EROSI TANAH
smno.jurtnh.fpub.nop2013
EROSI TANAH
Topsoil dihilangkan
atau dipadatkan, tanah
mudah tererosi.
Material tanah (hasil erosi) yang diendapkan di hilir berakibat buruk thd
bangunan atau tubuh-alam penyimpanan /penyalur air , pendangkalan
dapat berakibat kapasitas tampung menurun.
Oleh karenanya, usaha penanggulangan atau pengendalian erosi harus
menjadi bagian yang utama dari setiap rencana penggunaan lahan.
PENYEBAB EROSI TANAH
Butir-butir
tanah yg
terlepas
Butir-butir
tanah yg
terlepas
(sumber:
http://onlinemanuals.txdot.gov/txdotmanuals/hyd/soil_erosion_control_considerations.htm)
Hujan – vegetasi - erosi
Tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas permukaan tanah dapat
memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan
perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan daya dispersi dan angkut aliran
air di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang
diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya
akan menentukan apakah tanah itu akan menjadi baik dan produktif atau
menjadi rusak.
Hubungan antara erosi oleh hujan di daerah tangkapan dan besarnya
sedimentasi yang terpantau di aliran sungai di bagian bawah daerah
tangkapan air tersebut erat kaitannya dengan sistem hidrologi DAS.
Air Hujan :
Infiltrasi ke dalam tanah,
Aliran permukaan
Faktor fisik DAS:
lereng, tanah,
Air hujan menjadi aliran
permukaan (overland flow)
vegetasi, landuse
mengikis dan mengangkut
partikel tanah memasuki
aliran aliran.
Output:
Aliran sungai : Debit aliran,
Transport sedimen Muatan sedimen,
Erosi tebing sungai Unsur hara.
MUATAN DASAR:
partikel yang bergerak
pada dasar sungai atau
dekat dasar sungai dengan MUATAN SUSPENSI:
pergerakan meloncat, Partikel yang melayang
menggelinding atau dalam air, bergerak
bergeser pada dasar disebabkan oleh aliran
sungai. turbulen.
(sumber:
http://www.nda.agric.za/docs/ero
sion/erosion.htm)
Rill erosion refers to the development of small, ephemeral concentrated flow paths,
which function as both sediment source and sediment delivery systems for erosion
on hillslopes. Generally, where water erosion rates on disturbed upland areas are
greatest, rills are active. Flow depths in rills are typically on the order of a few
centimeters or less and slopes may be quite steep.
These conditions constitute a very different hydraulic environment than typically
found in channels of streams and rivers. Eroding rills evolve morphologically in
time and space. The rill bed surface changes as soil erodes, which in turn alters the
hydraulics of the flow.
Erosi Jurang (gully erosion)
Erosi ini merupakan lanjutan
dari erosi alur.
Gullies are steep-sided
Alur – alur terus menerus
trenches formed by the
digerus oleh aliran air terutama
coalescence of many
di daerah-daerah yang banyak
rills. Once started they
hujan, maka alur-alur itu
are difficult to stop.
menjadi dalam dan lebar
Gully erosion, also
dengan aliran air yang lebih
called ephemeral gully
kuat.
erosion, occurs when
Alur-alur tersebut tidak dapat
water flows in narrow
hilang dengan pengolahan
channels during or
tanah biasa.
immediately after
heavy rains.
A gully is sufficiently deep that it would not be routinely destroyed by tillage
operations, whereas rill erosion is smoothed by ordinary farm tillage.
(sumber: http://www.civil.ryerson.ca/stormwater/)
Empat tipe erosi tanah pada lereng yang terbuka
(sumber: http://www.cep.unep.org/)
Tanah Longsor
Longsor memindahkan massa tanah dengan volume yang besar, adakalanya disertai
oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan erosi tanah
adalah memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relatif lebih kecil
pada setiap kali kejadian dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama.
Dua bentuk longsor yang sering terjadi di daerah pegunungan
adalah:
Faktor Faktor
Alam Manusia
Kondisi
Iklim
Faktor manusia
Sifat adalah semua
Tanah tindakan
manusia yang
Bahan
dapat
Induk Tanah
mempercepat
Elevasi terjadinya erosi
dan dan longsor.
Lereng
1. Pendekatan Laboratorium
Pendugaan erosi di laboratorium adalah dengan melakukan
pengukuran erosi tanah yang ditempatkan pada petak-petak kecil
dan diberi perlakuan hujan buatan (rainfall simulator).
Perilaku erosi di laboratorium tidak sama dengan keadaan alami di
lapangan. Namun demikian pengetahuan tentang erosi dapat
bertambah secara cepat, karena penelitian untuk mempelajari
dan/atau menduga erosi di laboratorium lebih mudah, lebih praktis,
sehingga dapat dilaksanakan setiap waktu.
PENDEKATAN LAPANGAN
Pengukuran erosi dapat dilakukan di lapangan dengan
menggunakan sistem petak kecil atau sistem petak besar.
Pendugaan erosi dengan menggunakan petak percobaan, memang
mendekati kondisi alami yang sebenarnya.
Cara ini membutuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu.
Faktor-faktor yang berpengaruh tehadap erosi dan runoff adalah iklim, tanah,
topografi, kemiringan lereng, vegetasi dan kegiatan manusia.
Empat faktor pertama lebih banyak di tentukan oleh alam, sedangkan faktor
vegetasi dapat di atur oleh manusia.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan erosi dan runoff adalah
pengaturan vegetasi penutup muka lahan.
Dengan metode ini erosi bentang lahan pada areal yang luas dapat
dilakukan dengan mudah dan efektif.
