Anda di halaman 1dari 27

EROSI DAN SEDIMETASI

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD DAFFA PRATAMA

NIM: 2110115110010

MATKUL

HIDROLOGI dan LINGKUNGAN

DIAMPU OLEH:

Dr. H. SIDHARTA ADYATMA, M. Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKUAT

2022
A. PENGANTAR DAN DEFINISI
Proses-proses hidrologi yang telah dibahas, langsung atau tida's langsung,
akan mempunyai kaitan dengan terjadinya erosi, transpor sedimen, deposisi sedimen
di daerah hilir, dan mempengaruhi karakte- ristik fisik, biologi dan kimia yang secara
keseluruhan mewakili status kualitas perairan. Perubahan tataguna lahan dan praktek
pengelolaan DAS juga mempengaruhi terjadinya erosi, sedimentasi, dan pada
gilirannya, akan mempengaruhi kualitas air.
Secara umum, terjadinya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim (terutama
intensitas hujan), topografi, karakteristik tanah, vegetasi penutup tanah, dan tataguna
lahan. Pemahaman tentang pengaruh erosi di daerah tangkapan air (on-site) dan
dampak yang ditimbulkannya di daerah hilir (off-site) tidak hanya memerlukan
pemahaman tentang proses-proses terjadinya erosi, tetapi juga pemahaman tentang
mekanisme transpor sedimen melalui aliran sungai. Ini membahas beberapa topik
yang berkaitan dengan proses terjadinya erosi, cara pengukuran dan prakiraan erosi,
implikasi biofisik dan sosek yang ditimbulkan serta metoda penanggulangannya.
Erosi adalah proses berpindahnya materi penyusun permukaan bumi (tanah
dan batuan) karena terangkut oleh air, angin, atau es yang mengalir atau bergerak di
permukaan bumi. Mekanisme pemusatan dan penyatuan bentuk-bentuk aliran air
permukaan yang lebih lemah dan lebih terhambur menjadi jalur-jalur yang lebih
dalam dan intensif disebut sistem penyaluran (Strahler, 1969:415). Erosi merupakan
slah satu proses utama dalam proses terjadinya bentuk fluvial. Erosi oleh sungai
sendiri adalah pelepasan secara progresif material dasar dn tebing sungai.
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian- bagian
tanah dari suatu tempat ke tempat yang lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi,
tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang
kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut
terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad, S. 2010). Erosi adalah
hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari satu tempat ke tempat lain
(Triwanto, 2012).

B. PROSES FISIK EROSI


1. CURAH HUJAN DAN RUN OFF
Erosi percikan (splash erosion) adalah proses terkelupasnya partikel-
partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau air
lolos. Selain itu Frosi percikan (splash erosion) adalah proses
terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air
hujan bebas atau sebagai air lolos. Tenaga kinetik tersebut ditentukan
oleh dua hal, massa dan kecepatan jatuhan air. Tenaga kinetik bertambah
besar dengan bertambah besarnya diameter air hujan dan jarak antara
ujung daun penetes (driptips) dan permukaan tanah (pada proses erosi di
bawah tegakan vegetasi). Oleh kare- na itu, air lolos dari vegetasi dengan
ujung penetes lebar mem berikan tenaga kinetik yang besar, dan dengan
demikian, me- ningkatkan kecepatan air lolos sampai ke permukaan
tanah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
pengaruh melindungi dari sistem pertanian agroforestry (kom- binasi
tanaman pertanian dan kehutanan) terhadap besarnya erost bukan
disebabkan oleh adanya unsur pohon, melainkan oleh adanya tumbuhan
bawah dan seresah. Arah dan jarak terkelupasnya partikel-partikel tanah
ditentukan oleh kemiring- an lereng, kecepatan dan arah angin, keadaan
kekasaran permu- kaan tanah, dan penutupan tanah. Pada tanah berlereng,
loncat- an pertikel tanah tersebut lebih banyak ke arah tempat yang lebih
rendah, hal ini disebabkan karena sudut datang energi kinetik air hujan
akan mendorong partikel-partikel tanah terse- but ke tempat yang lebih
rendah.

Gambar 12.1 (Splash erosion)

Erosi kulit atau lembar


Erosi kulit atau lembar (sheet erosion) adalah pengikisan lapisan tipis
permukaan tanah di daerah berlereng oleh kombinasi air hujan dan air
larian (run off). Pengertian lainnya Frosi kulit (sheet erosion) adalah erosi
yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng
terkikis oleh kombinasi air hujan dan air larian (runoff). Tipe erosi ini
dise- babkan oleh kombinasi air hujan dan air larian yang mengalir ke
tempat yang lebih rendah. Berdasarkan sumber tenaga penyebab crosi
kulit, tenaga kinetis air hujan lebih penting karena kecepatan air jatuhan
lebih besar, yaitu antara 0,3 sampai 0,6 m/dt (Schwab et al., 1981).
Tenaga kinetik air hujan menyebab- kan lepasnya partikel-partikel tanah
dan bersama-sama dengan pengendapan sedimen (hasil erosi) di atas
permukaan tanah, menyebabkan turunnya laju infiltrasi karena pori-pori
tanah tertutup oleh kikisan partikel tanah. Bentang lahan dengan kom-
posisi lapisan permukaan tanah atas yang rentan/lepas terletak di atas
lapisan bawah permukaan yang solid merupakan bentang lahan dengan
potensi terjadinya erosi kulit besar. Besar-kecil- nya tenaga penggerak
terjadinya erosi kulit ditentukan oleh kecepatan dan kedalaman air larian.

