Anda di halaman 1dari 38

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Referat

Program Pendidikan Dokter

Universitas Mulawarman

RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

Kurang Energi Protein

Disusun Oleh:

Noni Priscilia

1710029062

Pembimbing:

dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK UNMUL
Samarinda
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Referat dengan judul “Kurang Energi Protein” Dalam kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan
hingga terselesaikannya laporan kasus ini, diantaranya:

1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.
2. dr. Soehartono Sp.THT selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A, selaku dosen Pembimbing Tutorial Klinik
yang dengan sabar memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang
sangat berharga dalam penyusunan laporan kasus ini dan juga yang selalu
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan
solusi selama penulis menjalani co.assisten di lab/SMF Ilmu Kesehatan
Anak.
4. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
AWS/FK UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang. Terakhir, semoga
Tutorial Kasus yang sederhana ini dapat membawa berkah dan memberikan
manfaat bagi seluruh pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Samarinda, Oktober 2018

Penulis
Referat

Kurang Energi Protein

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak
Noni Priscilia
1710029062

Menyetujui,

dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gizi berperan dalam berbagai kurun usia dalam daur kehidupan. Peranan ini
meliputi dalam pertumbuhan fisik, pertumbuhan otak dan kecerdasan,
produktivitas kerja serta daya tahan terhadap infeksi. Status gizi balita secara
sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut
umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah
ditetapkan. Penilaian status gizi, menggunakan ABCD/ Anthropometric Biokimia
Clinical sign Dietary history. (Moehji 2003, Anonim 2005, Trisa 2004).
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di
negara berkembang seperti di Indonesia, kejadian ini terutama pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun (balita) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003) .
Berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017 yang dilakukan Kementerian
Kesehatan, bayi usia di bawah lima tahun (Balita) yang mengalami masalah gizi
pada 2017 mencapai 17,8%, sama dengan tahun sebelumnya. Jumlah tersebut
terdiri dari Balita yang mengalami gizi buruk 3,8% dan 14% gizi kurang
(Kemenkes, 2018).
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP
diklasifikasikan menjadi KEP derajat ringan sedang (gizi kurang) dan KEP derajat
berat (gizi buruk). KEP derajat berat yaitu kwashiorkor, marasmus, marasmus-
kwashiorkor (IDAI, 2010)
Diagnosis KEP berat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis untuk
menentukan penyebab perlu anamnesis makanan dan penyakit lain. Oleh karena
itu, penulis akan membahas cara penegakkan diagnosis jenis-jenis KEP berat yaitu
marasmus, kwashiorkor dan marasmik kwashiorkor (WHO, 2011)

1.2. Tujuan Penulisan


1. Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mendalami secara teori mengenai
Kurang Energi Protein pada anak.
2. Menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Laboratorium Ilmu Kesehatan
Anak, RSUD AW Sjahranie Samarinda, Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.

1.3. Manfaat Penulisan


Melalui penulisan referat ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan
informasi dan pengetahuan mengenai patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan
kurang energi protein pada anak.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Malnutrisi Energi Protein adalah keadaan kurang gizi pada anak yang
disebabkan oleh kurangnya asupan energi dan protein. Balita usia 6-59 bulan
merupaka golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, diantaranya
adalah masalah malnutrisi energi protein (MEP) (Kemenkes,2013).

3.2. Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya
KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut:

A. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS

Klasifikasi KEP BB/U BB/TB

Ringan 70-80% 80-90%

Sedang 60-70% 70-80%

Berat <60% <70%

Tabel 3.1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS

B. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI


Klasifikasi malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan
(TB), dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:

BB/TB TB/U

(berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur)

Mild 80 – 90 % 90 – 94%
Moderate 70 – 79 % 85 – 89 %

Severe < 70 % <85 %

Tabel 3.2 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI

C. Klasifikasi Menurut McLaren (1967)


McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya.
Gejala klinis edema disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan
pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar
albumin atau total protein serum. (Pudjiadi, 2000)

Gejala klinis / laboratoris Angka

Edema 3

Dermatosis 2

Edema disertai dermatosis 6

Perubahan pada rambut 1

Hepatomegali 1

Albumin serum atau protein total serum/g %

<1,00 <3,25 7

1,00-1,49 3,25-3,99 6

1,50-1,99 4,00-4,74 5

2,00-2,49 4,75-5,49 4

2,50-2,99 5,50-6,24 3

3,00-3,49 6,25-6,99 2

3,50-3,99 7,00-7,74 1
>4,00 >7,75 0

Tabel 3.3 Klasifikasi KEP menurut McLaren

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap
penderita:

0-3 angka = marasmus

4-8 angka = marasmic-kwashiorkor

9-15 angka = kwashiorkor

Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan


cara Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan
bantuan laboratorium (Pudjiadi, 2000)

D. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973)


Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun.
Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi mencerminkan
gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering).
Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang
berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga
anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya (Pudjiadi, 2000).
Gangguan Derajat Stunting (BB/U) Wasting(BB/TB)

0 >95% >90%

1 95-90% 90-80%

2 89-85% 80-70%

3 <85% <70%

Tabel 3.5 Klasifikasi KEP menurut Waterlow

E. Klasifikasi menurut Jelliffe

Jelliffe mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB)


menurut umur (U) sebagai berikut:
Kategori BB/U (% baku)

KEP I 90 – 80

KEP II 80 – 70

KEP III 70 – 60

KEP IV <60

Tabel 3.6 Klasifikasi KEP menurut Jelliffe

3.3. Epidemiologi
Berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017 yang dilakukan Kementerian
Kesehatan, bayi usia di bawah lima tahun (Balita) yang mengalami masalah gizi
pada 2017 mencapai 17,8%, sama dengan tahun sebelumnya. Jumlah tersebut
terdiri dari Balita yang mengalami gizi buruk 3,8% dan 14% gizi kurang.Menurut
status gizi berdasarkan indeks Tinggi Badan terhadap Usia (TB/U), Balita
Indonesia yang mengalami stunting/kerdil pada tahun lalu mencapai 29,6%.
Angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dengan rincian 9,8% bayi dengan
usia 0-59 bulan tersebut masuk kategori sangat pendek dan 19,8% kategori
pendek.Sedangkan menurut indeks Berat Badan terhadap Usia (BB/U) sebanyak
9,5% Balita masuk kategori kurus dan turun dibanding tahun sebelumnya.
Sedangkan Balita yang mengalami kegemukan (obesitas) mencapai 4,6%, juga
lebih rendah dari tahun sebelumnya (Kemenkes, 2018).
3.4. Etiologi

Penyebab terjadinya kurang energi protein adalah inadekuatnya intake


protein yang berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut
antara lain:

1. Pola makan
Protein dan asam amino adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh
dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup,
tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi
yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan
ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein adri sumber-sumber
lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya
pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting
terhadap terjadi kurang energi protein, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.

2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan
sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan
makanan tertentu dan sudah berlansung turun-turun dapat menjadi hal yang
menyebabkan terjadinya kurang energi protein

3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga ataupun penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak
terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan
proteinnya.

4. Faktor infeksi dan penyakit lain


Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP,
walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap
infeksi.

3.5. Patogenesis
1. Respon Metabolik Terhadap Pemasukan Energi Inadekuat
MEP merupakan hasil dari tidak tercukupinya kebutuhan energi dan nutrisi
dalam waktu yang lama. Manifestasinya tergantung dari beberapa faktor, misalnya
umur, infeksi, status nutrisi awal dan kebiasaan mengurangi makan. Pada keadaan
puasa terjadi pengurangan lemak dan perubahan endokrin yang mempunyai tujuan
untuk menjaga fungsi vital dan bertahan hidup sampai didapatkan lagi energi dari
makanan. Akibatnya akan terjadi perubahan-perubahan yaitu berkurangnya
aktivitas, pertumbuhan yang lambat dan perubahan komposisi badan. Selain itu
akan terjadi penurunan laju metabolisme dan peningkatan total cairan tubuh
terutama di ekstaselular.
Hormon cortisol akan meningkat pada keadaan kelaparan dan stress.
Sekresi insulin akan menurun dan akan terjadi resistensi insulin di perifer.
Aktivitas insulin-growth faktor 1 serta efektor metabolik pertumbuhan yang
mempengaruhi hormon pertumbuhan juga berkurang. Efek keseluruhan dari
perubahan hormon ini adalah mobilisasi lemak, degradasi protein otot, dan
penurunan basal metabolic rate. Peningkatan aldosterone yang berperan dalam
kehilangan potassium sudah diikuti oleh pengurangan energi dan penurunan
sintesis adenosin trifosfat dalam sodium pump.

2. Adaptasi Terhadap Penurunan Pemasukan Protein


Selama kehilangan protein, otot skelet yang hilang akan diganti untuk
menjaga enzim yang penting dan memberikan energi untuk proses metabolisme,
sehingga terjadi proses pembentukan protein otot dan peningkatan pemecahan
yang akan memberikan asam amino essensial untuk sintesis protein dan
glukoneogenesis. Di dalam hepar, terdapat pertukaran laju sintesis dari protein
yang berbeda : sintesis albumin, transferrin dan apolipoprotein B akan menurun
sedangkan sintesis protein lain akan dijaga.
3. Perubahan Elektrolit
Pada marasmus dan kwashiorkor akan terjadi retensi sodium sehingga akan
terjadi peningkatan total sodium dalam tubuh, meskipun kadar serumnya rendah
sedangkan total potasium dalam tubuh akan menurun. Selain sodium dan
potasium, elektrolit lain juga akan berubah seperti fosfat , magnesium dan
kalsium. Hipofosfatemia ditemukan dalam anak-anak yang malnutrisi dan
berhubungan dengan tingginya angka mortalitas. Kadar fosfat yang rendah
berhubungan dengan diare dan dehidrasi. Selain hipofosfatemia, hipokalemia juga
bisa menyebabkan hipotonus dan kematian mendadak (sudden death).

