Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keracunan Organofosfat (Pestisida)

Menurut SK Menteri Pertanian RI No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001, pestisida

merupakan zat kimia dan bahan lain, jasad renik dan virus pada hakekatnya

merupakan zat dan atau bahan yang dapat membahayakan bagi kesehatan

manusia, kelestarian sumberdaya alam hayati dan lingkungan hidup, tetapi juga

dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. 6 Pestisida merupakan

bahan yang sangat penting dalam bidang peternakan dan pertanian serta dalam

kesehatan sebagai pembasmi nyamuk. Pestisida juga menimbulkan kerugian, baik

yang disengaja maupun tidak disengaja yaitu mengakibatkan keracunan, sehingga

membahayakan jiwa manusia.7 Organofosfat merupakan salah satu dari pestisida

yang telah digunakan secara luas di dunia. Keracunan organofosfat merupakan

masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang. Zat neurotoksik

organofosfat merupakan zat yang dianggap mengancam dalam bidang militer dan

terorisme.8

2.2 Epidemiologi Keracunan Organofosfat

Keracunan pestisida organofosfat merupakan masalah klinis dan kesehatan

masyarakat utama pada sebagian besar pedesaan di Asia. Dari sekitar 500.000

kematian dari bunuh diri di wilayah ini setiap tahun, sekitar 60% karena

keracunan pestisida. Banyak penelitian memperkirakan bahwa pestisida

organofosfat berperan dalam dua-pertiga dari 200.000 total kematian tiap tahun.

Kematian dari keracunan organofosfat yang tidak disengaja lebih kurang kurang
daripada keracunan yang disengaja. Rumah sakit di daerah pedesaan misalnya di

Srilanka menanggung beban masalah ini, ratusan pasien keracunan pestisida

setiap tahun, dengan kematian kasus 15-30%. Namun, rumah sakit ini sering tidak

cukup staf atau siap untuk menghadapi pasien dengan sakit ini, tempat tidur dan

ventilator intensive care dalam jumlah sedikit, bahkan pasien yang tidak sadar

dirawat di bangsal terbuka.9 Sementara di rumah sakit Indonesia, keracunan

pestisida terbanyak dari golongan organofosfat. Hal ini diperkirakan karena bahan

ini mudah didapat dan cukup populer di masyarakat.10

2.3 Jenis-jenis Organofosfat

Pestisida adalah bahan kimia atau campuran bahan kimia yang digunakan

untuk menghancurkan dan mengurangi hama. Pestisida modern pada umumnya

merupakan bahan kimia organik yaitu senyawa yang mengandung karbon.

Pestisida organik dibagi lagi menjadi organofosfat, karbamat, organoklorin,

organomercurials, thiocarbamates, urea. Jenis pestisida yang termasuk

organofosfat antara lain Abate, azinophos-methyle (Guthion), carbophenothion

(Trithion), chlorthion, ciodrin, coumaphos, DEF, dementon (Systox), diazinon

(Basudin), dicaothon (Di-Captan), dichlorovas (Nuvon), dicrptophos (Bidrin),

dimethoate (Cygon), dioxathion (Delnav), disulfoton (Disyston), echothiophate

(Phospholine), EPN, ethion (Nialate), fenthion (Baytex), malathion (Malathion,

Cythion), menazon, merphos, methyl demeton (Metasystox), methylparathion

(Metacid), methyltrithion, mevinphos (Phosdrin), monocrotophos (Azodrin),

mipafox, naled (Dibrom), paraoxon (mintacol), parathion, phosphamidon

(Dimecron), phorate (Thimet), runnel (Korlan), schradan (Sytam, Pestox), TEPP


(Baladan, Tetron), trichlorfon (Dipterex, Tugon), chlorpyrifos (Dursban,

Lorsban).8

Faktor yang berperan dalam keracunan pestisida sebagai berikut.7

1. Umur
Umur merupakan salah satu faktor penting. Pada anak-anak selain peka

terhadap pestisida, anak-anak juga mempunyai exposure yang lebih besar.


2. Sakit jiwa dan peminum alkohol merupakan faktor yang banyak

menimbulkan korban.
3. Jumlah pestisida yang beredar
Di Amerika dinyatakan bahwa ada hubungan antara jumlah kasus

keracunan pestisida dengan jumlah tonase pestisida yang beredar tiap

tahun.
4. Kecerobohan dalam menyimpan pestisida.
Penyimpanan pestisida tanpa diberi tanda kadang membahayakan atau

penyimpanan yang mudah dijangkau anak-anak juga dapat berbahaya.


5. Temperatur
Kejadian keracunan pestisida lebih banyak terjadi pada musim panas

daripada musim dingin karena penyerapan oleh kulit lebih cepat pada

temperatur tinggi.
6. Perbedaan toksisitas
Tiap bahan dari pestisida mempunyai toksisitas yang berbeda.
7. Dosis merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan karena tiap

bahan mempunyai dosis letalis yang berbeda.


8. Route of exposure
Sebagian besar kasus kematian karena keracunan pestisida akibat

masuknya racun melalui oral.


9. Jenis kelamin
Insiden laki-laki lebih banyak daripada perempuan, baik pada anak

maupun dewasa.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara yaitu:

Ditelan (per-oral atau ingesti)

Terhisap bersama udara pernafasan (inhalasi)

Melalui penyuntikan (parenteral atau injeksi)

Penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulit yang sakit

Konjungtiva. 11

Mekanisme primer dari pestisida golongan organofosfat adalah menghambat

carboxyl ester hydrolases khususnya acetylcholinesterase (AChE). AChE adalah

suatu enzim yang mengubah acetylcholine menjadi choline dan asam asetat.

