Anda di halaman 1dari 25

PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS UMBI-UMBIAN

Nasir Saleh, St.A. Rahayuningsih dan M.Muchlis Adie


Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi)
P.O. Box 66 Malang 65101

ABSTRAK
Ubikayu dan ubijalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan dan bahan
baku industri (pangan dan kimia). Meningkatnya jumlah penduduk, berkembangnya
industri peternakan dan industri berbahan baku ubikayu dan ubijalar (termasuk industri
bioethanol) dipastikan akan mendorong kebutuhan ubikayu dan ubijalar meningkat
secara tajam. Peningkatan produksi ubikayu dan ubijalar dapat dilakukan dengan
cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas
ubikayu dan ubijalar yang masih rendah ( masing-masing 18,2 t/ha dan 11 t/ha),
dilakukan dengan menanam varietas unggul dan menerapkan teknologi budidaya yang
lebih maju. Ekstensifikasi dilakukan dengan meningkatkan luas areal tanam/panen ke
lahan kering dengan berbagai jenis tanah, memanfaatkan lahan tidur dan lebih
meningkatkan indeks pertanaman. Perakitan varietas untuk perbaikan kualitas ubikayu
sebagai bahan pangan, selain produktivitas tinggi juga diarahkan pada rasa enak (kadar
HCN rendah), mempur dan tidak berserat. Sementara pada ubijalar diarahkan pada fungsi
nya sebagai makanan kesehatan (functional foodt) yaitu mempunyai rasa enak dan
kandungan betakaroten atau antosianin yang tinggi.Sebagai bahan baku industri
(ethanol) selain produktivitas dan kadar pati tinggi juga mempunyai kadar gula total dan
nilai konversi etanol yang tinggi.

Kata kunci : Peningkatan produksi, kualitas, ubikayu, ubijalar

ABSTRACT
Cassava and sweet potato were used as food, feed and rough materials for industries
(food and chemical industries). Increasing of the human population, development of
veteriner industries, and many cassava/sweet potato based idustries (including
bioethanol) was believed to sharply increase the cassava/sweet potato
demands. Increasing of the cassava/sweet potato production could be achieved through
increasing their productivity which are still low (18.2 t/ha and 11 t/ha respectively) by
planting of improved varities followed by available advanced cultural practices and
expanded the cassava and sweet potato to upland areas, sleeping land and increasing
cropping indext. Crop improvement of eating-cassava was directed to high
productivity, low HCN content and not fiberous, while for industrial was directed to
high productivity, high starch and total glucose content and high ethanol-conversion
values. For sweet potato crop improvement was directed in accordance to its role as
functional food, i.e. high productivity and high betacarotene and anthocyanin content.

Key words: Increase production, quality, cassava, sweet


potato

1
PENDAHULUAN

Ubikayu dan ubijalar merupakan tanaman yang sudah lama dikenal dan
dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut tercermin dari daerah penyebaran
komoditas tersebut di hampir seluruh propinsi di Indonesia. Sebagai bahan sumber
karbohidrat, ubikayu dan ubijalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, bahan
pakan serta bahan baku industri (pangan dan kimia). Menurut Hafsah (2003) sebagian
besar produksi ubikayu di Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri (85-
90%), sedang sisanya diekspor dalam bentuk gaplek, chip dan tepung tapioka. Dari total
produksi yang ada (19,3 juta ton), lebih kurang sebanyak 75% dikonsumsi sebagai bahan
pangan (secara langsung atau melalui proses pengolahan), 13-14% untuk keperluan
industri non-pangan, 2% untuk pakan dan 9% tercecer
Jumlah penduduk Indonesia yang besar (247 juta) dengan pertumbuhan yang masih
tinggi (1,47%/tahun) mendorong Pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubikayu
sebagai bahan pangan alternatif mendukung ketahanan pangan Nasional. Dalam ransum
pakan ternak maupun unggas, ubikayu digunakan dalam bentuk tepung tapioka, pellet
maupun limbah industri ubikayu (onggok). Penggunaan ubikayu untuk pakan relatif
masih rendah, sekitar 2%. Namun usaha peternakan yang meningkat dengan laju
pertumbuhan 12,9% per tahun untuk ternak pedaging dan 18,0% per tahun untuk ternak
petelur, permintaan ubikayu untuk pakan juga akan meningkat. Ubikayu banyak
digunakan sebagai bahan baku industri diolah melalui proses dehidrasi ( chip, pellet,
tepung tapioka ), hidrolisa (dekstrose, maltose, sukrose, sirup glukose) dan proses
fermentasi (alkohol, butanol, aseton, asam laktat, sorbitol dll). Pencanangan bio-ethanol
sebagai sumber energi alternatif terbarukan berupa Gasohol-10 (campuran premium
dengan 10% etanol), dimana 8% keperluan etanol berasal dari ubikayu dan peningkatan
kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 7%/tahun akan lebih memacu kebutuhan
ubikayu.
Seperti halnya ubikayu, sebagian besar (89%) ubijalar juga dimanfaatkan sebagai
bahan pangan, baik secara langsung (direbus, digoreng, dioven, juice) atau setelah
melalui proses pengolahan (kue basah, kue kering, rerotian, mie, selai). Hanya sebagian
yang digunakan untuk bahan pakan dan baku industri. Di Papua, ubijalar merupakan
makanan pokok dan merupakan komoditas yang punya arti penting dalam beberapa
upacara adat. Sejalan dengan Program difersifikasi pangan, ubijalar yang banyak
mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin ubijalar juga berpeluang
dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif (non beras), bahkan dengan beberapa
keunggulannya (mengandung beta karoten, antosianin, senyawa fenol, dan serat pangan
serta nilai indeks glisemiknya (Glycemic Index), ke depan ubijalar difungsikan juga
sebagai makanan untuk kesehatan (functional food) (Ginting et al.,.2011).

KERAGAAN PRODUKSI

Data perkembangan produksi, luas panen dan produktivitas ubikayu dan ubijalar
selama dasa warsa terakhir (tahun 2000-2009) menunjukkan bahwa produksi ubikayu
dan ubijalar meningkat masing-masing 3,25% dan 0,75%/tahun, namun luas tanam
berkurang -0,37% dan -0,58%/tahun (Tabel 1 dan 2). Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan produksi lebih disebabkan karena peningkatan produktivitas yang
mencapai

2
3,89%/tahun pada ubikayu dan 1,35%/tahun pada ubijalar. Hal ini berarti pula bahwa
perbaikan teknologi produksi pada ubikayu yang meliputi penggunaan varietas
unggul dan perbaikan teknologi budidaya telah berhasil meningkatkan produktivitas
secara lebih nyata dibanding pada ubijalar, namun keduanya mampu meningkatkan
produksi ubikayu dan ubijalar.