4. Interaksi dengan Infeksi


Infeksi dan nutrisi saling berhubungan. Kondisi dimana pemasukan energi
dan protein yang tidak cukup berhubungan dengan kondisi peningkatan bakteri
dan mikroba lain. Produk makanan yang berasal dari daging seperti daging merah,
daging unggas, ikan, susu dan telur merupakan sumber nutrisi yang penting untuk
melawan infeksi. Lemak dibutuhkan untuk memfasilitasi penyerapan dari vitamin
seperti E, D dan A serta untuk menjaga infeksi. Selama infeksi, terdapat
perubahan metabolik yang akan meningkatkan produksi protein fase akut.
Produksi protein fase akut dan perubahan metabolik pada infeksi diperantarai oleh
sitokin, lipid-derived factor termasuk prostaglandin, leukotrien, dan platelet
aktivating factor. Perubahan endokrin juga berperan; hormon-hormon katabolik
juga meningkat seperti glukokortikoid, glukagon, dan epinefrin. Sebagai tambahan
bahwa perubahan efek metabolisme terhadap infeksi sesuai dengan status
nutrisinya.

5. Sitokin
Sintesin sitokin dipercepat oleh infeksi, trauma, iskemi dan keadaan lain.
Sitokin berperan dalam metabolisme protein dan otot, puasa, dan cachexia pada
kanker. Pada anak yang malnutrisi berat didapatkan penurunan reaksi inflamasi
dan menumpulnya respon febrile.
6. Protein Fase Akut
Sitokin memodulasi pembentukan protein fase akut. Pembentukan protein
tersebut adalah di dalam hati dan meningkat bila ada stress seperti infeksi. Pada
anak malnutrisi berat akan terjadi penurunan protein fase akut negatif seperti
albumin, prealbumin, fibronektin dan retinol binding protein. Hal tersebut akan
mengakibatkan meningkatnya sistesis protein dalam hepar.

7. Kwashiorkor

Kwashiorkor berhubungan dengan kurangnya diet protein dan edema yang


terjadi adalah akibat dari rendahnya albumin, namun ada pendapat yang
mengatakan bahwa kwashiorkor tergantung dari intake energi bukan protein dan
edema tidak tergantung dari albumin

3.6. Manifestasi Klinis

Marasmus Kwashiorkor Marasmik

Kwashiorkor

 Pertumbuhan  Perubahan mental  Terlihat sangat kurus.


berkurang atau sampai apatis  Edema.
berhenti  Anemia  BB/TB < -3 SD.
 Terlihat sangat kurus  Perubahan warna dan  LILA < 11,5 cm
 Penampilan wajah tekstur rambut, mudah
seperti orangtua dicabut / rontok
 Perubahan mental  Gangguan sistem
 Cengeng gastrointestinal
 Kulit kering, dingin,  Pembesaran hati
mengendor, keriput  Perubahan kulit
 Lemak subkutan  Atrofi otot
menghilang hingga  Edema simetris pada
turgor kulit berkurang kedua punggung kaki,
 Otot atrofi sehingga dapat sampai seluruh
kontur tulang terlihat tubuh.
jelas
 Vena superfisialis
tampak jelas
 Ubun – ubun besar
cekung
 tulang pipi dan dagu
kelihatan menonjol
 mata tampak besar dan
dalam
 Kadang terdapat
bradikardi
 Tekanan darah lebih
rendah dibandingkan
anak sebaya
*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala
marasmus dan kwashiorkor
Gambar 2.1 Perbedaan marasmus dan kwarshiorkor

3.7. Diagnosis

1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang, anak
kurus, atau berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/ tidak mau
makan, sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak pada kedua
kaki, kadang sampai seluruh tubuh (IDAI, 2010).

2. Pemeriksaan fisik
 MEP ringan
Sering ditemukan gangguan pertumbuhan:
- Anak tampak kurus.
- Pertumbuhan linier berkurang atau terhenti.
- Berat badan tidak bertambah, bahkan turun.
- Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal.
- Maturasi tulang terlambat.
- Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/ menurun.
- Tebal lipatan kulit normal atau berkurang.
- Anemia ringan
- Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat.
 MEP berat
- Kwashiorkor.
- Marasmus.
- Marasmik-kwashiorkor.

