Anda di halaman 1dari 27

Nilai :

Tanda tangan:

LAPORAN KASUS
Katarak Senilis Imatur OD

Pembimbing :
dr. Dian Mulyawarman, Sp.M

Disusun Oleh :
Christy Cahya Resky Dampung (112018041)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 3 AGUSTUS – 5 SEPTEMBER 2020
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA

1
LEMBAR PENILAIAN

Nama Christy Cahya Resky Dampung


NIM  112018041
Tanggal  3 September 2020
Judul kasus Katarak Senilis Imatur OD
Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Pengumpulan data          
Analisa masalah          
Penguasaan teori          
Referensi          
Pengambilan keputusan klinis          
Cara penyajian          
Bentuk laporan          
Total  
Nilai %= (Total/35)x100%  
Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik (100%)
 
Komentar penilai

Nama Penilai Paraf/Stempel

2
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul:

Katarak Senilis Imatur OD

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik


Ilmu Penyakit Mata RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 3 Agustus – 5 September 2020

Disusun Oleh:
Christy Cahya Resky Dampung
112018041

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Dian Mulyawarman, Sp.M sebagai dokter pembimbing
Departement Mata RSAU Dr. Esnawan Antariksa

Jakarta, 3 September 2020


Pembimbing

dr. Dian Mulyawarman, Sp.M

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………..……………1


LEMBAR PENILAIAN ……………………………………………….…………...2
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………….…………..3
DAFTAR ISI …………………………………………………………….………….4
LAPORAN KASUS ……………………………………………………….………..5
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….……………..12
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………...27

4
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. TerusanArjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / TanggalUjian / Presentasi Kasus: 3 September 2020
SMF ILMU PENAKIT MATA
RSAU dr. EsnawanAntariksa

Nama : Christy Cahya Resky Dampung TandaTangan

NIM : 112018041 ……………….

Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Dian Mulyawarman, Sp.M ……………….

I. IDENTITAS
Nama : Ny. R
Umur : 66 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan PEMDA
Alamat : Jln. Kosambi
Tanggal pemeriksaan : 18 Agustus 2020

II. ANAMNESIS
Auto Anamnesis tanggal : 18 Agustus 2020

Keluhan Utama :
Mata kanan terasa buram sejak 6 bulan SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Seorang perempuan berusia 66 tahun datang ke Poli Mata dengan keluhan
pandangan mata sebelah kanan buram seperti berkabut sejak 6 bulan SMRS. Pasien
mengatakan pandangan buram dirasakannya timbul secara perlahan-lahan. Pasien

5
mengatakan sulit untuk melihat warna gelap seperti warna hitam dan biru tua, pasien
hanya bisa melihat warna yang cerah. Pasien juga mengatakan mata terasa silau dan
kadang-kadang berair. Pasien menyangkal adanya perih dimata, sakit kepala dan
pusing.
4 bulan SMRS, pasien pernah berobat ke poli mata dan di diagnosis Katarak
Immatur OD. Pasien mengatakan bahwa ia menggunakan kacamata baca selama 5
tahun SMRS dengan ukuran lensa kacamata kanan dan kiri +3,00 dan diberi terapi
berupa cartalent dan vitrolenta eye drops. Pasien memiliki riwayat penyakit DM,
hipertensi, dan jantung sejak 10 tahun SMRS, kemudian pasien juga mengalami
pengapuran tulang belakang sejak 2 tahun SMRS. Namun hal ini terkontrol dengan
pengobatan setiap bulannya berupa metformin, aspilet.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Hipertensi : Ya, 10 th yll
- DM : Ya, 10 th yll
- Jantung : Ya, 10 th yll
- Asma : Disangkal
- Trauma Mata : Disangkal
- Operasi mata : Disangkal
- Katarak : Disangkal
- Pengapuran tulang belakang : Ya, 2 th yll

Riwayat Alergi :
Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Hipertensi : Ayah
- DM : Ayah dan suami pasien
- Jantung : Ayah
- Asma : Disangkal
- Katarak : Disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis

6
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80x /menit
Suhu : 36,0°C
Laju pernafasan : 20x /menit

Kepala : Normocephal, tidak terdapat deformitas


Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Leher : KGB tidak mengalami pembesaran

Thorax
Jantung : Tidak dilakukan pemeriksaan
Paru : Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan


Ekstremitas : Hangat, edema -/-

b. Status oftalmologis

KETERANGAN OD OS
1. VISUS
Tajam penglihatan 2/60 ph tetap 6/12 ph tetap
Koreksi (-) (-)
Addisi S + 3.00 S + 3.00
2. KEDUDUKAN BOLA MATA
Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada
Endoftalmus Tidak ada Tidak ada
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Gerakan mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
3. SUPRA SILIA
Warna Hitam Hitam

