dalam wacana keislaman. Nabi saw sebagai tokoh sentral pembawa wahyu diklaim
kesucian dan keterjagaannya dari dosa dan kesalahan. Mengingkari kemaksuman Nabi
sama halnya mengingkari kesucian ajaran Islam yang dibawanya. Namun di sisi lain,
tak dapat dipungkiri bahwa Nabi saw adalah seorang manusia biasa yang memiliki
perangkat dan karakter layaknya manusia yang memiliki potensi berbuat benar dan
salah.
saw. yang menyatakan bahwa lisan Nabi terjaga dan perkataannya adalah wahyu.
Namun di sisi lain, al-Qur’an juga menampilkan kesan bahwa Nabi seolah pernah
keliru dan salah dengan adanya ayat-ayat teguran. Dalam sejumlah riwayat hadis pun,
dianggap sebagai kekeliruan, misalnya kasus sahwi (lupa) dalam shalat, kasus
lainnya.
Adanya sejumlah ayat yang mengandung teguran terhadap Nabi Muhammad
saw. seakan menjadi antitesis terhadap kemaksuman Nabi saw. Artikel ini akan fokus
dengan segala derivasinya yang bermuara pada makna imsa>k (menahan) dan mana‘a
(mencegah).1 Menurut Ibn Manz}u>r dan Ibn Fa>ris sepakat bahwa makna ‘is}mah adalah
sebagai berikut:
1. Terjaga dari upaya menyesatkan. Sebagaimana dalam QS al-Nisa>/4: 113.
kelompok dari orang yang hendak menolong pencuri itu yang berupaya agar
keputusan Nabi saw. untuk membela kerabat mereka. Dan Nabi saw. hampir saja
1
Ja‘far Subh}ani, Mafa>hi>m al-Qur’a>n (Cet. I; Iran: Muassasah al-Nasry al-Isla>mi@, 1991), h. 7.
2
Muhammad bin Mukrim bin ‘Ali@ Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz XII (Cet. 3; Bairut: Da>r al-
S}a>dir, 1414 H), h. 403.
2
mereka, akan tetapi Allah swt. memelihara engkau dari hal tersebut, dan
dan menasehati, kini Allah swt. menjelaskan nikmat yang dicurahkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang berkaitan dengan kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat
di atas, bukan saja untuk mengingatkan betapa besar rahmat Allah swt. kepada beliau,
tetapi juga untuk semua manusia, terutama yang ragu, bahwa Allah swt. memelihara
beliau dari kesalahan. Menurut Ṭ{a>hi@r bin ‘A<syu>r sebagaimana dikutip oleh M.
Quraish Shihab, beliau memahami karunia dan rahmat yang diuraikan ayat ini adalah
anugerah kitab suci al-Qur’an yang menjelaskan rincian kebenaran dalam upaya
menetapkan hukum serta ‘is}mah, yakni keterpeliharaan beliau dari kesalahan. Ayat
ini menjanjikan perlindungan Allah swt. dan ‘is}mah, yakni pemeliharaan-Nya kepada
Nabi saw., sebagaimana ditemukan juga yang serupa dalam QS. al-Ma>’idah [5]: 67.
Hanya saja jika melihat konteksnya, penekanan ayat ini pada pemeliharaan batiniah,
sedang dalam QS. al-Ma>’idah [5]: 67 adalah pemeliharaan lahiriah. ‘Iṣmah atau
pemeliharaan yang dimaksud dalam ayat ini adalah suatu pengetahuan yang sangat
dalam yang menghalangi seseorang – dalam hal ini Nabi saw. – terjerumus dalam
kesalahan atau kesesatan. Memang bisa saja seseorang selain Nabi dihalangi oleh
dan kesesatan, tetapi hal ini bersifat umum bagi mereka, bukan sesuatu yang bersifat
3
Muḥammad ibnu ‘Amr bin Ah}mad al-Zamakhsyari@, Al-Kasysya>f ‘an H{aqa>iq Gawa>mid al-
Tanzi@l, Juz I (Cet. III; Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi@ , 1407 H), h. 564.
