Anda di halaman 1dari 15

KEMAKSUMAN NABI vis a vis AYAT TEGURAN

Oleh: Akbar Haseng


A. Pendahuluan

Kemaksuman (‘is}mah) Nabi Muhammad merupakan salah satu tema penting

dalam wacana keislaman. Nabi saw sebagai tokoh sentral pembawa wahyu diklaim

kesucian dan keterjagaannya dari dosa dan kesalahan. Mengingkari kemaksuman Nabi

sama halnya mengingkari kesucian ajaran Islam yang dibawanya. Namun di sisi lain,

tak dapat dipungkiri bahwa Nabi saw adalah seorang manusia biasa yang memiliki
perangkat dan karakter layaknya manusia yang memiliki potensi berbuat benar dan

salah.

Al-Qur’an juga menampilkan sejumlah informasi tentang kemaksuman Nabi

saw. yang menyatakan bahwa lisan Nabi terjaga dan perkataannya adalah wahyu.

Namun di sisi lain, al-Qur’an juga menampilkan kesan bahwa Nabi seolah pernah

keliru dan salah dengan adanya ayat-ayat teguran. Dalam sejumlah riwayat hadis pun,

Nabi saw. dikemukakan pernah melakukan/mengalami beberapa peristiwa yang

dianggap sebagai kekeliruan, misalnya kasus sahwi (lupa) dalam shalat, kasus

tersingkapnya aurat Nabi, kasus penyerbukan kurma, dan peristiwa ‘kekeliruan’

lainnya.
Adanya sejumlah ayat yang mengandung teguran terhadap Nabi Muhammad

saw. seakan menjadi antitesis terhadap kemaksuman Nabi saw. Artikel ini akan fokus

menelaah dan menganalisis ayat-ayat teguran dan penafsirannya dalam rangka

memperoleh petunjuk dalam memahami kontradiktif antara kemaksuman dan teguran

terhadap kekeliruan Nabi Muhammad saw.


1

B. Ayat-ayat tentang kemaksuman dan teguran terhadap Nabi

Jika ditelusuri dalam al-Qur’an, kata ‘is}mah disebutkan sebanyak 13 kali

dengan segala derivasinya yang bermuara pada makna imsa>k (menahan) dan mana‘a

(mencegah).1 Menurut Ibn Manz}u>r dan Ibn Fa>ris sepakat bahwa makna ‘is}mah adalah

pemeliharaan Allah terhadap hamba-Nya dari keburukan yang akan menimpanya,

sehingga hamba tersebut tercegah dan terlindungi.2


Adapun sejumlah ayat yang bercerita tentang kemaksuman Nabi saw. Adalah

sebagai berikut:
1. Terjaga dari upaya menyesatkan. Sebagaimana dalam QS al-Nisa>/4: 113.

‫ضلُّو َن إِهَل أَنْ ُف َس ُه ْم َوَما‬ِ ‫وك وما ي‬ ِ ِ ِ ِ‫ضل ه‬


ُ َ َ َ ُّ‫ت طَائ َفةٌ مْن ُه ْم أَ ْن يُضل‬ ْ ‫ك َوَر ْْحَتُهُ ََلَهم‬ َ ‫اَّلل َعلَْي‬ ُ ْ َ‫َولَ ْوََل ف‬
ِ‫ضل ه‬
‫اَّلل‬ ‫ف‬
َ ‫ن‬َ ‫ا‬‫ك‬َ‫و‬ ‫م‬ ‫ل‬
َ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫ك‬
ُ ‫ت‬ ‫َل‬
َ ‫ا‬‫م‬ ‫ك‬ ‫م‬ ‫اْلِ ْك َمةَ َو َعله‬
ْ ‫و‬ ‫اب‬‫ت‬ ِ ْ‫ك ال‬
‫ك‬ ‫ي‬ ‫ل‬
َ ‫ع‬ ‫اَّلل‬
‫ه‬ ‫ل‬َ‫ز‬ ‫َن‬
ْ ‫أ‬
‫و‬ ٍ ‫يضُّرونَك ِمن شي‬
‫ء‬
ُ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َْ ْ َ َُ
‫يما‬ ِ َ ‫علَي‬
ً ‫ك َعظ‬ َْ
Terjemahnya: Sekiranya bukan karena karunia Allah swt. dan rahmat-Nya
kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk
menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan
mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena)
Allah swt. telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah swt. sangat
besar atasmu.

