Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

TRAUMA THORAKS

Pembimbing:
dr. Sri Nur Bowo, Sp. BTKV, FIHA

Disusun Oleh:
Irma Suryani 112019131
Stevani Sarah Priskila Rumetna 1112019120
Mieke Joseba Istia 112019163
Ema Febrianti Siskanindang Manalu 112019114
Januwar Lukita 112019089
Johannes Romandi Nofian Wawin 112019005

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 23 NOVEMBER 2020 – 30 JANUARI 2021

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA


2020
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi referat dengan judul:


Trauma Thoraks

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 23 November 2020 – 30 Januari 2021

Disusun oleh:
Irma Suryani 112019131
Stevani Sarah Priskila Rumetna 1112019120
Mieke Joseba Istia 112019163
Ema Febrianti Siskanindang Manalu 112019114
Januwar Lukita 112019089
Johannes Romandi Nofian Wawin 112019005

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Sri Nur Bowo, Sp. BTKV, FIHA

Selaku dokter pembimbing Departemen Bedah Saraf RSAU Dr. Esnawan Antariksa

Jakarta, 7 Desember 2020


Pembimbing

dr. Sri Nur Bowo, Sp. BTKV, FIHA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah Referat dengan judul “Trauma Thoraks”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Bedah.
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. Sri
Nur Bowo, Sp. BTKV, FIHA selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar
dalam Kepaniteraan Klinik. Dan kepada para dokter dan staff Ilmu Bedah RSAU Dr.
Esnawan Antariksa, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang
membacanya.

Jakarta, 7 Desember 2020

Penulis
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UKRIDA
LEMBAR PENILAIAN
Irma Suryani 112019131, Stevani Sarah Priskila Rumetna
1112019120, Mieke Joseba Istia 112019163, Ema Febrianti
Nama Siskanindang Manalu 112019114, Januwar Lukita 112019089,
Johannes Romandi Nofian Wawin 112019005

Tanggal 7 Desember 2020


Judul kasus Trauma Thoraks
Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Pengumpulan data          
Analisa masalah          
Penguasaan teori          
Referensi          
Pengambilan keputusan klinis          
Cara penyajian          
Bentuk laporan          
Total  
Nilai %= (Total/35)x100%  
Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik (100%)
 
Komentar penilai

Nama Penilai
Paraf/Stempel

dr. Sri Nur Bowo, Sp. BTKV, FIHA

BAB 1
PENDAHULUAN

Dinding toraks secara anatomis tersusun dari kulit, fasia,otot dada, jurai neurovascular
pada dinding dada, serta kerangka dada. Kerangka dada sendiri terdiri dari sternum, 12
pasang tulang iga beserta tulang rawan iga dan vertebrata torakalis beserta diskus
intervertrebralis. Otot dada terdiri atas dua bagian, yaitu otot instrinsik yang membentuk
dinding dada, serta otot ekstrinsik yang berperan dalam gerakan dada, seperti otot ekstermitas
superior, otot dinding abdomen, dan punggung. Otot instrinsik terdiri dari 3 lapisan, yaitu
lapisan luar, tengah, dan dalam. Lapisan luar tersusun atas m.intercostalis eksternus dan
m.levatores kostarum, lapisan tengah hanya dibentuk oleh m.intercostalis internus, sedangkan
lapisan dalam disusun oleh m.intercostalis intimus, m.subkostalis, dan m.transversus kostalis.

Trauma thorax dapat disebabkan oleh trauma tumpul ataupun trauma tajam. Trauma
dada, yang umumnya berupa trauma tumpul, kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan
lalulintas. Trauma tajam tertama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Trauma thorax
yang memerluan tindakan segera adalah obstruksi jalan napas, hematotoraks besar,
tamponade jantung, pneumothorax desak, flail chest, pneumothoraks terbuka, dan kebocoran
udara trakea bronkus.1

Trauma thorax merupakan urutan ketiga penyebab kematian terbanyak setelah


penyakit kardiovaskular dan kanker. 20-25 % trauma thoraks menjadi penyebab kematian
tertinggi selama empat dekade terakhir.2