3
Dalam ayat ketiga ini Allah swt. menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw.
itu tidak sesat dan tidak keliru karena beliau seorang yang tidak pernah menuruti
hawa nafsunya termasuk dalam perkataannya. Orang yang mungkin keliru atau
tersesat ialah orang yang menuruti hawa nafsunya.5 Dan pada ayat keempat, Allah
swt. menguatkan ayat sebelumnya, yakni bahwa Nabi Muhammad saw. hanyalah
mengatakan apa yang diperintahkan oleh Allah swt. untuk disampaikan kepada
manusia secara sempurna, tidak ditambah-tambah dan tidak pula dikurangi menurut
Dalam Tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa apabila Rasulullah saw. Bertutur atau
bercakap mengeluarkan perkataan, tidaklah itu timbul dari kehendaknya sendiri saja.
Bahkan bila ada orang yang berbuat suatu perbuatan di hadapan beliau, sedang
perbuatan itu tidak beliau larang, melainkan beliau diam, maka diamnya itu pun jadi
hujjah (alasan dan dalil) bahwa diamnya adalah alamat perbuatan itu boleh
dikerjakan. Pada ayat keempat dijelaskan bahwa beliau bercakap tidaklah dari hawa,
yaitu perasaannya sendiri. Apa yang beliau ucapkan ialah menurut wahyu Allah swt.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 582-584.
5
Lihat QS Ṣad/38: 26.
6
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. IX (Jakarta: Penerbit Lentera Abadi,
2010), h. 530.
4
semata-mata. Hal ini dapat dilihat pada ancaman Allah swt. yang terdapat pada QS.
al-Ḥa>qqah [69]: 44-46 kepada Nabi-Nya saw. terhadap konsekuensi yang dilakukan
apabila beliau berdusta atas nama Allah swt., hal ini tentunya mustahil dilakukan
al-A‘la/87: 6-7
yang menjamin kepada hatinya sesudah itu, sehingga beliau tidak akan lupa terhadap
apa yang dibacakan Tuhannya itu, dan hal ini merupakan berita gembira bagi umat
akidah ini. Karena, ia berasal dari Allah swt., dan Allah swt. yang menjamin dan
memeliharanya di dalam hati Nabi saw. pembawanya. Ini salah satu bentuk
pemeliharaan Allah swt. “Kecuali kalau Allah menghendaki” ini adalah ketetapan
yang memantapkan kemutlakan kehendak Ilahi, sesudah dikemukakan-Nya janji yang
benar bahwa beliau tidak akan lupa, untuk menunjukkan bahwa urusan ini berada di
menghafalnya begitu mendengarnya, walaupun hanya sekali saja. Sesudah itu kamu
7
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid IX, (Singapura: Pustaka Nasional, 2005), h. 6979.
8
Sayyid Quṭb, Tafsi@r Fi@ Ẓila>l al-Qur’a>n, Juz XII (Bairut: Da>r al-Syuru>q, 1412 H), h. 246-247.
5
tidak akan lupa selamanya. Pada ayat selanjutnya Allah swt. mendatangkan
pengecualian pada janji-Nya yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak
akan pernah lupa dari apa yang sudah dihafalnya. Imam al-Farra> mengatakan,
“Sesungguhnya Allah swt. berkehendak melupakan Nabi Muhammad saw. dari al-
Qur’an, walaupun hanya sebagian. Pengecualian ini hanya untuk menjelaskan bahwa
Sementara itu, dalam al-Qur’an Nabi saw. Beberapa kali mendapatkan teguran
dari Allah swt. baik karena kekeliruan ucapan maupun perilaku. Berikut akan
9
Aḥmad bin Mus}t}afa> al-Marāgi@, Tafsi@r al-Mara>gi@, Juz XXX (Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi@ al-H{albi@,
1946), h. 219.