Gambar 12.2 (sheet erotion)

Erosi alur

Erosi alur (rill erosion) adalah pengangkutan partikel-partikel tanah


oleh aliran air yang mengalir di permukaan tanah yang terkonsentrasi
pada alur tertentu. Dalam pengertian lainnya Erosi alur (rill erosion)
adalah pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel
tanah oleh aliran air larian yang terkonsentrasi di dalam saluran-saluran
air. Hal ini terjadi ketika air larian masuk ke dalam cekungan permukaan
tanah, kecepatan air larian meningkat, dan akhirnya terjadilah transpor
sedimen. Tipe erosi alur umumnya dijumpai pada lahan-lahan garapan
dan dibedakan dari erosi parit (gully ero- sion) dalam hal erosi alur dapat
diatasi dengan cara pengerjaan/ pencangkulan tanah. Hal ini tidak dapat
dilakukan terhadap erosi parit. Telah disebutkan di muka bahwa penyebab
utama terjadinya erosi adalah air larian, aliran air bawah permukaan, dan
kelembaban tanah. Dalam hubungannya dengan faktor- faktor penyebab
erosi tersebut di atas, Rose (1988) menegaskan bahwa tipe erosi ini
terbentuk oleh tanah yang kehilangan daya ikat partikel-partikel tanah
sejalan dengan meningkatnya kelem- baban tanah di tempat tersebut.
Kelembaban tanah yang berle bih pada gilirannya akan menyebabkan
tanah longsor. Bersama- an dengan longsornya tanah, kecepatan air larian
meningkat dan terkonsentrasi di tempat tersebut. Air larian ini
mengangkut sedimen hasil erosi, dan dari sini, menandai awal dari
pemben tukan erosi parit.

Gambar 12.3 (rill erosion)

Erosi parit

Erosi parit (gully erosion) terjadinya hampir sama dengan proses erosi
alur tetapi alur yang terbentuk sudah sangat besar. Dan juga Erosi parit
(gully erosion) membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan lebar dan
merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur. Erosi parit dapat
diklasifikasikan sebagai parit bersambungan dan parit terputus-putus.
Erosi parit terputus dapat dijumpai di daerah yang bergunung. Erosi tipe
ini biasanya diawali oleh adanya gerusan yang melebar di bagian atas
hamparan tanah miring yang berlangsung dalam waktu relatif singkat
akibat adanya air larian yang besar. Kedalaman erosi parit ini menjadi
berkurang pada daerah yang kurang terjal. Erosi parit bersam- bungan
berawal dari terbentuknya gerusan-gerusan permukaan tanah oleh air
larian ke arah tempat yang lebih tinggi dan cenderung berbentuk jari-jari
tangan. Pada tahap awal, proses pembentukan erosi parit tampak
mempunyai kecenderungan ke arah keseimbangan dinamis. Pada tahap
lanjutan, proses pem- bentukan erosi parit tersebut akan kehilangan
karakteristik dina- mika perkembangan gerusan-gerusan pada permukaan
tanah. oleh aliran air, dan pada akhirnya, terbentuk pola aliran-aliran kecil
atau besar yang bersifat permanen. Namun demikian, pro- ses
terbentuknya erosi parit tidak selalu beraturan seperti terse- but di atas.
Pada kondisi tertentu, terutama oleh perubahan- perubahan geologis
dan/atau karena pengaruh aktivitas manusia, proses pembentukan erosi
parit tidak pernah sampai pada tahap lanjutan. Secara umum erosi parit
dapat terjadi serentak atau pada waktu yang berbeda.

Gambar 12.4 (gully erosion)

2. EROSI SUNGAI
Erosi tebing sungai (streambank erosion) adalah pengikisan tanah pada tebing-
tebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran air sungai. Dua proses
berlangsungnya erosi tebing sungai adalah oleh adanya gerusan aliran sungai dan
oleh adanya longsoran tanah pada tebing sungai. Proses yang perta- ma
berkorelasi dengan kecepatan aliran sungai. Semakin cepat laju aliran sungai
(debit puncak atau banjir) semakin besar kemungkinan terjadinya erosi tebing.
Erosi tebing sungai dalam bentuk gerusan dapat berubah menjadi tanah longsor
ketika permukaan sungai surut (meningkatkan gaya tarik ke bawah) sementara
pada saat bersamaan tanah tebing sungai telah jenuh. Dengan demikian, longsoran
tebing sungai terjadi setelah debit aliran besar berakhir atau surut. Proses
terjadinya erosi tebing yang kedua lebih ditentukan oleh keadaan kelembaban
tanah di tebing sungai menjelang terjadinya erosi. Dengan kata lain, erosi tebing
sungai dalam bentuk longsoran tanah terjadi karena beban meningkat oleh adanya
kelembaban tanah yang tinggi dan beban ini lebih besar daripada gaya yang
mempertahankan tanah tetap pada tempatnya (Hooke, 1979). Dalam kesimpulan
nya, Hooke membedakan 3 faktor penyebab terjadinya es tebing sungai
berdasarkan karakteristik fisik tebing sung sebagai berikut:
(1) Erosi tebing sungai yang sebagian besar disebabkan oleh adanya gerusan
aliran sungai, dalam hal ini pengaruh de puncak terhadap terjadinya erosi
adalah besar.
(2) Tebing sungai dengan karakteristik tanah terdiri dari bahan berpasir
dengan kelembaban tinggi. Erosi yang terjadi umumnya dalam bentuk
tanah longsor.
(3) Tebing sungai dengan karakteristik tanah solid (mempu nyai resistensi
tinggi terhadap pengelupasan partikel t nah).

