoefisiensi mengimplikasikan
peningkatan efisiensi yang berasal dari peningkatan kinerja lingkungan. Menurut
Hansel & Mowen (2005) ada sejumlah sumber dari insentif dan penyebab
peningkatan efisiensi, adalah sebagai berikut:
1. Pelanggan menginginkan produk yang lebih bersih, yaitu produk yang
diproduksi tanpa merusak lingkungan serta penggunaan dan
pembuangannya ramah lingkungan.

3
2. Para pegawai lebih suka bekerja di perusahaan yang bertanggungjawab
terhadap lingkungan dan akan menghasilkan produktivitas yang lebih besar.
3. Perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan cenderung
memperoleh keuntungan eksternal, seperti biaya modal yang lebih rendah
dan tingkat asuransi yang lebih rendah.
4. Kinerja lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan keuntungan sosial
yang signifikan, seperti keuntungan bagi kesehatan manusia.
5. Fokus pada peningkatan kinerja lingkungan membangkitkan keinginan para
manajer untuk melakukan inovasi dan mencari peluang baru.
6. Pengurangan biaya lingkungan dapat mempertahankan atau menciptakan
keunggulan bersaing. Pengurangan biaya dan insentif kompetitif merupakan
hal yang penting. Biaya lingkungan dapat merupakan persentase yang
signifikan dari biaya operasional total. Pengetahuan mengenai biaya
lingkungan dan penyebab-penyebabnya dapat mengarah pada desain ulang
proses yang dapat mengurangi bahan baku yang digunakan. Jadi, biaya
lingkungan saat ini dan di masa depan dikurangi sehingga perusahaan
menjadi lebih kompetitif.
2.1.1 Definisi Biaya Lingkungan

Sebelum informasi biaya lingkungan dapat diberikan kepada manajemen,


biaya lingkungan harus didefinisikan. Berbagai kemungkinan bisa saja ada terkait
definisi biaya lingkungan, namun pendekatan menarik yaitu mengadopsi definisi
yang konsisten yang dikenal dengan total environmental quality model (TEQM).
Dalam model ini, keadaan yang ideal adalah tidak ada kerusakan lingkungan.
Kerusakan didefenisikan sebagai degradasi langsung dari lingkungan, seperti emisi
residu benda padat, cair, atau gas ke dalam lingkungan (misalnya: pencemaran air
dan polusi udara), atau degradasi tidak langsung seperti penggunaan bahan baku
dan energi yang tidak perlu. (Hansen, 2007)
Dengan demikian, biaya lingkungan dapat disebut juga sebagai biaya
kualitas lingkungan. Dalam arti yang sama dengan biaya kualitas biaya lingkungan
adalah biaya yang dikeluarkan karena kualitas lingkungan yang buruk ada atau
mungkin ada. Dengan demikian, biaya lingkungan berkaitan dengan penciptaan,
deteksi, perbaikan, dan pencegahan degradasi lingkungan.

4
Menurut Hansen (2007), biaya lingkungan dapat diklasifikasikan ke dalam
empat kategori adalah sebagai berikut:
1. Biaya Pencegahan Lingkungan (Environmental Prevention Costs)
Biaya yang terkait ini adalah biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan
untuk mencegah diproduksinya limbah dan/atau sampah yang dapat
merusak lingkungan. Contoh: Evaluasi dan pemilihan pemasok, evaluasi
dan pemilihan alat untuk mengendalikan polusi, desain proses dan produk
untuk mengurangi dan menghapus limbah, melatih pegawai, mempelajari
dampak lingkungan, audit risiko lingkungan, daur ulang produk,
pemerolehan sertifikasi ISO 14001.
2. Biaya Deteksi Lingkungan (Environmental Detection Costs)
Biaya yang terkait deteksi adalah biaya-biaya untuk aktivitas yang
dilakukan dalam menentukan bahwa produk, proses, dan aktivitas lain di
perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau tidak.
Contoh: Audit aktivitas lingkungan, pemeriksaan produk dan proses,
pengembangan ukuran kinerja lingkungan, pelaksanaan pengujian
pencemaran, verifikasi kinerja lingkungan dari pemasok, serta pengukuran
tingkat pencemaran.
3. Biaya Kegagalan Internal Lingkungan (Environmental Internal Failure
Costs)
Merupakan biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan karena
diproduksinya limbah dan sampah, tetapi tidak dibuang ke lingkungan luar.
Contoh: Pengoperasian peralatan untuk mengurangi atau menghilangkan
polusi, pengolahan dan pembuangan limbah beracun, pemeliharaan
peralatan polusi, lisensi fasilitas untuk memproduksi limbah, serta daur
ulang sisa bahan.
4. Biaya Kegagalan Eksternal Lingkungan (Environmental External Failure)
Adalah biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan serta melepas limbah
atau sampah ke dalam lingkungan. Biaya ini terbagi menjadi dua, yaitu:
biaya kegagalan eksternal yang direalisasi (realized external failure costs)
dan biaya kegagalan eksternal yang tidak direalisasikan (unrealized external
failure costs). Biaya kegagalan eksternal yang direalisasi adalah biaya yang

5
dialami dan dibayar oleh perusahaan. Biaya kegagalan eksternal yang tidak
direalisasikan adalah biaya sosial disebabkan oleh perusahaan, tetapi
dialami dan dibayar oleh pihak-pihak di luar perusahaan. Biaya sosial ini
dapat diklasifikasikan sebagai biaya yang dihasilkan dari degradatio
lingkungan dan yang berhubungan dengan dampak negatif terhadap properti
atau kesejahteraan individu. Dalam kedua kasus, biaya ditanggung oleh
orang lain dan bukan oleh perusahaan meskipun penyebab adalah
perusahaan. Contoh biaya kegagalan eksternal yang direalisasi adalah:
pembersihan danau yang tercemar, pembersihan minyak yang tumpah,
pembersihan tanah yang tercemar, penggunaan bahan baku dan energi
secara tidak efisien, penyelesaian klaim kecelakaan pribadi dari praktik
kerja yang tidak ramah lingkungan, dll. Contoh biaya sosial adalah:
mencakup perawatan medis karena udara yang terpolusi (kesejahteraan
individu), hilangnya kegunaan danau sebagai tempat rekreasi karena
pencemaran (degradasi), hilangnya lapangan pekerjaan karena pencemaran
(kesejahteraan individual), dan rusaknya ekosistem karena pembuangan
sampah padat (degradasi).
2.1.2 Pelaporan Biaya Lingkungan

Pelaporan biaya lingkungan adalah penting jika organisasi serius


meningkatkan kinerja lingkungan dan pengendalian biaya lingkungan. Langkah
pertama yang baik adalah laporan yang merinci biaya lingkungan berdasarkan
kategori. Pelaporan biaya lingkungan berdasarkan kategori mengungkapkan dua
hasil penting, yaitu: (1) dampak dari biaya lingkungan terhadap profitabilitas
perusahaan dan (2) jumlah relatif yang dikeluarkan dalam setiap kategori. Gambar
2 di bawah, dikutip dari Hansen, et al., (2009) memberikan contoh laporan biaya
lingkungan sederhana.

6
Gambar 2.1.2 Contoh Pelaporan Biaya Lingkungan
Sumber: Hansen, et al. (2008)

Dari laporan ini, terlihat upaya untuk menyoroti pentingnya biaya


lingkungan dengan mengekspresikan mereka sebagai persentase dari total biaya
operasional. Dalam laporan ini, biaya lingkungan merupakan 15% dari total biaya
operasional, merupakan jumlah yang signifikan. Dari sudut pandang praktis, biaya
lingkungan akan menjadi perhatian manajerial hanya jika mewakili jumlah yang
signifikan. Ketika menjadi biaya yang sangat signifikan, maka manajer cenderung
berusaha melakukan upaya pengurangan terhadap biaya yang terkait lingkungan.
Investasi lebih dalam kegiatan pencegahan dan deteksi dapat menghasilkan
penurunan yang signifikan pada biaya kegagalan lingkungan. Bahkan investasi
pada peralatan yang mendukung pengurangan konsumsi energi, air, dan bahan
kimia dapat menghasilkan penghematan. Biaya lingkungan tampaknya berperilaku
dalam banyak cara yang sama seperti biaya kualitas. biaya lingkungan terendah
yang dicapai pada titik kerusakan sama seperti zero-defect dalam model biaya
kualitas. Dengan demikian, solusi ekoefisien lebih berfokus pada pencegahan
dengan pandangan bahwa pencegahan lebih murah daripada mengobati. Analogi
ini sama dengan total quality model, kerusakan nol adalah titik biaya terendah untuk
biaya lingkungan

7
2.1.3 Laporan Keuangan Lingkungan

Ekoefisiensi memungkinkan modifikasi pada pelaporan biaya lingkungan.


