NAMA KELOMPOK :
1. MEGI RUSTATI
2. MEZI GRASELIA
3. M.DWI HANDAR BENI
4. YUNIA SEPTI
5. NIMI OKTA PUTRI
6. RAHMAD HIDAYAT
7. RATIA INDA SUCI ANTUTI
8. RIRIN ZUHRIYATI
9. RIZKI NOVITA SARI
10. ROSA APRIA LEZA MUKTI
11. SAKRIAWAN SAHRONI
PRODI D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS BENGKULU
T/A 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan Klien Tn S Dengan Masalah Utama
Isolasi sosial; menarik diri”.
Dalam penyelesaian masalah ini kami mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
maka kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Ns. Mayulis S.kep,MPH selaku pembimbing akademik
2. Bapak Danirul Sanadi SKM pembimbing lahan
3. Bapak Syawal Alam SKM pembibing lahan
4. Ibu reni kepala ruangan murai C
5. Seluruh staf Ruang murai C RJK soeprapto bengkulu .
6. Rekan-rekan Mahasiswa kelompok 7 Universitas bengkulu
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, meskipun
demikian kami merasa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran sehingga dapat lebih menyempurnakannya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menarik diri (withdrawal) adalah suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian
maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri). Pada
mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam
berhubungan dengan orang lain.
Pada klien dengan menarik diri diperlukan rangsangan/stimulus yang adekuat
untuk memulihkan keadaan yang stabil.Stimulus yang positif dan terus menerus dapat
dilakukan oleh perawat.Apabila stimulus tidak dilakukan / diberikan kepada klien tetap
menarik diri yang akhirnya dapat mengalami halusinasi, kebersihan diri kurang dan
kegiatan hidup sehari-hari kurang adekuat.
Menyadari pentingnya stimulus yang adekuat tersebut serta melihat kenyataan
bahwa selama beberapa hari kami amati banyak kasus dengan menarik diri di ruang
murai c , maka kami terdorong untuk menerapkan asuhan keperawatan klien Tn. S
dengan masalah utama isolasi sosial: menarik diri pada kasus Shizoprenia hebifrenik
berkelanjutan dengan tujuan :
a. Mempelajari kasus menarik diri disesuaikan dengan teori dan konsep yang telah
diterima
b. Memberikan asuhan keperawatan pada klien menarik diri dengan pendekatan
proses keperawatan
c. Mendesiminasikan asuhan keperawatan klien menarik diri.
Asuhan keperawatan ini kami buat selama kami praktek dari tanggal 16 oktober
sampai dengan tanggal 21 oktober 2017 di Ruang murai C RSKJ soeprapto bengkulu
B. Rumusan Masalah
Seberapa besar masalah asuhan keperawatan klien Tn S dengan masalah utama
isolasi social; menarik diri di Rumah Sakit khusus jiwa Dr. soprapto bengkulu
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien Tn S dengan masalah utama isolasi sosial;
menarik diri di Rumah Sakit khusus jiwa Dr. soprapto bengkulu
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pengkajian keperawatan pada klien Tn S
b. Analisa Data keperawatan pada klien Tn S
c. Daftar Masalah Keperawatankeperawatan pada klien Tn S
d. Pohon Masalah (Problem Tree)
e. Prioritas Diagnosa Keperawatan pada klien Tn S
f. Rencana Tindakan Keperawatan pada klien Tn S
D. Ruang Lingkup
Asuhan keperawatan ini dilakukan terhadap Tn.S dengan masalah utama
Gangguan konsep diri “Isolasi Sosial Menarik Diri” di ruang murai C Rumah sakit
khusus Jiwa Daerah Provinsi bengkulu , dikaji mulai tanggal 16 oktober 2017 sampai
dengan tanggal 21 Oktober 2017.
E. Manfaat
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP TEORI
1. PENGERTIAN
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Klien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain. Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain
(Keliat, 1999). Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi
akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial(Depkes RI, 2000).
Isolasisosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang lain karena
merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa,
pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan
dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan
tidak sanggup berbagi pengalaman.