Tabel 1. Perkembangan produksi, luas panen dan produktivitas ubikayu selama


10 tahun terakhir (2000-2009)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tahun Produksi Pertbhan Luas panen Pertbhan Produktivitas Pertbhan
(000 t) (%) (000 ha) (%) (kw/ha) (%)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
2000 16.084 --- 1.284,0 --- 125 ---
2001 17.055 6,03 1.317,9 2,64 129 3,20
2002 16.913 -0,83 1.276,5 - 3,14 132 2,32
2003 18.524 9,52 1.244,5 - 2,50 149 12,88
2004 19.264 3,99 1.239,8 - 0,38 155 4,03
2005 19.321 0,29 1.213,5 -- 159 2,58
2006 19.986 3,44 1.227,5 1,15 163 2,51
2007 19.988 0,10 1.201,5 -2,11 166 1,84
2008 21.757 8,85 1.204,9 0,28 180 8,43
2009 21.990 1,07 1.205,5 0,40 18,2 1,11
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Rata-rata (%/tahun) 3,25 -0,37 3,89
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
- Sumber : BPS, 2009, 2005

Tabel 2. Perkembangan produksi, luas panen dan produktivitas ubijalar selama


10 tahun terakhir (2000-2009)
------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Tahun Produksi Pertbhan Luas panen Pertbhan Produktivitas Pertbhan
(000 t) (%) (000 ha) (%) (kw/ha) (%)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
2000 1.827,7 --- 194,3 --- 94,0 ---
2001 1.749,1 -4,37 181,0 -6,84 97,0 3,09
2002 1.771,6 1,14 177,3 -2,04 100,0 3,09
2003 1.991,5 12,41 197,5 11,39 101,0 1,00
2004 1.901,8 -4,50 184,5 - 6,58 104,1 3,07
2005 1.856,9 -2,10 178,3 - 3,36 104,1 0,00
2006 1.854,2 -0,54 176,5 - 1,00 105,0 0,86
2007 1.886,8 2,16 176,9 0,22 106,6 1,52
2008 1.881,7 -0,37 174,5 -1,35 107,8 1,12
2009 1.947,3 3,72 181,1 3,78 107,5 -0,28
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rata-rata (%/tahun) 0,75 -0,58 1,35
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
- Sumber : BPS, 2005, 2009

3
SENTRA PRODUKSI

Ubikayu dan ubijalar sebagian besar diusahakan di lahan kering dan hanya sebagian
kecil ditanam di lahan sawah dengan berbagai jenis tanah yaitu: Alfisol. Ultisol,
Inceptisol yang pada umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah. Provinsi sentra
produksi ubikayu meliputi: Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa
Tenggara Timur dan D.I. Yogyakarta. Data produksi ubikayu tahun 2000-2009
terlihat pada tahun 2000 pulau Jawa masih merupakan sentra produksi ubikayu yang
dominan dalam memberi kontribusi produksi nasional (57,2%), Sumatera (25,5%), dan
propinsi di pulau lainnya (17,3%). Namun pada tahun 2009, kontribusi produksi
ubikayu di pulau Jawa menurun menjadi 44,56%, sementara pulau Sumatera naik
mennjadi 42,33%, dan pulau lainnya sedikit turun menjadi 12,23% (Tabel 3). Hal
ini menunjukkan adanya pergeseran sentra produksi ubikayu dari pulau Jawa ke pulau
Sumatera.
Data produksi ubikayu tahun 2000-2009 juga memperlihatkan bahwa angka
pertumbuhan produksi nasional adalah 3,25%/tahun, dengan angka pertumbuhan untuk
pulau Jawa sebesar 0,70%/tahun dan Sumatera 9,08%/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan ubikayu banyak terjadi di Sumatera dibandingkan di Jawa. Di antara
enam provinsi sentra produksi ubikayu, provinsi Lampung menunjukkan angka
pertumbuhan produksi tertinggi yaitu 11,31%/tahun, diikuti provinsi D.I.Yogajakarta
(4,97%/tahun), Jawa Barat (2,11%/tahun), dan Nusa Tenggara Timur(1,77%/tahun).
Angka pertumbuhan yang tinggi di provinsi Lampung diduga erat hubungannya dengan
berkembangnya industri-industri pengolahan berbahan baku ubikayu. Di
provinsi Lampung angka pertumbuhan produksi ubikayu yang tinggi terjadi pada tahun
2001 dan
2003 yang masing-masing sebesar 22,56% dan 43,60% akibat meningkatnya luas panen
ubikayu di provinsi tersebut. Hal ini diduga terkait dengan harga ubikayu yang
cukup baik pada tahun 2000 dan 2002, sehingga petani berusaha meningkat produksi
ubikayu pada tahun berikutnya. Fluktuasi luas panen antar waktu merupakan gambaran
tanggap terhadap tinggi rendahnya harga umbi dari waktu sebelumnya. Saleh et al.
(2000) juga menjelaskan bahwa sebagian besar usahatani ubikayu di Indonesia yang
dilakukan oleh petani kecil dengan kemampuan modal dan teknologi terbatas sangat
respon terhadap signal harga yang diimplementasikan dalam bentuk usahatani
ubikayu mereka pada tahun berikutnya. Apabila harga ubikayu baik, luas panen
musim berikutnya naik dan sebaliknya bila harga ubikayu pada musim tersebut kurang
bagus, maka luas panen pada tahun berikutnya juga berkurang. DI Yogyakarta
merupakan propinsi sentra produksi ubikayu yang dari tahun ke tahun selalu
menunjukkan angka pertumbuhan positif dari
1,88% pada tahun 2002 hingga 6,93% pada tahun 2004. Kenaikan angka
pertumbuhan pada tahun 2004 diduga berkaitan dengan berkembangnya industri
Tiwul instan dan meningkatnya kebutuhan ubikayu sebagai substitusi bahan pangan.
Seperti halnya dengan ubikayu, pulau Jawa masih merupakan sentra produksi
ubijalar . Pada tahun 2000, produksi ubijalar di pulau Jawa mencapai 0,73 juta ton yang
berarti memberi kontribusi produksi nasional 39,9%, namun pada tahun 2009
kontribusinya sedikit turun menjadi 35,4%. Selama kurun waktu satu dasawarsa 2000-
2009, pertumbuhan produksi tertinggi dicapai oleh propinsi Papua yaitu
5,61%/tahun, diikuti Sumatera Utara yang mencapai 2,22%/tahun. Sementara propinsi

4
lain justru mengalami pertumbuhan produksi yang negatif.. Di Papua, produksi tertinggi
terjadi pada

5
tahun 2003 yang mencapai 0,51 juta ton, yang berart1 meningkat 96% dibanding tahun
sebelumnya yang hanya mencapai 0,26 juta ton. Hal tersebut diduga adanya gerakan
meningkatkan pangan utama(ubijalar), setelah terjadinya kasus kelaparan di
Yahokimo pada tahun 2002. Namun pada tahun-tahun berikutnya produksi relatif stabil
antara 0,30-
0,34 ton. Pada tahun 2009, propinsi Jawa Barat dan Papua masing-masing memberi
kontribusi sebesar 20% dan 17,43%. Besarnya produksi ubijalar di propinsi Jawa Barat
diduga didorong oleh adanya perusahaan yang bermitra kerja dengan kelompok tani dan
mengekspor ubijalar ke negara Jepang, Malaysia dan Taiwan. Sementara propinsi Jawa
Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan NT.Timur memberi kontribusi antara 5,6 –
7,17%. (Tabel 4). Di Sumatera Utara ubijalar selain sebagai pangan, juga
digunakan
sebagai pakan babi. Pada beberapa tahun terakhir ubijalar (jenis Beniazuma)
banyak dikembangkan untuk diekspor ke Jepang.

