Anda di halaman 1dari 29

Lab/Smf Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran Hematologi Onkologi


Universitas Mulawarman

HEMOFILIA

Disusun oleh:
Spicakent Dinyanti
17100290067

Pembimbing:
dr. Dhini Karunia, Sp. A

LAB/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD A.W. SJAHRANIE
SAMARINDA 2018
Tutorial Klinik

Hemofilia

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak

Spicakent Dinyanti
1710029067

Menyetujui,

dr. Dhini Karunia, Sp.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tutorial
Klinik yang berjudul “Hemofilia”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan Tutorial Klinik ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. William S. Tjeng, Sp.A, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
Anak dan dosen pembimbing klinik di divisi Hematologi – Onkologi.
5. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial ini. Akhir kata,
semoga tutorial ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Desember 2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hemofilia merupakan suatu penyakit genetik yang telah diketahui sejak lama.
Hemofilia didefinisikan sebagai penyakit atau gangguan perdarahan yang bersifat
herediter akibat kekurangan faktor pembekuan VIII, IX dan XI dengan karakteristik
sex-linked resesif dan autosomal resesif (Gatot & Moeslichan, 2012; Yantie & K,
2012). Kekurangan faktor pembekuan VIII (anti hemofilik) mengakibatkan hemofilia
A (Classic Hemophilia) yang merupakan bentuk hemofilia yang paling sering
dijumpai. Kekurangan faktor pembekuan IX (christmas factor) menyebabkan
hemofilia B (Christmas Disease). Hemofilia C disebabkan akibat kekurangan faktor
pembekuan XI dan merupakan bentuk hemofilia yang paling jarang ditemukan
(Yantie & K, 2012).
Sebenarnya hemofilia telah ditemukan sejak lama sekali, dan belum memiliki
nama. Talmud, yaitu sekumpulan tulisan para rabi Yahudi, 2 abad setelah masehi
menyatakan bahwa seorang bayi laki-laki tidak harus di khitan jika dua kakak laki-
lakinya mengalami kematian akibat di khitan. Seorang dokter asal Arab, Albucasis,
yang hidup pada abad ke 12 telah menulis tentang sebuah keluarga yang setiap anak
laki-lakinya meninggal setelah terjadi perdarahan akibat luka kecil (Yantie & K,
2012).
Laporan dari badan dunia menyebutkan insidensi hemofilia A berkisar antara
1 kasus/5000 laki-laki, dan diperkirakan 1/3 diantaranya tidak didapatkan riwayat
keluarga dengan hemofilia. Hemofilia B berkisar antara 1 kasus/25.000 laki-laki,
merupakan ¼ dari seluruh kasus hemophilia. Untuk kasus hemofilia C di Indonesia
belum terdapat data resmi karena kasus ini jarang ditemukan, diperkirakan 1 per 100
ribu kasus hemofilia (Agaliotis, 2012; Yoshua & Angliadi, 2013).
Kata hemofilia pertama kali muncul pada sebuah tulisan yang ditulis oleh
Hopff di Universitas Zurich, tahun 1828. Dan menurut ensiklopedia Britanica, istilah
hemofilia (haemophilia) pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter
berkebangsaan Jerman, Johann Lukas Schonlein (1793 - 1864), pada tahun 1928.
Sepanjang hidupnya Schonlein berusaha menjadikan kedokteran sebagai sebuah
cabang ilmu pengetahuan alam. Upaya Schonlein dalam hal inilah yang
memungkinkan kedokteran mengembangkan metode pengajaran dan praktek
kedokteran klinik.Schonlein yang adalah seorang guru besar kedokteran di tiga
universitas besar di Jerman - Wurzburg (1824 - 1833), Zurich (1833 - 1830) dan
Berlin (1840 - 1859) - adalah dokter pertama yang memanfaatkan mikroskop untuk
melakukan analisis kimiawi terhadap urin dan darah guna menegakkan diagnosis atas
penyakit yang diderita seorang pasien (Gatot & Moeslichan, 2012).

1.2 Tujuan
Untuk mempelajari dan lebih memahami definisi, epidemiologi, etiologi,
faktor risiko, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi dari hemofilia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hemofilia didefinisikan sebagai penyakit atau gangguan perdarahan yang
bersifat herediter akibat kekurangan atau gangguan fungsi salah satu faktor
pembekuan, yaitu faktor pembekuan VII, IX, atau XI.

2.2 Epidemiologi
Laporan dari badan dunia menyebutkan insidensi hemofilia A berkisar antara
1 kasus/5000 laki-laki, dan diperkirakan 1/3 diantaranya tidak didapatkan riwayat
keluarga dengan hemofilia. Hemofilia B berkisar antara 1 kasus/25.000 laki-laki,
merupakan ¼ dari seluruh kasus hemofilia (Agaliotis, 2012).
Insidensi hemofilia A di Eropa dan Amerika Utara berkisar antara 1 kasus
diantara 5000 bayi laki-laki yang lahir hidup. Insidensi hemofilia B berkisar antara 1
kasus diantara 30.000 bayi laki-laki yang lahir hidup. Di Amerika Serikat prevalensi
hemofilia A berkisar antara 20,6 kasus diantara 100.000 laki-laki dan 60%
diantaranya berat. Sedangkan untuk hemofilia B berkisar antara 5,3 kasus/100.000
laki-laki, 44% diantaranya berat (Agaliotis, 2012).
Sementara itu menurut Rebecca Elstrom (2002) dari University of
Pennsylvania Medical Center Philadelphia, insidensi hemofilia A pada pria adalah
1 : 5.000, dan insidensi hemofilia B berkisar 1 : 32.000 pria (Elstrom, Matthew,
2012). Sedangkan untuk hemofilia C prevalensi tertinggi diderita orang-orang
Ashkenazi Jews (di Israel, diperkirakan sekitar 8%). Di Inggris, 383 pasien menderita
hemofilia C dari sekitar 59 orang penduduk. Di Perancis terdapat 39 penderita
diantara 290.000 penduduk. Untuk kasus hemofilia C di Indonesia belum terdapat
data resmi karena kasus ini jarang ditemukan, diperkirakan 1 per 100 ribu kasus
hemofilia (Yoshua & Angliadi, 2013).
Prevalensi hemofilia terendah pada orang Cina. Sedangkan jika ditinjau dari
jenis kelamin, karena hemofilia dikaitkan dengan sex-linked koagulopati yang
berkaitan dengan X-linked; maka prialah yang terkena, wanita hanya menjadi karier
yang berkaitan dengan gennya dan biasanya tidak didapatkan adanya manifestasi
gangguan perdarahan (Agaliotis, 2012).