Al-Zamakhsyari@ dalam Tafsi@r al-Kasysya>f menarik kesimpulan bahwa ada satu

kelompok dari orang yang hendak menolong pencuri itu yang berupaya agar

memalingkan Rasulullah saw. dari kebenaran, dan mencoba agar mengubah

keputusan Nabi saw. untuk membela kerabat mereka. Dan Nabi saw. hampir saja

1
Ja‘far Subh}ani, Mafa>hi>m al-Qur’a>n (Cet. I; Iran: Muassasah al-Nasry al-Isla>mi@, 1991), h. 7.
2
Muhammad bin Mukrim bin ‘Ali@ Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz XII (Cet. 3; Bairut: Da>r al-
S}a>dir, 1414 H), h. 403.
2

condong kepada mereka, dengan melihat kebaikan-kebaikan yang ditampakkan

mereka, akan tetapi Allah swt. memelihara engkau dari hal tersebut, dan

menyelamatkan engkau dari persekongkolan mereka dan juga mengembalikan tipu

daya mereka kepada kesesatan mereka sendiri.3

Dalam Tafsir al-Misbah diuraikan bahwa setelah mengingatkan, mengancam,

dan menasehati, kini Allah swt. menjelaskan nikmat yang dicurahkan kepada Nabi

Muhammad saw. yang berkaitan dengan kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat
di atas, bukan saja untuk mengingatkan betapa besar rahmat Allah swt. kepada beliau,

tetapi juga untuk semua manusia, terutama yang ragu, bahwa Allah swt. memelihara
beliau dari kesalahan. Menurut Ṭ{a>hi@r bin ‘A<syu>r sebagaimana dikutip oleh M.

Quraish Shihab, beliau memahami karunia dan rahmat yang diuraikan ayat ini adalah

anugerah kitab suci al-Qur’an yang menjelaskan rincian kebenaran dalam upaya

menetapkan hukum serta ‘is}mah, yakni keterpeliharaan beliau dari kesalahan. Ayat

ini menjanjikan perlindungan Allah swt. dan ‘is}mah, yakni pemeliharaan-Nya kepada

Nabi saw., sebagaimana ditemukan juga yang serupa dalam QS. al-Ma>’idah [5]: 67.

Hanya saja jika melihat konteksnya, penekanan ayat ini pada pemeliharaan batiniah,
sedang dalam QS. al-Ma>’idah [5]: 67 adalah pemeliharaan lahiriah. ‘Iṣmah atau

pemeliharaan yang dimaksud dalam ayat ini adalah suatu pengetahuan yang sangat

dalam yang menghalangi seseorang – dalam hal ini Nabi saw. – terjerumus dalam

kesalahan atau kesesatan. Memang bisa saja seseorang selain Nabi dihalangi oleh

keluhuran budi dan kedalaman pengetahuannya untuk terjerumus dalam kesalahan

dan kesesatan, tetapi hal ini bersifat umum bagi mereka, bukan sesuatu yang bersifat

3
Muḥammad ibnu ‘Amr bin Ah}mad al-Zamakhsyari@, Al-Kasysya>f ‘an H{aqa>iq Gawa>mid al-
Tanzi@l, Juz I (Cet. III; Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi@ , 1407 H), h. 564.
3

pasti dan berkesinambungan sebagaimana ‘iṣmah yang dianugerahkan kepada para

nabi, khususnya Nabi Muhammad saw.4

2. Terpelihara dari sifat salah. Sebagaimana dalam QS al-Najm/53: 3-4


ِ
َ ُ‫) إِ ْن ُه َو إِهَل َو ْح ٌي ي‬3( ‫َوَما يَْنط ُق َع ِن ا َْلََوى‬
‫وحى‬
Terjemahnya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)

Dalam ayat ketiga ini Allah swt. menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw.
itu tidak sesat dan tidak keliru karena beliau seorang yang tidak pernah menuruti

hawa nafsunya termasuk dalam perkataannya. Orang yang mungkin keliru atau
tersesat ialah orang yang menuruti hawa nafsunya.5 Dan pada ayat keempat, Allah

swt. menguatkan ayat sebelumnya, yakni bahwa Nabi Muhammad saw. hanyalah

mengatakan apa yang diperintahkan oleh Allah swt. untuk disampaikan kepada

manusia secara sempurna, tidak ditambah-tambah dan tidak pula dikurangi menurut

apa yang diwahyukan kepadanya.6

Dalam Tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa apabila Rasulullah saw. Bertutur atau

bercakap mengeluarkan perkataan, tidaklah itu timbul dari kehendaknya sendiri saja.
Bahkan bila ada orang yang berbuat suatu perbuatan di hadapan beliau, sedang

perbuatan itu tidak beliau larang, melainkan beliau diam, maka diamnya itu pun jadi

hujjah (alasan dan dalil) bahwa diamnya adalah alamat perbuatan itu boleh

dikerjakan. Pada ayat keempat dijelaskan bahwa beliau bercakap tidaklah dari hawa,

yaitu perasaannya sendiri. Apa yang beliau ucapkan ialah menurut wahyu Allah swt.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 582-584.
5
Lihat QS Ṣad/38: 26.
6
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. IX (Jakarta: Penerbit Lentera Abadi,
2010), h. 530.
4

semata-mata. Hal ini dapat dilihat pada ancaman Allah swt. yang terdapat pada QS.