Menarik diri adalah rekasi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis. Reaksi fisik yaitu individu pergi atau menghindari sumber stresor. Misalnya
menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat sering disertai rasa
takut dan bermusuhan.
Menarik diri adalah usaha menghindari interaksi dengan orang lain individu dengan
orang lain. Individu merasa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalannya. Orang lain yang di manifestasikan dengan
sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan sanggup berbagi pengalaman dengan orang
lain (Depkes, 2006).
Kerusakan interaksi sosial merupakan kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan negative atau
mengancam, kalainan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang individu
beradaptasi dalam suatu kuantitas yang tidak cukup/ berlebihan kualitas interaksi sosial yang
tidak efektif (Townsend, 1998).
Gejala Objektif :
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara
2. Tidak mengikuti kegiatan
3. Banyak berdiam diri dikamar
4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi degan orang yang terdekat
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
6. Kontak mata kurang
7. Kurang spontan
8. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
9. Ekspresi wajah kurang berseri
10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
11. Mengisolasi diri
12. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
13. Masukan makanan dan minuman terganggu
14. Retensi urin dan feses
15. Aktivitas menurun
16. Kurang energi (tenaga)
17. Rendah diri
18. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetur/janin (khususnya pada posisi tidur)
A. FAKTOR PREDISPOSISI
Adapun faktor prespitasi adalah dibagi atas 2, yaitu :
1. Faktor Presipitasi
Adapun faktor pencetus terdiri dari 4 simber utama yang dapat menentukan
alam perasaan adalah :
a. Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang dibayangkan, termasuk
kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik, kedudukan atau harga diri, karena
elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan, maka konsep
persepsi lain merupakan hal yang sangat penting.
b. Peristiwa besar dalam kehidupan, sering dilaporkan sebagai pendahulu
episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang
dihadapi sekarang dan kemampuan menyeleasikan masalah.
c. Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi depresi terutama
pada wanita.
d. Perubahan fisiologis di akibatkan oleh obat-obatan berbagai penyakit fisik
seperti infeksi, meoplasma dan gangguan keseimbangan metabolik dapat
mencetus gangguan alam perasaan (Stuart, 1998).
2. Faktor predisposisi
Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku isolasi
sosial.
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa bayi
sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang sehingga mempunyai
masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga yang terganggu juga
dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri. Organisasi anggota keluarga
bekerja sama dengan tenaga profesional untuk mengembangkan gambaran
yang lebih tepat tentang hubungan antarakelainan jiwa dan stres keluarga.
Pendekatan kolaboratrif dapat mengurangi masalah respon sosial.
b. Faktor Biologis
Faktor genetik dapat menunjang terhaddap responsi sosial maladaktif.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Kelainan
struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan
volume otak serta perubahan limbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap
orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif,
seperti lansia, orang cacat dan berpenyakit kronik. Isolasi dapat terjadi
karenamengadopsi norma, perilaku dan sistem nilai yang berbeda dari yang
dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan
merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini (Stuart dan
Sundeen, 1998).
3. Faktor lain
a. Faktor genetik dianggap mempunyai transmin gangguan efektif melalui
riwayat keluarga atau keturunan.
b. Teori agresi menyerang kedalam menunjukan bahwa depresi terjadi karena
perasaan marah yang ditunjukan pada diri sendiri.
c. Teori kehilangan objek merasakan kepada perpisahan traumatik individu
dengan benda atau yang sampai sangat berarti.
d. Teori organisasi kepribadian mengenai bagian konsep yang negatif dan harga
diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan penilaian seseorang terhadap
dirinya.
e. Metode kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang
didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri dunia seseorang di
masa depan seseorang.
f. Metode ketidakberdayaan yang dipelajari menunjukan bahwa semata-mata
trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mampu
mengendalikan terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya. Oleh karena
itu dia menolak respon dan adaktif.
g. Model perilaku berkembang dari kerangka teori belajar sosial yang
mengasumsikan keinginan penyebab depresi terlacak pada kerangka keinginan
positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
h. Metode biologi meguraikan perubahan kimia dalam tubuh terjadi selama masa
depresi, termasuk depresi katakoloni, disfungsi endoktrim dan variasi periodik
serta irama biologis.