Kecelaakaan pada organ thorax sebanyak 20-25 % menyebabkan trauma thoraks, dan
trauma thoraks berkontribusi sebanyak 25-50% menyebabkan kematian. Dari 16,000
kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat penyebabbnya adalah trauma thoraks.3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian bawah lebih besar
dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari pada bagian depan.
Pada rongga toraks terdapat paru-paru dan mediastinum. Mediastinum adalah ruang
didalam rongga dada diantara kedua paru-paru, di dalam rongga toraks terdapat beberapa
sistem diantaranya yaitu; sistem pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak
dalam rongga dada yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan kelenjar
getah bening.4
Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari
sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir dianterior dalam
segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang kosta berfungsi
melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru, hati dan Lien.5
 Kerangka dinding thorax
Kerangka dinding thorax membentuk sangkar dada osteokartilagineus yang
melindungi jantung, paru-paru, dan beberapa organ abdomen (misalnya hepar).
Kerangka toraks terdiri dari : di posterior, terdiri dari 12 vertebra toraksika beserta
discus intervertebralisnya, di lateral dinding tersusun atas tulang costa (12 pasang)
dan 3 lapis musculus pipih yang terletak di spatium intercostale, di antara costae yang
berdekatan untuk menggerakkan costae dan menyangga spatium intercostale. Di
anterior, dinding tersusun dari sternum yang terdiri atas manibrium sterni, corpus
sterni, dan processus xyphoideus.5,6

 Costae
Costae adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung, dan membatasi bagian
terbesar sangkar dada. Tujuh atau delapan kosta pertama disebut costae sejati
(vertebrosternal) karena menghubungkan vertebra dengan sternum melalui kartilago
kostalisnya. Costae VIII sampai costae X adalah costae tak sejati (vertebrokondral)
karena kartilago kostalis tepat diatasnya. Costae XI dan XII adalah costae bebas atau
costae melayang karena ujung kartilago kostalis masing-masing costae berakhir dalam
susunan otot abdomen dorsal.
Cartilago costalis memperpanjang costae kearah ventral dan turut menambah
kelenturan dinding thorax. Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya fraktur pada
sternum atau costae karena benturan. Costae berikut cartilago costalis-nya terpisah
dari satu yang lain oleh spatium intercostale yang berisi muskulus interkostalis, arteria
interkostalis, vena interkostalis, dan nervus intercostalis.
Bagian costae terlemah, terletak tepat ventral terhadap angulus costae. Fraktur
costae umumnya terjadi secara langsung karena benturan, atau secara tidak langsung
karena cedera yang mememarkan. Ruda paksa langsung dapat menyebabkan fraktur
di sembarang tempat pada costae, dan ujung patahan dapat mencederai organ dalam
(misalnya paru-paru dan atau limpa).7
 Sternum
Sternum adalah tulang pipih yang memanjang dan membatasi bagian ventral
sangkar dada. Sternum terdiri dari tiga bagian : manubrium sterni, korpus sterni, dan
processus xyphoideus. Manubrium sterni berbentuk seperti segitiga, terletak setinggi
vertebra T-III dan vertebra T-IV. Corpus sterni berbentuk panjang, sempit, dan lebih
tipis dari manubrium sterni. Bagian ini terletak setinggi vertebra (T-V) - (T-IX).
Processus xyphoideus, bagian sternum terkecil dan paling variabel, berupa tulang
rawan pada orang muda, tetapi pada usia lebih daripada 40 tahun sedikit banyak
menulang.
Fraktur sternum umum terjadi setelah kompresi traumatik pada dinding thorax
