Anda di halaman 1dari 7

7.

3 REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III (KOMPLEKS IMUN)

Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa dan dan di sana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear, terutama di hati,
limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umunya kompleks yang besar dapat dengan
mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit
untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa
gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit
dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama,
biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut
mengendap di jaringan. (Baratawidjaja, 2010)

1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah


Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten (malaria),
bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau
dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah
yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibody yang efektif. Makrofag yang
diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag
dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak
jaringan. (Baratawidjaja, 2010)
Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3
(dapat juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal
ginjalyang menimbulkan reaksi inflamasi local dan luas. Kompleks yang terjadi dapat
menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivasi sel mast produksi dan pelepasan mediator inflamasi dan bahan
kemotaktik serta influks neutrophil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat
menimbulkan kerusakan jaringan setempat. (Baratawidjaja, 2010)

2. Kompleks imun mengendap di jaringan


Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan
ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat,
antara lain karena histamin yang dilepas sel mast. (Baratawidjaja, 2010)

3. Bentuk reaksi
Reaksi Tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik.

a. Reaksi lokal atau Fenomen Arthus


Archus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci intradermal
berulang kali di tempat yang sama menemukan reaksi yang semakin
menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritem ringandan
edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan
harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edem yang lebih besar dan
suntikan yang ke 5 sampai 6 menimbulkan perdarahan nekrosis yang sulit
sembuh. Hal tersebut disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi
dari kompleks imun. (Baratawidjaja, 2010)
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel
vaskular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan.
Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan local dan vascular akibat
akumulasi cairan (edem) dan SDM (eritema) sampai nekrosis. Raksi Tipe
Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau
protein fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis atau
Farmer’s lung. (Baratawidjaja, 2010)
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem.
C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan
trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan stasis dan
obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah
kecil, sel mast, oto polos dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi
otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permebilitas vascular dan
respons tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks
imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai
bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi
perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat. (Baratawidjaja, 2010)
Dengan pemeriksaan imunofluoresen, antigen, antibodi dan berbagai
komponen komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada dinding
pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah granulosit menurun (pada
hewan, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bisa kobra), maka
keusakan khas dari Arthus tidak terjadi. Reaksi Arthus di dalam klinik dapat
berupa vaskulitis. (Baratawidjaja, 2010)

b. Reaksi Tipe III sistemik – serum sickness


Antigen dalam jumlah besar yang masuk ke dalam sirkulasi darah dapat
membentuk kompleks imun. Bila antigen jauh berlebihan disbanding antibody,
kompleks yang dibentuk lebih kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan
fagosit sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan Tipe III di berbagai
tempat. Dahulu reaksi tipe III sistemik demikian sering terlihat pada
pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau
antidifteri asal kuda. (Baratawidjaja, 2010)
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang
diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan
basophil melepas histamine. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6,
C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan polikationik.
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan
tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran aurs, misalnya dalam
kapiler gromerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus
silier mata. Pada LES, ginjal merupakan tempat tempat endapan kompleks
imun. Pada arthritis rheumatoid, sel plasma dalam sinoviummembentuk anti-
IgG (FR berupa IgM) dan membentuk kompleks imun di sendi. Beberapa
penyakit kompleks imun terlihat pada table 14.8. (Baratawidjaja, 2010)
Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mikrorombi dan melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel
mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
vascular dan inflamasi. (Baratawidjaja, 2010)
Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil yang
terkepung di jaringan akan sulit untuk menangkap dan makan kompleks, tetapi
akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih banyak
kerusakan jaringan. Marofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas
berbagai mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan.
Dalam beberapa hari sampai minggu setelah pemberian serum asing, mulai-
mulai terlihat manifestasi panas dan gatal, bengkak-bengkak, kemerahan, dan
rasa sakit di beberapa bagian tubuh, sendi dan KGB yang dapat berupa
vaskulitis sistemik (arteritis), glomerulonephritis, dan artritis. Reaksi itu
disebut reaksi Pirquet dan Schick. (Baratawidjaja, 2010)
Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (Tipe III) yang terjadi sesudah
pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis (sifilis, tripanoseomiasis dan
bruselosis). Bila mikroorganisme dihancurkan dalam jumlah antigen yang
cenderung bereaksi dengan antibody yang sudah ada dalam sirkulasi.
(Baratawidjaja, 2010)
Antigen dalam jumlah besar disuntikkan ke dalam kelinci pada hari 0.
Bila antibody yang diproduksi membentuk kompleks dengan antigen yang
diendapkan di ginjal, sendi dan kapiler. Gejala serum sickness (daerah biru
muda) berhubungan dengan puncak pembentukan kompleks imun . bila
kompleks imun dibersihkan, antibody bebas ditemukan dalam sirkulasi (garis
putus-putus) dan gejla serum sickness berkurang. Gejala serum sickness
berupa demam, lemah, vaskulitis sistemik (ruam) dengan edema dan eritema,
limfadenopati, artritis dan kadang glomerulonefritis. (Baratawidjaja, 2010)

7.4 REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV

Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin,
bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang
terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang
diinduksi oleh etilendiamine, neomisisn, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid
topikal. (Baratawidjaja, 2010)
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui
sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+. (Baratawidjaja,
2010)

Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV


Reaksi Tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi terhadap
bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga
peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. Ada beberapa fase pada respons Tipe IV yang
dimulai dengan fase sensitisasi yang membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan
antigen. Dalam fase itu, Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Reaksi khas DTH seperti
respons imun lainnya mempunyai 2 fase yang dapat dibedakan yaitu fase sensitisasi dan fase
efektor. (Baratawidjaja, 2010)
Berbagai APC seperti sel Langerhans (sel dendritik di kulit) dan makrofag yang
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional yang dipresentasikan ke
sel T. Sel T yang diaktifkan pada umumnya adalah sel CD4+ terutama Th1, tetapi pada
beberapa hal sel CD8+ dapat juga diaktifkan. Pajanan ulang dengan antigen menginduksi sel
efektor. Pada fase efektor, sel Th1 melepas berbagai sitokin yang mengerahkan dan
mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi non spesifik lain. Gejala biasanya baru muncul 24
jam sesudah kontak kedua dengan antigen. Makrofag merupakan efektor utama respons
DTH. Sitokin yang dilepas sel Th1 menginduksi monosit menempel ke endotel vaskular,
bermigrasi dari sirkulasi darah ke jaringan sekitar. (Baratawidjaja, 2010)
Influks makrofag yang diaktifkan berperan pada DTH terhadap parasit dan bakteri
intraselular yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi. Enzim litik yang dilepas makrofag
menimbulkan destruksi non spesifik patogen intraselular yang hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan. Pada beberapa hal, antigen tidak mudah dibersihkan sehingga respons
DTH memanjang dan dapat merusak jaringan pejamu dan menimbulkan reaksi granuloma.
Granuloma terbentuk bila makrofag terus menerus diaktifkan dan menempel satu dengan
lainnya yang kadang berfusi membentuk sel datia multinuklear yang disebut sel datia. Sel
datia tersebut mendorong jaringan normal dari tempatnya, membentuk nodul yang dapat
diraba dan melepas sejumlah besar enzim litik yang merusak jaringan sekitar. Pembuluh
darah yang dapat dirusak dan menimbulkan nekrosis jaringan (Baratawidjaja, 2010)
Respons terhadap M. tuberkulosis merupakan respons DTH yang bermata dua. Imunitas
terhadap M. tuberkulosis menimbulkan respons DTH yang mengaktifkan makrofag untuk
memasang batasan kuman dari paru, kuman diisolasi dalam lesi granuloma yang disebut
tuberkel. Enzim litik yang sering dilepas makrofag yang diaktifkan dalam tuberkel merusak
jaringan paru sehingga terjadi kerusakan jaringan yang lebih besar dibanding keuntungan
yang diperoleh dari DTH. Granuloma terbentuk pada tuberkulosis, lepra, skistosomiasis,
lesmaniasis, dan sarkoidosis. (Baratawidjaja, 2010)

Sitokin yang Berperan pada DTH


Di antara sitokin yang diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan mengaktifkan
makrofag ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF menginduksi hematopoiesis lokal dari sel
garis granulosit-monosit. IFN-γ dan TNF-β beserta sitokin asal makrofag (TNF-α dan IL-1)
memacu sel endotel untuk menginduksi sejumlah perubahan yang memudahkan ekstravasasi
sel seperti monosit dan sel nonspesifik lain. Neutrofil dan monosit dalam sirkulasi menempel
pada molekul adhesi sel endotel dan bergerak keluar dari vaskular menuju rongga jaringan.
Neutrofil nampak dini pada reaksi, memuncak pada 6 jam. Infiltrasi monosit terjadi antara
24-48 jam setelah pajanan dengan antigen. Monosit yang masuk jaringan menjadi makrofag
yang ditarik ke tempat DTH oleh kemokin seperti MCP-1/ CCL2. MIF mencegah makrofag
untuk bermigrasi keluar dari lokasi reaksi DTH. (Baratawidjaja, 2010)
IFN-γ dan TNF-β yang diproduksi sel CD4+ Th1 mengaktifkan makrofag lebih aktif
berperan sebagai sel efektor dan sebagai APC yang melepas IL-12. Yang akhirnya
menginduksi Th1 dan lebih efektif memproduksi IFN-γ yang menekan aktivitas sel Th2 dan
mengaktifkan makrofag yang menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan
disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif
intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. IL-18 adalah sitokin lain yang diproduksi
makrofag yang bersama IL-12 memacu Th1 untuk lebih banyak memproduksi IFN-γ.
Respons yang sifatnya menetap itu merupakan pisau bermata dua antara respons proteksi
yang menguntungkan dan respons yang merusak yang ditandai oleh kerusakan jaringan.
(Baratawidjaja, 2010)

Manifestasi Klinis Reaksi Tipe IV


a. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan
bahan tidak berbahaya, merupakan contoh reaksi DTH. Kontak dengan bahan seperti
formaldehid, nikel, terpentin dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut yang
menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1. (Baratawidjaja, 2010)
b. Hipersensitivitas Tuberkulin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk
filtrat biakan M. tuberkulosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas lambat Tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel limfosit
CD4+ T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivat protein yang
dimurnikan (PPD), daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-
24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit bengkak terjadi
pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T. (Baratawidjaja,
2010)
c. Reaksi Jones Mote
Reaksi Jones Mote adalah reaksi hipersensitivitasTipe IV terhadap antigen protein
yang berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok di kulit di bawah dermis. Reaksi
juga disebut hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding dengan hipersensitivitas Tipe IV
lainnya, reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan
protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat diinduksi dengan
suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan Freund. (Baratawidjaja, 2010)
d. T Cell Mediated Cytolysis (Penyakit CD8+)
Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/ CTL/ Tc
yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas
selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada
penyakit vitus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh
respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi. (Baratawidjaja, 2010)
Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologous dapat membunuh sel
dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme
selular, biasanya ditemukan baik sel CD8+ spesifik untuk self-antigen dan kedua jenis
sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan. (Baratawidjaja, 2010)

Anda mungkin juga menyukai