Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

Gambaran Radiografi CHRONIC KIDNEY DISEASE dan Kista Hepar pada Pasien
Laki-laki Berusia 48 Tahun

Disusun Oleh:

Novalia

Sinaga

112019006

Dokter Pembimbing:

dr. Imelda Tobing, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RSUD KOJA JAKARTA UTARA

PERIODE 18 APRIL 2022 - 22 MEI 2022

1
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Umur : 48 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 27 September 1973
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan
Tanggal masuk : 15 April
2022
Tanggal periksa : 22 April 2022

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis)


1. Keluhan Utama: Sesak sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
2. Keluhan Tambahan:
Pusing dan lemas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati, mual,
muntah >5x, badan merasa bengkak, nafsu makan dan minum berkurang. 3 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan BAB cair dan memiliki ampas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar keluarganya dengan keluhan sesak sejak 1 mingg sebelum
masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan pusing, mual, muntah dan tidak nafsu
makan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. 3 hari sebelum masuk rumah
sakit pasien mengeluhkan adanya BAB cair 5x dan memiliki ampas. Keluhan ini
dirasakan terus menerus dan sering kali terjadi sejak januari 2021 dan semakin
memburuk 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan sering
kencing pada malam hari namun menyangkal adanya nyeri ataupun rasa terbakar
saat BAK dan menyangkal adanya darah dalam urin. Pasien menyangkal adanya
riwayat batuk dan tidak merasakan adanya demam.

4. Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat tekanan darah tinggi :+
Riwayat jantung :+
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat batu saluran kencing : disangkal

2
Riwayat kencing nanah dan darah : disangkal

3
Riwayat trauma di daerah pinggang, perut bagian atas : disangkal
Riwayat operasi di daerah pinggang, perut bagian atas : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa :
disangkal Riwayat tekanan darah tinggi :
disangkal Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat asam urat : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah peserta BPJS Kesehatan

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis

Vital Sign
Tekanan darah : 160/92 mmHg
Nadi : 90x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,9 °C

Kulit : Warna kulit sawo matang, turgor cukup.


Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Mata : Conjungtiva bening, sclera putih, pupil bulat, isokor, diameter 3mm,
reflek cahaya (+/+)
Telinga : Simetris, serumen (+/+) dalam batas normal.
Hidung : Bentuk normal, septum ditengah, selaput mukosa basah.
Mulut : Gigi lengkap, bibir tidak pucat, tonsil dalam batas
normal
Leher : Trachea di tengah, kelenjar lymphoid tidak membesar, kelenjar tiroid
tidak membesar, tekanan vena jugularis tidak meningkat.

4
Thorax
Jantung : Ictus cordis tidak tampak dan tidak kuat angkat, batas jantung dalam
batas normal, S1>S2, regular, tidak ada suara tambahan.
Paru-paru : Tidak ada ketinggalan gerak, vocal fremitus kanan = kiri, nyeri tekan
tidak ada, sonor seluruh lapangan paru, suara dasar vesikuler seluruh
lapang paru, tidak ada suara tambahan.

Abdomen
Inspeksi : Perut rata, tidak ada benjolan
Auskultasi : Bising usus dalam batas normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang
abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, tidak teraba massa

Ekstremitas
Superior : Tidak ada deformitas, tidak ada oedema, tonus otot cukup
Inferior : deformitas (-), jari tabuh (-), pucat (-), sianosis (-), oedema (+), tonus
otot cukup.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal 19/04/2022
Hematologi
Hemoglobin : 9.9 g/dL*
Leukosit : 12.48
10^3/uL*
Hematokrit : 28.8 %*
Trombosit : 109 10^3/uL
Eritrosit : 4.30 juta/uL
Tanggal 15/04/2022
Hitung Jenis
Basofil : 0.2%
Eosinofil : 0.3%*
Neutrofil : 83.1%*
Limfosit : 10.1%*

5
Monosit : 6.3%

6
Elektrolit (16/04/2022)
Natrium (Na) : 142 mEq/L
Kalium (K) : 5.46
mEq/L* Klorida (Cl) : 106
mEq/L

Ureum : 229.0 mg/dL*


Kreatinin : 28.82 mg/dL*
Glukosa sewaktu : 77
mg/dL Analisa Gas Darah
(17/04/2022) pH: 7.363
pCO2 : 25.7 mmHg*
pO2 : 115.9 mmHg*
HCO3 : 14.8 mEq/L*

Ultrasonografi (22 April 2022)

Hepar: ukuran normal, ekogenitas parenkim normal, tampak anekoik ukuran 3,14 x 2,97 cm
pada lobus kanan, batas tegas, sudut tajam.