Tabel 3. Sentra produksi ubikayu di Indonesia (2000-2009)


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Provinsi Produksi ( juta ton) Laju pertum-
----------------------------------------------------------------------------------- buhan
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (%/tahun)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lampung 2.9 3.58 3.47 4.98 4.68 4,87 5,50 6,39 7,21 7,88
11,31
Jawa Timur 3.6 4.01 3.92 3.78 3.96 4,02 3,68 3,42 3,53 3,09 -
1,29
Jawa Tengah 3.1 3.32 3.10 3.47 3.66 3,48 3,55 3,41 3,32 3,37
0,96
Jawa Barat 1.8 1.57 1.80 1.65 2.07 2,07 2,04 1,92 2,03 2,12
2,11
NT.Timur 0,8 0,78 0, 87 0,86 0,86 0.89 0,94 0,79 0,93 0,92
1,77
Yogyakarta 0,7 0,74 0,75 0,76 0,82 0,92 1,02 0,97 0,89 1,10
4,97

Sumatera 4.1 4.74 4.55 5.96 5.75 5,84 6,58 7,33 8,96 9,31
9,08
Jawa 9.2 9.74 9.71 9.82 10.68 10,63 10,44 9,85 9,90 9,80
0,70
Prop.lain 2,8 2,57 2,65 2,74 2,83 2,85 2,94 2,80 2,90 2,69
1,23
Indonesia 16.09 17.05 16.91 18.52 19.26 19,32 19,98 19,98 21,76 21,99
3,24
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: BPS, 2009 dan 2005

Tabel 4. Sentra produksi ubijalar di Indonesia (2000-2009)


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Provinsi Produksi (juta ton) Laju pertum-
-------------------------------------------------------------------------------------- buhan
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (%/tahun)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jawa Barat 0,38 0,31 0,39 0,35 0,39 0,39 0,39 0,37 0,38 0,39 0,87

6
Papua 0,28 0,28 0,26 0,51 0,30 0,29 0,31 0,32 0,35 0,34 5,61
Jawa Timur 0,19 0,20 0,17 0,17 0,16 0,15 0,15 0,15 0,14 0,14 - 2,85
Jawa Tengah 0,14 0,13 0,13 0,14 0,14 0,14 0,12 0,14 0,12 0,12 - 1,37
NT.Timur 0,15 0,15 0,13 0,09 0,13 0,10 0,11 0,10 0,11 0,11 - 2,18
Sumatera Utara 0,12 0,12 0,12 0,13 0,12 0,11 0,10 0,12 0,11 0,14 2,22

Jawa 0,73 0, 69 0,73 0,70 0,74 0,73 0,70 0,70 0,67 0,69 - 0,48
Indonesia 1.83 1.75 1.77 1.99 1.90 1,86 1,85 1,88 1,88 1,95 0,75
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: BPS, 2009 dan 2005

7
TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKSI

Hingga tahun 2009, produktivitas ubikayu dan ubijalar masing-masing baru mencapai
18,2 t/ha dan 11 t/ha, jauh dari potensi hasil beberapa varietas unggul ubikayu
dan
ubijalar yang masing-masing dapat mencapai 30-40 t/ha dan 20-35 t/ha. Karama (2003)
menyatakan bahwa rendahnya produktivitas ubikayu dan ubijalar antara lain disebabkan
oleh: (a). Sebagian besar petani masih menggunakan varietas lokal yang umumnya
produktivitasnya rendah, (b). Kualitas bibit yang digunakan seringkali kurang baik, (c).
Ubikayu dan ubijalar sebagian besar diusahakan di lahan kering yang seringkali
kesuburannya lebih rendah dibanding lahan sawah, (d). Pengelolaan tanaman dilakukan
secara sederhana dengan masukan (input) sekedarnya.
Secara umum, peningkatan produksi ubikayu dan ubijalar dapat dilakukan
melalui
peningkatan produktivitas (intensifikasi), terutama pada daerah-daerah sentra
produksi ubikayu dan ubijalar yang sudah ada, dan perluasan areal tanam/panen
(ekstensifikasi) ke daerah pengembangan baru di lahan kering dan lahan tidur
terutama di luar Jawa. Menurut Wargiono (2007) untuk memenuhi kebutuhan
ubikayu perlu peningkatan produksi yang tumbuh secara berkelanjutan 5-7%/tahun.
Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas 3-5%/tahun dan perluasan
areal 10-20%/tahun.

1. Intensifikasi
1.a. Varietas unggul baru (VUB).
VUB merupakan komponen teknologi produksi yang sangat strategis dalam upaya
meningkatkan produksi ubikayu/ubijalar karena berkaitan dengan potensi hasil yang
tinggi. Varietas unggul baru yang mempunyai karakter sesuai dengan kebutuhan dan
preferensi pengguna juga relatif mudah diterima petani, dan kompatibel dengan
komponen teknologi budidaya lain. Hingga tahun 2009, Badan Litbang
Pertanian telah melepas masing-masing 10 varietas unggul ubikayu dan 19 ubijalar,
masing- masing dengan sifat keunggulan (Tabel 5 dan 6). Dibandingkan dengan
komoditas pangan lainnya (padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan
ubijalar), pembentukan/pelepasan varietas unggul ubikayu di Indonesia adalah
tertinggal atau lambat, sebab selama ini di samping komoditas ubi kayu belum
memperoleh prioritas, juga karena umur panennya panjang (8–10 bulan).
Ubikayu varietas UJ-5 dan UJ-3 yang mempunyai hasil dan kadar pati
yang tinggi telah berkembang secara luas di propinsi Lampung, sebagai bahan
baku industri tepung dan pati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas
Malang-4 beradaptasi dan menghasilkan umbi 40-55 t/ha di kabupaten Lampung
Selatan dan Lampung Utara (Saleh et al., 2006 ; Rajid et al., 2008). Varietas Adira-4,
MLG-6 dan Kaspro yang juga mempunyai produksi dan kadar pati tinggi telah
berkembang luas di Jawa Timur.

8
Tabel 5. Varietas unggul ubikayu yang telah dilepas di Indonesia sejak 1978-2009
Varietas Asal usul Tahun Umur Hasil Keunggulan
dilepas (bln) (t/ha)
Adira 1 Mangi/Ambon 1978 7-10 22 - Agak tahan tungau merah
(Tetranichus bimaculatus)
- Tahan terhadap bakteri
hawar daun, Pseudomonas
solanacearum, dan
Xanthomonas manihotis
Adira 2 Mangi/Ambon 1978 8-12 22 - Cukup tahan tungau
merah (Tetranichus
bimaculatus)
- Tahan terhadap
Pseudomonas
solanacearum
Adira 4 Silang bebas dari 1978 10 35 - Cukup tahan tungau
induk betina BIC 528 merah (Tetranichus
bimaculatus)
- Tahan terhadap
Pseudomonas
solanacearum dan
Xanthomonas manihotis
Malang 1 CM1015-19/CM849-1 1992 9-10 36,5 -Toleran tungau merah
(Tetranichus bimaculatus)
- Toleran bercak daun
(Cercospora sp.)
-Adaptasi cukup luas
Malang 2 CM922-2/CM507-37 1992 8-10 31,5 -Agak peka tungau merah
(Tetranichus bimaculatus)
- Toleran bercak daun
(Cercospora sp.)
Darul 1998 8-12 102,10 -Agak peka tungau merah
Hidayah (Tetranichus sp.)
- Agak peka busuk jamur
(Fusarium sp.)
UJ-3 Thailand 2000 8-10 20-35 -Agak tahan CBB (Cassava
Bacterial Blight)
UJ-5 Thailand 2000 9-10 25-38 - Agak tahan CBB
(Cassava Bacterial Blight)
Malang 4 Silang bebas dari 2001 9 39,7 -Agak tahan tungau merah
induk betina Adira 4 (Tetranichus sp.)
-Adaptif terhadap hara sub-
optimal
Malang 6 MLG10071/MLG 10032 2001 9 36,4 -Agak tahan tungau merah
(Tetranichus sp.)
-Adaptif terhadap hara sub-
optimal
Sumber: Balitkabi, 2011