Asetilkolin penting untuk kontrol normal dari transmisi impuls system saraf dari

serat saraf ke otot dan kelenjar, pada ganglion otonom otak. Asetilkolin dapat

ditemukan di sistem saraf pusat, sistem saraf tepi, eritrosit, dan neuromuscular

junction.

Setelah AchE dinonaktifkan, jumlah asetylkholin akan meningkat dan

berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan

perifer. Efek klinis akan muncul melalui aktivasi sistem saraf pusat dan otonom

dan pada reseptor nikotinik di otok lurik.

Organofosfat dapat diabsorbsi melalui kulit, konjungtiva, inhalasi, ingesti,

atau injeksi. Meskipun kebanyakan pasien akan menimbulkan gejala yang cepat,

onset dan keparahan sangat bergantung pada senyawa yang meracuni, jumlah, dan

jalur masuk.12

2.5 Gejala Klinis Keracunan Organofosfat

a. Gejala dan tanda keracunan organofosfat berdasarkan reseptor yang terlibat


b. Gejala dan tanda keracunan organofosfat berdasarkan waktu

2.6 Diagnosis Keracunan Organofosfat

2.6.1 Kriteria Diagnosis

Gejala klinis keracunan organofosfat yang muncul tergantung pada jalan

masuk, konversi enzim ke metabolit aktif, jumlah inhibisi AChE

(asetilkolinesterase), dan agen lipofilik. Paparan melalui mulut dan sistem


respirasi secara umum menunjukkan tanda atau gejala dalam waktu 3 jam

sementara gejala akibat keracunan organofosfat melalui absorpsi di kulit akan

muncul dalam waktu 12 jam.13 Reaksi toksik dari racun tergantung pada jumlah

substansi yang ada, distribusi ke jaringan, dan jumlah ekskresi dari dalam tubuh.

Dengan pencernaan atau inhalasi yang masif, gejala dapat muncul dalam 5 menit,

atau mungkin akan terlambat hingga setengah sampai satu jam dan maksimum 2-8

jam. Tanda dan gejala muncul apabila kadar kolinesterase turun sampai 30% dari

aktivitas normal.14 Manifestasi klinis yang muncul akibat keracunan organofosfat

yaitu:

 Efek muskarinik : bradikardia, bronkospasme, diare, hipotensi,

lakrimasi, miosis, salivasi, dan muntah


 Efek nikotinik (saraf simpatis) : hipertensi, midriasis, keringat, dan

takikardia.
 Efek nikotinik (sistem saraf pusat) : agitasi, koma, bingung, kegagalan

respirasi
 Efek nikotik (pada neuromuscular junction) : fasikulasi, kelemahan otot,

dan paralisis.

Tanda muskarinik dapat diingat dengan menggunakan satu dari dua

mnemonic berikut yaitu:

 SLUDGE/BBB : Salivasi, Lakrimsi, Urination, Defekasi, Gastric,

Emesis, Bronchorrhea, Bronkospasme, dan Bradikardia; atau


 DUMBLES : Defekasi, Urination, Miosis,

Bronchorrhea/Bronkospasme/Bradikardia, Emesis, Lakrimasi, Salivasi.

(Narang et al., 2015)


Periode fatal dari keracunan organofasfat berlangsung dalam 24 jam pada

kasus yang tidak diobati dan dalam 10 hari pada pengobatan yang tidak berhasil.

Pada kasus yang tidak fatal, efek akut berlangsung pada 6 sampai dengan 30 jam

yang akan menghilang pada 2-3 hari. Namun, hal tersebut dapat bertahan

mencapai 2 minggu. Pulih sempurna berlangsung dalam 10 hari pada pasien yang

mendapat penanganan lebih awal. 14

Pasien dapat tiba-tiba mengalami kegagalan sistem respirasi padahal pasien

terlihat telah pulih dari krisis kolinergik, yang biasa didefinisiskan sebagai

Intermediate Syndrome. Sindrom ini merupakan penyebab penting kematian pada

pasien yang harus segera diresusitasi dan dirujuk ke rumah sakit.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kecurigaan klinis, tanda klinis yang

mengarah keracunan organofosfat, tercium bau pestisida, dan berkurangnya

aktivitas asetilkolinsterase pada darah. Pasien dengan keracunan organofosfat

yang berat secara khas menampakkan tanda seperti pinpoint pupils, keringat yang

banyak, penurunan kesadaran, dan pernapasan yang lemah.15

Kematian pada kasus keracunan organofosfat disebabkan oleh paralisis otot

pernapasan, gagal napas oleh karena kegagalan pusat pernapasan, atau

bronkokonstriksi yang terus-menerus.