6
2. Teguran terhadap Nabi melaknat orang musyrik. Seperti dalam QS A<li ‘Imra>n/3:
128.
وب َعلَْي ِه ْم أ َْو يُ َع ِذ ََبُْم فَِإ هَّنُْم ظَالِ ُمو َن ِ َ َلَيس ل
َ ُك م َن ْاْل َْم ِر َش ْيءٌ أ َْو يَت َ ْ
Terjemahnya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau
Allah swt. menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim.”
Dalam Tafsi@r al-Muni@r dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw., kamu
(Muhammad) tidak memiliki kuasa dan campur tangan apa-apa dari perkara manusia,
Sesungguhnya tugasmu tidak lain hanya menyampaikan saja, sedang Kamilah yang
menghisab amalan mereka. Maka oleh karena itu, janganlah kamu merasa sedih dan
terganggu dengan mereka, janganlah kamu mendoakan tidak baik (melaknati) mereka.
Karena mungkin siapa tahu ada sebagian dari mereka yang bertaubat dan masuk
Islam.10
3. Teguran terhadap Nabi membuat perjanjian tanpa In sya> Allah. Seperti dalam
QS al-Kahfi/18: 23-24:
10
Wahbah al-Zuh}aili@, Tafsi@r al-Muni@r fi@ al-‘Aqidah wa al-Syari@‘ah wa al-Manhaj, Juz II
(Bairut: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H), h. 410.
7
adab Allah swt. kepada Rasulullah saw. Mengenai sesuatu jika beliau hendak
melakukannya pada masa yang akan datang, yakni hendaklah beliau mengembalikan
hal itu kepada kehendak Allah swt. yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia, yang Maha
Mengetahui segala yang gaib, yang mengetahui apa yang telah terjadi, yang akan
Allah swt. yang sudah tertulis di Lauh{ al-Mah}fu>z}, yaitu seseorang yang telah
berijtihad lalu salah maka ia tidak akan dihukum atas kesalahannya itu karena orang-
11
Abu> al-Fida> Isma‘i@l Ibn Kas\i@r, Tafsi@r al-Qur’a>n al-‘Az}i@m, Juz V (Bairut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1419 H), h. 248.
8
berpandangan bahwa membiarkan mereka (para tawanan itu) tetap hidup boleh jadi
menjadi sebab taubat dan masuknya mereka ke dalam Islam. Di samping itu, tebusan
yang mereka bayar bisa juga digunakan untuk kepentingan jihad di jalan Allah swt.
Namun, mereka (orang-orang yang berpendapat seperti ini) lupa kalau membunuh
para tawanan itu justru lebih membuat Islam semakin mulia, membuat orang-orang
5. Teguran terhadap Nabi karena bermuka masam terhadap orang buta. Seperti
dalam QS ‘Abasa/80: 1-11
ِ ) أَو ي هذ هكر فَت ْن َفعه3( ) وما ي ْد ِريك لَعلهه ي هزهكى2( ) أَ ْن جاءه ْاْلَعمى1( عبس وتَوهَل
الذ ْكَرى َُ َ ُ َ ْ َ ُ َ َ ُ ََ َ ْ َُ َ َ َ َ ََ
) َوأَهما َم ْن َجاءَ َك يَ ْس َعى7( ك أهََل يَهزهكىَ ) َوَما َعلَْي6( صدهى َ َت لَهُ ت ْ ) أَهما َم ِن4(
َ ْ) فَأَن5( استَ غْ ََن
ٌ) َك هَل إِ هَّنَا تَ ْذكَِرة10( ت َعْنهُ تَلَهى َ ْ) فَأَن9( ) َوُه َو ََيْ َشى8(
Terjemahnya: “Dia (Nabi Muhammad saw.) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu
pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya
serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia
tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu
dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah
swt.), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya
ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.