9
Tabel 6. Varietas unggul ubijalar yang telah dilepas di Indonesia sejak 1977-2009
Varietas Asal usul Tahun Umur Hasil Keunggulan
dilepas (bln) (t/ha)
Daya Putri selatan/jonga 1977 4 23 - Agak tahan hama boleng
- Tahan terhadap penyakit
keriting
Borobudur No.380/Filipina II 1982 3,5-4 20 - Toleran hama penggerek
- Toleran penyakit kudis
Prambanan - 1982 -- 28 --
Mendut IITA, Nigeria 1989 4 35 -mampu beradaptasi lahan
marginal
- Dapat ditanam sampai
900 m dpl
Kalasan AVRDC, Taiwan 1991 3-4 40 -Agak tahan karat daun
Mampu beradaptasi pada
lahan marginal

Muaratakus SQ-27xIK-I 1995 4-4,5 30-35 -Tahan penyakit kudis(


Sphaceloma batatas.)
- Cocok di lahan kering dan
sawah
Cangkuang SRIS 226 1998 4-4,5 30-31 -Agak tahan hama boleng
Tahan penyakit kudis
Sewu Daya Op Sr-8 1998 4-4,5 28-30 - Agak tahan hama boleng
Tahan penyakit kudis
Sari Genjahrante x Lapis 2001 3,5-4 30-35 Agak tahan hama boleng
Tahan penyakit kudis
Boko No.14 x MLG 1258 2001 4-4,5 25-30 Agak tahan hama boleng
Toleran penyakit kudis
Sukuh AB 940 2001 4-4,5 25-30 Agak tahan hama boleng
Tahan penyakit kudis
Jago B0059-3 2001 4-4,5 25-30 Agak tahan hama boleng
Agak tahan penyakit kudis
Kidal Inaswang 2001 4-4,5 25-30 Agak tahan hama boleng
Tahan penyakit kudis
Sawentar Persilangan bebas induk 2006 4,5-6 25-30 Agak tahan boleng dan
betina varietas Mantang penyakit kudis, cocok
merah untuk dataran tinggi
Papua Persilangan bebas induk 2006 4,5-6 26-33 Agak tahan hama dan
Patippi betina varietas Gowok penyakit kudis, cocok
untuk dataran tinggi
Papua Muara Takus x Siate 2006 4,5-6 24-30 Agak tahan hama boleng
Solossa (lokal Papua) dan penyakit kudis, cocok
untuk dataran tinggi
Antin 1 Persilangan lokal 2009 4-4,5 26-36 Kadar antosianin 33,89
Samarinda x Kinta (lokal mg/100 g bahan, agak
Papua) tahan boleng, toleran
kekeringan
Beta-1 Persilangan bebas induk 2009 4-4,5 25-35 Kadar betakaroten 12.032
betina MSU 01015 ug/100 g, agak tahan kudis
dan boleng
Beta-2 Persilangan bebas induk 2009 4-4,5 25-35 Kadar betakaroten 4.629
betina MSU 01015 ug/100 j bahan, agak tahan
poenyakit kudis dan
boleng

8
Preferensi pengguna terhadap ubijalar lebih dinamis dan bervariasi tergantung
daerah dan peruntukan dan perkembangan pasar. Di beberapa daerah petani menyukai
umbi dengan kulit umbi merah dan daging umbi krem, sementara di daerah lain petani
lebih suka kulit umbi dan daging umbi yang putih.Varietas Sari yang berumur genjah
(dipanen 3,5-4 bulan) telah tersebar luas di kabupaten Karanganyar dan Malang, sebagian
besar produknya dikirim ke Sidoarjo/Surabaya sebagai bahan baku industri saus. Varietas
lokal Asih yang mempunyai kadar pati tinggi banyak ditanam di Cirebon untuk bahan
baku industri pasta dan kubus beku untuk diekspor ke Jepang.
1.2. Teknologi Budidaya pendukung
Di samping varietas, teknologi budidaya pendukung akan membantu masing-masing
varietas untuk menghasilkan sesuai dengan potensi hasilnya. Jarak tanam atau populasi
tanaman per hektar merupakan komponen teknologi yang paling pertama dulu mendapat
perhatian para petani, sebab komponen tersebut selain mudah dipahami dan diterapkan
petani, juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.
1.2.a. Jarak tanam. Jarak tanam ubi kayu/ubijalar yang sesuai sangat ditentukan antara
lain oleh sistem tanam, pola pertumbuhan tanaman dan tingkat kesuburan lahan. Pada
sistem monokultur, penanaman ubikayu dapat dilakukan pada jarak tanam 100 cm x 100
cm atau 100 cm x 80 cm. Ubikayu dengan pola percabangan di bawah (misal varietas
Darul Hidayah) umumnya ditanam dengan jarak yang lebih lebar (125 cm x 125 cm).
Pada tanah yang kurang subur (daerah Lampung) untuk mendapatkan hasil yang tinggi
per satuan luas, ubikayu dapat ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat (Tabel 7).
Dengan menanam lebih rapat, meskipun hasil per tanaman lebih sekit tapi karena
populasinya tinggi hasilumbi per satuan luas menjadi lebih tinggi pula.

Tabel 7. Hasil ubikayu pada populasi tanam yang berbeda di Lampung Timur dan
Lampung Tengah MT. 2007
Lampung Timur Lampung Tengah
Varietas
12.500 20.000 40.000 12.500 20.000 40.000
tan/ha tan/ha tan/ha tan/ha tan/ha tan/ha
UJ-3 31,0 0 bc 28,57 c 28,28 c 27,34 30,20 30,49
UJ-5 36,98 a 31,83 b 28,40 c 29,59 32,91 31,80
Sumber: Balitkabi, 2010
Keterangan: Angka yang didampingi huruh yang sama tidak berbeda menurut BNT 0,05

Ubijalar umumnya ditanam pada guludan dengan ukuran yang bervariasi lebar dasar
80-100 cm, tinggi 15-30 cm, sehingga jarak antar puncak guludan berkisar 80-120 cm.
Jarak tanam di dalam baris (gulud) berkisar 20-30 cm, sehingga diperoleh populasi
tanaman 40.000-60.000 setiap hektarnya. Populasi tanaman sangat menentukan
ukuran dan produksi umbi. Varietas Sari yang mempunyai tajuk kompak dapat ditanam
dengan jarak tanam antar tanaman yang lebih rapat (20 cm), sehingga hasilnya
meningkat. Hasil penelitian di tanah Entisol Blitar dan Mojokerto menunjukkan bahwa
tinggi guludan 30 cm memberi hasil yang lebih baik dibanding tanpa guludan (Tabel 8).

9
Tabel 8. Produktivitas umbi ubijalar pada berbagai tinggi guludan di tanah Entisol
Blitar dan Mojokerto MK 2003.
Tinggi guludan (cm) Produktivitas (t/ha)
Blitar Mojokerto
Tanpa guludan 33,11 28,45
Tinggi 10 cm 28,82 32,70
Tinggi 20 cm 31,29 29,61
Tinggi 30 cm 33,97 43,86
Sumber: Balitkabi, 2003
Keterangan: Pada umur 4-5 minggu dilakukan pembubunan, sehingga semua
perlakuan mempunyai tinggi guludan 30 cm; * = berbeda nyata dibanding kontrol
tanpa gulud.