(misalnya pada kecelakaan lalu lintas, jika dada pengemudi terdorong pada batang
kemudi). Umumnya korpus sterni yang mengalami fraktur, dan biasanya bersifat
fraktur komunitiva artinya terpecah berkeping-keping. Pemasangan kantong udara
dalam kendaraan otomotif telah menurunkan frekuensi fraktur sternum dan wajah.
Untuk memasuki kavitas torasis pada bedah jantung dan pembuluh besar, sternum
dibelah dalam bidang median. Corpus sterni seringkali dimanfaatkan untuk biopsi
sumsum tulang dengan jarum karena lebarnya dan letaknya yang superfisial.7
 Appertura thoracis
Cavitas thoracis berhubungan dengan leher melalui apertura thoracis superior
yang berbentuk seperti ginjal. Apertura thoracis superior ini yang terletak miring,
dilalui oleh struktur yang memasuki atau meninggalkan cavitas thoracis, yakni
tenggorok (trakea) kerongkongan (esofagus), pembuluh dan saraf.
Cavitas torasis berhubungan dengan abdomen melalui apertura torasis inferior
yang ditutup oleh diafragma. Struktrur-struktur yang berlalu ke dan dari kavitas
torasis, dari dan ke kavitas abdominis melewati diafragma (misalnya vena kava
inferior) atau di belakangnya (misalnya aorta).7
 Otot saraf dan vaskularisasi dinding thorax
Spatium intercostale yang khas berisi tiga lapis muskulus interkostalis. Lapis
paling superfisial dibentuk oleh muskulus intercostalis eksternus, lapis kedua oleh
muskulus intercostalis internus, dan lapis paling profunda oleh muskulus intercostalis
intimus.
Setelah melewati foramen intervertebrale, kedua belas pasang nervus thoracici
terpecah manjadi rami anteriores dan rami posteriores. Rami anteriores nervus
thoracici I-XI membentuk nervus intercostales yang memasuki spatia intercostalia.
Ramus anterior nervus thoracicus XII yang terdapat kaudal dari costa XII, disebut
nervi subcostalis. Rami posteriores melintas ke arah dorsal, tepat lateral dari
processus artikularis vertebra untuk mempersarafi otot, tulang, sendi dan kulit di
punggung.3
Pasokan darah arterial untuk dinding thorax berasal dari: arteria subklavia
melalui arteria thoracica interna dan arteria intercostalis terkranial, arteria aksilaris,
orta melalui arteria intercostalis dan arteria subcostalis.
Vena intercostalis mengiringi arteria intercostalis dan terletak paling dalam
(terkranial) dalam sulcus costa. Di masing-masing sisi terdapat 11 vena intercostalis
posterior dan satu vena subcostalis. Vena intercostalis posterior beranastomosis
dengan vena intercostalis anterior yang merupakan anak cabang vena thoracica
interna. Vena intercostalis terbanyak berakhir dalam vena azygos yang membawa
darah ke venosa ke vena cava inferior.5
 Pleura
Paru-paru masing-masing diliputi oleh sebuah kantong pleura yang terdiri dari
dua selaput serosa yang disebut pleura, yakni pleura parietalis melapisi dinding
thorax, dan pleura viseralis meliputi paru-paru, termasuk permukaannya fisura.
Kavitas pleuralis adalah ruang potensial antara kedua lembar pleura dan berisi
selapis kapiler cairan pleura serosa yang melumasi permukaan pleura dan
memungkinkan lembar-lembar pleura menggeser secara lancar satu terhadap yang
lain pada pernapasan.5
Pleura parietalis melekat pada dinding thorax, mediastinum, dan diafragma.
Pleura parietalis mencakup bagian-bagian berikut:5
o Pleura kostal menutupi permukaan dalam dinding thorax (sternum, cartilage
costalis, costa, musculus intercostalis, membrana intercostalis, dan sisi-sisi
vertebra thoraxika)
o Pleura mediastinal menutupi mediatinum; 3. Pleura diafragmatik menutupi
permukaan torakal diafragma; 4. pleural servikal (cupula pleurae) menjulang
sekitar 3 cm ke dalam leher, dan puncaknya membentuk kubah seperti
mangkuk di atas apeks pulmonis.