Tabel 2.3 Tanda dan Gejala Keracunan Organofosfat.9

Waktu Muncul Mekanisme Manifestasi

Manifestasi Klinis
Akut ( menit hingga 24 Reseptor Nikotinik Lemah, fasikulasi, kram,

jam) paralisis
Reseptor Muskarinik Salivasi, lakrimasi,

urination, defekasi,

gastric cramps, emesis,

bradikardia, hipotensi,

miosis, bronkospasme
Reseptor sistem saraf Cemas, konvulsi, depresi

pusat napas
Delayed (24 jam sampai Efek reseptor nikotinik Intermediate syndrome

2 minggu)
Efek reseptor Gejala kolinergik seperti

muskarinik bradikardia, miosis,

salvias
Reseptor sistem saraf Koma, manifestasi

pusat ekstrapiramidal
Late (lebih dari 2 Peripheral neuropathy Proses neuropati perifer

minggu) target esterase

2.6.2 Pemeriksaan Pada Jenazah

Pemeriksaan pada korban yang sudah meninggal memerlukan pemeriksaan

khusus. Hal ini disebabkan bahwa racun yang sudah masuk ke dalam tubuh

korban, tidak meninggalkan bukti yang nyata di tempat kejadian. Pemeriksaan

yang perlu dilakukan pada kasus keracunan adalah pemeriksaan luar, pemeriksaan

dalam, dan pemeriksaan toksikologi.


2.6.2.1 Pemeriksaan Luar

1. Bau yang tercium


Hal ini ditujukan untuk mengetahui apakah racun tersebut ditelan oleh

korban. Pemeriksa dapat mencium bau minyak tanah pada penelanan

larutan insektisida, bau kutu busk pada malation, bau ammonia, alkohol,

eter, dan lain-lain.


2. Pakaian
Pada pakaian perlu diperhatikan bercak-bercak racun. Distribusi bercak

racun dapat memperkirakan cara kematian berupa bunuh diri, kecelakaan,

atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri, distribusi bercak racun biasanya

teratur pada bagian depan dan tengah dari pakaian. Pada kecelakaan

bercak yang muncul tidak khas, sedangkan pada kasus pembunuhan

distribusi bercak racun biasanya tidak beraturan (seperti disiram).


3. Lebam mayat (Livor mortis)
Warna livor mortis merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.

Distribusi livor mortis lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi

dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan

mudah mengalir.15
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat

peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput

lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat

dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang

bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah

pecah yaitu kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva

bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di

kulit wajah.15
5. Kaku mayat (Rigor mortis)
Rigor mortis akan lebih cepat terbentuk dikarenakan adanya hambatan

AChE pada keracunan organofosfat maka terjadi peningkatan Ach pada

taut motor end plate dan terjadi kontraksi otot terus menerus. Aktivits otot

yang demikian menyebabkan cadangan glikogen akan lebih cepat habis

dan rigor mortis akan lebih cepat terbentuk.16

2.6.2.2 Pemeriksaan Dalam

Pada pemeriksaan dalam atau pembedahan mayat pada kasus keracunan

insektisida dapat ditemukan tanda pembendungan pada alat dalam. Dalam

lambung dapat ditemukan cairan yang terdiri dari dua lapisan yaitu cairan

lambung dan lapisan larutan insektisida. Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada

pemeriksaan dalam akibat keracunan adalah :

1. Darah berwarna lebih gelap dan encer


2. Busa halus di dalam saluran napas
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga

menjadi lebih berat, berwarna gelap dan pada pengirisan banyak

mengeluarkan darah.
4. Ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian

belakang jantung daerah aurikuloventrikuler, subpleura visceralis paru

terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobularis, kulit

kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis

dan daerah subglotis.


5. Edema paru : bau dari zat pelarut mungkin dapat dideteksi, misalnya bau

minyak tanah, bensin, terpentin atau bau seperti mentega yang tengik. 18

Pada kematian akibat racun, setelah selesai dilakukan pembedahan mayat,

masih perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk pemastian terjadinya


peristiwa keracunan. Pemeriksaan toksikologi diperlukan untuk menentukan

adanya racun dan sebab kematian korban. Pemeriksaan dalam ditujukan untuk

menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain sebagai penyebab kematian dan

dapat memberikan pengarahan pemeriksaan toksikologi.

2.6.2.3 Pemeriksaan Toksikologi

Kelainan-kelainan yang khas untuk dijadikan pegangan dalam menegakkan

diagnosis atau menetukan sebab kematian karena racun suatu zat sulit ditemukan

pada pemeriksaan luar dan dalam. Pemeriksaan toksikologi merupakan

pemeriksaan yangmutlak dilakukan untuk menentukan adanya racun pada setiap

kasus keracunan atau yang diduga mati akibat racun.


Setelah mayat korban dibedah oleh dokter kemudian diambil dan

dikumpulkan jaringan-jaringan atau organ-organ tubuh korban untuk dijadikan

barang bukti dan bahan pemeriksaan toksikologi. Prinsip pengambilan sampel

pada keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya setelah disisihkan untuk

cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologis.


Secara umum sampel yang harus diambil adalah :
1. Lambung dengan isinya.
2. Seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan

pada usus setiap jarak sekitar 60 cm.


3. Darah yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer

(v.jugularis, a. femoralis dan sebagainya) masing-masing 50ml dan

dibagi 2 yang satu diberi bahan pengawet (NaF 1%), yang lain tidak

diberi bahan pengawet.


4. Hati sebagai tempat detoksifikasi, tidak boleh dilupakan, hati yang

diambil sebanyak 500 gram.


5. Ginjal, diambil keduanya, yaitu pada kasus keracunan dengan logam

berat khususnya, dan bila urin tidak tersedia.


6. Otak diambil 500 gram, khusus untuk keracunan khloroform dan

keracunan sianida, hal tersebut dimungkinkan karena otak terdiri dari

jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi racun

walaupun telah mengalami pembusukan.