Secara khusus, selain pelaporan biaya lingkungan, mengapa tidak melaporkan
manfaat lingkungan? Dalam suatu periode tertentu, ada tiga jenis manfaat, yaitu:
pendapatan tambahan, tabungan saat ini, dan biaya yang dihindari (penghematan
yang sedang berlangsung). Pendapatan tambahan adalah pendapatan yang mengalir
ke dalam organisasi karena tindakan lingkungan seperti daur ulang kertas,
menemukan aplikasi baru untuk limbah tidak berbahaya (misalnya, menggunakan
scrap kayu untuk membuat potongan-potongan kayu dan papan catur), dan
peningkatan penjualan karena pencitraan atas ramah lingkungan ditingkatkan.
Menghindari biaya mengacu pada penghematan atas biaya yang telah dibayarkan
pada tahun sebelumnya. Tabungan saat ini mengacu pada pengurangan biaya
lingkungan yang dicapai pada tahun berjalan. Dengan membandingkan manfaat
yang dihasilkan dengan biaya lingkungan yang terjadi dalam suatu periode tertentu,
jenis laporan keuangan lingkungan dibuat. Manajer dapat menggunakan pernyataan
ini untuk menilai kemajuan (manfaat yang dihasilkan) dan potensi untuk kemajuan
(biaya lingkungan). Laporan keuangan lingkungan juga dapat menjadi bagian dari
laporan kemajuan lingkungan yang diberikan kepada pemegang saham pada
laporan tahunan.

Gambar 2.1.3 Contoh Laporan Keuangan Lingkungan


Sumber: Hansen, et al. (2008)

8
2.2 Strategi Berdasarkan Akuntansi Pertanggungjawaban Lingkungan

Secara keseluruhan peningkatan kinerja lingkungan mensarankan untuk


selalu meningkatkan kerangka kerja terkait pengendalian lingkungan. Terdapat
lima tujuan utama yang dapat diindentifikasi terkait kinerja lingkungan dari
perspektif lingkungan, yaitu: meminimalkan penggunaan bahan mentah atau baru,
meminimalkan penggunaan barang berbahaya, meminimalkan penggunaan energi
untuk produksi dan penggunaan produk, meminimalkan pelepasan residu baik
padat, cair atau gas, dan terakhir memaksimalkan peluang daur ulang.
Dalam melakukan hal ini peran penting dari aktivitas manajemen tidak bisa
dihindarkan. Aktivitas manajemen yang dilakukan mulai dari mengidentifikasi
aktivitas lingkungan, menilai biaya yang diperlukan berdasarkan aktivitas
lingkungan. Prosedur pengendalian kemudian dapat dilakukan setelah mengetahui
biaya lingkungan dan produk serta proses apa yang menghasilkan biaya lingkungan.
Pada tahapan ini kemudian, manajemen perlu mengklasifikasikan aktivitas.
Aktivitas diklasifikasikan sebagai aktivitas lingkungan bernilai tambah dan yang
tidak bernilai tambah. Dengan mengetahui aktivitas-aktivitas tersebut maka
kemudian dapat ditentukan langkah selanjutnya.
Perusahaan kemudian dapat meredesain produk dan prosesnya untuk
meminimalkan dan mengeliminasi aktivitas yang tidak bernilai tambah. Desain
yang dirancang adalah desain yang ramah lingkungan. Hal ini meliputi produk,
proses, material, energi, dan daur ulang. Jadi desain ini mencakup seluruh siklus
hidup produk dan pengaruhnya bagi lingkungan diperhitungkan. Hal yang tidak
bisa dilupakan juga adalah terkait pengukuran keuangan. Manajemen berperan
untuk memastikan bahwa peningkatan perhatian pada aspek lingkungan seharusnya
memberikan konsekuensi bagi perusahaan berupa keuntungan secara ekonomi.
Perusahaan harus menghitung total biaya lingkungan yang dikeluarkan selama
beberapa periode apakah terdapat penurunan biaya terkait dampak lingkungan.

9
Menurut Boer, et al., (1998), terdapat tiga strategi untuk mengelola biaya
lingkungan, adalah sebagai berikut:

1. End of Pipe Strategy


Dalam pendekatan ini, perusahaan menghasilkan limbah atau polutan, dan
kemudian membersihkannya sebelum dibuang ke lingkungan. Scrubber
cerobong asap, pengolahan air limbah, dan filter karbon udara adalah
contoh-contoh strategi akhir pipa. Pendekatan ini kurang menguntungkan,
karena menambah biaya dalam laporan keuangan tanpa ada dampak
pemulihan atas biaya yang dikeluarkan.
2. Process Improvement Strategy
Dengan pendekatan ini, perusahaan mencari jalan untuk mendaur ulang
limbah secara internal untuk mengurangi sisa produksi, atau mengadopsi
proses produksi yang tidak menghasilkan sisa. Cara ini dapat meningkatkan
meningkatkan profit dan juga mengurangi polusi seperti pada end of pipe
strategy.
3. Prevention Strategy
Merupakan strategi utama untuk memaksimalkan nilai dari kegiatan yang
berhubungan dengan pencemaran dengan melibatkan penghindaran yang
menyeluruh terhadap polusi dengan cara tidak memproduksi sama sekali
polutan. Dalam strategi ini, perusahaan sangat menghindari semua masalah
dengan otoritas yang berwenang, dan bahkan dalam banyak kasus
perusahaan yang melakukan strategi ini dapat meningkatkan profit secara
signifikan. tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat dan
memangkas biaya serendah mungkin.

2.3 Triple Bottom Line

Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang sehingga banyak teori yang
muncul yang diungkapkan mengenai CSR. CSR merupakan salah satu bagian dari
teori triple bottom line yang memberi pandangan jika sebuah perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus
memperhatikan “3P(Profit, People, and Planet)”. Selain mengejar keuntungan
(profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan

10
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet). (Wibisono, 2007)
Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap
kegiatan usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam
perusahaan adalah mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-
tingginya. Karena inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling esensial
terhadap pemegang saham. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak
profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya.
Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen kerja
mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat
waktu proses dan pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat tercapai jika
perusahaan menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya
serendah mungkin. (Wibisono, 2007)
People atau masyarakat merupakan stakeholder yang sangat penting bagi
perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan
perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada
masyarakat. Dan perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi
dampak kepada masyarakat. Karena itu perusahaan perlu untuk melakukan
berbagai kegiatan yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat. (Wibisono, 2007)
Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang
dalam kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia
sebagai makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan, misalnya air yang
diminum, udara yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya
berasal dari lingkungan. Namun sebagian besar dari manusia masih kurang peduli
terhadap lingkungan sekitar karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa
diambil didalamnya. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan
bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya
apapun untuk melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan,
manusia justru akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi
kesehatan, kenyamanan, di samping ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin
kelangsungannya.

11
2.3.1 Pengungkapan Triple Bottom Line

Dalam era globalisasi peursahaan tidak hanya mementingkan aspek


ekonomi saja, tetapi harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena
itu, setiap perusahaan berusaha untuk memenuhi kegiatan yang berkaitan dengan
memperhatikan kepentingan sosial dan lingkungan. Seperti penelitian Sandra (2011)
menyatakan bahwa perusahaan yang berkelanjutan bukan hanya mengejar
keuntungan financial, bukan hanya peningkatan nilai pemegang saham. Namun
yang paling baik adalah dicapai melalui kerangka kerja yang luas di bidang
ekonomi, sosial, lingkungan dan nilai-nilai etika serta tujuan bersama yang
melibatkan interaksi antara perusahaan dan berbagai pemangku kepentingan.
Selanjutnya, konsep ini dikembangkan seperti penelitian Sandra (2013)
mengungkapkan tentang teori triple bottom line dengan tiga aspek utama yaitu,
ekonomis, sosial dan lingkungan. Triple bottom line menangkap spektrum yang
lebih luas dari nilai-nilai dan kriteria untuk mengukur kesuksesan organisasi yaitu
ekonomi, lingkungan dan sosial. Hal ini berarti memperluas kerangka kerja
pelaporan sederhana untuk memperhitungkan kinerja sosial dan lingkungan
disamping kinerja keuangan. Ini juga menangkap esensi pembangunan
berkelanjutan (sustainability development) dengan mengukur dampak ketiga aspek
tersebut dari kegiatan operasi perusahaan.
Konsep yang dikemukakan oleh Solihin (2008) menyatakan bahwa
pengenalan konsep sustainability development memberi dampak besar kepada
perkembangan konsep triple bottom line selanjutnya. Sebagai contoh Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) merumuskan “kontribusi
bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi yang tidak
semata-mata menjamin adanya pengembalian kepada pemegang saham, upah bagi
karyawan dan pembuatan produk serta jasa bagi pelanggan melainkan perusahaan
bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting
serta nilai-nilai masyarakat”.