Erosi, dalam skala lebih kecil, umumnya terjadi oleh adanya penambangan
tebing sungai atau ketika berlang sung debit aliran besar (banjir). Dalam
penelitian tersebut juga tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa erosi tebing
sungai dipengaruhi oleh besarnya intensitas hujan lokal.

Erosi tebing sungai dipengaruhi, antara lain, oleh kecepatan aliran, kondisi
vegetasi di sepanjang tebing sungai, kegiatan bercocok tanam di pinggir sungai,
kedalaman dan lebar sungai, bentuk alur sungai, dan tekstur tanah. Alur sungai
yang tidak teratur dengan banyak rintangan seperti tanggul pencegah tanah
longsor, dapat mempertajam kelokan sungai dan menjadi penyebab utama erosi
sepanjang tebing sungai. Bagian tebing sungai yang mempunyai potensi besar
untuk terjadinya erosi adalah pada tikungan-tikungan sungai karena gaya benturan
aliran sungai di tempat tersebut adalah besar. Erosi tebing sungai dapat dikurangi
dengan cara penanaman vegetasi separ jang tepi sungai. Vegetasi ini, melalui
sistem perakaran, tidak saja menurunkan laju erosi, tetapi juga mencegah tanah
longsor di daerah tersebut karena mengurangi kelembaban tanah oleh adanya
proses transpirasi.
3. FLOOD EROSION
Beberapa lahan pertanian terbaik Queensland berada di dataran banjir karena
kesuburan tanah yang tinggi dan ketersediaan air untuk irigasi. Daerah-daerah ini
mengalami banjir berkecepatan tinggi yang mengikis tanah dengan tutupan
permukaan yang tidak mencukupi.
Banjir erosif ini dapat menghilangkan seluruh lapisan tanah lapisan atas yang
dibudidayakan yang mengekspos lapisan tanah bawah tanah yang dipadatkan.
Adalah umum untuk area tersebut dilucuti dari 0,1 hingga 0,15m tanah lapisan
atas.
Risiko erosi pada dataran banjir tergantung pada Kecepatan banjir—semakin
besar banjir, semakin tinggi kecepatannya orientasi baris tanaman dan jumlah
penutup pelindung yang disediakan oleh tanaman atau tunggul ketika banjir
terjadi.

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EROSI


1. IKLIM
Pengaruh iklim terhadap erosi dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Pengaruh langsung adalah melalui tenaga kinetis air hujan, terutama intensitas dan
diameter butiran air hujan. Pada hujan yang intensif dan berlangsung dalam waktu
pendek, erosi yang terjadi biasanya lebih besar daripada hujan dengan intensitas
lebih kecil dengan waktu berlangsungnya hujan lebih lama. Pengaruh iklim tidak
langsung ditentukan melalui pengaruhnya terhadap pertumbuhan vegetasi. Dengan
kondisi iklim yang sesuai (fluktuasi suhu kecil dengan curah hujan merata),
vegetasi dapat tumbuh secara optimal. Sebaliknya, pada daerah dengan perubahan
iklim besar, misalnya di daerah kering, pertumbuhan vegetasi terhambat oleh tidak
mema- dainya intensitas hujan. Tetapi, sekali hujan turun, intensitas hujan tersebut
umumnya sangat tinggi.

2. SIFAT TANAH
Empat sifat tanah yang penting dalam menentukan erodibilitas tanah (mudah-
tidaknya tanah tererosi) adalah:
(1) Tekstur tanah, biasanya berkaitan dengan ukuran dan porsi partikel-partikel
tanah dan akan membentuk tipe tanah tertentu. Tiga unsur utama tanah adalah
pasir (sand), debu (silt), dan hat (clay). Di lapangan, tanah terbentuk oleh
kombinasi ketiga unsur tersebut di atas. Misalnya, tanah dengan unsur
dominan liat, ikatan antar partikel-partikel tanah tergolong kuat dan, dengan
demikian, tidak mudah tererosi. Hal yang sama juga berlaku untuk tanah
dengan unsur dominan pasir (tanah dengan tekstur kasar), kemungkinan untuk
terjadinya erosi pada jenis tanah ini adalah rendah karena laju infiltrasi di
tempat ini besar dan, dengan demikian, menurunkan laju air larian. Sebaliknya
pada tanah dengan unsur utama debu dan pasir lembut serta sedikit unsur
organik, memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya erosi.
(2) Unsur organik, terdiri atas limbah tanaman dan hewan sebagai hasil proses
dekomposisi. Unsur organik cenderung memperbaiki struktur tanah dan
bersifat meningkatkan permeabilitas tanah, kapasitas tampung air tanah, dan
kesuburan tanah. Kumpulan unsur organik di atas permukaan tanah dapat
menghambat kece- patan air larian, dan dengan demikian, menurunkan potensi
terja- dinya erosi.
(3) Struktur tanah, adalah susunan partikel-partikel tanah yang mem- bentuk
agregat. Struktur tanah mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap air
tanah. Misalnya, struktur tanah granuler dan lepas mempunyai kemampuan
besar dalam meloloskan air larian, dan dengan demikian, menurunkan laju air
larian dan memacu pertumbuhan tanaman.
(4) Permebilitas tanah, menunjukkan kemampuan tanah dalam melo- loskan air.
Struktur dan tekstur tanah serta unsur organik lainnya ikut ambil bagian dalam
menentukan permeabilitas tanah. Tanah dengan permeabilitas tinggi
menaikkan laju infiltrasi, dan dengan demikian, menurunkan laju air larian.