1.2.b. Pemupukan
Ubikayu merupakan tanaman yang adaptasi pada lingkungan tumbuh yang lebih baik
dibanding tanaman pangan lain (toleran kekeringan, toleran masam, toleran kadar Al-dd
yang lebih tinggi, mampu mengekstrak hara yang lebih efektif). Kemampuan adaptasi
tanaman ubi kayu yang baik menyebabkan tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan
biarpun diusahakan pada lahan sub-optimal maupun marjinal. Jumlah hara yang diambil
untuk setiap ton umbi yang dihasilkan adalah lebih kurang 6,5 kg N, 2,24 P205 dan
4,32 kg K20. Hara yang terangkut dari dalam tanah tersebut perlu diganti melalui
tindakan pemupukan organik dan anorganik (Howeler, 1994; Howeler, 2002). Oleh
karena itu dalam jangka panjang produktivitasnya pada lahan sub-optimal/marjinal juga
akan cepat menurun apabila dalam pengusahaannya apabila tanpa disertai dengan
pemupukan yang seimbang dengan hara yang diekstraksi.
Untuk memperoleh hasil ubikayu yang tinggi pemupukan sangat diperlukan,
mengingat tanaman ini banyak dibudidayakan pada lahan yang tanahnya
mempunyai kesuburan sedang sampai rendah seperti tanah Alfisol (Mediteran), Oxisol
(Latosol), dan Ultisol (Podsolik). Karena relatif banyak membutuhkan hara N dan K,
ubikayu tanggap terhadap pemupukan unsur hara tersebut. Pada lahan kering bertanah
Alfisol di Patuk (Gunung Kidul) pemberian pupuk ZA sebagai sumber hara N dan S pada
takaran yang meningkat dari 50 sampai 100 kg/ha selalu diikuti oleh peningkatan hasil
umbi secara signifikan (Tabel 9). Pada tanah Alfisol di Patuk (Gunung Kidul) dan
Bantur (Malang) yang mengandung K-dd (K-dapat ditukar) 0,2 me/100 g dan 0,5 me/100
g, tanaman ubi kayu tanggap terhadap pemupukan K hingga takaran 100 kg KCl/ha
(Tabel 10). Berdasarkan hasil penelitian pada lahan kering Alfisol di Malang, pupuk KCl
dianjurkan diaplikasi dua kali yaitu pada saat tanam dan umur 60 hari setelah tanam
(Tabel 11).
Pada lahan kering masam di luar Jawa yang tanahnya didominasi Ultisol
(Podsolik) yang banyak mengandung Al-dd dan miskin unsur hara serta bahan organik.
Dari segi keracunan Al, tanaman ubikayu tergolong tahan, karena kadar kritis
kejenuhan Al-dd bagi ubikayu adalah sekitar 80%, padahal tingkat kejenuhan Al-dd
tanah Ultisol di Indonesia umumnya jarang yang melampaui 75%. Walaupun demikian,

10
10
pemberian kapur

11
11
dengan takaran rendah yang ditujukan untuk memupuk Ca dan/atau Ca + Mg ternyata
dapat meningkatkan hasil ubi kayu, dan takaran kapurnya cukup 300 kg/ha (Tabel 12).
Pada tanah Alfisol Bantur (Malang) yang kandungan bahan organiknya rendah (kadar
C-organik 1,04%), pemberian pupuk kandang dengan takaran 3 dan 6 ton/ha dapat
meningkatkan hasil ubikayu (Tabel 13). Dalam praktik, penggunaan pupuk kandang
sekarang banyak dilakukan oleh petani ubikayu di Lampung, hal ini sebagian
terkait dengan semakin sulit dan mahal untuk mendapatkan dan membeli pupuk
anorganik. Sehubungan dengan ini maka usahatani integrasi ternak–tanaman akan
semakin strategis untuk membantu petani dalam menyediakan pupuk organik.

Tabel 9. Pengaruh pemberian pupuk ZA terhadap hasil lima klon/varietas ubikayu


pada lahan kering Alfisol Gunung Kidul.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Hasil umbi segar (ton/ha)
Pupuk ZA ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
(kg/ha) KTKN No. 13 No. 10 No. 12 Adira-1

0 23,7 22,56 24,78 24,11 18,89


50 27,33 18,11 29,22 27,33 23,53
100 36,56 33,89 32,89 32,22 26,55

Pupuk dasar: 100 kg SP36 + 100 kg KCl per hektar


Sumber: Slamet et al. (2003).

Tabel 10. Hasil ubikayu pada lahan kering Alfisol di Gunung Kidul dan Malang
pada berbagai takaran pupuk KCl.

Hasil umbi segar (ton/ha)


Takaran KCl –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
(kg/ha) Gunung Kidul *) Malang *)

0 18,89 33,00
50 21,56 36,33
100 24,45 44,56
150 23,12 44,33

Pada pemupukan dasar: 200 kg Urea + 100 kg SP36/ha.


*) Kandungan K-dd Alfisol Gunung Kidul 0,2 me/100 g dan Alfisol Malang 0,5 me/100g
Sumber: Ispandi et al. (2003).

12
12
Tabel 11. Hasil ubikayu pada tanah Alfisol di Patuk (Gunung Kidul) dan Bantur
(Malang) pada beberapa takaran dan frekuensi pemberian pupuk KCl.

Hasil umbi segar (ton/ha)


Takaran KCl –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
(kg/ha) 1 kali aplikasi**)2 kali aplikasi**)3 kali aplikasi **)

Patuk (Gunung Kidul *)


50 20,98 32,45 27,73
100 30,93 37,57 25,75
150 29,71 32,56 26,98
Bantur (Malang) *)
50 19,82 24,10 19,55
100 22,67 27,56 25,62
150 23,60 27,78 23,33

Pada pemupukan dasar: 100 kg Urea + 50 kg ZA + 100 kg SP36 per hektar


*) Kdd Alfisol Patuk 0,16 me/100 g dan Alfisol Bantur 0,29 me/100 g
**) 1 kali aplikasi pada saat tanam, 2 kali aplikasi pada saat tanam dan umur 60 hari, dan
3 kali aplikasi pada saat tanam, umur 60 hari, dan umur 120 hari setelah tanam.
Sumber: Ispandi dan Munip, 2004.

Tabel 12. Pengaruh pemberian kapur pada takaran rendah terhadap hasil ubikayu
pada lahan kering masam di Metro dan Tulangbawang (Lampung).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hasil umbi segar (ton/ha) *)
Takaran kapur ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
(kg/ha) Metro Tulangbawang

0 32,84 26,64
300 39,56 32,06
600 39,44 28,40

*) Dipanen umur 10 bulan.


Pupuk dasar: 200 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha.
Sumber: Munip dan Ispandi, 2004.

13
13
Tabel 13. Pengaruh pupuk kandang terhadap hasil dua varietas ubikayu pada tanah
Alfisol di Bantur (Malang). MT 2004/2005.

Takaran Hasil umbi segar (ton/ha)


pupuk kandang ––––––––––––––––––––––––––––
(ton/ha) UJ-5 Malang-6

0 15,00 15,06
3 18,80 19,47
6 22,00 22,20

Pupuk dasar: 150 kg Urea + 100 kg ZA + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha.


Sumber: Ispandi dan Munip, 2006.

Keragaman lingkungan tumbuh akan memberikan hasil yang beragam pula.