12
2.3.2 Triple Bottom Line Lebih dari Sekedar Profit

Pada tahun 2010an, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods
memutuskan menghentikan pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh
Grup Sinar Mas. Alasan mereka adalah dugaan adanya perusakan hutan tropis yang
membahayakan kehidupan satwa, mengurangi kemampuan penyerapan karbon
dioksida yang merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim global yang
lebih dikenal dengan global warming. Di luar negeri, Timberland, salah satu
produsen pakaian dan sepatu outdoor juga didera hal yang sama (Harvard Business
Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni 2009, Jeff Swartz, menerima e-mail dari
65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka menuduh Timberland membeli
materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di Amazon. Parahnya, awalnya
Timberland tidak mengetahui apakah material yang mereka beli benar berasal dari
Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan mungkin saja tuduhan tersebut benar.
Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia gempar dengan kasus bunuh diri
di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati karena bunuh diri dalam waktu
lima bulan. Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan
jelas bahwa perusahaan masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi.
John Elkington tahun 1990an memperkenalkan konsep Triple Bottom Line
(TBL atau 3BL). Atau juga 3P (People, Planet and Profit). Singkat kata, ketiganya
merupakan pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga
kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial. Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak
digunakan sejak awal tahun 2007 seiring perkembangan pendekatan akuntansi
biaya penuh (full cost accounting) yang banyak digunakan oleh perusahaan sektor
publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan tanggung jawab sosial
(Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu bentuk
implementasi TBL. Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih
mengutamakan kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena
dampak dari kegiatan yang dilakukan perusahaan) daripada kepentingan
shareholder (pemegang saham).
Tidak dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini
sebagai suatu program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan,
beberapa perusahaan menerapkan program ini karena “terpaksa” untuk

13
mengantisipasi penolakan dari masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan.
Selain sisi internal perusahaan, hambatan lainnya dari sisi eksternal karena belum
adanya dukungan regulator dan profesi akuntansi tentang penyajian pelaporan non
finansial. Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam
tulisannya yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive
Advantage and Corporate Social Responsibility (Harvard Business Review,
Desember 2006), telah melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial
harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat
dengan program tanggung jawab sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan
program tanggung jawab sosial itu meski dilanda krisis, kecuali ingin mengubah
strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus program tanggung jawab
dipotong lebih dulu.
2.3.3 Corporate Social Responsibility (CSR)

Penerapan kegiatan CSR didasarkan pada banyak alasan dan tuntutan,


sebagai panduan antara factor internal dan eksternal. Menurut Frynas (2009),
terdapat lima pertimbangan perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR, adalah
sebagai berikut:
1) Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan
2) Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif
3) Bagian dari strategi bisnis perusahaan
4) Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat
5) Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan menghindari
konflik sosial.
Terkait dengan batasan mengenai tanggungjawab sosial atau CSR yang
dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandang dan
pemahaman masing-masing mengenai CSR. Namun demikian perlu dikemukakan
beberapa definisi sebagai koridor dan memagari kajian mengenai CSR yang
dikemukakan oleh pemerintah inggris: “The Voluntary actions that business can
take, over and above compliance with minimum requirements, to address both it’s
own competiyive interest and interests of wider society” (www.csr.gov.uk UK
Government)

14
Lebih lanjut World Business Council and Sustainability Development
(WBCSD) memberikan pengertian tanggungjawab sosial perusahaan sebagai
berikut: “The continuing commitment by business to behave ethically and
contribute to economic development while improving the quality of life of the
workforce and their families as well as of the local community and society at large”
(WBCSD, 1999). Pendapat tanggungjawab sosial lainnya dikemukakan sebagai
berikut: “A company’s commitment to operating in an economically, socially, and
environmentally sustainable manner while balancing the interests of the diverse
stakeholders” (www.csr-asia.com, 2000)
Definisi-definisi tersebut menunjukan adanya keragaman dalam
mengartikan dan mengimplementasikan CSR, sehingga, hingga saat ini tidak ada
terdapat kesepakatan mengenai batasan tangungjawab sosial perusahaan. Namun
demikian terdapat suatu pemahaman yang sama di masyarakat Eropa mengenai
CSR, sebagaimana pernyataan berikut: “There is a broad agreement in Europe on
the definition of CSR as a concept whereaby sompanies integrate social and
environmental concerns-on a voluntary basis- into their business operations as well
as their interactions with stakeholders.”
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik inti bahwa CSR
merupakan konsep sebagai berikut (Budiarti, 2011):
1) Perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan
lingkungannya
2) Berdasarkan prinsip sukarela
3) Kegiatan bisnis dan interaksi dengan pemangku kepentingan harus
memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan
Setidaknya ada 2 landasan berkenaan dengan CSR yaitu berasal dari etika
bisnis (bisa berdasarkan agama, budaya atau etika kebaikan lainnya) dan dimensi
sosial dari aktivitas bisnis. CSR atau sering diartikan sebagai “being socially
responsible” jelas merupakan suatu cara-cara yang berbeda untuk orang yang
berbeda dalam negara yang berbeda pula. Artinya penerapan CSR di masing-
masing negara harus disesuaikan dengan konteks sosial dan lingkungannya.
Sehingga perlu kehati-hatian dalam menerapkan konsep CSR di negara maju dan
di negara-negara yang sedang berkembang.

15
2.3.4 Persepsi Perusahaan Terhadap Kegiatan CSR

Keberadaan perusahaan di tengah lingkungan masyarakat berpengaruh


lanngsung terhadap lingkungan eksternal yaitu masyarakat. Eksistensi perusahaan
berpotensi besar mengubah lingkungan masyarakat, baik kea rah negative maupun
positif. Dengan demikian perusahaan perlu mencegah timbuknya dampak negative
karena hal tersebut dapat memicu konflik dengan masyarakat, yang selanjutnya
dapat mengganggu jalannya perusahaan dan aktifitas masyarakat.
Pada dsarnya tidak ada perspektis teoritis atau metodologi kajian yang dapat
menjelaskan aktifitas CSR secara memuaskan menjawab semua pertanyaan.
Menurut Frynas (2009), terdapat dua teori dan satu perspektif yang berkembang
saat ini dalam CSR, adalah sebagai berikut:
1) Teori Stakeholder
Menekankan reaksi perusahaan (perseorangan) dalam konteks hubungan
dengan stakeholder eksternal. Teori ini menjelaskan respon strategis yang
berbeda dari perusahaan terhadap tekanan-tekanan sosial walaupun dalam
industri sejenis atau negara yang sama, berdasarkan hubungan eksternal.
2) Teori Institusional.
Menekankan daya adaptif perusahaan secara kelembagaan (aturan). Teori
ini menjelaskan mengapa perusahaan dari negara atau industri berbeda
dalam merespon tekanan sosial dan lingkungan, dan mengapa di negara yabf
berbeda-beda dari perusahaan multinasional yang sama memilih strategi
CSR yang berbeda, sebagai hasil dari pemberlakuan norma atau keyakinan
nasional.
3) Perspektif Austrian Economics
Perspektif ini menyediakan wawasan terhadap upaya strategi aktif CSR
dalam perusahaan dengan suatu perspektif kewirausahaan.
Teori stakeholders dan Teori institusional dapat membantu menjelaskan bagaimana
respon perusahaan terhadap tekanan kondisi sosial eksternal dan lingkungan.
Namun demikian gagal untuk menjelaskan pilihan strategi aktif dalam perusahaan,
yaitu mengapa perusahaan tertentu menggunakan sebuah senjata melawan
persaingan perusahaan atau mengapa perusahaan tertentu mengeluarkan biaya yan
banyak hanya untuk pembaruan energy.

16
2.4 Global Reporting Initiative (GRI)

Suistainability reporty ini disusun dengan pedoman (standart) Global


Reporting Initiative (GRI) yang telah dikembangan sejak tahun 1990 di Amsterdam,
Belanda merupakan sebuah pedoman laporan berkelanjutan sebagai cara bagi
perusahaan dan organisasi agar menjadi lebih berkelanjutan dan berkontribusi
terhadap ekonomi global yang berkelanjutan. Pada pedoman tersebut terdapat
prinsip-prinsip pelaporan, pengungkapan standar, dan panduan penerapan
penyusunan laporan keberlanjutan untuk perusahaan. Pedoman ini juga
menyediakan referensi internasional untuk semua pihak yang terlibat dengan
pengungkapan pendekatan tata kelola serta kinerja dan dampak perusahaan.
Dampak perusahaan berupa lingkungan, sosial, dan ekonomi perusahaan.
Menurut Panjaitan, et al. (2014), umumnya perusahaan yang bergerak
dalam industri perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditas
pertanian di Indonesia yang menciptakan sendiri regulasi nasional pengembangan
kelapa sawit berkelanjutan yaitu Peraturan Menteri Pertanian
No.19/Permentan/OT/1403/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan di Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil-ISPO) dengan
menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan yang
disesuaikan dengan berbagai peraturan undang-undang yang berlaku.
Minyak kelapa sawit sebagai komoditas yag diperdagangkan secara global,
digunakan dalam sejumlah besar produk pangan dan nonpangan dan akhir-akhir ini
dipandang sebagai komoditas bahan bakar nabati yang menjanjikan. Di Indonesia,
kelapa sawit dengan produk yang dihasilkan berperan penting untuk mengurangi
kemiskinan, memajukan pembangunan wilayah, mendukung kenaikan standart
hidup bagi masyarakat pedesaan. Namun perluasan perkebunan kelapa sawit telah
mengakibatkan pemindahan lahan dan sumberdaya, perubahan luar biasa terhadap
vegetasi dan ekosistem setempat. Lingkungan menjadi bagian yang sangat rawan
terjadi perubahan kerusakan lingkungan biofisik yang terdegradasi serta
bertambahnya lahan kritis. Aspek lingkungan mempunyai dimensi yang sangat luas
pengaruhnya terhadap kualitas udara dan terjadinya bencana alam seperti kebakaran,
tanah longsor, banjir dan kemarau akibat adanya perubahan iklim global.

