Anda di halaman 1dari 21

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DEMAM TIFOID

Disusun oleh
Spicakent Dinyanti
Ulfah Wisdayanti

Pembimbing
dr. William, Sp. A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2018

LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL KLINIK
DEMAM TIFOID

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :
Spicakent Dinyanti (1710029067)
Ulfah Wisdayanti (1710029019)

Pembimbing

dr. William, Sp.A

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
208

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1


LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... 2
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 5
1.2 Tujuan ............................................................................................................ 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 21
2.1 Definisi ........................................................................................................... 21
2.2 Etiologi ............................................................................................................ 21
2.3 Patofisiologi .................................................................................................... 24
2.4 Manifestasi Klinis ........................................................................................... 26
2.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 27
2.6 Tatalaksana ..................................................................................................... 30
BAB 3 PENUTUP ............................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 39

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Salmonella Paratyphi A, B dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut
demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik.
Demam enterik masih sering terjadi di negara berkembang, terutama pada daerah
endemik sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid
endemis di negara berkembang khususnya Asia Tenggara. Demam tifoid terjadi di
seluruh dunia, terutama Negara berkembang dengan sanitasi yang buruk. Menurut
Badan Kesehatan Dunia WHO, jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai
16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Delapan puluh persen kasus
tifoid di dunia berasal dari Banglades, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan.
Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000 per tahun di Amerika Selatan dan
900/100.000 per tahun di Asia. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular
yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan
terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa.
Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91% kasus.1,2
Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Kalimantan
Timur, kasus tifoid sebagian besar terdeteksi berdasarkan diagnosis oleh tenaga
kesehatan dengan prevalensi rata-rata 1,8%. Tifoid klinis tersebar di seluruh
kelompok umur dan terbanyak ditemukan pada kelompok umur antara 3 – 19 tahun,
terendah pada bayi dengan 0.6% dan relative lebih tinggi diwilayah perdesaan
dibandingkan perkotaan. Prevalensi tifoid ditemukan cenderung lebih tinggi pada
kelompok dengan pendidikan rendah.3
Demam tifoid merupakan penyakit yang hampir semua ditemukan terjadi pada
masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah serta hygiene dan
sanitasi yang buruk. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia,
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan kebiasaan cuci tangan sebelum makan,
kebiasaan cuci tangan setelah BAB, kebiasaan jajan di pinggir jalan, hygiene
perorangan dan kualitas air bersih keluarga dengan kejadian demam tifoid pada
anak.4,5,6
Gejala klinis demam tifoid sangat luas sehingga selain ketajaman klinis,
diperlukan pemilihan pemeriksaan penunjang yang tepat. Pemeriksaan Widal yang
selama ini banyak digunakan dalam diagnosis demam tifoid, telah terbukti
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas rendah, sehingga tidak lagi direkomendasikan.
Pemeriksaan kultur darah/ urin/ feses merupakan baku emas diagnosis tifoid, akan
tetapi memerlukan tenaga ahli, waktu dan biaya cukup besar. Saat ini, berbagai
pemeriksaan serologis demam tifoid terus berkembang sebagai alternatif diagnosis.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara ELISA, rapid test, hemaglutinasi atau PCR
menggunakan spesimen darah, urin atau saliva. Masing-masing tes memiliki
sensitivitas/ spesifisitas berbeda dalam mendiagnosis demam tifoid. Selain itu
pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam tifoid sangat penting,
karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian.7
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan bagi dokter
muda mengenai “Demam Tifoid”, serta sebagai salah satu syarat mengikuti ujian
stase Ilmu Kesehatan Anak.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi Demam Tifoid


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial
atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch. Beberapa
terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik.
Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies
Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid
maupun demam paratifoid.2
Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora,
motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C, bersifat
fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Bakteri
Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain:2
1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi
tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut agglutinin.
Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian terluar dari
dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid
A. Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi agglutinin di dalam tubuh.
Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada Salmonella Typhi merupakan
bagian terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan
yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP sebagain besar terdiri dari
protein purin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting
dalam mekanisme respon imun host.8

2.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang.
WHO mencatat lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan
angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di
negara-negara Asia.9
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid,
dilaporkan 180,3 per 100,000 penduduk. Menurut laporan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Provinsi Kalimantan timur, kasus tifoid sebagian besar terdeteksi
berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dengan prevalensi rata-rata 1,8%. Tifoid
klinis tersebar di seluruh kelompok umur dan terbanyak ditemukan pada kelompok
umur antara 3 – 19 tahun, terendah pada bayi dengan 0.6% dan relative lebih tinggi
diwilayah perdesaan dibandingkan perkotaan. Prevalensi tifoid ditemukan cenderung
lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan rendah.3

2.3 Patogenesis
Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang
terinfeksi bakteri Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret
saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis
demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism,
yaitu:2

1. Penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch


2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch,
nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem
retikuloendotelial
3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal

2.3.1 Jalur Masuknya Bakeri ke Dalam Tubuh


Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini
adalah delirium. Pada anak-anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur
berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.