Klasifikasi
Pembagian hemofilia berdasarkan pada jenis dari faktor pembekuan yang terlibat,
yaitu:
1. Hemofilia A
Disebut juga hemofilia klasik. Terjadi karena kurangnya factor pembekuan VIII.
Merupakan hemofilia yang paling sering terjadi (80-85 % kasus).
2. Hemofilia B
Disebut juga Christmas disease, karena ditemukan untuk pertama kalinya pada
seseorang yang bernama Steven Christmas asal Kanada. Terjadi karena
kekurangan factor pembekuan IX. Jenis hemofilia ke dua yang sering terjadi (10-
15 % kasus).
3. Hemofilia C
Defek pada faktor XI. Merupakan tipe hemofilia yang paling kurang lazim
ditemukan dan dijumpai pada 2-3 % dari semua penderita hemofilia.

2.3 Etiologi
Hemofilia A dan hemofilia B disebabkan oleh kerusakan pada pasangan
kromosom. Defek genetik ini berpengaruh pada produksi dan fungsi dari faktor
pembekuan. Semakin sedikit faktor pembekuan tersebut maka semakin berat derajat
hemofili yang diderita. Hemofilia A disebabkan oleh kelainan produksi dari faktor
VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan oleh kelainan produksi dari faktor IX.
Meskipun hemofilia merupakan penyakit genetik, hemofilia dapat timbul
secara spontan ketika kromosom yang normal mengalami abnormalitas (mutasi) yang
berpengaruh pada gen untuk faktor pembekuan VIII atau IX. Anak yang mewarisi
mutasi tersebut dapat lahir dengan hemofilia atau dapat juga hanya sebagai carrier.
Sementara itu untuk hemofilia C disebabkan defisiensi kongenital faktor XI
yang disebabkan mutasi gen faktor XI. Hal ini dapat terlihat dari 6 orang Ashkenazi
Jewish, dimana pada pasien hemofilia C tersebut terlihat adanya mutasi gen faktor
XI. Akibat dari mutasi ini terjadi kegagalan produksi protein aktif yang berkaitan
dengan disfungsi molekul faktor pembekuan.

2.4 Fisiologi Faktor Pembekuan


Mekanisme pembekuan normal pada dasarnya dibagi 3 jalur yaitu :
1. Jalur intrinsik, jalur ini dimulai aktivasi F XII sampai terbentuk F X aktif.
2. Jalur ekstrinsik, jalur ini mulai aktivasi F VII sampai terbentuk F X aktif.
3. Jalur bersama (common pathway), jalur ini dimulai dari aktivasi F X sampai
terbentuknya fibrin yang stabil (Tambunan & Widjanarko, 2010).

Gambar 2.1 Sistem Pembekuan


Semua faktor yang diperlukan dalam sistem pembekuan intrinsik terdapat
dalam darah dalam bentuk inaktif, sedangkan sistem ekstrinsik bergantung kepada
suatu lipoprotein, tromboplastin, atau faktor III, yang dilepaskan dari dalam sel yang
rusak dan hanya memerlukan sebagian faktor pembekuan dari sistem intrinsik.
Tromboplastin jaringan mempunyai dua komponen aktif, suatu enzim yang
mengakibatkan faktor VII dan suatu fosfolipid. Sistem pembekuan ekstrinsik dapat
pula bekerja di dalam pembuluh darah, karena endotelnya mengandung tromboplastin
jaringan. Sistem pembekuan intrinsik mula-mula dipicu melalui aktifasi faktor XII
(Hageman) antara lain oleh sejumlah kecil tromboplastin jaringan, faktor trombosit
(PF3) atau serabut kolagen, sedangkan dalam tabung reaksi sentuhan pada permukaan
asing (gelas). Faktor XIIa (aktif) kemudian mengubah faktor XI menjadi bentuk
aktifnya (XIa) dan selanjutnya mengubah faktor IX (PTC) menjadi faktor IXa. Faktor
IXa ini bergabung dengan faktor VIIIa (AHG yang diaktifkan oleh trombin) dan
bersama-sama akan mengaktifkan faktor X dengan adanya fosfolipid dan ion Ca++.
Kemudian faktor Xa mengubah protrombin menjadi trombin dan ini akan mengubah
fibrinogen menjadi fibri monomer yang labil dan akhirnya oleh faktor XIII dan
trombin diubah menjadi fibrin polimer yang stabil.
Faktor VIII adalah glikoprotein yang dibentuk di sel sinusoidal hati. Produksi
FVIII dikode oleh gen yang terletak pada kromosom X. Di dalam sirkulasi FVIII
akan membentuk kompleks dengan faktor von Willebrand. Faktor von Willebrand
adalah protein berat molekul besar yang dibentuk di sel endotel dan megakariosit.
Fungsinya sebagai protein pembawa FVIII dan melindunginya dari degradasi
proteolisis. Di samping itu faktor von Willebrand juga berperan pada proses adhesi
trombosit. Faktor VIII berfungsi pada jalur intrinsik sistem koagulasi yaitu sebagai
kofaktor untuk F IXa dalam proses aktivasi F X (lihat skema koagulasi).