7
Letak Simetris Simetris
4. PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR
Edema Tidak Ada Tidak Ada
Nyeri tekan Tidak Ada Tidak Ada
Ektropion Tidak Ada Tidak Ada
Entropion Tidak Ada Tidak Ada
Blefarospasme Tidak Ada Tidak Ada
Trikiasis Tidak Ada Tidak Ada
Sikatriks Tidak Ada Tidak Ada
Hordeolum Tidak Ada Tidak Ada
Kalazion Tidak Ada Tidak Ada
Ptosis Tidak Ada Tidak Ada
5. KONJUNGTIVA TARSAL SUPERIOR DAN INFERIOR
Hiperemis Tidak Ada Tidak Ada
Folikel Tidak Ada Tidak Ada
Papil Tidak Ada Tidak Ada
Sikatriks Tidak Ada Tidak Ada
Anemia Tidak Ada Tidak Ada
Kemosis Tidak Ada Tidak Ada
6. KONJUNGTIVA BULBI
Injeksi konjungtiva Tidak Ada Tidak Ada
Injeksi siliar Tidak Ada Tidak Ada
Perdarahan subkonjungtiva Tidak Ada Tidak Ada
Pterigium Tidak Ada Tidak Ada
Pinguekula Tidak Ada Tidak Ada
Nervus pigmentosus Tidak Ada Tidak Ada
7. SKLERA
Warna Putih Putih
Ikterik Tidak Ada Tidak Ada
8. KORNEA

8
Kejernihan Jernih Jernih
Permukaan Licin Licin
Sensibilitas Baik Baik
Infiltrat Tidak ada Tidak ada
Ulkus Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Arkus senilis Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
9. BILIK MATA DEPAN
Kedalaman Dalam Dalam
Kejernihan Jernih Jernih
Hifema Tidak ada Tidak ada
Hipopion Tidak ada Tidak ada
Efek Tyndall Tidak ada Tidak ada
10. IRIS
Warna Coklat Coklat
Bentuk Bulat Bulat
Sinekia Tidak ada Tidak ada
Koloboma Tidak ada Tidak ada
11. PUPIL
Letak Sentral Sentral
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran ±2 mm ±2 mm
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak langsung + +
12. LENSA
Kejernihan Keruh Jernih
Letak Ditengah Ditengah
Tes shadow Negatif Negatif

13. BADAN KACA

Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

9
14. FUNDUS OKULI

Batas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ekskavasio Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ratio Arteri : Vena Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C/D Ratio Tidak dilakukan Tidak dilakukan

MakulaLutea Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Eksudat Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sikatriks Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ablasio Tidak dilakukan Tidak dilakukan

15. PALPASI

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Massa tumor Tidak ada Tidak ada

Non Contact Tonometers 12 mmHg 10 mmHg

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

V. RESUME

Os perempuan usia 66 tahun dengan keluhan penglihatan kanan (OD) buram


sejak 6 bulan SMRS. Pasien mengatakan pandangan buram yang timbul perlahan-
lahan, sulit melihat warna gelap seperti warna hitam dan biru tua, mata terasa silau
dan kadang-kadang berair. Pasien sebelumnya pernah didiagnosis OD Katarak
Immatur sejak 4 bulan SMRS. Selain itu juga memiliki riwayat penyakit DM,
hipertensi, jantung dan pengapuran tulang belakang. Saat ini pasien menggunakan
kacamata baca ODS +3,00.
Pada pemeriksaan status oftamologis didapatkan tajam penglihatan OD 2/60 ph
tetap, OS 6/12 ph tetap, addisi S +3.00. Pada pemeriksaan lensa OD keruh dan OS

10
jernih, shadow test OD (-) dan OS (-). Pada pemeriksaan tekanan bola mata dengan
tonometri non kontak OD 12 mmHg, OS 10 mmHg.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Katarak Senilis Imatur OD

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Katarak Senilis Matur
 Katarak Diabetes

VIII. PENATALAKSANAAN

 Cendo lyteers 4x1 gtt ODS

 Rencana Operasi

IX. PROGNOSIS

OD OS

Ad Vitam : Bonam Bonam


Ad Functionam : ad bonam ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam ad bonam

11
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Katarak berasal dari Yunani “katarrhakies”, Inggris “cataract”, dan Latin
“cataracta” yang berarti air terjun. Di Indonesia, katarak disebut bular yaitu penglihatan
seperti tertutup air terjun akibat lensa keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan
pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi
protein lensa terjadi akibat kedua-duanya.1
Katarak merupakan perubahan kondisi penglihatan disebabkan oleh lensa yang
mengeruh. Lensa merupakan salah satu media refraksi yang berbentuk bikonfeks dan
berfungsi untuk memfokuskan cahaya yang masuk ke mata agar bisa sampai ke makula.
Kekuatan lensa adalah 10- 20 dioptri tergantung kepada kekuatan akomodasi.2

2. Anatomi
Lensa adalah bagian dari bola mata yang berbentuk bikonveks, avaskular,
transparan, terletak di belakang iris dan di depan vitreus, ditopang oleh Zonula Zinii
yang melekat ke korpus siliaris.3

Gambar 1. Anatomi Bola Mata3


Lensa terdiri dari kapsul, epitel, korteks, dan nukleus. Kapsul lensa yang bersifat
elastik berfungsi untuk mengubah bentuk lensa pada proses akomodasi.3

12
Gambar 2. Anatomi lensa3

3. Etiologi
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meneyebabkan terjadinya katarak 1,4:
 Usia lanjut diatas 50 tahun
 Riwayat keluarga
 Dapat disebabkan oleh penyakit mata lain (misal : glaukoma, uveitis, trauma)
 Kelainan sistemik (misal : Diabetes Mellitus)
 Pemakaian tetes mata steroid secara rutin
 Kebiasaan merokok
 Paparan sinar ultraviolet

