Di alam kita ini erosi dan sedimentasi dapat disebabkan oleh angin, air atau aliran gletser
(es) Dalam bab ini hanya akan diuraikan satu segi saja, yaitu erosi dan sedimentasi yang
disebabkan oleh air Erosi dan sedimentasi merupakan dua buah masalah yang saling berkaitan.
Erosi yang disebabkan oleh air dapat berupa:
a. Erosi lempeng (sheet erosion), yaitu butir-butir tanah diangkut lewat permukaan atas
tanah old selapis tipis limpasan permukaan, yang dihasilkan oleh intensitas hujan yang
merupakan kelebihar dari daya infiltrasi.
b. Pembentukan polongan (gully), yaitu erosi lempeng terpusat pada polongan tersebut.
Kecepatar airnya jauh lebih besar dibandingkan dengan kecepatan limpasan permukaan
tersebut di atas Polongan tersebut cenderung menjadi lebih dalam, yang menyebabkan
terjadinya longsoranlongsoran. Polongan tersebut tumbuh ke arah hulu. Ini dinamakan
erosi ke arah belakang (backward erosion).
c. Longsoran massa tanah yang terletak di atas batuan keras atau lapisan tanah Hat;
longsoran in terjadi setelah adanya curah hujan yang panjang, yang lapisan tanahnya
menjadi jenuh oleh an tanah.
d. Erosi tebing sungai, terutama yang terjadi pada saat banjir, yaitu tebing tersebut
mengalam penggerusan air yang dapat menyebabkan longsornya tebing-tebing pada
belokan-belokan sungai
Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai pengangkutan, melayangnya (suspensi) atau
mengendapnyk. material fragmental oleh air. Sedimentasi merupakan akibat adanya erosi, dan
member] banyak damps} yaitu:
a. Di sungai, pengendapan sedimen di dasar sungai yang menyebabkan naiknya dasar
sungai kemudian menyebabkan tingginya permukaan air sehingga dapat mengakibatkan
banjir yank menimpa lahan-lahan yang tidak dilindungi (unprotected land). Hal tersebut
di atas dapat pule menyebabkan aliran mengering dan mencari alur baru.
b. Di saluran, jika saluran irigasi atau saluran pelayaran dialiri oleh air yang penuh
sedinfen akar terjadi pengendapan sedimen di dasar saluran. Sudah barang tentu akan
diperlukan biaya yang cukup besar untuk pengerukan sedimen tersebut. Pada keadaan
tertentu pengerukan sedimen menyebabkan terhentinya operasi saluran.
d. Di waduk-waduk, pengendapan sedimen di waduk-waduk akan mengurangi volume
efektifnya Sebagian besar jumlah sedimen yang dialirkan oleh waduk adalah sedimen
yang dialirkan olel sungai-sungai yang mengalir ke dalam waduk hanya sebagian kecil
saja yang berasal dar longsoran tebing-tebing waduk atau yang berasal dari gerusan
tebing-tebing waduk oleh limpasar permukaan. Butir-butir yang kasar akan diendapkan
di bagian hulu waduk, dan sebagian dapat dibilas ke bawah, jika terjadi banjir pada saat
permukaan air waduk masih rendah.
e. Di bendungan atau pintu-pintu air, yang menyebabkan kesulitan dalam mengoperasikan
pintu pintu tersebut. Juga karena pembentukan pulau-pulau pasir(sand bars) di sebelah
hulu bendungan atau pintu air akan mengganggu aliran air yang Wigan atau pintu air. Di
sisi lain akan terjadi bahaya penggerusan terhadap bagian hilir jika beban sedimen di
sungai tersebut berkurang karena pengendapan di bagian hulu bendungan, maka aliran
dapat mengangkut material alas sungai.
f. Di daerah sepanjang sungai, sebagaimana telah diuraikau a nos. banjir akan lebih
sering terjadi di daerah yang tidak dilindungi. Daerah yang dilindungi deb annual akan
aman, selama tanggulnya selalu dipertinggi sesuai dengan kenaikan dasar sungai, dam
permukaan airnya akan mempengaruhi drainasi daerah sekitarnya. Lama kelamaan.
Karena erosi dan sedimentasi itu saling kait mengkait maka di bawah Jua masalah
tersebut.
11.2. EROSI
a. Erosivitas, Erodibilitas dan Kecepatan Penggerusan
Erosi lempeng pada tanah tergantung kepada sifat-sifat curah hujan yang jatuh, tahanan
yang di berikan oleh tanah terhadap pukulan butir-butir air hujan dan juga tergantung kepada
gerakan lapisan tipis air di atas permukaan tanah sebagai limpasan permukaan.
Erosivitas merupakan sifat hujan; hujan dengan intensitas rendah jarang menyebabkan
erusi, tetapi hujan yang lebat dengan periode yang pendek atau panjang dapat menyebabkan
adanya limpasan permukaan yang besar dan kehilangan tanah. Sifat curah hujan yang
mempengaruhi erosivitas dipandang sebagai energi kinetik butir-butir air hujan yang
menumbuk permukaan tanah.
Erodibilitas merupakan ketidaksanggupan tanah untuk menahan tumbukan butir-butir air
hujan. Tanah yang tererosi cepat pada saat ditumbuk oleh butir-butir air hujan mempunyai
erodibilitas yang tinggi. Erodibilitas dapat diamati hanya kalau terjadi erosi. Erodibilitas
berbagai macam tanah hanya dapat diukur dan dibandingkan jika disebabkan oleh hujan.
Kecepatan penggerusan (scour velocity), adalah kecepatan air yang akan rnenggerakan
tanah pada saat terjadi aliran lempeng (sheet flow atau rill flow) yang bergerak di atas tanah
tersebut (biasanya disebut overland flow). Kecepatan tersebut tergantung kepada lereng
permukaan, besarnya curah hujan yang tidak dapat berinfiltrasi dan kekasaran permukaan
tanah.
b. Erosivitas
Sifat-sifat curah hujan yang mempengaruhi erosivitas adalah besarnya butir-butir hujan, dan
kecepatan tumbukannya. Jika dikalikan akan diperoleh
M=m•v (11-1)
E 1/2 m v2 1-2)
dengan M = momentum
m = massa butir air hujan
v = kecepatan butir air hujan, yang diambil biasanya kecepatan pada saat terjadi
tumbukan, atau dinamakan kecepatan terminal
E = energi kinetik
Momentum dan energi kinetik, keduanya dapat dihubungkan dengan tumbukan butir-butir
air hujan terhadap tanah, tetapi kebanyakan orang lebih menyukai menggunakan energi kinetik
untuk dihubungkan dengan erosivitas.
Meskipun besarnya butir air hujan dengan intensitas tertentu sangat beragam sesuai
dengan tipe a hujan (misalnya badai guntur (thunderstorm) dan siklonik), namun dari hasil
studi yang dilakukan ole LAWS (1940, 1943) dan ELLISSON (1944, 1945) dari Amerika
Serikat banyak digunakan di banya negara di dunia. Ini dipakai karena adanya kesulitan
untuk mengukur kecepatan butir-butir air huja tersebut. Alat baru yang dinamakan
disdrometer dapat mengukur energi kinetik butir-butir air hujan yan menumbuk diafragma
kecil, sehingga dapat dipakai untuk memperkirakan besar energi kinetik air huja yang jatuh
di atas suatu daerah. Dengan demikian pada dewasa ini didapat lebih banyak data mengeni
besarnya butir air hujan, intensitas hujan dan energi kinetik.
Gambar 11.1. diambil dari bukunya HUDSON, Soil Conservation (1971) yang
menunjukkan distribu: statistik butir-butir air yang jatuh ketika hujan dengan intensitas yang
berbeda-beda. Haruslah disadai bahwa besarnya butir-butir air hujan dengan intensitas tertentu
tidak seluruhnya mempunyai besar but air yang lama, tetapi berbeda-beda. Erosivitas hujan
tergantung terutama kepada energi kinetik dari but; air yang lebih besar.
Cara termudah untuk mengukur besarnya butir air hujan adalah dengan menaruh tepung
kering c atas talam (tray) dan membiarkannya kehujanan dalam jangka pendek. Masing-masing
butir air huja akan membentuk bola-bola tepung basah yang dapat dikeringkan dalam oven.
Setelah dikeringkan aka didapat bola-bola (pellets) keras, yang kemudian dipisahkan dengan
ayakan menjadi ukuran yang berbeda beda. Gambar 11.2. menunjukkan hubungan antara
besarnya bola dan besarnya butir air hujan yan, menghasilkan bola tepung.
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 1.3
intensitas mm/jam
Gambar 1.4
Tidak semua energi yang ditimbulkan oleh hujan menimbulkan percikan atau erosi
lempeng, jika butir-butir air hujan yang menumbuk permukaan tanah tidak dapat memisahkan
atau mengangkat butirbutir tanah. FREE (1960) dari Amerika Serikat, dalam hal-hal praktis
menyarankan untuk memaka rumus hubungan antara erosi percikan dengan energi kinetik
seperti berikut ini:
Erosi Percikan (Energi Kinetik)1.5 (11-3;
Gambar 11.4. menunjukkan hubungan antara energi kinetik curah hujan dengan intensitas
hujan Masing-masing Iengkung yang tertera pada Gambar 11.4. di atas dibuat di beberapa
negara olel pelaksananya seperti berikut: HUDSON di Rhodesia, KELKAR di India, KER di
Trinidad, MIHARA di Jepang, WISHMEYER di Amerika Serikat.