7
Gallbladder: ukuran normal, dinding tidak menebal, tidak tampak batu/sludge. Duktus
biliaris intra/ekstra hepatal tidak melebar.

Pankreas: ukuran normal, tidak tampak kalsifikasi.


Aorta: tidak tampak pembesaran limfonodi para
aorta.
Lien: ukuran normal, parenkim normal, tidak tampak lesi, sudut tajam.

8
Ginjal kanan: ukuran 7,58 cm, ekogenitas parenkim meningkat, tidak tampak batu /
lesi, PCS tidak melebar, batas kortikomedulare tidak jelas.
Ginjal kiri: ukuran 7,63 cm, ekogenitas parenkim meningkat, tidak tampak batu / lesi,
PCS tidak melebar, batas kortikomedulare masih jelas.

Vesika urinaria: tampak balon kateter, terisi cairan, dinding tidak menebal, regular,
tidak tampak batu/massa.
Kesan:
 Kista hepar.
 Proses kronis ginjal bilateral.
9
 Tidak tampak lesi intraabdomen
 Sonografi gallbladder, pancreas, aorta, lien, vesika urinaria normal.

V. DIAGNOSIS
Chronic Kidney Disease

VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

10
DISKUSI
1. Definisi Chronic Kidney Disease

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai dengan

kelainan struktural maupun fungsional yang berlangsung lebih dari tiga bulanserta

terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular Filtrate Rate

(GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2. Pada PGK didapatkan kelainan komposisi darah,

urin maupun kelainan tes pencitraan (imaging). Keadaan dimana terjadi penurunan fungsi

ginjal secara bertahap dan bersifat ireversibel disebut sebagai penyakit ginjal kronik,

dimana akan terjadi kerusakan total fungsi ekskresi yang dapat mengancam jiwa. Penyakit

ginjal dikategorikan sebagai PGK bila memenuhi kriteria berikut:

1. Kerusakan ginjal berlangsung lebih dari tiga bulan.


2. GFR < 60 ml/menit/1,73 m2. GFR merupakan indeks pengukuran fungsi ginjal dimana
nilai normal pada dewasa sekitar 125 mL/min per 1,73 m²
3. Kelainan struktural atau fungsional dengan manifestasi berupa: kelainan patologis,
albuminuria, abnormalitas sedimen urin, riwayat transplantasi ginjal, dan kelainan
imaging.

Menurut Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 yang

mengacu pada National Kidney Foundation-KDQOL (NKF-KDQOL) tahun 2002, PGK

diklasifikasikan menjadi lima stadium atau kategori berdasarkan penurunan GFR

menggunakan rumus Kockcroft – Gault:

(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛


GFR (ml/min/1,73 m2):72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( � *)
)
𝑑𝑙

*) wanita x 0,85

Stadium GFR (ml/mnt/1,73 m2) DESKRIPSI


1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penuruna GFR ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang

11
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat

12
5 <15 Gagal ginjal
Tabel 1 : Staging CKD berdasarkan GFR

Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab PGK berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. National Health

Insurance (NHI) menyatakan bahwa pertambahan usia, diabetes, hipertensi, hiperlipidemia

dan jenis kelamin berhubungan dengan faktor resiko terjadinya PGK.

Faktor resiko terpenting terjadinya PGK ialah hipertensi dengan prevalensi 74,5 juta

dan diabetes sekitar 23,6 juta. Secara keseluruhan, diabetes didapatkan pada 44% pasien

ESRD dan hipertensi pada 28% pasien ESRD. Kemudian 72% pasien ESRD memiliki

riwayat hipertensi maupun diabetes. Obesitas, sindrom metabolik dan riwayat keluarga juga

merupakan faktor resiko PGK.