Kriteria diagnosis: terlihat sangat kurus, edema nutrisional (simetris),


BB/TB <-3SD, lingkar lengan atas <11,5 cm (IDAI, 2010).
Berikut bagan alur pemeriksaan yang dapat di gunakan untuk menentukan
langkah-langkah yang dilakukan dalam menangani penemuan kasus anak gizi
buruk berdasarkan kategori yang telah ditentukan (Kemenkes, Bagan Tatalaksana
Anak Gizi Buruk Buku I, 2011)
Pada puskesmas juga terdapat bagan alur pemeriksaan yang dapat di
gunakan untuk menentukan langkah-langkah yang dilakukan dalam menangani
penemuan kasus anak gizi buruk
Penentuan status gizi dapat ditentukan secara klinis dan antropometri:
Antropometri (BB/TB-
Status gizi Klinis PB)

Tampak sangat kurus dan


atau edema pada kedua < -3 SD
Gizi buruk
punggung kaki sampai
seluruh tubuh.

Gizi kurang Tampak kurus -3 SD - < -2 SD

Gizi baik Tampak sehat -2 SD – 2SD

Gizi lebih Tampak gemuk >2 SD

3. Pemeriksaan Penunjang
Penemuan hasil laboratorium sebagai berikut :

1. Konsentrasi total protein serum dan terutama albumin secara nyata berkurang
pada KEP edematus, dan normal atau rendah pada marasmus.
2. Hemoglobin dan hematokrit biasanya rendah, terlebih pada kwashiorkor
daripada marasmus.
3. Rasio asam amino nonesensial dan esensial plasma meningkat pada
kwashiorkor dan biasanya normal pada marasmus.
4. Level Free Fatty Acid (FFA) serum meningkat, terutama pada kwashiorkor.
5. Level glukosa darah normal atau rendah setelah puasa 6 atau lebih.
6. Eksresi urin kreatinin, hidroksiprolin, 3-metil histidin, dan urea nitrogen
rendah.
Banyak perubahan biokimia lain yang sudah diterangkan pada KEP berat,
meskipun mempunyai sedikit pengaruh pada diagnosis penyakit.

Penelitian histopatologis menunjukkan atrofi nonspesifik, terutama pada


jaringan dengan angka turnover sel yang besar seperti mukosa usus, sumsum
tulang merah, dan epitel testikular, sedangkan pada vili usus dan enterosit
kehilangan penampakan columnarnya. Perubahan kulit terdiri atas atrofi dermal,
ekimosis, ulserasi, dan deskuamasi hiperkeratosis, terlihat pada daerah yang
iritasi. Hepar pada kwashiorkor besar dengan infiltrasi lemak; lemak periportal
terlihat pertama dan berlanjut sejalan dengan meningkatnya kehebatan penyakit.

3.8. Penatalaksanaan
Perlu diketahui ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting pada pasien
gizi buruk, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2011)

Kondisi I

Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi. Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2011)

1. Pasang O2 1-2 L/menit


2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT

Kondisi II

Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan
Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak
Gizi Buruk Buku I, 2011)

1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB


2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak
50ml
3. 2 jam pertama
 berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB
setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi III

Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III,
dengan tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk
Buku I, 2011)

1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)


2. 2 Jam pertama
 berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB
setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi IV

Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera,


yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2011)

1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB


2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak
50ml
3. 2 jam pertama
 berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat
badan (NGT)
 catat nadi, frekuensi nafas

Kondisi V

Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2011)

1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral


2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran
MEP berat ditatalaksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi)
dengan 10 langkah tindakan seperti pada tabel dibawah ini (Kemenkes, Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2011)
Sepuluh Langkah Utama Pada Tata Laksana Kep Berat/Gizi Buruk

1. Pengobatan atau pencegahan hipoglikemia (kadar gula dalam darah


rendah)

Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dengan


KEP berat/Gizi buruk. Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah.
Jika anak sadar dan dapat menerima makanan usahakan memberikan makanan
saring/cair 2-3 jam sekali. Jika anak tidak dapat makan (tetapi masih dapat
minum) berikan air gula dengan sendok. Jika anak mengalami gangguan
kesadaran, berikan infus cairan glukosa dan segera rujuk ke rumah sakit

2. Pengobatan dan pencegahan hipotermia (suhu tubuh rendah)

Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah dibawah 360 C. Pada
keadaan ini anak harus dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu atau
orang dewasa lain mendekap anak di dadanya lalu ditutupi selimut (Metode
Kanguru). Perlu dijaga agar anak tetap dapat bernafas. Cara lain adalah dengan
membungkus anak dengan selimut tebal, dan meletakkan lampu didekatnya.
Lampu tersebut tidak boleh terlalu dekat apalagi sampai menyentuh anak. Selama
masa penghangatan ini dilakukan pengukuran suhu anak pada dubur (bukan
ketiak) setiap setengah jam sekali. Jika suhu anak sudah normal dan stabil, tetap
dibungkus dengan selimut atau pakaian rangkap agar anak tidak jatuh kembali
pada keadaan hipothermia. Tidak dibenarkan penghangatan anak dengan
menggunakan botol berisi air panas.