17
2.4.1 Standar Pengungkapan GRI

Menurut GRI (2006), dalam sustainability report terdapat tiga


pengungkapan yang terkandung, yaitu:
1. Strategi dan profil yaitu pengungkapan yang menentukan konteks secara
keseluruhan dalam memahai kinerja organisasi, seperti strategi, profil dan
tata kelola
2. Pendekatan manajemen yaitu pengungkapan yang mencakup bagaimana
sebuah organisasi mengarahkan seperangkat topik dalam menyediakan
konteks untuk memahami kinerja pada wilayah tertentu.
3. Indikator kinerja yaitu indikator yang menghasilkan perbandingan
informasi mengenai kinerja organisasi dalam hal ekonomi, lingkungan dan
sosial
Pedoman GRI G4 terdapat dua standar pengungkapan sustainability report,
yaitu standar umum dan standar khusus. Pengungkapan standar umum berlaku
untuk semua perusahaan yang menyediakan sustainability report. Perusahaan harus
mengidentifikasi pengungkapan standar umum yang wajib untuk dilaporkan.
Pengungkapan standar umum dibagi menjadi tujuh aspek, yaitu strategi dan analisis,
profil perusahaan, aspek material dan boundary teridentifikasi, hubungan dengan
stakeholders, profil laporan, tata kelola serta stika integritas.
Pengungkapan standar khusus pada pedoman GRI G4 dibagi kedalam 3
kategori, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Kategori sosial dibagi kedalam 4
subkategori, yaitu praktik ketenagakerjaan dan kenyamanan bekerja, hak asasi
manusia, masyarakat, serta tanggungjawab atas produk. Sustainability report
perusahaan memberikan informasi terkait aspek material, aspek yang dampaknya
diidntifikasi oleh perusahaan. Aspek material adalah aspek yang mencerminkan
dampak ekonomi, lingkungan dan sosial perusahaan secara signifikan, atau yang
secara nyata mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan oleh stakeholder.
Perusahaan dalam mengimplementasikan pedoman GRI G4 pada
sustainability report dapat memilih standar pengungkapan. Terdapat dua standar
dalam pedoman GRI G4, yaitu core dan comprehensive. Pilihan core
mengharuskan perusahaan setidaknya mengungkapkan salah satu indikator yang
berkaitan dengan aspek material. Sedangkan perusahaan yang memilih

18
comprehensive diperlukan untuk mengungkapkan kinerja yang lebih luas dengan
melaporkan semua indikator yang berkaitan dengan aspek material.
Pengungkapan sustainability di Indonesia masih baru dan bersifat voluntary
yang artinya tidak ada aturan hanya bersifat kesukarelaan dan belum diwajibkan.
Meskipun pengungkapan suistainability report tidak diwajibkan untuk perusahaan,
akan tetapi tuntutan bagi perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan,
akuntabel serta praktik tata kelola perusahaan yang semakin baik mengharuskan
perusahaan untuk melakukan pengungkapan yang bersifat sukarela seperti
pengungkapan mengenai aktifitas sosial dan lingkungan.
Kategori yang ada di dalam GRI-G4 memiliki 91 indikator yang dapat
digunakan sebagai penilaian pelaporan keberlanjutan. Indikator ini dapat digunakan
sebagai tolak ukur dalam mengimplemetasi Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam laporan keberlanjutan perusahaan (sustainability report). Indikator-indikator
yang terdapat dalam standar khusus dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
91 Indikator Berdasarkan GRI-G4
STANDAR KHUSUS GRI-G4
KATEGORI EKONOMI
Nilai ekonomi langsung yang
EC1
dihasilkan dan didistribusikan
Implikasi finansial dan risiko serta
EC2 peluang lainnya kepada kegiatan
Kinerja Ekonomi organisasi karena perubahan iklim
Cakupan kewajiban organisasi atas
EC3
program imbalan pasti
Bantuan financial yang diterima dari
EC4
pemerintah
Rasio upah standar pegawai pemula
(entry level) menurut gender
EC5 dibandingkan dengan upah
minimum regional di lokasi-lokasi
Keberadaan Pasar operasional yang signifikan
Perbandingan manajemen senior
yang dipekerjakan dari masyarakat
EC6
lokal di lokasi operasi yang
signifikan
Pembangunan dan dampak dari
Dampak Ekonomi Tidak
EC7 investasi infrastruktur dan jasa yang
Langsung
diberikan

19
Dampak ekonomi tidak langsung
EC8 yang signifikan, termasuk besarnya
dampak
Perbandingan dari pembelian
Praktek Pengadaan EC9 pemasok lokal di operasional yang
signifikan
KATEGORI LINGKUNGAN
Bahan yang digunakan berdasarkan
EN1
berat atau volume
Persentase bahan yang digunakan
Bahan EN2 yang merupakan bahan input daur
ulang
EN3 Konsumsi energi dalam organisasi
EN4 Konsumsi energi diluar organisasi
EN5 Intensitas Energi
EN6 Pengurangan konsumsi energi
Energi
Pengurangan kebutuhan energi pada
EN7
produk atau jasa
Total pengambilan air berdasarkan
EN8
sumber
Sumber air yang secara signifikan
Air EN9
dipengaruhi oleh pengambilan air
Persentase dan total volume air yang
EN10
didaur ulang dan digunakan kembali
Lokasi-lokasi operasional yang
dimiliki, disewa, dikelola didalam,
atau yang berdekatan dengan,
EN11
kawasan lindung dan kawasan
dengan nilai keanekaragaman hayati
tinggi diluar kawasan lindung
Uraian dampak signifikan kegiatan,
produk, dan jasa terhadap
keanekaragaman hayati di kawasan
EN12
lindung dan kawasan dengan nilai
Keanekaragaman Hayati
keanekaragaman hayati tinggi diluar
kawasan lindung
Habitat yang dilindungi dan
EN13
dipulihkan
Jumlah total spesies dalam iucn red
list dan spesies dalam daftar spesies
yang dilindungi nasional dengan
EN14
habitat di tempat yang dipengaruhi
operasional, berdasarkan tingkat
risiko kepunahan
Emisi gas rumah kaca (GRK)
Emisi EN15
langsung (Cakupan 1)

20
Emisi gas rumah kaca (GRK) energi
EN16
tidak langsung (Cakupan 2)
Emisi gas rumah kaca (GRK) tidak
EN17
langsung lainnya (Cakupan 3)
Intensitas emisi gas rumah kaca
EN18
(GRK)
Pengurangan emisi gas rumah kaca
EN19
(GRK)
EN20 Emisi bahan perusak ozon (BPO)
NOX, SOX, dan emisi udara
EN21
signifikan lainnya
Total air yang dibuang berdasarkan
EN22
kualitas dan tujuan
Total air yang dibuang berdasarkan
EN23
kualitas dan tujuan
Jumlah dan volume total tumpahan
EN24
signifikan
Bobot limbah yang dianggap
berbahaya menurut ketentuan
konvensi Basel2 Lampiran I, II, III,
Efluen dan Limbah EN25 dan VIII yang diangkut, diimpor,
diekspor, atau diolah, dan
persentase limbah yang diangkut
untuk pengiriman internasional
Identitas, ukuran, status lindung,
dan nilai keanekaragaman hayati
dari badan air dan habitat terkait
EN26
yang secara signifikan terkena
dampak dari pembuangan dan air
limpasan dari organisasi
Tingkat mitigasi dampak terhadap
EN27
dampak lingungan produk dan jasa
Produk dan Jasa Persentase produk yang terjual dan
EN28 kemasannya yang direklamasi
menurut kategori
Nilai moneter denda signifikan dan
jumlah total sanksi non-moneter
Kepatuhan EN29 atas ketidakpatuhan terhadap
undang-undang dan peraturan
lingkungan
Dampak lingkungan signifikan dari
pengangkutan produk dan barang
Transportasi EN30 lain serta bahan untuk operasional
organisasi, dan pengangkutan
tenaga kerja
Total pengeluaran dan investasi
Lain-lain EN31 perlindungan lingkungan
berdasarkan jenis