Berikut beberapa faktor resiko penyebab penyakit ginjal kronik :


1. Faktor klinis:
a. Diabetes.
b. Hipertensi.
c. Penyakit Autoimun.
d. Neoplasma.
e. Infeksi sistemik maupun infeksi saluran kencing dan batu saluran kencing
f. Riwayat keluarga menderita PGK dan riwayat acute ranal failure (AKI)
g. Nefrotoksin (analgetik, aminoglikosida, amfoterisin, radiokontras).
2. Faktor sosiodemografi
a. Usia tua
b. Terpapar zat kimia
c. Jenis Kelamin
d. Pendidikan dan sosial ekonomi rendah

13
Tabel 2 : Faktor – faktor yang berperan dalam progresivitas Penyakit Ginjal Kronik

Patofisiologi

Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal
yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang
sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif sitokin dan growth
factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maldaptasi berupa sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
oleh penurunan fungsi nefron yang progrsif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif
lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progrsifisitas peyakit
tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin aldosterone, sebagian diperantarai oleh


Growth Factor seperti Transforming Growth Factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan erhadap progresivitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia dan dyslipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointersisial. Pada stadium paling
dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal
LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan funsi nefron yang progesif, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual,

14
nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
tekanan darah, gangguan

15
metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(Renal Replacement Therapy) antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Diagnosis

1) Gambaran Klinis
Manifestasi klinis pasien PGK sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti
hipertensi, hiperurisemi, diabetes malitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
Lupus eritomatosus sistemik. Bila menimbulkan sindrom uremia maka gejala yang timbul
berupa lemah, anoreksia, mual,muntah, nokturia, letargi, kelebihan volume cairan (volume
overload), uremic frost, perikarditis, neuropatiperifer, pruritus, kejang-kejang sampai
koma. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).21
2) Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan GFR dan kadar kreatinin serum penting pada pasien PGK untuk
menilai fungsi ginjal. Kadar elektrolit seperti sodium, potassium klorida dan bikarbonat
dapat menentukan kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia,
hiperkloremia atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.21
3) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit gagal ginjal kronik berupa foto polos, USG,
Pielografi dan renografi. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Pielografi retrograd adalah pencitraan system urinaria dari ginjal hingga ureter,
dilakukan dengan cara memasukkan bahan kontras radio-opak langsung melalui kateter
ureter yang dimasukkan transuretra. Indikasi pielografi retrograd adalah ; (1) Jika ada
kontraindikasi pembuatan foto IVP, (2) IVP belum dapat menjelaskan keadaan ginjal.
Sedangkan pielografi antegrad adalah pencitraan yang dilakukan dengan cara

16
memasukkan kontras melalui kaliks ginjal. Bahan kontras di masukkan dengan
menggunakan kateter

17
nefrostomi yang sudah terpasang sebelumnya. Dapat dilakukan juga melalui pungsi pada
kaliks ginjal. Pielografi intravena bersifat toksik dan kontras sering tidak bisa melewati
glomerulus sehingga jarang dikerjakan.

Renografi dilakukan dengan cara menyuntikkan bahan isotop (radioaktif) yang telah
dipadukan dengan bahan radiofarmaka tertentu. Keberadaan isotop ini dapat dideteksi
oleh alat kamera gamma. Pemeriksaan ini sangat berguna dalam mengevaluasi fungsi
ginjal. Radioisotop dapat membedakan antara dilatasi pasif dan obstruksi. Secara umum
digunakan sebelum dilakukan transplantasi ginjal untuk menilai vaskularisasi ginjal.
Pielografi antegrad atau retrograd dan renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Gambar 1. Penyakit ginjal kronis stadium akhir dengan ekogenisitas yang meningkat, arsitektur
homogen tanpa diferensiasi yang terlihat antara parenkim dan sinus renal dan ukuran ginjal
yang berkurang. Pengukuran panjang ginjal pada citra AS diilustrasikan dengan tanda '+' dan
garis putus-putus.

18
Gambar 2. Gambar CT non-kontras aksial abdomen pada pria berusia 72 tahun dengan gagal
ginjal kronis menunjukkan atrofi kortikal ginjal bilateral yang menyebar.

Penatalaksanaan

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,
dapat dilihat pada tabel 3:

Derajat LFG Rencana tatalaksana


(ml/menit/1,73m2)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler.
2 60 – 89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal.
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi.
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal,
5 < 15 atau dialisis Terapi pengganti ginjal.