al-Ḥa>qqah [69]: 44-46 kepada Nabi-Nya saw. terhadap konsekuensi yang dilakukan

apabila beliau berdusta atas nama Allah swt., hal ini tentunya mustahil dilakukan

oleh Rasulullah saw.7

3. Terpelihara dari sifat lupa dari wahyu Allah. Sebagaimana dijelaskan QS

al-A‘la/87: 6-7

ْ ‫اَّللُ إِنههُ يَ ْعلَ ُم‬


)7( ‫الَ ْهَر َوَما ََيْ َفى‬ ‫) إِهَل َما َشاءَ ه‬6( ‫ك فَ ََل تَ ْن َسى‬
َ ُ‫َسنُ ْق ِرئ‬
Terjemahnya: Kami akan membacakan (Alquran) kepadamu (Muhammad saw.),
maka kamu tidak akan lupa. Kecuali kalau Allah swt. menghendaki. Sesungguhnya
Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi
Dalam Tafsir Fi> Ẓila>l al-Qur’a>n Sayyid Quṭb menjelaskan bahwa Nabi saw.
akan dapat membacanya dengan bacaan yang diterimanya dari Tuhannya, Dialah

yang menjamin kepada hatinya sesudah itu, sehingga beliau tidak akan lupa terhadap

apa yang dibacakan Tuhannya itu, dan hal ini merupakan berita gembira bagi umat

beliau sepeninggalnya, yang menjadikan mereka merasa mantap terhadap pokok

akidah ini. Karena, ia berasal dari Allah swt., dan Allah swt. yang menjamin dan

memeliharanya di dalam hati Nabi saw. pembawanya. Ini salah satu bentuk

pemeliharaan Allah swt. “Kecuali kalau Allah menghendaki” ini adalah ketetapan
yang memantapkan kemutlakan kehendak Ilahi, sesudah dikemukakan-Nya janji yang

benar bahwa beliau tidak akan lupa, untuk menunjukkan bahwa urusan ini berada di

bawah bingkai kehendak teragung.8

Dalam Tafsir al-Mara>gi@ disimpulkan bahwa sesungguhnya Kami akan

melapangkan dadamu dan menguatkan ingatanmu, sehingga kamu bisa langsung

menghafalnya begitu mendengarnya, walaupun hanya sekali saja. Sesudah itu kamu
7
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid IX, (Singapura: Pustaka Nasional, 2005), h. 6979.
8
Sayyid Quṭb, Tafsi@r Fi@ Ẓila>l al-Qur’a>n, Juz XII (Bairut: Da>r al-Syuru>q, 1412 H), h. 246-247.
5

tidak akan lupa selamanya. Pada ayat selanjutnya Allah swt. mendatangkan

pengecualian pada janji-Nya yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak

akan pernah lupa dari apa yang sudah dihafalnya. Imam al-Farra> mengatakan,

“Sesungguhnya Allah swt. berkehendak melupakan Nabi Muhammad saw. dari al-

Qur’an, walaupun hanya sebagian. Pengecualian ini hanya untuk menjelaskan bahwa

sekiranya Allah swt. menghendaki agar Nabi.9

Sementara itu, dalam al-Qur’an Nabi saw. Beberapa kali mendapatkan teguran
dari Allah swt. baik karena kekeliruan ucapan maupun perilaku. Berikut akan

dipaparkan sejumlah contoh kasus:


1. Teguran terhadap Nabi mengharamkan yang dihalalkan Allah kepadanya.

Sebagaimana dalam QS al-Tah}ri@m/66: 1-5


ِ ‫اَّلل َغ ُف‬ ِ ِ َ َ‫اَّلل ل‬ ِ ِ‫َيأَيُّها الن‬
‫ض‬َ ‫) قَ ْد فَ َر‬1( ‫ور َرح ٌيم‬ ٌ ُ‫ك َو ه‬ َ ‫ات أ َْزَواج‬
َ ‫ض‬ َ ‫ك تَ ْب تَغي َم ْر‬ ُ‫َح هل ه‬ َ ‫هِب َلَ ُُتَ ِرُم َما أ‬
ُّ َ َ
ِ‫ض أ َْزو ِاجه‬ ِ ُّ ِ‫) وإِ ْذ أَسهر الن‬2( ‫اْلَكيم‬ ِ ِ ِ ِ
‫اَّللُ لَ ُك ْم َُتلهةَ أَْْيَان ُك ْم َو ه‬
َ ِ ‫هِب إ ََل بَ ْع‬ َ َ ُ ْ ‫اَّللُ َم ْوََل ُك ْم َوُه َو الْ َعل ُيم‬ ‫ه‬
ِ َ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َعهر‬
‫َت بِِه َوأَظْ َهَرهُ ه‬ ِ
‫ت َم ْن‬ ْ َ‫ض فَلَ هما نَبهأ ََها بِه قَال‬
ٍ ‫ض َع ْن بَ ْع‬َ ‫ضهُ َوأ َْعَر‬َ ‫ف بَ ْع‬ ْ ‫َحديثًا فَلَ هما نَبهأ‬
‫اهَرا َعلَْي ِه‬ ِ‫) إِ ْن تَتوَب إِ ََل ه‬3( ‫ال نَبهأَِِن الْعلِيم ا ْْلبِري‬
َ َ‫ت قُلُوبُ ُك َما َوإِ ْن تَظ‬ْ َ‫صغ‬ َ ‫اَّلل فَ َق ْد‬ َُ ُ َ ُ َ َ َ َ‫أَنْبَأ ََك َه َذا ق‬
ِ ِ ‫اَّلل هو موََله وِج ِْبيل و‬
َ ‫ني َوالْ َم ََلئِ َكةُ بَ ْع َد ذَل‬
‫) َع َسى َربُّهُ إِ ْن‬4( ٌ‫ك ظَ ِهري‬ ِِ
َ ‫صال ُح الْ ُم ْؤمن‬ َ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ُ َ‫فَِإ هن ه‬
ٍ ‫ات سائِح‬ ٍ ِ ٍ ِ ٍ ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ
‫ات‬ َ َ ‫اجا َخ ْ ًريا مْن ُك هن ُم ْسل َمات ُم ْؤمنَات قَانتَات ََتئبَات َعاب َد‬ ً ‫طَله َق ُك هن أَ ْن يُْبدلَهُ أ َْزَو‬
)5( ‫ات َوأَبْ َك ًارا‬ٍ ‫ثَيِب‬
َ
Terjemahnya: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan
bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang 2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah
Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 3. Dan ingatlah
ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah)
suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan Peristiwa itu (kepada
‘Âisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan ‘Âisyah)

9
Aḥmad bin Mus}t}afa> al-Marāgi@, Tafsi@r al-Mara>gi@, Juz XXX (Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi@ al-H{albi@,
1946), h. 219.
6

kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan


Allah kepadanya) dan Menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka
tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan ‘Âisyah)
lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?"
Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal." 4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka
Sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan
jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik;
dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. 5. Jika Nabi
menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan
isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang
bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.

2. Teguran terhadap Nabi melaknat orang musyrik. Seperti dalam QS A<li ‘Imra>n/3:

128.

‫وب َعلَْي ِه ْم أ َْو يُ َع ِذ ََبُْم فَِإ هَّنُْم ظَالِ ُمو َن‬ ِ َ َ‫لَيس ل‬
َ ُ‫ك م َن ْاْل َْم ِر َش ْيءٌ أ َْو يَت‬ َ ْ
Terjemahnya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau
Allah swt. menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim.”
Dalam Tafsi@r al-Muni@r dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw., kamu

(Muhammad) tidak memiliki kuasa dan campur tangan apa-apa dari perkara manusia,

kewajibanmu tidak lain hanya menjalankan perintah-Ku dan taat kepada-Ku.

Sesungguhnya tugasmu tidak lain hanya menyampaikan saja, sedang Kamilah yang

menghisab amalan mereka. Maka oleh karena itu, janganlah kamu merasa sedih dan
terganggu dengan mereka, janganlah kamu mendoakan tidak baik (melaknati) mereka.