2.5 Patofisiologi Hemofilia


Pada orang normal aktifitas faktor VIII berkisar antara 50-150%. Pada
hemofilia A, aktifitas F VIII rendah. Faktor VIII termasuk protein fase akut yaitu
protein yang kadarnya meningkat jika terdapat kerusakan jaringan, peradangan, dan
infeksi. Kadar F VIII yang tinggi merupakan faktor resiko trombosis. Faktor IX
adalah faktor pembekuan yang dibentuk di hati dan memerlukan vitamin K untuk
proses pembuatannya. Jika tidak tersedia cukup vitamin K atau ada antagonis vitamin
K, maka yang terbentuk adalah protein yang mirip F IX tetapi tidak dapat berfungsi.
Gen yang mengatur sintesis F IX juga terletak pada kromosom X. Faktor IX
berfungsi pada jalur intrinsik sistem koagulasi yaitu mengaktifkan faktor X menjadi
Xa. Nilai rujukan aktifitas F IX berkisar 50-150%. Aktifitas F IX rendah dijumpai
pada hemofilia A, defisiensi vitamin K, antikoagulan oral, penyakit hati.
Hemofilia diturunkan oleh ibu sebagai pembawa sifat yang mempunyai 1
kromosom X normal dan 1 kromosom X hemofilia. Penderita hemofilia, mempunyai
kromosom Y dan 1 kromosom X hemofilia. Seorang wanita diduga membawa sifat
jika:

1. Ayahnya pengidap hemophilia


2. Mempunyai saudara laki-laki dan 1 anak laki-laki hemofilia, dan
3. Mempunyai lebih dari 1 anak laki-laki hemophilia

Karena sifatnya menurun, gejala klinis hemofilia A atau B dapat timbul sejak
bayi, tergantung beratnya penyakit. Hemofilia A atau B dibagi tiga kelompok:

1. Berat (kadar faktor VIII atau IX <1%)


2. Sedang (faktor VIII/IX antara 1%-5%) dan
3. Ringan (faktor VIII/X antara >5%-40%).
Proses pembekuan darah diperankan oleh pembuluh darah, trombosit dan
faktor pembekuan darah. Berikut ini bagan kaskade pembekuan darah yang
apabila salah satu faktornya hilang/isufisiensi atau tidak berfungsi maka
kasakade pembekuan darah akan terganggu sehingga proses koagulasi darah
menjadi memanjang.
Pada hemophilia defisiensi faktor VIII, IX dan XI akan menyebabkan uji
APTT memanjang karena kurangnya faktor pembekuan intrinsik.

2.5 Manifestasi Klinis


Beratnya perdarahan pada seorang penderita hemofilia ditentukan oleh kadar F
VIII C di dalam plasma. Berdasarkan kadar FVIII C dan klinik, hemofilia dibagi 4
golongan
a. Hemofilia berat : kadar F VIII C di dalam plasma 0-2%
Perdarahan spontan sering terjadi. Perdarahan pada sendi-sendi
(hemarthrosis) sering terjadi. Perdarahan karena luka atau trauma dapat
mengancam jiwa.
b. Hemofilia sedang: kadar F VIII C di dalam plasma 3-5%
Perdarahan serius biasanya terjadi bila ada trauma. Hemarthrosis dapat
terjadi walaupun jarang dan kalau ada biasanya tanpa cacat.
c. Hemofilia ringan : kadar F VIII C di dalam plasma berkisar antara 6-25%
Perdarahan spontan biasanya tidak terjadi. Hemarthrosis tidak ditemukan.
Perdarahan biasanya ditemukan sewaktu operasi berat, atau trauma.
d. Sub hemofilia
Beberapa penulis menyamakannya dengan karier hemofilia. Kadar F VIII
C 26-50%. Biasanya tidak disertai gejala perdarahan. Gejala mungkin
terjadi sesudah suatu operasi besar dan lama.
Salah satu gejala khas dari hemofilia adalah hemarthrosis yaitu perdarahan ke
dalam ruang sinovia sendi, misalnya pada sendi lutut. Persendian besar lainnya
seperti lengan dan bahu juga dapat terkena. Perdarahan ini bisa dimulai dengan luka
kecil atau spontan dalam sendi. Darah berasal dari pembuluh darah sinovia, mengalir
dengan cepat mengisi ruangan sendi. Penderita dapat merasakan permulaan
timbulnya perdarahan pada sendi ini karena ada rasa panas. Akibat perdarahan,
timbul rasa sakit yang hebat, menetap disertai dengan spasme otot, dan gerakan sendi
yang terbatas. Karena perdarahan berlanjut, tekanan di dalam ruangan sendi terus
meningkat dan menyebabkan iskemia sinovia dan pembuluh-pembuluh darah
kondral. Keadaan ini merupakan permulaan kerusakan sendi yang permanen
(Tambunan & Widjanarko, 2010).
Akibat perdarahan yang berulang pada sendi yang sama, sering terjadi
peradangan dan penebalan jaringan sinovia, kemudian terjadi atropi otot. Keadaan
kontraksi sendi yang stabil ini merupakan predisposisi kerusakan selanjutnya.
Akhirnya kartilago dan substansi tulang hilang. Kista tulang dan kontraktus yang
permanen menyebabkan hilangnya gerakan sendi. Bisa juga terjadi hipertrofi karena
radang sinovia kronik dan menghasilkan pembengkakan sendi yang persisten tanpa
disertai nyeri yang nyata (Agaliotis, 2012).
Selain hemarthrosis, ada sebuah fenomena perdarahan yang terlambat
(delayed bleeding) yang juga merupakan gejala khas dari hemofilia A. Peristiwa ini
biasanya ditemukan sesudah tindakan ekstraksi gigi. Pada permulaan perdarahan
berhenti dan sesudah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian, perdarahan
timbul kembali. Hal ini dapat diterangkan, pada permulaan trombosit dan pembuluh
darah dapat menghentikan perdarahan untuk sementara, tetapi karena jaringan fibrin
tidak ada atau kurang terbentuk untuk menutup luka maka timbul perdarahan kembali
(Tambunan & Widjanarko, 2010).
Perdarahan bawah kulit atau di dalam otot juga merupakan manifestasi
hemofilia yang paling umum. Lesi ini biasanya dimulai sebagai akibat trauma dan
menyebar mengenai satu daerah yang luas dan sering tanpa ada perbedaan warna
kulit diatasnya. Perdarahan jaringan lunak di daerah leher karena trauma kecil bisa
menyebabkan komplikasi yang serius karena jalan napas bisa tertekan; dan bahkan
menyebabkan kematian. Perdarahan di bawah leher ini dapat terjadi sesudah anestesi
mandibular, punksi vena jugular.
Pada penderita hemofilia C, pada pemeriksaan fisik biasanya normal kecuali
jika terjadi manifestasi perdarahan. Pada beberapa tempat dapat terjadi memar-
memar. Pasien juga kadang mengeluhkan demam, kelemahan, dan takikardia jika
terjadi perdarahan yang masif.

