Anda di halaman 1dari 52

Laboratorium Obstetri & Ginekologi Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

HIPERTENSI KRONIK DAN PREEKLAMPSIA BERAT

Oleh
Spicakent Dinyanti
NIM 1710029067

Pembimbing
dr. Prima Deri Pella T., Sp. OG(K)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
AGUSTUS 2018
Laporan Kasus

Hipertensi Kronik dan Preeklampsia Berat

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Obstetri &


Ginekologi

SPICAKENT DINYANTI
NIM 1710029067

Menyetujui,

dr. Prima Deri Pella T., Sp. OG(K)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
AGUSTUS 2018

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan kasih sayang-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan Kasus tentang
“Hipertensi Kronik dan Preeklampsia Berat”. Laporan kasus ini disusun dalam
rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. Dr. dr. Novia Fransiska Ngo, M. Kes., Sp. OG selaku Kepala Laboratorium
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. I. G. A. A. Sri M. Montessori, Sp. OG selaku Kepala SMF Obstetri dan
Ginekologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Prima Deri Pella T., Sp. OG(K) selaku Dosen Pembimbing Klinik dan
pembimbing laporan kasus.
6. Seluruh dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda selaku dosen pembimbing dan pengajar selama di satse
Obstetri dan Ginekologi.
7. Rekan sejawat dokter muda stase Obstetri dan Ginekologi.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
laporan kasus ini. Namun, penulis berharap semoga penulisan laporan kasus ini
dapat bermanfaat sebagai proses pembelajaran pada bidang obstetri dan
ginekologi.
Samarinda, Agustus 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB 2 KASUS .................................................................................................... 3
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14
BAB 4 PEMBAHASAN ....................................................................................... 38
BAB 5 PENUTUP .............................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 48

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Preeklampsia merupakan kelainan yang ditemukan pada waktu kehamilan
yang ditandai dengan berbagai gejala klinis seperti hipertensi, proteinuria, dan
edema yang biasanya terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu. Menurut WHO,
angka kejadian preeklampsia berkisar antara 0,51% - 38,4%. Preeklampsia dan
eklampsia di seluruh dunia diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 14% (50.000-
75.000) kematian maternal setiap tahunnya. Angka kejadian preeklampsia di
Amerika Serikat sendiri pernah dilaporkan terjadi kira-kira 5%-8% dari semua
kehamilan, dengan gambaran insidensinya 23 kasus preeklampsia ditemukan per
1.000 kehamilan setiap tahunnya.(1) Sementara itu di tiap-tiap negara angka
kejadian preeklampsia berbeda-beda, tapi pada umumnya insidensi preeklampsia
pada suatu negara dilaporkan antara 3-10% dari semua kehamilan.(2)
Preeklamsia merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah
satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin.(3) Di
Indonesia sendiri, preeklamsia masih merupakan salah satu penyebab utama
kematian maternal dan kematian perinatal yang tinggi. Di Indonesia angka
kejadian preeklamsia berkisar antara 3,4 – 8,5%.(4) Karena angka kejadian
preeklamsia cukup tinggi, diagnosis dini preeklamsia serta penanganannya perlu
segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan anak.
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda-tanda
preeklamsia sangat penting dalam pencegahan preeklamsia berat, disamping
pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain.
Hipertensi kronis merupakan salah satu faktor yang dikaitkan dengan
peningkatan resiko preeklamsia.(5) Secara umum, hipertensi kronik merupakan
hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang
pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi
menetap sampai 12 minggu pasca persalinan. Paling sering terjadi pada
primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi

1
seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan
sebab lainnya.(6)
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam
kehamilan berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif
pada sirkulasi uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada
kasus-kasus berat.(7) Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab
sekunder terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan
pertumbuhan janin terhambat (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25%
mortalitas perinatal diakibatkan kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas
maternal diakibatkan adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan kerusakan
end organ lainnya.(8,9,10)

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang hipertensi kronik dan preeklampsia berat, serta
perbandingan antara teori dengan kasus.

1.2.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui teori tentang hipertensi kronik.
2. Mengetahui teori tentang preeklampsia berat.
3. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus hipertensi kronik dan
preeklampsia berat di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dalam kasus
ini.

1.3 Manfaat
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran
terutama bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya mengenai hipertensi kronik
dan preeklampsia berat.

2
BAB 2
KASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada 15 Agustus 2018 pukul 14.15
WITA di Ruang VK Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.

Identitas Pasien
Nama : Ny. ET
Usia : 32 tahun
Alamat : Dusun Bangun Rejo 1, Tenggarong Seberang
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan Terakhir : SMA
Suku : Jawa
Agama : Islam
Masuk Rumah Sakit : 14 Agustus 2018 pukul 00.15 WITA

Identitas Suami
Nama : Tn. F
Usia : 30 tahun
Alamat : Dusun Bangun Rejo 1, Tenggarong Seberang
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan Terakhir : S1
Suku : Jawa
Agama : Islam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan
membawa surat rujukan dari RSUD A.M. Parikesit Tenggarong karena pasien
sedang hamil usia 35-36 minggu disertai tekanan darah yang tinggi (240/150) dan
riwayat tekanan darah tinggi sejak sebelum hamil. Selain itu diperkirakan taksiran
berat janin 1.900 gram sehingga diperlukan alat bantu yang memadai. Saat tiba di
IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pasien mengeluhkan pusing yang

3
dialami sejak sore sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien memeriksakan
diri ke poliklinik RSUD A.M. Parikesit Tenggarong untuk kontrol ante natal care
(ANC) dan di dapatkan tekanan darah yang tinggi (240/150). Pasien lalu
dipindahkan ke IGD RSUD A.M Parikesit Tenggarong untuk diberikan
penanganan pertama. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD A.W Sjahranie untuk
direncanakan sectio caesarea (SC). Pasien belum merasakan adanya perut
kencang-kencang ataupun keluar air dari jalan lahir. Pasien juga mengatakan tidak
mengeluhkan ada mual, muntah, ataupun pandangan kabur. BAB dan BAK tidak
ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Hipertensi yang diketahui sejak usia 25 tahun. Konsumsi amlodipin
1x10 mg tetapi tidak rutin.
 Tidak ada riwayat DM
 Tidak ada riwayat penyakit jantung dan ginjal
 Tidak ada riwayat asma
 Tidak ada riwayat alergi

Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi (ayah kandung pasien)

Riwayat Menstruasi
Menarche : 12 tahun
Lama Haid : 5 hari
Jumlah darah haid : 3-4 kali ganti pembalut dalam 1 hari
Hari pertama haid terakhir : Desember 2017
Taksiran persalinan : September 2017

Riwayat Pernikahan
Menikah satu kali saat usia 31 tahun dengan lama pernikahan 9 bulan.