Karena mungkin siapa tahu ada sebagian dari mereka yang bertaubat dan masuk

Islam.10

3. Teguran terhadap Nabi membuat perjanjian tanpa In sya> Allah. Seperti dalam

QS al-Kahfi/18: 23-24:

10
Wahbah al-Zuh}aili@, Tafsi@r al-Muni@r fi@ al-‘Aqidah wa al-Syari@‘ah wa al-Manhaj, Juz II
(Bairut: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H), h. 410.
7

ِ ِ ِ َ‫وََل تَ ُقولَ هن لِشي ٍء إِِِن ف‬


َ ‫ك إِ َذا نَس‬
‫يت َوقُ ْل َع َسى‬ ‫) إِهَل أَ ْن يَ َشاءَ ه‬23( ‫ك َغ ًدا‬
َ ‫اَّللُ َواذْ ُك ْر َربه‬ َ ‫اع ٌل ذَل‬ َْ َ
ِ ِ ِ
َ ‫أَ ْن يَ ْهديَ ِن َرِب ْلَقْ َر‬
‫ب م ْن َه َذا َر َش ًدا‬
Terjemahnya: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu:
“Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi. Kecuali (dengan menyebut):
“In syā Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah:
“Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat
kebenarannya dari pada ini”.
Ibn Kas\i@r menjelaskan bahwa yang demikian ini merupakan bimbingan dari

adab Allah swt. kepada Rasulullah saw. Mengenai sesuatu jika beliau hendak

melakukannya pada masa yang akan datang, yakni hendaklah beliau mengembalikan

hal itu kepada kehendak Allah swt. yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia, yang Maha

Mengetahui segala yang gaib, yang mengetahui apa yang telah terjadi, yang akan

terjadi, yang tidak akan terjadi, dan bagaimana akan terjadinya.11

4. Teguran terhadap Nabi karena menghendaki harta rampasan perang. Seperti

dalam QS al-Anfa>l/8: 67-68:

‫يد ْاْل ِخَرَة‬ ِ ‫َسَرى َح هَّت يُثْ ِخ َن ِِف ْاْل َْر‬ ِ


ُ ‫اَّللُ يُِر‬
‫ض الدُّنْيَا َو ه‬
َ ‫يدو َن َعَر‬ُ ‫ض تُِر‬ ْ ‫َما َكا َن لنَِ ٍِب أَ ْن يَ ُكو َن لَهُ أ‬
‫اب َع ِظ ٌيم‬ ِ ِ‫) لَوََل كِتاب ِمن ه‬67( ‫اَّلل ع ِزيز ح ِكيم‬
ٌ ‫َخ ْذ ُُْت َع َذ‬
َ ‫يما أ‬
َ ‫اَّلل َسبَ َق لَ َم هس ُك ْم ف‬ َ ٌ َ ْ ٌ َ ٌ َ ُ‫َو ه‬
Terjemahnya: “Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia
dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawiyah, sedangkan Allah swt. menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan
Allah swt. Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan
yang telah terdahulu dari Allah swt., niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar
karena tebusan yang kamu ambil.
Al-Zuh}aili@ menjelaskan bahwa kalau bukan karena sudah ada ketentuan dari

Allah swt. yang sudah tertulis di Lauh{ al-Mah}fu>z}, yaitu seseorang yang telah

berijtihad lalu salah maka ia tidak akan dihukum atas kesalahannya itu karena orang-

orang yang berpendapat demikian (maksudnya berpendapat untuk menerima tebusan)

11
Abu> al-Fida> Isma‘i@l Ibn Kas\i@r, Tafsi@r al-Qur’a>n al-‘Az}i@m, Juz V (Bairut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1419 H), h. 248.
8

berpandangan bahwa membiarkan mereka (para tawanan itu) tetap hidup boleh jadi

menjadi sebab taubat dan masuknya mereka ke dalam Islam. Di samping itu, tebusan

yang mereka bayar bisa juga digunakan untuk kepentingan jihad di jalan Allah swt.

Namun, mereka (orang-orang yang berpendapat seperti ini) lupa kalau membunuh

para tawanan itu justru lebih membuat Islam semakin mulia, membuat orang-orang

kafir lainnya gentar dan semakin melemahkan kekuatan mereka.12

5. Teguran terhadap Nabi karena bermuka masam terhadap orang buta. Seperti
dalam QS ‘Abasa/80: 1-11
ِ ‫) أَو ي هذ هكر فَت ْن َفعه‬3( ‫) وما ي ْد ِريك لَعلهه ي هزهكى‬2( ‫) أَ ْن جاءه ْاْلَعمى‬1( ‫عبس وتَوهَل‬
‫الذ ْكَرى‬ َُ َ ُ َ ْ َ ُ َ َ ُ ََ َ ْ َُ َ َ َ َ ََ
‫) َوأَهما َم ْن َجاءَ َك يَ ْس َعى‬7( ‫ك أهََل يَهزهكى‬َ ‫) َوَما َعلَْي‬6( ‫صدهى‬ َ َ‫ت لَهُ ت‬ ْ ‫) أَهما َم ِن‬4(
َ ْ‫) فَأَن‬5( ‫استَ غْ ََن‬
ٌ‫) َك هَل إِ هَّنَا تَ ْذكَِرة‬10( ‫ت َعْنهُ تَلَهى‬ َ ْ‫) فَأَن‬9( ‫) َوُه َو ََيْ َشى‬8(
Terjemahnya: “Dia (Nabi Muhammad saw.) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu
pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya
serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia
tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu
dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah
swt.), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya
ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.
Pada dasarnya perlakuan Nabi saw. meninggalkan kehati-hatian dan sesuatu