Pada dasarnya perlakuan Nabi saw. meninggalkan kehati-hatian dan sesuatu
yang lebih utama. Hal itu bukan dosa sama sekali dan tidak bertentangan dengan
dasar kemaksuman para nabi. Sebab, hal ini lahir dari perasaan alami seorang
manusia, seperti ridha, marah, tertawa, menangis dan hal lain yang tidak termasuk
taklif dalam Islam. Walaupun Ibnu Ummi Maktu>m berhak mendapatkan teguran
karena dia bersikeras berbicara dengan Nabi saw. untuk minta diajari, hal ini
seharusnya tidak ia lakukan. Walaupun demikian, Allah swt. tetap menegur Nabi-
12
Wahbah al-Zuh}aili@, Tafsi@r al-Muni@r, Juz V, h. 356.
9
Nya saw. sebab yang lebih penting didahulukan dibanding yang penting. Ibnu Ummi
Maktum juga berhak mendapatkan teguran karena dia telah masuk Islam dan belajar
ilmu agama yang ia perlukan. Adapun orang-orang kafir itu, mereka belum masuk
Islam dan keislaman mereka bisa menjadi sebab masuk Islamnya banyak orang.13
Nabi Muhammad saw. karena Rasulullah saw. dalam ijtihadnya terkadang tidak
terlepas dari tark al-aula> (meninggalkan sesuatu yang lebih utama). Akan tetapi hal
ini masuk ke dalam kategori “H{asana>t al-Abra>r Sayyi’a>t al-Muqarrabi@n” (hal-hal
yang jika itu dilakukan oleh orang saleh, itu dinilai baik, namun jika yang
melakukannya adalah orang yang sudah mencapai tingkatan al-Muqarrabu>n, itu
Ayat-ayat yang bercerita tentang teguran (ayat ‘itab) memang memiliki kaitan
dengan ayat tentang ‘is}mah, namun kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa yang
ditegur oleh Allah swt. bukanlah bagian dari perbuatan dosa atau khilaf yang akan
menghilangkan atau menafikan kemaksuman Nabi saw. Dalam kasus surah al-Tah}ri@m
misalnya, Al-T{abari@ menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw berkaitan dengan masalah pribadinya dalam berumah tangga. Al-T{abari@ di sini
menjelaskan bahwa Rasulullah saw mengharamkan sesuatu hal yang sudah dihalalkan
oleh Allah swt, yaitu salah satu istrinya yaitu Ma>riyah al-Qibt{iyyah. Pengharaman
ini ia lakukan atas permintaan istrinya yang lain yaitu H{afs}ah dikarenakan
menggilir Ma>riyah pada waktu giliran H{afs}ah dan di kamar H{afs}ah. Inilah yang
13
Wahbah al-Zuh}aili@, Tafsi@r al-Muni@r, Juz XV, h. 376-377.
10
memancingnya dan akhirnya meminta Nabi saw untuk menjauhinya.14 Ada juga yang
menyebutkan bahwa yang diharamkan oleh Nabi saw adalah madu yang ia minum di
rumah Zainab binti Jahsyi dan membuat dua istrinya yang lain (‘A<isyah dan H{afs}ah)
cemburu. Kemudian mereka berdua berencana jika Nabi saw datang ke rumah mereka
maka mereka akan mengatakan bahwa mereka mencium bau tidak sedap darinya
sampai ia mengharamkannya.