4. Epidemiologi
Penelitian yang dilakukan M Nizar Syafri Hamidi (2017) di Poli Mata RSUD
Bangkinang dari 30 responden menunjukkan bahaya yang mengalami katarak senilis
sebanyak 22 orang diantaranya dengan diabetes melitus 20 orang (66,7%), riwayat
keluarga dengan katarak 17 orang (56,7%), merokok sebanyak 21 orang (70%), terpapar
sinar ultraviolet sebanyak 23 orang (76,7%).5
Katarak di Indonesia hasil survei dengan menggunakan metode Rapid Assessment
of Avoidable Blidness yang baru dilakukan di 3 provinsi (NTB, Jabar dan Sulsel) tahun
2013-2014 didapatkan prevalensi katarak pada masyarakat usia >50 tahun rata-rata di 3
povinsi tersebut adalah 3,2% dengan penyebab utama adalah katarak (71%). Angka
kejadian Katarak di Sumatera Barat berdasarkan RISKESDAS 2013 yaitu sebesar 2,3%.
Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan kasus katarak dari tahun ke tahun.5

13
Sedikitnya 5 sampai 10 juta pasien memiliki gangguan penglihatan katarak setiap
tahunnya dengan metode teknik bedah modern menghasilkan 100.000 sampai 200.000
buta pada mata. Katarak senilis merupakan penyebab utama gangguan penglihatan pada
orang tua.6

5. Patogenesis
Patogenesis katarak belum sepenuhnya diketahui. Walaupun demikian, pada lensa
katarak secara karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang menghamburkan
berkas cahaya dan mengurangi transparansinya. Perubahan protein lainnya akan
mengakibatkan perubahan warna lensa menjadi kuning atau coklat. Temuan tambahan
mungkin berupa vesikel diantara serat-serat lensa atau migrasi sel epitel dan pembesaran
sel epitel yang menyimpang. Sejumlah faktor yang diduga berperan dalam terbentuknya
katarak, antara lain kerusakan oksidatif (dari proses radikal bebas), sinar ultraviolet dan
malnutrisi.7

6. Klasifikasi Katarak
Berdasarkan etiologinya, katarak dibagi menjadi:
1. Menurut usia, katarak dibagi menjadi :
a. Katarak Kongenital
Katarak ini dimulai sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang
dari 1 tahun. Katarak kongenital adalah katarak yang didapat sejak lahir di mana
sepertiga dari seluruh kasus adalah diturunkan, sepertiga lagi akibat penyakit
sistemik dan sisanya merupakan kasus idiopatik.1,2
b. Katarak Juvenil
Katarak juvenil adalah katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda,
yang mulai terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan.
Katarak juvenil merupakan kelanjutan dari katarak kongenital. Katarak juvenill
biasanya merupakan penyulit penyakit sistemik ataupun metabolik dan penyakit
lainnya seperti katarak metabolik, otot, katarak traumatik, katarak komplikata,
kelainan kongenital lain, dan katarak radiasi.8
c. Katarak Senilis
Katarak senilis merupakan kekeruhan lensa mata yang terjadi karena faktor usia.
Biasanya terjadi pada usai diatas 50 tahun. Gangguan ini ditandai dengan
adanya penebalan progresif secara bertahap dari lensa mata. Katarak senilis

14
merupakan salah satu penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan di
dunia.6

Berdasarkan lokasi kekeruhannya, katarak senilis dibagi menjadi 3:


 Katarak nuklearis. Katarak ini ditandai dengan kekeruhan sentral dan perubahan
warna lensa menjadi kuning atau cokelat secara progresif perlahan-lahan yang
mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Derajat kekeruhan lensa dapat
dinilai menggunakan slitlamp. Katarak jenis ini biasanya terjadi bilateral, namun
dapat juga asimetris. Perubahan warna mengakibatkan penderita sulit untuk
membedakan corak warna. Katarak nuklearis secara khas lebih mengganggu
gangguan penglihatan jauh daripada penglihatan dekat. Nukleus lensa
mengalami pengerasan progresif yang menyebabkan naiknya indeks refraksi,
dinamai miopisasi. Miopisasi menyebabkan penderita presbiopia dapat
membaca dekat tanpa harus mengenakan kacamata, kondisi ini disebut sebagai
second sight.

Gambar 3. Katarak nuklearis3


 Katarak kortikal. Katarak ini berhubungan dengan proses oksidasi dan
presipitasi protein pada sel-sel serat lensa. Katarak jenis ini biasanya bilateral,
asimetris, dan menimbulkan gejala silau jika melihat ke arah sumber cahaya.
Tahap penurunan penglihatan bervariasi dari lambat hingga cepat. Pemeriksaan
slitlamp berfungsi untuk melihat ada tidaknya vakuola degenerasi hidropik yang
merupakan degenerasi epitel posterior, dan menyebabkan lensa mengalami
elongasi ke anterior dengan gambaran seperti embun.

15
Gambar 4. Katarak Kortikal
 Katarak subkapsuler. Katarak ini dapat terjadi di subkapsuler anterior dan
posterior. Pemeriksaannya menggunakan slitlamp dan dapat ditemukan
kekeruhan seperti plak di korteks subkapsuler posterior. Gejalanya adalah silau,
penglihatan buruk pada tempat terang, dan penglihatan dekat lebih terganggu
daripada penglihatan jauh.