B. Definisi Trauma
Trauma thorax adalah luka atau cedera mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan
gawat thorax akut.
Trauma thorax dapat meliputi kerusakan pada dinding dada, vertebra
thoracalis, jantung, paru-paru, aorta thoracalis dan pembuluh darah besar, namun
jarang mengenai esophagus.8

C. Etiologi
 Trauma tembus (tajam)
Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi)
langsung akibat penyebab trauma, terutama akibat tusukan benda tajam (pisau,
kaca, peluru, dsb). Sekitar 10-30% dari trauma tembus memerlukan operasi
torakotomi.9

 Trauma tumpul
Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
Penyebabnya antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera olahraga, dsb.
Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru. <10%
trauma jenis ini memerlukan operasi torakotomi.9

D. Epidemologi

Trauma toraks terjadi hampir pada 50% dari semua kecelakaan. Trauma toraks
berperan pada 25% dari semua kematian akibat trauma dan 25% lainnya berkontribusi
pada morbiditas dan mortalitas.

Insiden dari trauma toraks di Amerika adalah 12 orang bagi setiap 1000 orang
penduduk tiap harinya, dan 20-25% kematian yang disebabkan oleh trauma adalah
disebabkan oleh trauma toraks. Trauma toraks diperkirakan bertanggung jawab atas
16.000 kematian tiap tahunnya di Amerika. Di Indonesia sendiri kejadian kecelakaan lalu
lintas meningkat dalam jumlah maupun jenisnya dengan perkiraan angkat kematiaan 5,1
juta pada tahun 1990 menjadi 8,4 juta pada tahun 2020 atau meningkat sebanyak 65%.10

E. Mekanisme
 Akselarasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma.
Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai
dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan
tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut).
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak;

penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity

(>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang

jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.11

 Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya
terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan
terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti
bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak
terjadi akibat tumbukan pada dinding thorax/rongga tubuh lain atau oleh karena
tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.11
 Torsio dan Rotasi

Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya

deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan

pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat

adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar

dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.11

 Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung

dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh

tubuh melalui penghantaran gelombang energi. Faktor lain yang mempengaruhi:11

a) Sifat jaringan tubuh

Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan

tetapi sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti

adanya fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding

bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan

membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada

wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb.11

b) Lokasi

Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang

menderita kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada

daerah pre-kordial.11

c) Arah trauma

Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan

dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi. Perlu diingat

adanya efek pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti

misalnya: trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan

peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang

terkena sulit diperkirakan. 11

d) Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis

Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya

pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (perdarahan),

pulmonary ventilation/perfusion missmatch (contoh kontusio, hematoma,


kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intrathorax (contoh: tension

pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan

oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau

penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi

dan jaringan (syok).11

F. Gawat Dada Akibat Trauma Toraks


1. Pneumotoraks
Pneumotoraks merupakan penumpukan udara dalam rongga pleura sehingga
timbul kolaps parsial atau total paru – paru. Kalau udara di antara pleura parietalis
dan viseralis berkumpul dan menumpuk maka peningkatan tekanan dalam rongga
pleura dapat menyebabkan kolaps paru yang berlangsung progresif. Udara akan
terperangkap di dalam rongga pleura dan menentukan derajat kolaps paru. Darah
vena yang kembali ke jantung (venous return) dapat terhalang sehingga timbul
keadaan yang dinamakan tension pneumotoraks. Keadaan ini mengancam hidup
pasien.12
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang
pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan
antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan
menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena
darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada
oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang
terkena dan pada perkusi hipersonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis.
Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada
sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis midaksilaris. Sebuah selang dada
dipasang dan dihubungan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto
toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru.
Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada
penderita dengan peneumotoraks traumatic atau pada penderita yang mempunyai
resiko terjadinya dapat menjadi life thereatening tension pneumotorax, terutama
jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan.
Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi / rujuk.13

2. Open Pneumotoraks ( Sucking chest wound )


Open Pneumothorax defek atau luka yang besar pada dinding dada yang
terbuka menyebabkan pneumotorax terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan
segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada
mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui
defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan
trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapnia. Ketika open pneumotoraks terjadi, maka pada sisi yang terkena adan
terdengar sucking chest wound, suara napas menurun, perkusi hipersonor, dan saat
inspirasi bagian yang terkena akan tertinggal.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa steril yang diplester hanya
pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter
type valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah
kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang
dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup
sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic wrap atau Petrolatum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka.13

3. Tension Pneumotoraks

Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki


tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru disebelahnya. Udara memasuki
rongga pleura dari tempat rupture pleura yang bekerja seperti katup satup arah. Udara
dapat memasuki rongga pleura pada saat inspirasi tetapi tidak bisa keluar lagi karena
tempat rupture tersebut akan menutup pada saat ekspirasi. Pada saat inspirasi akan
terdapat lebih banyak udara yang masuk dan tekanan udara mulai melampaui tekanan
baromterik. Peningkatan tekanan udara akan mendorong paru yang dalam keadaan
recolling sehingga terjadi atelektasis kompresi. Udara juga akan menekan
mediastinum sehingga terjadi kompresi serta pergesaran jantung dan pembuluh darah
besar. Udara tidak bisa keluar dan tekanan yang semakin meningkat akibat
penumpukan udara ini menyebabkan kolaps paru. Ketika udara terus menumpuk dan
tekanan intrapleural terus meningkat, mediastinum akan tergesar dari sisi yang
terkena dan aliran balik vena menurun. Keadaan ini mendorong jantung, trakea,
esophagus, dan pembuluh darah besar berpindah ke sisi yang sehat sehingga terjadi
penekanan pada jantung serta paru sisi kontralateral. Tanpa penanganan yang segera,
keadaan kedaruratan ini akan segera berakibat fatal.12

