Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
DEMAM TIFOID
Disusun oleh
Spicakent Dinyanti
Ulfah Wisdayanti
Pembimbing
dr. William, Sp. A
LEMBAR PERSETUJUAN
TUTORIAL KLINIK
DEMAM TIFOID
Oleh :
Spicakent Dinyanti (1710029067)
Ulfah Wisdayanti (1710029019)
Pembimbing
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang.
WHO mencatat lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan
angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di
negara-negara Asia.9
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid,
dilaporkan 180,3 per 100,000 penduduk. Menurut laporan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Provinsi Kalimantan timur, kasus tifoid sebagian besar terdeteksi
berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dengan prevalensi rata-rata 1,8%. Tifoid
klinis tersebar di seluruh kelompok umur dan terbanyak ditemukan pada kelompok
umur antara 3 – 19 tahun, terendah pada bayi dengan 0.6% dan relative lebih tinggi
diwilayah perdesaan dibandingkan perkotaan. Prevalensi tifoid ditemukan cenderung
lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan rendah.3
2.3 Patogenesis
Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang
terinfeksi bakteri Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret
saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis
demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism,
yaitu:2
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada
era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang
ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap setiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam
akan bertahan tinggi dan pada minggu ke 4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali
apabila terjadi focus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam
akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam
lebih tinggi saat sore hari dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada
saat demam sudah tinggi, dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran
berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran apatis sampai koma.
Gejala klinis demam tifoid pada bayi seringkali berupa gastroenteritis dan
sepsis. Bayi biasanya tertular dari ibu yang menderita demam tifoid. Pada kelompok
usia kurang dari 5 tahun, gejala yang muncul lebih ringan dan tidak spesifik, kadang
hanya berupa demam disertai gejala gastrointestinal, namun bila tidak terdiagnosis
dengan cepat, dapat mengalami penyulit yang berat. Pada kelompok usia diatas 5
tahun (usia sekolah), gejala klasik demam tifoid biasa dijumpai. Setelah seorang
terinfeksi S. Typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari.
Onset bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Pasien umumnya datang
ke RS menjelang akhir minggu pertama, dengan gejala demam, gejala mirip
influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, radang tenggorokan, batuk
kering dan mialgia. Lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan
ujungnya kemerahan, nyeri abdomen, diare, obstipasi, hepatomegali dan splenomegali
jarang ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi juga dapat ditemukan pada
demam tifoid.
Rose spot berupa lesi makulopapular dengan diameter sekitar 1-5 mm
dilaporkan pada 5%-30% kasus, tetapi jarang ditemukan pada ras Asia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2-3 hari. Pada kasus berat,
komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik hepatitis, supresi sumsum tulang,
ileus paralitik, miokarditis, psikosis/ ensefalopati, kolesistitis, osteomyelitis,
peritonitis, pneumonia, hemolisis dan syndrome of inappropriate release of
antidiuretic hormone (SIADH).2
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis2
- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi
- Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,
nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung
- Pada demam ifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan
icterus
2.5.2 Pemeriksaan Fisik2
- Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid
yaitu dibagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus,
hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegaly
-
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Darah tepi perifer:
- Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe
atau perdarahan usus.
- Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relative
- Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat
2. Pemeriksaan serologi:
- Serologi Widal : kenaikan titer S.Thypi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens
- Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
3. Pemeriksaan biakan Salmonela
- Biakan darah tertutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit
- Biakan sumsum tulang masil positif sampai minggu ke-4
4. Pemeriksaan Radiologik:10
- Foto thoraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
- Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti
perforasi usus atau perdarahan.
Diagnostik serologi
Widal 47-77 50-92 Klasik dan murah. Hasil
bervariasi di daerah endemis,
perlu standardisasi dan
kualitas kontrol dari reagen
Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah dari
Typhidot-M
Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan spesifisitas
lebih tinggi
Tubex 65-88 63-89 Hasil menjanjikan dan harus
diuji ditingkat komunitas
Lainnya
Deteksi antigen urin 65-95 NA Data awal
NA = not available
b. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S.
Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-
satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit.
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena
dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan
spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat
memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan positif demam tifoid.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.17 Hasil
pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-
typhoidal Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik. Hasil
negatif palsu dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan
antibiotik sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting
dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika pada
ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O
sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat
dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal.
c. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni sering
dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya penyulit misalnya
perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat reversibel. Anemia pada
demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra
intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis relatif.
Pada demam tifoid dapat terjadi hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati tanpa
adanya penyebab hepatitis yang lain.
2.6 Tatalaksana
1. Antibiotik
Antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.
Pemberian terapi antibiotik demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi
dan angka kematian, memperpendek perjalan penyakit serta memperbaiki gambaran
klinis salah satunya terjadi penurunan demam.2Namun demikian pemberian
antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever, yaitu demam yang timbul
bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan catatan tidak ada penyebab
demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan lain- lain.
Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut dihentikan.
a) Kloramfenikol
d) Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek sinergis.Trimetoprim dan
sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik obligat pada
mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul P- Amino Benzoic Acid
(PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat enzim
dihidrofolat reduktase mikroba secara selektif.Frekuensi terjadinya resistensi
terhadap kotrimoksasol lebih rendah daripada masing-masing obat, karena mikroba
yang resisten terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka terhadap
komponen lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.
e) Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai kuman
gram positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini termasuk dalam antibiotik
betalaktam, di mana memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
mikroba.Mekanisme penghambatannya melalui reaksi transpeptidase dalam
rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena yang dianjurkan
untuk anak ialah 50 – 200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis. Sedangkan untuk neonatus
100 mg/kg/h dalam 2 dosis.2
Indikasi rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.
- Cairan dan kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan cairan dan
kalori diberikan melalui sonde lambung
- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan
dengan kadar natrium rendah
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
- Pelihara keadaan nutrisi
- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
- Antipiretik, diberikan apabila demam > 39°C, kecuali pada pasien dengan riwayat
kejang demam dapat diberikan lebih awal
- Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan
kalori cukup
- Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus
Pemantauan
Terapi
- Evaluasi demam dengan memonitor suhu.Apabila pada hari ke-4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
- Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi.
Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.
Penyulit
- Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun,
nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai
menghilang, defance musculaire positif, dan pekak hati menghilang.
- Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok
septik, pielonefritis, endokarditis, osteomielitis,
DAFTAR PUSTAKA