yang lebih utama. Hal itu bukan dosa sama sekali dan tidak bertentangan dengan

dasar kemaksuman para nabi. Sebab, hal ini lahir dari perasaan alami seorang

manusia, seperti ridha, marah, tertawa, menangis dan hal lain yang tidak termasuk

taklif dalam Islam. Walaupun Ibnu Ummi Maktu>m berhak mendapatkan teguran

karena dia bersikeras berbicara dengan Nabi saw. untuk minta diajari, hal ini

seharusnya tidak ia lakukan. Walaupun demikian, Allah swt. tetap menegur Nabi-

12
Wahbah al-Zuh}aili@, Tafsi@r al-Muni@r, Juz V, h. 356.
9

Nya saw. sebab yang lebih penting didahulukan dibanding yang penting. Ibnu Ummi

Maktum juga berhak mendapatkan teguran karena dia telah masuk Islam dan belajar

ilmu agama yang ia perlukan. Adapun orang-orang kafir itu, mereka belum masuk

Islam dan keislaman mereka bisa menjadi sebab masuk Islamnya banyak orang.13

Ayat-ayat yang bersifat teguran sama sekali tidak mencederai kemaksuman

Nabi Muhammad saw. karena Rasulullah saw. dalam ijtihadnya terkadang tidak

terlepas dari tark al-aula> (meninggalkan sesuatu yang lebih utama). Akan tetapi hal
ini masuk ke dalam kategori “H{asana>t al-Abra>r Sayyi’a>t al-Muqarrabi@n” (hal-hal

yang jika itu dilakukan oleh orang saleh, itu dinilai baik, namun jika yang
melakukannya adalah orang yang sudah mencapai tingkatan al-Muqarrabu>n, itu

sudah masuk penilaian sesuatu yang tidak baik).

C. Tinjauan kritis terhadap ayat kemaksuman dan teguran Nabi saw

Ayat-ayat yang bercerita tentang teguran (ayat ‘itab) memang memiliki kaitan

dengan ayat tentang ‘is}mah, namun kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa yang

ditegur oleh Allah swt. bukanlah bagian dari perbuatan dosa atau khilaf yang akan

menghilangkan atau menafikan kemaksuman Nabi saw. Dalam kasus surah al-Tah}ri@m
misalnya, Al-T{abari@ menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad

saw berkaitan dengan masalah pribadinya dalam berumah tangga. Al-T{abari@ di sini

menjelaskan bahwa Rasulullah saw mengharamkan sesuatu hal yang sudah dihalalkan

oleh Allah swt, yaitu salah satu istrinya yaitu Ma>riyah al-Qibt{iyyah. Pengharaman

ini ia lakukan atas permintaan istrinya yang lain yaitu H{afs}ah dikarenakan

kecemburuannya. Dikatakan bahwa kecemburuan itu muncul karena Nabi pernah

menggilir Ma>riyah pada waktu giliran H{afs}ah dan di kamar H{afs}ah. Inilah yang

13
Wahbah al-Zuh}aili@, Tafsi@r al-Muni@r, Juz XV, h. 376-377.
10

memancingnya dan akhirnya meminta Nabi saw untuk menjauhinya.14 Ada juga yang

menyebutkan bahwa yang diharamkan oleh Nabi saw adalah madu yang ia minum di

rumah Zainab binti Jahsyi dan membuat dua istrinya yang lain (‘A<isyah dan H{afs}ah)

cemburu. Kemudian mereka berdua berencana jika Nabi saw datang ke rumah mereka

maka mereka akan mengatakan bahwa mereka mencium bau tidak sedap darinya

sampai ia mengharamkannya.