4
Riwayat Obstetri
G1P0A0
Jenis
Keadaan
Tahun Tempat Usia Jenis Penolong Kelamin/
No. Penyulit Anak
Partus Partus Kehamilan Persalinan Persalinan Berat
Sekarang
Badan
1. 2018 Hamil ini

Antenatal Care (ANC)


ANC Trimester I : 1 kali ke bidan
ANC Trimester II : 3 kali ke bidan
ANC Trimester III : 2 kali ke bidan, 2 kali ke dokter spesialis kandungan
Berdasarkan pemeriksaan ANC selama kehamilan diketahui tekanan darah
pasien beriksar antara 150/100 hingga 240/150. Selama hamil pasien tidak pernah
mengkonsumsi obat anti hipertensi. Diketahui adanya proteinuria +3 dari hasil
pemeriksaan urinalisis pada ANC bulan ke-7 (usia kehamilan 32 minggu) dengan
tekanan darah 170/110 disertai bengkak pada kedua tungkai.

Riwayat Kontrasepsi
Tidak pernah memakai kontrasepsi

Pemeriksaan Fisik
Antropometri
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 155 cm
IMT : 32,0 (obesitas)

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 180/120 mmHg
Frekuensi nadi : 80x/menit
Frekuensi napas : 24x/menit
Suhu : 36,1oC

5
Status Generalis
Kepala : Normosefalik
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, penurunan visus (-)
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks
Jantung : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Gerak napas simetris, retraksi (-), suara napas vesikuler,
rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, linea nigra (+), striae albicans (-), scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Superior : edema (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik
Inferior : edema (-/-), akral hangat, varises (-/-), CRT < 2 detik

Status Obstetri
Inspeksi: Linea nigra (+), striae albicans (-), scar (-)
Palpasi:
Tinggi Fundus Uteri : 26 cm
Taksiran Berat Janin : 2.170 gram
Leopold I : teraba bagian bulat lunak, bokong.
Leopold II : punggung janin terletak di kanan ibu.
Leopold III : teraba bagian bulat keras, kepala
Leopold IV : belum masuk PAP, penurunan (-)
HIS: : -

6
Auskultasi
Denyut Jantung Janin : 153x/m,enit

Vaginal Toucher tidak dilakukan

Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi (14/08/2018)
 Janin tunggal hidup presentasi kepala
 Plasenta di corpus posterior grade II
 Air ketuban cukup
 Usia kehamilan 35 minggu 2 hari
 Estimasi berat janin 2.550 gram
 Taksiran persalinan 16 September 2018

Laboratorium Darah Lengkap (14/08/2018)


Hemoglobin : 13,1 gr/dl
Leukosit : 16.250/µl
Hematokrit : 38%
Trombosit : 162.000/µl
Bleeding time : 3 menit
Clotting time : 9 menit
GDS : 103 mg/dL
Ureum : 33,1 mg/dL
Creatinin : 0,5 mg/dL
SGOT : 17 U/L
SGPT : 17 U/L
Bilirubin direct : 0,1 mg/dL
Bilirubin indirect : 0,1 mg/dL
Bilirubin total : 0,2 mg/dL
Total Protein : 6,0 g/dL
Albumin : 3,2 g/dL
Cholesterol : 354 mg/dL

7
Asam Urat : 7,4 mg/dL
HbsAg : Non reaktif
Ab HIV : Non reaktif

Urinalisis (14/08/2018)
Warna : Kuning
Kejernihan : Keruh
pH : 5,0
Protein : +3
Glukosa : +1
Hemoglobin : +4
Leukosit : 1-3
Eritrosit : 85-95
Bakteri : +1

Diagnosis
G1P0A0 gravid 35-36 minggu dengan hipertensi kronik dan preeklampsia berat

Penatalaksanaan
1. MgSO4 dosis awal (MgSO4 40% 4gr 10cc diencerkan dengan aquadest 10cc
atau sampai 20cc diberikan selama 5 menit/i.v) dilanjutkan dengan MgSO4
dosis pemeliharaan (drip MgSO4 40% 6gr 15cc dalam 500cc RL selama 6 jam
atau 28 tetes/menit) sampai 24 jam perawatan/post partum
2. Inj. Cefotaxime 1 amp/8 jam I.V
3. Nifedipin 3x10 mg/oral
4. Dexamethason 2 amp/8 jam i.v
5. Nicardipine sp 1 meq/jam BB : 70 kg, kecepatan 21/jam.
Target tekanan darah <160/80 mmHg
6. Observasi keadaan umum, tanda vital, dan DJJ
7. Sectio Caesarea Transperitoneal Profunda

8
Follow Up
Tanggal &
Pemeriksaan Penatalaksanaan
Waktu
14/08/2018 S: pusing P:
00.15 O: KU baik, TD 180/120mmHg, Nadi MgSO4 dosis awal (4 gr
92x/menit, RR 20x/menit, T 36,7oC, MgSO4 10 cc diencerkan
DJJ 153x/menit. His (-), VT tidak dengan aquades 10 cc
dilakukan dalam 5 menit) dilanjutkan
A: G1P0A0 gravid 35-36 minggu dengan dosis pemeliharaan
dengan hipertensi kronik dan (drip MgSO4 40% 6gr
preeklampsia berat 15cc dalam 500cc RL 28
tetes/menit)
Cefotaxime 1 amp/8 jam
Nifedipin 3x10 mg/oral
Dexametason 2 amp/8jam
Nicardipin 1 meq/jam
(syring pump kecepatan
21/jam) target 160/80
mmHg
Rencana USG besok pagi
14/08/2018 S: - P:
06.00 O: KU baik, TD 170/100 mmHg, Mempersiapkan pasien
Nadi 80x/menit, RR 22x/menit, T untuk USG
36,0oC, urin tampung 700 cc (6 jam)
warna kuning keruh
DJJ 137x/menit. His (-).
14/08/2018 S: - P:
09.00 O: TD 160/90 mmHg, Nadi Observasi DJJ dan TTV
87x/menit, RR 20x/menit, T 36,4oC, Evaluasi jam 18.00
DJJ 140x/menit, Tappering off nicardipin
USG : kecepatan 21cc/jam 
- Janin tunggal hidup presentasi 10,5cc/jam
kepala Terapi lain lanjut
- Plasenta di corpus posterior grade II
- Air ketuban cukup
- Usia kehamilan 35 minggu 2 hari
- Taksiran Berat Janin 2.550 gram
- Taksiran persalinan 16 September
2018