7. Urin diambil seluruhnya, penting oleh karena pada umumnya racun

akan dieksresikan melalui urin, khususnya untuk tes penyaring pada

keracunan narkotika, alcohol, dan stimulan.


8. Empedu sama halnya dengan urin diambil oleh karena tempat ekskresi

berbagai racun terutama narkotika.


9. Pada kasus khusus dapat diambil :
a. Jaringan sekitar suntikan dalam radius 5-10 sentimeter.
b. Jaringan otot, yaitu, dari tempat yang terhindar dari kontaminasi,

misalnya muskulus psoas sebanyak 200 gram.


c. Lemak di bawah kulit dinding perut sebanyak 200 gram.
d. Rambut yang dicabut sebanyak 10 gram.
e. Kuku yang dipotong sebanyak 10 gram, dan.
f. Cairan otak sebanyak-banyaknya. 17

Jumlah bahan pengawet untuk sampel padat minimal 2x volume sampel

tersebut, bahan pengawet yang dianjurkan adalah alcohol absolute atau larutan

garam jenuh (untuk Indonesia paling ideal). Kedua bahan pengawet tersebut

diperuntukkan pada sampel padat dan organ. Bahan pengawet untuk sampel cair

adalah Natrium fluoride 1% atau Natrium fluoride + Natrium sitrat (75mg +

50mg, untuk setiap 10 ml sampel). Natrium Benzoat dan phenyl mercury nitrate

khusus untuk urin.17

Cairan tubuh sebaiknya diperiksa dengan jarum suntik yang bersih/baru.

Darah seharusnya selalu diperiksa pada gelas kaca, apabila pada gelas plastik

darah yang bersifat asam dapat melumerkan polimer plastik dari plastik itu

sendiri, karena dapat membuat keliru pada analisa gas kromatografi. Pada
pemeriksaan spesimen darah, selalu diberi label pada tabung sampel darah yaitu

pembuluh darah femoral dan jantung.

Pada kasus mayat yang tidak diotopsi, darah diambil dari vena femoral. Jika

vena ini tidak berisi, dapat diambil dari subklavia. Pengambilan darah dengan cara

jarum ditusuk pada transthoracic secara acak, secara umum tidak bisa diterima,

karena bila tidak berhati-hati darah bisa terkontaminasi dengan cairan dari

esophagus, kantung pericardial, perut/cavitas pleura. Urin diambil dengan

menggunakan jarum panjang yang dimasukan pada bagian bawah dinding perut

terus sampai pada tulang pubis.

Pada mayat yang diotopsi darah diambil dari vena femoral. Jika darah tidak

dapat diambil dari vena femoral, dapat diambil dari: vena subklavia, aorta, arteri

pulmonalis, vena cava superior dan Jantung. Darah seharusnya diberi label sesuai

dengan tempat pengambilan.

Untuk wadah pemeriksaan toksikologi idealnya diperlukan minimal 9

wadah, karena masing-masing bahan pemeriksaan ditempatkan secara tersendiri,

tidak boleh dicampur, yaitu:

a. 2 buah toples masing-masing ukuran 2 liter untuk hati dan usus.


b. 3 buah toples masing-masing ukuran 1 liter untuk lambung beserta isinya,

otak dan ginjal.


c. 4 buah botol masing-masing ukuran 25 ml untuk darah (2 buah), urin, dan

empedu.

Wadah harus dibersihkan terlebih dahulu dengan cara mencuci wadah

tersebut menggunakan asam Kromat hangat lalu dibilas dengan Aquades dan

dikeringkan.17 Penentuan kadar AChE dalam darah dan plasma dapat ditentukan
dengan cara tintometer (Edson) dan cara paper strip (Acholest). Cara Edson

dilakukan dengan prinsip perubahan pH darah. Cara pemeriksaan adalah ambil

darah korban dan tambahkan indikator brom-timol-biru, diamkan beberapa saat

maka akan terjadi perubahan warna. Bandingkan warna tersebut dengan warna

standard pada cakram pembanding, maka dapat ditentukan kadar AChE dalam

darah.18

% aktifitas AChE darah Interpretasi


75% - 100% dari normal Tidak ada keracunan
50% - 75% dari normal Keracunan ringan
25% - 50% dari normal Keracunan
0 – 25% dari normal Keracunan berat
Cara Acholest dilakukan dengan cara megambil serum darah korban dan

teteskan pada kertas Acholest bersamaan dengan kontrol serum darah normal.

Pada kertas cholest sudah terdapat Ach dan indikator. Waktu perubahan warna

pada kertas perlu dicatat. Interpretasi pemeriksaan ini adalah apabila perubahan

warna berlangsung kurang dari 18 menit maka tidak ada keracunan, 20-30 menit

mengindikasikan keracunan ringan, dan 30-150 menit mengarahkan keracunan

berat.18

Pemeriksaan toksikologi yang dapat dilakukan selain penentuan kadar

AChE dalam darah dan plasma dapat juga dilakukan pemeriksaan :

a) Kristalografi
Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan / minuman, muntahan, isi

lambung dimasukan ke dalam gelas beker, dipanaskan dalam pemanas air

sampai kering, kerimudian dilarutkan dalam aceton dan disaring dengan

kertas saring. Filtrat yang didapat, diteteskan di bawah mikroskop. Bila


bentuk kristal-kristal seperti sapu, ini adalah golongan hidrokarbon

terklorisasi.
b) Kromatografi lapisan tipis (TLC)
Kaca berukuran 20 cm X 20 cm, dilapisi dengan absorben gel silikat atau