2.6 Diagnosis
Diagnosis hemofilia dibuat berdasarkan riwayat perdarahan, gambaran klinik
dan pemeriksaan laboratorium. Pada penderita dengan gejala perdarahan atau riwayat
perdarahan, pemeriksaan laboratorium yang perlu diminta adalah pemeriksaan
penyaring hemostasis yang terdiri atas hitung trombosit, uji pembendungan, masa
perdarahan, PT (prothrombin time – masa protrombin plasma), APTT (activated
partial thromboplastin time – masa tromboplastin parsial teraktivasi) dan TT
(thrombin time – masa trombin).

Anamnesis
Sampai saat ini riwayat keluarga masih merupakan cara terbaik untuk
melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, meskipun terdapat 20-30%
kasus hemofilia terjadi akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyandi
FVIII/FIX. Seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat hemofilia (karier) jika
memiliki satu atau lebih saudara laki-laki dan anak laki-laki pasien hemofilia atau
ayahnya pasien hemofilia. Seorang anak laki-laki diduga menderita hemofilia jika
terdapat perdarahan berulang (hemartrosis, hematom) atau riwayat perdarahan
memanjang berulang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan atau tanpa riwayat
keluarga.
Keluhan yang muncul saat lahir yaitu perdarahan tali pusat. Seorang bayi harus
dicurigai menderita hemofilia jika ditemukan bengkak atau hematoma pada saat
bayi mulai merangkak atau berjalan. Pada anak yang lebih besar dapat timbul
hemartrosis di sendi lutut, siku, atau pegelangan tangan.

Pemeriksaan Fisik
a. Hematom pada kepala atau extremitas
b. Hemarthrosis
c. Dijumpainya perdarahan interstitial yang menyebabkan atrofi otot, pergerakan
terganggu, dan kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah sendi siku, lutut,
pergelangan kaki, paha dan sendi bahu.

Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji hemostasis, pada
hemofilia A atau B akan dijumpai pemanjangan APTT sedangkan pemeriksaan
hemostasis lain yaitu hitung trombosit, uji pembendungan, masa perdarahan, PT dan
Tt dalam batas normal. Pemanjangan APTT dengan PT yang normal menunjukkan
adanya gangguan pada jalur intrinsik sistem pembekuan darah. Faktor VIII dan IX
berfungsi pada jalur intrinsik sehingga defisiensi salah satu faktor pembekuan ini
akan mengakibatkan pemanjangan APTT yaitu tes yang menguji jalur intrinsik sistem
pembekuan darah.
Laboratorium
 APTT memanjang
Activated Partial tromboplastin Time (APTT) sama dengan Partial
Tromboplastin Time (PTT) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
menilai semua faktor pembekuan darah dalam jalur intrinsik kecuali
trombosit, termasuk faktor VIII, IX, XI, XII. Nilai normal bekuan fibrin
terbentuk dalam waktu 21 – 35 detik. APTT memanjang pada keadaan
defisiensi faktor pembekuan, pemberian heparin, adanya hasil pemecahan
fibrin fibrinolisin, dan adanya antibodi terhadap faktor pembekuan yang
spesifik.
 PPT normal
Protrombin Time (PT) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
mengukur waktu yang diperlukan untuk membentuk bekuan fibrin dalam
sample plasma yang telah dicampur dengan sitrat yang menggambarkan
fungsi dari faktor pembekuan jalur ekstrinsik (faktor V, VII, X, protrombin
dan fibrinogen). Nilai normal 10 – 14 detik.
 Masa perdarahan atau bleeding time dalam batas normal
 Jumlah trombosit dalam batas normal
 Untuk membedakan hemophilia A dari hemophilia B dan untuk mengetahui
beratnya hemophilia diperiksa aktivitas factor VIII atau IX.
 Selain harus dibedakan dari hemofilia B, hemofilia A juga perlu dibedakan
dari penyakit von Willebrand, karena pada penyakit ini juga dapat ditemukan
aktifitas F VIII yang rendah. Penyakit von Willebrand disebabkan oleh
defisiensi atau gangguan fungsi faktor von Willebrand. Jika faktor von
Willebrand kurang maka F VIII juga akan berkurang, karena tidak ada yang
melindunginya dari degradasi proteolitik. Disamping itu defisiensi faktor von
Willebrand juga akan menyebabkan masa perdarahan memanjang karena
proses adhesi trombosit terganggu. Pada penyakit von Willebrand hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan pemanjangan masa perdarahan aPTT,
aPTT bisa normal atau memanjang dan aktifitas F VIII bisa normal atau
rendah. Disamping itu akan ditemukan kadar serta fungsi faktor von
Willebrand yang rendah. Sebaliknya pada hemofilia A akan dijumpai masa
perdarahan normal, kadar dan fungsi von Willebrand juga normal.
Derajat berat ringannya hemofilia didasarkan pada konsentrasi FVIII atau FIX
di dalam plasma.
 Kadar beberapa faktor tersebut berlawanan dengan kadar dalam plasma dari
orang normal yang diperkirakan mencapai 100-150%
 Usia, kehamilan, kontrasepsi dan pemberian terapi estrogen juga dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya faktor-faktor tersebut.
 Pada neonatus yang lahir prematur, kadar FIX lebih rendah 20-50% dari kadar
normal, dan akan kembali normal setelah jangka waktu 6 bulan. sedangkan
FVIII normal selama periode tersebut.

Radiologi
• Hipertropi sinovial, deposit hemosiderin, fibrosis, dan kerusakan kartilago
yang progresif dengan terbentuknya bone kista dapat diperlihatkan dengan
film konvensional, terutama terdapat pada pasien yang tidak diobati atau
diobati dengan tidak adekuat atau jika sering terjadi perdarahan sendi yang
berulang.
• Pemeriksaan Ultrasonography digunakan untuk evaluasi sendi yang berkaitan
dengan efusi akut atau kronik. Namun tehnik ini tidak didapat digunakan
untuk evaluasi tulang atau kartilago.
• MRI digunakan untuk evaluasi kartilago, sinovial dan hubungan antara sendi.
• Sedangkan untuk hemofilia C tidak satupun pemeriksaan pencitraan
(radiologi) yang diperlukan dalam konfirmasi diagnosis defisiensi faktor XI.
Namun demikian, pemeriksaan radiologis dapat dilakukan untuk
mengevaluasi perdarahan saat dilakukan tindakan terapi terhadap perdarahan
pada tempat-tempat tertentu.