Saat Rasulullah saw memenuhi permintaan tersebut, ia meminta kepada


Hafsah untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun. Permintaan

H{afs}ah terhadap Nabi saw yang akhirnya dipenuhinya ini ada yang menganggapnya
sebagai sumpah. Dengan demikian ia harus membayar kifarat sumpah agar terlepas

dari sumpah tersebut. Salah satu riwayat yang disebutkan oleh al-T{abari@ adalah: Ibnu

H{amid menceritakan kepada kami, ia berkata: Jari@r menceritakan kepada kami dari

‘A<mir tentang ayat ini berkenaan dengan istri yang didatanginya, maka muncullah

H{afs}ah. Nabi berkata: “dia haram bagiku, maka sembunyikanlah ini, dan jangan

ceritakan kepada siapa pun. Tetapi H{afs}ah menceritakannya.15

Adapun dalam ayat tentang muka masam yang ditujukkan Nabi kepada Ibn
Ummi Maktu>m, itu merupakan hal yang wajar jika dilakukan oleh seseorang apatah

lagi dalam kapasitasnya sebagai pemimpin sehingga tidak dianggap sebagai kesalah

yang mencoreng nama baik pemimpin. Sebagai ilustrasinya, jika seorang pemimpin

merasa sedikit cemberut jika ada seorang yang ingin menemuinya di saat ia sedang

menjalankan tugas lain yang lebih penting dan tidak ada perjanjian sebelumnya. Sikap

‘abu>s Nabi saw. juga disebabkan harapan yang besar akan keislaman pembesar

14
Muhammad bin Jari@r al-T{abari@, Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi@l al-Qur’a>n, Juz XXVIII (Bairut:
Muassasah al-Risa>lah, 2000), h. 155.
15
Muhammad bin Jari@r al-T{abari@, Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi@l al-Qur’a>n, Juz XXVIII, h. 156-157.
11

Quraisy dan Nabi bermaksud mendahulukan mereka kemudian melayani Ibn Ummi

Maktu>m yang sudah masuk Islam. Sikap Nabi dalam kasus tersebut adalah manusiawi

dan bukan dosa yang mesti diberi sanksi.

Sementara kasus harta rampasan perang pada surah al-Anfa>l: 67, ayat tersebut

turun sesudah terjadinya perang Badar. Dalam perang tersebut kaum muslimin

memperoleh kemenangan yang begitu menggembirakan. Di samping menewaskan

musuh dan memperoleh rampasan perang, kaum muslimin juga berhasil menawan
tujuh puluh dari kaum musyrikin. Menghadapi para tawanan ini, Nabi Muhammad

saw. meminta pendapat para sahabat menyangkut tindakan yang akan diambil
terhadap mereka. Dalam hal ini al-Tabarî meyebutkan beberapa riwayat yang

menguraikan tentang musyawarah Nabi saw. dengan para sahabatnya. 16 Disebutkan

bahwa Abu> Bakar ra ketika itu mengusulkan bahwa mereka dibebaskan saja dengan

membayar tebusan, karena mereka juga adalah orang terdekat dan kerabat Nabi saw.

sendiri. Jika tidak mampu maka harus mengajar kaum muslimin untuk membaca dan

menulis. Lain halnya dengan yang diusulkan oleh ‘Umar ibn Khat}t}a>b ra. Ia

menyarankan agar mereka dibunuh karena mereka adalah kaum kafir Quraisy. Setelah
bermusyawarah dengan para shahabat maka Nabi saw. memutuskan untuk menerima

ide Abu> Bakar ra. Namun tindakan ini ditegur oleh Allah SWT.

Dalam Tafsir al-Mishbah disebutkan bahwa ayat ini tidak menegur Nabi

Muhammad, akan tetapi Abu> Bakar ra selaku pengusul. Teguran ini bukanlah karena

ia berbuat kesalahan yang besar, hanya saja kurang tepat apabila diberlakukan pada

saat itu. Karena kondisi umat Islam saat itu masih dalam jumlah yang sedikit.

Mengambil pendapat Abu> Bakar ra adalah suatu hal yang kurang tepat karena bisa

16
Muhammad bin Jari@r al-T{abari@, Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi@l al-Qur’a>n, Juz X h. 42-44.
12

jadi setelah mereka bebas maka mereka akan kembali menyerang Islam dan Nabi saw.

Maka jalan yang tepat untuk diambil adalah dengan membunuh mereka seperti usulan

‘Umar ibn Khatta>b ra. Dengan memilih usulan ini, maka akan mempercepat laju

perjuangan dan penguasaan Islam terhadap negara-negara musyrik.

Memang bukan sebuah pilihan yang salah ketika Nabi saw. menerima usulan

Abu> Bakar ra untuk membebaskan tawanan dengan kewajiban membayar tebusan,

akan tetapi melihat kondisi umat Islam yang saat itu masih lemah maka Allah swt
menegurnya karena ada pilihan lain yang lebih utama. Hal ini juga tidak merusak

konsep ‘ismah karena belum ada ketentuan dari Allah swt. tentangnya sedangkan
umat Islam saat itu memerlukan jawaban yang cepat.

