Intoksikasi Organofosfat
Intoksikasi Organofosfat
Intoksikasi Organofosfat
Pembimbing:
dr. Zaenuri Syamsu, Sp.KF
Disusun oleh :
REFERAT
Intoksikasi Organofosfat
Disusun oleh :
Novia Mantari (G1A212102)
Dera Fakhrunnisa (G1A212103)
Sylviana Kuswandi (G1A212104)
Maharani Raesa (G1A212105)
Pembimbing,
A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan di bidang pertanian, berbagai upaya
diterapkan untuk meningkatkan hasil pertanian yang optimal. Dalam paket
intensifikasi pertanian diterapkan berbagai teknologi, antara lain penggunan
agrokimia (bahan kimia sintetik). Penggunaan agrokimia, diperkenalkan
secara besar-besaran menggantikan kebiasan atau teknologi lama, baik dalam
hal pengendalian hama maupun pemupukan tanaman.
Agrokimia yang digunakan yaitu pestisida. Pestisida mencakup
bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang
mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia
untuk kesejahteraan hidupnnya.
Penggunaan bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida
dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida
terakumulasi pada produk-produk pertanian dan perairan.
Penyemprotan pestisida yang tidak memenuhi aturan akan
mengakibatkan banyak dampak, diantaranya dampak kesehatan bagi manusia
yaitu timbulnya keracunan pada petani yang dapat dilakukan dengan jalan
memeriksa aktifitas kholinesterase darah. Faktor yang berpengaruh dengan
terjadinya keracunan pestisida adalah faktor dari dalam tubuh (internal) dan
dari luar tubuh (eksternal).
Faktor dari dalam tubuh antara lain umur, jenis kelamin, genetik,
status gizi, kadar hemoglobin, tingkat pengetahuan dan status kesehatan.
Sedangkan faktor dari luar tubuh mempunyai peranan yang besar. Faktor
tersebut antara lain banyaknya jenis pestisida yang digunakan, jenis pestisida,
dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, masa kerja menjadi penyemprot,
lama menyemprot, pemakaian alat pelindung diri, cara penanganan pestisida,
kontak terakhir dengan pestisida, ketinggian tanaman, suhu lingkungan,
waktu menyemprot dan tindakan terhadap arah angin.
Pestisida golongan sintetik yang banyak digunakan petani di
Indonesia adalah golongan organofosfat. Dampak penggunaan pestisida
sering ditemui keluhan antara lain muntah-muntah, ludah terasa lebih banyak,
mencret, gejala ini dianggap oleh petani sebagai sakit biasa. Beberapa efek
kronis akibat dari keracunan pestisida adalah berat badan menurun, anorexia,
anemia, tremor, sakit kepala, pusing, gelisah, gangguan psikologis, sakit dada
dan lekas marah. Pestisida organofosfat yang masuk ke dalam tubuh manusia
mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat kerja enzim
kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam menghantarkan impuls
sepanjang serabut syaraf.
Golongan organofosfat mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan
menghambat kerja enzim kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam
mengantarkan impuls sepanjang serabut syaraf. Pengukuran tingkat
keracunan berdasarkan aktifitas enzim kholinesterase dalam darah dengan
menggunakan metode Tintometer Kit, tingkat keracunan adalah sebagai
berikut : 75% - 100 % kategori normal, 50% - 75% kategori keracunan
ringan, 25% - 50 kategori keracunan sedang dan 0% - 25% kategori
keracunan berat.
Menurut laporan kegiatan pemeriksaan aktifitas kholinesterase darah
petani Propinsi Jawa Tengah Tahun 2005 dari 240 orang yang diperiksa
menunjukkan bahwa keracunan pestisida 67,5% dengan rincian keracunan
berat 2,5%, keracunan sedang 8,75%, keracunan ringan 55,26% dan normal
32,5%, jenis pestisida yang digunakan sebagian besar golongan
organophospat. Berdasarkan keadaan tersebut diatas, diperlukan upaya untuk
mencegah dan mengendalikan faktor-faktor risiko terjadinya keracuan pada
petani.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat.
Organofosfat adalah kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat
toksik dalam menghambat cholinesterase yang mengakibatkan akumulasi
asetilkolin pada reseptor muskarinik, nikotinik, SSP sehingga dapat
menyebabkan kematian
Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara
lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari
organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon,
fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon).
Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau
parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi (Tina & Metka, 2011).