dengan alumunium oksida, lalu dipanaskan dalam oven 110° C selama 1

jam. Filtrat yang akan diperiksa (hasil ekstraksi dari darah atau jaringan

korban) diteteskan dengan mikropipet pada kaca, disertai dengan tetesan

lain yang telah diketahui golongan dan jenis serta konsentrasinya sebagai

pembanding. Ujung kaca TLC dicelupkan ke dalam pelarut, biasanya n-

Hexan. Celupan tidak boleh mengenai tetesan tersebut diatas. Dengan daya

kapilaritas maka pelarut akan ditarik keatas sambil melarutkan filtrat-filtrat

tadi. Setelah itu kaca TLC dikeringkan lalu disemprot dengan reagensia

Paladum klorida 0,5% dalam HCL pekat, kemudian dengan Difenilamin

0,5% dalam alkohol.


Interprestasi : warna hitam (gelap) berarti golongan hidrokarbon

terklorinasi sedangkan bila berwarna hijau dengan dasar dadu berarti

golongan organofosfat. Untuk menentukan jenis dalam golongannya dapat

dilakukan dengan menentukan Rf masing-masing bercak. Angka yang

didapat dicocokan dengan standar, maka jenisnya dapat ditentukan dengan

membandingkan besar bercak dan intensitas warnanya dengan

pembandingan, dapat diketahui konsentrasinya secara semikuantatif.18

2.7 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan keracunan organofosfat tergantung pada tingkat

keparahannya. Pada kasus yang ringan, memindahkan korban dari paparan racun

dan penggunaan atropin dosis rendah dapat membantu. Namun, pada kasus yang

berat, tindakan resusitasi, bantuan napas, antidotum dosis tinggi sangat


diperlukan. Antidotum yang telah dikenal dalam menangani kasus keracunan

organofosfat adalah atropine dan oksim. 13

Pada kasus keracunan akut, tindakan segera yang perlu dilakukan adalah:

1. Pemberian sulphas atropine dosis tinggi. Obat dapat diberikan sebanyak 2

mg IM dan diulang tiap 3-6 menit sampai timbul tana atropinisasi yaitu

wajah merah, mulut kering, dilatasi pupil, dan nadi yang cepat. Pemberian

atropin sebanyak 12 mg dalam 2 jam pertama cukup aman. Terapi atropin

yang terputus akan segera disusul dengan kegagalan pernapasan. Dosis

atropin untuk anak-anak adalah 0,04 mg/kgBB.


2. Pernapasan buatan dan oksigen.
3. Kulit yang terkontaminasi dicuci dengan air dan sabun.
4. Bilas lambung atau emetika. Bila gejala-gejala belum timbul, lakukan

bilas lambung dengan air hangat atau lakukan induksi muntah.

Tindakan umum pada penatalaksanaan keracunan organofosfat adalah

sekresi jalan napas yang dikeluarkan dengan postural drainage atau dengan

penyedot kateter. Apabila terdapat kejang, berikan obat antikejang. Hindari

penggunaan obat-obat yang menyebabkan depresi napas seperti morfin,

aminofilin, barbiturat, dan fenotiazin.18

2.8 Pencegahan Keracunan Organofosfat

Persyaratan pengelolaan insektisida telah diatur dalam PERMENKES

nomor 258 tahun 1992. Setiap insektsida wajib diberikan tanda peringatan bahaya

dengan warna dasar tertentu yang melekat pada label kemasanya. Karena itu

sebelum menggunakan insektisida pengguna insektisida harus membaca label

kemasan insektisida.19,20
Usaha-usaha pencegahan keracunan perlu dilakukan di tempat dimana

bahan bahan kimia tersebut sering digunakan. Rumah tangga merupakan salah

satu tempat penggunaan produk produk industri, sehingga perlu dilakukan

langkah langkah praktis untuk pencegahan terjadinya keracunan, disamping itu

pada tempat tempat kerja baik pada industri kecil ( home industri ) maupun

industri besar merupakan tempat utama terdapatnya bahan bahan kimia baik

sebagai bahan baku maupun sebagai hasil produk dari industri yang siap

diedarkan kepada masyarakat.21 Beberapa usaha pencegahan keracunan insektisida

adalah sebagai berikut.20

1. Jauhkan insektisida dari jangkauan anak-anak, dari makanan atau jangan

disimpan bersama makanan.


2. Jangan terkena luka terbuka
3. Jangan menyemprot sewaktu ada orang di ruangan, jangan diarahkan pada

makanan, hewan peliharaan dan gunakan ruangan setelah 30 menit ruangan

selesai disemprot.
4. Jangan mengoleskan lotion anti nyamuk secara berlebihan. Bila terjadi iritasi,

hentikan pemakaian, kemudian cuci kulit dengan air yang mengalir.


5. Obat nyamuk bakar, hendaknya dibakar pada ruangan yang berventilasi

cukup, jangan menggunakan obat nyamuk bakar dekat makanan.


6. Bila terkena mata, cuci mata dengan air yang mengalir, kemudian penderita

dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan terdekat.


7. Apabila terjadi gejala pusing, keluar keringat,sesak napas dan kejang perut

akibat menghirup insektisida rumah tangga, segera dibawa ke dokter atau unit

pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama dengan

membawa wadah/kemasan insektisida. Jika tertelan, usahakan agar penderita

muntah.
8. Pada keracunan akut fumigant jenis naftalen dan PDB secara inhalasi,

penderita dibawa ke ruang berudara segar, jika terkena mata atau kulit, mata
dicuci dengan air mengalir dan kulit dicuci dengan air dan sabun hingga

bersih. Penderita segera dibawa ke unit pelayanan kesehatan terdekat.