Gambar 5. Katarak subskapuler posterior3


Menurut derajat kekeruhan, katarak senilis dibagi menjadi :
 Katarak insipien. Pada stadium ini kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk
jeriji menuju korteks anterior dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai
terlihat didalam korteks. Katarak subcapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat
anterior subkapsular, celah terbentuk antara serat lensa dan korteks berisi
jaringan degenerative (benda Morgagni) pada katarak insipien. Kekeruhan ini
dapat menimbulkan polipia lensa oleh karena indeks refraksi yang tidak sama
pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang menetap untuk waktu lama.
Katarak insipien visus biasanya >6/60.1,3
 Katarak intumesen. Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa
yang degeneratif menyerap air. Masuknya air kedalam celah lensa
mengakibatkan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris
sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding dengan keadaan normal.

16
Pencembungan lensa ini akan dapat memberikan penyulit glaukoma akut.
Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan
mengakibatkan miopia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks
hingga lensa akan mencembung dan daya biasnya akan bertambah, yang
memberikan miopisasi. Pada pemeriksaan slitlamp terlihat vakuol pada lensa
disertai peregangan jarak lamen serat lensa.1
 Katarak imatur. Sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak yang belum
mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambah volume
lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif. Pada
keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil sehingga
terjadi glaukoma sekunder. Visus mulai menurun menjadi 5/60 sampai 1/60.1,3
 Katarak matur. Pada katarak ini kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa.
Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila katarak
intumesen atau imatur tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar,
sehingga lensa akan kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan
seluruh lensa yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata
depan akan berukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris
pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negatif. Visus menurun
drastis menjadi 1/300 atau hanya dapat melihat lambaian tangan dalam jarak 1
meter.1,3
 Katarak hipermatur. Katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat
menjadi keras atau lembek dan mencair. Mata lensa yang berdegenerasi keluar
dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering.
Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-
kadang pengkerutan berjalan terus sehingga hubungan dengan zonula zinn
menjadi kendor. Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang
tebal maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks
akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nucleus
yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini disebut
sebagai katarak morgagni. Komplikasi lain yang didapat adalah glaukoma
vakuolitik, uveitis, subluksasi lensa, luksasi lensa, dislokasi lensa. Visus sudah
sangat menurun hingga bias mencapai 0.1,3

17
Gambar 6. Perbedaan stadium katarak senilis1

Menurut Buratto, tingkat kekerasan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi
lima grade yaitu9 :
 Grade 1 : Nukleus lunak. Ditandai dengan visus yang masih lebih baik dari
6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan, dan refleks
fundus juga masih dengan mudah diperoleh.
 Grade 2: Nukleus dengan kekerasan ringan. Ditandai oleh nukleus yang mulai
sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30 dan
refleks fundus juga masih mudah diperoleh.
 Grade 3 : Nukleus dengan kekerasan sedang. Ditandai nukleus tampak berwarna
kuning disertai dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan, visus
biasanya antara 3/60 sampai 6/30.
 Grade 4 : Nukleus keras. Ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning
kecoklatan, visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60, refleks fundus dan keadaan
fundus sudah sulit dinilai, usia penderita biasanya sudah lebih dari 65 tahun.
 Grade 5 : Nukleus sangat keras. Ditandai dengan nukleus berwarna coklat
hingga kehitaman, visus biasanya kurang dari 1/60.
2. Menurut trauma, terdapat katarak sekunder. Katarak ini terjadi akibat terbentuknya
jaringan fibrosis pada sisa lensa yang tertinggal, paling cepat keadaan ini terlihat
sesudah 2 hari ECCE. Selain itu ada katarak komplikata yang diakibatkan juga oleh
trauma dan pasca bedah mata.1

18
3. Menurut hubungan dengan metabolik yaitu katarak diabetes yang terjadi karena ada
riwayat penyakit Diabetes Melitus (DM). Pada lensa akan terlihat kekeruhan tebaran
salju subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan. Diperlukan pemeriksaan
tes urine dan pengukuran gula darah puasa. Selain itu adapun katarak komplikata
yang berhubungan dengan penyakit sistemik endoktrin (DM) dan penyakit mata lain
seperti radang dan proses degenerasi seperti ablasi retina, retinitis pigmentosa,
glaukoma, tumor intra okular, iskemia okular, nekrosis anterior segmen, buftalmos.1

7. Manifestasi Klinis
Pada pasien katarak, keluhan dapat berupa 1:
 Merasa silau
 Berkabut, berasap
 Sukar melihat dimalam hari atau penerangan redup
 Melihat ganda
 Melihat warna terganggu
 Melihat halo disekitar sinar
 Penglihatan menurun

8. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis pasien didapat dari keluhan yang dialami pasien berupa rasa silau,
penglihatan berkabut/berasap, sukar melihat dimalam hari atau penerangan redup,
penglihatan ganda, melihat warna terganggu, melihat halo disekitar sinar dan
penglihatan menurun. Biasanya disertai dengan adanya faktor risiko yang
melatarbelakangi terjadinya katarak yaitu usia lanjut diatas 50 tahun, adanya riwayat
keluarga yang menderita katarak, dapat disebabkan oleh penyakit mata lain (misal :
glaukoma, uveitis, trauma), kelainan sistemik (misal : DM), penggunaan obat tetes
mata steroid secara rutin, adanya kebiasaan merokok dan paparan sinar Ultraviolet.1,4
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak adalah pemeriksaan sinar celah
(slitlamp), funduskopi pada kedua mata bila memungkinkan, tonometri selain
daripada pemeriksaan prabedah yang diperlukan lainnya seperti adanya infeksi pada
kelopak mata, konjungtiva, karena dapat penyulit yang berat berupa panoftalmitis

19
pascabedah dan fisis umum. Pada katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan tajam
penglihatan sebelum dilakukan pembedahan untuk melihat apakah kekeruhan
sebanding dengan penurunan penglihatan.1 Pemeriksaan tajam penglihatan
didapatkan hasil visus yang menurun dan tidak membaik dengan pemberian pinhole.
Hasil pemeriksaan shadow test positif (+) dan terdapat kekeruhan lensa yang dapat
dilihat dengan jelas dengan teknik pemeriksaan jauh (dari jarak 30 cm)
menggunakan oftalmoskop sehingga didapatkan kekeruhan pada lensa. Teknik ini
dilakukan lebih mudah dengan meneteskan tetes mata tropikamid 0.5 % untuk
dilatasi pupil atau memeriksa pasien di ruang gelap.10
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak diperlukan pada katarak.10

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan katarak adalah dilakukan tindakan pembedahan. Setelah
pembedahan lensa akan diganti dengan kacamata afakia, lensa kontak atau lensa tanam
intraokular.1
 Operasi katarak Ekstrakapsular/ Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE)
Metode yang umum dipilih untuk katarak dewasa atau anak besar adalah
meninggalkan bagian posterior kapsul lensa sehingga dikenal sebagai ekstraksi
katarak ekstrakapsular. Penanaman lensa intraokular merupakan bagian dari
tindakan ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, bagian superior atau
temporal. Dibuat sebuah saluran pada kapsul anterior dan nukleus serta korteks lensa
diangkat. Kemudian lensa intraokular ditempatkan pada kantung kapsular yang
sudah kosong, disangga oleh kapsul posterior yang utuh. Pada tindakan ini bentuk
ekspresi nukleus, nukleus lensa dikeluarkan dalam keadaan utuh, tetapi tindakan ini
memerlukan insisi yang relatif besar. Korteks lensa disingkirkan dengan
penghisapan manual atau otomatis.7
 Fakoemulsifikasi (PHACO)
Merupakan teknik ekstraksi katarak ekstrakapsular yang paling sering digunakan.
Teknik ini menggunakan vibrator ultrasonik genggam untuk menghancurkan
nukleus yang keras hingga substansi nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui
suatu insisi berukuran sekitar 3 mm. Ukuran insisi tersebut cukup untuk
memasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat (foldable intraocular lens). Jika

20
lensanya kaku insisi dilebarkan menjadi 5 mm. Keuntungan insisi ini adalah kondisi
intraoperasi lebih terkendali, menghindari penjahitan, perbaikan luka yang lebih
cepat dengan derajat distorsi kornea yang lebih rendah, dan mengurangi peradangan
intraokular pascaoperasi yang dapat berakibat pada rehabilitasi penglihatan yang
lebih singkat. Teknik ini memiliki risiko tinggi terjadinya pergeseran materi nukleus
nukleus ke posterior melalui robekan kapsul posterior dimana memerlukan tindakan
bedah vitreoretina yang kompleks.7 Teknik Fakoemulsifikasi menghasilkan
komplikasi yang berhubungan dengan luka operasi yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan tehnik yang memerlukan insisi yang lebih besar seperti SICS,
penyembuhan luka juga bisa lebih cepat, dan rehabilitasi visual yang lebih cepat,
akan tetapi teknik PHACO ini kurang efektif pada pasien katarak senilis yang padat
(katarak senilis matur padat), sehingga metode SICS menjadi pilihan selanjutnya.11
 Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Teknik ECCE telah dikembangkan menjadi suatu teknik operasi dengan irisan
sangat kecil (7-8 mm) dan hampir tidak memerlukan jahitan, teknik ini dinamai
SICS. Oleh karena irisan yang sangat kecil, penyembuhan relatif lebih cepat dan
risiko astigmatisma lebih kecil dibandingkan ECCE konvensional. SICS dapat
mengeluarkan nukleus lensa secara utuh atau dihancurkan. Teknik ini populer di
negara berkembang karena tidak membutuhkan peralatan fakoemulsifikasi yang
mahal, dilakukan dengan anestesi topikal, dan bisa dipakai pada kasus nukleus yang
padat. Beberapa indikasi SICS adalah sklerosis nukleus derajat II dan III, katarak
subkapsuler posterior, dan awal katarak kortikal.3
 Operasi katarak Intra Kapsular/ Intra Capsular Catarac Extraction (ICCE)
Suatu tindakan mengangkat seluruh lensa berikut kapsulnya jarang dilakukan pada
saat ini. Insiden terjadinya ablasio retina pascaoperasi jauh lebih tinggi dengan
tindakan ini dibandingkan dengan pascabedah ekstrakapsular. Namun bedah
intracapsular tetap merupakan suatu prosedur yang berguna khususnya bila tidak
tersedia fasilitas untuk melakukan bedah ekstrakapsular.7
Adapun perawatan pascaoperasi yang bila digunakan teknik insisi kecil, masa
penyembuhan pascaoperasi biasanya lebih pendek. Pasien biasanya pulang setelah
operasi, namun dianjurkan bergerak dengan hati-hati dan menghindari peregangan
atau mengangkat benda berat selama kurang lebih satu bulan. Mata dibalut di hari
operasi. Disarankan menggunakan pelindung logam dimalam hari. Kacamata