21
Persentase penapisan pemasok baru
EN32
menggunakan kriteria lingkungan
Asesmen Pemasok Atas Dampak lingkungan negatif
Lingkungan signifikan aktual dan potensial
EN33
dalam rantai pasokan dan tindakan
yang diambil
Jumlah pengaduan tentang dampak
Mekanisme Pengaduan Masalah lingkungan yang diajukan,
EN34
Lingkungan ditangani, dan diselesaikan melalui
mekanisme pengaduan resmi
KATEGORI SOSIAL
SUB-KATEGORI: PRAKTEK KETENAGAKERJAAN DAN
KENYAMANAN BEKERJA
Jumlah total dan tingkat perekrutan
karyawan baru dan turnover
LA1
karyawan menurut kelompok umur,
gender, dan wilayah
Tunjangan yang diberikan bagi
karyawan purnawaktu yang tidak
Kepegawaian
LA2 diberikan bagi karyawan sementara
atau paruh waktu, berdasarkan
lokasi operasi yang signifikan
Tingkat kembali bekerja dan tingkat
LA3 retensi setelah cuti melahirkan,
menurut gender
Jangka waktu minimum
pemberitahuan mengenai perubahan
Hubungan Internal LA4 operasional, termasuk apakah hal
tersebut tercantum dalam perjanjian
bersama
Persentase total tenaga kerja yang
diwakili dalam komite bersama
formal manajemen-pekerja yang
LA5
membantu mengawasi dan
memberikan saran program
kesehatan dan keselamatan kerja
Jenis dan tingkat cedera, penyakit
akibat kerja, hari hilang, dan
Kesehatan dan Keselamatan LA6 kemangkiran, serta jumlah total
Kerja kematian akibat kerja, menurut
daerah dan gender
Pekerja yang sering terkena atau
berisiko tinggi terkena penyakit
LA7
yang terkait dengan pekerjaan
mereka
Topik kesehatan dan keselamatan
LA8 yang tercakup dalam perjanjian
formal dengan serikat pekerja

22
Jam pelatihan rata-rata per tahun per
LA9 karyawan menurut gender, dan
menurut kategori karyawan
Program untuk manajemen
keterampilan dan pembelajaran
seumur hidup yang mendukung
LA10
keberkelanjutan kerja karyawan dan
Pelatihan dan Pendidikan
membantu mereka mengelola purna
bakti
Persentase karyawan yang
menerima reviuw kinerja dan
LA11 pengembangan karier secara
reguler, menurut gender dan
kategori karyawan
Komposisi badan tata kelola dan
pembagian karyawan per kategori
Keberagaman dan Kesetaraan karyawan menurut gender,
LA12
Peluang kelompok usia, keanggotaan
kelompok minoritas, dan indikator
keberagaman lainnya
Rasio gaji pokok dan remunerasi
bagi perempuan terhadap laki-laki
Kesetaraan Remunerasi
LA13 menurut kategori karyawan,
Perempuan dan Laki-laki
berdasarkanlokasi operasional yang
signifikan
Persentase penapisan pemasok baru
LA14 menggunakan kriteria praktik
ketenagakerjaan
Dampak negatif aktual dan potensial
yang signifikan terhadap praktik
Asesmen Pemasok Terkait LA15
ketenagakerjaandalam rantai
Praktik Ketenagakerjaan
pasokan dan tindakan yang diambil
Jumlah pengaduan tentang praktik
ketenagakerjaan yang diajukan,
LA16
ditangani, dan diselesaikan melalui
mekanisme pengaduan resmi
SUB-KATEGORI: HAK ASASI MANUSIA
Jumlah total dan persentase
perjanjian dan kontrak investasi
yang signifikan yang menyertakan
HR1
klausul terkait hak asasi manusia
atau penapisan berdasarkan hak
Investasi
asasi manusia
Jumlah waktu pelatihan karyawan
tentang kebijakan atau prosedur
HR2
hak asasi manusia terkait dengan
Aspek hak asasi manusia yang

23
relevan dengan operasi, termasuk
persentase karyawan yang dilatih
Jumlah total insiden diskriminasi
Non-Diskriminasi HR3
dan tindakan korektif yang diambil
Operasi pemasok teridentifikasi
yang mungkin melanggar atau
berisiko tinggi melanggar hak untuk
Kebebasan Berserikat dan melaksanakan kebebasan berserikat
HR4
Perjanjian Kerja Bersama dan perjanjian kerja bersama, dan
tindakan yang
diambil untuk mendukung hak-hak
tersebut
Operasi dan pemasok yang
diidentifikasi berisiko tinggi
melakukan eksploitasi pekerja anak
Pekerja Anak HR5
dan tindakan yang diambil untuk
berkontribusi dalam penghapusan
pekerja anak yang efektif
Operasi dan pemasok yang
diidentifikasi berisiko tinggi
melakukan pekerja paksa atau wajib
Pekerja Paksa atau Wajib Kerja HR6 kerja dan tindakan untuk
berkontribusi dalam penghapusan
segala bentuk pekerja paksa atau
wajib kerja
Persentase petugas pengamanan
yang dilatih dalam kebijakan atau
Praktik Pengaman HR7 prosedur hak asasi manusia di
organisasi yang relevan dengan
operasi
Jumlah total insiden pelanggaran
yang melibatkan hak-hak
Hak Adat HR8
masyarakat adat dan tindakan yang
diambil
Jumlah total dan persentase operasi
Asesmen HR9 yang telah melakukan reviu atau
asesmen dampak hak asasi manusia
Persentase penapisan pemasok baru
HR10 menggunakan kriteria hak asasi
manusia
Asesmen Pemasok Atas Hak
Dampak negatif aktual dan potensial
Asasi Manusia
yang signifikan terhadap hak asasi
HR11
manusia dalam rantai pasokan dan
tindakan yang diambil
Jumlah pengaduan tentang dampak
Mekanisme Pengaduan Masalah
HR12 terhadap hak asasi manusia yang
Hak Asasi Manusia
diajukan, ditangani, dan

24
diselesaikan melalui mekanisme
pengaduan formal
SUB-KATEGORI: MASYARAKAT
Persentase operasi dengan pelibatan
masyarakat lokal, asesmen dampak,
SO1
dan program pengembangan yang
Masyarakat Lokal diterapkan
Operasi dengan dampak negatif
SO2 aktual dan potensial yang signifikan
terhadap masyarakat lokal
Jumlah total dan persentase operasi
yang dinilai terhadap risiko terkait
SO3
dengan korupsi dan risiko signifikan
yang teridentifikasi
Anti Korupsi
Komunikasi dan pelatihan mengenai
SO4
kebijakan dan prosedur anti-korupsi
Insiden korupsi yang terbukti dan
SO5
tindakan yang diambil
Nilai total kontribusi politik
Kebijakan Publik SO6 berdasarkan negara dan
penerima/penerima manfaat
Jumlah total tindakan hukum terkait
Anti Persaingan SO7 Anti Persaingan, anti-trust, serta
praktik monopoli dan hasilnya
Nilai moneter denda yang signifikan
dan jumlah total sanksi non-moneter
Kepatuhan SO8
atas ketidakpatuhan terhadap
undang-undang dan peraturan
Persentase penapisan pemasok baru
SO9 menggunakan kriteria untuk
dampak terhadap masyarakat
Asesmen Pemasok Atas Dampak
Dampak negatif aktual dan potensial
Terhadap Masyarakat
yang signifikan terhadap
SO10
masyarakat dalam rantai pasokan
dan tindakan yang diambil
Jumlah pengaduan tentang dampak
Mekanisme Pengaduan Dampak terhadap masyarakat yang diajukan,
SO11
Terhadap Masyakat ditangani, dan diselesaikan melalui
mekanisme pengaduan resmi
SUB-KATEGORI: TANGGUNGJAWAB ATAS PRODUK
Persentase kategori produk dan jasa
yang signifikan dampaknya
PR1
terhadap kesehatan dan keselamatan
Kesehatan Keselamatan yang dinilai untuk peningkatan
Pelanggan Total jumlah insiden ketidakpatuhan
terhadap peraturan dan koda
PR2
sukarela terkait dampak kesehatan
dan keselamatan dari produk dan

25
jasa sepanjang daur hidup, menurut
jenis hasil
Jenis informasi produk dan jasa
yang diharuskan oleh prosedur
organisasi terkait dengan informasi
PR3 dan pelabelan produk dan jasa, serta
persentase kategori produk dan jasa
yang signifikan harus mengikuti
persyaratan informasi sejenis
Pelabelan Produk dan Jasa
Jumlah total Insiden ketidakpatuhan
terhadap peraturan dan koda
PR4 sukarela terkait dengan informasi
dan pelabelan produk dan jasa,
menurut jenis hasil
Hasil survei untuk mengukur
PR5
kepuasan pelanggan
Penjualan produk yang dilarang atau
PR6
disengketakan
Jumlah total insiden ketidakpatuhan
terhadap peraturan dan koda
Komunikasi Pemasaran
sukarela tentang komunikasi
PR7
pemasaran, termasuk iklan,
promosi, dan sponsor, menurut jenis
hasil
Jumlah total keluhan yang terbukti
terkait dengan pelanggaran privasi
Privasi Pelanggan PR8
pelanggan dan hilangnya data
pelanggan
Nilai moneter denda yang signifikan
atas ketidakpatuhan terhadap
Kepatuhan PR9 undang-undang dan peraturan
terkait penyediaan dan penggunaan
produk dan jasa