2.9 Aspek medikolegal


a. Toksikologi Forensik

Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek

merugikan dari berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem makhluk hidup.

Toksikologi forensik sendiri berkaitan dengan penerapan ilmu toksikologi pada

berbagai kasus dan permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan-

bahan kimia yang dapat menimbulkan konsekuensi medikolegal dan hasilnya

digunakan untuk menjadi bukti dalam pengadilan.22

Menurut Society of Forensic Toxicologist (SOFT), bidang kerja toksikologi

forensik meliputi:

1. analisis dan evaluasi racun penyebab kematian


2. analisis ada/tidaknya kandungan alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh

atau nafas yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya

kemampuan mengendarai kendaraan bermotor dijalan raya, tindak kekerasan

dan kejahatan serta penggunaan dopping)


3. analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika,

psikotropika dan obat terlarang lainnya. Tujuan lain dari analisis toksikologi

forensik adalah dapat membuat suatu rekaan rekonstruksi suatu peristiwa yang

telah terjadi, sampai mana obat tersebut telah dapat mengakibatkan suatu

perubahan perilaku (menurunnya kemampuan mengendarai, yang dapat

mengakibatkan kecelakaan yang fatal, atau tindak kekerasan dan kejahatan).23

Racun menurut Taylor adalah setiap bahan/zat yang dalam dosis rendah bila

masuk kedalam tubuh akan menimbulkan reaksi biokimiawi/ patofisiologik yang

akan menyebabkan penyakit dan atau kematian. Keadaan ini dipengaruhi oleh
dosis, cara pemberian, bentuk fisik, dan susunan kimianya, dan kepekaan korban

(tergantung usia, penyakit, kebiasaan, keadaan hipersentifitas,dll).24,25

Untuk menetapkan suatu paparan terhadap suatu zat toksik dapat dilakukan

analisis jaringan dan cairan tubuh (body fluids). Hal ini ditujukan untuk mengukur

kandungan zat itu sendiri, metabolit-metabolitnya, atau enzim-enzim dan bahan

atau respon biologi lainnya sebagai akibat dari pengaruh zat toksik tersebut.25

Tidak semua kasus yang ditemukan perlu melakukan toksikologi forensik.

Kasus-kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar. Kasus-

kasus tersebut antara lain 26 :

a. kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di

penjara, kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh

efek samping obat atau kesalahan penanganan medis,


b. kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan

nyawa sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh

obat-obatan, alkohol, atau pun narkoba,


c. penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan

akibat pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan

berbahaya lainnya, yang tidak memenuhi standar kesehatan (kasus-kasus

forensik farmasi)
b. Peranan Toksikologi Forensik Dalam Membantu Penegak Hukum

Pemeriksaan atas barang bukti dengan menggunakan toksikologi forensik

dilakukan oleh seorang ahli forensik yang telah diberikan wewenang oleh pihak

Pusat Laboratorium. Forensik dan ahli forensik tersebut yang berperan penting

dalam melakukan pemeriksaan atas organ-organ tubuh korban maupun jenis

barang bukti lainnya, khususnya yang berkaitan dengan kasus keracunan dan

peracunan.
Seorang ahli forensik harus mampu mempertimbangkan keadaan suatu

investigasi, khususnya mengenai catatan adanya gejala fisik, dan bukti apapun

yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi kejahatan yang dapat mengerucutkan

pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti obat-obatan, serbuk, residu jejak

dan zat toksik (kimia) apapun yang ditemukan. Dengan informasi tersebut serta

sejumlah sampel yang akan diteliti, seorang ahli forensik dapat menentukan

senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, berapa jumlah konsentrasinya,

serta efek apa yang mungkin terjadi akibat zat toksik terhadap tubuh.23,25

Setelah barang bukti sampai di laboratorium, sebelum barang bukti tersebut

dibuka, seorang ahli racun (toxicoloog) akan terlebih dahulu memeriksa

penyegelannya. Apakah cara penyegelan dari barang bukti tersebut telah

memenuhi persyaratan sesuai dengan Pasal 129, 130, dan 133 KUHAP. Apalagi

tidak memenuhi syarat maka barang bukti tersebut dikirimkan kembali kepada si

pengirim (penyidik) dengan permintaan agar penyegelan diperbaiki. Selain itu

diperiksa juga segala surat-surat serta laporan Tanya jawab dari pihak

keluarga/tetangga korban, dan apabila tidak ada diikutsertakan tentang laporan

tanya jawab yang dimaksud maka harus diminta kepada penyidik sebab laporan

tersebut merupakan petunjuk dalam melakukan pemeriksaan. 27

Setelah semua barang bukti sudah memenuhi persyaratan maka barang bukti

dibuka dan diperiksa, apakah semuanya sesuai dengan yang disebut dalam laporan

si pengirim, kemudian dicatat pula keadaan barang buktinya. Menurut R. Atang

Ranoemihardja (1991:75) maka selanjutnya barang bukti tersebut dibagi menjadi

3 bagian dengan tujuan:

a. Sepertiga bagian untuk bahan pemeriksaan


b. Sepertiga bagian untuk dikirimkan kembali kepada si pengirim setelah

pemeriksaan selesai

c. Sepertiga bagian lagi dijadikan sebagai arsip

Apabila barang bukti tidak cukup untuk dibagi tiga, maka kesemuanya akan

dipakai untuk pemeriksaan, dan hal ini harus diberitahukan kepada pengirim

(penyidik). Setelah selesai pemeriksaan oleh toxicoloog, maka akan dikeluarkan

sebuah laporan dari hasil pemeriksaan yang disebut “expertise” yaitu laporan

tertulis seorang ahli racun. Expertise ini diserahkan kepada penyidik kemudian

diteruskan kepada dokter yang melakukan pembedahan dan memeriksa mayat si

korban, setelah itu baru diselesaikan visum et repertum.27

Dokter pemeriksa pada bab kesimpulan Visum et Repertum tidak akan

menyebutkan korban mati akibat bunuh diri, pembunuhan, ataupun kecelakaan,

tapi jelas menyebutkan penyebab kematiannya akibat keracunan zat-zat, obat-

obatan,dan racun tertentu atau dengan kata lain ditemukannya gangguan pada

organ-organ tubuhnya akibat sesuatu zat-zat, obat-obatan dan racun tertentu

tersebut. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang toxicoloog dapat

dipanggil pada persidangan di pengadilan untuk ditanya segala sesuatunya yang

ada hubungannya dengan pemeriksaan peracunan/keracunan yang diuraikan

dalam expertise.27

c. Hukum yang Mengatur Kasus Keracunan

Dalam KUHP maupun dalam KUHAP, tidak dicantumkan suatu uraian atau

definisi mengenai apakah sebenarnya yang dimaksud dengan racun itu. Yang

disebut hanya “keracunan” (KUHAP 133) dan tindakan yang mengandung arti

“meracuni” yang termasuk dalm golongan penganiayaan (KUHP 356) serta


“narkotika” beserta penjelasannya dalam UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.24,27

Berdasarkan Pasal 133 ayat (1) KUHAP tersebut, maka penyidik memegang

peranan penting dalam melakukan pemeriksaan kasus keracunan/peracunan

dengan mengumpulkan petunjuk-petunjuk selengkap mungkin, agar dapat

ditemukan penyebab kematian seseorang yang diakibatkan oleh suatu zat beracun.

Zat beracun yang ditemukan oleh toxicoloog akan menjadi bukti yang dapat

mengungkap matinya seseorang.27

Masuknya Racun ke dalam tubuh dapat terjadi karena :

a. Disengaja

- Oleh orang lain (penganiayaan, pembunuhan)


- Oleh diri sendiri (penyalah gunaan obat, bunuh diri)
b. Tidak disengaja : kecelakaan industri, rumah tangga, kesalahan pengobatan, dan

self mediaction

Seorang dokter menjalankan fungsinya untuk membantu hakim dalam

mengungkap keadaan atas barang bukti yang berupa tubuh atau bagian dari organ

tubuh manusia, dimana barang bukti tersebut tidak dapat dibawa ke dalam proses

peradilan karena memerlukan cara khusus untuk membuktikannya yaitu

dibuktikan dengan bantuan dokter dan ahli toksikologi. Hal ini dapat

membuktikan dugaan kasus keracunan atau peracunan.27 Apabila kesalahan itu

dilakukan tanpa kesengajaan (karena kealpaannya) maka terdakwa dapat dijatuhi

pidana berdasarkan : pasal 203, 205, dan 359 KUHP. Pasal 202-205 KUHP

menerangkan tentang hukuman bagi barangsiapa yang menyebabkan air atau

suatu barang menjadi berbahaya bagi kesehatan.


Berdasarkan jenis-jenis kejahatan terhadap nyawa menurut KUHP bahwa

kasus keracunan biasanya termasuk ke dalam pembunuhan berencana (Pasal 340

KUHP). Pasal 340 KUHP menentukan sebagai berikut :”Barangsiapa dengan

sengaja dan dengan rencana lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,

dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau

penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.27

Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal

350 KUHP. KUHP mengaturnya sebagai berikut :

1. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia


2. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa anak yang sedang/baru dilahirkan
3. Kejahatan yang ditujukan terhadap anak yang masih dalam kandungan

Dilihat dari segi “kesengajaan” (dolus) maka tindak pidana terhadap nyawa ini

terdiri atas :

1. Yang dilakukan dengan sengaja


2. Yang dilakukan dengan sengaja disertai kejahatan berat
3. Yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu
4. Atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh
5. Menganjurkan atau membantu orang untuk bunuh diri.27

Menurut Leden Marpaung (1994:19), tindak pidana terhadap nyawa tersebut

pada hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Dilakukannya dengan sengaja, yang diatur dalam Bab XIX


2. Dilakukan karena kelalaian/kealpaan diatur dalam Bab XXI
3. Karena tindak pidana lain, mengakibatkan kematian, yang diatur antara lain

Pasal 170, 351 ayat (3) dan lain-lain. 27

BAB III

KESIMPULAN
Organofosfat merupakan salah satu dari pestisida yang telah digunakan

secara luas di dunia. Keracunan organofosfat merupakan masalah kesehatan

masyarakat, terutama di negara berkembang. Banyak penelitian memperkirakan

bahwa pestisida organofosfat berperan dalam dua-pertiga dari 200.000 total

kematian tiap tahun. Kematian dari keracunan organofosfat yang tidak disengaja

lebih kurang dari pada keracunan yang disengaja.

Organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara yaitu:

ditelan (per-oral atau ingesti), terhisap bersama udara pernafasan (inhalasi),

melalui penyuntikan (parenteral atau injeksi), penyerapan melalui kulit yang sehat

atau kulit yang sakit dan dari konjungtiva. Munculnya tanda dan gejala klinis

keracunan organofosfat pun beragam mulai dari hitungan menit sampai dalam

beberapa minggu tergantung jumlah zat yang masuk, distribusi dalam tubuh dan

eksresinya. Bahkan bisa menyebabkan kematian. Pencegahan dan tatalaksana

yang tepat sangat penting dalam menangani kasus keracunan organofosfat ini.

Forensik dan ahli forensik berperan penting dalam melakukan pemeriksaan

atas organ-organ tubuh korban maupun jenis barang bukti lainnya, khususnya

yang berkaitan dengan kasus keracunan dan peracunan. Seorang ahli forensik

harus mampu mempertimbangkan keadaan suatu investigasi, khususnya mengenai

catatan adanya gejala fisik, dan bukti apapun yang berhasil dikumpulkan dalam

lokasi kejahatan yang dapat mengerucutkan pencarian, misalnya adanya barang

bukti seperti obat-obatan, serbuk, residu jejak dan zat toksik (kimia) apapun yang

ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Achmadi, UF. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Kompas. Jakarta.2005.

2. Riani M. Toksikologi Insetisida Rumah Tangga dan Pencegahan keracunan.


Jurnal media petenitian danpengembangan. 2009. Vol. 29 hal 27
3. Katz K D, Sakamoto K M, Pinsky M R. Organophosphate Toxicity. Medscape
eMedicine, 2016. Available on:
http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview.
4. Gunawan, S.G. 2000. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FK-UI: Jakarta. Hal
836.

5. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, et al, 1997. Ilmu Kedokteran


Forensik . Jakarta: Bagian kedokteran forensik UI.

6. SK Menteri Pertanian RI No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001.

7. Soemomarto dan Asdie. Keracunan Organofosfat. Bagian Ilmu Penyakit


Dalam FK UGM. Yogyakarta: 1978.

8. Sinha dan Sharma. Organophosphate poisoning: A review. Med J Indones.


2003; 12(2): 120-7.

9. 13. Eddleston M, Buckley NA, Eyer P, and Dawson AH , 2008.


Management of acute organophosphorus pesticide poisoning. Lancet,
Elsevier. 371(9612): 597-607

10. Bakta, I Made dan Suastika I Ketut. Gawat Darurat di Bidang Penyakit
Dalam. EGC. Jakarta: 1999.

11. Katz, Kenneth D, 2016. Organophosphate Toxicity.


http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview#showall. Diakses
tanggal 3 Desember 2016

12. John Victor Peter, Thomas Isiah Sudarsan, and John L. Moran. 2014. Clinical
features of organophosphate poisoning: A review of different classification
systems and approaches. Indian J Crit Care Med 18(11): 735–745

13. Narang U, Narang P, Gupta OP, 2015. Organophosphorus poisoning: A social


calamity. Journal of Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences. 20(1):
46-51.

14. Ahmad M, Rahman FN, Ashrafuzzaman M, Chowdhury DKP, Ali M, 2009.


Overview of organophosphorus compound poisoning in bangladesh and
medicolegal aspects related to fatal cases. JAFMC Bangladesh. 5(1) : 41-45.

15. Thanos CAA, Tomuka D, Mallo NTS, 2016. Livor mortis pada keracunan
insektisida golongan organofosfat di kelinci. Jurnal e-Clinic (eCl). 4(1): 10-
20.

16. Guanovora N, Mallo NTS, Tomuka D, 2016. Kecepatan rigor mortis pada
intoksikasi insektisida golongan organofosfat pada kelinci. Jurnal e-Clinic
(eCl). 4(1): 21-30.

17. Sinaga EJ, 2010. Peranan toksikologi dalam pembuatan visum et repertum
terhadap pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun.
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
18. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, et al, 1997. Ilmu Kedokteran
Forensik . Jakarta: Bagian kedokteran forensik UI.
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
258/Menkes/Per/lll/1992

20. Raini. 2009. Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan


Pencegahankeracunan. Media Penelitian dan Pengembang. Kesehatan. 19(2):
S27-S33

21. Pencegahan Keracunan Secara Umum


http://www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/cegahracunumum.pdf.
Diakses pada 2 Desember 2016.

22. The Forensic Toxicology Council. Briefing: What is Forensic Toxicology?.


The American Board of Forensic Toxicology (ABFT). 2010.

23. Wirasuta, I M.A.G., 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi


Temuan Analisis. Ind. J of Legal and Forensic Sciences. 1(1):47- 55.

24. Sampurna B, Samsu Z, Siswaja TD. 2008. Peranan Ilmu Forensik Dalam
Penegakan Hukum.

25. Budiawan. 2008. Peranan Toksikologi Forensik dalam mengunkap kasus


keracunan dan pencemaran lingkungan. Ind. J of Legal and Forensic
Sciences. 1(1):47-55.
26. Fitriana AN. 2015. Forensic Toxicology. J Majority. 4(4) : 1-9.

27. Flora HS. 2013. Peranan Toksikologi Forensik dalam Pengungkapan Tindak
Pidana Pembunuhan. Jurnal Saintech. 5(1): 10-16.

Anda mungkin juga menyukai