21
digunakan beberapa hari setelah operasi, namun kebanyakan dapat melihat dengan
lensa intraokular sambal menunggu kacamata permanen (disediakan 4-8 minggu
setelah operasi).7

Terdapat beberapa indikasi dilakukannya pembedahan 8:


 Indikasi Optik. Merupakan indikasi terbanyak dari pembedahan katarak. Jika
penurunan dari tajam penglihatan pasien telah menurun hingga mengganggu
kegiatan sehari-hari, maka operasi katarak bisa dilakukan.
 Indikasi Medis. Pada beberapa keadaan di bawah ini, katarak perlu dioperasi
segera, bahkan jika prognosis kembalinya penglihatan kurang baik, diantaranya
katarak hipermatur, glaukoma sekunder, uveitis sekunder,
dislokasi/Subluksasio lensa, benda asing intra-lentikuler, retinopati diabetika
dan ablasio retina.
 Indikasi Kosmetik. Jika penglihatan hilang sama sekali akibat kelainan retina
atau nervus optikus, namun kekeruhan katarak secara kosmetik tidak dapat
diterima, misalnya pada pasien muda atau dewasa, maka operasi katarak dapat
dilakukan hanya untuk membuat pupil tampak hitam meskipun pengelihatan
tidak akan kembali.

10. Komplikasi
Komplikasi katarak dapat terjadi selama operasi maupun setelah operasi.
a. Komplikasi selama operasi3
 Pendangkalan kamera okuli anterior. Pada saat operasi katarak, pendangkalan
kamera okuli anterior (KOA) dapat terjadi karena cairan yang masuk ke KOA
tidak cukup, kebocoran melalui insisi yang terlalu besar, tekanan dari luar bola
mata, tekanan vitreus positif, efusi suprakoroid, atau perdarahan suprakoroid.
Jika saat operasi ditemukan pendangkalan KOA, hal pertama yang harus
dilakukan adalah mengurangi aspirasi, meninggikan botol cairan infus, dan
mengecek insisi. Bila insisi terlalu besar, dapat dijahit jika perlu. Tekanan dari
luar bola mata dapat dikurangi dengan mengatur ulang spekulum kelopak mata.
Hal berikutnya adalah menilai tekanan vitreus tinggi dengan melihat apakah
pasien obesitas, bull-necked, penderita PPOK, cemas, atau melakukan manuver
Valsava. Pasien obesitas sebaiknya diposisikan antitrendelenburg.

22
 Posterior Capsule Rupture (PCR), dengan atau tanpa vitreous loss adalah
komplikasi intraoperatif yang sering terjadi. Studi di Hawaii menyatakan bahwa
0,68% pasien mengalami PCR dan vitreous loss selama prosedur
fakoemulsifikasi. Beberapa faktor risiko PCR adalah miosis, KOA dangkal,
pseudoeksfoliasi, floppy iris syndrome, dan zonulopati. Apabila terjadi PCR,
sebaiknya lakukan vitrektomi anterior untuk mencegah komplikasi yang lebih
berat. PCR berhubungan dengan meningkatnya risiko cystoid macular edema,
ablasio retina, uveitis, glaukoma, dislokasi LIO, dan endoftalmitis postoperatif
katarak.
 Nucleus drop. Salah satu komplikasi teknik fakoemulsifikasi yang paling
ditakutkan adalah nucleus drop, yaitu jatuhnya seluruh atau bagian nukleus
lensa ke dalam rongga vitreus. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, lensa
yang tertinggal dapat menyebabkan peradangan intraokular berat, dekompensasi
endotel, glaukoma sekunder, ablasio retina, nyeri, bahkan kebutaan. Sebuah
studi di Malaysia melaporkan insidensi nucleus drop pasca fakoemulsifikasi
sebesar 1,84%. Faktor risiko nucleus drop meliputi katarak yang keras, katarak
polar posterior, miopia tinggi, dan mata dengan riwayat vitrektomi.
b. Komplikasi setelah operasi 3
 Edema kornea. Edema stromal atau epitelial dapat terjadi segera setelah operasi
katarak. Kombinasi dari trauma mekanik, waktu operasi yang lama, trauma
kimia, radang, atau peningkatantekanan intraokular (TIO), dapat menyebabkan
edema kornea. Pada umumnya, edema akan hilang dalam 4 sampai 6 minggu.
Jika kornea tepi masih jernih, maka edema kornea akan menghilang. Edema
kornea yang menetap sampai lebih dari 3 bulan biasanya membutuhkan
keratoplasti tembus.
 Perdarahan. Komplikasi perdarahan pasca operasi katarak antara lain perdarahan
retrobulbar, perdarahan atau efusi suprakoroid, dan hifema. Pada pasien-pasien
dengan terapi antikoagulan atau antiplatelet, risiko perdarahan suprakoroid dan
efusi suprakoroid tidak meningkat. Sebagai tambahan, penelitian lain
membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan risiko perdarahan antara
kelompok yang menghentikan dan yang melanjutkan terapi antikoagulan
sebelum operasi katarak.