Metode ini dapat terlaksana dengan baik bila tersedia sarana dan
prasarana yang memadai terutama peralatan untuk pemrosesan
citra (image processor) dan juga alat untuk interpretasi potret udara
meliputi stereoskop dari yang sederhana sampai yang lebih canggih.
Model berbasis empirik mengaitkan langsung keluaran dari model (output) dengan input
(misalnya penggunaan lahan, luas, dan lereng) dengan menggunakan model-model
statistik.
Model empirik umumnya membutuhkan lebih sedikit input dan perhitungan yang
lebih sederhana dibanding model berbasis proses (ICRAF, 2001; Schmitz dan
Tameling, 2000).
Umumnya model empirik ini memprediksi rata-rata tahunan aliran permukaan
dan erosi berdasarkan prediksi jangka panjang.
Model ini tidak mempertimbangkan distribusi spasial dari input parameter dan
interaksinya yang akan mempengaruhi output.
Model USLE
Pendekatan ini adalah dengan menggunakan pendekatan
matematika, yang dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978),
rumus ini pertama kali dikembangkan dari kenyataan bahwa erosi
adalah fungsi erosivitas dan erodibilitas.
Rumus ini dikenal dengan Persamaan Umum Kehilangan Tanah
(PUKT) atau Universal Soil-Loss Equation (USLE).
A = R K LS C P
dimana :
A = Besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan. Besarnya kehilangan tanah atau erosi dalam hal ini hanya
terbatas pada erosi kulit dan erosi alur. Tidak termasuk erosi yang berasal dari tebing sungai dan juga tidak
termasuk sedimen yang terendapkan di bawah lahan-lahan dengan kemiringan besar.
R = Faktor erosivitas curah hujan dan air larian untuk daerah tertentu, umumnya diwujudkan dalam bentuk indeks
erosi rata-rata (El). Faktor R juga merupakan angka indeks yang menunjukkan besarnya tenaga curah hujan yang
dapat menyebabkan terjadinya erosi.
K = Faktor erodibilitas tanah untuk horizon tertentu, dan merupakan kehilangan tanah per satuan luas untuk indeks
erosivitas tertentu. Faktor K adalah indeks erodibilitas tanah, yaitu angka yang menunjukkan mudah tidaknya
partikel-partikel tanah terkelupas dari agregat tanah oleh gempuran air hujan atau air larian.
L = Faktor panjang lereng yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya
kehilangan tanah untuk panjang lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng 72,6 ft.
S = Faktor gradien (beda) kemiringan yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara
besarnya kehilangan tanah untuk tingkat kemiringan lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk
kemiringan 9%.
C = Faktor pengelolaan (cara bercocok tanam) yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan
antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi cara bercocok tanam yang diinginkan dengan besarnya
kehilangan tanah pada keadaan tilled continuous fallow.
P = Faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik) yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan
perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi usaha konservasi tanah ideal (misalnya, teknik
penanaman sejajar garis kontur, penanaman dengan teras, penanaman dalam larikan) dengan besarnya
kehilangan tanah pada kondisi penanaman tegak lurus terhadap garis kontur.
FAKTOR-FAKTOR EROSI MENURUT USLE
Faktor Erosivitas Hujan (R)
Erosivitas adalah kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi. Untuk
menentukan faktor erosivitas dapat diukur dengan menggunakan rumus yang
dipakai oleh Soemarwoto 1991 berikut:
R = 0,41 x H 1.09
dimana: R : Besarnya Erosivitas; H : Curah Hujan Tahunan.
R = 6,119Rb1,21D-0,47M0,53
Sumber: diunduh dari:
Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Dengan adanya tanaman menyebabkan air hujan yang jatuh tidak langsung
memukul massa tanah, tetapi terlebih dahulu ditangkap oleh tajuk daun tanaman.
Selanjutnya tidak semua air hujan tersebut diteruskan ke permukaan tanah
karena sebagian akan mengalami evaporasi.
Kejadian ini akan mengurangi jumlah air yang sampai ke permukaan tanah yang
disebut hujan lolos tajuk.
1. Teras Bangku1)
Sumber : Data pusat penelitian tanah (1973-1981 dalam Arsyad, 1989: 259)
Konservasi Tanah dan Air
Erosi yang dipercepat (accelerated erosion) timbul sejak manusia
mengenal budidaya pertanian.
Erosi menjadi masalah sejak pengelolaan lahan dilakukan secara
lebih intensif, sehubungan dengan peningkatan kebutuhan sandang,
pangan, papan dan lainnya sejalan dengan pesatnya pertambahan
jumlah penduduk.
Sejak beberapa dekade yang lalu erosi diakui secara luas sebagai
suatu permasalahan global yang serius.
Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia
memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500
mm, dan hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm.
Curah hujan merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup
areal yang luas.
Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan.
Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi
datar, agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung.
Lahan datar (lereng < 3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat
wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000).
Lahan berlereng (> 3%) di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%).
Lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha (Hidayat dan Mulyani
2002), penggunaannya meliputi sektor-sektor pertanian, pemukiman, industri,
pertambangan.
Daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor
lainnya, sehingga pertanian terdesak ke lahan yang semakin curam.
Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian yang
tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada beberapa sistem
perladangan berpindah.
Oleh karena itu, melalui Prima Tani, teknologi konservasi tanah berpeluang
diterapkan di lahan petani sebagai percontohan.
Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani sebagai suatu model
pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan tonggak baru
sejarah pembangunan pertanian.
Dalam jangka pendek, promosi dapat dilakukan melalui seminar dan simposium
serta media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran advokasi bukan
saja masyarakat umum, tetapi juga pelajar dan mahasiswa melalui kurikulum
pokok dan ekstra-kurikuler.