Kriteria diagnosis
Untuk memudahkan diagnosis, terdapat beberapa kriteria yang dapat
membantu, yaitu:
- Kecenderungan terjadi perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu tindakan,
atau timbulnya hematom atau hemartrosis secara spontan atau setelah trauma
ringan
- Riwayat keluarga
- Masa pembekuan memanjang, masa tromboplastin parsial memanjang
- Diagnosis pasti: kadar aktivitas faktor VIII/IX di bawah normal

2.7 Diagnosis Banding


 Von Willebrand’s disease
 Defisiensi vitamin K

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan hemofilia adalah :
1. Pengobatan dasar
- Tindakan saat terjadi perdarahan
- Tindakan saat perdarahan artifisial
- Pengobatan pencegahan
- Pengobatan di rumah
2. Perawatan komprehensif
3. Inhibitor terhadap faktor VIII.
4. Deteksi karier dan diagnosis prenatal

1. Pengobatan Dasar
Pengobatan yang dimaksud adalah pemberian faktor pembekuan yang
kurang/defisiensi kepada individu secara langsung lewat vena, berarti mencegah
perdarahan atau mengurangi perdarahan serta efek samping.
a) Tindakan saat terjadi perdarahan
Pertolongan pertama bila terjadi perdarahan pada sendi dan otot, baik sebelum
maupun sesudah mendapat terapi, langkah-langkah ”RICE” berikut hendaknya diikuti
yaitu :
(R) : Istirahatkan anggota tubuh
(I) : Dimana ada luka kompres bagian tubuh yang luka dan daerah sekitar
dengan es atau bahan lain yang lembut dan beku/dingin
(C) : Tekan dan ikat, sehingga bagian tubuh yang mengalami perdarahan tidak
dapat bergerak. Gunakan perban elastis jangan terlalu keras
(E) : Bagian tubuh tersebut dalam posisi lebih tinggi dari posisi dada dan
letakkan diatas benda yang lembut seperti bantal.
Dalam waktu kurang dari 2 jam pasien harus mendapat replacement therapy
faktor VIII/IX (lihat tabel 1). Dosis replacement therapy sesuai dengan organ yang
mengalami perdarahan dan derajat hemofilia yang diderita pasien. (lihat Tabel 1).
Untuk perdarahan yang mengancam jiwa (intrakranial, intraabdomen, atau
saluran napas), replacement therapy harus diberikan sebelum pemeriksaan lebih
lanjut. Bila respons klinis tidak membaik setelah pemberian terapi dengan dosis
adekuat, perlu pemeriksaan kadar inhibitor.
Sumber faktor VIII adalah konsentrat faktor VIII dan kriopresipitat, sedangkan
sumber faktor IX adalah konsentrat faktor IX dan FFP (fresh frozen plasma).
Replacement therapy diutamakan menggunakan konsentrat faktor VIII/IX. Apabila
konsentrat tidak tersedia, dapat diberikan kriopresipitat atau FFP.
Perhitungan dosis:
F VIII (Unit) = BB (kg) x % (target kadar plasma – kadar F VIII pasien) x 0,5
F IX (Unit) = BB (kg) x % (target kadar plasma – kadar F IX pasien)

Tabel 1. Rekomendasi kadar faktor VIII/IX plasma dan lamanya pemberian (Untuk
daerah/negara dengan keterbatasan penyediaan sumber faktor VIII/IX). Dikutip
dengan modifikasi.
Komponen utama krioprisipitat adalah faktor VIII atau anti hemophylic
globulin. Penggunaannya ialah untuk menghentikan perdarahan karena berkurangnya
AHG di dalam darah penderita hemofili A. Faktor VIII atau AHG ini tidak bersifat
“genetic marker antigen” seperti granulosit, trombosit atau eritrosit, tetapi pemberian
yang berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukan antibodi yang bersifat
“inhibitor” terhadap faktor VIII karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai
dosis maksimal, tetapi diberikan sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis.
Untuk jelasnya terlihat dalam tabel kutipan ini.
Setiap kantong krioprisipitat mengandung 150 U faktor VIII, sedangkan
krioprisipitat produksi LPTD-PMI ditaksir hanya mengandung 100 U faktor
VIII/kantong. Hal ini disebabkan karena darah yang diambil dari donor lebih sedikit.
Cara pemberian krioprisipitat aialah dengan menyuntikkan intravena langsung tidak
melalui tetesan infus. Komponen tidak tahan pada suhu kamar, jadi pemberiannya
sesegera mungkin setelah komponen mencair.
Selain replacement therapy, dapat diberikan terapi ajuvan untuk pasien hemofilia,
yaitu:
1. DDAVP
Suatu hormon sintesis anti diuretik yaitu 1-deamino-8-D-arginine
vasopressine (DDAVP) dapat menaikkan kadar F VIII C. Pada hemofilia
ringan sampai sedang obat ini menaikkan kadar F VIII C 3-6 kali lipat.
- Mekanisme kerja: meningkatkan kadar F VIII dengan cara melepaskan
faktor VIII dari poolnya
- Indikasi :
 Hemofilia ringan – sedang, yang mengalami perdarahan
ringan atau akan menjalani prosedur minor
 Penyakit Von Willebrand (berusia di atas 2 tahun)
- Dosis: 0,3 -μg/kg (meningkatkan kadar F VIII 3-6x dari baseline)
- Cara pemberian: DDAVP dilarutkan dalam 50-100 ml normal
saline, diberikan melalui infus perlahan dalam 20-30 menit. DDAVP
juga dapat diberikan intranasal, dengan menggunakan preparat DDAVP
nasal spray. Dosis DDAVP intranasal yaitu 300 μg, setara dengan
dosis intravena 0,3 μg/kg. DDAVP intranasal terutama sangat
berguna untuk mengatasi perdarahan minor pasien hemofilia ringan-
sedang di rumah.
- Efek samping: takikardi, flushing, tremor, dan nyeri perut (terutama
pada pemberian intravena yang terlalu cepat), retensi cairan, dan
hiponatremia
2. EACA dan Tranexamic Acid
Epsilon Amino Caproid Acid (EACA) dan asam tranexamik (Tranexamic
Acid), dapat mengurangi perdarahan pada hemofilia. Hal ini dapat
diterangkan karena sifat anti fibrinolisis EACA dan asam traneksamik
menyebabkan fibrin yang sudah terbentuk tidak segera dilisiskan, oleh
plasmin.
- Indikasi: perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gusi
- Kontraindikasi: perdarahan saluran kemih (risiko obstruksi saluran
kemih akibat bekuan darah)
- Dosis: 25 mg/kgBB/kali, 3 x sehari, oral/intravena, dapat diberikan
selama 5-10 hari.
3. Kortikosteroid
Pada sinovitis akut yang terjadi sesudah serangan akut hemarthrosis
pemberian kortikosteroid sangat berguna. Kortikosteroid juga diberikan
bila timbul anti koagulan atau reaksi anafilaksis sesudah pemberian
kriopresipitat.
4. Analgetik
Bila terjadi suatu rasa sakit yang hebat pada sendi, atau rasa sakit sebab
lainnya, obt analgetik dapat diberikan. Sebaiknya aspirin harus
dihindarkan, begitu pula obat analgetik lainnya yang mengganggu
agregasi trombosit.
b) Tindakan saat perdarahan artifisial
Pada saat pencabutan gigi susu cukup dengan penekanan lokal, sedangkan gigi
permanen diberikan FVIII 30-50% dan akhir-akhir ini digunakan lem fibrin (fibrin
glue) secara topical. Pencabutan gigi tidak boleh lebih dari 2 buah pada saat
bersamaan, walaupun pada hemofilia ringan. Kemungkinan terjadi perdarahan akibat
imunisasi dapat diatasi dengan penekanan lokal selama 5 menit pada tempat suntikan.
Pada tindakan bedah elektif maupun darurat, FVIII diberikan sebelum, selama dan
sesudah operasi. Kemudian dilanjutkan 10 hari sampai luka sembuh. Dosis total
adalah 4.000-6.000 Unit. Pemberiannya sampai 80-100% Tatalaksana terkini
hemofilia klasik sebelum tindakan operasi. Lebih baik diberikan melalui infus
kontinyu dibanding pemberian injeksi bolus.

