Pembimbing:
1
LEMBAR PENGESAHAN
TUTORIAL KLINIK
Oleh:
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
NOVEMBER, 2018
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan kasih
sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tutorial kasus
dengan judul “Dengue Shock Syndrome”. Tulisan ini disusun sebagai tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Penulis
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
1.2 Tujuan Penulisan
5
BAB 2
LAPORAN KASUS
6
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
7
Jenis partus : Spontan
2.2.9 Imunisasi
Status imunisasi (BCG, polio, campak, DPT, dan hepatitis B) lengkap.
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Lidah kotor (-), faring hiperemis (-), mukosa bibir kering,
pembesaran tonsil (-/-), gusi berdarah (-), mimisan (-)
Leher : Pembesaran KGB (-/-)
Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-),
stridor (-)
8
Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Sulit di evaluasi
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal, murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat, scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (+), organomegali (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal.
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, lembap (-/-), edema (-/-), CRT <2”
Ekstremitas inferior : Akral hangat, lembap (-/-), edema (-/-), CRT <2”
9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap
Hematologi 15/11 15/11 16/11 16/11 16/11 17/11 17/11 18/11 18/11 19/11 Nilai
(18:00) (23:00) (09:30) (14:00) (22:00) (06:00) (14:00) (08:00) (16:00) (06.00)
Leukosit 4.550 4.370 6.110 5.720 6.550 6.870 5.08 7.91 5.98 6.250 4.50-
14.50/uL
Eritrosit 1.53 5.91 5.50 3.58 5.26 5.41 5..17 5.49 5.36 5.42 4.00-
5.20/uL
Trombosit 25.000 23.000 20.000 19.000 25.000 41.000 83.000 131.000 128.000 165.000 150-450/uL
10
Pemeriksaan Imuno-serologi
Imuno-serologi 16/11/2018 Nilai Rujukan
Dengue Ig G (+) Positif Negatif
Dengue Ig M Negatif Negatif
2.6 Tatalaksana
11
Hasil Follow Up
12
A: DHF Grade III + Dispepsia - Inj. Ranitidin 2x13 mg
- Sucralfat 3x15 CC
- Cek DL/8 jam
- Bila KU stabil pindah
ruangan
19/11/2018 S: demam (-), nyeri perut berkurang, P :
mimisan (-), gusi berdarah (-), bab (-
- IVFD RL 3 cc/kgBB/
), nafsu makan minum membaik
jam
O: KU lemah, Nadi 79x/m, RR 22 - Psidii 3x1 cth
x/m, TD 110/70 mmHg, Suhu - Paracetamol 3x1 cth
36,8oC, SpO2 100%, akral hangat, - Inj. Ranitidin 2x13 mg
CRT <2 detik. - Sucralfat 3x15 CC
Hematokrit 43%
Trombosit 165.000
Hb 15.2 mg/dl
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
oleh virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak
berkaitan dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue
dengan Flavivirus lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan
memberikan imunitas seumur hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan
jenis serotipe lain. 2,3
2.3 Epidemiologi
14
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian
paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di
seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan
angka kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di
seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar
biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun
1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas
DBD cenderung menurun hingga 2% tahun 1999. 1,2,3,4,5
15
2.4 Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue.
Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di
tempat-tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air
laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk
Aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan
air sepanjang tahun. Satu gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu
untuk menimbulkan penyakit dengue pada orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan
mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien
akan mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda
nonspesifik. Selama masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus
Dengue dapat bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika nyamuk A. aegypti lain
menggigit pasien pada masa viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan
dapat mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik
selama 8-12 hari.
2.5 Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial.
Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. Halstead (1973)
menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien yang
mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena
16
antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik).