3. Pengobatan dan Pencegahan kekurangan cairan

Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak penderita KEP berat/Gizi buruk
dengan dehidrasi adalah :

 Ada riwayat diare sebelumnya

 Anak sangat kehausan

 Mata cekung
 Nadi lemah

 Tangan dan kaki teraba dingin

 Anak tidak buang air kecil dalam waktu cukup lama.

Tindakan yang dapat dilakukan adalah :

 Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan setiap setengah jam
sekali tanpa berhenti. Jika anak masih dapat minum, lakukan tindakan
rehidrasi oral dengan memberi minum anak 50 ml (3 sendok makan) setiap 30
menit dengan sendok. Cairan rehidrasi oral khusus untuk KEP disebut
ReSoMal
 Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan KEP berat/Gizi buruk dapat
menggunakan oralit yang diencerkan 2 kali. Jika anak tidak dapat minum,
lakukankan rehidrasi intravena (infus) cairan Ringer Laktat/Glukosa 5 % dan
NaCL dengan perbandingan 1:1.

4. Lakukan pemulihan gangguan keseimbangan elektrolit

Pada semua KEP berat/Gizi buruk terjadi gangguan keseimbangan elektrolit


diantaranya:

 Kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah.


 Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg)
Ketidakseimbangan elektrolit ini memicu terjadinya edema dan, untuk
pemulihan keseimbangan elektrolit diperlukan waktu paling sedikit 2 minggu.

 Pengobatan dengan diuretik tidak diperbolehkan

Berikan:

- Makanan tanpa diberi garam/rendah garam


- Untuk rehidrasi, berikan cairan oralit 1 liter yang diencerkan 2 X (dengan
penambahan 1 liter air) ditambah 4 gr KCL dan 50 gr gula atau bila balita
KEP bisa makan berikan bahan makanan yang banyak mengandung mineral
(Zn, Cuprum, Mangan, Magnesium, Kalium) dalam bentuk makanan
lumat/lunak.

Contoh bahan makanan sumber mineral

Sumber Zink : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur
ayam

Sumber Cuprum : daging, hati.

Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai.

Sumber Magnesium : kacang-kacangan, bayam.

Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang2an, apel, alpukat,

5. Lakukan Pengobatan dan pencegahan infeksi

Pada KEP berat/Gizi buruk, tanda yang umumnya menunjukkan adanya


infeksi seperti demam seringkali tidak tampak, oleh karena itu pada semua KEP
berat/Gizi buruk secara rutin diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis
sebagai berikut :

Antibiotik Spektrum Luas pada Gizi Buruk

AMOKSISILIN
KOTRIMOKSASOL
 Beri 3 kali
(Trimetoprim + Sulfametoksazol) sehari
UMUR  Beri 2 kali sehari selama 5 hari untuk 5
hari
ATAU Tablet dewasa Sirup/5ml
Tablet Anak Sirup
BERAT 80 mg 40 mg
BADAN 20 mg
trimetoprim + trimetoprim
trimetoprim +
400mg + 200 mg 125 mg
100mg
sulfametoksazo sulfametoks
sulfametoksazol per 5 ml
l azol
2 sampai 4 bulan
(4 - < 6 kg) ¼ 1 2,5 ml 2,5 ml
4 sampai 12 bulan
(6 - < 10 Kg) ½ 2 5 ml 5 ml
12 bln s/d 5 thn
(10 - < 19 Kg) 1 3 7,5 ml 10 ml

Vaksinasi Campak bila anak belum diimunisasi dan umur sudah mencapai 9
bulan

Catatan :

 Mengingat pasien KEP berat/Gizi buruk umumnya juga menderita penyakit


infeksi, maka lakukan pengobatan untuk mencegah agar infeksi tidak menjadi
lebih parah. Bila tidak ada perbaikan atau terjadi komplikasi rujuk ke Rumah
Sakit Umum.
 Diare biasanya menyertai KEP berat/Gizi buruk, akan tetapi akan berkurang
dengan sendirinya pada pemberian makanan secara hati-hati. Berikan
metronidasol 7,5 mg/Kgbb setiap 8 jam selama 7 hari. Bila diare berlanjut
segera rujuk ke rumah sakit

6. Pemberian makanan balita KEP berat/Gizi buruk

Pemberian diet KEP berat/Gizi buruk dibagi dalam 3 fase, yaitu :

Fase Stabilisasi, Fase Transisi, Fase Rehabilitasi

Fase Stabilisasi ( 1-2 hari)