Tabel 3. Rencana tatalaksana PGK sesuai dengan derajatnya

Terapi Pengganti
Terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) diperlukan pada penderita PGK
stadium terminal, ketika LFG<15ml/mnt/1,73m², dimana ginjal tidak dapat mengkompensasi
kebutuhan tubuh untuk mengeluarkan zat-zat sisa hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui
pembuangan urin, mengatur keseimbangan asam-basa dan keseimbangan cairan serta menjaga
kestabilan lingkungan dalam. Tujuan terapi pengganti ginjal untuk mempertahankan
kehidupan, meningkatkan kualitas hidup sehingga penderita dapat beraktifitas seperti biasa
serta mempersiapkan transplantasi ginjal apabila memungkinkan. Terapi pengganti ginjal
19
yang

20
tersedia saat ini ada 2 pilihan: dialisis dan transplantasi ginjal
a. Hemodialisis
Hemodialisis (HD) adalah suatu proses pemisahan zat zat tertentu (toksik uremik)
dari darah melalui membrane semipermeabel di dalam ginjal buatan yang disebut dialiser,
dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialysis yang disebut dialisat. Hemodialisis terdiri
dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2) kompartemen cairan pencuci (dialisat),
dan
3) ginjal buatan (dialiser). Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan
aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah
terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya
beredar didalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser. Prinsip
kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen
darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan lain
(kompartemen dialisat) melalui membran semipermeable (dialiser). Perpindahan solute
melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme
difusi dan Ultrafiltrasi (UF). Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan
molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi,
artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama
molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme
osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan. Pada mekanisme UF konveksi merupakan
proses yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran.
b. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan tatalaksana ideal untuk pengobatan PGK berat yang
menuju gagal ginjal. Dibanding dialysis, pertumbuhan dan perkembangan neurologic
berjalan lebih baik pada bayi yang dilakukan transplantasi ginjal. Namun, pada pasien
yang dilakukan transplantasi, masih harus diperhatikan keadaannya. Pasien harus tetap
mengonsumsi obat obatan imunosupresif dan monitoring yang ketat. Saat ini, 80%
transplantasi yang dilakukan dari saudara kandung mampu bertahan hidup selama 2
tahun. transplantasi yang dilakukan dari cadaver memiliki kualitas hidup yang lebih
rendah antara 60-70% dalam 2 tahun.

21
Komplikasi

Tabel 4 : Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

Anatomi Hepar

Hepar terletak pada kuadran kanan atas abdomen, intraperitoneal tepat di bawah sisi
kanan diafragma yang dilindungi oleh costa. Berat hepar kurang lebih 1400 gram pada orang
dewasa dan dibungkus oleh sebuah kapsul fibrous.

Hepar memiliki facies diaphragmatica dan facies visceralis (dorsokaudal) yang


dibatasi oleh tepi kaudal hepar. Facies diaphragmatica bersifat licin dan berbentuk kubah,
sesuai dengan cekungan permukaan kaudal diafragma, tetapi untuk sebagian besar terpisah
dari diafragma karena recessus subphrenicus cavitas peritonealis. Hepar tertutup oleh
peritoneum, kecuali di sebelah dorsal pada area nuda, tempat hepar bersentuhan langsung
pada diafragma. Area nuda hepar ini dibatasi oleh melipatnya peritoneum dari diafragma ke
hepar sebagai lembar ventral (cranial) dan lembar dorsal (kaudal) ligamentum coronarium.
Kedua lembar tersebut bertemu di sebelah kanan untuk membentuk ligamentum triangulare.
Ke arah kiri lembar-lembar ligamentum coronarium tercerai dan membatasi area nuda hepar
yang berbentuk segitiga. Lembar ventral ligamentum di sebelah kiri bersinambungan dengan
lembar kanan ligamentum falciforme, dan lembar dorsal bersinambungan dengan lembar
kanan omentum minus. Lembar kiri ligamentum falciforme dan omentum minus bertemu
untuk membentuk ligamentum triangulare sinistrum.

Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis sinistra yang masing-
masing berfungsi secara mandiri. Masing-masing lobus memiliki pendarahan sendiri dan

22
arteria hepatica dan vena portae hepatis, dan juga penyaluran darah venosa dan empedu
bersifat serupa.