B. Faktor Resiko
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida
adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal),
faktor-faktor tersebut adalah
1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :
a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang
hidup maka usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan
umur maka fungsi metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua
umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah,
sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida (Tina &
Metka, 2011).
b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya
daya tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi.
Kondisi gizi yang buruk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas
dan enzim kolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan
enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang
memiliki tingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata
kolinesterase lebih besar (Tina & Metka, 2011).
c. Jenis kelamin
Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-
rata 4,4μg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan
menunjukkan bahwa tiap-tiap individu mempertahankan kadarnya
dalam plasma hingga relatif konstan dan kadar ini tidak meningkat
setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar kholin. Ini
menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan
kholin dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat
mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase, jenis kelamin laki-laki
lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada
perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun
demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan
pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase
cenderung turun (Tina & Metka, 2011).
d. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan
tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang
pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika dibandingkan dengan
tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan
pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik (Tina & Metka,
2011).
C. Patofisiologi
1. Organofosfat
Organofosfat berasal dari H3PO4 (asam fosfat). Pestisida
golongan organofosfat merupakan golongan insektisida yang cukup
besar, menggantikan kelompok chlorinated hydrocarbon yang
mempunyai sifat:
a. Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap
b. chorinatet hydrocarbon.
c. Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk
jangka waktu yang lama
d. Kurang mempunyai efek yang lama terhadap non target organisme
e. Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang,
jika dibandingkan dengan organoklorine.
f. Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzym cholinesterase.
Efek Gejala
Muskarinik Salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare
Kejang perut
Naussea dan vomitus
Bradicardia
Miosis
Berkeringat
Nikotinik Pegal, lemah
Tremor
Paralysis
Dipsnue
Takikardi
Sistem saraf pusat Bingung, gelisah, insomnia, neurosis
Sakit kepala
Emosi tidak stabil
Bicara terbata-bata
Kelemahan umum
Konvulsi
Depresi respirasi dan gangguan jantung
Koma
E. Penegakan Diagnosis
Kriteria diagnosis pada keracunan adalah (Budiawan, 2008) :
1. Anamnesa kontak antara korban dengan racun.
2. Adanya tanda – tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala dari
keracunan racun yang diduga.
3. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa na benda bukti tersebut
memang racun yang dimaksud.
4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang
sesuai dengan keracunan dari racun yang diduga serta dari bedah mayat tidak
ditemukan adanya penyebab kematian lain.
5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik , harus dapat dibuktikan adanya
racun serta metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban , secara
sistemik.
Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan,
seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di
tubuh manusia. Salah satu hal yang dapaat digunakan untuk mengindentifikasi
adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik. Biomarker dari suatu paparan
zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu bahan yang
mengalami perubahan (metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin, udara, dan
udara pernafasan) contohnya aktifitas asetilkolinesterase dalam darah untuk
investigasi kasus keracunan organofosfat (Budiawan, 2008).
Untuk pemeriksaan toksikologik insektisida perlu diambil darah, jaringan
hati, limpa, paru-paru dan lemak badan. Penentuan kadar AchE dalam darah dan
plasma dapat dilakukan dengan cara tintimeter (Edson) dan cara paper-strip
(Acholest) (Budiyanto, 1997)
1. Cara Edson (Budiyanto, 1997).
Cara ini dilakukan berdasarkan perubahan pH darah;
AChE
ACh kolin + asam asetat
Ambil darah korban dan tambahkan indicator brom-timol-biru, diamkan
beberapa saat maka akan terjadi perubahan warna. Bandingkan warna yang
timbul dengan warna standar pada comparator disc (cakram pembanding),
maka dapat ditentukan kadar AChE dalam darah.
% aktifitas AChE darah Interpretasi
75% - 100% dari normal tidak ada keracunan
50% - 75% dari normal keracunan ringan
25% - 50% dari normal Keracunan
0 % - 25 % dari normal keracunan berat
Penemuan Autopsi
Untuk melakukan pemeriksaan pada korban yang sudah meninggal, perlu
dilakukan pemeriksaan khusus. Hal ini disebabkan bahwa racun yang telah
masuk ke dalam tubuh korban tidak ada meninggalkan bukti yang konkrit di
sekitar tempat kejadian. Adapun hal-hal yang dilakukan adalah berupa
pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam tubuh korban, dan pemeriksaan toksikologi
(Waluyadi, 2007).