Pekerjaan semacam ini telah diperluas oleh WISHMEYER dan SMITH (1978) di Amerika
Serikat yang telah membuat studi statistik secara mendetail dan data-data yang dikumpulkan
dari pos-pos penelitian Ia dan pembantu-pembantunya memutuskan bahwa ukuran erosivitas
yang terbaik adalah basil perkaliar energi kinetik total curah hujan, dengan intensitas hujan
terbesar selama 30 menit dalam periode hujan Indeks tersebut dinamakan EI30.
Berikut ini disertakan contoh perhitungan yang dilakukan oleh HUDSON (1971)(Tabel 11-
1). Kemudian jika intensitas terbesar selama periode 30 menit curah hujan adalah 15 mm/jam
(didapat dar pencatatan curah hujan) indeks EI30 = 2095 x 15 = 31 x 103 joule/m2.
Meskipun ada indeks-indeks erosivitas lain yang digunakan oleh berbagai instansi di dunia,
tetap Cara .yang dikemukakan oleh peneliti-peneliti tersebut di atas banyak yang
menggunakannya. Di negaranegara yang beriklim dingin, dalam periode 30 menit jarang terjadi
curahan yang mempunyai intensita! yang menyebabkan erosi, sedangkan di daerah tropik, hujan
lebat yang tercurah menerus dalam periode 30 menit dapat diharapkan sering terjadi erosi.
HUDSON (1971) membuat perbandingan antara erosivitas hujan di daerah yang
beriklim dingir
dengan daerah yang beriklim tropik sebagai berikut:
Daerah beriklim dingin dengan kurang lebih 5% jumlah hujannya erosive; misalnya 5%
dari hujar
tahunan 750 mm sebesar 37,5 mm merupakan hujan erosive
Daerah beriklim tropik dengan kurang lebih 40% dari jumlah hujannya erosive; misalnya
40% dar
hujan tahunan 1500 mm sebesar 600 mm merupakan hujan erosive.
Selain itu, karena energi kinetik butir-butir air hujan tergantung kepada intensitas
hujan, dapa dianggali bahwa energi per mm hujan di daerah tropik dapat mencapai 28
joule/m2. Dengan demikiar angka erosivitas tahunan untuk daerah tropik dapat mencapai
600 x 28 joule/m 2 = 14800 joule/m 2 sedangkan untuk daerah beriklim dingin mencapai 37,5
x 24 joule/m = 900 joule/m 2.
c. Erodibilitas
Tanah yang mempunyai erodibilitas tinggi akan tererosi lebih cepat dibandingkan dengan
tanah yang mempunyai erodibilitas rendah, dengan intensitas hujan yang sama. Juga tanah yang
mudah dipisahkar (dispersive) akan tererosi lebih cepat daripada tanah yang terikat
(flocculated). Jadi, sifat-sifat fisik, kimia
Tabel 11-1. Perhitungan Energi Kinetik Total
Intensitas Besarnya Energi Energi
mm/jam Mm Joule/𝑚2 Joule/𝑚2
1 2 3 4
jumlah 2095
dan biologi tanah juga mempengaruhi besarnya erodibilitas. Pengaruh usaha-usaha
pengelolaan tanah sukar diukur. meskipun lebih penting daripada sifat-sifat tanah seperti
tersebut di atas. Misalnya, usahausaha pengelolaan tanah dengan pembakaran jerami,
dibandingkan kalau jerami tersebut ikut dibajak dan tertimbun di bawah tanah; terasering
sawah-sawah dibandingkan dengan pembajakan tegalan yang sejajar dengan kemiringan
medannya; tanaman yang kurang dipupuk dibandingkan dengan tanaman yang cukup
mendapat makanan; dan tanaman yang penanamannya dengan menyebar bijinya,
dibandingkan dengan tanaman yang ditanam dengan cara berbaris. Sebagai tambahan
terhadap sifat-sifat tanah dan usaha-usaha pengelolaan tersebut di atas, erodibilitas juga
dipengaruhi oleh kemiringan permukaan tanah dan kecepatan penr:aerusan (scour velocity).
Sebagai kelanjutan terhadap studi erosivitasnya, WISHMEYER bersama kelompoknya
telah mengembangkan dasar-dasar untuk mencantumkan aspek erodibilitas. Hasil studinya
dinamakan rumus Kehilangan Tanah Universal (Universal Soil Lost Equation), yang
sekarang telah banyak digunakan untuk perencanaan tataguna tanah yang aman, meskipun
beberapa parameternya tidak dapat diberlakukan secara universal begitu saja (misalnya
dalam penentuan 130, yaitu intensitas hujan maksimum selama periode 30 menit dalam
daerah beriklim dingin dan tropik sangat berbeda). Oleh karena itu lebih tepat kalau rumus
tersebut dinamakan rumus peramalan kehilangan tanah (a predictive soil lost equation).
d. Rumus Kehilangan Tanah Universal Rumus
tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
A=RKLSCP (11-4)
dengan
A = kehilangan tanah yang dihitung dalam ton/ha.
R = indeks erosivitas, yang diambil dan perkalian E/ 30 untuk suatu tempat, dibagi 100.
R dapat diambil dan hujan tertentu, dan A menjadi kehilangan tanah yang diramalkan
untuk hujan tersebut. Biasanya diambil energi hujan tahunan rata-rata sehingga
diperoleh perkiraan kehilangan tanah tahunan.
K = merupakan faktor erodibilitas, dan merupakan kehilangan tanah per satuan erosivitas
untuk jenis tanah tertentu dalam kondisi dibajak dan ditanami terus menerus pada plot
yang mempunyai panjang 22,5 m dan kemiringan 9%.
Ini dinyatakan dalam ton per hektar per satuan erosivitas.
L= faktor panjang kemiringan (length of slope factor), yang berhubungan dengan kenyataan
bahwa di Amerika Serikat panjang plot eksperimental selalu diambil 22,5 m.
Oleh karena itu faktor ini dimaksudkan untuk membandingkan kehilangan tanah dari
suatu medan dengan panjang tertentu terhadap panjang 22,5 m tersebut.
S = faktor kemiringan, yang merupakan ratio kehilangan tanah dan suatu medan terhadap
suatu medan serupa dengan. kemiringan 9%.
C = faktor pengelolaan tanaman, yang merupakan ratio kehilangan tanah dari suatu
medan yang mempunyai cara penanaman dan pengelolaan tertentu terhadap medan
serupa dalam kondisi dibajak tetapi tidak ditanami (fallow condition).
P = faktor pengendalian erosi, merupakan ratio kehilangan tanah dari suatu medan di mana
tanamannya searah dengan kemiringan yang: paling terjal.
Dengan variabel yang sebanyak itu di dalam rumus (11-4) maka tidaklah mudah
memecahkannya dengan cara kuantitatif, kecuali jika terdapat banyak data. Rumus tersebut
mempunyai dua buah kegunaan, yaitu:
(I). Meramalkan kehilangan tanah.
Jika medannya diketahui, cara pengelolaannya diketahui, maka kehilangan tanahnya
dapat diramalkan dan pola hujan tertentu yang tercurah selama waktu tertentu (biasanya
diambil curah hujan tahunan). Kehilangan tersebut merupakan nilai yang diperkirakan
(expected value), bukannya kehilangan yang bakal terjadi, dan tidak merupakan nilai
kehilangan yang bakal terjadi, misalnya selama tahun berikutnya, karena intensitas curah
hujannya tidak dapat ditentukan sebelum terjadi.
(2), Metnilih cara bertani (agricultural practices).
Dalam penggunaan rumus tersebut, nilai A dipilih sebesar nilai yang dipandang dapat
diterima, karena mengthentikan erosi sama sekali tidaklah mungkin. Beberapa faktor seperti
R. K dan S untuk medan tertentu tidak dapat segera diubah. Untuk faktor-faktor lainnya
mungkin dapat dilakukan dengan memilih cara bertani, sedemikian rupa sehingga misalnya
kalau C diberi nilai yang tinggi, maka P harus diperkecil.
Perlu dicatat disini bahwa persamaan (11-4) tersebut di atas hanya berlaku bagi lahan yang
diusahakan Lriruk bercocok tanam (lahan pertanian), jadi tidak termasuk erosi yang terjadi
dalam jalan-jalan air .,...atercourses).
rumas dasarnya akan menjadi A = R K. untuk tanah yang permukaannya dibajak, tanpa
erosi, panjang kemiringan 22,5 m, sedangkan kemiringannya 9%. Pada prakteknya,
variabel dan L dapat disatukan. karena erosi akan bertambah besar dengan bertambah
besarnya kemiringan permukaan medan ilebih banvak percikan air yang membawa butir -
butir tanah, limpasan bertambah besar dengan kecepatan yang lebih tinggi), clan dengan
bertambah panjangnya kemiringan (lebih banyak limpasan rnenyebabkan lebih besarnya
kedalaman aliran perrnukaan, dan karena itu kecepatannya menjadi lebih tinggi). Gambar
11.5. menunjukkan diagram untuk memperoleh nilai kombinasi L S, dengan nilai L S = 1
jika L = 22,5 m dan S = 9%.
Gambar 1.5
Penentuan yang paling sulit adalah faktor C, karena banyaknya ragam cara bercocok tanam
untuk suatu jenis tanaman tertentu dalam lokasi tertentu. Berhubung berbagai lokasi tersebut
mempunyai iklim yang berbeda-beda, dengan berbagai ragam cara bercocok tanam, maka untuk
menentukan faktor C guna diterapkan pada suatu lahan tertentu, diperlukan banyak data.