Tension pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks
yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension
pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat
oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai dengan
gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes,
hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan
manifestasi lanjut.14
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik inspeksi akan tampak dispneu yang
berat seperti hampir mati tercekik, dan pada saat di palpasi trakea akan bergeser ke
sisi berlawanan demikian juga iktus cordis. Auskultasi biasanya suara napas hilang.
apabila terdengar, suara napas lemah ‘hollow’ dan amphoris. Coin test (+).
Tension pneumothorax memerlukan dekompresi segera dengan cara menusukan

jarum ukuran besar diruang intercostal kedua pada garis midklavikular di hemithorax

yang sakit. Namun, dengan adanya variasi ketebalan dinding dada pada masing-

masing pasien, kateter yang tertekuk serta komplikasi teknis maupun anatomis,

manuver ini terkadang tidak berhasil.15

4. Hematotoraks
Hematothorax adalah suatu keadaan dimana darah berada dalam pleural space
(ruang antara pleura parietalis dan visceralis). Perdarahan ke dalam pleural space
merupakan akibat dari trauma extrapleural dan intrapleural. Extrapleural dapat
disebabkan oleh trauma dinding dada yang mengenai arteri intercostalis dan
mammaria interna sedangkan intrapleural dapat disebabkan oleh parenkim paru,
namun biasanya sembuh dengan sendirinya karena tekanan pembuluh darah paru
biasanya rendah. Trauma parenkim paru biasanya dibarengi dengan pneumothorax.

Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaiknya diterapi dengan selang dada berukuran besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan
darah di dalam rongga pleura dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah
selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian
terhadap kemungkinan terjadinya rupture diafragma traumatic. Walaupun banyak
faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita
hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang dada
merupakan faktor utama.13

Hemothorax kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurang dari 15% pada
foto Rontgen, cukup diobservasi dan tidak memerlukan tindakan khusus. Hemothorax
sedang, artinya tampak bayangan yang menutup 15-35% pada foto Rontgen, dipungsi
dan penderita diberi transfusi. Pada pungsi sedapat mungkin dikeluarkan semua
cairan. Jika ternyata terjadi kambuhan, perlu dipasang penyalir sekat air. Pada
hemothorax besar (lebih dari 35%) dipasang penyalir sekat air dan diberikan
transfusi.14

Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2
sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah
harus dipertimbangkan.13

Hemotoraks masif ( >750 cc) yang terjadi kurang dari satu jam setelah trauma
adalah indikasi untuk operasi. Sebelum operasi sebaiknya ditentukan organ mana
yang dicurigai sehingga teknik pembedahan dapat disesuaikan. Perdarahan yang
terjadi akibat fraktur iga biasanya tidak banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun
harus tetap diwaspadai akan adanya perdarahan dari arteri interkostalis yang robek.
Monitoring untuk semua kasus perdarahan dalam rongga toraks setelah pemasangan
water sealed drainage (WSD) adalah sebagai berikut:13

 0-3 cc/Kg BB/ jam............................observasi


 >3 - <5 cc/Kg BB/jam……………...observai ketat, bila berturut turut
dalam 3 jam.........operasi
 3-5 cc/Kg BB/jam..................................operasi
Pembagian diatasa didasarkan pada pembagian syok:

Kelas % darah hilang dari total Volume darah dalam cc (volume


volume darah dalam tubuh darah 80cc/kg BB)

I 15 < 750

II 30 75-1500

III 40 2000

IV >40 > 2000

Ligasi arteri interkostalis transtorakal posterior dapat mengakibatkan neuralgia


interkostalis tetapi tindakan ini cukup baik untuk menyelamatkan jiwa sementara.
Tindakan yang terbaik adalah torakotomi dan ligasi arteri interkostalis secara a vue.13

5. Hematoraks Masif

Hemothoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc
di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak
pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat
disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher
dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan
distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik
dari darah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mesdiastinum sehingga
menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher.

Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas
menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal
hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan
bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid
secara cepat dengan jarus besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan
spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam
penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus,
sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang setinggi putting susu, anterior
dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita
mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika
pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut
membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang
keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga
membutuhkan torakotomi.

Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus


sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita
tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk
torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang
dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus
ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau
vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya
torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis putting susu dan
luka di daerah posterior, medial dari scapula harus disadari oleh dokter bahwa
kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh
darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman
dan sudah mendapat latihan.14

6. Flail Chest

Flail chest Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya
fraktur iga multipel berturutan ≥ 3 iga , dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented)
pada tiap iganya. Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak
paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut
akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.16

Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada
dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest
(segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika
kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang
maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail
Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru).
Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari
dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama
disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma
jaringan parunya.

Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan
krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan
lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya
hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest.13

Terapi awal meliputi ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen humidifikasi,


dan resusitasi cairan. Bila tidak dijumpai adanya hipotensi sistemik, pemberian cairan
kristaloid intravena harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi overhidrasi yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan.

Penatalaksanaan definitive meliputi pemberian oksigenasi yang adekuat


pemberian cairan secara seimbang dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi.
Pemberian analgesia dapat dilakukan dengan menggunakan narotika intravena atau
berbagai metode anestesi local yang tidak berpotensi memicu depresi pernapasan
seperti pada pemberian narotika sistemik. Pemilihan anastesi lokal meliputi blok saraf
pada interkosta, intrapleural, ekstrapleural dan epidural. Bila digunakan secara tepat,
anestesi local dapat memberikan manfaat analgesia yang kuat sehingga menurunkan
angka kebutuhan dilakukannya intubasi. Bagaimanapun juga, pencegahan hipoksia
merupakan bagian yang penting dalam penanganan pasien trauma, dimana intubasi
dan ventilasi pada periode waktu yang singkat mungkin diperlukan sampai diagnosis
trauma secara keseluruhan selesai. Penilaian yang teliti akan kecepatan pernafasan,
tekanan oksigen arterial dan kemampuan pernapasan penderita akan menentukan
timing yang tepat untuk dilakukannya intubasi dan ventilasi. 15

7. Temponade Jantung
Tamponade jantung merupakan keadaan meningkatnya tekanan dalam
kantung pericardium yag terjadi dengan cepat dan tidak terkontrol sehingga menekan
jantung, menggangu pengisian diastolik, serta menurunkan curah jantung.
Peningkatan tekanan ini biasanya terjadi karena penumpukan darah atau cairan di
dalam kantung pericardium. Cairan dalam jumlah kecil sekalipun (50 hingga 100 ml)
sudah dapat menimbulkan tamponade yang serius jika penumpukan berlangsung
cepat.

Pada tamponade jantung, penumpukan cairan yang progresif dalam kantung


pericardium menyebabkan penekanan ruang jantung. Penekanan atau kompresi ini
akan menghalangi aliran darah ke dalam ventrikel dan mengurangi jumlah darah yang
dapat dipompa keluar dari dalam jantung pada setiap kontraks. Setiap kali ventrikel
berkontraksi, semakin banyak cairan yang terakumulasi dalan kantung pericardial.
Keadaan ini lebih lanjut akan membatasi jumlah darah yang dapat mengisi ruang
jantung, khususnya ventrikel kiri, selama siklus jantung berikut.

Jumlah cairan yang diperlukan untuk menimbulkan tamponade jantung sangat


bervariasi. Mungkin saja hanya 50 ml ketika cairan menumpuk dengan cepat atau
lebih dari 2 L jika cairan menumpuk dengan perlahan – lahan dan terjadi peregangan
pericardium untuk menyesuaikan diri dengan penumpukan cairan tersebut.12

Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan
tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara
jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik.
Distensi vena leher tidak ditemukan bila penderita mengalami hipovolemia. Pulsus
paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah
sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka
ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus
paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat
darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka
akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan
vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang
sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponande jantung.

PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus
dicurigai adanya temponande jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis,
tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain. Pemeriksaan
USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu
penilaian pericardium, tetapi banyak penelitan yang melaporkan angka negative yang
lebih tinggi yaitu sekitar 50 % (medlinux). Pada penderita trauma tumpul dengan
hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus
dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat
resusitasi. Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita
dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin
ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh
diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan.13

Saat tamponande jantung dicurigai kuat telah terjadi, pemberian awal cairan
intravena bertujuan untuk meningkatkan tekanan vena dan memperbaiki curah
jantung sementara sambil mempersiapkan pembedahan. Perikardiosentesis
subxyphoid dapat dilakukan sebagai manuver sementara dengan menggunakan jarum
yang terbungkus plastik atau teknik Seldinger untuk pemasangan kateter yang
fleksibel, prioritas utama tetap pada upaya melakukan aspirasi darah dari kantung
perikard. Jika tersedia pemeriksaan ultrasound maka instrument ini dapat digunakan
sebagai panduan penusukan jarum menuju ruang pericardial secara akurat.