c) Pengobatan pencegahan
Tujuan pengobatan pencegahan ini adalah untuk mempertahankan F VIII C
dalam darah pada kadar hemostatik. Pengobatan pencegahan ada 2 yaitu :
- Pencegahan primer, pemberian FVIII secara regular, kontinyu dimulai saat
sebelum anak berusia 2 tahun atau setelah anak menderita perdarahan sendi
yang pertama kalinya.
- Pencegahan sekunder, pemberian FVIII bisa secara regular atau kontinyu
dimulai saat anak berusia lebih dari 2 tahun atau setelah terjadi perdarahan
pada 2 atau lebih sendi.
Pencegahan ditujukan terutama pada hemofilia berat untuk mencegah terjadinya
artropati. Dosis yang diberikan adalah 25-50 unit/kgbb FVIII dengan interval 2-3 hari
atau 3 kali dalam seminggu. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menganjurkan
pengobatan pencegahan sebaiknya dimulai sejak usia 1-2 tahun dan berlanjut terus.
Biaya pengobatan pencegahan ini sangat mahal di Swedia (Nilsson dkk 1992)
penderita hemofilia membutuhkan FVIII setiap tahunnya hingga 9000 Unit/kgbb
(rata-rata 4000 Unit). Demikian juga seperti yang dilaporkan Manco-Johnson dkk
1994 untuk profilaksis membutuhkan dosis 4000 Unit/kgbb atau 75.000 dolar US.
Bilamana pengobatan profilaksis ini tidak bisa dilakukan maka pengobatan dapat
diberikan secara ”on demand”.

d) Pengobatan di rumah
Orang tua/keluarga diajarkan cara pemberian pengobatan dibawah pengawasan
Pusat Hemofilia disertai membuat laporan. Pengobatan di rumah yang terbaik adalah
pemberian konsentrat FVIII. Pengobatan dirumah merupakan bagian dari perawatan
komprehensif. American National Hemophilia Foundation mempunyai persyaratan
perawatan dirumah yaitu:
1. Diagnosis hemofilia klasik harus benar
2. Frekuensi perdarahan, bila perdarahan terjadi 2-3 bulan sekali tidak perlu
dilakukan pengobatan dirumah
3. Penderita dengan inhibitor FVIII diawal terapi tidak dilakukan
pengobatan dirumah
4. Kedaan psikososial penderita harus baik
5. Minimal berusia 4 tahun
6. Catatan Kesehatan/penggunaan FVIII harus baik
7. Berkunjung rutin setiap 6-12 bulan ke klinik untuk meyakinkan bahwa
penderita sehat fisik dan jasmani

2. Perawatan komprehensif
Penanganan penderita hemofilia banyak melibatkan personil seperti dokter
hematologi anak dan dewasa, ahli patologi klinik, ahli bedah tulang, ahli rehabilitasi
medik, dokter gigi, ahli jiwa, perawat dan pekerja sosial yang terampil. Perawatan
kesehatan secara umum merupakan hal yang penting pula dalam perawatan penderita
hemofilia. Agar kondisi terjaga dengan baik beberapa hal perlu mendapat perhatian
yaitu :
- Senantiasa menjaga berat tubuh tidak berlebihan serta mengkonsumsi
makanan dan minuman yang sehat. Karena berat badan berlebihan dapat
mengakibatkan perdarahan pada sendi-sendi di bagian kaki (terutama
hemofilia berat).
- Melakukan kegiatan olah raga teratur. Olah raga akan membentuk kondisi
otot yang kuat, sehingga bila berbentuk otot tidak mudah terluka, perdarahan
dapat dihindari. Olah raga yang dipilih hendaknya jangan yang beresiko
kontak fisik seperti sepak bola, karate, gulat. Olahraga yang paling
dianjurkan adalah renang dan bersepeda.
Peran seorang ahli rehabilitasi medik adalah melatih otot-otot terutama melatih
otot pasca perdarahan. Melakukan pemeriksaan kesehatan gigi secara rutin sangat
membantu mengurangi perdarahan yang terjadi. Menghindari penggunaan obat
aspirin merupakan salah satu perawatan umum penderita hemofilia karena obat ini
dapat meningkatkan perdarahan. Perawatan umum yang tak kalah pentingnya adalah
memberi informasi kepada pihak tertentu seperti: sekolah, dokter di mana penderita
berobat dan teman-teman lingkungan terdekat sekaligus mendapat suasana
lingkungan yang mendukung timbulnya kepribadian yang sehat agar tetap optimis
menyongsong masa depan.