14/08/2018 S: - P:
18.45 O: TD 160/90 mmHg, Nadi Observasi TTV dan DJJ
83x/menit, RR 21x/menit, T 36,5oC, Memberikan makan
DJJ 143x/menit, HIS tidak ada, urin malam
tampung 400 cc (12 jam) warna Rencanakan puasa pagi
kuning pekat. untuk rencana terminasi
jika tekanan darah masih

9
tinggi.
14/08/2018 S: ibu merasakan gerakan janin P:
22.00 O: TD 150/90, Nadi 89x/menit, RR Memberitahukan pasien
18x/menit, T 36,8oC, DJJ 132x/menit, untuk mulai puasa jam
HIS tidak ada 02.00
Observasi TTV dan DJJ,
lapor ulang pukul 06.00
Tappering off nicardipine
kecepatan 10,5cc/jam 
6cc/jam
15/08/2018 S: - P:
06.00 O: TD 150/100, Nadi 92x/menit, RR Rencana seksio sesaria
19x/menit, T 36,5oC, DJJ 137x/menit, (SC) jam 10.00
HIS tidak ada, Urin tampung 1250 cc Mempersiapkan pasien
(12 jam) warna kuning jernih untuk SC
15/08/2018 Laporan Operasi
12.20 Tanggal operasi: 15/08/2018
OK IGD Waktu operasi: 10.20-12.10
Diagnosis pre-operatif: G1P0A0 gravid 35-36 minggu dengan
hipertensi kronik dan preeklamsia berat
Diagnosis post-operatif: P1A0 post SC atas indikasi preeklamsia
berat + prematur
Jenis operasi: Sectio Caesarea Transperitoneal Profunda

Langkah-langkah operasi:
1. Pasien disiapkan diatas meja operasi
2. Dilakukan anastesi spinal pada pasien.
3. Pasien diposisikan berbaring.
4. Dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan operasi
dipersempit dengan duk steril.
5. Dibuat insisi vertikal sepanjang 15 cm, secara tumpul dibuka
lapis demi lapis (kulit – subkutis - lemak - fasia tranversa dibuka
secara tajam - m.oblique eksternus - m.rectus abdominis -
m.piramidalis - m.obliqus interna - m.transversus-peritoneum)
6. Dilakukan insisi pada segmen bawah rahim 1 cm di bawah plika
vesikouterina, dibuka perlahan-lahan (diperlebar dengan kedua
jari operator)
7. Bagian terbawah anak didorong dari arah vagina kearah
abdomen.
8. Anak dilahirkan mulai dari kepala, badan dan bokong.
Dilakukan suction kemudian dilakukan pemotongan tali pusat.
Disuntikkan oksitosin 10 IU pada uterus, lalu plasenta
dikeluarkan secara manual. Membersihkan sisa-sisa darah dan
jaringan plasenta pada kavum uteri.
9. Dilakukan pembersihan kavum uteri dengan kassa betadin dan
pastikan tidak ada plasenta yang tertinggal.
10. Menjahit luka irisan pada segmen bawah rahim dengan

10
monocryl no.1
11. Membersihkan kavum abdomen degan cairan NaCl dan
kemudian dilakukan suction.
12. Menjahit lapisan dinding abdomen lapis demi lapis:
a. Peritoneum dengan plain catgut 2.0
b. Otot dengan plain catgut 2.0
c. Fasia dengan vycril 1.0
d. Lemak dengan plain catgut 2.0
e. Subcutan dan cutis dengan vycril 3.0
13. Permukaan abdomen dibersihkan dengan NaCl 0.9%
14. Luka ditutup dengan sofratulle, kasa, dan plester.
15. Eksplorasi ke dalam vagina untuk mengeluarkan sisa darah
16. Operasi selesai
Laporan Kelahiran Bayi:
Tanggal 15 Agustus 2018 Pukul 10.40 wita, bayi lahir jenis
kelamin perempuan dengan Apgar Score 7/8, berat badan 2000
gram dan panjang badan 45 cm, lingkar dada 30 cm, lingkar kepala
31 cm, anus ada, tidak didapatkan kelainan, dan ketuban jernih.
Penatalaksanaan Post Operasi:
Inj. Cefotaxime 1gr/8 jam/IV
Inj. Ranitidin 1 amp/8 jam/IV
Inj. Antrain 1 amp/8 jam/IV
Drip oxytocin 1 amp dalam RL 500 ml 28 tetes/menit

15/08/2018 S: nyeri luka operasi P:


14.30 O: KU baik, TD 150/100 mmHg, Memberikn infus 500cc
Nadi 92x/menit, RR 20x/menit, T RL drip MgSO4 15cc (28
35,9oC tpm)
A: P1A0 post SC atas indikasi Memberikan drip
preeklamsia berat + prematur Oxytocin 1 amp dalam RL
500 ml, 28 tpm
Observasi KU pasien
15/08/2018 S: nyeri luka operasi skala 7-8 P:
22.00 O: TD 150/90 mmHg, Nadi Memberikan inj.
81x/menit, RR 20x/menit, T 36,5oC, Cefotaxime 1 gr
urin tampung 300 cc (12 jam) warna Memberikan inj ranitidin 1
kuning keruh amp
Memberikan inj antrain 1
amp
Memberikn infus 500cc
RL drip MgSO4 15cc (28
tpm)
Memberikan infus RL drip
oksitosin 10 IU (1 amp) 28
tpm
Terpasang syring pump
perdipin kecepatan 10,5

11
cc/jam
16/08/2018 S: nyeri luka operasi P:
06.00 O: KU baik, TD 140/100, Nadi Infus MgSO4  RL 28
84x/menit, RR 20x/menit, T 36,5oC tpm
Nifedipin 3x10mg
Inj. Cefotaxime 3x1gr I.V
Asam mefenamat
3x500mg/oral
Biosanbe 1x1 tab/oral
Konsul ulang Sp, JP untuk
nicardipin setelah 24 jam
post operasi.
16/08/2018 S: nyeri luka operasi mulai berkurang P:
10.15 O: KU baik, TD 140/90 mmHg, Nadi Konsul Sp.JP : nicardipin
83x/menit, RR 20x/menit, T 36oC, stop
urin tampung 350 cc (12 jam) warna
coklat seperti teh
A: P1A0 post SC H+1 atas indikasi
hipertensi kronik dan preeklamsia
berat + prematur