Lobus hepatis dekstra dibatasi terhadap lobus hepatis sinistra oleh fossa vesicae
biliaris dan sulcus vena cava pada facies visceralis hepatis, dan oleh sebuah garis khayal pada
permukaan diaphragmatika yang melintas dari fundus vesicae biliaris ke vena cava inferior.

Lobus hepatis sinistra mencakup lobus caudatus dan hampir seluruh lobus quadratus.
Lobus hepatis sinistra terpisah dari lobus caudatus dan lobus quadratus oleh fissure ligament
teretis dan fissura ligamenti venosi pada facies visceralis, dan oleh perlekatan ligamentum
teres hepatis pada facies diaphragmatica.

Gambar 3. Anatomi Hepar

Hepar menerima darah dari dua sumber: arteri hepatica propria (30%) dan vena porta
hepatis (70%). Arteri hepatica propria membawa darah yang kaya akan oksigen dari aorta,
dan vena porta hepatis mengantar darah yang miskin akan oksigen dari saluran cerna, kecuali
dari bagian distal canalis analis. Di porta hepatis arteri hepatica propria dan vena porta
hepatis berakhir dengan membentuk ramus dekstra dan ramus sinistra, masing-masing untuk
lobus hepatis dekstra. Lobus-lobus ini berfungsi secara terpisah, dalam masing-masing lobus
cabang primer vena porta hepatis dan arteri hepatica propria teratur secara konsisten untuk
membatasi segmen vascular. Bidang horizontal melalui masing-masing lobus membagi
hepar menjadi

23
delapan segmen vascular. Antara segmen-segmen terdapat vena hepatica untuk menyalurkan
darah dari segmen-segmen yang bertetangga.

Gambar 4. Distribusi vaskular dan duktus hepatikus

Vena hepatica yang terbentuk melalui persatuan vena centralis hepatis, bermuara
dalam vena cava inferior, tepat kaudal dari diaphragm. Hubungan vena ini dengan vena cava
inferior membantu memantapkan kedudukan hepar.

Hepar memiliki vasa lymphaticum superficial dan vasa lymphaticum profundum.


Vasa lymphaticum superficial terbanyak bergabung dengan pembuluh limfe di porta hepatis
dan ditampung oleh nodi lymphoidei hepatici.

Pembagian anatomi menurut nomenklatur Couinaud sangat penting dalam


mempertimbangkan reseksi segmen hepar. Hal ini memungkinkan kita melakukan reseksi
pada segmen tertentu atau kombinasi beberapa segmen dengan tetap mempertahankan
vaskularisasi dan kontinuitas aliran bilier pada segmen yang tertinggal.

Anatomi hepar dapat dideskripsikan menggunakan dua aspek yang berbeda : anatomi
morfologis dan anatomi fungsional. Anatomi morfologis tradisional berdasarkan pada
penampakan eksternal hepar, dan tidak mempertimbangkan vaskularisasi dan percabangan
duktus biliaris, yang sebenarnya penting dalam reseksi hepar.

24
Gejala Klinis Kista hepar

● Sebagian kecil pasien datang dengan nyeri perut, cepat kenyang, mual, dan muntah,
yang timbul sebagai akibat dari efek massa. Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan
massa teraba di perut atau hepatomegali.
● Komplikasi seperti perdarahan, ruptur dan obstruksi bilier jarang terjadi tetapi lebih
mungkin terjadi pada kista yang lebih besar. Perdarahan intrakistik adalah komplikasi
yang jarang dari kista sederhana dan biasanya muncul dengan nyeri perut yang parah,
meskipun presentase asimtomatik juga diamati.

Fitur Diagnostik Kista Hepar

● Kriteria USG menunjukkan kista sederhana: anechoic (yaitu, rongga berisi cairan),
tidak ada septations, batas halus, dinding posterior tajam dan kuat (menunjukkan
antarmuka cairan/jaringan yang jelas), berbentuk oval atau sferis dan aksentuasi
relatif gema di luar kista dibandingkan dengan gema pada kedalaman yang sama yang
ditransmisikan melalui jaringan hati normal yang berdekatan.
● USG memiliki sensitivitas dan spesifisitas sekitar 90% untuk mendiagnosis kista
sederhana, dan kemajuan terbaru dalam teknologi CT dan MRI dapat menghasilkan
tingkat sensitivitas yang lebih tinggi.