HAYES dan KI/vIBERLIN telah mengusulkan prosedur tertentu untuk memperoleh faktor
C, seperti yang ditulisnya dalam penerbitan American Society of Agronomy (1978) yang
berjudul Crop Residues Management Systems (Special Publication 31). Pola tanatn tersebut
didasarkan atas pola tanam corncorn-wheat-hay-hay-hay (CCWHHH) di daerah Illinois Utara,
Amerika Serikat.
Untuk mendapatkan faktor C bagi suatu jenis tanaman, diambil lima buah periode
sebagai berikut :
Periode f pembajakan kasar
Periode 1 penyebaran bibit
Periode 2 pemantapan (establishment)
Periode 3 pertumbuhan dan pematangan
Periode 4 tanaman sisa tanaman atau jerami
Kemudian nilai-nilai C yang diperoleh dibandingkan dengan sejumlah sisa tanaman (jerami)
yang berbed., beda pada kondisi standar berikut ini:
R = 175
K = 0,72 ton/ha
Kemiringan lahan = 6%
Panjang = 10,2 m (L S = 1,3)
maka jika
P = 1 (pertanian dengan lereng naik turun)
dan C = (untuk pembajakan terus menerus = continous fallow)
maka A = 164 ton/ha
Jika jenis tanamannya berbeda, dan jika pengelolaan sisa tanamannya serta cara pengolahan
tanahnya berlainan, maka nilai C akan berubah, kemudian nilai A akan menjadi seperti berikut:
111. CCWHHH, sisa tanaman di atas permukaan tanah sebesar 6700 kg/ha, 0 kg/ha
terbagi rata di atas tanah, permukaan tanah setebal 12 cm (6700/0 kg/ha),
pengolahan tanah dengan bajak mouldboard di musim semi, maka C = 0,9 dan A =
150 ton/ha
(2). Continous corn, 1100/0, tanpa pengolahan tanah, C = 0,27 dan A = 45 ton/ha
(3). Continous corn, 6700/0, tanpa pengolahan tanah, C = 0,03 dan A = 5 ton/ha
Dari contoh di atas terlihat bahwa usaha-usaha pengolahan lahan sangat penting,
terutama terhadap nilai-nilai sisa tanaman dalam memperkecil kehilangan tanah. Besarnya
laju erosi yang diperkirakan pantas dan dapat diterima adalah 11 ton/ha/tahun. Cara tanpa
pengolahan tanah dengan sisa tanaman yang tertinggal di atas permukaan tanah,
memberikan erosi terkecil di antara 11 cara yang dibandingkan. Sebagai tambahan dalam
membandingkan nilai C pada beberapa pola tanam, telah menunjukkan, bahwa jika kita
harus memindahkan sisa tanaman dari lahan untuk keperluan lain, maka meskipun lahan
tersebut hampir rata, sebaiknya dibuat berteras untuk mengurangi kehilangan tanah.
Mengenai faktor pengendalian P, seperti yang disinggung dalam contoh di atas sama
dengan I untuk pertanian dengan lereng naik turun, maka untuk kondisi lain akan lebih
kecil dari 1 (lihat Tabel 11-2).
Jelaslah bahwa rumus (11-4) tidak dapat dipakai dengan rnemasukkan data yang
digunakan di negara lain dan beriklim lain. Sebelum rrlenggunakan rumus tersebut pada
suatu tempat harus terlebih dahulu diadakan program penelitian jangka panjang untuk
mendapatkan data yang cocok untuk kondisi setempat. Hasil penelitian dan pengalaman
yang diperoleh pada suatu tempat dapat lebih mempermudah pemakaiannya di daerah
sekitarnya untuk memperkecil erosi.
Tabel 11-2. Faktor Perhitungan P
Uraian Kondisi P
a. Umum
Dalam Pasal 11.2. telah diuraikan mengenai cara untuk memperkirakan besarnya
volume lempeng. Bahan erosi yang dapat mencapai sungai atau saluran drainasi besar
hanyalah sebagian, yang disebabkan adanya pengendapan di daerah-daerah rendah, daerah
yang ada tumbuh-tumbuhannya, di dataran banjir atau pada lereng lahan yang herubah
secara mendadak. Sejumlah bahan erosi yang dapat menjalani lintas clad sumbernva
hingga mencapai titik kontrol secara penuh dinamakan hasil sedimen (sediment yield).
Hasil sedimen tersebut dinyatakan dalam satuan berat (ton) atau satuan volume (mpk atau
arcre-feet) dan sudah barang tentu merupakan fungsi luas daerah pengalirannya.
Pembandingan data hash sedimen, pada umumnya didasarkan atas hasil per satuan luas
daerah pengaliran yang dinamakan laju produksi sedimen (sediment production rate) yang
dinyatakan dalam ton/ha, ton/km 2 atau acre-feet/sq. mile.
Hash sedimen dan hasil erosi kotor (gross erosion) yang dihasilkan oleh erosi
lempeng ditambah erosi alur atau oleh sebab lain adalah sating bergantungan. Hubungan
tersebut dapat dinyatakan sebagai ratio hash sedimen terhadap erosi kotor; ratio ini
dinamakan ratio pengangkutan sedimen (sediment delivery ratio).
Hasil sedimen dari suatu daerah pengaliran tertentu dapat ditentukan dengan pengukuran
pengangkutan sedimen pada titik kontrol alur sungai, atau dengan menggunakan rumus -
rumus empiris atau semi empiris. Kebanyakan rumus-rumus untuk menentukan besarnya
pengangkutan sedimen dalam suatu alur sungai te I a h dikentbangkan, balk dengan
mengkorelasikan besarnya pengangkutan hasil sedimen yang diukur
curah hujan dan sifat-sifat topografi, maupun melalui analisis semi teoritis yang
menghubungkan sifat-sifat aliran sungai dengan hasil sedimen yang diukur.
Proses pengangkutan sedimen dalam alur sungai merupakan hal yang agak komplek,
sehingga n_ kuran laju pengangkutan sedimen masih merupakan perkiraan terbaik terhadap
besarnya hasil sedimen.
demikian. beberapa rumus pengangkutan sedimen yang didasarkan atas analisis
teoritis akan jika tersedia data yang cukup. Ketelitian perkiraan hasil sedimen akan
bertambah besar, jika an, de pen.gumpulan data cukup panjang.
h. Pengukuran Pengangkutan Sedimen
Behan sedimen yang diangkut melewati suatu penampang alur sungai terdiri atas beban
bilas (wash beban layang (suspended load) dan beban alas (bed load). Beban bilas terdiri
atas partikel-partikel ang sangat 'mitts dan koloid, yang mengendap sangat lambat
meskipun dalam air tenang sekalipun. Jenis hahan ini didapatkan dari bahan alas (bed
material) dalam jumlah yang sangat sedikit, atau jumlahnya sangat terhatas. Aliran
turbulen yang biasa saja di alur sungai sudah mempunyai kemampuan besar untuk
mengangkut beban bilas, sehingga beban bilas yang diangkut hanya merupakan fungsi
penyediaan material yang terdapat di alas sungai.
Beban layang dan beban alas kadang-kadang dikelompokkan bersama dan disebut beban
bahan alas (bed material load), karena terbentuk oleh partikel-partikel yang terdapat pada
bahan alas (bed material) dalam jumlah yang besar. Beban layang didefinisikan sebagai
sedimen yang tidak pernah berada di alas alur sungai (tidak termasuk beban bilas),
selamdalam kondisi aliran. Beban alas didefinisikan sebagai sebagian beban yang bergerak
sepanjang alas sungai dengan cara menggelinding, bergeser atau berloncatan. Banyaknya
beban bahan alas dipengaruhi oleh kondisi aliran, jika ada pasok (supply) cukup untuk
memelihara pengangkutan pada kapasitas alur.
Ketiga macam pengangkutan sedimen tersebut dapat mempengaruhi k etelitian dalam
pengukuran sedimen terutama bila digunakan lengkung aliran sedimen dan lengkung
debit (discharge rating curve). Jumlah beban layang dan beban bilas relatif mudah
diukur. Karena partikel-partikel sedimen tersebut bergerak secepat aliran, maka
konsentrasi sedimen jika dikombinasikan dengan pengukuran debit menghasilkan
besarnya pengangkutan sedimen.
Dewasa ini telah dikembangkan alat-alat khusus dan cara-cara pengambilan contoh untuk
meningkatkan
Gambar 11.6.
dari logam, yang di dalamnya terdapat botol tempat contoh (sampel) yang dihubungkan
dengan pipa keci (nozzle) yang merupakan jalan masuk (intake) ke dalam botol (lihat Gambar
11.6.). Alat pengambi contoh (sampler) tersebut biasanya digunakan sebagai alat pengambil
contoh depth integrating maupui sebagai point integrating, yang konstruksinya, tergantung
pada jenisnya. Perbedaan pokoknya terletal pada cara operasi untuk mendapatkan contoh air.
Jenis alat pengambil contoh depth integrating dioperasikan dengan menurunkan alat
tersebut dar permukaan air sampai ke dasar sungai dengan kecepatan konstan, kemudian
dinaikkan dengan kecepatat sama sampai di permukaan air lagi. Oleh karena itu, konsentrasi
sedimen dalam contoh air merupakai nilai rata-rata dari kedalaman air pada garis vertikal.