13.10 O: KU baik, TD 160/100 mmHg, Lanjutkan terapi yang lain


Nadi 80x/menit, RR 20x/menit, T Inj. Lasix 1 amp/8 jam/i.v
36,2oC, urin tampung 100 cc (3 jam) Nifedipin 3x10mg
warna coklat seperti teh MgSO4  stop

13.40 Pasien pindah ke mawar nifas Terpasang DC


O : TD 180/100, Nadi 76x/menit, RR
20x/menit, T 36,6oC

17.00 S: nyeri luka bekas operasi (+) Memberikan injeksi


O: TD 160/90 mmHg, Nadi cefotaxime 1 gr I.V
80x/menit, RR 20x/menit, T 36,6 oC Memberikan injeksi lasix
1 amp I.V
17/08/2018 S: nyeri luka operasi P:
09.00 O: KU baik, TD 160/110 mmHg, Infus RL 500 cc 12 tpm
Nadi 87x/menit, RR 20x/menit, T Memberikan injeksi
o
36,8 C cefotaxime 1 gr/i.v
A: P1A0 post SC hari ke-2 atas Memberikan injeksi
indikasi hipertensi kronik dan furosemide 1 amp/i.v
preeklamsia berat + prematur Aff DC

17.00 S: nyeri luka operasi Infus RL 500 cc 12 tpm


O: KU baik, TD 140/90 mmHg, Nadi Memberikan injeksi
89x/menit, RR 19x/menit, T 36,5 oC cefotaxime 1 gr/i.v
Memberikan injeksi
furosemide 1 amp/i.v

12
18/08/2018 S: Nyeri luka post operasi P:
06.00 O: KU baik, TD 120/70 mmHg, Nadi Diperbolehkan untuk
87x/menit, RR 18x/menit, T 36,1oC keluar rumah sakit (KRS)
A : P1A0 post SC hari ke-3 atas Cefadroxil 500 mg 1x1
indikasi hipertensi kronik dan Asam mefenamat 500 mg
preeklamsia berat + prematur 1x1
Biosanbe 1x1
Kontrol 1 minggu
kemudian

13
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hipertensi Dalam Kehamilan


Klasifikasi
1. Hipertensi kronik
2. Preeklampsia-eklampsia
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4. Hipertensigestasional(2)

Penjelasan pembagian klasifikasi


1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan
20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur
kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu
pascapersalinan.
2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
3. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang
dan/atau koma.
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi
kronik disertai tanda-tanda preeclampsia atau hipertensi kronik disertai
proteinuria.
5. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension)
adalahhipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria
dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan atau kehamilan
dengan tanda-tanda preeclampsia tetapi tanpa proteinuria.(2)

Penjelasan tambahan
1. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4
jam.
2. Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau
sama dengan ≥ 1+ dipstick

14
3. Edema, dahulu adalah edema tungkai, dipakai sebagai tanda-tanda
preeklampsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali
edema generalisata (anasarka).(2)

3.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko


Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari
ibu hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia
berkisar antara 4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan
preeklampsia berat terjadi 25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar
10% kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia
meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda,
hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada ibu hamil primigravida terutama
dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan
multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25
tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.(4,5)
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab
terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah
faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut
meliputi:(5)
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat.
Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi
yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida
tua risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor
risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive
trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa
preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih

15
sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau
mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu. Penelitian
lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang
tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang
obese/overweight.
e. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun
merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan
janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau
istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi
kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia.
Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia
kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga
sesuai dengan pada preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan
ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu
kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan
sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung
Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus

16
preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan
pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari
satu.

3.3 Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan
jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori yang dianggap mutlak benar. Teori-teori
yang sekarang banyak dianut adalah :
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, Rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah
tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata
memberi cabang arteri radialis. Arteria radialis menembus endometrium
menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.(5,6)
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi
trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi
lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas
juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks
menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi
dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan
peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah
ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat
menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan “remodeling
arteri spiralis”.(5,6,8)
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot
arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis
tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri
spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling
arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah

17
hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan
perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK
selanjutnya.(5,6,8)
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron,
sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal
vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke
utero plasenta.(5,6)
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
 Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kegagalan “ remodeling arteri spiralis”, dengan
akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan
hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan
atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau atom/molekul
yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang
sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses normal,
karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya
radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan
toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan
disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam
tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi
antioksidan.(5)
 Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, missal
vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi
dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relative tinggi.

18
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini
akan beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak
membran sel endotel. Membaran sel endotel lebih mudah mengalami
kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan
dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh.
Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil,
yang akan berubah menjadi peroksida lemak.(5)
 Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membaran sel
endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya
fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini
disebut “disfungsi endotel” (endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi
kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka
akan terjadi :
- Gangguan metabolisme prosgtaglandin, karena salah satu fungsi
endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya
produksi prostasiklin (PGE2) : Suatu vasodilator kuat
- Agregasi sel sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-
tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor
kuat. Dalam keadaan normal perbadingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi
vasodilator). Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari
kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi
kenaikan tekanan darah.
- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis)
- Peningkatan permeabilitas kapiler.

19
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, yaitu endotelin.
Kadar NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin
(vasokonstriktor) meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi.(3)

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil
konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte
antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respon
imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-
G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural
killer (NK) ibu.(2)
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan pra kondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk
menghadapi sel NK. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan terjadi
penurunan ekspresi HLA-G. berkurangnya HLA-G di desidua daerah
plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas
sanat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga
memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang
produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.
Kemungkinan terjadi immune maladaptation pada preeklampsia.(2)
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai
kecenderungan terjadi preeklampsi, ternyata mempunyai proporsi helper sel
yang lebih rendah dibanding pada normotensif.(2)

4. Teori adaptasi kardiovaskular


Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih
tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal
terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah

20
akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel
pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan
vasopressor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan
yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian
hari ternyata adalah prostasiklin.(2)
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap
bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah meniadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi
dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan
kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan
sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat
dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.(2)

5. Teori defisiensi gizi


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi
gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penilitian yang
penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh
diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II.
Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan Perang
menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan.(2)
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba
melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan
yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam mencegah preeklampsia.
Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan
mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin. Beberapa

21
peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan
hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia. Penelitian
di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar, dengan
membandingkan pemberian kalsium dan plasebo. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus
yang mengalami preeklampsia adalah 14% sedang yang diberi glukosa
17%.(2)

6. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.
Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai
sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif.
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya
proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih
dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.
Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada
preekiampsia terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas
plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres
oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga
makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi infiamasi dalam
darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada
kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan
sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi
sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-geiala preeklampsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia
akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas,
mengakibatkan "aktivitas leukosit yang sangat ringgi" pada sirkulasi ibu.
Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai "kekacauan adaptasi dari proses
inflamasi intravaskular pada kehamilan" yang biasanya berlangsung normal
dan menyeluruh.(2)

22
3.4 Perubahan Fisiologi Patologis
Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak
berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya,
jembatan penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma
dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan
menimbulkan perdarahan petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat
banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan
anemia pada korteks serebri.(4,5)
Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien
hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien
preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih
dalam batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien
eklampsia.(3)
Perubahan Kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya
berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload
jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis
hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh
larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai
ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.(4)
Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau
menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau
eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya
preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah
preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina
yang disebabkan edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk
dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai
kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita

23
dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang
dikemukakan oleh Cunningham (1995).(3)
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini
disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks
serebri atau dalam retina.(3)
Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan
eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa
diakibatkan oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi
setelah melahirkan. Pada beberapa kasus terjadinya edema paru
berhubungan dengan adanya peningkatan cairan yang sangat banyak. Hal
ini juga dapat berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid
plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah
yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.(3)
Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan
integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan
peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar
peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan
panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan
Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37
wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.(3)
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar
kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam
serum. Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau
dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom
subkapsular.(3)
Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus
meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal
dan filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia,

24
glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel
glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal.
Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita
dengan penyakit berat.(3)
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan
ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat
berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua
kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5
ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal
menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari
nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal yang
ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh Pritchard
(1984) dalam Cunningham (2005).(3)
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan
proteinuria dan retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham
(2005) melaporkan bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan
ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus.
Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan
peningkatan filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat
spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui glomerulus
menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air.(3)
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat
proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian
wanita mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer
(1994) menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam.
Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick
memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92%
kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki
nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick
urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat
pada 36% kasus.(3)

25
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan
permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi.
Maka ekskresi Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat
menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat
menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987) dalam Cunningham
(2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita
dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan menyimpulkan
bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.(3)
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti
hemoglobin, globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini
tidak difiltrasi oleh glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin
mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian protein yang
lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeksi di
dalam urin.(3)
Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah
yang normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi
intravaskular dan destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada
preeklampsia menurut Baker (1999) dalam Cunningham (2005).
Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya
jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan pada 15-20% pasien.
Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia
dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level
fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan
dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).(3)
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia
menunjukan terjadinya HELLP syndromeyang ditandai dengan adanya
anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah.
Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31
minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah.
Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua

26
hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap
selama seminggu.(3)
Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit
Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron
meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini
menurun ke kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan
atau hipertensi, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang
sehingga proses penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan
kadar aldosteron dalam darah.(3)
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida
natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat
menyebabkan meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi
vaskular perifer baik pada normotensif maupun preeklamptik. Hal ini
menjelaskan temuan turunnya resistensi vaskular perifer setelah ekspansi
volume pada pasien preeklampsia.(3)
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum
diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan
hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan
berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu
peredaran darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah
ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.(3)
Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih
banyak dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak
dapat mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan
terjadinya penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh
tubulus ginjal tidak mengalami perubahan.(3)
Plasenta dan Uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan
fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin
terganggu dan pada hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin
hingga kematian janin akibat kurangnya oksigenisasi untuk janin.(3)

27
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan
sering terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya
partus prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia
terjadi dua masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak
dapat mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut
berkembang pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut
adalah nekrosis arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan
lesi pada hipertensi malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan
penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi
pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya infark plasenta.(3)

3.2 Preeklampsia Berat


Definisi
Preeklampsia berat ialah,preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160
mmhg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 nmHg disertai proteinuria lebih 5g/24
jam.(2)

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preekrampsia berat sebagaimana
tercantum di bawah ini. Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila
ditemukan satu arau lebih gejala sebagai berikut :
- Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah
dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
- Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif.
- Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
- Kenaikan kadar kreatinin plasma.
- Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma
dan pandangan kabur.
- Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson).
- Edema paru-paru dan sianosis.

28
- Hemolisis mikroangiopatik.
- Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit
dengan cepat.
- Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar
alanin dan aspartate aminotransferase
- Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
- Sindrom HELLP.(2)

Pembagian preeklampsia berat


Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending
eklampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eklampsia. Disebut
impending eklampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
bempa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium,
dan kenaikan progresif tekanan darah.(2)

Perawatan dan pengobatan preeklampsia berat


Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah
diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.(3)

Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada


neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta
baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(2)

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,


pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti
diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,
gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu
perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran
tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.(2)

29
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia
ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu
pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya
ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan
hemodinamika sudah stabil.(2)
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting
pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia
dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan
oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang
sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik
koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input
cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah
cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda
edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat
berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam
atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer
laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(2)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi
bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(7)
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897
penderita eklampsia.(2)
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak

30
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.(2)
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam;
atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan
4 gram im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24
jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium
sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari
pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas).(2)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium
diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50
mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.(2)

31
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida.
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.(2)
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut
off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.(2)
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan
diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu
penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai
< 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi.
Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni pemberian
diazokside, ketanserin dan nimodipin.(2)
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.(2)
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg
iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah
jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat

32
kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeklampsia berat
menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.(7)
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan
pada sindrom HELLP.(2)
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian medikamentosa.
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda–tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan
bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.(2)
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

33
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya
trombosit dengan cepat.

Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar


keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum.(2)

3.3 Hipertensi Kronik


Definisi
Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan
sebelum timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum
kehamilan, maka hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg sebelum umur
kehamilan 20 minggu.(2)

Etiologi Hipertensi Kronik


Hipertensi kronik dapat disebabkan primer: idiopatik: 90% dan sekunder:
10%, berhubungan dengan penyakit ginjal, vaskular kolagen, endokrin, dan
pembuluh darah.(2)

Diagnosis hipertensi kronik pada kehamilan


Diagnosis hipertensi kronik ialah bila didapatkan hipertensi yang telah
timbul sebelum kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu umur kehamilan.
Ciri-ciri hipertensi kronik :
- Umur ibu relatif tua diatas 35 tahun
- Tekanan darah sangat tinggi
- Umumnya multipara
- Umumnya ditemukan kelainan jantung, ginjal dan diabetes mellitus

34
- Obesitas
- Penggunaan obat-obat antihipertensi sebelum kehamilan
- Hipertensi yang menetap pasca persalinan.(2)

Dampak hipertensi kronik pada kehamilan


- Dampak pada ibu
Bila perempuan hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya,
dan hipertensi dapat terkendali, maka hipertensi kronik tidak berpengaruh
buruk pada kehamilan, meski tetap mempunyai risiko terjadinya solusio
plasenta ataupun superimposed preeklampsia.
Hipertensi kronik yang diperberat oleh kehamilan akan memberi
tanda (a) kenaikan mendadak tekanan darah, yang akhirnya disusul
proteinuria dan (b) tekanan darah sistolik >200 mmHg diastolik >130
mmHg, dengan akibat segera terjadi oliguria dan gangguan ginjal.
Pernyulit hipertensi kronik pada kehamilan ialah (a) solusio
plasenta : risiko terjadinya solusio plasenta 2-3 kali pada hipertensi kronik
dan (b) superimposed preeklampsia.(2)
- Dampak pada janin
Dampak hipertensi kronik pada janin ialah pertumbuhan janin
terhambat atau fetal growth restriction, intra uterine growth restriction :
IUGR. Insiden fetal growth restriction berbanding langsung dengan
derajat hipertensi yang disebabkan menurunnya perfusi uteroplasenta,
sehingga menimbulkan insufisiensi plasenta. Dampak lain pada janin ialah
peningkatan persalinan preterm.(2)

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan khusus berupa ekokardiografi, pemeriksaan mata dan
pemeriksaan USG ginjal. Pemeriksaan laboratorium lain ialah fungsi ginjal,
fungsi hepar, Hb, hematokrit dam trombosit.(2)

35
Pengelolaan pada kehamilan
Tujuan pengelolaan hipertensi kronik dalam kehamilan adalah
meminimalkan atau mencegah dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat
hipertensinya sendiri ataupun akibat obat-obat antihipertensi. Secara umum ini
berarti mencegah terjadinya hipertensi yang ringan menjadi lebih berat, yang
dapat dicapai dengan cara farmakologik atau perubahan pola hidup: diet,
merokok, alkohol, dan substance abuse.(2)
Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu,
tanpa memandang status kehamilan. Hal ini untuk menghindari terjadinya CVA,
infark miokard serta disfungsi jantung dan ginjal.(2)
Antihipertensi diberikan:
- Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada
stage I hipertensi tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, tekanan diastolik ≥
90 mmHg
- bila terjadi disfungsi end organ.

Obat antihipertensi
Jenis antihipertensi yang digunakan pada hipertensi kronik, ialah :
- α-Metildopa
Suatu α2 - reseptor agonis
Dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal 3 gram per hari
- Calcium channel blockers
Nifedipin: dosis bervariasi antara 30 - 90 mg per hari.
- Diuretik thiazide
Tidak diberikan karena akan mengganggu volume plasma sehingga
mengganggu aliran darah utero-plasenta.(2)

Evaluasi janin
Untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau kronik,
perlu dilakukan Non stress test dan pemeriksaan ultrasonografi bila curiga
terjadinya fetal growth restriction atau terjadi superimposed preeklampsia.(2)

36
Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
Diagnosis superimposed preeklampsia sulit, apalagi hipertensi kronik
disertai kelainan ginjal dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed
preeklampsia pada hipertensi kronik, adalah a) adanya proteinuria, gejala-gejala
neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus, edema patologik yang
menyeluruh (anasarka), oliguria, edema paru. b) kelainan laboratorium: berupa
kenaikan serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.(2)

Persalinan pada kehamilan dengan hipertensi kronik


Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan
perjalanan klinik. Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan
kehamilan normal, pertumbuhan janin normal, dan volume amnion normal, maka
dapat diteruskan sampai aterm.(2)
Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambah buruk, maka segera
diterminasi dengan induksi persalinan, tanpa memandang umur kehamilan. Secara
umum persalinan diarahkan pervaginam, termasuk hipertensi dengan
superimposed preeklampsia, dan hipertensi kronik yang tambah berat.(2)

Perawatan pasca persalinan


Perawatan pasca persalinan sama seperti preeklampsia. Edema serebri,
edema paru, gangguan ginjal, dapat terjadi 24 - 36 jam pasca persalinan. Setelah
persalinan: 6 jam pertama resistensi (tahanan) perifer meningkat. Akibatnya,
terjadi peningkatan kerja ventrikel kiri (left ventricular work load). Bersamaan
dengan itu akumulasi cairan interstitial masuk ke dalam intravaskular. Perlu terapi
lebih cepat dengan atau tanpa diuretik. Banyak perempuan dengan hipertensi
kronik dan superimposed preeklampsia, mengalami penciutan volume darah
(hipovolemia). Bila terjadi perdarahan pascapersalinan, sangat berbahaya bila
diberi cairan kristaloid ataupun koloid, karena lumen pembuluh darah telah
mengalami vasokonstriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan ialah pemberian
transfusi darah.(2)

37
BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien Ny. ET, 32 tahun, datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda 14 Agustus 2018 pukul 00.15 WITA dengan membawa surat rujukan
dari RSUD A.M. Parikesit Tenggarong dan keluhan utama pusing. Setelah
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan diagnosis G1P0A0 gravid 35-36 minggu janin tunggal hidup
intrauterine dengan hipertensi kronik dan preeklampsia berat.

4.1. Anamnesis
Teori Kasus
Faktor resiko hipertensi dalam kehamilan : Hasil anamnesis pada pasien ini yaitu
- Primigravida pasien merupakan primigravida
- Usia <25 tahun ataupun >35 tahun (G1P0A0 gravid 35-36 minggu + janin
- Riwayat preeklampsia/eklampsia dalam tunggal hidup intrauterine) usia 32
keluarga tahun dengan berat badan 70 kg dan
- Kehamilan kembar dizigotik tinggi badan 155 cm (IMT 32,0).
- Kehamilan ganda Memiliki riwayat hipertensi sejak usia
- Merokok 25 tahun dan mengkonsumsi obat anti
- Obesitas hipertensi yaitu amlodipin 1x10 mg
- Mola Hidatidosa tetapi tidak rutin. Riwayat penyakit
keluarga menderita hipertensi (ayah)
Kriteria Hipertensi Kronik : tetapi tidak ada yang pernah mengalami
Hipertensi yang telah timbul sebelum hipertensi selama kehamilan.
kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu Berdasarkan riwayat ANC selama
umur kehamilan. Ciri-ciri hipertensi kronik : kehamilan ini diketahui bahwa tekanan
- Umur ibu relatif tua diatas 35 tahun darah pasien berkisar antara 150/100
- Tekanan darah sangat tinggi hingga 240/150 mulai dari usia
- Umumnya multipara kehamilan 11 minggu. Pasien
- Umumnya ditemukan kelainan jantung, mengeluhkan pusing tanpa mual,
ginjal dan diabetes mellitus muntah, atau pandangan kabur.