Aspirasi darah pericardial sendiri dapat membebaskan gejala sementara.


Tetapi, semua pasein dengan tamponande akut dan postif perikardiosentesis akan
memerlukan tindakan bedah untuk pemeriksaan jantung dan repair trauma.
Perikardiosentesis tidak dapat menjadi metode diagnostic maupun teraupetik bila
darah dalam pericardium telah mengalami pembekuan. Persiapan untuk merujuk
pasien menuju fasilitas kesehatan yang tepat untuk terapi definitive perlu segera
dilakukan. Perikardiotomi via torkotomi hanya dapat dilakukan oleh ahli bedah yang
kompeten. 17
BAB 3

KESIMPULAN

Trauma toraks adalah trauma yang mengenai rongga toraks. Trauma toraks
dapat berupa trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma toraks tumpul dapat
berpotensi menimbulkan ancaman bagi saluran pernapasan dan sirkulasi jantung.
Trauma thorax dapat mengancam jiwa apabila tidak didiagnosa sedini mungkin.
Beberapa kegawatan dada pada trauma toraks adalah, penumotoraks, open
pneumotoraks, tension pneumototraks, hematotoraks, hematotoraks massif, flail chest,
dan tamponade jantung. Semua kegawatan dada akibat trauma toraks memiliki
pengangan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsyuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu bedah ed 4 . Jakarta: EGC; 2017.

h.519-23

2. Dongel Isa, Coskun Abuzer, Ozbay Sedat. Management of thoracic trauma in

Emergency service: Analysis of 1139 cases. doi: http://dx.doi.org/10.12669/pjms.291.2704 . 2012

3. Shahani Rohit,MD. Penetrating Chest Trauma.

http://emedicine.medscape.com/article/425698-overview#showall. Updated: Nov 27, 2020.

4. Novi L, Limpeleh H, Monoarfa A. Pola trauma tumpul toraks di instalasi rawat

darurat bedah RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2011-Juni 2012. Jurnal e-

clinic (eCI); Juli 2014 ;2(2).

5. The American College of Surgeon Committee on Trauma. Advanced trauma life

support for doctor.7th ed.USA: American college of surgeon; 2004. p. 111-27.

6. Drake RL, Vogl AW, Mitchel AWM. Gary dasar – dasar anatomi. Indonesia:

Penerbit Elsevier. 2014. h.62-79

7. Punarbawa IWA, Suarjaya PP. Identifikasi awal dan natuan hidup dasar pada

pneumotoraks. [Online]. 2012 [cited 2017 Mey 05]; [18 screens]. Available from URL:

http://www.jmedicalcasereports.com/content/pdf/1752-1947-7-278.pdf

8. Brunicardi F.C. Schwartz’s Principles Of Surgery. Edisi ke Delapan. McGraw-Hill’s,


2004
9. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia.2009. Diakses
dari: www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-I-
Umum.html.p:1 tertanggal 27 November 2020
10. Handoyo CN, Supriyanto E. Profil trauma toraks di ruang rawat inap bedag RSUD
Gambiran periode maret 2017 – maret 2018. Jurnal ilmu kedokteran Kusuma September
2018; 7(2): h.2
11. Hemmila MR. Management of the injuried patient: Current surgical diagnosis &
treatment. USA: The McGraw-Hill companies; 2006
12. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. Buku ajar patofisiologi. 2017: EGC; 2017
13. Rachmad K.B. Penanganan Trauma Toraks. Jakarta: Subbagian Bedah Toraks Bagian

Ilmu Bedah FKUI/RSUPNCM, 2002

14. American Collage of surgeons committee on trauma advanced trauma life support for

doctor 8ed.

15. Syamsyuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu bedah ed 3. Jakarta: EGC; 2010. p. 514-

28.

16. Melendez SL. Rib Fracture. 2012. WebMD [Updated: September 24 th, 2012. Citated
August 23rd, 2013] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/825981-
overview
17. Ferrera PC, Bartfield JM, D’Andrea CC. Outcomes of admitted geriatric trauma victims.
Am J Emerg Med. 2000;18:575-580

Anda mungkin juga menyukai