Demikian juga ketidakstabilan suatu genotipa di berbagai lingkungan biasanya
menunjukkan interaksi yang tinggi antara faktor genetik dengan lingkungan. Oleh karena
itu ketersediaan paket teknologi yang adaptif termasuk penggunaan varietas yang
berpotensi hasil tinggi, stabil dan sedikit berinteraksi dengan lingkungan merupakan
faktor utama yang perlu dipertimbangkan. Menurut Wargiono et al. (2009) komponen
teknologi yang tersusun harus saling bersinergi diantaranya penyiapan lahan, penyediaan
bibit, pemupukan, waktu tanam dan cara tanam.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh, telah disusun
rakitan teknologi budidaya ubikayu dan dilakukan pengujian di Malang Selatan,
Banyuwangi (Jawa Timur), Natar dan Sulusuban (Lampung). Hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa bahwa dengan pengelolaan tanaman yang baik, hasil ubikayu dapat
ditingkatkan hingga 50 -100 t/ha (Tabel 14).
Hasil yang sama juga dilaporkan dari hasil demplot sekolah lapang kelompok tani
“Jati Subur” Sukowilangun di Malang Selatan menunjukkan bahwa pada tanah
Inceptisol, varietas lokal Sembung dapat mencapai hasil 153 t/ha, sedangkan varietas
MLG-6, MLG-4 dan Adira-4 masing-masing dapat menghasilkan 83 t, 93 t, dan 74 t/ha
dengan pemupukan 1200 kg Bokasi, 500 kg Ponska dan 85 kg Urea, ditanam dengan
jarak 125 cm x 100 cm (Anonymous, 2006). Di daerah Rembang-Kepuh, kecamatan
Ngadiluwih kabupaten Kediri, kelompok Tani Subur Makmur juga melaporkan
bahwa pada tanah Entisol, dengan pengelolaan tanaman yang baik hasil ubikayu dapat
mencapai
100 t/ha lebih (Komunikasi probadi, 2011).

Ubijalar termasuk tanaman yang respon terhadap pemupukan, khususnya di tanah


yang kurang subur dan ditanami terus menerus. Pada lahan sawah tadah hujan
jenis tanah Entisol di Pasuruan dan Blitar, dengan pupuk organik campuran serbuk
arang (Forgcomp) sebanyak 5 t/ha memberi hasil umbi setara dengan pemupukan 100
kg Urea
+ 100 kg KCl/ha (Tabel 15 ).

14
14
Tabel 14. Komponen teknologi produksi ubikayu spesifik lokasi di Malang Selatan,
KP Genteng dan Lampung.

Lokasi
Komponen Malang Selatan Genteng Natar, Sulusuban
teknologi
Lampung Lampung
Persiapan lahan Dibajak 2 kali Dibajak 2 kali Dibajak 2 kali Dibajak 2 kali Dibajak 2 kali
Cara tanam Guludan Guludan Guludan Guludan Guludan
Jarak tanam 125 m x 100 cm 125 m x 100 100 cm x 80 cm 100 cm x 80 cm 100 cm x 80 cm
Klon (varietas) MLG-6 dan cm Adira-4, UJ-5, OMM 9908-4. OMM 9908-4.
Sembung MLG-6, Kaspro dan lokal Adira 4, Kaspro Adira 4, Kaspro
Adira 4, UJ-5, Dampit dan MLG-6 dan MLG-6
Cecek hijau
dan Sembung
Waktu tanam Oktober Oktober Nopember Nopember Nopember
Pemupukan :
Urea 600 kg 300 kg 300 kg 300 kg 300 kg
SP-36 200 kg - 100 kg 200 kg 200 kg
Ponska 200 kg 300 kg - - -
KCl - - 100 kg 200 kg 200 kg
Pupuk kandang 10 t 10 t 5t 5t 5t
Dolomit - - - 500 kg 500 kg
Penyiangan 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali
Pembumbunan 2 kali 2 kali 1 kali 1 kali 1 kali
Herbisida - - 4 liter 4 liter 4 liter

Hasil umbi (t/ha) 100-120 64-87 54-61 46-51 50-59


B/C ratio 4,8-4,9 2,7-4,0 2,5-3,0 1,3-1,6 2,0--2,4

Sumber: Radjit et al.(2008) ; Radjit et al. (2009) dan Radjit et al.. (2010)

Tabel 15. Hasil umbi ubijalar pada berbagai pemupukan di tanah Entisol
Pasuruan dan Blitar MK 2003
---------------------------------------------------------------------------------------------
Pemupukan Hasil umbi (t/ha)
Pasuruan Blitar
---------------------------------------------------------------------------------------------
Tanpa pupuk 33,26 32,28
Pupuk kandang 10 t/ha 33,67 32,47
100 kg Urea+ 100 kg KCl/ha 34,64* 34,85*
100 kg Ure + 100 kg KCl/ha
+ 5 ton pupuk kandang 34,21 34,42 *
200 kg Urea + 200 kg KCl/ha 34,22 34,85*
Forgcomp 5 t/ha 38,55* 36,21*
----------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Balitkabi, 2003
Keterangan: Forgcompt = pupuk organik dari kotoran ayam yang dicampur dengan
serbuk arang komposit; * = berbeda nyata dibanding kontrol

15
15
Pupuk organik biasanya diberikan bersamaan dengan pembuatan guludan. Umumnya
pemupukan diberikan dua kali, yaitu pada awal sejumlah 1/3 bagian, dan yang ke dua
pada umur 1,5-2 bulan sejumlah 2/3 bagian.
Hara yang terangkut oleh panen ubijalar dengan taraf hasil 15 t/ha umbi segar
sejumlah 70 kg N, 20 kg P dan 110 kg K. Oleh karena itu, bagi tanah yang ditanami
terus-menerus dan kurang subur dianjurkan untuk menggunakan dosis 200 kg Urea +
100 kg SP-36 + 150 kg KCl/ha ditambah mulsa jerami 10 t/ha serta pupuk kandang 10
t/ha. Untuk menghemat biaya pupuk kandang tidak perlu diberikan setiap tahun, tetapi
setiap dua tahun. Di tanah vulkanik muda Kediri yang relatif subur, ubijalar yang
ditanam setelah padi dan tanpa penambahan pupuk mampu menghasilkan 23 t/ha.
Pemupukan yang berlebihan justru sering menimbulkan pertumbuhan tajuk yang
maksimal, sehingga hasil umbi berkurang.

2. Perluasan areal tanam/panen.


Pada saat sekarang luas panen ubikayu dan ubijalar masing-masing berkisar antara
1,2 –1,5 juta hektar, dan 170-180 ribu hektar, sementara lahan kering berupa lahan
tegalan, lahan ladang maupun yang sementara belum dimanfaatkan di seluruh Indonesia
masih sangat luas. Wargiono (2001) menyebutkan bahwa di beberapa daerah sentra
produksi ubikayu-pun indeks pertanaman belum optimal dan masih terdapat lahan-lahan
tidur yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ubikayu.
Lahan Ultisol, Inceptisol dan Alfisol yang mendominasi sentra produksi ubikayu dan
belum diusahakan (merupakan lahan tidur berupa padang alang-alang) di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur masing-masing sekitar 3,1 juta
hektar,
6,2 juta hektar, 0,8 juta hektar dan 1,2 juta hektar sangat potensial sebagai daerah
pengembangan ubikayu, terutama pada daerah beriklim basah (Suyamto dan
Wargiono,
2009).
Selain secara khusus mengembangkan ubikayu dan ubijalar pada lahan yang baru,
peningkatan luas areal tanam/panen ubikayu dan ubijalar juga dapat dilakukan dengan
memanfaatkan lahan –lahan pada perkebunan/hutan industri yang tanaman
utamanya masih berumur 1-3 tahun. Di Lampung, ubikayu banyak diusahakan pada
perkebunan karet/kelapa sawit muda. Di Jawa Timur, ubikayu banyak ditanam di
bawah naungan hutan jati muda. Di lahan tadah hujan di Jawa Timur dan Jawa Tengah,
ubikayu banyak ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan lain seperti
padi gogo, jagung, kacang-kacangan atau sayuran. Berkembangnya wanatani dan
penggunaan lahan sawah tadah hujan untuk usahatani ubikayu di daerah industri
pengolahan ubikayu dapat dijadikan indikator bahwa penambahan areal tanam
berpeluang diimplementasikan.