3. TOPOGRAFI
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang menen- tukan karakteristik
topografi suatu daerah aliran sungai. Kedua faktor tersebut penting untuk
terjadinya erosi karena faktor-faktor tersebut menentukan besarnya kecepatan dan
volume air larian. Kecepatan air larian yang besar umumnya ditentukan oleh
kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang serta terkonsentrasi pada
saluran-saluran sempit yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya erosi alur
dan erosi parit. Kedudukan lereng jugn menentukan besar-kecilnya erosi. Lereng
bagian bawah lebih mudah tererosi daripada lereng bagian atas karena momentum
air larian lebih besar dan kecepatan air larian lebih terkonsentrasi ketika mencapai
lereng bagian bawah. Daerah tropis volkanik dengan topografi bergelombang dan
curah hujan tinggi sangat potensial untuk terjadinya erosi dan tanah longsor. Oleh
kare nanya, dalam program konservasi tanah dan air di daerah tropis. usaha-usaha
pelandaian permukaan tanah seperti pembuatan tera lahan-lahan pertanian,
peruntukan tanah-tanah dengan kemiringan lereng besar untuk kawasan lindung
seringkali dilakukan. Usaha tersebut dilakukan terutama untuk menghindari
terjadinya erosi yang dipercepat dan meningkatnya tanah longsor.

4. VEGETASI PENUTUP TANAH


Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah:
1) melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan
kecepatan terminal dan memperkecil diameter air hujan),
2) menurun kan kecepatan dan volume air larian,
3) menahan partikel-partikel tanali pada tempatnya melalui sistem perakaran
dan seresah yang dihasilkan, dan
4) mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air.
Dalam meninjau pengaruh vegetasi terhadap mudah-tidaknya tanah tererosi,
harus dilihat apakah vegetasi penutup tanah tersebut mempunyai struktur tajuk
yang berlapis sehingga dapat menurunkan kecepatan terminal air hujan dan
memperkecil diameter tetesan air hujan. Telah dikemukakan bahwa yang lebih
berperan dalam menu- runkan besarnya erosi adalah tumbuhan bawah karena ia
merupakan stratum vegetasi terakhir yang akan menentukan besar-kecilnya erosi
percikan. Dengan kata lain, semakin rendah dan rapat tumbuhan bawah semakin
efektif pengaruh vegetasi dalam melindungi perme kaan tanah terhadap ancaman
erosi karena ia akan menurunkan kece- patan terminal air hujan, dan dengan
demikian, menurunkan besarnya tumbukan tetesan air hujan ke permukaan tanah.
Oleh karenanya dalam melaksanakan program konservasi tanah dan air melalui
cara vegetatif, sistem pertanaman (tanaman pertanian) dan pengaturan struktur
tegakan (vegetasi hutan) diusahakan agar tercipta struktur pelapisan tajuk yang
serapat mungkin.

D. PARAMETER DAN PENGUKURAN EROSI


1. EROSIVITAS HUJAN
Erosivitas hujan merupakan hasil perkalian antara energi kinetik (E) dari satu
kejadian hujan dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (1) Jumlah dari
seluruh hujan dengan spesifikasi tersebut di atas selama satu tahun merupakan
erosivitas hujan tahunan. Energi kinetik dari curah hujan dengan intensitas hujan
maksimum 30 menit dapat ditentukan besamya melalui persamaan Untuk
memperoleh energi kinetik total, angka energi kinetik per kejadian hujan dikalikan
dengan ketebalan hujan (mm) yang jatuh selama periode pengamatan.
Selanjutnya, hasil perkalian ini dijum- lahkan. Untuk mendapatkan angka R,
energi kinetik total tersebut di atas dikalikan dengan dua kali intensitas hujan
maksimum 30 menit (s), yaitu merubah satuan intensitas hujan maksimum per 30
menit menjadi intensitas hujan maksimum per jam, kemudian dibagi dengan 100.
Periode intensitas curah hujan dan intensitas hujan maksimum 30 menit dapat
diperoleh dari hasil pencatatan curah hujan di lapangan.
Pada metoda USLE, prakiraan besarnya erosi adalah dalam kurun waktu per
tahun (tahunan), dan dengan demikian, angka rata- rata faktor R dihitung dari data
curah hujan tahunan sebanyak mungkin dengan menggunakan persamaan:

GAMBAR 12.5
Persamaan Evorritas hujan

2. EROBILITAS TANAH
Erodibilitas tanah (K) menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap
pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi
kinetik air hujan. Meskipun besarnya resistensi tersebut di atas akan tergantung
pada topografi, kemiringan lereng, dan besarnya gangguan oleh manusia.
Besamya erodibilitas atau resistensi tanah juga ditentukan oleh karakteristik tanah
seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, dan kan- dungan
organik dan kimia tanah. Karakteristik tanah tersebut bersifat dinamis, selalu
berubah, oleh karenanya, karakteristik tanah dapat berubah seiring dengan
perubahan waktu dan tataguna lahan atau sistem pertanaman. Dengan demikian,
angka erodibilitas tanah juga akan berubah. Perubahan erodibilitas tanah yang
signifikan berlang sung ketika terjadi hujan karena pada waktu tersebut partikel-
partikel tanah mengalami perubahan orientasi dan karakteristik bahan kima dan
fisika tanah.
Banyak usaha telah dilaksanakan untuk membuat model hu- bungan
fungsional sederhana antara besarnya erodibilitas suatu jenis tanah dengan
karakteristik tanah yang bersangkutan. Wischmeier et al. (1971) mengembangkan
persamaan matematis yang menghubungkan karakteristik tanah dengan tingkat
erodibilitas tanah seperti tersebut di bawah:

K= {2,71 x 10-4 (12-OM ) M1,14 + 3,25 (S – 2) + 2,5 (P – 3)/100}

K = erodibilitas tanah; OM = persen unsur organik; S = kode klasifikasi struktur


tanah (granular, platy, massive, dll.); P= per- meabilitas tanah, dan M = persentase
ukuran partikel (% debu + pasir sangat halus) x (100% liat). Nilai M untuk
beberapa klas tekstur tanah yang telah ditentukan dapat dilihat pada gambar
dibawah ini:
GAMBAR 12. 6
NILAI M TIAP TEKSTUR TANAH

3. PANJANG LERENG DAN KEMIRINGAN LERENG


Faktor indeks topografi L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang dan
kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Panjang lereng mengacu pada aliran
air permukaan, yaitu lokasi ber- langsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya
deposisi sedimen Pada umumnya, kemiringan lereng diperlakukan sebagai faktor
yang seragam. Faktor panjang lereng (L) didefinisikan secara matematik sebagai
berikut (Schwab et al., 1981):

L= (I/22,1)
I = panjang kemiringan lereng (m)
M = angka eksponen yang dipengaruhi oleh interaksi antara panjang lereng dan
kemiringan lereng dan dapat juga dipengaruhi oleh karakteristik tanah, tipe
vegetasi. Angka eksponen tersebut bervariasi dari 0,3 untuk lereng yang
panjang dengan kemiringan lereng kurang dari 0,5% sampai 0,6 untuk lereng
lebih pendek dengan kemiringan lereng lebih dari 10%. Angka eksponen
rata-rata yang umumnya dipakai adalah 0,5.

4. PENGELOLAAN TANAMAN
Faktor C menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, seresah, kondisi
permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang hilang
(erosi). Oleh karenanya, besarnya angka C tidak selalu sama dalam kurun waktu
satu tahun. Meskipun kedudukan C dalam persamaan USLE ditentukan sebagai
faktor independen, nilai sebenarnya dari faktor C ini kemungkinan besar
tergantung pada faktor-faktor lain yang termasuk dalam persamaan USLE.
Dengan demikian, dalam memprakirakan besarnya erosi menggunakan rumus
USLE, besarnya faktor C perlu ditentukan melalui penelitian tersen diri.
Secara umum, faktor C dalam rumus USLE dimaksudkan untuk menunjukkan
keseluruhan pengaruh dari vegetasi, seresah, permukaan tanah, dan aktivitas
pengolahan lahan terhadap terjadinya erosi, Oleh karenanya, pada banyak kasus,
besaran faktor C sepanjang tahun tidaklah sama. Meskipun merupakan faktor
independen, besarnya ang- ka C akan tergantung pada faktor-faktor lain dalam
persamaan USLE Dengan demikian, besarnya faktor C tersebut perlu ditentukan
melalui plot-plot percobaan.
GAMBAR 12.7

NILAI C

5. PENGELOLAAN DAN KONSERVASI TANAH


Pengaruh aktivitas pengelolaan dan konservasi tanah (P) terha dap besarnya erosi
dianggap berbeda dari pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pengelolaan
tanaman (C), oleh karenanya, dalam rumus USLE faktor P tersebut dipisahkan
dari faktor C. Tingkat erosi yang terjadi sebagai akibat pengaruh aktivitas
pengelolaan dan konserva tanah (P) bervariasi, terutama tergantung pada
kemiringan lereng
Faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang
mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tereros rata-rata dari lahan
yang diolah tanpa tindakan konservasi, dengan catatan faktor-faktor penyebab
erosi yang lain diasumsikan tidak ber- ubah. Praktek bercocok tanam yang
kondusif terhadap penurunan kecepatan air larian dan yang memberikan
kecenderungan bagi ar larian untuk mengalir langsung ke tempat yang lebih
rendah dapat memperkecil nilai P. Di ladang pertanian, besarnya harga faktor P
menunjukkan jenis aktivitas pengolahan tanah (pencangkulan dan persiapan tanah
lainnya). Dalam pemakaian di bidang konstruksi, besarnya P menunjukkan
kekasaran permukaan tanah sebagai akibat cara kerja traktor dan mesin-mesin
pertanian lainnya. Besarnya faktor P yang telah berhasil ditentukan berdasarkan
penelitian di Pulau Jawa adalah seperti tersebut pada gambae dibawah Penilaian
faktor P di lapangan lebih mudah bila digabungkan dengan faktor C karena dalam
kenyataannya, kedua faktor tersebut berkaitan erat. Beberapa nilai faktor CP telah
dapat ditentukan berda- sarkan penelitian di Jawa seperti tersebut pada Tabel 7.8.
Untuk daerah yang belum tersedia milai P dari hasil penelitian, petunjuk umum
untuk memprakirakan nilai tersebut dapat diperoleh dengan memanfaatkan Tabel
7.9. Tabel tersebut menunjukkan beberapa nilai P menurut keadaan kemiringan
lereng dan bentuk usaha konservasi tanah yang diterapkan (Soil Conservation
Service, 1972).
Pemilihan atau penentuan nilai faktor CP perlu dilakukan de- ngan hati-hati
karena adanya variasi keadaan lahan dan variasi teknik konservasi yang dijumpai
di lapangan.
Gambar 12. 8