26
BAB III
KONTROVERSI DAN GAP

Secara teoritis peraturan perundang-undangan di Indonesia menyebutkan


dengan jelas bahwa perusahaan harus melakukan pengendalian terhadap seluruh
kegiatan produksi mereka dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Hukum tertulis telah mengatur demikian akan tetapi pada praktik dilapangan
banyak ditemukan perusahaan yang tidak menjalankan hukum tertulis tersebut.
Tanggungjawab terhadap lingkungan seringkali dilakukan oleh pihak perusahaan
dengan keterpaksaan karena adanya tuntutan berlandaskan hukum atau dengan kata
lain tanggungjawab lingkungan hanya dijalankan sebagai kegiatan formalitas biasa
bagi perusahaan.
Sebagai contoh nyata yang dapat di angkat kepermukaan kasusnya adalah
kegiatan pembakaran lahan gambut untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa
sawit yang dilakukan oleh perusahaan di Provinsi Riau pada tahun 2014 yang
mengakibatkan Indonesia darurat bencana kabut Asap. Kebakaran hutan dan lahan
di Indonesia pada tahun 2014 merupakan salah satu yang terparah sepanjang sejarah.
Namun, hanya dalam hitungan bulan, kebakaran kembali melanda dan status
darurat telah diberlakukan di satu provinsi. Antara bulan Juni hingga Oktober 2015,
lebih dari 100.000 kebakaran melahap jutaan hektare hutan di Indonesia. Korban
meninggal dunia, baik manusia maupun hewan, telah berjatuhan. Dampak
ekonominya pun diperkirakan mencapai lebih dari US$15 miliar atau setara Rp196
triliun. (Porter, 2016)
Lebih dari 20 tahun, kebakaran hutan dan lahan seperti menjadi acara
tahunan bagi para petani dan perusahaan yang ingin membuka hutan dan lahan
gambut demi bubur kayu, minyak sawit, karet, atau peternakan skala kecil. Namun,
perlahan tapi pasti, pembakaran ini semakin parah. Pada tahun 2015, sebagian
Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara diselimuti asap beracun selama
berminggu-minggu. Sebanyak setengah juta orang dirawat di rumah sakit akibat
asap kala itu. Diperkirakan pula bahwa selama lima bulan tersebut, sekitar 1,7
miliar ton karbon atau setara dengan yang diproduksi Brasil selama setahun
dilepaskan ke atmosfer. Indonesia berjanji akan berupaya lebih keras untuk
mencegah kebakaran terulang pada 2016. Nyatanya, kebakaran terulang. Di

27
Provinsi Riau, status darurat diberlakukan lantaran kebakaran terjadi di sejumlah
kabupaten.
Pemerintah Indonesia memiliki mayoritas hutan. Untuk memanfaatkannya,
hak konsesi pun diberikan kepada beberapa perusahaan besar dan petani skala kecil.
Pada era 1980-an, membakar hutan untuk membuka lahan pertanian diperbolehkan
pemerintah dan kini Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat
deforestasi tertinggi dunia. Akan tetapi, selama dua dekade terakhir, pembakaran
untuk membuka lahan diatur undang-undang. Hanya pembakaran di bawah dua
hektare lahan yang diperbolehkan. Hal ini membuka celah bagi perusahaan-
perusahaan besar. Mereka diduga membayar petani-petani kecil untuk
memanfaatkan lahan konsesi kadang-kadang hanya dengan upah rokok dan baju
dan meminta petani-petani itu membuka lahan tersebut.
Membawa perusahaan-perusahaan dan para petani kecil yang diduga
bertanggung jawab atas aksi pembakaran hutan dan lahan ke meja hijau merupakan
tantangan berat. Industri kehutanan pun sering disebut-sebut sarat dengan korupsi.
Presiden Joko Widodo mengatakan dia telah melakukan sejumlah aksi untuk
menangani kebakaran hutan dan lahan, termasuk mengerahkan lebih dari 10.000
polisi dan tentara serta pesawat pengebom air. Presiden Jokowi juga berjanji akan
melarang izin usaha di lahan gambut dan akan mengembalikan fungsi lahan-lahan
gambut itu. Menurutnya, diperlukan tiga tahun sebelum dunia bisa melihat
perkembangan signifikan yang dilakukan pemerintahannya untuk menangani
kebakaran hutan.
Pada Desember 2015, Indonesia mengumumkan lebih dari 50 perusahaan
akan dihukum atas peran mereka dalam kebakaran hutan. Penyelidikan lebih lanjut
pun dilakukan saat itu. Namun, beberapa pekan kemudian, Pengadilan Negeri
Palembang menolak gugatan perdata senilai Rp7,9 triliun dalam kasus kebakaran
hutan dan lahan di konsesi PT Bumi Mekar Hijau seluas 20 ribu hektar pada 2014.
Majelis hakim menyatakan tak melihat ada dampak kebakaran hutan pada rusaknya
ekosistem, bahkan mengutip ahli yang mengatakan tak terjadi kerusakan karena
lahan tetap bisa ditanami oleh akasia.
Atas putusan itu, pemerintah menyatakan banding. Pemerintah Indonesia
pun masih menyelidiki perusahaan-perusahaan yang diduga terlibat pembakaran

28
hutan. Sejalan dengan upaya penyelidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mendesak segenap instansi pemerintah daerah untuk membantu pencegahan dan
melaporkan tindakan ilegal kepada aparat. Tantangan terbesar adalah tiada pihak
yang sudi memikul tanggung jawab untuk masalah yang sudah berlangsung
berpuluh tahun. Tata kelola dan manajemen kehutanan yang buruk, berdasarkan
kajian telah berlangsung 12 tahun terakhir. Namun, semua orang mengatakan itu
adalah kesalahan menteri sebelumnya atau gubernur sebelumnya. Ada banyak
pemangku kepentingan, pemerintah daerah, pejabat publik, dan penerima hak
konsesi. Mereka mestinya bekerja sama dengan penyidik hukum dan memecahkan
permasalahannya saat ini. Sektor swasta, khususnya, harus bertanggung jawab.
Banyak dari perusahaan-perusahaan itu berbasis di Singapura dan Malaysia, bukan
hanya perusahaan Indonesia.

29
BAB IV
PEMBAHASAN DAN OPINI

Putusan PN Palembang yang menolak gugatan Kementerian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan pada PT Bumi Mekar Hijau dalam kasus kebakaran hutan
dan lahan menjadi sorotan publik. Benarkah kerusakan lingkungan sulit dibuktikan
di pengadilan? Akhir Desember 2015 lalu, PN Palembang menolak gugatan perdata
senilai Rp7,9 triliun dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Bumi
Mekar Hijau seluas 20 ribu hektar pada 2014. Majelis hakim yang waktu itu
dipimpin oleh Parlas Nababan, SH menyatakan tak melihat ada dampak kebakaran
hutan pada rusaknya ekosistem, bahkan mengutip ahli yang mengatakan tak terjadi
kerusakan karena lahan tetap bisa ditanami oleh akasia. Pemerintah lewat
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, berdasarkan sampel
di lapangan yang kemudian diuji secara ilmiah, terjadi kerusakan lingkungan akibat
kebakaran hutan dengan hilangnya unsur hara, terjadinya perubahan fungsi lahan
dari ekosistem gambut menjadi lahan akasia, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Menurut saya terdapat titik lemah dari tuntutan yang diajukan oleh
Kementerian Hukum dan Lingkungan Hidup. Untuk tuntutan ke depan, saya
mendorong agar argumentasi yang dipakai adalah strict liability yang tidak lagi
mempersoalkan ada atau tidak kesalahan. Kesalahan itu dua, kesengajaan atau
kelalaian. Tapi kalau yang dipakai adalah strict liablity, maka hakim atau penggugat
tidak perlu membuktikan sengaja melakukan pembakaran atau lalai. Ketika terdapat
kejadian pembakaran di wilayah konsesi PT. Bumi Mekar Hijau, PT. BMH harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Hukum lingkungan itu seharusnya yang
didorong.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jasmin Ragil Utomo mengatakan,
dengan cara penuntutan dan pembuktian yang kurang lebih sama, pemerintah
sukses menuntut perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam yang terbukti
membakar hutan gambut Rawa Tripa Aceh dalam sidang sejak 2012 sampai ke
tingkat kasasi di 2015. Namun, mereka kini siap mengajukan banding terhadap
gugatan perdata terhadap PT Bumi Mekar Hijau. Selain itu, masifnya kebakaran
hutan dan lahan serta kabut asap pada 2015 membuat KLHK akan mengajukan 10