Besarnya beban layang dan beban bilas merupakai perkalian antara konsentrasi rata-rata
dengan debit air pada garis vertikal tersebut. Biasanya contoh ai diambil dari 5 buah garis
vertikal pada sebuah penampang melintang alur sungai, dan banyaknya sedimei layang dan
bilas merupakan penjumlahan beban-beban pada garis-garis vertikal tersebut.
Cara operasi alat pengambil contoh jenis point integrating yaitu dengan menurunkan alat
sampai titik tertentu dalam aliran, sehingga botol tempat penampung contoh air hanya terisi
pada titik tersebu saja. Konsentrasi sedimen dalam contoh air yang didapat merupakan
konsentrasi rata-rata dalam wakti tertentu. Pengambilan contoh air dilakukan pada berbagai
titik kedalaman pada garis vertikal untul mendapatkan lengkung konsentrasi sedimen terhadap
kedalaman pada garis vertikal. Konsentrasi pad; titik tertentu dapat dikalikan dengan
kecepatan aliran pada titik tersebut atau diplot terhadap kedalamai aliran. Luas di bawah
lengkung, merupakan beban sedimen untuk garis vertikal tersebut. Cara ini digunakai untuk
memeriksa hasil-hasil yang diperoleh alat pengambil contoh depth integrating dan untuk
memperolel distribusi butir pada garis vertikal.
Pengukuran bebas alas lebih sukar dibandingkan dengan pengukuran beban layang,
karena:
(1). partikel-partikelnya tidak bergerak secepat aliran
(2). karena pengaruh bentuk dasar sungai, akan terjadi variasi dalam besarnya penangkutan
sedimen
(3). setiap alat yang ditempatkan pada atau di dekat dasar sungai akan mengubah kondisi aliran.
yan; mengakibatkan pengukuran beban tidak betul
(4). jika alat ditempatkan di daerah loncatan (saltation zone), beberapa contoh yang diperoleh
mau pakai bahan layang (suspended material)
Karena kesulitan-kesulitan tersebut, maka pengukuran beban alas jarang diperoleh hasilnya_
Nam demikian beberapa usaha masih dilakukan untuk mengembangkan alat pengambil contoh
beban alas. sar di antaranya adalah seperti yang terlihat pada Gambar 11.7.
Besarnya beban alas dapat diduga dengan membandingkan beban total yang dihitung
berdasarkan rumus EINSTEIN, yang diubah (modified EINSTEIN equation) terhadap beban lay
ang yang diakza
Selain itu dapat pula ditempuh dengan cara membuat bangunan khusus pada alur sungai untuk
menaikkan kecepatan dan membentuk turbulensi sedemikian rupa sehingga semua beban
alas menjadi beban layang. Dengan demikian beban totalnya –dapat diukur dengan teknik
pengukuran beban layang. Tetapi cara membuat saluran turbulensi di alur alam (sungai)
tersebut seringkali dipandang kurang layak dari sudut ekonomi
Laju pengangkutan sedimen merupakan besarnya sedimen yang diukur sesaat. Jika debitnya
tidak berubah secara cepat, maka satu kali pengukuran laju pengangkutan sedimen sudah cukup
mulut untuk menentukan laju rata-rata dalam satu hari. Tetapi jika debitnya berubah secara cepat
dan laju pengangkutan sedimennya tinggi, maka diperlukan beberapa pengukuran untuk
menentukan laju harian rata-rata secara lebih teliti. Pada umumnya, pada kondisi seperti ini
penggunaan cara depth integrat-ing maupun point integrating akan banyak memakan waktu,
sehingga cukup hanya diambil satu atau dua buah contoh air pada titik-titik yang ditetapkan
dalam sungai. Suatu korelasi antara konsentrasi-konsentrasi yang diukur pada titik-titik yang
ditetapkan dengan konsentrasi keseluruhan dapat dihitung dari pengukuran-pengukuran
terdahulu yang lebih lengkap. Konsentrasi rata-rata untuk seluruh penampang melintang pada
titik-titik yang ditetapkan, dapat diperoleh dari korelasi tersebut. Prosedur ini digunakan
dalam program pengambilan contoh sedimen di Kanada dengan maksud untuk menghemat
waktu dan biaya pengambilan contoh.
Sekali laju rata-rata pengangkutan sedimen diketahui, hasil musiman atau tahunan dalam
daerah pengaliran dapat diperoleh dengan menjumlahkan laju harian rata-rata. Hasil sedimen
tahunan ini seringkali berkorelasi secara baik dengan debit rata-rata tahunan. Maka apabila
terdapat perbedaan atau variasi yang jauh dari korelasi, ini merupakan indikasi yang
mengundang penilaian terhadap perubahan keadaan dalam daerah pengalirannya.
Gambar 1.7
Hasil sedimen musiman atau tahunan dapat juga ditentukan dari pengukuran terhadap
perubahan dasar waduk yang dilewati oleh sungai tersebut di atas. Pengukuran secara
periodik (tahunan atau musiman) pada penampang-penampang melintang waduk yang telah
diteMpkan, bersamaan lengan pengamatan berat jenis bahan endapan akan merupakan
perkiraan banyaknya endapan sedimen di waduk. Bahan endapan tersebut hanya merupakan
sebagian dari besarnya pengangkutan total sedimen tahunan, karena sebagian lain dari
sedimen terangkut oleh aliran keluar (outflow) dari waduk. Besarnya pengangkutan sedimen
yang keluar dari waduk tergantung dari ukuran butirnya dan luas waduk, besarnya aliran
keluar dari waduk, sifat-sifat bahan sedimen dan sifat-sifat outlet waduk. Dua buah faktor
pertama di atas mempengaruhi waktu penampungan, yakni lamanya waktu pengendapan
yang dapat terjadi dalam waduk. Waktu penampungan dala.m hubungannya dengan
kecepatan mengendap butir-butir sedimen, merupakan faktor utama yang mempengaruhi
aliran keluar sedimen. Letak outlet bendungan dapat juga mempunyai pengaruh, lebih-lebih
jika letaknya berada pada elevasi rendah, sehingga aliran sedimen dapat terjadi pada zone
yang konsentrasi sedimennya lebih tinggi.
Suatu perkiraan efisiensi tampungan waduk dalam menangkap sedimen telah dibuat oleh
BRUNE (1953), yang menghubungkan persentasi sedimen yang tertangkap terhadap ratio
kapasitas waduk dan aliran masuk tahunan (keduanya dalam m 3). Hubungan tersebut
cliperlihatkan pada Gambar 11.8. Volume sedimen yang mengendap dalam waduk yang
diukur dapat dibagi oleh perkiraan persentasi sedimen yang tertangkap, untuk memberikan
hasil sedimen dari daerah pengaliran yang bersangkutan. Hasil perhitungan tersebut harus
diperiksa, jika mungkin dengan pengukuran pengangkutan sedimen di hilir waduk, sebagai
persentasi sedimen tertangkap yang mungkin berbeda dengan yang diberikan oleh BRUNE.
Ini bisa disebabkan oleh perbedaan bentuk waduk dan cara mengoperasikannya.
dengan E, = u' I yang merupakan perpindahan sedimen yang dianggap sama dengan
perpindahan momentum
Kalau persamaan (11-8) diintegrasikan akan didapat
𝐶 𝑧 𝑑𝐶
In{𝐶𝑎} =- w p∫𝑎 (11-9)
𝐸𝑧
dengan Cɑ = konsentrasi pada ketinggian z = ɑ dari dasar alur Jika dianggap Es. = Em = ß u' Ɩ
maka rumus (11-5) akan menjadi
𝜏
E =𝑝 𝑑𝑣𝑙 𝑑𝑧 (11-10)
Di dalam aliran uniform pada saluran terbuka dengan perbandingan lebar terhadap
kedalaman yang besar, tegangan geser "C dirumuskan sebagai berikut:
𝑑−𝑧
𝜏 = 𝜏o ( ) (11-12)
𝑑
sebagai berikut
𝑑𝑣 1 𝑡𝑜 1 𝑣∗
= 𝑘𝑜 √ 𝑡 = 𝑘𝑜 𝑧 (11-13)
𝑑𝑧 𝑧
Rumus (11-15) sangat baik untuk menggambarkan distribusi sedimen, baik dalam
percobaan laboratorium maupun pada prototipe sungai, meskipun pada kondisi konsentrasi
sedimen yang tinggi (di atas 100 gram per liter) di dekat dasar sungai. Rumus tersebut
tidak dapat diterapkan pada a = 0, karena akan didapat konsentrasi tidak terhingga di dekat
dasar. Pada z = d (pada permukaan air) akan didapat konsentrasi = 0, sedangkan dan
pengamatan yang sebenarnya menunjukkan adanya konsentrasi tertentu, mungkin
disebabkan oleh adanya arus sekunder atau olakan (eddies).
Persamaan (11-16) mengandung koefisien VON KARMAN /co, yang diambil sebesar
0,4 untuk air jernih, tetapi berubah-ubah untuk aliran yang mengandung sedimen. Jadi
ketelitian rumus (1115) tergantung pada ketelitian dalam menentukan besaran k0.
Nilai a dapat dianggap sama dengan 0,05 d atau 2D, dengan D merupakan besarnya
butir material alas (bed material), yang biasanya diambil sama dengan d65.