‘Is}mah atau kemaksuman secara mendasar berarti keterjagaan dari keburukan,


tapi secara mendalam bermakna keterlindungan atau kebebasan dari keburukan moral

sehingga dengan sendirinya berarti tidak ada cela sama sekali dan berujung pada

integritas moral yang sempurna. Doktrin ini adalah bagian dari keterjagaan risalah

Allah yang meniscayakan dibawa oleh orang yang berintegritas sempurna.17

Kemaksuman Nabi adalah bagian dari kesempurnaan amal dan ilmu Nabi saw.
sebagai malakah atau karakter permanen yang menjadikan Nabi saw. tidak akan

pernah melakukan perbuatan dosa (‘is}mah ‘amali@) dan tidak memiliki sifat lupa, keliru

memahami, dan sebagainya (‘is}mah ‘ilmu).18 Kemaksuman tidak berbeda dengan

‘ada>lah lantaran tidak hanya menahan seseorang dari dosa secara sengaja atau tidak,

17
Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, terj. Rahmani Astuti dan Ilyas
Hasan (Cet. 5; Bandung: Mizan, 1998), h. 85.
18
Jawadi Amuli, Nabi saw dalam Al-Qur’an, terj. oleh Nano Warno (Jakarta: Al-Huda, 2009),
h. 23.
13

tapi kemaksuman juga mensterilkan orang dari kejahilan, kesalahan, kealpaan, dan

juga pikun.19

D. Kesimpulan

1. Al-Qur’an mengemukakan tentang sifat kemaksuman Nabi Muhammad saw.

tidak hanya sebatas pengertian terjaga dari kesalahan dan dosa, namun lebih dari

itu Alquran menggambarkan keterpeliharaan Nabi Muhammad saw. Dalam hal

terpelihara dari gangguan/bahaya/bencana, terpelihara dari sifat salah, dan dari


sifat lupa apa yang telah diwahyukan. Dalam kata lain, penjagaan yang

ditujukan kepada Rasulullah saw. adalah penjagaan dari berbagai sisi, baik dari
segi fisik maupun non-fisik.

2. Kemaksuman secara mendasar berarti keterjagaan dari keburukan, tapi secara

mendalam bermakna keterlindungan atau kebebasan dari keburukan moral

sehingga dengan sendirinya berarti tidak ada cela sama sekali dan berujung pada

integritas moral yang sempurna.

19
Jawadi Amuli, Nabi saw dalam Al-Qur’an, terj. oleh Nano Warno, h. 24.
14

DAFTAR PUSTAKA
Amuli, Jawadi. Nabi saw dalam Al-Qur’an, terj. oleh Nano Warno. Jakarta: Al-Huda,
2009
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid IX. Singapura: Pustaka Nasional, 2005.
Ibn Kas\i@r, Abu> al-Fida> Isma‘i@l. Tafsi@r al-Qur’a>n al-‘Az}i@m. Bairut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1419 H.
Ibn Manz}u>r, Muhammad bin Mukrim bin ‘Ali@. Lisa>n al-‘Arab. Cet. 3; Bairut: Da>r al-
S}a>dir, 1414 H.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Penerbit Lentera Abadi,
2010.
Al-Marāgi@, Aḥmad bin Mus}t}afa>. Tafsi@r al-Mara>gi@. Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi@ al-H{albi@,
1946.
Quṭb, Sayyid. Tafsi@r Fi@ Ẓila>l al-Qur’a>n. Bairut: Da>r al-Syuru>q, 1412 H.
Schimmel, Annemarie. Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, terj. Rahmani Astuti
dan Ilyas Hasan. Cet. 5; Bandung: Mizan, 1998.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishba>h, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Subh}ani, Ja‘far. Mafa>hi>m al-Qur’a>n. Cet. I; Iran: Muassasah al-Nasry al-Isla>mi@, 1991.
Al-T{abari@, Muhammad bin Jari@r. Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi@l al-Qur’a>n. Bairut:
Muassasah al-Risa>lah, 2000.
Al-Zamakhsyari@, Muḥammad ibnu ‘Amr bin Ah}mad. Al-Kasysya>f ‘an H{aqa>iq
Gawa>mid al-Tanzi@l. Cet. III; Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi@ , 1407 H.
Al-Zuh}aili@, Wahbah. Tafsi@r al-Muni@r fi@ al-‘Aqidah wa al-Syari@‘ah wa al-Manhaj.
Bairut: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.

Anda mungkin juga menyukai