30
tuntutan baru terhadap perusahaan yang juga diduga melakukan pembakaran hutan.
Dan, Kementerian mengambil langkah agar putusan PN Palembang itu tak terulang.
Jadi, tetap menerapkan strict liability, sehingga masalah pembuktian tidak perlu
diperdebatkan. Karena kalau strict liablity itu otomatis akan menjadi
tanggungjawab pelaku. Dan itu kita dalami dengan praktisi, akademisi, agar jangan
sampai nanti pemahaman hakim terhadap kasus menjadi lain.
Satu hal kunci, persoalan hukum di pengadilan adalah pembuktian di
persidangan. Seberapa kuat fakta-fakta yang dimunculkan, dan sejauh mana
kemampuan para pengacara dan penuntut hukum untuk bertarung, inilah yang
menjadi dasar keputusan hakim. Ini idealnya bila di luar ini semua ada faktor X,
tetap sulit untuk dijadikan alasan hukum, kecuali memang ada pembuktian akan hal
tersebut. Berkaca dari kasus tersebut, penulis coba memberikan catatan penting dari
sisi penggugat serta logika hakim yang digunakan ketika mengambil keputusan
penting itu. Tentunya, pandangan ini dibingkai dari kacamata masyarakat yang
selama ini menderita akibat kabut asap serta KLHK yang mewakili aspirasi jutaan
masyarakat.
Pertama, materi gugatan. Inilah titik awalnya. Pertanyaan penting dari
materi ini adalah seberapa kuat argumen hukum yang diberikan? Ini pondasi kokoh
untuk menunjukkan kekuatan dan keseriusan KLHK dalam mengajukan tuntutan
hukum. Kelemahan pada wilayah ini akan dijadikan amunisi bagi tim kuasa hukum
PT. BMH. Pada materi gugatan, kelemahan tersebut jelas terlihat, terutama soal
kriteria atau fakta terjadinya kebakaran lahan. Bagian ini memang harus dirinci
detail mengenai areal yang terbakar, luasannya, sumber api, efek yang ditimbulkan,
serta kemana sebaran kebakaran tersebut. Begitu pula dengan klaim terjadinya
kerusakan lahan akibat pembiaran yang mencapai 20.000 hektar di PT. BMH. Tentu
saja diperlukan pemaparan yang jelas, lengkap, dan lokasi kejadian. Bila membaca
materi gugatan yang diajukan KLHK, rincian tersebut belum terlihat jelas sehingga
masih bisa diperdebatkan.
Bila melihat salinan putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, harus diakui,
banyak gugatan yang diajukan KLHK terbantahkan oleh tergugat, yang kemudian
dijadikan dasar majelis hakim untuk membuat keputusan. Artinya, kita harus

31
menggunakan energi yang besar, kualitas gugatan yang kuat, dan tim yang solid,
ketika melakukan gugatan persoalan lingkungan hidup.
Kedua, masalah lingkungan hidup, terlebih kebakaran lahan dan kabut asap
adalah persoalan yang menerpa semua orang, terutama di Sumatera Selatan. Pada
2014 dan 2015, bahkan beberapa tahun sebelumnya, masyarakat sudah menderita
akibat kebakaran dan kabut asap. Karena itu, dukungan masyarakat terhadap semua
kasus pelanggaran lingkungan hidup harus disertakan. Apalagi, bila persoalannya
bersinggungan dengan perusahaan besar bermodal kuat, partisipasi masyarakat
harus ditingkatkan. Berkaca pada kasus PT. BMH ini, keterlibatan masyarakat dan
organisasi masyarakat sipil, khususnya di Sumatera Selatan, bisa dikatakan minim.
Ini harus diperhitungkan kembali, karena masukan dan saran yang diberikan
berbagai pihak pastinya akan memperkuat posisi maupun psikologis penggugat.
Penggalangan opini publik, minimal dukungan moril dengan dasar keadilan dan
kemaslahatan bersama terhadap kelestarian lingkungan hidup, harus dilakukan.
Persoalan siapa yang menang atau kalah, tentunya hukum yang akan menjawab.
Ketiga, bagi masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel) dan masyarakat lain
yang pernah terpapar kabut asap, pedihnya asap dan terganggunya kesehatan, jelas
merupakan persoalan kesehatan krusial. Andai ditanya ke warga Sumsel, apakah
membakar lahan yang menyebabkan kabut asap merupakan perbuatan merusak
lingkungan, saya yakin jawabannya pasti merusak. Hal ini pun tercantum dalam
UU No. 32/2009 pada ketentuan umumnya, yang berbunyi kerusakan lingkungan
hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup. Data yang disajikan oleh kepekatan partikel yang terpasang di
jalan menunjukan angka 2.900 ppm dengan angka tersebut jauh di atas ambang
batas normal kurang dari 350ppm.
Ada pertautan antara kebenaran logika publik dengan kebenaran yang diatur
dalam undang-undang tersebut yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena itu,
menjadi aneh ketika logika hakim dalam putusannya mengatakan bahwa kebakaran
lahan yang terjadi itu tidak mengindikasikan bahwa tanah telah rusak. Lahan masih
berfungsi baik sesuai peruntukannya sebagai hutan tanaman industri. Di atas bekas
lahan yang terbakar tersebut tanaman akasia dapat tumbuh kembali secara baik (hal

32
114 pada Putusan No. 24 Pdt G/2015/PN.Plg). Masalahnya disini adalah, dalam
materi gugatan dan tuntutan KLHK tidak disebutkan dampak yang ditimbulkan dari
kabut asap tersebut yang dimunculkan justru soal kerusakan lahan. Tampaknya,
dari sini lah logika hakim itu muncul.
Mungkin, memang betul PT. BMH tidak terbukti melakukan pembakaran
hutan dan lahan (dalam versi hakim). Namun, jika logika tersebut terus digunakan,
pastinya akan memberikan preseden buruk bagi penegakan kasus lingkungan hidup
di masa depan. Patut diperhatikan, ada konsep penting soal lingkungan hidup yang
membuatnya berbeda dengan kasus lain yaitu sustainability. Pada UU 32/2009
dituliskan asas pelestarian dan keberlanjutan. Makna keberlanjutan di sini adalah
bumi ini bukan hanya milik manusia hari ini, tapi warisan untuk generasi
mendatang. Karena itu, logika yang digunakan dalam melihat masalah lingkungan
hidup harusnya logika berkelanjutan. Bukan logika sempit dan jangka pendek.
Keempat, kasus lingkungan hidup tidak bisa dilihat parsial. Lingkungan
hidup merupakan ekosistem yang terdiri berbagai unsur di dalamnya, saling terkait.
Ada unsur alam secara fisik, flora dan fauna, juga manusia. Semua adalah kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan. Orang tua kita sejak dulu sudah berkata, “tidak ada asap
kalau tidak ada api.” Artinya, semua hal saling berhubungan. Kebakaran lahan
memang terhubung langsung ke tanah, tapi juga berdampak langsung pada udara,
cuaca, hutan, hewan, dan manusia. Dalam perspektif komunikasi lingkungan, ini
dinamakan kesatuan hidup semua unsur lingkungan alam. Rusaknya salah satu
unsur, mempengaruhi banyak unsur, bukan hanya satu.
Kelima, kita berharap keputusan pengadilan yang membebaskan PT. BMH
dari tuntutan, tidak memperparah kerusakan lahan dan kebakaran hutan di Sumatera
Selatan dan daerah lain. Saat ini, kita menunggu proses banding yang diajukan
KLHK. Kita berharap, semua kelemahan pada tuntutan sebelumnya segera
diperbaiki, dan unsur masyarakat ikut dilibatkan. Sehingga, KLHK tidak berjalan
sendiri. Minimal ada yang menemani, sembari mengawasi.
CSR yang sesuai suistainability report dilakukan oleh PT Pertamina Persero
adalah “Pertamina Sobat Bumi” yang diresmikan oleh Direktur Utama di Kamojang,
1 Desember 2011. Makna dari tema tersebut adalah dalam menjalankan proses
produksinya Pertamina senantiasa mengembangkan produk dan jasa yang peduli

33
terhadap kelestarian lingkungan khususnya bumi tempat kelangsungan makhluk
hidup di atasnya untuk kepentingan generasi yang akan datang. Kepedulian
Pertamina terhadap isu lingkungan dapat disebarluaskan kepada masyarakat di
sekitar wilayah operasi dalam upaya untuk menumbuhkembangkan gaya hidup
hijau (green life) melalui program-program pelibatan dan pengembangan
masyarakat yang mendukung pembangunan berkelanjutan (Pertamina, ()).
Kegiatan yang dilakukan PT Pertamina Persero yang merupakan program
Pertamina Sobat Bumi bermacam – macam dan semuanya dimulai pada tahun 2009
(Pertamina, ()). Adapun kegiatan tersebut sebagai berikut:
1. Green Planet: menanam 100.000 pohon di Jakarta, di lahan kritis, wilayah
perkotaan, dan wilayah sekitar operasional Pertamina.
2. Costal Clean Up: kegiatan bersih-bersih pantai, distribusi tempat sampah,
edukasi pelestarian lingkungan dan penanaman pohon. Tahun 2009,
Program Costal Clean Up dilaksanakan di Balikpapan, Balongan dan
Cilacap.
3. Green and Clean: melaksanakan rehabilitasi taman kota di Bandung dan
pembagian 21 unit sepeda motor sampah di Kota Medan.
4. Green Festival: program ini bertujuan mengedukasi dan mengajak
masyarakat untuk menyelamatkan bumi dari dampak pemanasan global.
Dalam Green Festival 2009, terdapat lima green area, yaitu area listrik,
sampah, kendaraan, air dan pohon. Di green area, pengunjung diperlihatkan
apa saja yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan bumi dari dampak
pemanasan global. Mulai dengan menghemat dan mengelola air sebagai
sumber kehidupan, mengelola sampah dengan 5R (reused, reduce, recycle,
rethink, replace), mengerti makna pohon dan fungsinya bagi kehidupan
manusia, sampai bagaimana cara meminimalisasi polusi dengan
menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan. Pada Green Festival
2009 juga diadakan green competition, yaitu lomba yang mengasah
pengetahuan seputar pemanasan global dan lingkungan secara umum yang
diikuti oleh ratusan sekolah di Jakarta.