Besarnya pengangkutan total ay, untuk sebagian tinggi pada garis vertikal atau antara z
= a hingga z = d, diperoleh dengan mengintegrasikan hasil kecepatan aliran v dengan
konsentrasi C per satuan lebar alur, yaitu
𝑧
qs = ∫𝑎 𝑉 C dz (11-17)
Kecepatan aliran v dapat dianggap mematuhi distribusi logaritmik (agar konsisten dengan
nilai anggapan dv/dz). Dengan anggapan bahwa rumus KEULAGAN dapat diterapkan,
maka
30,2 𝑧
v = 5,75 v. log[ ] (11-18)
𝑑65
smooth)
Jika nilai-nilai integralnya ditentukan sebagai berikut ini
AE(𝑧−1) 1 1−𝑧
I1 = 0,216 (1−𝐴𝐸 𝑧)
∫𝐴𝐸 { 𝑧
} 𝑑𝑧
Dan
AE(𝑧−1) 1 1−𝑧
I2 = 0,216 (1−𝐴𝐸 𝑧)
∫𝐴𝐸 { 𝑧
} 𝑑𝑧
30,2 𝑑.𝑥
Maka qs = 11,6 v* Ca a[𝑙𝑛 ] I1 + I2 (11-20)
𝑑65
Data-data untuk aliran dan sedimen yang diperlukan adalah kedalaman aliran, lereng
muka air, konsentrasi sedimen pada kedalaman referensi a, nilai kecepatan mengendap
sedimen, dan distribusi butir-butir material alas. Kecepatan mengendap butir, w, demikian pula
nilai Z akan berubah menurut besarnya butir-butir, sehingga rumus (11-20) dapat diterapkan
pada beberapa perubahan besarnya butir yang ditentukan oleh distribusi besar butir material
alas.
Kecepatan mengendap untuk butir-butir berbentuk bola dipakai rumus berikut ini
𝑔 𝐷2
Untuk aliran laminer w = (s-1) (11-21)
18 𝑣
Dan
AE(𝑧−1) 1 1−𝑧
I2 = 0,216 (1−𝐴𝐸 𝑧)
∫𝐴𝐸 { 𝑧
} 𝑑𝑧
30,2 𝑑.𝑥
Maka qs = 11,6 v* Ca a[𝑙𝑛 ] I1 + I2 (11-20)
𝑑65
𝑔 𝐷2
Untuk aliran laminer w = (s-1) (11-21)
18 𝑣
4 𝑔 𝐷2
Untuk aliran laminer w = (s-1) (11-22)
3 𝐶𝑟
𝑃𝑠−𝑝 𝐷
ц* = 𝑝 𝑅𝑏𝑆𝑒
ц
log(10,6)
ц* = ε y 2 { 10,6𝑋𝑥 } (11-25)
𝑙𝑜𝑔
𝐷65
Beban sedimen alas total (beban layang ditambah beban layang) dapat dihitung
dengan
30,2 𝑑𝑥
i t q, = 𝑖β 𝑞β [2,30 𝑙𝑜𝑔 { } 𝐼1 + 𝐼2] /, + / 2 ] (11-27)
𝑑65
(8). Pilihlah nilai v",,/v yang cocok dari Gambar 11.10.b dari langkah
(9). Hitting nilai R"b dari rumus r”b = Vb-2 Ig S,.
(10). Radius hidrolik keseluruhan untuk alas ditentukan menurut rumus Rb =R’b+R”b.Ini
Dapat dianggap sebagai kedalaman aliran untuk kondisi tertentu.
(11) Tentukan luas penampang aliran total dan keliling basahnya dari data survai
lapangan yang berhubungan dengan kedalaman aliran. Data lapangan yang
diperlukan adalah informasi mengenai penampang melintang rata-rata sepanjang
bagian sungai yang sedang diselidiki.
(12) Debitnya kemudian dapat dihitung, yang besarnya sama dengan penampang aliran
total dikalikan dengan kecepatan aliran rata-rata v.
(13) Ukuran butir referensi adalah ukuran butir terkecil pada alas yang diketa hui
dan sepenuhnya dipengaruhi oleh aliran turbulen. Hal ini didefinisikan oleh
rumus berikut ini „
𝑑65 𝑑65
X = 0,77 jika > 1,80 ϑ (alas kasar)
𝑥 𝑥
𝑑65
X = 1,39 8 jika < 1,80 8 (alas licin)
𝑥
(14). Dapatkan faktor koreksi Y dari Gambar 11.10.c. Lengkung distribusi ukuran butir
sedimen alas dapat dipecah menjadi beberapa fraksi ukuran (kira-kira 8), dan
ukuran butir yang dapat mewakili
fraksi tertentu ditentukan sebagai nilai rata-rata (jika perbedaan ukuran butir
dalam fraksi kecil). Ukuran butir yang mewakili dapat dibagi oleh X, dan
ditentukan dari Gambar 11.10.d.
(15). Dengan menggunakan rumus (11-25) dihitung V. dan dimasukkan ke dalam
Gambar 11.10.e untuk mendapatkan 1.. Dengan diketahuinya 0* maka rumus
(11-23) dapat digunakan untuk menghitung i k q„, demikian pula i 1 , dapat
dihitung untuk fraksi ukuran butir tertentu ditinjau.
(16). Nilai Z = 0,4 v, dapat dihitung juga, sedangkan nilai integral /, dan 1 2 dapat
dicari dengan
pertolongan Tabel 11-4 dan Tabel 11-5, yaitu
(17). Nilai ipq, dapat dihitung dari rumus (11-28). Jika semua yang berdimensi
panjang (Ii",, V., 8, tinggi duga air, keliling basah, X dan D) dinyatakan dalam
feet/detik, maka i rq, mempunyai satuan lbs/ft-detik. Aliran alas total
mempunyai satuan ton/hari, yang sama dengan i fq, dikalikan dengan lebar alas
dan faktor konversi 43,1.
Gambar 1.10.
Tabel 11-4. Nilai-nilai 𝑗1
% lebih halus
Distribusi diameter butir beban alas
Gambar 1.11.
A. Perhitungan hidrolika
Perhitungan berbagai informasi hidrolik yang penting dan relevan selalu mendahului setiap
perhitungan
Langkah perhitungan 1 sampai dengan 17 harus dilaksanakan untuk setiap fraksi ukuran
material alas. Di samping itu, seluruh urutan harus diulang bagi setiap asumsi yangdikehendaki
Jika misalnya ada 5 buah asumsi Kb dan ada 8 buah fraksi ukuran butir yang di tinjau, maka akar
terdapat 40 buah urutan perhitungan yang harus dilaksanakan.
Dengan cara ini jumlah pekerjaan yang hams dilakukan untuk menentukan pengangkutan
sedimer banyak sekali, tetapi hanya dapat memberikan hasil yang baik dalam keadaan-keadaan
tertentu Kegagalan cara ini terletak pada pengambilan asumsi distribusi kecepatan, yang
didasarkan pack hubungan pemindahan sedimen (sediment transfer relationships), dan tidak
digunakannya data lapangar yang seringkali dapat diperoleh. COLBY dan HOMBREE (1955)
mengusulkan cara yang dinamalcan cara EINSTEIN yang diubah (modified EINSTEIN method),
yang diusahakan agar lebih banyak menggunakan data lapangan yang dapat diperoleh dengan
mudah. Penggunaan cara ini alchirnya menjadi luas. Prosedur perhitungannya pada umumnya
sama dengan cara EINSTEIN, hanya diikuti perubahan-perubahan sebagai berikut:
(1). Perhitungan lebih didasarkan atas kecepatan rata-rata dibandingkan dengan berdasarkan
atas lereng alas, sedangkan kedalaman airnya diamati untuk setiap kecepatan.
(2). Kecepatan geser v, dan pangkat beban layang Z yang bersangkutan ditentukan dari
ukuran butir yang dominan. Nilai-nilai Z untuk ukuran butir yang lain diturunkan dar
ukuran butir dorninan dan dianggap berubah dengan pangkat 0,7 dari kecepatan
mengendap.
(3). Lengkung 4 - DIX agak diubah.
(4). R' diganti dengan kedalaman air di dalam persamaan logaritmik untuk kecepatan
rata-rata.
Dua buah perubahan yang pertama, yaitu (1) dan (2) hams dapat memperbaiki ketelitian
persamaannya, karena adanya ketidaktelitian pada pengambilan distribusi kecepatan. Perubahan
(3) juga sesuai dengan pengamatan yang dilakukan terhadap data saluran yang terdapat berbagai
ukuran butir. EINSTEIN (CHOW, 1964) berpendapat bahwa perubahan (4) dapat menyebabkan
kesalahan yang besar pada laju sedimen yang kecil.