3. Inhibitor terhadap faktor VIII


Inhibitor adalah antibodi yang dapat menetralisir faktor VIII. Insidens pasien
hemofilia A yang membentuk antibodi atau inhibitor terhadap faktor VIII kurang
lebih sebanyak 30%, sedangkan pada hemofilia B insidensnya lebih rendah yaitu 1-
3%. Abnormalitas molekul spesifik seperti delesi gen dan mutasi kodon berhubungan
dengan insidens inhibitor faktor VIII yang lebih tinggi. Adanya inhibitor perlu
dicurigai bila perdarahan tidak dapat diatasi dengan replacement therapy yang
adekuat. Diagnosis pasti adalah dengan pemeriksaan kadar plasma inhibitor faktor
VIII/IX. Bila kadarnya <5 BU (Bethesda Unit) disebut inhibitor titer rendah,
sedangkan bila >5 BU disebut inhibitor titer tinggi. Hemofilia A dengan titer inhibitor
rendah biasanya dapat diatasi dengan menaikkan dosis faktor VIII hingga 2-3 kali,
sedangkan untuk pasien dengan titer inhibitor tinggi perlu pemberian faktor VIII
porcine, konsentrat kompleks faktor IX, faktor VIII rekombinan, konsentrat
kompleks protrombin teraktivasi (activated prothrombin complex concentrate/aPCC),
atau faktor VIIa rekombinan. Konsultasi dengan ahli hematologi dalam tata laksana
pasien dengan kelainan ini sangat penting. Di beberapa negara maju pernah
dilakukan immune tolerance induction (ITI) untuk mengatasi adanya inhibitor pada
pasien hemofilia, antara lain adalah protokol Malmo, protokol Bonn, dan pemberian
F VIII dengan dosis 25 IU/kg selang sehari, dengan keberhasilan yang bervariasi
antara 60-87% namun biayanya sangat mahal.

4. Deteksi karier dan diagnosis prenatal


Deteksi karier dan diagnosis prenatal merupakan implementasi strategi dari
pencegahan yang akan dapat mengurangi jumlah penderita dengan hemofilia berat.
Dalam keluarga hemofilia seorang perempuan dikatakan sebagai karier obligat dapat
ditelusuri lewat silsilah. Obligat karier adalah seorang perempuan yang
menampakkan satu atau lebih gejala berikut :
- ayahnya seorang penderita hemofilia
- perempuan yang mempunyai dua atau lebih anak laki-laki menderita hemofilia
(bukan kembar identik)
- perempuan dengan satu anak laki menderita hemofilia dan saudara
perempuannya mempunyai anak hemofilia
- melahirkan anak hemofilia dan ada riwayat melahirkan anak hemofilia pada
garis keturunan ibu.
Bila kadar FVIII perempuan sangat rendah kemungkinan besar dia karier. Rasio
aktifitas FVIII lebih rendah dari antigen FVIII dalam plasma maka dapat dikatakan
karier. Tes ini hanya dapat menunjukkan probabilitas karier, sedangkan 10-15% tidak
membantu diagnosis karier. Diagnosis prenatal dilakukan dengan melakukan biopsi
villi chrorionik pada trimester pertama kemudian dilakukan analisis genetik.
Pemeriksaan cairan amnion, darah janin, dan diagnosis genetik pre implantasi dapat
dilakukan pada kasus-kasus tertentu. Diagnosis prenatal harus didahului dengan
konseling genetik yang adekuat dan penilaian tentang kemungkinan menderita karier
dan dukungan selama proses diagnosis.
Pengobatan utama pada penderita hemofilia C terutama dengan pemberian
produk plasma (FFP). Keuntungan pemberian FFP ini adalah mudah dilakukan,
sedangkan kerugiannya dalam bentuk dapat terjadi over volume darah, potensial
untuk transmisi agen infektif, dan kemungkinan terjadi reaksi alergi. Fresh frozen
plasma ini juga dapat digunakan jika tidak didapatkan konsentrat faktor XI. Dosis
pemberian untuk loading dose adalah 15-20 mL/kg IV, yang selanjutnya diberikan 3-
6 mL/kg 4 kali 12 jam setelah hemostasis terjadi. Selama pemberian harus selalu
dimonitor overload cairan terutama pada anak-anak kecil; adanya reaksi alergi;
premedikasi yang diberikan adalah acetaminophen dan anti histamin (seperti
diphenhydramine) untuk mengurangi reaksi alergi.