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a
dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular
menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. 1,2,3
17
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah..1,2
18
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan.2,3
19
1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag
dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
3.4 Diagnosis
Menurut WHO yang dikutip oleh IDAI 2012, kriteria diagnosis DBD
ditegakkan melalui 2 kriteria:
A. Kriteria Klinis
4) Dijumpai kasus DBD baik dilingkungan sekolah, rumah atau sekitar rumah
20
5) Pembesaran hati
B. Kriteria Laboratorium
Syok pada DBD di tandai dengan nadi lemah dan cepat disertai penurunan
tekanan nadi (=20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik =80 mmHg)
disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan
kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
21
Gambar 5. Patogenesis dan spektrum klinis DBD
WHO pada tahun 2009 membagi gejala klinis demam dengue menjadi 3 fase :
22
1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery.
A. Fase I – Fase Demam Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering
disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, mialgia,
atralgia, dan sakit kepala. Beberapa pasien dapat memiliki gejala sakit
tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva. Anorexia, mual, dan
muntah sering terjadi dan dapat sulit dibedakan dengan demam non-dengue
pada fase awal. Uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kepastian
dari dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan
membran mukosa (mis. hidung dan gusi) dapat terlihat. Hati dapat
membesar dan terasa sakit pada beberapa hari sewaktu demam. Penurunan
sel darah putih dapat memberikan tanda sebagai infeksi dengue.1 Tanda dan
gejala ini kurang dapat membedakan antara severe dan non severe dengue
sehingga perlu monitoring lebih untuk berhati - hati dalam menilai fase
perkembangan ke fase kritis.1
B. Fase II – Fase Kritis Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke
3 – 7 namun temperatur sedikit menurun yaitu 37.5 – 38oC atau lebih rendah
dan juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dengan level
hematokrit yang meningkat. Periode kebocoran plasma berlangsung selama
24 – 48 jam. Leukopenia parah diikuti dengan penurunan hitung trombosit
mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma. Pada pasien dengan tidak
diikuti peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik namun pasien yang
memiliki keadaan tersebut akan bertambah parah dengan kehilangan volume
plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari tingkat
keparahan kebocoran plasma tersebut. Maka foto thorax dan USG abdomen
dapt digunakan sebagai alat bantu diagnosa. Kadar hematokrit yang
melebihi batas normal dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat
keparahan kebocoran plasma. Syok dapat terjadi jika volume plasma
berkurang hingga titik kritis dan sering didahului oleh warning signs. Syok
yang berlangsung lama, menyebabkan hipoperfusi organ sehingga dapat
mengakibatkan gangguan organ, metabolik asidosis, dan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC).1
23
C. Fase III – Fase Penyembuhan/Recovery Pasien yang melewati fase kritis
akan memasuki fase recovery dimana terjadi reabsorpsi cairan extravaskular
dalam 48-72 jam, dimana keadaan umum akan membaik, nafsu makan
bertambah, gejala gastrointestinal berkurang, status hemodinamik stabil, dan
diuresis terjadi. Ruam, pruritis, bradikardia dapat terjadi pada fase ini.
Hematokrit dapat kembali stabil atau menurun akibat efek pengenceran dari
absorpsi cairan. Sel darah putih perlahan mengalami peningkatan setelah
suhu tubuh menurun diikuti dengan peningkatan trombosit. Respiratory
distress akibat efusi pleura masif dan ascites dapat terjadi akibat dari terapi
cairan IV yang berlebih sewaktu fase kritis ataupun fase recovery yang
dapat dikaitkan dengan edema paru atau gagal jantung kongestif.1
24
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal.
Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah
demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6.
Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan
adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD 3,4,9.
25
Pada pasien hasil pemeriksaan IgM dapat negatif. Pasien ini mengaku kalau
keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan, pasien, sementara pada infeksi
primer IgM baru akan positif saat hari kelima. Pada pasien ini NS1 positif
karena NS1 sebagai pemeriksaan untuk deteksi dini akan positif sejak hari
pertama.
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit
ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada
infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Pemeriksaan Kadar AST dan ALT juga diperlukan karena berhubungan
dengan derajat penyakit DBD. Pada anak dengan infeksi dengue semakin tinggi
kadar AST dan ALT serum, semakin berat derajat penyakit. Kadar AST lebih
tinggi dibandingkan kadar ALT serum dengan rasio 2-3:1. Pada beberapa kasus
dapat ditemukan leukopenia.