COLBY dan HOMBREE (1955) juga telah menunjukkan cara untuk menghitung beban
total, q, dengan nilai-nilai yang diukur dari sedimen layang. EINSTEIN mengusulkan bahwa
hubungan itu dapat diberikan oleh rumus berikut ini:
𝑖𝑡 𝑞1 𝐸 1−𝐴𝑒 (1+𝑃𝐸 𝐼1+𝐼2
= {𝐴𝐸}z-1{ 1−𝐸 } 𝑧 (11-29)
𝑖𝑠𝑚 𝑞𝑠𝑚 (𝑃𝐸 𝐼1+𝐼2
dengan
q, = beban total dengan selang ukuran butir (grain size range) tertentu dan
material alas
i„„q,„, = beban layang yang diukur, (dijumlahkan ke arah kedalaman = depth
integrated) dalam ukuran butir yang sama
AE = 2 DId, perbandingan 2 x diameter terhadap kedalaman air
E = perbandingan ketebalan lapisan yang tidak diukur (pengukuran beban
layang hanya dapat dilakukan kira-kira 3 inch atau 7,5 cm di atas alas)
terhadap kedalaman air
30,2 𝑑 𝑥
𝑃𝐸 = 2 , 3 0 lo g , dan
𝑑65
Kolom (I) : ir b dalam ft, jari-jari hidrolik alas untuk kekasaran butir
Kolom (2) := g dalam fps (kecepatan geser terhadap butir)
Kolom (3) : 3' = 11,6 dalam ft (ketebalan lapisan laminer)
Kolom (4) : k., = do (diameter kekasaran)
Kolom (5) : x (faktor koreksi dalam rumus kecepatan logaritmik untuk membedakan rejim
licin, peralihat dan kasar; x = f(d65/8') seperti terlihat pada Gambar 11.16).
Kolom (6) : A, dalam ft = dole
Kolom (7) : v = 5,75 v'* log (12,27 12 1,76)(kecepatan rata-rata)
Kolom (8) :(intensitas geser pada butir representatif);
𝑃𝑠 − 𝑝 𝑑35
𝑝 𝑅 ′ 𝑏𝑆𝑒
Kolom (9) : Pilih nilai v/v.' sebagai fungsi (1") dari Gambar 11.15. Kolom
(10) : v"bdalam fps (kecepatan geser karena ketidakaturan
alur)
Kolom (11) : R", dalam ft (jari-jari hidrolik terhadap ketidakaturan alur)
Kolom (12) : R I, dalam ft (jari-jari hidrolik; R h = R',, + R,,", tanpa tambahan geseran
dari tebing, tumbuh-tumbuhan dsb. Rb merupakan jari-jari hidrolik total).
Kolom (13) : v*, dalam fps (kecepatan geser); didapat dari v. = -\ 18 Rh S
Kolom (14) : d, dalam ft (kedalaman atau duga air); untuk alur lebar R h = d; lihat
Gambar 11.12.
Kolom (15) : A, dalam ft 2 (luas penampang melintang); didapat dari Gambar 11.12.
Kolom (16) : P, dalam ft (kerning basah); didapat dari uraian penampang Gambar
11.13.
Kolom (17) : Q, dalam ft3idet (debit air); Q = v A; lengkung debit harus dibuat seperti
Gambar 11.13.
Kolom (18) : X, dalam ft (jarak lcprakteristik); X = 0,77 A[ untuk A/5 > 1,80 X = 1,39 8
untuk A.18 '<
1,80.
Kolom (19) : y (koefisien koreksi tekanan); g = f(k15); lihat Gambar 11.16.
Kolom (20) : fix (fungsi logaritmik); fi x = log (10,6 X10)
Kolom (21) : ($/13x)2 dengan $ = log 10,6.
1 30,2 𝑑𝑥
Kolom (22) : P E (parameter transpor dari EINSTEIN): P E . = log
0,434 𝑑65
Tabel 11-7. (lanjutan)
Gambar 11.14.
Gambar 11.15.
𝑠
Koreksi Tekanan (EINSTEIN) Faktor (EINSTEIN)
𝑥
Gambar 11.16 Gambar 11.17.
Gambar 11.18
M
103𝐷 102𝑖 h R’b ¥ D/X £ ¥. Ф. ib𝑖𝐵𝑞𝑏 𝑖𝑦 𝑞𝐵
𝑖𝑏𝑄𝐵
0,5 7,64 1,06 1,12 4,10 1,00 0,014 4,29 4,29
1,0 3,86 1,51 1,00 2,20 2,90 0,041 12,45 12,45
1,62 17,8 2,0 1,93 2,13 1,00 1,27 5,89 0,081 25,10 25,10
3,0 1,29 2,28 1,00 0,85 9,10 0,127 39,50 39,50
4,0 0,97 2,16 1,00 0,67 11,70 0,164 51,20 51.20
5,0 0,78 2,10 1,00 0,54 14,70 0,206 65,00 65,00
Kolom (2) : i,, (fraksi dari material alas); diambil dari Tabel 11-6.
Kolom (3) : dalam ft (radius hidrolik terhadap butir); diambil dari Tabel 11-7.
𝑃𝑠 − 𝑝 𝐷
Kolom (4) : (intensitas geser pda butir); ҹ, = lihat Tabel 11-7
𝑝 𝑅′ 𝑏 𝑆𝑒
Kolom (18) : ir Q, dalam lb/det (laju beban material alas per satuan waktu untuk suatu ukuran
fraks pada seluruh penampang melintang); i, Q, = (i, q,) P.
Kolom (19) : E i, Q, dalam lb/det (laju beban material alas per satuan waktu untuk semua fraksi
ukuran, pada seluruh penampang melintang
Gambar 11.20.
Τo = y d 𝑆𝑒 = 𝐶𝑓 n ƹ (𝑦𝑠 -y) (11-30)
Dengan
cf = Koefesien gesek (frictional coefficient)
n = banyaknya lapisan
ys = berat jenis sedimen
y = berat jenis air
Lapisan yang gerakannya tercepat adalah yang terletak di dekat air, dengan kecepatan (n — 1)
vs v Jik kecepatan antara lapisan ke—n hingga lapisan ke-1 mempunyai distribusi linear, maka
banyakny material padat per satuan waktu dan per satuan lebar adalah
𝑛(𝑛−1)
𝑞𝑠 = ƹ (𝑉𝑠 m 3 /(det)(m) (11-30)
2
Dalam persamaan (11-31) n E adalah ketebalan material yang bergerak dengan kecepatan
rata rata sebesar {vs(n — 1))/2. Kondisi kritis di mana gerakan sesaat akan dimulai, terjadi pada
n = 1 sehingga persamaan (11.30) menjadi
𝜏𝑐 =𝐶𝑓 n ƹ (ys – y) (11-31)
Hal ini pada gilirannya akan menghasilkan hubungan sebagai berikut :
𝜏= n (𝜏𝑐 ) (11-32)
Yang jika dimasukkan ke dalam persamaan (11-31) diperoleh :
ƹ𝑉
𝑞𝑠 =[2 𝑡𝑠2 ] 𝑡𝑜 {𝜏𝑜 − 𝜏𝑐 } (11-34)
𝑉
DUBOYS merupakan faktor ƹ 2𝑠 /2τc sebagai koefesien sedimen karakteristik x, sehingga
banyaknya volume beban alas per satuan lebar dan waktu dapat ditulis sebagai berikut :
𝑥2
𝑞𝑠 = x ∫𝑥1 𝜏𝑜 [𝜏𝑜 − 𝜏𝑐] dx 𝑚3 /det (11-36)
dengan koordinat x merupakan lebar alur. Dan beberapa eksperimen yang telah dilaksanakan
untu butir-butir serbasama pada berbagai macam pasir dan porselin, koefisien sedimen
karakteristikny dapat ditentukan sebagai berikut:
1
X = 0,54𝑦𝑠−𝑦 (11-37)
Persamaan (11-37), yang ditulis dalam metrik, dibuat berdasarkan data yang sangat
terbatas, dan saluran eksperimennya hanya berukuran kecil. Eksperimen yang didasari atas
data yang baik dan luas telah dilaporkan oleh GILBERT (1914), yang bekerja secara
terpisah dan DUBOYS, dan kemudian dianalisis oleh DONAT (1929), telah diperoleh
hubungan antara x dengan nilai tengah (mean) diameter. Dalam tahun 1935 STRAUB
mengerjakannya setelah mempelajari hasil-hasil yang diperoleh berbagai penyelidik. Nilai
rata-rata x dan r, untuk beberapa ukuran pasir disajikan dalam Tabel 11-9., dan diberikan
dalam bentuk rumus sebagai berikut:
0,173
X= (11-38)
𝐷 3/4
Tabel 11-19 Evaluasi Paramter pada Rumus (11-35)
D, mm 1/8 ¼ ½ 1 2 4
X, 𝑓𝑡 6 /(1b2 )(det) 081 0,48 0,29 0,17 1,10 0,06
Ϯe 1/ft 2 0,016 0,017 0,022 0,032 0,052 0,09
Gambar 11.21.