16
16
Tabel 16. Sebaran dan luas jenis tanah Inceptisol, Alfisol dan Ultisol di Indonesia
Jenis dan luas (000 ha) Lahan Tidur Tipe iklim (%)
Propinsi Inceptisol Alfisol Ultisol 000 ha) Basah Kering
Sumatera Utara 2517 36 855 244 100 0
Sumatera Barat 1700 14 1472 321 100 0
Riau 1676 0 2230 273 100 0
Jambi 1209 0 973 349 100 0
Bengkulu 894 0 609 166 100 0
Sumatera Selatan 1635 0 1602 1022 100 0
Lampung 967 0 467 97 100 0
Total Sumatera 8638 50 6678 2383

Jawa Barat 1666 252 844 14 60 40


Jawa Tengah 1172 365 368 0 36 64
Yogyakarta 54 - 12 0 14 86
Jawa Timur 1339 436 26 0 19 81
Total Jawa 4231 1305 1250 14

Nusa TT 1963 296 56 785 6 94

Kalimantan Barat 3271 0 5744 1729 100 0


Kalimantan Tengah 1932 0 4829 1172 100 0
Kalimantan Timur 5821 0 9827 1787 100 0
Total Kalimantan 11024 20400 4689

Sulawesi Selatan 2361 583 1558 996 63 37


Sulawesi Tenggara 1479 197 722 282 62 38
Total Sulawesi 3840 780 2280 1278
Sumber: Adimihardja dan Mapaona (2005) dan BPS 2004 dalam Suyamto dan Wargiono, 2009

PENINGKATAN KUALITAS

Sebagai sumber karbohidrat ubikayu dan ubijalar dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pangan, pakan dan bahan baku industri melalui proses dehidrasi ( chip, pellet, tepung
tapioka ), hidrolisa (dekstrose, maltose, sukrose, sirup glukose) dan proses fermentasi
(alkohol, butanol, aseton, asam laktat, sorbitol dll).
Sebagai bahan pangan yang dikonsumsi langsung (digodok, digoreng) diperlukan
ubikayu yang rasanya enak (tidak pahit dengan kadar HCN< 50 ppm), mempur tidak
berserat. Sebaliknya untuk bahan baku industri tepung atau tapioka, selain
produktivitasnya yang tinggi, juga diperlukan kadar pati yang tinggi.
Untuk bahan baku ethanol, selain produksi dan kadar pati juga diperlukan varietas
yang mempunyai kadar gula total dan nilai konversi etanol yang tinggi.
Beberapa

17
17
varietas/klon ubikayu yang sesuai untuk bahan baku ethanol antara lain : Adira-4, UJ-
5, UJ-3, OMM 9908-4, CMM 99008-3 dan MLG 0311 (Tabel 17 ).

Tabel 17. Varietas ubikayu yang sesuai untuk bahan baku ethanol
Klon Kadar bahan Kadar gula total Kadar pati Konversi umbi segar kupas
a
ubikayu kering (%) (% bb) (% bk) menjadi etanol (kg/liter)
Adira-4 39,51 40,93 80,31 4,70
UJ-3 41,34 36,22 79,57 4,93
UJ-5 46,31 43,47 80,24 4,52

OMM 9908-4 43,41 42,38 80,48 4,25


CMM 99008-3 49,36 45,28 82,13 4,23
MLG 0311 45,49 41,29 80,93 4,29
a
Keterangan: : Etanol dengan kadar 96% (effisiensi distilasi dianggap
95%) (Sumber: Ginting, et al., 2006)

Pada ubijalar, peningkatan kualitas umbi diarahkan pada fungsi ubijalar sebagai
pangan kesehatan (functional food). Aspek fungsional tersebut berkaitan dengan
keberadaan beta karoten (pada umbi berdaging kuning/orange) dan antosianin (pada
umbi berdaging ungu), senyawa fenol, dan serat pangan serta nilai indeks
glisemiknya (Glycemic Index). Akhir-akhir ini dengan semakin meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap kesehatan, permintaan ubijalar berdaging umbi kuning(orange) dan
ungu meningkat.
Fungsi utama beta karoten ubijalar adalah sebagai pro vitamin A. Di samping memiliki
aktivitas vitamin A, beta karoten dilaporkan juga dapat memberi perlindungan/
pencegahan terhadap kanker, penuaan, penurunan kekebalan tubuh, penyakit jantung,
stroke, katarak, sengatan cahaya matahari dan gangguan otot (Mayne 1996). Hal ini
berkaitan dengan kemampuannya untuk menangkap radikal bebas, yang dipercaya
sebagai penyebab terjadinya tumor dan kanker. Varietas ubijalar yang mengandung
betakarotene adalah Sari, Papua Solossa, Sawentar , Beta-1 dan Beta -2 (Tabel 18).

Tabel 18. Varietas ubijalar berdaging kuning/orange dan kandungan


beta karoten nya
Varietas Warna daging umbi Kandungan beta karoten
(ug/100 g bahan)
Sari Kuning 380,92
Papua Solossa Kuning tua 533,80
Sawentar Kuning tua 347,84
Beta-1 Orange tua 12.032,00
Beta-2 Orange 4.629,00
Sumber: Balitkabi, 2011

Antosianin yang terdapat pada ubijalar ungu, memiliki kemampuan yang tinggi
sebagai antioksidan karena kemampuannya untuk menangkap radikal bebas dan
menghambat peroksidasi lemak, penyebab utama kerusakan pada sel yang berasosiasi
dengan terjadinya penuaan dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti
arteosklerosis,

18
18
jantung koroner, dan kanker (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2002; Suda et
al.
2003). Selain itu, antosianin memiliki kemampuan sebagai antimutagenik
dan
antikarsinogenik (Yamakawa dan Yoshimoto 2002). Antosianin juga dapat mencegah
gangguan pada fungsi hati, antihipertensi, dan antihiperglisemik (Suda et al., 2003).
Beberapa varietas/klon ubijalar yang berdaging ungu dan mengandung antosianin tinggi
adalah Antin-1, Antin-2, Ayamurasaki, RIS 03065-03, MSU 03028-10

Tabel 18. Varietas ubijalar berdaging ungu dan kandungan


antosianinnya
Varietas Warna daging umbi Kandungan Antosianin
(mg/100 g bahan)
Antin-1 Warna ungu sembur 33,89
Ayamurasaki Ungu tua 281,90
RIS 03065-03 Ungu tua 510,80
MSU 03028-10 Ungu tua 590,80
MSU 03007-82 Ungu 148,0
MSU 01022-12 Ungu muda 33,9
MSU 01015-02 Ungu muda 64,0

Kandungan senyawa fenol pada ubi jalar ungu lebih tinggi dibandingkan ubi jalar
kuning dan putih. Keberadaan senyawa fenol tersebut berasosiasi dengan tingginya
aktivitas antioksidan ubijalar ungu (Yashimoto et al., 1999).

KESIMPULAN
1. Sebagai sumber karbohidrat untuk pangan, pakan dan bahan baku industri, pada masa
mendatang kebutuhan ubi kayu dan ubijalar akan meningkat secara tajam sejalan
dengan meningkatnya jumlah penduduk, berkembangnya industri peternakan dan
industri berbahan baku ubikayu dan ubijalar.
2. Selama kurun waktu dasawarsa terakhir (tahun 2000-2009), produksi ubikayu dan
ubijalar meningkat dengan pertumbuhan 3,5 dan 0,75 %/tahun. Namun luas
tanam ubikayu dan ubijalar cenderung stagnan bahkan menurun. Peningkatan
produksi lebih disebabkan oleh meningkatnya produktivitas.
3. Hingga tahun 2009, rata-rata produktivitas ubikayu dan ubijalar masih rendah, yaitu
masing-masing 18,2 t/ha dan 11 t/ha. Peningkatanm produktivitas ubikayu dan
ubijalar dapat dilakukan dengan menanam varietas unggul, disertai teknologi budidaya
yang maju.
4. Peningkatan produksi ubikayu dan ubijalar dapat dilakukan dengan memperluas areal
tanam/panen. Ke lahan kering, lahan tidur dan meningkatkan indeks tanam.
5. Dalam merakit varietas unggul, perbaikan kualitas ubikayu untuk pangan
lansung diarahkan pada rasa enak, kadar HCN rendah dan tidak berserat. Untuk
ubikayu sebagai bahan baku industri selain produktivitas tinggi, juga diarahkan pada
kadar pati dan gula total.
6. Untuk ubijalar, perakitan varietas diarahkan pada peran ubijalar sebagai
19
19
functional food sehingga diarahkan pada kadar beta karoten dan antosianin yang
tinggi.