Pemeriksaan radiologi berupa pemeriksaan foto dada dalam posisi right
lateral decubitus dilakukan atas indikasi: 9
Distres pernafasan/ sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai
edema paru karena overload pemberian cairan.
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama
daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri,
kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding
vesika felea, dan dinding buli-buli.
3.8. Penatalaksanaan
26
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada pasien DSS diperlukan perawatan
intensif. Diagnosa dini terhadap tanda – tanda syok merupakan hal yang penting
untuk mengurangi kematian.4 Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejala
tidak sepesifik, sehingga patut diwaspadai gejala/tanda yang terlihat pada anak
yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD. Tanda/gejala
awal berupa demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus,
badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertama yang harus dilakukan adalah melihat
tanda syok yang merupakan tanda kegawatdaruratan seperti gelisah, nafas cepat,
bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab dan sebagainya. Jika ditemukan
kejang, muntah berulang, kesadaran menurun, hematemesis melena, sebaiknya
dilakukan rawat inap. Apabila tidak dijumpai tanda kegawatdaruratan, lakukan
pemeriksaan uji torniquet diikuti dengan pemeriksaan trombosit. Apabila uji
torniquet (-) atau uji torniquet (+) dengan jumlah trombosit >100.000/ul dapat
dilakukan rawat jalan dengan kontrol tiap hari hingga demam hilang dan
pemberian obat antipiretik berupa parasetamol. Apabila jumlah trombosit
<100.000/ul perlu dirawat untuk observasi. Pada pasien rawat jalan, di beri
nasehat kepada orang tua apabila terdapat tanda-tanda syok maka pasien harus di
bawa ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut.4,13.
Tata laksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas 3
fase. Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan
suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis
10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >380C. Pemberian aspirin dan ibuprofen
merupakan indikasi kontra. Kompres hangat kadang membantu apabila anak
merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian antipiretik tidak
mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek durasi demam 3,4,8.
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit,
larutan gula-garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan
tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila
cairan intravena perlu diberikan, maka pada fase ini biasanya kebutuhan sesuai
rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus diawasi dengan ketatsejak hari
27
sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat dibedakan antara DD dengan DBD.
Ruam makulopapular dan mialgia/arthralgia lebih banyak ditemukan pada pasien
DD. Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam dengue
akan masuk dalam fase penyembuhan, sedangkan pasien DBD memasuki fase
kritis 8,12.
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase
kritis. Kriteria rawat pasien DBD adalah:
28
hematokrit berkala untuk monitor hasil pengobatan sebagai gambaran derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena 4.
29
Rumah Sakit lain (4,8). Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya
kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak
mau makan dan minum melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan
kristaloid (ringer laktat dan ringer asetat). Selama fase kritis pasien harus
menerima cairan rumatan ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang.
Pada pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg, total cairan intravena setara
dewasa, yaitu 3000 ml/24 jam. Pada pasien obesitas, perhitungkan cairan
intravena berdasarkanberat badan idéal. Pada kasus non syok, untuk pasien
dengan berat badan (BB) <15 kg, pemberian cairan diawali dengan tetesan 6-7 ml/
kg/jam, antara 15-40 kg dengan 5 ml/kg/jam, dan pada anak dengan BB >40 kg,
cairan cukup diberikan dengan tetesan 3-4 ml/kg/jam 4,8.
Cairan yang dibutuhkan pada fase kritis setara dengan dehidrasi sedang
yang berlangsung tidak lebih dari 48 jam. Kemampuan untuk memberi cairan
sesuai kebutuhan pada fase ini menentukan prognosis. Sebagian pasien sembuh
setelah pemberian cairan intravena, sedangkanpasien dengna kondisi berat atau
tidak mendapat cairan sesuai dengan kebutuhan akan jatuh ke dalam fase syok.