Pada awal fase stabilisasi perlu pendekatan yang sangat hati-hati, karena
keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian
makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian
rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal saja.
Formula khusus seperti Formula WHO 75/modifikasi/Modisco ½ yang dianjurkan
dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat
mencapai prinsip tersebut diatas dengan persyaratan diet sebagai berikut:
- Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa
- Energi : 100 kkal/kg/hari
- Protein : 1-1.5 gr/kg bb/hari
- Cairan : 130 ml/kg bb/hari (jika ada edema berat 100 ml/Kg bb/hari)
- Bila anak mendapat ASI teruskan , dianjurkan memberi Formula WHO
75/pengganti/Modisco ½ dengan menggunakan cangkir/gelas, bila anak
terlalu lemah berikan dengan sendok/pipet
- Pemberian Formula WHO 75/pengganti/Modisco ½ atau pengganti dan jadwal
pemberian makanan harus disusun sesuai dengan kebutuhan anak.
Keterangan :

 Pada anak dengan selera makan baik dan tidak edema, maka tahapan
pemberian formula bisa lebih cepat dalam waktu 2-3 hari (setiap 2 jam)
 Bila pasien tidak dapat menghabiskan Formula WHO 75/pengganti/Modisco
½ dalam sehari, maka berikan sisa formula tersebut melalui pipa nasogastrik (
dibutuhkan ketrampilan petugas )
 Pada fase ini jangan beri makanan lebih dari 100 Kkal/Kg bb/hari
 Pada hari 3 s/d 4 frekwensi pemberian formula diturunkan menjadi setiap jam
dan pada hari ke 5 s/d 7 diturunkan lagi menjadi setiap 4 jam
 Lanjutkan pemberian makan sampai hari ke 7 (akhir minggu 1)
Pantau dan catat :

- Jumlah yang diberikan dan sisanya


- Banyaknya muntah
- Frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja
- Berat badan (harian)
selama fase ini diare secara perlahan berkurang pada penderita dengan edema
, mula-mula berat badannya akan berkurang kemudian berat badan naik

7. Perhatikan masa tumbuh kejar balita (catch- up growth)

Pada fase ini meliputi 2 fase yaitu fase transisi dan fase rehabilitasi :
Fase Transisi (minggu ke 2)
 Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara berlahan-lahan untuk
menghindari risiko gagal jantung, yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi
makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.
 Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml)
dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per
100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga
dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
 Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgbb/kali pemberian (200
ml/kgbb/hari).
Pemantauan pada fase transisi:

1. Frekuensi nafas

2. Frekuensi denyut nadi

Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 kali/menit dan denyut nadi > 25
kali/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume
pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume
seperti di atas.

3. Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan

Setelah fase transisi dilampaui, anak diberi:

- Formula WHO 100/pengganti/Modisco 1 dengan jumlah tidak terbatas dan


sering.
- Energi : 150-220 Kkal/kg bb/hari
- Protein 4-6 gram/kg bb/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula WHO
100/Pengganti/Modisco 1, karena energi dan protein ASI tidak akan
mencukupi untuk tumbuh-kejar.
Setelah fase rehabilitasi (minggu ke 3-7) anak diberi :

- Formula WHO-F 135/pengganti/Modisco 1½ dengan jumlah tidak terbatas dan


sering
- Energi : 150-220 kkal/kgbb/hari
- Protein 4-6 g/kgbb/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan ASI, ditambah dengan makanan
Formula ( lampiran 2 ) karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi
untuk tumbuh-kejar.
- Secara perlahan diperkenalkan makanan keluarga
Pemantauan fase rehabilitasi

Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan badan :

- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.


- Setiap minggu kenaikan bb dihitung.
 Baik bila kenaikan bb  50 g/Kg bb/minggu.
 Kurang bila kenaikan bb < 50 g/Kg bb/minggu, perlu re-evaluasi menyeluruh.
8. Lakukan penanggulangan kekurangan zat gizi mikro

Semua pasien KEP berat/Gizi buruk, mengalami kurang vitamin dan mineral.
Walaupun anemia biasa terjadi, jangan tergesa-gesa memberikan preparat besi
(Fe). Tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya
pada minggu ke 2). Pemberian besi pada masa stabilisasi dapat memperburuk
keadaan infeksinya.

Berikan setiap hari :

 Tambahan multivitamin lain, vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan:
50.000 SI, 6-12 bulan: 100.000 SI, >1 tahun: 200.000 SI) pada awal
perawatan dan hari ke-15 atau sebelum pulang.
 Khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya 1 mg per hari.
 Bila berat badan mulai naik berikan zat besi dalam bentuk tablet besi folat atau
sirup besi dengan dosis sebagai berikut
Dosis Pemberian Tablet Besi Folat dan Sirup Besi

UMUR DAN TABLET SIRUP BESI


BESI/FOLAT
BERAT BADAN Sulfas ferosus 150 ml
Sulfas ferosus 200 mg
 Berikan 3 kali sehari
+ 0,25 mg Asam Folat
 Berikan 3 kali sehari
6 sampai 12 bulan ¼ tablet 2,5 ml (1/2 sendok teh)
(7 - < 10 Kg)
12 bulan sampai 5 ½ tablet 5 ml (1 sendok teh)
tahun