Nilai P
E. DAMPAK EROSI
Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa masuk ke sumber air
(sedimen) dan akan diendapkan di tempat yang aliran airnya melambat di dalam
sungai, waduk, danau, reservoir, saluran irigasi, diatas pertanian dan sebagainya.
Dengan demikian, kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa erosi terjadi di dua
tempat, yaitu pada tanah tempat erosi terjadi, dan pada tempat tujuan akhir tanah yang
terangkut tersebut diendapkan (Arsyad, 2012). Kerusakan yang disebabkan erosi tidak
hanya dirasakan dibagian hulu (on site) saja. Akan tetapi, juga berpengaruh dibagian
hilir (off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan
tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya
lahan kritis. Dibagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang
menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir
dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan di musim kemarau (Atmojo, 2006).
Menurut Setyono dan Devi (2015) menerangkan bahwa Waduk Selorejo beroperasi
sejak tahun 1970 dan diharapkan dapat beroperasi dan melayani kebutuhan air hingga
pada tahun 2020. Namun besarnya sedimen yang mengendap di dalam waduk hingga
tahun 2020 sudah melebihi kapasitas tampungan mati sebelum umur rencana waduk
yang sudah direncanakan.
Erosi tidak bisa dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol, khususnya
untuk lahan-lahan pertanian. Tindakan yang dilakukan adalah dengan mengusahakan
supaya erosi yang terjadi masih dibawah ambang batas yang maksimum (soil loss
tolerance), yaitu besarnya erosi yang tidak melebihi laju pembentukan tanah (Suripin,
2004). United States Department of Agriculture (USDA) telah menetapkan klasifikasi
bahaya erosi berdasarkan laju erosi yang dihasilkan dalam ton/ha/tahun seperti
diperlihatkan pada Tabel 1. Klasifikasi bahaya erosi ini dapat memberikan gambaran,
apakah tingkat erosi yang terjadi pada suatu lahan ataupun DAS sudah termasuk
dalam tingkatan yang membahayakan atau tidak, sehingga dapat dijadikan pedoman
didalam pengelolaan DAS (Darmadi, 2013).
F. TIPE SEDIMEN
Menurut asalnya sedimen dibagi menjadi 4 (empat) macam yaitu;
1. Sedimen lithogenous ialah sedimen yang berasal dari sisa pelapukan (weathering)
batuan dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan
vulkanik.
2. Sedimen biogenous ialah sedimen yang berasal dari organisme laut yang telah
mati dan terdiri dari remah-remah tulang, gigi geligi dan cangkang-cangkang
tanaman maupun hewan mikro.
3. Sedimen hydrogenous yakni sedimen yang berasal dari komponen kimia air laut
dengan konsentrasi yang kelewat jenuh sehingga terjadi pengendapan (deposisi)
didasar laut contohnya mangan (Mn) berbentul nodul, fosforite (P2O5), dan
glauconite (hidro silikat yang berwarna kehijauan dengan komposisi yang terdiri
dari ion-ion K, Mg, Fe dan Si).
4. Sedimen cosmogenous sedimen yang berasal dari luar angkasa di mana partikel
dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan banyak mengandung unsur
besi sehingga mempunyai respons magnetik dan berukuran antara 10- 640 μ
(Munandar dkk, 2014). Biasanya suatu kawasan sungai tidak ada sedimen dasar
yang hanya terdiri dari satu tipe substrat saja melainkan terdiri dari kombinasi tiga
fraksi yaitu pasir, 6 lumpur, dan tanah liat. Menurut Rifardi (2008) ukuran butir
sedimen dapat menjelaskan hal-hal berikut:
1) menggambarkan daerah asal sedimen,
2) perbedaan jenis partikel sedimen,
3) ketahanan partikel dari bermacam-macam komposisi terhadap proses
pelapukan (weathering), erosi, abrasi dan transportasi serta
4) jenis proses yang berperan dalam transportasi dan deposisi sedimen.
G. INDIKATOR SEDIMENTASI
Adapun parameter sungai yang dapat mempengaruhi terendapnya sedimen
yaitu kecepatan arus, parameter kimia dan fisika. Parameter-parameter tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Kecepatan Arus
Arus adalah suatu gerakan air yang mengakibatkan perpindahan
horizontal massa air yang disebabkan oleh angin yang bertiup melintasi
permukaan dan perbedaan densitas air sungai. Adanya sedimen kerikil
menunjukan bahwa arus pada daerah itu relatif kuat sehingga sedimen
kerikil umumnya ditemukan pada daerah terbuka, sedangkan sedimen
lumpur terjadi akibat arus yang tenang dan dijumpai pada daerah dimana
arus terhalang (Munandar dkk, 2014).
Thruman dalam Tampubolon (2010) menyatakan bahwa pergerakan
sedimen dipengaruhi oleh kecepatan arus dan ukuran butiran sedimen.
Semakin besar ukuran butiran sedimen tersebut maka kecepatan arus yang
dibutuhkan juga akan semakin besar untuk mengangkut partikel sedimen
tersebut. Arus juga merupakan kekuatan yang menentukan arah dan
sebaran sedimen. Kekuatan ini juga yang menyebabkan karakteristik
sedimen berbeda sehingga pada dasar sungai disusun oleh berbagai
kelompok populasi sedimen. Secara umum partikel berukuran kasar akan
diendapkan pada lokasi yang tidak jauh dari sumbernya, sebaliknya
partikel yang berukuran halus akan lebih jauh dari sumbernya (Daulay
dkk, 2014).