Pemberian cairan intravena sebelum terjadi kebocoran plasma sebaiknya
dihindarkan karena dapat menimbulkan kelebihan cairan. Pemantauan tanda vital
pada fase kritis bertujuan untuk mewaspadai gejala syok. Kegagalan tatalaksana
30
pada fase ini biasanya disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik dan
kertelambatan penggunaan koloid selama fase kritis 4,8.
31
saluran cerna, atau gangguan organ berat. Tata laksana dini pemberian cairan
untuk penggantian plasma dengan kristaloid dapat mencegah terjadinya syok
sehingga menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila terjadi syok, maka
berikan cairan sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-
15 menit sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai
10 ml/kg/jam. Berikan oksigen pada kasus dengan syok. Enam sampai 12 jam
pertama setelah syok, tekanan darah dan nadi merupakan parameter penting untuk
menentukan tetesan cairan, tetapi kemudian perhitungkan semua parameter
sebelum mengatur tetesan Pada pasien syok, pemberian oksigen 2 liter per menit
harus dilakukan dengan menggunakan masker. Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Penurunan hematokrit
(dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walau diberikan cairan menunjukkan
tanda adanya perdarahan. Pemberian darah dilakukan untuk menaikkan
konsentrasi sel darah merah sedangkan plasma segar dan atau suspensi trombosit
untuk pasien dengan DIC. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif. DIC dipicu oleh hiponatremia dan asidosis metabolik sehingga
pada keadaan syok berat sebaiknya dilakukan perbaikan pada asidosis sebelum
berkembang menjadi DIC. 4,8,13.
32
tetesan tidak dapat diturunkan sampai <10 ml/kg/ jam, pertimbangkan untuk
pemberian transfusi darah segera 4,8,14.
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi
dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase
penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan, tanda
vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup. Pada fase
33
penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%) atau sinus
bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya tidak memerlukan pengobatan.
Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini. Apabila
nafsu makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan atau tanpa
penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium harus diperiksa karena
sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-buahan, jus buah atau larutan
oralit dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan elektrolit 3,4,8.13
34
35
36
Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS
Dalam tata laksana sindrom syok dengue, perlu difikirkan keadaan yang
seringkali terjadi bersamaan dengan syok. Keadaan yang perlu dan penting
diperhatikan dirumuskan dalam singkatan A-B-C-S yang berarti A= acidosis,
B=bleeding, C= calcium, dan S= sugar. Artinya, apabila kita menghadapi pasien
infeksi dengue yang disertai syok maka A-B-C-S harus segera diatasi dengan
segera untuk memperbaiki prognosis. 18
Asidosis
Hampir semua pasien demam berdarah dengue (DBD) mengalami asidosis dari
derajat ringan sampai berat seiring dengan derajat penyakit. Oleh karena itu, pada
sindrom syok dengue selalu disertai asidosis metabolik. Pada SSD kompensata,
37
asidosis dapat diatasi dengan pemberian larutan ringer laktat atau ringer asetat
dengan kecepatan 10 ml/kgBB/jam. Namun pada syok yang berkepanjangan
diperlukan pemberian larutan bikarbonat.17
Perdarahan
Perdarahan yang berbahaya dan dapat mengancam jiwa pada DBD pada
umumnya terjadi setelah syok berkepanjangan. Dengan pemberian cairan dan
oksigen yang adekuat, syok hipovolemik pada SSD akan dapat diatasi sekitar 30
sampai 45 menit. Hipoksia yang terjadi akan merangsang terjadinya KID pasca
syok berkepanjangan. Perdarahan yang terjadi seringkali tidak tampak secara