23
 Glaukoma sekunder. Bahan viskoelastik hialuronat yang tertinggal di dalam
KOA pasca operasi katarak dapat meningkatkan tekanan intraokular (TIO),
peningkatan TIO ringan bisa terjadi 4 sampai 6 jam setelah operasi, umumnya
dapat hilang sendiri dan tidak memerlukan terapi anti glaukoma, sebaliknya jika
peningkatan TIO menetap, diperlukan terapi antiglaukoma. Glaukoma sekunder
dapat berupa glaukoma sudut terbuka dan tertutup. Beberapa penyebab
glaukoma sekunder sudut terbuka adalah hifema, TASS, endoftalmitis, serta sisa
masa lensa. Penyebab glaukoma sekunder sudut tertutup adalah blok pupil, blok
siliar, glaukoma neovaskuler, dan sinekia anterior perifer.
 Uveitis kronik. Inflamasi normal akan menghilang setelah 3 sampai 4 minggu
operasi katarak dengan pemakaian steroid topikal. Inflamasi yang menetap
lebih dari 4 minggu, didukung dengan penemuan keratik presipitat
granulomatosa yang terkadang disertai hipopion, dinamai uveitis kronik.
Kondisi seperti malposisi LIO, vitreus inkarserata, dan fragmen lensa yang
tertinggal, menjadi penyebab uveitis kronik. Tatalaksana meliputi injeksi
antibiotik intravitreal dan operasi perbaikan posisi LIO, vitreus inkarserata, serta
pengambilan fragmen lensa yang tertinggal dan LIO.
 Edema Makula Kistoid (EMK). EMK ditandai dengan penurunan visus setelah
operasi katarak, gambaran karakteristik makula pada pemeriksaan oftalmoskopi
atau FFA, atau gambaran penebalan retina pada pemeriksaan OCT. Patogenesis
EMK adalah peningkatan permeabilitas kapiler perifovea dengan akumulasi
cairan di lapisan inti dalam dan pleksiformis luar. Penurunan tajam penglihatan
terjadi pada 2 sampai 6 bulan pasca bedah. EMK terjadi pada 2-10% pasca
EKIK, 1-2% pasca EKEK, dan < 1% pasca fakoemulsifikasi. Angka ini
meningkat pada penderita diabetes mellitus dan uveitis. Sebagian besar EMK
akan mengalami resolusi spontan, walaupun 5% diantaranya mengalami
penurunan tajam penglihatan yang permanen. Ablasio retina Ablasio retina
terjadi pada 2-3% pasca EKIK, 0,5-2% pasca EKEK, dan <1% pasca
fakoemulsifikasi. Biasanya terjadi dalam 6 bulan sampai 1 tahun pasca bedah
katarak. Adanya kapsul posterior yang utuh menurunkan insidens ablasio retina
pasca bedah, sedangkan usia muda, miopia tinggi, jenis kelamin lakilaki,
riwayat keluarga dengan ablasio retina, dan pembedahan katarak yang sulit

24
dengan rupturnya kapsul posterior dan hilangnya vitreus meningkatkan
kemungkinan terjadinya ablasio retina pasca bedah.
 Endoftalmitis. Endoftalmitis termasuk komplikasi pasca operasi katarak yang
jarang, namun sangat berat. Gejala endoftalmitis terdiri atas nyeri ringan hingga
berat, hilangnya penglihatan, floaters, fotofobia, inflamasi vitreus, edem
palpebra atau periorbita, injeksi siliar, kemosis, reaksi bilik mata depan,
hipopion, penurunan tajam penglihatan, edema kornea, serta perdarahan retina.
Gejala muncul setelah 3 sampai 10 hari operasi katarak. Penyebab terbanyak
adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus.
Penanganan endoftalmitis yang cepat dan tepat mampu mencegah infeksi yang
lebih berat. Tatalaksana pengobatan meliputi kultur bakteri, antibiotik
intravitreal spektrum luas, topikal sikloplegik, dan topikal steroid.
 Toxic Anterior Segment Syndrome. TASS merupakan inflamasi pasca operasi
yang akut dan non-infeksius. Tanda dan gejala TASS dapat menyerupai
endoftalmitis, seperti fotofobia, edema kornea, penurunan penglihatan,
akumulasi leukosit di KOA, dan kadang disertai hipopion. TASS memiliki onset
lebih akut, yaitu dalam 24 jam pasca operasi katarak, sedangkan endoftalmitis
terjadi setelah 3 sampai 10 hari operasi. TASS juga menimbulkan keluhan nyeri
minimal atau bahkan tanpa nyeri. Beberapa penyebab TASS adalah pembilasan
alat-alat operasi yang tidak adekuat, penggunaan pembersih enzimatik, salah
konsentrasi detergen, ultrasonic bath, antibiotik, epinefrin yang diawetkan, alat
singleuse yang digunakan berulang kali saat pembedahan.Meskipun kebanyakan
kasus TASS dapat diobati dengan steroid topikal atau NSAIDs topikal, reaksi
inflamasi terkait TASS dapat menyebabkan kerusakan parah jaringan
intraokular, yang dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan.
 Posterior Capsule Opacification (PCO) / kekeruhan kapsul posterior. PCO
merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang paling sering. Sebuah
penelitian melaporkan PCO rata-rata terjadi pada 28% pasien setelah lima tahun
pasca operasi katarak. Insidensi PCO lebih tinggi pada anak-anak. Mekanisme
PCO adalah karena tertinggalnya sel-sel epitel lensa di kantong kapsul anterior
lensa, yang selanjutnya berproliferasi, lalu bermigrasi ke kapsul posterior lensa.
Berdasarkan morfologi, terdapat 2 jenis PCO, jenis fibrosis (fibrosis type) dan
jenis mutiara (pearl type). Jenis kedua lebih sering menyebabkan kebutaan. PCO