B. KOMPLIKASI
Klien dengan isolasisosial semakin tenggelam dalam perjalanan dua tingkah laku
masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang autistic dan tingkah laku yang tidak sesuai
dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadiresiko gangguan sensori persepsi :
halusinasi, mencederai diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktivitas
sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Dalami, 2009).
C. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Kecemasan koping yang sering
digunakan adalah regrasi, represi, dan isolusi. Sedangkan contoh sumber koping yang dapat
digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan teman,
hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan keriatifitas untuk mengekspresikan stress
interpersonal seperti kesenian musik atau tulisan (Stuart and sundeen, 1999)
D. PENATALAKSANAAN
1. Therapy Farmakologi
2. Electri Convulsive Therapi
Electri Convulsive Therapi (ECT) atau yang lebih dikenal dengan
elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik
dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan
jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama
kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada
tahun 1930. Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapatkan terapi ECT setiap
tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu.
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi
efek terapi (Therapeutic Clonic Sezure) setidaknya 15 detik. Kejang yang dimaksud
adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami
rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat
dijelaskan dengan memuaskan.namun beberapa penelitian menunjukan kalau ECT
dapat meningkatkan kadar serum Brain-Deriver neurotrophic Factor (BDNF) pada
pasien derpresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis
3. Therapy Kelompok
Therapy Kelompok merupakan suatu psikotherapy yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang
dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa. Therapy
ini bertujuan memberi stimulus bagi klien dengan gangguan interpersonal.
4. Therapy Lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan
harus mendapatkan perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan
memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulus psikologi
seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan
memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang.
B. KONSEP DASAR ASKEP
1. Pengkajian
Tiap individu mempunyai potensi untuk berlibat berhubungan sosial sebagai
tingkat hubungan yaitu hubungan intim dan hubungan saling ketergantungan dalam
menghadapi dan mengatasi berbagai kebutuhan setiap hari. Pada pengkajian klien-
klien sulit diajak bicara, pendiam, suka melamun dan menyendiri di sudut-sudut.
Pemutusan proses hubungan terkait erat dengan ketidakpuasan individu
terhadap pasien hubungan yang disebabkan oleh kurangnya peran peserta respon
lingkungan yang negatif, kondisi ini dapat mengembangkan rasa tidak percaya pada
orang lain. Untuk mengkaji pasien isolasi sosial, kita dapat menggunakan wawancara
dan observasi kepada pasien dan keluarga.
a. Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara, adalah :
pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
c. Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
d. Pasien merasa bodoh dan lambat menghabiskan waktu.
e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
f. Pasien merasa tidak berguna.
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian atau kesimpulan yang diambil dari
pengkajian (Carpernito, 2000). Diagnosa keperawatan adalah masalah kesehatan aktual
atau potensi dan berdasarkan pendidikan dan pengalamannya perawat mampu
mengatasinya. Masalah keperawatan yang dapat disimpulkan dari hasil pengkajian adalah
:
a. Isolasi sosial menarik diri
b. Harga diri rendah
c. Koping keluarga inefektif
d. Gangguan komunikasi verbal
e. Intoleransiaktifitas
f. Defisit perawatan diri
g. Koping individu inefektif
h. Regiment therapeutik inefektif
i. Resiko tinggi perilaku kekerasan
j. Perubahan persepsi
Fase Kerja :
(Jika pasien baru)
“Siapa yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan Susi? Siapa
yang jarang bercakap-cakap denga Susi? Apa yang membuat Susi jarang
bercakap-cakap dengannya?”
(Jika pasien sudah lama dirawat)
“Apa yang Susi rasakan selama Susi dirawat disini? O… Susi merasa
sendirian? Siapa saja yang Susi kenal di ruangan ini”
“Apa saja kegiatan yang biasa Susi lakukan dengan teman yang Susi kenal?”
“Apa yang menghambat Susi dalam berteman atau bercakap-cakap dengan
pasien yang lain?”