klinis (occult bleeding), maka perlu dicurigai apabila pada syok yang telah
dilakukan resusitasi cairan secara adekuat (pemberian larutan kristaloid dan atau
koloid) namun tidak berhasil.17
Kalsium
Gula darah
Kadar gula darah perlu dipantau pada DBD sejak awal. Nafsu makan yang sangat
menurun disertai muntah berulang menyebabkan terjadinya hipoglikemia,
terutama pada DBD berat. Koreksi hipoglikemia akan memperbaiki prognosis
DBD. Di lain pihak, kelainan fungsi hati dilaporkan merupakan penyebab
hipoglikemia pada DBD, namun pada beberapa kasus dapat terjadi
hiperglikemia.17
Tatalaksana syok perlu dilakukan secara agresif dan simultan mulai dari
ABC hingga resusitasi cairan untuk meningkatkan preload yang diberikan secara
cepat dan kurang dari sepuluh menit. Resusitasi cairan paling baik dilakukan pada
tahap syok hipovolemik kompensasi, sehingga mencegah terjadinya syok
38
dekompensasi dan ireversibel. Cairan kristaloid diberikan 10-30ml/kgBB/6-10
menit kemudian lihat tekanan darah apabila tekanan darah masih rendah
(hipotensi) ulangi pemberian cairan kristaloid apabila normotensi diberikan
tetesan rumatan kemudian dilakukan pemeriksaan urin apabila didapati
>1ml/kgBB/jam maka diberikan tetesan rumatan, apabila 10mmHg berarti
terdapat disfungsi miokard atau penurunan kontraktilitas ventrikel kanan,
peningkatan resistensi vaskular paru (afterload ventrikel kanan) atau syok
kardiogenik sehingga diperlukan pemberian obat-obatan resusitasi seperti
epinefrin, sodium bikarbonat, dopamin, glukosa, kalsium klorida, atropin, atau
dobutamin.
3.9. Komplikasi
Pada umumnya infeksi primer dapat sembuh sendiri dan tidak
berbahaya. Komplikasi pada bayi dan anak usia muda biasanya berupa
kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam. Pada usia 1
– 4 tahun wajib diwaspadai ensefalopati dengue karena merupakan golongan
usia tersering terjadinya kejang demam (4). Kegagalan dalam melakukan
tatalaksana komplikasi ini, dapat memberikan jalan menuju DSS (Dengue
Shock Syndome) dengan tanda kegagalan sirkulasi, hipotensi dan syok.
1. Ensefalopati Dengue
Umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan tetapi dapat juga terjadi pada DBD tanpa syok. Didapatkan
39
kesadaran pasien menurun menjadi apatis/somnolen, dapat disertai kejang.
Penyebabnya berupa edema otak perdarahan kapiler serebral, kelainan
metabolic, dan disfungsi hati. Tatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9
%:D5=1:3 untuk mengurangi alkalosis, dexametason o,5 mg/kgBB/x tiap 8
jam untuk mengurangi edema otak (kontraindikasi bila ada perdarahan
sal.cerna), vitamin K iv 3-10 mg selama 3 hari bila ada disfungsi hati, GDS
diusahakan > 60 mg, bila perlu berikan diuretik untuk mengurangi jumlah
cairan, neomisin dan laktulosa untuk mengurangi produksi amoniak.
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang
penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.
Dieresis diusahakan > 1 ml/kg BB/jam.
3. Edema Paru
3.10. Prognosis
Prognosis demam dengue berhubungan dengan antibodi yang didapat atau
infeksi awal dengan virus yang menyebabkan terjadinya DBD. Keparahan terlihat
dari usia, dan infeksi awal terhadap serotipe dengue virus yang lain sehingga
dapat mengakibatkan komplikasi hemorhagik yang parah. Prognosis di tentukan
juga oleh lamanya penanganan terhadap terjadinya syok pada sindroma syok
dengue (SSD). Prognosis baik jika diatasi maksimal 90 menit. Prognosis akan
terlihat buruk jika melebihi 90 menit.
3.11 Pencegahan
1. Upaya preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan masal sebelum musim
penularan penyakit di desa/ kelurahan endemis DBD, yang merupakan
pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya/ foging fokus.
40
2. Melakukan “fogging” dengan malation atau fenitrotion dalam dosis 438
gram/ha; dilakukan dalam rumah dan di sekitar rumah dengan
menggunakan larutan 4% dalam solar atau minyak tanah.
