I. PENDAHULUAN
Suara adalah suatu bentuk energi mekanis yang dihasilkan oleh suatu sumber yang bergetar
dan menyebabkan fluktuasi di udara melalui media yang elastis. Getaran yang ditimbulkan
dari suara tersebut akan menyebabkan getaran pada benda-benda lain yang elastis di
sekitarnya. Akibatnya benda-benda tersebut juga akan menimbulkan suara. Makin keras suara
makin besar energi yang dihasilkan dan makin kuat pula getaran yang ditimbulkan.
Telinga adalah salah satu sistem sensor tubuh yang berhubungan dengan pendengaran dan
keseimbangan. Pendengaran diperlukan oleh manusia untuk sesuatu yang penting misalnya
komunikasi, mendeteksi lokasi suara yang kemungkinan menandakan adanya bahaya, dan juga
untuk menikmati hal-hal yang sifatnya menyenangkan misalnya suara-suara alam atau musik.
Pendengaran juga merupakan satu-satunya sensor pada tubuh kita yang dapat bekerja secara
360o baik dari kiri, kanan, depan, belakang, atas maupun bawah. Mekanisme tersebut tidak
pernah berhenti semenjak kita belum lahir dan secara terus menerus menghubungkan
perasaan kita sekaligus memberikan perlindungan terhadap lingkungan.
Untuk itu kita perlu mengetahui tentang mekanisme pendengaran manusia, bagaimana
perjalanan suara dari sumber bunyi hingga bisa didengar oleh telinga manusia. Tanpa
mengetahui hal itu kita akan kesulitan untuk memahami tentang apa yang disebut penurunan
daya dengar akibat kebisingan (noise induced hearing loss).
Telinga manusia mampu mendeteksi suara-suara dalam rentang frekuensi dan intensitas yang
luas. Respon frekuensi bagi telinga orang muda yang sehat dapat bekerja dalam rentang
antara 20 20.000 Hz. Tingkat intensitas minimum yang dapat diterima telinga pada suatu
frekuensi tertentu disebut ambang dengar. Ambang dengar ini berbeda-beda untuk masingmasing individu bahkan di antara orang yang sama-sama mempunyai kapasitas pendengaran
yang normal sekalipun. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor usia, semakin tua maka
biasanya baru akan timbul setelah tenaga kerja bekerja secara terus menerus di tempat yang
mempunyai intensitas bising tinggi dalam kurun waktu yang lama.
Sumber-sumber kebisingan di tempat kerja umumnya merupakan gabungan dari berbagai
macam komponen sebagai berikut :
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Fluid turbulence
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Temperature difference
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Moving and vibrating parts
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Electrical equipment
Fluid Turbulence
Bising terbentuk oleh getaran yang diakibatkan benturan antar partikel dalam fluida. Bising
seperti ini biasanya terjadi pada :
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pipa penyalur cairan/gas
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Valve
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Outlet pipa
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Gas Exhaust, dll.
Temperature Difference
Bising terbentuk oleh karena adanya pemuaian dan penyusutan fluida. Biasanya terjadi pada :
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Jet
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Flare Boom
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Gas, dll.
Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa contoh intensitas suara yang dikeluarkan oleh
beberapa sumber bunyi dan efeknya terhadap respon telinga manusia.
Decibel (dB)
10
Batas
20
30
Studio broadcasting
40
50
60
Percakapan normal
70
80
85
90
100
110
120
130
140
150
Untuk melindungi tenaga kerja dari kerusakan pendengaran akibat kebisingan maka
ditetapkan suatu Nilai Ambang Batas (NAB) atau Threshold Limit Value (TLV) sebagai pedoman
dalam pengendalian kebisingan di tempat kerja. Nilai Ambang Batas adalah nilai rata-rata dari
tingkat kebisingan tertinggi yang masih dapat diterima oleh telinga tenaga kerja tanpa
mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu kerja tidak lebih dari 8 jam
sehari dan 40 jam seminggu.
Di Indonesia NAB kebisingan tempat kerja ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Tenaga
Kerja nomor 51 tahun 1999 yaitu sebesar 85 dB(A).