2. KIMIA
Proses kimia mempengaruhi proses pengendapan (sedimentasi) di sungai.
Perubahan PH air sungai mempengaruhi proses pelarutan dan presipilitasi
partikel-partikel sedimen. Reaksi kimia dalam sedimen berhubungan
dengan PH khususnya kalsium karbonat yang terjadi sebagai partikel-
partikel batuan dan semen. Reaksi kimia terjadi diantara partikel-partikel
tersebut dengan air (Munandar dkk, 2014).

3. FISIKA
Proses terendapnya sedimen antara satu tempat dengan tempat lainnya
mempunyai perbedaan hal ini disebabkan oleh perbedaan suhu dari sungai
itu sendiri. Hubungan antara suhu dengan proses pengendapan sedimen
yaitu partikel dengan ukuran yang sama dideposisi lebih cepat pada suhu
rendah dibandingkan dengan suhu tinggi (Daulay dkk, 2014).

H. PARAMETER DAN PENGUKURAN SEDIMEN


Telah diuraikan bahwa secara garis besar sedimen dibedakan menjadi dua
jenis yaitu sedimen melayang (suspended sediment) dan sedimen merayap (bedload).
Pengukuran muatan sedimen atau sedi- men melayang dilakukan dengan cara
pengambilan sampel air melalui alat sediment sampler U.S.DH 48 yang terbuat dari
bahan semacam aluminium yang dilengkapi rongga untuk menempatkan botol sampel
seperti tampak pada Gambar 7.6. Gambar tersebut menunjukkan dua cara pengukuran
muatan sedimen yang mempunyai mekanisme kerja pada prinsipnya sama, yaitu
teknik depth-integrating suspended sedi- ment sampler. Bedanya, alat yang pertama
telah dibakukan (USDH-48 sediment sampler) dan alat satunya lagi merupakan
modifikasi dari alat yang pertama dan dibuat lebih sederhana. Pada kedua alat tersebut
pada intinya terdiri atas botol penampung air yang akan ditentukan konsentrasi
sedimennya, galah penyangga untuk menahan agar botol penampung air atau
sediment sampler dapat tetap di tempatnya. Alat tersebut juga dilengkapi dengan dua
lubang. Lubang pertama untuk tempat masuknya sampel air dan lubang lainnya
adalah untuk buangan udara dalam botol. Pada bagian ekor terdapat alat seperti sirip
yang berfungsi mengarahkan lubang penampung air agar selalu mengarah ke arah
datangnya aliran air. Alat tersebut biasanya dilengkapi dengan lubang penampung
sampel air yang berbeda ukurannya sehingga diperoleh muatan sedimen dengan
berbagai ukuran.
GAMBAR 12. 9
PENGUKURAN SEDIMEN

 HASIL SEDIMEN
Cara lain yang dapat dilakukan untuk memprakirakan besamya hasil sedimen
dan suatu daerah tangkapan air adalah melalui perhi- tungan Nisbah Pelepasan
Sedimen (Sediment Delivery Ratio) atau cukup dikenal dengan singkatan
SDR. Perhitungan besamya SDR dianggap penting dalam menentukan
prakiraan yang realistis besarnya hasil sedimen total berdasarkan perhitungan
erosi total yang berlangsung di daerah tangkapan air. Tergantung dari faktor-
faktor yang mempengaruhi, hubungan antara besarnya hasil sedimen dan
besarnya erosi total yang berlangsung di daerals tangkapan air umumnya
berva- riasi. Variabilitas angka SDR dari suatu DAS akan ditentukan oleh
pengaruh salah satu atau kombinasi dari faktor-faktor berikut:
1. Sumber sedimen. Tebing sungai, sebagai sumber sedimen, akan
memberikan hasil sedimen (volume dan kecepatan) berbeda dari sedimen
yang berasal dari hasil erosi yang terjadi di daerah tang- kapan air.
Sedimen yang berasal dari tempat yang terakhir ini bahkan seringkali tidak
akan pernah mencapai sungai karena terdeposisi pada tempat-tempat
antara berlangsungnya erosi dan sungai/anak sungai sebagai alat transpor
sedimen.
2. Jumlah sedimen yang tersedia untuk proses transpor sedimen dan jarak
antara sumber sedimen dan sungai/anak sungai. Sebagai contoh, sejumlah
besar sedimen yang dihasilkan dari proses erosi yang terjadi di tempat
yang jauh dari alat transpor sedimen akan memberikan nisbah pelepasan
sedimen yang lebih kecil daripada jumlah sedimen yang lebih sedikit tetapi
dihasilkan dari tempat yang lebih dekat dari alat transpor sedimen. Ketika
jumlah sedimen yang tersedia lebih besar daripada kapasitas sistem
transpor sedi- men yang ada, maka akan meningkatkan laju deposisi
sedimen dan menurunkan nisbah pelepasan sedimen.