2.3.2 Peran Endotoksin


Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya. Peran
endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar,
lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan
zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.
2.3.3 Respons Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di tingkat
local (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan teapi bagaimana mekanisme
imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella
Thypii tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih
berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan
demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen
Salmonella thypii pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier tifoid, sejumlah
besar basilvirulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja tanpa
memasuki epitel pejamu.2

Gambar 2.1 Skema Patofisiologi Demam Tifoid


2.3.4 Cara Penularan dan Faktor-faktor yang Berperan
Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen
feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat
berperan, pada penularan adalah:
 Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak
 Higiene makanan dan minuman yang rendah.
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid diantaranya:9
 Makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran
dan buah-buahan.
 Sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia
 Makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang
tidak dimasak dan sebagainya
 Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan
sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
 Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
 Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
 Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
 Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid

2.4 Manifestasi Klinis


Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata
antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis
ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat hingga harus
dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi, dan
imunologik pejamu serta lama sakit dirumah.

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada
era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang
ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap setiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam
akan bertahan tinggi dan pada minggu ke 4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali
apabila terjadi focus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam
akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam
lebih tinggi saat sore hari dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada
saat demam sudah tinggi, dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran
berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran apatis sampai koma.
Gejala klinis demam tifoid pada bayi seringkali berupa gastroenteritis dan
sepsis. Bayi biasanya tertular dari ibu yang menderita demam tifoid. Pada kelompok
usia kurang dari 5 tahun, gejala yang muncul lebih ringan dan tidak spesifik, kadang
hanya berupa demam disertai gejala gastrointestinal, namun bila tidak terdiagnosis
dengan cepat, dapat mengalami penyulit yang berat. Pada kelompok usia diatas 5
tahun (usia sekolah), gejala klasik demam tifoid biasa dijumpai. Setelah seorang
terinfeksi S. Typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari.
Onset bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Pasien umumnya datang
ke RS menjelang akhir minggu pertama, dengan gejala demam, gejala mirip
influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, radang tenggorokan, batuk
kering dan mialgia. Lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan
ujungnya kemerahan, nyeri abdomen, diare, obstipasi, hepatomegali dan splenomegali
jarang ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi juga dapat ditemukan pada
demam tifoid.
Rose spot berupa lesi makulopapular dengan diameter sekitar 1-5 mm
dilaporkan pada 5%-30% kasus, tetapi jarang ditemukan pada ras Asia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2-3 hari. Pada kasus berat,
komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik hepatitis, supresi sumsum tulang,
ileus paralitik, miokarditis, psikosis/ ensefalopati, kolesistitis, osteomyelitis,
peritonitis, pneumonia, hemolisis dan syndrome of inappropriate release of
antidiuretic hormone (SIADH).2

2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis2
- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi
- Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,
nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung
- Pada demam ifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan
icterus
2.5.2 Pemeriksaan Fisik2
- Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid
yaitu dibagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus,
hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegaly
-
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Darah tepi perifer:
- Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe
atau perdarahan usus.
- Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relative
- Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat
2. Pemeriksaan serologi:
- Serologi Widal : kenaikan titer S.Thypi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens
- Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
3. Pemeriksaan biakan Salmonela
- Biakan darah tertutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit
- Biakan sumsum tulang masil positif sampai minggu ke-4
4. Pemeriksaan Radiologik:10
- Foto thoraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
- Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti
perforasi usus atau perdarahan.