38
- Obesitas
- Penggunaan obat-obat antihipertensi
sebelum kehamilan
- Hipertensi yang menetap pasca
persalinan.(2)

4.2. Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
Kriteria hipertensi kronik : Pasien dirujuk ke RSUD A.W Sjahranie
Hipertensi kronik yang diperberat oleh dari RSUD A.M Parikesit dengan
kehamilan akan memberi tanda kenaikan tekanan darah 170/120 setelah
mendadak tekanan darah (tekanan darah sebelumnya 240/150 dan telah di
sistolik >200 mmHg diastolik >130 mmHg, berikan perwatan selama 8 jam di
dengan akibat segera terjadi oliguria dan RSUD A.M Parikesit. Pada
gangguan ginjal. pemeriksaan fisik saat pasien tiba di
IGD RSUD A.W Sjahranie :
Kriteria Preeklampsia berat : Keadaan umum : Baik
- Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg Kesadaran : Komposmentis
dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak Tanda Vital
menurun meskipun ibu hamil sudah Tekanan darah : 180/120 mmHg
dirawat di rumah sakit dan sudah Frekuensi nadi : 80x/menit
menjalani tirah baring. Frekuensi napas : 24x/menit
- Oliguria, yaitu produksi urin kurang Suhu : 36,1oC
dari 500 cc/24 jam.
- Gangguan visus dan serebral: Status Generalis
penurunan kesadaran, nyeri kepala, Kepala : Normosefalik
skotoma dan pandangan kabur. Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera
- Nyeri epigastrium atau nyeri pada tidak ikterik, penurunan visus
kuadran kanan atas abdomen (akibat (-)
teregangnya kapsula Glisson). Telinga/hidung/tenggorokan : tidak
- Edema paru-paru dan sianosis. ditemukan kelainan

39
Leher : Pembesaran kelenjar
getah bening (-), pembesaran
tiroid (-)
Thoraks
Jantung: S1 S2 tunggal reguler,
murmur (-), gallop (-)
Paru : Gerak napas simetris, retraksi
(-), suara napas vesikuler,
rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, linea nigra (+),
striae albicans (-), scar (-)
Auskultasi: Bising usus (+) kesan
normal
Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Superior: edema (-/-), akral hangat,
CRT < 2 detik
Inferior: edema (-/-), akral hangat,
varises (-/-), CRT < 2
detik

4.3. Pemeriksaan penunjang


Teori Kasus
Hipertensi Kronik : Laboratorium Darah Lengkap
Pada hipertensi kronik umunya terdapat (14/08/2018)
perburukan berupa peningkatan fungsi ginjal, Hemoglobin : 13,1 gr/dl
peningkatan fungsi hepar, penurunan kadar Hb, Leukosit : 16.250/µl
hematokrit dan trombosit. Hematokrit : 38%
Trombosit : 162.000/µl
Evaluasi janin Bleeding time : 3 menit
Dampak hipertensi kronik pada janin Clotting time : 9 menit

40
ialah pertumbuhan janin terhambat atau fetal GDS : 103 mg/dL
growth restriction, intra uterine growth Ureum : 33,1 mg/dL
restriction : IUGR. Insiden fetal growth Creatinin : 0,5 mg/dL
restriction berbanding langsung dengan derajat SGOT : 17 U/L
hipertensi yang disebabkan menurunnya SGPT : 17 U/L
perfusi uteroplasenta, sehingga menimbulkan Bilirubin direct : 0,1 mg/dL
insufisiensi plasenta. Dampak lain pada janin Bilirubin indirect : 0,1 mg/dL
ialah peningkatan persalinan preterm.(2) Bilirubin total : 0,2 mg/dL
Untuk mengetahui apakah terjadi Total Protein : 6,0 g/dL
insufisiensi plasenta akut atau kronik, perlu Albumin : 3,2 g/dL
dilakukan Non Stress Test (NST) dan Cholesterol : 354 mg/dL
pemeriksaan ultrasonografi bila curiga Asam Urat : 7,4 mg/dL
terjadinya fetal growth restriction atau terjadi HbsAg : Non reaktif
superimposed preeklampsia.(2) Ab HIV : Non reaktif

Preeklampsia berat : Urinalisis (14/08/2018)


- Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau +4 Warna : Kuning
dalam pemeriksaan kualitatif. Kejernihan : Keruh
- Hemolisis mikroangiopatik. pH : 5,0
- Trombositopenia berat: < 100.000 Protein : +3
sel/mm3 atau penurunan trombosit Glukosa : +1
dengan cepat. Hemoglobin : +4
- Gangguan fungsi hepar (kerusakan Leukosit : 1-3
hepatoselular): peningkatan kadar Eritrosit : 85-95
alanin dan aspartate aminotransferase Bakteri :+
- Pertumbuhan janin intrauterin yang
terhambat.
Ultrasonografi (05/12/2017)
- Sindrom HELLP.(2)
 Gravid, janin tunggal hidup
intrauterine
 Plasenta di corpus posterior grade
II

41
 Cairan amnion cukup
 Usia kehamilan 35 minggu 2 hari
 Taksiran persalinan 16 September
2018
 Estimasi berat janin 2.550 gram

Non Stress Test tidak dilakukan

4.4. Penatalaksanaan
Teori Kasus
Hipertensi Kronik: Penatalaksanaan
Terapi hipertensi kronik berat hanya 1. MgSO4 dosis awal (MgSO4 40%
mempertimbangkan keselamatan ibu, tanpa 4gr 10cc diencerkan dengan
memandang status kehamilan. Hal ini untuk aquadest 10cc atau sampai 20cc
menghindari terjadinya CVA, infark miokard diberikan selama 5 menit/i.v)
serta disfungsi jantung dan ginjal.(2) dilanjutkan dengan MgSO4 dosis
Antihipertensi diberikan: pemeliharaan (drip MgSO4 40% 6gr
- Sedini mungkin pada batas tekanan darah 15cc dalam 500cc RL selama 6 jam
dianggap hipertensi, yaitu pada stage I atau 28 tetes/menit) sampai 24 jam
hipertensi tekanan darah sistolik ≥ 140 perawatan/post partum.
mmHg, tekanan diastolik ≥ 90 mmHg 2. Inj. Cefotaxime 1 amp/8 jam I.V
- Bila terjadi disfungsi end organ. 3. Nifedipin 3x10 mg/oral
4. Dexamethason 2 amp/8 jam i.v
Obat antihipertensi
5. Nicardipine sp 1 meq/jam BB : 70
Jenis antihipertensi yang digunakan pada
kg, kecepatan 21/jam.
hipertensi kronik, ialah :
Target tekanan darah <160/80
- α-Metildopa
mmHg
Suatu α2 - reseptor agonis
6. Observasi keadaan umum, tanda
Dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal
vital, dan DJJ
3 gram per hari
7. Sectio Caesarea Transperitoneal
- Calcium channel blockers
Profunda
Nifedipin: dosis bervariasi antara 30 - 90