3. Menggalakkan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
4. Melaksanakan penanggulangan fokus di rumah pasien dan di sekitar
tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB).
5. Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media,
mengenai gejala DBD, cara mencegahnya melalui 3 M (menguras bak
mandi, menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang bekas),
juga abatisasi selektif. Abatisasi bertujuan membunuh larva dengan butir-
butir abate sand granule (SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan
dosis ppm (part per million), yaitu 10 gram per 100 liter air.
41
BAB 4
PEMBAHASAN
Anamnesis
Teori Kasus
42
plasma tersebut.
Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
43
Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Penatalaksanaan
Teori Kasus
- Cairan intravena diberikan apabila - IVFD RL 7cc/ kgBB/jam
terlihat adanya kebocoran plasma yang
- Cek DL/ 8 jam
ditandai dengan peningkatan Ht 10-
20% atau pasien tidak mau makan dan - Observasi TTV/1 jam
minum melalui oral.
- MRS ruang PICU
- Apabila terjadi syok, maka berikan
44
cairan sebanyak-banyaknya 10-20
ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-
15 menit sampai tekanan darah dan
nadi dapat diukur, kemudian turunkan
sampai 10 ml/kg/jam. Berikan oksigen
pada kasus dengan syok.
- Cairan yang dipilih adalah golongan
kristaloid (ringer laktat dan ringer
asetat). Kemudian cairan koloid seperti
dekstran-40, albumin 5%, gelatin dsb.
Darah, Fresh Frozen Plasma, dan
komponen darah lain diberikan untuk
mempertahankan Hb, menaikkan daya
angkut oksigen, memberikan faktor
pembekuan untuk mengkoreksi
koagulopati.
- Selama fase kritis pasien harus
menerima cairan rumatan ditambah
defisit 5-8% atau setara dehidrasi
sedang. Pada pasien dengan berat badan
lebih dari 40 kg, total cairan intravena
setara dewasa, yaitu 3000 ml/24 jam.
Pada kasus non syok, untuk pasien
dengan berat badan (BB) <15 kg,
pemberian cairan diawali dengan
tetesan 6-7 ml/ kg/jam, antara 15-40 kg
dengan 5 ml/kg/jam, dan pada anak
dengan BB >40 kg, cairan cukup
diberikan dengan tetesan 3-4
ml/kg/jam.
- Asidosis dapat diatasi dengan
pemberian larutan ringer laktat atau
ringer asetat dengan kecepatan 10
ml/kgBB/jam. Namun pada syok yang
berkepanjangan diperlukan pemberian
larutan bikarbonat.
- Kalsium memegang peran dalam
pengaturan endothel-junction. Maka
pada peningkatan permeabilitas kapiler,
perlu pemantauan kadar kalsium serum.
Di samping itu, kalsium diperlukan
guna memperkuat miokard. Dosis Ca-
glukonas yang dianjurkan 1mg/kgBB
dilarutkan dua kali, diberikan secara
intravena perlahan lahan, maksimal 10
ml (dapat diulang setiap 6 jam).
45
BAB 5
KESIMPULAN
Telah dilakukan perbandingan antara teori dan kasus pada pasien laki-laki
An. ARNA usia 14 tahun, dengan diagnosis DHF grade III. Dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus
tersebut.
46
DAFTAR PUSTAKA
47
14. Martina, B., Koraka, P., Osterhaus, A. (2009). Dengue Virus Pathogenesis: An
Integrated View. Clinical Microbiology Reviews, 22(4), 564-581.
15. Malavige, G.N. & Ogg, G., 2012. Pathogenesis of severe dengue infection.
Ceylon Medical Journal, 57, pp.97-100.
16. Comprehensive Guidlines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic Fever. India. 2011. Diunduh dari
http://www.searo.who.int/entity/vector_borne_tropical_diseases/documents/S
EAROTPS60/en/index.html
17. Djer, M; Sekartini,R; 2014. Current Evidence in Pediatric Practices. FK UI
Departemen IKA.
18. WHO. 2011. Handbook for Clincal Management of Dengue. Halaman 2-6.
48