2.5.4 Menurut Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang


Diagnostik Demam Tifoid:7
1. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur.
Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada demam minggu
pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil
kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga
spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas
20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu
pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.
2. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul
dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7 hari. In-
flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.
Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d
dapat digunakanuntuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan
merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22
(95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%) Sampai
saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas dilakukan dalam penelitian.
3. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas pemeriksaan
antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling sering dilakukan saat
ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test Hemagglutinin (HA), Countercurrent
immunoelectrophoresis (CIE), dan test cepat/ rapid test (Typhidot, TUBEX).
Sedangkan pemeriksaan antigen S. Typhii dapat dilakukan melalui pemeriksaan
protein antigen dan protein Vibaik menggunakan ELISA/ koaglutinasi namun sampai
saat ini masih dalam penelitian jumlah kecil.
a. Pemeriksaan serologis tes cepat
Pemeriksaan serologis tes cepat antibodi S. Typhi saat ini merupakan diagnostik
bantu yang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan, mengingat sebagian besar
penderita demam tifoid adalah penduduk negara berkembang dengan sarana
laboratoriumnya terbatas. Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex mendeteksi
antibodi IgM terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP) dan O9
lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyakpenelitian yang membuktikan bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100% pada pasien demam
tifoid dengan biakan darah positif S. Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap
antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S. Typhi
(Typhidot)R memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan 80%. Studi meta
analisis di 2015 menunjukkan bahwa Tubex TF memiliki sensitivitas 69% dan
spesifisitas 88%. Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot tidak
direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan kultur darah dan
teknik molekuler tetap merupakan baku emas. Hari pemeriksaan terbaik adalah pada
anak dengan demam ≥5 hari. Penelitian di Palembang (2014), menunjukan bahwa
pemeriksaan Tubex-TF untuk deteksi antibodi IgM S. Typhi pada anak demam hari
ke-4 dengan nested PCR positif S. Typhi mendapatkan sensitivitas 63% dan
spesifisitas 69%, nilai duga positif 43% dan nilai duga negatif 83%, sehingga
pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada anak dengan demam < 5 hari.
Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun,
interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati pada kasus tersangka demam
tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti Salmonella dapat bertahan sampai 3
bulan dalam darah. Positif palsu pada pemeriksaan TUBEX bisa terjadi pada pasien
dengan infeksi SalmonellaEnteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan bila
pemeriksaan dilakukan terlalu cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam
pemeriksaan serologis demam tifoid masih terus berkembang, antara lain dari
spesimen urin dan saliva.

Tabel 2.1 Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.


Uji diagnostik Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) Keterangan
Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan darah 40-80 NA Baku emas, namun
sensitivitas rendah di daerah
endemis karena penggunaan
antibiotic yang tinggi,
sehingga spesifisitas sulit
diestemasi
Biakan sumsum 55-67 30 Sensitivitas tinggi, namun
tulang invasif dan terbatas
penggunaannya
Biakan urin 58 NA Sensitivitas bervariasi
Biakan tinja 30 NA Sensitivitas rendah di negara
berkembang dan tidak
digunakan secara rutin untuk
pemantauan
Diagnostik molekular
PCR 100 100 Menjanjikan,namun laporan
awal menunjukkan
sensitivitas mirip biakan
darah dan spesifisitas rendah
Nested PCR 100 100 Menjanjikan dan
menggantikan biakan darah
sebagai baku emas baru

Diagnostik serologi
Widal 47-77 50-92 Klasik dan murah. Hasil
bervariasi di daerah endemis,
perlu standardisasi dan
kualitas kontrol dari reagen
Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah dari
Typhidot-M
Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan spesifisitas
lebih tinggi
Tubex 65-88 63-89 Hasil menjanjikan dan harus
diuji ditingkat komunitas
Lainnya
Deteksi antigen urin 65-95 NA Data awal
NA = not available

b. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S.
Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-
satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit.
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena
dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan
spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat
memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan positif demam tifoid.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.17 Hasil
pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-
typhoidal Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik. Hasil
negatif palsu dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan
antibiotik sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting
dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika pada
ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O
sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat
dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal.

c. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni sering
dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya penyulit misalnya
perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat reversibel. Anemia pada
demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra
intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis relatif.
Pada demam tifoid dapat terjadi hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati tanpa
adanya penyebab hepatitis yang lain.