3. Sistem transpor, umumnya dalam bentuk air larian, (di daerah tangkapan
air) dan kerapatan drainase (sungai/anak sungai). Sema- kin cepat dan
besar volume air larian, semakin besar pula jumlah hasil sedimen.
Demikian pula dengan kerapatan drainase, semakin banyak jumlah sungai
dalam suatu DAS, semakin besar jumlah sedimen yang dihasilkan. Dengan
demikian, DAS dengan kera- patan drainase tinggi dan dengan bentuk
sungai yang relatif lurus dan mempunyai gradien permukaan sungai besar
umumnya mempunyai angka SDR besar pula.

4. Tekstur partikel-partikel tanah yang tererosi. Tekstur sedimen akan


menentukan dimana sedimen dengan tekstur tertentu tersebut akan
terdeposisi di dalam dan/atau di luar sistem transpor sedimen. Seringkali,
material sedimen yang agak besar/kasar merupakan hasil sedimen yang
berasal dari erosi tebing sungai, sedang mate- rial yang lebih halus berasal
dari erosi permukaan.

5. Lokasi deposisi sedimen. Seringkali sedimen terdeposisi di kaki-kaki


bukit, di cekungan-cekungan permukaan daerah tangkapan air, di
sepanjang sungai atau di dalam waduk/danau bagian atas. Terja- dinya
deposisi sedimen di tempat-tempat tersebut akan menurun- kan angka
SDR dari DAS yang bersangkutan.
6. Karakteristik DAS. Karakteristik fisik DAS yang paling menentu- kan
besarnya SDR adalah luas daerah tangkapan air termasuk topografi dari
daerah tangkapan air tersebut (lihat Gambar 7.8). Kemiringan dan panjang
lereng dalam hal ini akan menentukan besarnya erosi yang terjadi di
tempat tersebut, dan dengan demikian, juga menentukan besarnya angka
SDR.

I. DAMPAK SEDIMENTASI
Masalah yang berkaitan dengan sedimentasi bisa terjadi di hulu maupun hilir
sungai. Dampak utama dari sedimentasi adalah berkurangnya kapasitas sungai atau
waduk dalam menampung air, yang akan memiliki efek serius berupa tereduksinya
suplai air, produksi listrik tenaga air, irigasi, hingga keefektifan penanggulangan
banjir. Deposit sedimen yang berlebihan di hulu juga dapat meningkatkan peluang
banjir di daratan yang lebih landai (Wang, 2005). Di lain sisi, berkurangnya jumlah
sedimen dari hulu juga dapat mengancam keberlangsungan dataran delta yang
tergerus oleh ombak dari lautan (Syvitski dkk., 2009).
Di area hilir, sedimentasi telah teridentifikasi sebagai stresor utama dari
keberadaan dan pemulihan spesies terumbu karang serta habitatnya. Sedimen yang
terdeposit akan melembutkan permukaan terumbu karang dan mengganggu
kemampuan spesies tersebut untuk makan, tumbuh, hingga bereproduksi. Selain itu,
sedimentasi juga berpengaruh pada mortalitas ikan dewasa, pengurangan
keberagaman spesies invertebrata, hingga produktivitas plankton dan alga (Griffiths,
1978).
REFEENSI

Asdak, C. 2006. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Makalals pelan "Petugas Pengembangan
Kegiatan Gerakan Penanaman Sw daya", diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan
DAS Cimanuk Citanduy, Bandung, 77-29 Desember 2006.

Asdak, C. 1991. Economic and Ecological Aspecs of Bamboo Talonin Jatiluhur, West Java.
Research Institute, Padjadjaran Univesity, Bandung. 42 hal.

Asdak, C. 1990. Biophysical relationships needed to perform econs mic evaluation of


watershed management programs: An over view methodology. SUAN V Symposium
on Rural-Urban Bo systems Interactions in Development. May 21-24, 1990, I tute of
Ecology, Padjadjaran University, Bandung.

Abdurachman, A. dan S.Sukmana. 1990. Prediksi Erosi dengan Meto- da USLE: Beberapa
masalah dalam penerapannya di DAS bagi- an hulu. Dalam Risalah Lokakarya
Pemantapan Perencanaan Konservasi Tanah dan Evaluasi Tingkat Erosi. Batu,
Malang 8- 9 Pebruari 1990. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Depar temen Pertanian, Jakarta.

Astuti, S. 1987. Pengaruh bentuk, struktur dan ukuran daun terhadap diameter tetes air lolos
dan beberapa tanaman penghijauan. Tesis Sarjana, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Bagnold, R.A. 1973. The nature of saltation and of "bedload" transportin water. Proceedings
of the Royal Society of London. Series A (332):473-504. Brooks, K.N., P.F.Ffolliott,
H.M. Gregersen, dan JL. Thames. 1988.

Hydrology and the Management of Watersheds. Ohio State University Press, Ohio, Bois,
P.L... 1978. The Iso-Erodent Map of Java and Madura. Belgian Technical Assistance
Project ATA 105. Soil Research Institute, Bogor. Tectona (31):613-728.

Coster, Ch. 1938. Bovengrondche afstrooming en erosion op Java. Dunne, T. dan L.B.
Leopold. 1978. Water in Environmental Planning.

W.H. Freeman and Company, San Fransisco. DHV Consulting Engineers. 1989. Study on
Catchment Preservation and on Environmental Impact of the Water Supply Projects
of Bandung and Sukabumi. Ministry of Public Works, Directorate General Cipta
Karya.
De Boodt, M., D. Gabriels, dan R. Vandevelde. 1973. Soil structure stabilization and
modification by use ofpolymers. Proc. 2nd Asean Soil Conference. Vol 1:343-355.

Anda mungkin juga menyukai