Baik Tabel 11-9 maupun rumus (11-39) dibuat dalam satuan Inggris (foot-pound-inch),
sedangkan yang metrik disiapkan oleh ZELLER (1963) dalam bentuk grafik seperti terlihat
pada Gambar 11.21. SHIELDS (1936), dengan menggunakan konsep mekanika fluida, telah
berhasil diterapkan untuk menyelesaikan masalah tegangan gesek kritis. Ia tidak bermaksud
untuk membuat rumus universal, tetapi hanya ingin menunjukkan secara ringkas bahwa banyak
sekali faktor yang mempengaruhi masalah tersebut. Rumus semiempiris untuk gaya angkut
diplot dalam Gambar 11.22 yang mempunyai rumus sebagai berikut:
𝑄𝐵 𝑦𝑠−𝑦 𝑡𝑜−𝑡𝑠 𝑡𝑜−𝑡𝑠
= 10 (𝑦𝑠− 𝑦 = 10 (𝑦𝑠− 𝑦) 𝐷 (11-39)
𝑦 𝑞 𝑆𝑒−𝑦
dengan qB = laju beban alas dalam berat per satuan waktu dan lebar
q = debit air per satuan lebar
S, = lereng garis energi
D = diameter butir
𝑦𝑠 = berat jenis sedimen
Y = berat jenis air
dengan faktor pertama dalam rumus (11-40) di atas merupakan volume partikel tunggal, faktc
kedua merupakan banyaknya partikel yang ikut bergerak, dan yang ketiga merupakan perbedaa
rata-rata kecepatan kejut v,, dan kecepatan kritisJika di sederhanakan dan dikalikan dengan
diperoleh
2 𝑉𝑏−𝑉𝑏𝑐
qs = 3Pk v* D (11 – 41)
𝑣∗
Dengan menyamakan pk = 0,35 dan mengharapkan adanya hubungan fungsi sedemikian rupa
sehingga
𝑉𝑏−𝑉𝑏𝑐 𝑡𝑐
=f[𝑡𝑜] (11 – 42)
𝑣∗
Rumus beban alas KALINSKE ini mirip dengan persamaan tipe DUBOYS, yang pada
Gamba 11.23., diperbandingkan dengan eksperimen-eksperimen yang lain. Perlu dicatat disini
bahwa pad nilai Vro rendah ketelitiannya. Pada aliran turbulen a. dapat diambil sebesar 12 D.
Rumus KALINSKE ini dapat dipandang sebagai rumus beban alas yang paling lanja
dibandingkan dengan rumus-rumus tipe DUBOYS yang manapun.
(2). Persamaan tipe SCHOKLITSCH
Persamaan dasar tipe DUBOYS menghubungkan pengangkutan beban alas dengan kelebiha
gerak gesek
qs =x to (to – tc)
Pada pengembangan berikutnya DUBOYS (1879) menyarankan agar tegangan gesek
krimisays dirumuskan sebagai berikut
Tr = Sr d, (11-44)
sehingga rumus (11-44) menjadi
qs = x (y Se)2 d (d - dc) (11-45)
Sedimen bergerak jika d (kedalaman air) melampaui d, (kedalaman air kritis).
Pengaturan lebih lanjut dilakukan oleh FORCHHEIMER d S, oleh kecepatan rata-rata yang
representatif v, yaitu v2/C2, sehingga rumus (11-44) menjadi
1
qs = x y2𝐶 4 V 2 (V 2 − V 2 c) (11-46)
dengan C adalah angka kekasaran CHEZY. Dari rumus (11-45a) dapat disimpulkan bahwa
perpindahan beban alas mulai pada suatu kecepatan tertentu sebesar = CV(S,, s)s, dan bertambah
cepat jika
kecepatannya melampaui nilai kondisi kritis. Gerakan secara lapis demi lapis, seperti
pandangan DUBOYS (1879), dalam keadaan sebenarnya tidaklah pemah ada. DONAT (1929)
mengambil langkah lain dan menulis rumus (11-45) menjadi (11-46)
dengan v adalah kecepatan rata-rata seperti yang dinyatakan dalam rumus CHEZY. Sementara
itu SCHOKLITSCH (1936) menyarankan suatu rumus yang didasarkan atas eksperimen dalam
laboratorium seperti berikut ini:
qs = x y 2 𝑆𝑒 1.4 n1,2 q0,6 ( q0,6 - 𝑞𝑐 0.6 ) (11-47)
dengan x" adalah koefisien sedimen karakteristik baru dan q, debit air yang menyebabkan
material mulai bergerak. Jika kedalaman air pada rumus (11-44) dinyatakan dengan rumus
MANNING untuk debit rata-rata dan menganggap bahwa dalam keadaan ini lereng
energinya S, serta angka kekasaran n tidak berubah, maka akan didapat rumus berikut ini:
qs = xy2 𝑆𝑒 1.4 n1,2 q0,6 ( q0,6 - 𝑞𝑐 0.6 (11-48)
Bila q°'6 q!).6 dapat diganti oleh 𝑆𝑐 1.2 maka pangkat 1,2 dapat dibandingkan dengan
pangkat 1,0 pada rumus (11-47). SHULITZ (1935) menjelaskan bahwa hal itu
dipandangnya sebagai kecocokan yang baik.
Rumus beban alas yang bentuk umumnya seperti rumus (11-46), atau yang terutama seperti
(11-47) banyak disarankan oleh berbagai peneliti. Karena SCHOKLITSCH merupakan orang
pertama kali mengemukakan rumus tersebut maka rumus itu dinamakan persamaan tipe
SCHOKLITSCH.
GILBERT (1914) telah melakukan eksperimen-eksperimen penting yang didesain
secara sistematik, untuk menentukan "pengangkutan debris" dalam keadaan debit, garis
lereng energi dan sifat-sifat sedimen yang berubah-ubah. Dan eksperimennya didapat
rumus empiris berikut ini:
𝑞𝑐 = C4 (q-𝑞𝑐 )0,81−1,24(𝑠𝑒 -𝑆𝑒𝑐 )0,93−2,37 (𝐷 −1 -𝐷𝑒 −1 )0,50−0,62) (11-49)
Rumus beban alas yang menggunakan kecepatan rata-rata juga telah disarankan
oleh BAREKYAN (1962). Rumus tersebut sangat mirip dengan rumus (11-46), yang is
periksa dengan data dari Uni Sovyet dan data GILBERT, yang menghasilkan rumus tidak
berdimensi berikut ini:
Rumus ini didasarkan atas penyelidikan SIMON et al. (1965), tetapi usnyata tidak terlalu sesuai
untuk semua data.
Jika Q, merupakan banyaknya material padat sedangkan q, adalah debit sedimen per
satua lebar, maka terdapat hubungan
𝑥1
Q s = ∫𝑥2 𝑞𝑠d x (11-51)
dengan koordinat x ke arah lebar alur. Dalam alur segiempat biasanya perpindahan beban alp
terbagi rata di seluruh penampang. Dalam alur alam, seperti sungai, perpindahan beban alas
hail) berjalan di bagian alur di mana "keadaan kritis" dilampaui.
Jadi, jumlah beban alas Q. dapat dinyatakan sebagai berikut:
QS = S,! (Q — B qc) (11-52)
dengan B lebar alur.
SCHOKLITSCH (1930) mengusulkan untuk menghitung jumlah sedimen tahunan untuk
sung: Mur, Rhein dan Donau dengan menggunakan rumus
𝑦
𝑄 𝑠𝑋𝑠 ∑(𝑄 − 𝑄𝑐) (11-53)
dengan Q, debit air yang sedimennya mulai bergerak. Koefisien untuk Sungai Mur didapatka
0,00019 dan untuk Sungai Rhein 0,00013, keduanya dalam satuan metrik.
SCHOKLITSCH (1934) telah melakukan studi detail terhadap faktor-faktor yang
mempengarul rumus (11-47) dengan menggunakan data-data GILBERT (1934).
Pertama-tama SCHOKLITSCH merencanakan untuk menentukan laju debit air kritis yan
menyebabkan sedimen mulai bergerak. Dengan mengekstrapolasikan data dengan angkutan
sedime terhadap titik dengan laju debit air tidak menghasilkan angkutan sedimen, yang
kemudian mendapatka hubungan berikut ini:
(1,944)(10−5 𝐷)
𝑞𝑐 = 𝑚3 /(det)(m) (11-54
𝑆𝑒
yang didasarkan atas butir-butir pasir serbasama, dalam milimeter, yang diameternya berada
antal 0,305 dan 7,02 mm. Dengan menambahkan data GILBERT, rumus (11-54) menjadi
7000𝑆𝑒 3/2 (𝑞−𝑏 𝑞2)
𝑞ß = 𝑚3 /(det)(m) (11-56
𝐷 1/2
dengan q, merupakan beban alas dalam berat per satuan waktu dan lebar alur. Jika B merupaka
lebar alur yang terjadi pengangkutan sedimen, maka banyaknya beban alas yang melewati
penampan melintang menjadi
7000𝑆𝑒 3/2 (𝑞−𝑏 𝑞2)
𝑞ß = (11-57
𝐷 1/2
Rumus (11-55) dan (11-56) dinyatakan dalam satuan metrik.
Misalkan distribusi butir pasir diketahui, maka campuran butir tersebut dibagi
menjadi beberar kelompok butir dengan diameter rata-rata D„, Db, D c , . . dengan berat
a, b, c, . . maka ber
sedimen menjadiQB = a Q„+ b Q,, +, dengan Qa merupakan fraksi berat dari a, dan seterusny
Menurut GAUKLER-STRICKLER laju aliran kritis dinyatakan sebagai berikut:
7000𝑆𝑒 3/2 (𝑞−𝑏 𝑞2)
𝑞ß = (11-58
𝐷 1/2
dengan diameter diukur dalam meter, untuk campuran pasir diambil angka "40% finer fraction"
D44,. Laju beban alas dalam berat per satuan waktu dan lebar adalah sebagai berikut
q8 = 2500 S,.3/2 (q — (11-59)
Rumus-rumus tersebut di atas dalam satuan metrik, yang telah disajikan oleh SCHOKLITSCH.
MEYER-PETER et al. dari Eidgenosische Technische Hochschule, E.T.H. di Swiss,
menyajikan pula karya yang luas dalam masalah sedimentasi. Hubungan empiris pertama yang
dilaporkan adalah yang telah diselidiki untuk material pasir dengan butir serbasama, barit dan
lignit.