2.6 Tatalaksana
1. Antibiotik
Antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.
Pemberian terapi antibiotik demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi
dan angka kematian, memperpendek perjalan penyakit serta memperbaiki gambaran
klinis salah satunya terjadi penurunan demam.2Namun demikian pemberian
antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever, yaitu demam yang timbul
bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan catatan tidak ada penyebab
demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan lain- lain.
Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut dihentikan.

a) Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid yang


bersifat bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid
terhadap kuman- kuman tertentu serta berspektrum luas.Dapat digunakan untuk
terapi bakteri gram positif maupun negatif.Kloramfenikol terikat pada ribosom
subunit 50s serta menghambat sintesa bakteri sehingga ikatan peptida tidak
terbentuk pada proses sintesis protein kuman.Sedangkan mekanisme resistensi
antibiotik ini terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai
faktor-R.Masa paruh eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar
24 jam.Dosis untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3-4 dosis.Lama terapi 8-10 hari etelah suhu tubuh kembali normal atau 5-7
hari setelah suhu turun.Sedangkan dosis terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB.
b) Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid dimana
bakteri Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat. Antibiotik ini
memiliki sifat bakterisid dan memiliki mekanisme kerja sama seperti antibiotik
betalaktam lainnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat
ialah reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis
terapi intravena untuk anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi
dosis tunggal 50 mg/kg/jam.
c) Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan mukopeptida
yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada mikroba yang sensitif,
ampisilin akan menghasilkan efek bakterisid.Dosis ampisilin tergantung dari beratnya
penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien.Untuk anak dengan berat badan <20 kg
diberikan per oral 50-100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, IM 100-200 mg/kg/BB/hari
dalam 4 dosis.Bayi yang berumur <7 hari diberi 50 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis,
sedangkan yang berumur >7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.

d) Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek sinergis.Trimetoprim dan
sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik obligat pada
mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul P- Amino Benzoic Acid
(PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat enzim
dihidrofolat reduktase mikroba secara selektif.Frekuensi terjadinya resistensi
terhadap kotrimoksasol lebih rendah daripada masing-masing obat, karena mikroba
yang resisten terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka terhadap
komponen lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.
e) Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai kuman
gram positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini termasuk dalam antibiotik
betalaktam, di mana memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
mikroba.Mekanisme penghambatannya melalui reaksi transpeptidase dalam
rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena yang dianjurkan
untuk anak ialah 50 – 200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis. Sedangkan untuk neonatus
100 mg/kg/h dalam 2 dosis.2

- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi


dalam 4 dosis selama 10-14 hari
- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari
- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari
- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari,
selama 5 hari
- Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari
- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.
Deksametason1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran
membaik
2. Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus
3. Suportif
- Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
- Tirah baring
- Isolasi memadai
- Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi

 Indikasi rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.
- Cairan dan kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan cairan dan
kalori diberikan melalui sonde lambung
- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan
dengan kadar natrium rendah
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
- Pelihara keadaan nutrisi
- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
- Antipiretik, diberikan apabila demam > 39°C, kecuali pada pasien dengan riwayat
kejang demam dapat diberikan lebih awal
- Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan
kalori cukup
- Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus
 Pemantauan
Terapi
- Evaluasi demam dengan memonitor suhu.Apabila pada hari ke-4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
- Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi.
Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.

Penyulit
- Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun,
nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai
menghilang, defance musculaire positif, dan pekak hati menghilang.
- Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok
septik, pielonefritis, endokarditis, osteomielitis,
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, R. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia


Kedokteran , 39 (4), 247-250.
2. Soedarmo, S. S., Garna, H., Hadinegoro, S. R., & Satari, H. I. (2015). Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
3. RISKESDAS. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Provinsi Kalimantan Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
4. Karim, Z., Arsin, A. A., & Ansar, J. (2015). Hubungan personal hygiene dengan
kejadian demam tifoid pada anak di puskesmas galut. Departemen Epidemiologi
Universitas Hasanuddin .
5. Seran, E., Palandeng, H., & Kallo, V. (Mei 2015). Hubungan personal hygienen
dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja puskesmas tumaratas. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi .
6. Nurlaila, S., Trisnawati, E., & Selviana. (2013). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan demam thypoid pada pasien yang dirawat di RSU Dr
Soedarso Pontianak. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Ponianak .
7. IDAI. (2016). Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Demam Tifoid. REKOMENDASI No.018/Rek/PP IDAI/VII/2016 .
8. Parry, M., Hien, T., Dougan, G., White, N., & Farrar, J. (2013). A Review of
Thypoid Fever. New England Journal of Medicine , 1770-1782
9. WHO. (2010). Background document: The diagnosis, treatment and prevention
of thypoid fever. World Health Organization , 17-18.
10. KEMENKES. (2008). Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia NOMOR 364/MENKES/SK/V/2008 .
11. Pudjiadi, A. H. (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: IDAI

Anda mungkin juga menyukai