20
20
DAFTAR PUSTAKA
Balitkabi. 2003. Hasil Utama Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Tahun
2003. Balitkabi Malang.
Balitkabi. 2011. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balitkabi
Malang.179 hal.
Balitkabi.2010. Hasil Utama Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Tahun
2005-2009. Balitkabi Malang.66 hlm.
BPS (2005). Statistik Indonesia. 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta., Indonesia. 604 p.
BPS. 2009. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik- Jakarta. 640 hlm.
Cevallos-Casals, B.A. and L.A. Cisneros-Zevallos. 2002. Bioactive and functional
properties of purple sweetpotato (Ipomoea batatas (L.) Lam). Acta
Horticulture
583:195-203.
Ginting, E., S.S. Antarlina, J.S. Utomo, dan Ratnaningsih. 2006. Teknologi pasca panen
ubi jalar mendukung difersifikasi pangan dan pengembangan
agroindustri, Bulletin Palawija no.11:15-28.

Ginting, E., J.S. Utomo, R. Yulifianti, dan M. Yusuf. 2011. Potensi ubijalar ungu sebagai
pangan fungsional. IPTEK Tanaman Pangan 6(1):116-138.

Hafsah, M.J. 2003. Bisnis ubi kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 263 p.
Howeler, R.H. 1994. Integrated soil and crop management to prevent
environment
degradation in cassava based cropping systems in Asia. Proc. Of workshop on
Upland Agriculture in Asia, April 6-8, Bogor, Indonesia, : 195-224
Howeler, R.H. 2002. Cassava mineral nutrition and fertilization. In. R.J. Hillocks, J.M.
Thresh and A.C.Belloti (ed). Cassava Biology. Production and Utilization. Pp:
115 – 147. Cabi Publishing, CAB International, Wallingford. Oxon.
Mayne, S.T. 1996. Beta-carotene, carotenoids and disease prevention in humans.
FASEB J. 10:690-701.
Ispandi, A, L.J. Santoso, dan Mayar. 2003. Pemupukan dan dinamika kalium dalam tanah
dan tanaman ubi kayu di lahan kering Alfisol, p.190–201. Dalam: Koes
Hartojo et al. (ed.). Pemberdayaan ubi kayu mendukung ketahanan pangan
nasional dan pengembangan agribisnis kerakyatan. Balai Penelitian Tanaman
Kacang- kacangan dan Umbi-umbian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Ispandi, A dan A. Munip. 2004. Efektivitas pemupukan N, K, dan frekuensi pemberian
pupuk K pada tanaman ubi kayu di lahan kering Alfisol, p. 368–383. Dalam: A.
K. Makarim et al. (ed.). Kinerja penelitian mendukung agribisnis kacang-
kacangan dan umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor.

21
21
Ispandi, A dan A. Munip. 2006. Pengaruh pupuk organik dan pupuk K terhadap
peningkatan serapan hara dan produksi umbi beberapa klon ubi kayu di lahan
kering Alfisol. Makalah bahan seminar hasil penelitian tanaman pangan di
Balitkabi, Malang (belum dipublikasi).

Karama, S. 2003. Potensi, tantangan dan kendala ubi kayu dalam mendukung ketahanan
pangan, p.1–14. Dalam: Koes Hartojo et al. (ed.). Pemberdayaan ubi kayu
mendukung ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis
kerakyatan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Munip, A dan A. Ispandi. 2004. Pengaruh pengapuran terhadap serapan hara, hasil umbi
dan kadar pati beberapa klon ubi kayu di lahan kering tanah masam. Laporan
Teknis. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (belum
dipublikasi).

Presiden Republik Indonesia. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 5., tentang
Kebijakan Enerji Nasional

Radjit,B.S., Y. Widodo, A. Munip, N. Prasetiaswati dan N. Saleh. 2008. Teknologi


Produksi Ubikayu di Lahan Kering yang produktif dan Efisien. Lap. Akhir
Tahun 2008. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Puslitbantan: 19 hal.

Radjit,B.S., N. Saleh, Y. Widodo, A. Munip, N. Prasetiaswati dan. 2009. Teknologi


Produksi Ubikayu monokultur dan tumpangsari di Lahan Kering yang produktif
dan Efisien. Lap. Akhir Tahun

Radjit,B.S., N. Prasetiaswati, A. Munip dan N. Saleh. 2010. Teknologi Produksi


Ubikayu Umur genjah yang efisien di Lahan kering dan pasang surut dengan
potensi hasil 40 – 60 t/ha. Lap. Teknis Akhir Tahun 2010. Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 38 hal.

Saleh, N., K. Hartojo and Suyamto. 2000. Present situation and future potential of
cassava in Indonesia. Cassava Potential in Asia in 21 st Century. Proc. 6th
Regional Cassava Workshop. Ho Chi Minh city, Vietnam. p : 47-60.

Saleh, N. , B. Santoso, Y. Widodo, A. Munip, E.Ginting dan N. Prasyaswati. 2006.


Alternatif teknologi produksi ubikayu mendukung agroindustri. Laporan akhir
tahun 2006.

Slamet, P; L.J. Santoso, dan A. Ispandi. 2003. Pengaruh dosis pemupukan ZA terhadap
hasil umbi lima klon/varietas ubi kayu di lahan kering tanah Alfisol
Gunung Kidul Yogyakarta. p. 202–213. Dalam: Koes Hartojo et al. (ed.).
Pemberdayaan

20
20
ubi kayu mendukung ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis
kerakyatan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Suda, I., Oki, T., Masuda, M., Kobayashi, M., Nishiba, Y. and Furuta, S. 2003.
Review: Physiological functionality of purple-fleshed sweetpotatoes containing
anthocyanins and their utilization in foods. JARQ. 37(3):167-173.
http://www.ji rc as.a ffrc.go.jp . Accessed 1 march 2006.

Suyamto dan Wargiono. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubikayu.Hal. 3-25


Dalam (Wargiono, Hermanto dan Sunihardi) Ubikayu. Inovasi Teknologi dan
Kebijakan Pengembangan. Puslitbangtan. Badan Litbang
Pertanian.

Wargiono, J., B. Santoso dan Kartika, 2009. Dinamika Budidaya Ubikayu. Hal 138 – 167.
Dalam (Wargiono, Hermanto dan Sunihardi) Ubikayu. Inovasi Teknologi
dan
Kebijakan Pengembangan. Puslitbangtan. Badan Litbang
Pertanian.

Yamakawa, O and M. Yashimoto. 2002. Sweetpotato as food material with


physiological functions. Acta Horticulture 583:179-185.
Yashimoto, M., S. Okuna, M. Yoshinaga, O. Yamakawa, M. Yamaguchi and J. Yamada.
1999. Antimutagenicity of sweet potato (Ipomoae batatas) root. Biosci.
Biotech.. Biochem. 63:541-543.

21
21

Anda mungkin juga menyukai