“Menurut Susi apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman? Wah
benar, ada teman bercakap-cakap. Apa lagi? (sampai pasien dapat
menyebutkan beberapa)
“Nah kalau kerugiannya tidak mempunyai teman apa ya Susi? Ya, apa lagi?
(sampai pasien dapat menyebutkan beberapa)
“Jadi banyak juga ruginya tidak punya teman ya.Kalau begitu inginkah Susi
belajar bergaul dengan orang lain?
“Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain”
“Begini lho Susi, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama
kita dan nama panggilan yang kita suka, asal kita dan hobi. Contoh: Nama
saya Susi, senang dipanggil Susi. Asal saya dari Bireun, hobi memasak”
“Selanjutnya Susi menanyakan nama orang yang diajak berkenalan.
Contohnya begini : Nama bapak siapa? Senang dipanggil apa? Asal dari mana/
hobinya apa?”
“Ayo Susi dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan Susi. Coba berkenalan
dengan saya!”
“Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”
“Setelah Susi berkenalan dengan orang tersebut, Susi bisa melanjutkan
percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan Susi bicarakan. Misalnya
tentang cuaca, tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainya.
Fase Terminasi :
“Bagaimana perasaan Susi setelah kita latihan berkenalan?”
“Susi tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali”
“Selanjutnya Susi dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama
saya tidak ada. Sehingga Susi lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain.
Susi mau praktekkan ke pasien lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita
masukkan pada jadwal hariannya. “Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini
untuk mengajak Susi berkenalan dengan teman saya, perawat Nita.
Bagaimana, Susi mau kan?”
“Baiklah, sampai jumpa”
“Assalamu’alaikum”
Fase Kerja:
(Bersama-sama Saudara mendekati perawat Nita)
“Selamat pagi perawat Nita, ini ingin berkenalan dengan Nita”
“Baiklah Susi, Susi bisa berkenalan dengan perawat Nita seperti yang kita
praktekkan kemarin”
(Pasien mendemonstrasikan cara berkenalan dengan perawat Nita: memberi
salam, menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan seterusnya)
“Ada lagi yang Susi ingin tanyakan kepada perawat Nita, coba tanyakan
tentang keluarga perawat Nita”
“Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, Susi bisa sudahi percakapan ini.
Lalu Susi bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat Nita, misalnyajam 1
siang nanti”
“Baiklah perawat Nita, karena Susi sudah selesai berkenalan, saya dan Susi
akan kembali ke ruangan Susi. Selamat pagi”
(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat Nita untuk melakukan
terminasi dengan Susi di tempat lain)
Fase Terminasi:
“Bagaimana perasaan Susi setelah berkenalan dengan perawat Nita”
“Susi tampak bagus sekali saat berkenalan tadi”
“Pertahankan terus apa yang sudah Susi lakukan tadi. Jangan lupa untuk
menanyakan topik lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya
menanyakan keluarga, hobi, dan sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan
perawat lain. Mari kita coba masukkan pada jadwalnya. Mau berapa kali
sehari? Bagaimana kalau 2 kali. Baik nanti Susi coba sendiri. Besok kita
latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10? Sampai besok.”
3) SP 3 : melatih pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang
kedua – seorang pasien)
Fase Orientasi :
“Assalamu’alaikum Susi! Bagaimana perasaan hari ini?
“Apakah Susi bercakap-cakap dengan perawat Nita kemarin siang”
(jika jawaban pasien : ya, saudara bisa lanjutkan komunikasi berikutnya
dengan orang lain)
“Bagaimana perasaan Susi setelah bercakap-cakap dengan perawat Nita
kemarin siang”
“Bagus sekali Susi menjadi senang karena punya teman lagi”
“Kalau begitu Susi ingin punya banyak teman lagi?”
“Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu
pasien Opik”
“Seperti biasa kira-kira 10 menit”
“Mari kita temui dia di ruang makan”
Fase Kerja :
(Bersama-sama Susi saudara mendekati pasien)
“Selamat pagi, ini ada ini ada pasien saya yang ingin berkenalan”
“Baiklah Susi, Susi sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang Susi
lakukan sebelumnya”
(pasien mendemonstrasikan cara berkenalan : memberi salam, menyebutkan
nama, nama panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang sama)
“Ada lagi yang Susi ingin tanyakan kepada Opik”
“Kalau tidak ada lagi yang ingi dibicarakan, Susi bisa sudahi pembicaraan ini.
Lalu Susi bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti”
(Susi membuat janji untuk bertemu kembali dengan Opik)
“Baiklah Opik, karena Susi sudah selesai berkenalan, saya dan Susi akan
kembali ke ruangan Susi. Selamat Pagi”
(Bersama-sama pasien saudara meniggalkan pasien Opik untuk melakukan
terminasi dengan Susi di tempat lain)
Fase Terminasi:
“Bagaimana perasaan Susi setelah berkenalan dengan Opik”
“dibandingkan kemarin pagi, Susi tampak lebih baik saat berkenalan dengan
Opik”
“Pertahankan apa yang Susi lakukan tadi. jangan lupa untuk bertemu kembali
dengan Opik jam 4 sore nanti”
“Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan
orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari Susi dapat
berbincang-bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1
siang, dan jam 8 malam, Susi bisa bertemu dengan Opik, dan tambah dengan
pasien yang baru dikenal. Selanjutnya Susi bisa berkenalan dengan orang lain
lagi secara bertahap. Bagaimana Susi, setuju kan?”
“Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman Susi. Pada
jam yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok. Assalamu’alaikum”
Fase Kerja:
“Apa masalah yang Bpk/Ibu hadapi dalam merawat Susi? Apa yang sudah
dilakukan”
“Masalah yang dialami oleh anak Susi disebut isolasi sosial. Ini adalah
salah satu gejala penyakit yang juga dialami oleh pasien-pasien gangguan
jiwa yang lain”
“Tanda-tandanya antara lain tidak mau bergaul dengan orang lain,
mengurung diri, kalaupun berbicara hanya sebentar dengan wajah
menunduk”
“Biasanya masalah ini muncul karena memiliki pengalaman
mengecewakan saat berhubungan dengan orang lain, seperti sering
ditolak, tidak dihargai atau berpisah dengan orang-orang terdekat”
“Apabila masalah isolasi sosial ini tidak diatasi maka seseorang bias
mengalami halusinasi, yaitu mendengar suara atau melihat bayangan yang
sebetulnya tidak ada”
“Untuk menghadapi keadaan yang demikian Bapak dan anggota keluarga
lainnya harus sabar menghadapi Susi. Dan untuk merawat Susi, keluarga
perlu melakukan beberapa hal. Pertama keluarga harus membina
hubungan saling percaya dengan Susi yang caranya bersikap peduli
dengan Susi dan jangan ingkar janji. Kedua, keluarga perlu memberikan
semangat dan dorongan kepada Susi untuk bisa melakukan kegiatan
bersama-sama dengan orang lain. Berilah pujian yang wajar dan jangan
mencela kondisi Susi”
“Selanjutnya jangan biarkan Susi sendiri. Buat rencana atau jadwal
bercakap-cakap dengan Susi. Misalnya sholat bersama, makan bersama,
rekreasi bersama, melakukan kegiatan tumah tangga bersama”
“Nah bagaimana kalau sekarang kita latihan untuk melakukan semua cara
itu”
“Begini contoh komunikasinya, Pak: Susi, bapak lihat sekarang kamu
sudah bisa bercakap-cakap dengan orang lain. Perbincangannya juga
lumayan lama. Bapak senang sekali melihat perkembangan kamu. Nak,
coba kamu bincang-bincang dengan saudara yang lain. Lalu bagaimana
kalau mulai sekarang kamu sholat berjamaah. Kalau dirumah sakit ini,
kamu sholat dimana? Kalau nanti dirumah kamu sholat bersama-sama
keluarga atau di mushola. Bagaimana Susi, kamu mau coba kan nak?”