Secara luas pengaruh kebisingan pada pendengaran dapat dibagi dalam tiga ketegori, yaitu :
1. Trauma akustik
2. Tuli sementara
3. Tuli permanen
Selain tiga efek tersebut, pengaruh lain akibat terpapar kebisingan adalah suara mendengung
pada telinga yang dikenal dengan tinitus. Efek ini biasanya terjadi pada mekanisme telinga,
bukan pada tingkat analisa otak yang lebih tinggi.
A. Trauma Akustik (Acoustic Trauma)
Trauma akustik berhubungan dengan efek pemaparan tunggal atau pemaparan yang jarang,
biasanya pada peledakan-peladakan alamiah. Selama terjadinya pemaparan jenis ini
intensitas suara yang ekstrim mencapai telinga bagian dalam dan dapat menyebabkan struktur
pada telinga bagian dalam melampaui batas fisiologis dengan rusaknya gendang telinga dan
sel-sel bulu rambut. Akibat ini pada akhirnya secara keseluruhan merusak organ Corti yang
mungkin membutuhkan waktu beberapa bulan untuk kembali menstabilkannya.
Alasan lain mengapa kebisingan impulsif lebih merusak daripada kebisingan yang kontinyu
adalah karena dua buah otot ossicles (otot timpani dan otot stapedius) mempunyai waktu
reaksi 25 m/det untuk kebisingan tinggi. Hal ini jauh lebih lama dari waktu yang dibutuhkan
bagi kebisingan yang paling impulsif sekalipun sehingga menyebabkan tidak adanya proteksi
dari gerakan yang berlebihan pada ossicles. Intensitas kebisingan yang lebih rendah dari yang
menyebabkan trauma akustik juga dapat menimbulkan ketulian jika berlangsung dalam
intensitas dan waktu yang lama.
B. Tuli Sementara (Temporary Threshold Shift)
Hampir setiap rangsangan suara yang diterima oleh telinga akan menghasilkan suatu tingkat
pendengaran yang berbeda. Rangsangan itu akan menghilang tergantung pada lama dan
tingkat pemaparan pada masing-masing individu, bisa dalam beberapa detik, jam, hari bahkan
minggu. Seberapapun lamanya tuli sementara tersebut tetap akan menyebabkan telinga perlu
suatu pemulihan kembali. Selama waktu pemaparan pendek dan dalam interval waktu yang
lama maka tidak akan menyebabkan efek permanen. Sebaliknya jika terpapar kebisingan yang
menyebabkan tuli sementara secara berulang-ulang dalam waktu yang cepat, akan
menyebabkan kerusakan pendengaran yang permanen. Pada umumnya hal ini terjadi pada
tingkat pemaparan kebisingan di atas 90 dB.
Efektifitas suara dalam menyebabkan terjadinya tuli sementara tergantung pada
frekuensinya. Suara-suara dengan frekuensi rendah mempunyai efek bahaya yang kecil. Atau
dengan kata lain semakin tinggi frekuensi paparan suara maka semakin besar kemungkinannya
untuk menyebabkan tuli sementara.
C. Tuli Permanen (Permanent Threshold Shift)
Tuli permanen adalah terjadinya kerusakan pendengaran yang sudah tidak dapat pulih atau
disembuhkan kembali. Selain terjadi secara alami yang disebabkan oleh faktor usia,
penurunan pendengaran juga akan terjadi apabila terus-menerus terpapar pada intensitas
kebisingan yang tinggi. Tuli sementara setelah terpapar bising, dan kemungkinan terjadinya
Tinitus, biasanya merupakan tanda-tanda terjadinya kerusakan pendengaran.
Tinitus bisa disebabkan oleh berbagai sumber bising bahkan dari musik yang sangat keras,
biasanya berlangsung selama beberapa menit atau jam setelah terpapar bising yang tinggi dan
akan hilang setelah berada jauh dari tempat yang bising. Oleh karenanya hal ini sering
diabaikan dan lebih parah lagi biasanya dianggap sebagai bagian dari pekerjaannya.
Kerusakan telinga permanen hampir selalu dimulai dengan menurunnya sensitivitas
pendengaran pada frekuensi 4.000 Hz dan jika terus-menerus terpapar bising maka akan
secara bertahap turun pada frekuensi yang lebih rendah.