25
● Namun, karena beban radiasi yang terkait dengan CT dan biaya tinggi yang
melibatkan CT dan MRI, USG tetap menjadi modalitas pencitraan yang paling akurat,
hemat biaya, dan non-invasif untuk mendiagnosis kista sederhana. Perkembangan
terkini dari microbubble contrast-enhanced ultrasound (CEUS) memungkinkan kita
untuk memvisualisasikan aliran vaskular dalam septa atau komponen padat kista,
yang tidak ada pada kista sederhana dengan perdarahan intrakistik .
● Oleh karena itu, CEUS dapat secara akurat mengkarakterisasi kista ini ketika USG,
CT, dan MRI menunjukkan gambaran yang ambigu.

Penatalaksanaan

Pengobatan kista simtomatik melibatkan aspirasi perkutan atau intervensi bedah.


Penambahan sklerosan seperti tetrasiklin, etanol, atau etanolamin selama aspirasi
meningkatkan hasil. Ada kekhawatiran tingkat kegagalan yang tinggi dan kekambuhan
yang cepat dengan aspirasi perkutan. Satu tinjauan yang membandingkan skleroterapi
aspirasi dengan fenestrasi melaporkan tingkat kegagalan yang sama (4 dari 91 vs. 5 dari
85 kasus) tetapi menunjukkan bahwa insiden insiden yang merugikan sedikit lebih rendah
setelah skleroterapi aspirasi.

Teknik bedah melibatkan fenestrasi kista, eksisi kista subtotal, reseksi hati, dan
bahkan transplantasi hati. Studi yang membandingkan hasil dari teknik bedah
konvensional ini terhambat karena algoritma pengobatan ganda, jumlah pasien yang
sedikit dan periode tindak lanjut yang relatif singkat. Pendekatan laparoskopi adalah
standar perawatan saat ini, tetapi studi yang mendokumentasikan tindak lanjut jangka
panjang setelah perawatan laparoskopi untuk kista hati sederhana telah menunjukkan
tingkat kekambuhan yang bervariasi dari 4% hingga 41%. Sebuah meta-analisis dari 31
studi yang dilakukan oleh Zhang et al. tidak menemukan perbedaan dalam tingkat
kekambuhan antara kelompok fenestrasi terbuka dan kelompok laparoskopi, terlepas dari
apakah itu kista hepatik tunggal atau tunggal.

26
Gambar 6 : Diagnostic and management strategies.

Komplikasi

Komplikasi paling sering terjadi pada kista besar. Komplikasi umum termasuk
perdarahan, ruptur, infeksi, atau obstruksi bilier. Kista hemoragik biasanya hadir dengan
sakit perut yang parah. Pada pencitraan, biasanya bingung dengan BCA (biliary
cystadenoma) atau BCAC (biliary cystadenocarcinoma). Infeksi kista juga dapat
terjadi, dan biasanya melibatkan patogen Gram-negatif.43 Hal ini terkait dengan
kematian 9%.

Obstruksi bilier dapat terjadi karena efek massa dari lesi kistik saat mereka tumbuh
lebih besar. Jika kista pecah ke dalam percabangan bilier, kolangitis sekunder dapat
terjadi. Komplikasi yang ditakuti khusus untuk EC adalah anafilaksis, yang dapat terjadi
jika EC pecah. Beberapa komplikasi lain yang lebih jarang telah dilaporkan hanya dalam
laporan kasus. Long et al.5 melaporkan kasus seorang wanita 66 tahun dengan sindrom
Budd- Chiari sekunder akibat kista yang membesar dengan cepat yang menyumbat vena
hepatik. Laporan kasus tunggal lainnya menggambarkan trombus inferior vena cava
(IVC) yang disebabkan oleh tekanan eksternal pada IVC dari kista hati sederhana.

27
Daftar Pustaka
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1035-1040.

2. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The international Society Of
Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice guideline for evaluation and management of
CKD. 2013;3(1).

3. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal Registry. 2014.
Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/

4. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect your kidney
save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI); 2010.

5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic Kidney
Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal 870- 876.

6. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment and


Management. England: National Institute for Health and Care Excellence; 2014. hal 1-63.

7. Diunduh dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6018306/

8. Diunduh dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6431089/

9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi V

28

Anda mungkin juga menyukai