Untuk pasir rumus beban alasnya dirumuskan sebagai berikut:
𝑥𝐵2/3 𝑔2/3
0,4 = - 17 (11-60)
𝐷 𝐷
dengan g adalah laju debit air dalam berat per satuan waktu dan lebar. Rumus (11-60)
ditentukan berdasarkan data E.T.H., tetapi dibandingkan dengan data dengan ukuran yang
lebih besar dari GILBERT Gambar 11.24. Perlu ditekankan di sini bahwa penyimpangan
terkuat terhadap Gambar 11.24. terjadi pada data dengan diameter butir kecil.
Gambar 11.24.
Eksperimen selanjutnya dengan barit (s = 4,2) dan lignit (s = 1,25) menegaskan
bentuk umum rumus (11-60). Seluruh data termasuk salah satu yang terdiri atas kerikil
alam, dapat ditunjukkan oleh
𝑔2/3 𝑆𝑒 𝑞 2/3
- 9,57(ys – y)10/9= 0,462 (ys – y) (11-60)
𝐷 𝐷
dengan q'8 merupakan laju beban alas dalam berat di bawah air per satuan waktu dan
lebar, atau
𝑞 2/3
q’B = qB ( ys-y)10/9= 0,462 (Ys – y) (11-61)
𝐷
Gambar 11.25.
y Rbk/k′3/2 𝑞′𝐵2/3
- 0,047 (𝑦𝑠 -y) = 0,25 3√𝑝 (11-62)
D 𝐷
dengan D merupakan diameter median dari campuran dan Rh jari-jari hidrolik yang sama
dengai kedalaman aliran d jika tahanan tebing diabaikan atau tidak ada. Besaran (k/k')312S,
merupaka) semacam lereng yang disesuaikan sedemikian rupa sehingga hanya sebagian
kehilangan energi tots S„ yaitu yang disebabkan oleh tahanan butir S', yang
bertanggungjawab atas perpindahan beban alas. Pembagian tahanan alas menjadi
komponen-komponen, yang satu adalah yang disebabkan olel
tahanandan lainnya yang disebabkan oleh tahatian bentuk alas S", diselesaikan dengai
membuat jari-jari hidrolik R,, konstan dan membaginya dengan lereng energi Sr. Lereng
energi dalam rumus (11-62) diambil berdasarkan rumus STRICKLER, dengan k merupakan
koefisiei kekasaran akibat Se, dan k' akibat S',. Seharusnya hubungannya adalah sebagai
berikut:
𝑆𝑒 𝑘
= {𝑘′}2 (11-64)
𝑆𝑒
Dalam menaksir koefisien kekasaran k', yang diakibatkan oleh gesekan bagian atas butir,
MULLEI (1943) menyarankan untuk menggunakan rumus berikut :
26
K’ 1/6 m1/3 (11-65)
𝐷
90
dengan D90 merupakan diameter butir sedimen di alas yang 90% materialnya lebih halus.
Contoh
Dari pengukuran sebuah sungai didapat data-data sebagai berikut:
Lereng rata-rata permukaan air = 6,5 x 10-4.
Kedalaman rata-rata d = 5,87 m.
Lebar alur B = 46,52 m
Kecepatan rata-rata yang dihitung dari data distribusi kecepatan v = 1,52
=Met
n = 0,012 atau C = 56
Karena tidak ada informasi mengenai material sedimen ditempuh jalan di
bawah ini :
Dengan rumus STRICKLER dihitung diameter butir, diperoleh 𝐷90 =
0,059m
Dari lengkung distribusi butir dapat diekstrapolasikan 𝐷50 - 0,059m
Hitung laju pengangkutan beban alas !
Pendekatan 1. Gunakan rumus MEYER-PETER et al.
𝑦 𝑅𝑏(𝑘/𝑘)3/2 (𝑞′𝐵)3/2
a. - 0,047 = 0,25 3√𝑝
𝐷(𝑦𝑠−𝑦) 𝐷(𝑦𝑠−𝑦)
(k/k) dianggap =1
(1,000)(5,87)(1)(10)−4 3 1,000 𝑞 ′ 𝐵2/3
= 0,25 √
(1,2)(10)−2 (1,650) 9,8 (1,2)(10)−2 (1,650)
(0,25)(4,67)
0,192 – 0,047 = (q’B)2/3
19,8
b. qB = (2,46)3/2 = 3,82
2,65
= 3,821,65 = 6,15 kg /(m)(det)
Q B = B q, = 288,0 k g / det
Rumus MEYER-PETER harus digunakan pada qB yang begitu tinggi, karena data yang
digunakan dalam eksperimen berupa bubukan lignit (s = 1,25). Rumus ini mempunyai dua
buah keuntungan yaitu : (1). Telah diuji dengan butir-butir besar. (2). dimensinya homogen.
Pendekatan II. Gunakan rumus SCHOCKLITSCH
a. q, = 2500 Se3'2 (q - qc)
b. q=dv
= (5,87)(1,52)=8,9 m3/(det)(m)
D3′2
c. qc = 0,6 Se7′6
(1,2)(10−2)]3/2
= 0,6 = 4,4
(6,5)(10−4 ]7/6
𝑡𝑐 1,2 𝑞𝑠
= = 0,32 dari Gambar 11.23 didapat =1
𝑡𝑜 3,8 𝑣.𝐷
a. cD=f (11')
Anggap Rb dan D50 = D35
b. ¥= Ps-P D
P Se R’B
𝑞𝐵
= 13,0 = 0,58
Gambar 11.26.
(2). Perencanaan bangunan inlet yang baik untuk menyadap air kesaluran
Bangunan inlet hams diletakkan sedemikian rupa sehingga laju sedimen yang masuk ke
saluran hams seminimal mungkin. Untuk memperkecil masuknya sedimen ke dalam
saluran adalah dengan membuat pembilas (excluder) atau saluran pengendap (settling
basin) sebelum air dimasukkan ke dalam saluran.
(3). Pemilihan lokasi bendungan yang betul
Anak-anak sungai kecil yang banyak mengangkut sedimen hams dicegah masuk ke
dalam waduk, sejauh masih dapat dipilih lokasi lain untuk letak bendungan.
(4). Pembangunan checkdam di hulu waduk
Checkdam berfungsi untuk mengumpulkan sedimen. Bila checkdam tersebut tidak
dibangun, niscaya sedimen akan masuk ke dalam waduk, sehingga akan
memperpendek umurnya.
(5). Membuat alur pintas atau sudetan (by pass channel)
Alur pintas atau sudetan dimalcsudkan untuk mengelakkan aliran yang
mengandung sedimen agar tidak masuk ke dalam waduk. Kesulitan yang akan
dihadapi oleh pemecahan dengan cara ini ialah karena jurnlah terbesar
pengangkutan sedimen terjadi pada musim banjir, sedangkan waduk hams
menampung air banjir tersebut untuk maksud pengendalian banjir atau untuk
maksud konservasi air permukaan.
(6). Perencanaan outlet waduk yang baik
Pembuatan bangunan outlet yang dekat dengan dasar sungai akan memberikan
kemungkinan membilas endapan yang terdiri atas material halus.
(7). Perencanaan Bangunan (structures) yang baik
Perencanaan ini harus sedemikian baiknya sehingga dapat dihindarkan pengendapan
sedimen di depan bukan (opening), atau diruang yang ambang-ambang, pintu katup
beradadan bergerak
11.4. PENGELOLAAN DAERAH PENGAURAN (WATERSHED MANAGEMENT)
Pengelola daerah pengaliran merupakan istilah umum yang mengandung semua tindakan
yan: bertujuan untuk t-i:C.r.sena&I as dan pengendalian banjir. Dengan melaksanakan
tindakai pengendalian erosi. Maka memberikan kenaikan pengisian (recharge) air tanah, yang
berarti juga melakukan tindakan konser...Dan pada gilirannya juga dapat menackan laju
evapotranspirasi dai atau aliran dacar (base-1°14i clan sun cai. yang tergantung kepada keadaan
vegetasi dan lapisan bawal tanah dari daerah pengaliran.
Semua tindakan pengendalian erosi mempunyai kecenderungan memperkecil puncak banjir.
Prosentas reduksi banjir ini akan terasa sekali pada banjir-banjir sedang, tetapi pada banjir-banjir
yang diakibatka oleh hujan lebat dengan intensitas yang besar, pengurangan itu terasa kecil
artinya. Bertambahnya kehilangai air dalam bentuk intersepsi, infilitrasi dan tampungan di
cekungan (depression storage) menghasilkai reduksi terhadap limpasan total dan puncak banjir.
Pada daerah pengaliran kecil, reduksi puncak banji akibat perlambatan limpasan (runoff
retardation) adalah jauh lebih terasa jika dibanding dengan daeral pengaliran besar.
Tindakan-tindakan pengendalian erosi dapat dilakukan hanya setelah mengumpulkan dan
mempelajai data-data berikut ini:
(1). foto-foto udara (antara lain yang memperlihatkan adanya longsoran tanah)
(2). peta-peta udara (aero maps)
(3). peta-peta tata guna tanah (landuse maps)
(4). peta-peta jenis tanah (soil type maps)
(5). peta-peta geologi
(6). data-data curah hujan dan limpasan
(7). data-data pengukuran pengangkutan sedimen di sungai-sungai (beban layang dan beban
alas) pad berbagai kecepatan aliran
(8). ketahanan terhadap erosi pada berbagai vegetasi