34
5. Biopori: memberikan 12.300 unit Bor Biopori, di Jakarta, Jawa Tengah,
DIY, dan Tangerang yang berguna untuk membantu percepatan resapan air
dan penginvestasian air di dalam tanah.
6. Uji Emisi Gas Buang: melaksanakan uji emisi gas buang kepada kendaraan
yang berada di lingkungan kantor pusat Pertamina. Uji Emisi selama 3 hari
menjangkau sedikitnya 700 kendaraan Perusahaan dan Pekerja Pertamina
berbahan bakar bensin dan solar yang sehari-hari beroperasi di lingkungan
Kantor Pusat Pertamina.
7. Pertamina Green Act: merupakan sebuah kompetisi seni dan kreativitas bagi
siswa SMA dan guru dengan gaya hidup hijau sebagai tema utama. Program
ini bertujuan untuk menjadikan sekolah-sekolah terbaik untuk menjadi
pelopor gerakan peduli lingkungan. Rangkaian kegiatan yang dilakukan
dalam program Green Act diantaranya adalah sosialisasi program, pelatihan,
dan kompetisi 3R (reduce, reuse, recycle).
8. Kerajinan Eceng Gondok: program ini ditujukan untuk mengurangi polutan
air melalui budi daya tanaman eceng gondok. Program ini dilakukan di
dekat daerah operasional Pertamina di Plaju, Palembang Sumatra.
9. Rehabilitasi Hutan Mangroove: kegiatan yang dilaksanakan tidak hanya
berupa penanaman 147.000 tanaman mangrove, tetapi juga pemberdayaan
masyarakat lokal mengenai manfaat tanaman mangrove dalam kehidupan.
Tindakan yang dilakukan oleh PT Pertamina adalah tindakan yang
tepat karena menurut saya PT Pertamina melakukan tugas tanggungjawab
lingkungan atas dasar kepedulian terhadap lingkungan serta ikut berperan
aktif mengedukasi masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang bertema
lingkungan sehingga secara tidaklangsung menanamkan dalam diri
masyarakat betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan turut
aktif menjaga lingkungan sekitar. PT Pertamina menjadi penggerak dan
menjadi acuan bagi perusahaan lainnya untuk mulai ikut serta melakukan
kegiatan-kegiatan yang bisa mencegah bumi mengalami kerusakan akibat
sumber dayanya yang dikeruk sedemikian rupa oleh manusia sehingga
kerusakan pada bumi tidak dapat terhindarkan, secara langsung dapat
dirasakan dampaknya oleh manusia

35
Berbeda dengan PT. Bumi Mekar Hijau yang sama sekali
berkebalikan dengan apa yang dilakukan PT Pertamina. PT BMH telah
merusak lingkungan dengan melakukan pembakaran lahan yang
mengakibatkan kerusakan yang sangat parah tanpa ada jeratan hukum
menimpa perusahaan tersebut. Untuk pihak perusahaan yang ada di
Indonesia khsusnya yang bergerak dibidang pertanian hendaknya
mengedepankan prinsip No Deorestatio, No Peal, and No Exploitation.

36
BAB V
PENUTUP

Berdasarkan teori yang telah disajikan dan contoh nyata yang ada di
masyarakat, Prinsip yang memang harus dipegang oleh perusahaan adalah prinsip
give and give bukan give and take. Ketika prinsip give and give ini dilakukan, maka
keselarasan antara perusahaan masyarakat dan lingkungan akan terjalin dengan baik.
Sumberdaya yang terdapat dilingkungan baik sumberdaya yang dapat diperbaharui
maupun tidak akan selalu tersedia bilamana digunakan dengan bijaksana dan bukan
dengan keserakahan.
Manajemen lingkungan merupakan program yang harus dijalankan oleh
sebuah perusahaan atau setiap pemilik usaha dalam bidang apapun sebagai upaya
penjaminannya, agar usaha yang dijalankan tidak menimbulkan potensi merusak
bagi lingkungan dan melakukan sistem operasional dengan standar ramah
lingkungan. Sistem manajemen lingkungan yang dibuat sebuah perusahaan harus
berdasarkan standar resmi internasional. Sistem ini wajib dipatuhi oleh semua
perusahaan atau bidang usaha diseluruh dunia, dan bagi mereka yang melanggar
peraturan tersebut akan mendapatkan sanksi dari pihak yang berwajib.
Perusahaan yang menjalankan sistem manajemen lingkungan yang baik,
akan berdampak lebih baik sebuah perusahaan dalam meningkatkan berkembangan
mutunya, dan berpotensi membina hubungan yang baik dan harmonis dengan
masyarakat sekitarnya. Hal-hal yang paling jelas tampak dalam penerapan sistem
manajemen lingkungan, ialah:

1. Potensi berkurangnya kecelakaan kerja, baik bagi pegawai perusahan dan


pihak-pihak lain di dalam perusahaan, maupun bagi masyarakat yang
tinggal di sekitar wilayah usaha tersebut.
2. Penerapan sistem kerja berbasis lingkungan akan berdampak baik, seperti
menunjukkan penghematan pada biaya listrik atau air, dan sumber-sumber
energy untuk beroperasi sebuah perusahaan.

37
DAFTAR PUSTAKA

Boer, G., Curtin, M., & Hoyt, L. (1998). Environmental Cost Management.
Management Accounting, 80 (3), 28 – 38.
Elkington, J. (1997). Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century
Business. Capston. Oxford.
Frynas, J G. 2009. Beyond Corporate Social Responsibility Oil Multinasionals and
Social Challenges. Cambridge: Cambridge University. Press
Hansen, D. R., Mowen, M. M., & Guan, L. (2009). Cost Management: Accounting
& Control (6th ed.). Mason: Southwestern Cengage Learning.
Mutiara, P., Syahrin, P., Suhaidi., & Siregar, M. (2014). Analisis Hukum Terhadap
Kewajiban Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) Dalam
Kaitannya Dengan Pertumbuhan Investasi Di Indonesia (Studi Pada PT Rea
Kaltim Plantation – Jakarta). USU Law Journal. Vol 2 No 2. hlm: 43-61.
Nugroho, A.K. (2013). Pengaruh Karakteristik Perusahaan, Struktur Kepemilikan,
Dan Good Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Triple Bottom
Line Di Indonesia. Skripsi. Program Studi Akuntansi, Jurusan Akuntansi,
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang.
Neviana. (2010). Triple Bottom Line: Lebih dari Sekadar Profit.
http://swa.co.id/2010/10/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit/ diakses
pada hari Minngu, 24 Maret 2018.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia. (Indonesian
Sustainable Palm Oil-ISPO)
Porter, M. E. & Kramer, M. R. (2006). Strategy and Society: The Link between
Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility. Harvard
Business Review. Vol 84 No 12. hlm: 78–92.
Porter, S. (2016). Dapatkah Kebakaran Hutan di Indonesia Diakhiri?.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160314_indonesia
_kebakaran_hutan_2016 diakses pada hari Minggu, 03 Juni 2018.
Solihin, I. (2008). Corporate Social Responsibility from Charity to Suistanability.
Salemba Empat: Jakarta.
World Bank Commitment Sustainable Development (WBCSD). (199).Corporate
Social Responsibility: Making Good Business Sense. Diunduh dari
http://www.wbcsd.org/DocRoot/IunSPdIKvmYH5HjbN4XC/csr2000.pdf.
Zanny, S. A. & Kartawijaya, I. (2013). Analisis Pengungkapan Triple Bottom Line
dan Faktor Yang Mempengaruhi; Lintas Negara Indonesia dan Jepang. Jurnal
Vokasi Indonesia. Vol 1 No 1. hlm:16-34.

Anda mungkin juga menyukai