Pemeriksaan Luar
1. Bau
Membaui korban dengan kasus keracunan dapat memberikan petunjuk
mengenai racun apa yang telah ditelan oleh korban. Pada kasus keracunan
organofosfat mungkin akan tercium bau zat pelarut misalnya bau minyak
tanah. Sumber bau yang menjadi petunjuk penyebab keracunan dapat berasal
dari pakaian, lubang hidung, dan mulut serta rongga badan (Waluyadi, 2007).
2. Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak zat racun yang disebabkan
tercecernya racun yang ditelan atau oleh karena muntahan.Penyebaran bercak
perlu diperhatikan, karena dari penyebaran itu kadang-kadang dapat diperoleh
petunjuk tentang intensi atau kemauan korban, yaitu apakah racun itu ditelan
atas kemauannya sendiri atau dipaksa. Dalam hal korban dipegangi dan
dicekoki racun secara paksa, maka bercak-bercak akan tersebar pada daerah
yang luas. Selain itu pada pakaian mungkin melekat bau racun (Waluyadi,
2007).
3. Lebam mayat dan perubahan warna kulit
Warna lebam mayat yang tampak pada pemeriksaan luar merupakan cerminan
manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.Warna lebam mayat yang
tidak biasa dapat menjadi petunjuk dari zat racun yang tertelan atau ditelan.
Pada kasus keracunan organofosfat tidak ditemukan lebam mayat yang khas.
Begitu juga dengan perubahan warna kulit. Pada keracunan organofosfat tidak
ditemukan tanda-tanda perubahan warna kulit yang khas (Waluyadi, 2007).
4. Pada kasus keracunan akut hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia
Pemeriksaan dalam
1. Pada kasus keracunan organofosfat yang akut, pada pemeriksaan dalam dapat
ditemukan edema paru-paru, dan perbendungan organ-organ tubuh, mukosa
lambung mengalami inflamasi disertai perdarahan petekie (Waluyadi, 2007).
2. Pada kasus keracunan organofosfat yang dicobakan pada binatang dengan
keracunan kronik dapat ditemukan nekrosis sentral dan degenerasi bengkak
keruh pada hati ; vakuolisasi, girolisis dan retikulasi basofilik yang jelas pada
otak dan medula spinalis ; perlemakan pada miokardium ; degenerasi sel
tubuli ginjal (Waluyadi, 2007).
3. Pada kasus keracunan organofosfat dapat ditemukan penurunan aktifitas
enzim asetilkolinesterase dalam jaringan otak pada pemeriksaan laboratorium
lanjutan (Waluyadi, 2007).
Pemeriksaan Toksikologi
Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun umumnya tidak
akan di jumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat dijadikan pegangan untuk
menegakan diagnosa atau menentukan sebab kematian karena racun suatu zat.
Jadi pemeriksaan toksikologi mutlak harus dilakukan untuk menentukan adanya
racun pada setiap kasus keracunan atau yang diduga mati akibat racun.
Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh
merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa
ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan
ginjal. Pada keracunan organofosfat bahan pemeriksaan toksikologi dapat diambil
dari : Darah, Jaringan hati, Jaringan otak, Limpa, Paru-paru, Lemak badan
(Waluyadi, 2007).
F. Penatalaksanaan
1. Stabilisasi Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan
evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda
dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan
terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus
dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan
kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien
harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung.
Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan
oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini
harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum (Katz et al.,
2011).
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami
keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harus segera
dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada
ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari
kontaminasi sekunder dari udara (Katz et al., 2011).
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi
toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa
digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran
pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah
kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui
pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih
berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat
dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang
mengalami muntah (Katz et al., 2011).
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap
toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan
setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami
pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat
berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik (Katz et al.,
2011).
3. Pemberian Antidotum
a. Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat,
dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena
keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah
Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin
melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat
pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan
bronkorea (Gunawan, 2000).
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan
setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis
awalnya 0,05mg/kg BB yang digandakan setiap 2-3 menit sampai
teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan
organofosfat dengan Atropin (Gunawan, 2000).
b. Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan
untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat.
Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek
nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat
mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil
organofosfat dari sisi aktif enzim (Gunawan, 2000).
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada
regimen dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam),
Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan
mengurangi jumlah penggunaan ventilator (Gunawan, 2000).
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian
Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness,
nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi,
penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping
tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan
Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat (Gunawan,
2000).
c. Pemberian anti-kejang
Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas,
gelisah (dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk
mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV) (Gunawan, 2000).
G. Komplikasi
1. Gagal nafas
2. Kejang
3. Pneumonia aspirasi
4. Kematian
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, S.G. 2000. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FK-UI: Jakarta. Hal 836.