“Nah coba sekarang Bapak peragakan cara komunikasi seperti yang saya
contohkan”
“Bagus Pak, Bapak telah memperagakan dengan baik sekali”. Sampai
disini ada yang ditanyakan Pak?
Fase Terminasi:
“Baiklah waktunya sudah habis. Bagaimana perasaan bapak setelah kita
latihan tadi?”
“Coba bapak ulangi lagi apa yang dimaksud dengan isolasi sosial dan
tanda-tanda orang yang mengalami isolasi sosial”
“Selanjutnya bisa bapak sebutkan kembali cara-cara merawat anak bapak
yang mengalami masalah isolasi sosial”
“Bagus sekali lagi pak, bapak bisa menyebutkan kembali cara-cara
perawatan tersebut”
“Nanti kalau ketemu Susi coba Bpk/Ibu lakukan. Dan tolong ceritakan
kepada semua keluarga agar mereka juga melakukan hal yang sama”
“Bagaimana kalau kita ketemu tiga hari lagi untuk latihan langsung
kepada Susi?”
“Kita ketemu disini saja ya pak, di jam yang sama”
“Assalamu’alaikum”
Fase Kerja:
“Assalamu’alaikum Susi. Bagaimana perasaan Susi hari ini?”
“Bpk/Ibu Susi dating besuk, beri salam! Bagus. Tolong Susi tunjukan
jadwal kegiatannya!”
(kemudian saudara berbicara kepada keluarga sebagai berikut)
“Nah Pak, sekarang bapak bisa mempraktekkan apa yang sudah kita
latihan beberapa hari yang lalu”
(Saudara mengobservasi keluarga mempraktekkan cara merawat pasien
seperti yang telah dilatihkan pada pertemuan sebelumnya)
“Bagaimana perasaan Susi setelah berbincang-bincang dengan orang tua
Susi?”
“Baiklah, sekarang saya dan orang tua ke ruang perawat dulu”
(Saudar dan keluarga meninggalkan pasien untuk melakukan terminasi
kepada keluarga)
Fase Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bpk/Ibu setelah kita latihan tadi? Bapak/Ibu sudah
bagus”
“Mulai sekarang bapak/Ibu sudah bisa melakukan cara merawat tadi
kepada Susi”
“Tiga hari lagi kita akan bertemu untuk mendiskusikan pengalaman
Bapak melakukan cara merawat yang sudah kita pelajari.
“Waktu dan tempatnya sama seperti sekarang Pak”
“Terima kasih”
“Assalamu’alaikum”
Fase Kerja:
“Bpk/Ibu, ini jadwal Susi selama di rumah sakit. Coba dilihat,
mungkinkah dilanjutkan di rumah? Di rumah Bpk/Ibu yang menggantikan
perawatan. Lanjutkan jadwat ini di rumah, baik jadwal kegiatan maupun
jadwal minum obatnya”
“Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang
ditampilkan oleh anak Bapak selama di rumah. Misalnya kalau Susi terus
menerus tidak mau bergaul dengan orang lain, menolak minum obat atau
memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi
segera hubungi perawat Kiki di puskesmas Indra Puri, Puskesmas terdekat
dari rumah Bapak, ini nomor telepon puskesmasnya: (0651)554xxx
“Selanjutnya perawat Kiki tersebut yang akan memantau perkembangan
Susi selama di rumah”
Fase Terminasi:
“Bagaimana Pak/Bu? Ada yang belum jelas? Ini jadwal kegiatan harian
Susi untuk dibawa pulang. Ini surat rujukan untuk perawat Kiki di PKM
Indara Puri. Jangan control ke PKM sebelum obat habis atau ada gejala
yang tampak. Silahkan selesaikan administrasinya!”
4. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan meliputi :
a. Pasien dapat menggunakan koping yang efektif dalam menyelesaikan masalah.
b. Harga diri pasien meningkat.
c. Pasien dapat melakukan interpersonl dengan orang lain.
d. Pasien dapat melakukan kegiatan mandiri.
e. Persiapan berinisiatif untuk berkomunikasi/ melakukan komunikasi secara verbal.
BAB III