42
mg per hari. Pada kasus, tidak dilakukan induksi
- Diuretik thiazide persalinan.
Tidak diberikan karena akan mengganggu
volume plasma sehingga mengganggu Berdasarkan kasus, setelah 24 jam tidak
aliran darah utero-plasenta.(2) ada perbaikan keadaan (tekanan darah
masih tinggi), dianggap sebagai
Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh
kegagalan pengobatan medikamentosa
derajat tekanan darah dan perjalanan klinik.
dan harus diterminasi. Pada pasien
Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali,
belum ada tanda-tanda inpartu, karena
perjalanan kehamilan normal, pertumbuhan
itu dilakukan sectio caesarea.
janin normal, dan volume amnion normal,
maka dapat diteruskan sampai aterm.(2)

Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin


bertambah buruk, maka segera diterminasi
dengan induksi persalinan, tanpa memandang
umur kehamilan. Secara umum persalinan
diarahkan pervaginam, termasuk hipertensi
dengan superimposed preeklampsia, dan
hipertensi kronik yang tambah berat.

Preeklampsia berat :

Pada pasien preeklampsia berat segera harus


diberi sedativa yang kuat untuk mencegah
timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam
bahaya akut sudah diatasi, tindakan selanjutnya
adalah cara terbaik untuk menghentikan
kehamilan.(3)

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia


mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan
supportif terhadap penyulit organ yang terlibat,

43
dan saat yang tepat untuk persalinan. Diikuti
dengan observasi harian tentang tanda tanda
klinik berupa : nyeri kepala, gangguan visus,
nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat
badan.

Pemasangan foley kateter untuk mengukur


pengeluaran urin. Oligouria terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau
< 500 cc/24 jam.

Diberikan antasida untuk menetralisir asam


lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari resiko aspirasi asam lambung
yang sangat asam. Diet yang cukup protein,
rendah karbohidrat, lemak dan garam.(7)

Anti kejang yang efektif diberikan pada


penderita preeklampsia/eklampsia adalah
magnesium sulfat. Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram
MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit.
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6
gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram im
tiap 4-6 jam.

Batas tekanan darah pemberian antihipertensi


ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg
dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg.
Tekanan darah diturunkan secara bertahap,
yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik

44
dan tekanan darah diturunkan mencapai <
160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi
yang diberikan sangat bervariasi. Obat
antihipertensi yang harus dihindari secara
mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin
dan nimodipin.(2)
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi
setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg
iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg
iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv
infuse 10 mg/menit/dititrasi.

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan


paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada
kehamilan <37 minggu, 2x 24 jam.

Ditinjau dari umur kehamilan dan


perkembangan gejala-gejala preeklampsia
berat selama perawatan, maka sikap terhadap
kehamilannya dibagi menjadi:
3. Aktif : berarti kehamilan segera
diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
4. Konservatif (ekspektatif): berarti
kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.

Indikasi perawatan konservatif ialah bila

45
kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai
tanda–tanda impending eklampsia dengan
keadaan janin baik. Diberi pengobatan yang
sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan
konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah
hanya observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri.

Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah


mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini
dianggap sebagai kegagalan pengobatan
medikamentosa dan harus diterminasi. (2)

Cara mengakhiri kehamilan (terminasi


kehamilan) dilakukan berdasar keadaan
obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu
atau belum.(2)

46
BAB 5
PENUTUP

Kesimpulan
Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. ET berusia 30 tahun datang
ke rumah sakit untuk kontrol kehamilan. Setelah dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didapatkan diagnosis G1P0A0
gravid 35-36 minggu janin tunggal hidup intrauterine dengan hipertensi kronik
dan preeklampsia berat. Predisposisi terjadinya hipertensi kronik dan
preeklampsia berat pada pasien ini adalah pasien merupakan primigravida,
memiliki riwayat hipertensi sejak usia 25 tahun dan mengkonsumsi obat
antihipertensi yaitu amlodipin 1x10mg tetapi tidak rutin, terdapat riwayat
hipertensi di keluarganya, dan didapatkan proteinuria pada pemeriksaan urinalisis
sejak usia kehamilan 32 minggu. Pada pasien ini dilakukan seksio sesaria karena
dalam 24 jam tidak ada perbaikan keadaan (tekanan darah masih tinggi), hal ini
dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi
dan pada pasien ini belum ada tanda-tanda inpartu. Secara umum penegakkan
diagnosis maupun penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat dan sesuai dengan
teori.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Joseph et al. Epidemiology. 2008 diakses tanggal 16 Agustus 2018, dari


http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/326/basics/epidemiology.
html
2. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2006
3. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.
Sumatera Utara. FK USU. 2009
4. Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp, Intra
Uterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil Preterm
BelumDalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009
5. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas Jendral
Sudirman. 2011
6. Cunningham, FG et.al. Hypertensive Disorder in Pregnancy. Williams
Obstetrics, 21st ed. Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange.
Connecticut. 2001. 653 - 694.
7. Jurnal penatalaksanaan Pre-eklampsi dan Eklampsi Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS. Dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, April 1998.
8. Angsar, M D. Hipertensi dalam Kehamilan. Surabaya: Universitas Airlangga.
2008.
9. Prasetyo, R. Preeklamsia-Eklamsia. 2006 diakses tanggal 16 Agustus 2018,
dari http://eprints.undip.ac.id/29356/3/Bab_2.pdf
10. Sibai, B.M et al. Risk Factors for Preeclampsia, Abruptio Placentae, and
Adverse Neonatal Outcomes among Women with Chronic Hypertension. 1998
diakses tanggal 16 Agustus 2018, dari
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199809033391004#t=articleDisc
ussion

48

Anda mungkin juga menyukai