Hasil study Kryter dan Ward menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara
ketulian temporer dan ketulian permanen. Beberapa kesimpulan yang bisa dijadikan pedoman
adalah sebagai berikut :
1.
2.
Penaikan secara temporer pada ambang pendengaran adalah sesuai dengan durasi
bising. Sebagai contoh kebisingan 100 dB selama 10 menit akan menghasilkan penaikan
sebesar 16 dB, dan setelah 100 menit meningkat menjadi 32 dB.
3.
Lamanya waktu yang dibutuhkan pendengaran untuk kembali ke normal juga sesuai
dengan intensitas dan durasi bising. Waktu pemulihan adalah sekitar 10 % lebih lama
dibandingkan durasi bising.
4.
Pergantian periode paparan bising dengan yang lebih tenang akan mengurangi
resiko ketulian sementara.
Enam langkah/metode yang biasanya dijadikan pedoman dalam hirarki pengendalian adalah
sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
kerja
6.
Alat pelindung diri (personal protective equipment) --- bagi para pekerja
Pengendalian kebisingan yang paling baik adalah dengan menghilangkan sumber suara
darimana kebisingan tersebut berasal. Akan tetapi karena berbagai alasan biasanya langkah
ini sangat sulit untuk dilakukan. Untuk itu dengan berpedoman pada enam langkah
pengendalian di atas, kebisingan bisa dikendalikan melalui beberapa cara di bawah ini.
Pengendalian pada sumbernya
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Dengan merekasaya ulang (redesign) proses atau penggantian
alat; misalnya menggantian roller dengan conveyor belt, penggunaan mesin-mesin yang tidak
membutuhkan kipas pendingin, atau panggantian pipa-pipa logam dengan yang dari plastik.
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Dengan mengganti bahan-bahan atau proses yang menghasilkan
bising; misalnya pembelian bahan-bahan dengan ukuran yang sudah dipotong sebelumnya
untuk menghilangkan proses pemotongan.
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Dengan modifikasi teknis pada alat-alat dan mesin-mesin yang
sudah terpasang; misalnya pemasangan isolasi atau damping pada bagian yang bergetar,
mengurangi jarak jatuh material, atau penggantian komponen-komponen logam dengan
bahan-bahan yang lebih rendah emisi suaranya.
Pengendalian pada jalan rambat kebisingan
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Pemisahan sumber bising dari pekerja; misalnya pemindahan
ruang generator jauh dari tempat kerja.
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Isolasi peralatan yang bising di ruang kedap suara; misalnya
pompa dan kompresor udara bisa ditempatkan di ruang dengan insulasi suara.
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Isolasi pekerja di ruang kedap suara; misalnya ruang operator
mesin dengan remote-control panel.
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Modifikasi teknis pada peralatan atau bahan-bahan yang
mengeluarkan bising; misalnya pemasangan penghalang kebisingan frekuensi tinggi,
pembuatan alat-alat anti kebisingan atau pemasangan panel-panel penyerap kebisingan pada
dinding atau atap ruangan.
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Pengendalian secara administrasi untuk mengurangi waktu
pemaparan pekerja terhadap kebisingan; misalnya rotasi pekerjaan sehingga tidak ada
pekerja yang terpapar kebisingan melebihi ambang batas.
<!--[if !supportLists]-->
<!--[endif]-->Penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghalangi
rambatan kebisingan pada pekerja; misalnya jika sudah tidak ada langkah-langkah
pengendalian yang mungkin dilakukan maka ear plug atau ear muff menjadi alternatif terakhir
untuk melindungi pekerja dari resiko bahaya kebisingan.
saat bekerja pendengaran juga diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang lain, menerima
telepon, mendeteksi adanya kerusakan pada mesin, dan sebagainya.
Setelah pulang ke rumah, pendengaran juga diperlukan untuk berkomunikasi dengan anggota
keluarga atau masyarakat yang lain, karena hanya dengan berkomunikasi seseorang akan
merasa terlibat dalam suatu komunitas. Manusia juga memerlukan pendengaran untuk bisa
menikmati hidup seperti mendengarkan musik, suara burung, dan sebagainya. Oleh karena
berbagai alasan tersebut maka memiliki pendengaran yang baik menjadi suatu keuntungan
yang tidak ternilai.