 Bila diduga menderita kecacingan berikan Pirantel Pamoat dengan dosis


tunggal:
Umur atau Berat Badan Pirantel Pamoat (125mg/Tablet)
(Dosis Tunggal)
4 bulan sampai 9 bulan (6-<8 Kg) ½ tablet
9 bulan sampai 1 tahun (8-<10 Kg) ¾ tablet
1 tahun sampai 3 tahun (10-<14 Kg) 1 tablet
3 Tahun sampai 5 tahun (14-<19 Kg) 1 ½ tablet

Vitamin A oral berikan 1 kali dengan dosis

Umur Kapsul Vitamin A Kapsul Vitamin A


200.000 IU 100.000 IU
6 bln sampai 12 bln - 1 kapsul
12 bln sampai 5 Thn 1 kapsul -

Dosis tambahan disesuaikan dengan baku pedoman pemberian kapsul Vitamin A

9. Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional

Pada KEP berat/gizi buruk terjadi keterlambatan perkembangan mental dan


perilaku, karenanya berikan :
- Kasih sayang
- Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
- Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
- Rencanakan aktifitas fisik segera setelah sembuh
- Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb)

10. Persiapan untuk tindak lanjut di rumah

Bila berat badan anak sudah berada di garis warna kuning anak dapat dirawat
di rumah dan dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas atau bidan di desa. Pola
pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah
pasien dipulangkan dan ikuti pemberian makanan seperti pada lampiran 5, dan
aktifitas bermain. 10,11

Nasehatkan kepada orang tua untuk:

 Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di


Puskesmas
 Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMT-
Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran
5) dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di
posyandu/puskesmas.
 pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang
padat
 penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu
 Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal
 Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000
SI ) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.

Suportif/ Dietetik
 Oral (enteral)
- Gizi kurang kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-
age) dikalikan berat badan ideal.
- Gizi buruk ditatalaksana sesuai pelaksanaan rawat inap dengan fase
stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi.
 Intravena (parenteral): hanya atas indikasi tepat.

Komposisi pembuatan resomal.

Pelaksanaan Rawat Inap

Penerapan tatalaksana anak gizi buruk yang dirawat inap:

a. Pelayanan Medis, keperawatan dan konseling gizi sesuai dengan penyakit


penyerta/penyulit.
b. Pemberian formula dan makanan sesuai dengan fase sebagai berikut:

Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai gizi masing-masing formula.
Kriteria sembuh:

Bila BB/TB atau BB/PB > -2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi
kriteria pulang sebagai berikut:

 Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif.


 BB/PB atau BB/TB > -3 SD.
 Komplikasi sudah teratasi .
 Ibu telah mendapat konseling gizi.
 Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut.
 Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.
Stimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan

Selama perawatan di PPG anak diberikan stimulasi tumbuh kembang dengan APE
sesuai umur dan kondisi anak mulai dari fase stabilisasi, transisi maupun
rehabilitasi, karena anak gizi buruk sering terjadi keterlambatan tumbuh kembang
seperti gangguan motorik dan sensorik. Kegiatan ini mengacu pada Buku
Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang
Anak di tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.
Pelaksanaan Rawat Jalan

a. Pemberian konseling
 Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuh tentang hasil penilaian
pertumbuhan anak
 Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab kurang gizi
 Memberi nasihat sesuai penyebab kurang gizi
 Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi anak dan
cara menyiapkan makan formula, melaksanakan anjuran makan dan memilih
atau mengganti makanan
b. Pemberian paket obat dan makanan untuk pemulihan gizi
 Bila pada saat kunjungan ke puskesmas anak dalam keadaan sakit, maka
oleh tenaga kesehatan anak diperiksa dan diberikan obat
 Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak gizi buruk dengan dosis sesuai
umur pada saat pertama kali ditemukan
c. Kunjungan Rumah
d. Rujukan
Pelayanan pemulihan anak gizi buruk dilaksanakan sampai dengan anak
berstatus gizi kurang (-2 SD sampai -3 SD). Pelayanan anak gizi buruk
dilakukan dengan frekuensi sebagai berikut:

 3 bulan pertama, anak gizi buruk datang dan diperiksa setiap minggu.
 Bulan ke 4 sampai ke 6, anak gizi buruk datang dan diperiksa setiap 2
minggu.
Anak yang belum dapat mencapai status gizi kurang (-2 SD sampai -3 SD, dan
tidak ada edema) dalam waktu 6 bulan, dapat melanjutkan kembali proses
pemulihan, dengan ketentuan, jika:

 Masih berstatus gizi buruk, rujuk ke RS atau Puskesmas Perawatan atau


Pusat Pemulihan Gizi (PPG).
 Sudah berstatus gizi kurang, maka dilanjutkan dengan program pemberian
makanan tambahan dan konseling.
3.9. Pencegahan KEP
Prevalensi KEP ringan seperti pendek dan kurus kering adalah 40-50 %
sementara KEP berat mencapai 5-10 % pada negara yang sedang berkembang.
Jika kasus KEP ini bisa dideteksi awal dengan pengukuran berat badan dan tinggi
badan serta langkah yang tepat maka KEP berat dapat dicegah dengan mudah.
Tidaklah bijaksana jika hanya mengobati malnutrisi berat yang datang ke sarana
layanan kesehatan. Seolah-olah seperti fenomena gunung es. Oleh karena itu
diperulkan pendekatan kepada masyarakat terutama masyarakat level ekonomi
menengah ke bawah. Di bawah ini adalah beberapa pendekatan penanganan
nutrisi yang bisa dilakukan di masyatakat :

1. Penganekaragaman makanan dan pendidikan gizi


Pendekatan ini difokuskan kepada pendidikan ibu/pengasuh terhadap
pentingnya makanan seimbang melalui penganekaragaman makanan. Ini juga
ditujukan agar ibu bisa mengolah bahan makanan dari kebun dan hasil pertanian.
Pendidikan gizi ini berfokus pada :
 Mengubah pola pikir ibu yang salah tentang pemberian makan dan proses
menyusui, serta paparan sinar matahari, yang sering dipengaruhi oleh budaya
dan kepercayaan yang keliru.
 Memperbaiki kesalahan pembagian jatah makanan di rumah antaranggota
keluarga yang dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.
 Menumbuhkan kesadaran terhadap status gizi anak serta penanganan praktis
dan tepat jika terjadi gangguang status gizi pada anak.
 Pentingnya ASI eksklusif.
 Meningkatkan higiene (hygiene personal, makanan, dan lingkungan).
 Pentingnya imunisasi.
 Pentingnya menanam buah-buahan dan sayur-sayuran yang bisa dikonsumsi
oleh anggota kelarga di pekarangan rumah.
 Pentingnya memantau pertumbuhan anak dengan membawanya ke pusat
pelayanan kesehatan.
2. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan komunitas target
sebagai solusi terhadap masalah gizi mereka. Beberapa metode yang bisa
digunakan adalah :
 Food for work
Menawarkan sejumlah pekerjaan kepada masyarakat miskin atau yang
membutuhkan dan membayarnya dengan makanan.
 Food subsidy
Metode ini berupa pemberian makanan jadi atau bahan makanan oleh
pemerintah.
 Income generating project
Metode ini telah dipraktikkan di beberapa daerah di Ethiopia dengan
menggunakan cara mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dibelikan
makanan. Metode ini melibatkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

3.10. Komplikasi
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain :
 Masalah pada mata
 Anemia berat
 Lesi kulit pada kwashiorkor
 Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa,
diare osmotik)

Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain:

- Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler


- Diabetes Mellitus tipe-2
- Obstruktive sleep apnea
- Gangguan ortopedik
- Pseudotumor serebri
3.11. Prognosis

Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian


sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara
kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari
stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun
kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat
dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari set-sel tubuh
akibat under nutrition maupun overnutrition.
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Gizi berperan dalam berbagai kurun usia dalam daur kehidupan. Peranan ini
meliputi dalam pertumbuhan fisik, pertumbuhan otak dan kecerdasan,
produktivitas kerja serta daya tahan terhadap infeksi. Status gizi balita secara
sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut
umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah
ditetapkan. Penilaian status gizi, menggunakan ABCD/ Anthropometric Biokimia
Clinical sign Dietary history.

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di
negara berkembang seperti di Indonesia, kejadian ini terutama pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun (balita). Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi
dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat ringan sedang (gizi
kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). KEP derajat berat yaitu kwashiorkor,
marasmus, marasmus-kwashiorkor

Diagnosis KEP berat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis untuk


menentukan penyebab perlu anamnesis makanan dan penyakit lain. Oleh karena
itu, penulis akan membahas cara penegakkan diagnosis jenis-jenis KEP berat yaitu
marasmus, kwashiorkor dan marasmik kwashiorkor
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003). Petunjuk teknis tatalaksana


anak gizi buruk; buku II. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Depkes. (2008). Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktoral Jendral


Bina Kesehatan Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi
Buruk.

IDAI. (2010). Pedoman Pelayanan Medis.

Kemenkes. (2011). Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Gizi.

Kemenkes. (2018). Masalah Gizi Balita Indonesia.

Pudjiadi, S. (2000). Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Jakarta: Edisi 4.

WHO. (2011). Buku Saku: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

Rahajoe, Supriyatno, & Setyanto. Buku Ajar Respirologi Anak edisi kedua. FK
UI. Jakarta: IDAI. 2013

Anda mungkin juga menyukai