2.10 Komplikasi
Sebelum penggunaan terapi pengganti diketahui, pasien dengan hemofilia
berat A dan B, memiliki kesempatan hidup yang pendek dan kualitas hidup yang
rendah berkaitan dengan terjadinya artropati hemofilia. Beberapa komplikasi yang
sering terjadi antara lain : (Tambunan & Widjanarko, 2010; Agaliotis, 2012)
• Komplikasi virus yang timbul antara lain infeksi HIV. Kematian pertama kali
dilaporkan tahun 1980 yang berkaitan dengan hemofilia dan HIV. Rata-rata
serokonversi lebih dari 75% untuk penyakit yang berat, 46% untuk yang
moderat, dan 25% untuk penyakit yang ringan. Pada kasus hemofilia berat,
serkonversi yang diobservasi rata-rata 46%. Di Amerika Serikat kematian akibat
hemofilia meningkat dari 0,4 kematian per 1 juta penduduk dari tahun 1979-
1981 menjadi 1,2 kematian per 1 juta penduduk pada tahun 1987-1989.
penyebab kematian terutama disebabkan perdarahan intrakranial dan perdarahan
lainnya dari AIDS serta serosis hepatis.
• Komplikasi lainnya adalah penyakit hepatitis dan sirosis hepatis. Jika ini terjadi
maka angka kematian akan meningkat menjadi 1,2 kali lebih banyak
dibandingkan kematian hemofilia murni.
• Perdarahan intrakranial terjadi pada 2-8% penderita dan hal ini menyebabkan
kematian. Perdarahan lainnya yang dapat timbul terutama pada jaringan lunak
akibat obstruksi saluran napas atau kerusakan organ dalam.
• Diperkirakan 25% anak-anak dengan hemofilia pada usia 6-18 tahun akan
terhambat pertumbuhan skill dan kemampuan kognitifnya demikian pula halnya
dalam emosi dan masalah perilaku.
Kadar faktor XI tidak berkaitan dengan tendensi perdarahan pada hemofilia C,
khususnya pada orang-orang dengan defisiensi parsial. Manifestasi perdarahan baru
muncul kalau terdapat defisiensi aktifitas faktor XIC kurang dari 20 U/dL. Sebagian
besar penderita mengalami perdarahan spontan setelah tindakan pembedahan.
Demikian juga dengan bertambahnya fibrinolisis setelah aktifitas pencabutan gigi
atau tonsilektomi atau operasi traktus genitalis. Komplikasi lain yang sering timbul
adalah perdarahan yang berat dalam bentuk menoragia.

2.11 Prognosis
Pemberian profilaktik anti hemofili faktor lebih awal secara dramatis dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas penderita hemofilia A dan B. Angka bertahan
hidup penderita dapat mencapai 11 tahun atau kurang tergantung dari beratnya
penyakit dan pengobatan yang diberikan. Prognosis ini akan diperburuk oleh
komplikasi virus yang terjadi selama pemberian terapi pengganti. Demikian juga
halnya jika terjadi perdarahan intrakranial maupun organ vital lainnya (Agaliotis,
2012).
Prognosis penderita hemofilia C dengan defisiensi parsial cukup baik apalagi
jika tidak didapatkan manifestasi perdarahan. Sedangkan pada pasien dengan tendensi
perdarahan, perdarahan organ harus diobati dengan optimal untuk mencegah
terjadinya pemburukan diagnosis. Jika terjadi perdarahan masif maka diagnosisnya
menjadi jelek.
2.12 Pencegahan
Hemofilia tidak dapat dicegah. Namun ada beberapa hal sebagai tindakan
preventif yaitu pencegahan terjadinya perdarahan akibat trauma disamping
pencegahan terhadap terjadinya trauma sendiri.
Kalau seseorang mengidap hemofilia maka beberapa hal yang harus
diperhatikan :
- Pencegahan terhadap penggunakan aspirin dan nonsteroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs).
- Vaksinasi tetap dilakukan pada semua orang termasuk pada bayi, terutama
untuk vaksin hepatitis B.
- Tindakan sirkumsisi tidak boleh dilakukan terhadap anak laki-laki.
Disamping itu jika diketahui adanya riwayat hemofilia dalam keluarga maka
selama masa kehamilan harus diperiksa kemungkinan adanya defek genetik pada ibu
hamil untuk mengetahui adanya carrier pada ibu. Beberapa tindakan yang dapat
dilakukan antara lain amniocentesis dan chorionic villus sampling (CVS), dengan
pemeriksaan ini dapat diketahui adanya defek genetik pada fetus yang menyebabkan
terjadinya hemofilia. Jika diketahui fetus memiliki hemofilia, maka tindakan terpilih
yang dapat dilakukan adalah melakukan terminasi kehamilan, walau ini masih
kontroversial pada beberapa negara terutama untuk kehamilan trimester II dan III.
Jika ibu tetap menginginkan untuk melanjutkan kehamilannya maka harus diberikan
penjelasan mengenai keadaan bayinya nanti dan tindakan persalinan yang akan
dilakukan.

2.13 Evaluasi dan pemantauan komplikasi


Evaluasi perlu dilakukan setiap 6-12 bulan sekali untuk semua pasien
hemofilia, meliputi status muskuloskeletal, transfusion-related infection (terutama
pada pasien yang mendapat transfusi kriopresipitat/FFP), kesehatan gigi-mulut,
vaksinasi, dan adanya inhibitor, perdarahan intrakranial dan Stroke.
BAB III

KESIMPULAN

Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan karakteristik


sexlinked resesif dan autosomal resesif. Kelainan pembekuan darah disebabkan oleh
kurangnya faktor pembekuan darah VIII, IX, atau XI. Hemofilia sering disertai
masalah perdarahan dan kelainan pembekuan yang memerlukan penanganan
multidisipliner. Gejala yang paling sering terjadi ialah perdarahan, baik di dalam
tubuh (internal bleeding) maupun di luar tubuh (external bleeding). Perjalanan
penyakitnya sendiri sudah dimulai dari masa neonatal. Diagnosis dapat ditegakkan
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
fungsi homeostasis. Pendekatan farmakologik pada hemofilia tergantung dari gejala
klinis yang muncul.
DAFTAR PUSTAKA

Agaliotis DP. Hemophilia, overview. Department of Medicine, Division of


Hematology/Medical Oncology. University of Florida Health Science Center
at Jacksonville. Copyright 2012, eMedicine.com, Inc. Http://www.
eMedicine.com.html

Gatot, D., & Moeslichan, S. (2012). Gangguan Pembekuan Darah yang Diturunkan :
Hemofilia. In H. Permono, Sutaryo, I. Ugrasena, E. Windiastuti, & M.
Abdulsalam, Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak (pp. 174-177). Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.

Tambunan , K., & Widjanarko, A. (2010). Kelainan Hemostasis Bawaan. In S. dkk,


Ilmu Penyakit Dalam Jilid II (pp. 452-459). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Ugrasena, I., & Permono, B. (2013). Tatalaksana Terkini Hemofilia Klasik.

Yantie, V., & K, A. (2012). Inhibitor pada Hemofilia. Medicina, 31-36.

Yoshua, V., & Angliadi, E. (2013). Rehabilitasi Medik pada Hemofilia.

Anda mungkin juga menyukai