25
dapat efektif diterapi dengan kapsulotomi Nd:YAG laser; beberapa komplikasi
prosedur laser ini seperti ablasio retina, merusak LIO, cystoid macular edema,
peningkatan tekanan intraokular, perdarahan iris, edema kornea, subluksasi LIO,
dan endoftalmitis. Pencegahan PCO lebih ditekankan. Teknik operasi pada
anak-anak menggunakan kapsuloreksis posterior (posterior continuous
curvilinear capsulorrhexis) dan vitrektomi anterior telah terbukti menurunkan
kejadian PCO. Pemakaian LIO dengan sisi tajam (sharp-edge optic) yang
terbuat dari akrilik dan silikon, serta penggunaan agen terapeutik seperti
penghambat proteasome, juga menurunkan kejadian PCO.
 Surgically Induced Astigmatism (SIA). Operasi katarak, terutama teknik EKIK
dan EKEK konvensional, mengubah topografi kornea dan akibatnya timbul
astigmatisma pasca operasi. Risiko SIA meningkat dengan besarnya insisi
(>3mm), lokasi insisi di superior, jahitan, derajat astigmatisma tinggi sebelum
operasi, usia tua, serta kamera okuli anterior dangkal. AAO menyarankan untuk
membuka jahitan setelah 6-8 minggu postoperatif untuk mengurangi
astigmatisma berlebihan.
 Dislokasi LIO (Lensa Intra Okuler). Angka kejadian dislokasi LIO dilaporkan
sebesar 0,19-3,00%. Dislokasi LIO dapat terjadi di dalam kapsul (intrakapsuler)
atau di luar kapsul (ekstrakapsuler). Penyebab dislokasi LIO intrakapsuler
adalah satu atau kedua haptik terletak di sulkus, sedangkan beberapa penyebab
dislokasi LIO ekstrakapsuler mencakup pseudoeksfoliasi, gangguan jaringan
ikat, uveitis, retinitis pigmentosa, miopia tinggi, dan pasien dengan riwayat
operasi vitreoretina. Tatalaksana kasus ini adalah dengan reposisi atau
eksplantasi LIO.

11. Kesimpulan
Pasien 66 tahun dengan keluhan penglihatan kanan (OD) buram sejak 6 bulan
SMRS didiagnosis katarak senilis matur OD. Katarak adalah adalah setiap keadaan
kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa,
denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua-duanya. Katarak senilis merupakan
kekeruhan lensa mata yang terjadi karena faktor usai yaitu diatas 50 tahun. Dengan
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka diagnosis dapat ditegakkan. Katarak
dapat diterapi dengan melakukan pembedahan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi 5. Jakarta : FKUI. 2017; h. 210-222
2. Ibrahim MF. Antioksidan dan katarak. Jurnal biomedika dan kesehatan. 2019. 2(4);
h.154-61
3. Astari P. Katarak: klasikasi, tatalaksana, dan komplikasi operasi. Jurnal CDK. 2018. 45
(10); h.748-53
4. Kemenkes. Modul deteksi dini katarak. Jakarta : Kemenkes RI. 2017; h. 1
5. Puspita R, dkk. Profil pasien katarak senilis pada usia 40 tahun keatas di RSI Siti Rahmah tahun
2017. Health & medical journal. 2019. 1(1); h. 15-21
6. Asmara AAGA, dkk. Hasil tajam pengelihatan pasca operasi katarak senilis di RSUP
Sanglah Denpasar periode Oktober 2016 - Juni 2017. Jurnal intisari sains medis. 2019.
10(2); h. 263-67
7. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta : EGC.
2016; h.169-177
8. Mutiarasari D, Handayani F. Katarak juvenil. Jurnal INSPIRASI. 2011. Nomor XIV; h.
37-50
9. Soekardi I, Hutauruk JA. Transisi menuju fakoemulsifikasi, langkah-langkah menguasai
teknik & menghindari komplikasi. Edisi 1. Jakarta : Kelompok Yayasan Obor Indonesia.
2004; h.1-7
10. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. 2014. Jakarta : IDI; h. 185-86
11. Widiadnyana IN, dkk. Hubungan jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata
kering pasien pasca operasi katarak. JRKN. 2017. 1(1); h. 60-65

27

Anda mungkin juga menyukai