Selain itu HCP juga memberikan screening kesehatan, khususnya telinga, bagi pekerja melalui
tes audometri sehingga gejala-gejala atau panyakit-penyakit telinga lain yang bukan
disebabkan paparan bising di tempat kerja juga dapat terdeteksi dan diharapkan dapat
ditangani secara dini.
2. Bagi pengusaha
Keuntungan yang diperoleh pengusaha jika menerapkan HCP dengan efektif secara otomatis
akan terlihat berupa peningkatan produktivitas karena tidak adanya gangguan komunikasi
pada pekerja. Pekerja dengan pendengaran yang baik juga akan lebih peka dan bisa
ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan dimana komunikasi menjadi syarat utama misalnya
operator telepon atau dalam rapat-rapat. HCP yang efektif juga dapat mengurangi angka
kecelakaan dan meningkatkan efisiensi kerja, serta mengurangi stres dan kelelahan akibat
pemaparan kebisingan. Pelaksanaan HCP yang efektif juga akan menciptakan lingkungan kerja
yang sehat dan aman yang bisa meningkatkan citra pengusaha.
Pada akhirnya dalam masalah keuangan, jika seorang pengusaha melaksanakan HCP dengan
efektif maka akan dapat keuntungan ganda yaitu hilangnya biaya pencegahan dan
meningkatnya produktivitas. Untuk memperoleh keuntungan tersebut pada awalnya mungkin
dibutuhkan dana yang besar, namun jika HCP tidak dilaksanakan maka pengusaha akan
mengeluarkan biaya yang mungkin lebih besar guna membayar kompensasi dan premi
asuransi. Atau jika HCP dilaksanakan dengan setengah-setengah dan tidak efektif maka semua
biaya yang dikeluarkan justru akan terbuang percuma.
B. Pelaksanaan HCP
Seperti telah disebutkan diatas, ada lima elemen pokok dalam melaksanakan HCP di
perusahaan. Penekanan terhadap masing-masing elemen kemungkinan berbeda antara
perusahaan satu dengan yang lain tergantung dari fasilitas produksi yang dimilikinya, namun
setiap elemen merupakan bagian esensial bagi suatu program yang efektif.
1. Pendidikan dan latihan
Pendidikan dan latihan merupakan elemen yang sangat penting karena personil HCP dan
pekerja tidak akan berpartisipasi secara aktif dalam pemeliharaan pendengaran jika mereka
tidak mengerti tujuan dan keuntungan dari program tersebut. Pengusaha juga harus
penrubahan status pendengaran akibat kebisingan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan,
seperti penyakit atau dari hobinya, maka hal ini harus didokumentasikan dan segera dilakukan
tindakan koreksi untuk meminimalisir dampaknya di tempat kerja.
VI. P E N U T U P
Akhirnya diharapkan pada seluruh pihak yang terkait untuk bersama-sama menanggulangi
masalah kebisingan terutama dampaknya pada masyarakat umum dan pekerja. Bagi mereka
yang seringkali terpapar pada lingkungan kerja yang bising supaya lebih mematuhi normanorma kesehatan kerja terutama yang berhubungan dengan masalah kebisingan. Hindari
tempat-tempat dengan tingkat kebisingan tinggi dimanapun dan kapanpun bila
memungkinkan. Dengan demikian akan terhindar dari resiko bahaya noise-induced hearing
loss atau gangguan kesehatan akibat terpapar kebisingan yang lain.
Demikian makalah ini disusun sebagai bahan pedoman dalam penatalaksanaan kebisingan di
tempat kerja dan upaya perlindungan pendengaran tenaga kerja, sehingga tercipta
masyarakat pekerja yang produktif dengan derajat kesehatan yang tinggi.
3. Grandjean E, Fitting The Task To The Man, Taylor & Francis, London, 1995
5. Royster, JD and Royster, LH, Hearing Conservation Program-Practical Guidelines for Success, Lewis
Publisher, Michigan, 1990
6. Victorian Occupational Health and Safety Comission, Health and Safety At Work, Melbourne, 1991