H{afs}ah terhadap Nabi saw yang akhirnya dipenuhinya ini ada yang menganggapnya
sebagai sumpah. Dengan demikian ia harus membayar kifarat sumpah agar terlepas
dari sumpah tersebut. Salah satu riwayat yang disebutkan oleh al-T{abari@ adalah: Ibnu
H{amid menceritakan kepada kami, ia berkata: Jari@r menceritakan kepada kami dari
‘A<mir tentang ayat ini berkenaan dengan istri yang didatanginya, maka muncullah
H{afs}ah. Nabi berkata: “dia haram bagiku, maka sembunyikanlah ini, dan jangan
Adapun dalam ayat tentang muka masam yang ditujukkan Nabi kepada Ibn
Ummi Maktu>m, itu merupakan hal yang wajar jika dilakukan oleh seseorang apatah
lagi dalam kapasitasnya sebagai pemimpin sehingga tidak dianggap sebagai kesalah
yang mencoreng nama baik pemimpin. Sebagai ilustrasinya, jika seorang pemimpin
merasa sedikit cemberut jika ada seorang yang ingin menemuinya di saat ia sedang
menjalankan tugas lain yang lebih penting dan tidak ada perjanjian sebelumnya. Sikap
‘abu>s Nabi saw. juga disebabkan harapan yang besar akan keislaman pembesar
14
Muhammad bin Jari@r al-T{abari@, Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi@l al-Qur’a>n, Juz XXVIII (Bairut:
Muassasah al-Risa>lah, 2000), h. 155.
15
Muhammad bin Jari@r al-T{abari@, Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi@l al-Qur’a>n, Juz XXVIII, h. 156-157.
11
Quraisy dan Nabi bermaksud mendahulukan mereka kemudian melayani Ibn Ummi
Maktu>m yang sudah masuk Islam. Sikap Nabi dalam kasus tersebut adalah manusiawi
Sementara kasus harta rampasan perang pada surah al-Anfa>l: 67, ayat tersebut
turun sesudah terjadinya perang Badar. Dalam perang tersebut kaum muslimin
musuh dan memperoleh rampasan perang, kaum muslimin juga berhasil menawan
tujuh puluh dari kaum musyrikin. Menghadapi para tawanan ini, Nabi Muhammad
saw. meminta pendapat para sahabat menyangkut tindakan yang akan diambil
terhadap mereka. Dalam hal ini al-Tabarî meyebutkan beberapa riwayat yang
bahwa Abu> Bakar ra ketika itu mengusulkan bahwa mereka dibebaskan saja dengan
membayar tebusan, karena mereka juga adalah orang terdekat dan kerabat Nabi saw.
sendiri. Jika tidak mampu maka harus mengajar kaum muslimin untuk membaca dan
menulis. Lain halnya dengan yang diusulkan oleh ‘Umar ibn Khat}t}a>b ra. Ia
menyarankan agar mereka dibunuh karena mereka adalah kaum kafir Quraisy. Setelah
bermusyawarah dengan para shahabat maka Nabi saw. memutuskan untuk menerima
ide Abu> Bakar ra. Namun tindakan ini ditegur oleh Allah SWT.
Dalam Tafsir al-Mishbah disebutkan bahwa ayat ini tidak menegur Nabi
Muhammad, akan tetapi Abu> Bakar ra selaku pengusul. Teguran ini bukanlah karena
ia berbuat kesalahan yang besar, hanya saja kurang tepat apabila diberlakukan pada
saat itu. Karena kondisi umat Islam saat itu masih dalam jumlah yang sedikit.
Mengambil pendapat Abu> Bakar ra adalah suatu hal yang kurang tepat karena bisa
16
Muhammad bin Jari@r al-T{abari@, Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi@l al-Qur’a>n, Juz X h. 42-44.
12
jadi setelah mereka bebas maka mereka akan kembali menyerang Islam dan Nabi saw.
Maka jalan yang tepat untuk diambil adalah dengan membunuh mereka seperti usulan
‘Umar ibn Khatta>b ra. Dengan memilih usulan ini, maka akan mempercepat laju
Memang bukan sebuah pilihan yang salah ketika Nabi saw. menerima usulan
akan tetapi melihat kondisi umat Islam yang saat itu masih lemah maka Allah swt
menegurnya karena ada pilihan lain yang lebih utama. Hal ini juga tidak merusak
konsep ‘ismah karena belum ada ketentuan dari Allah swt. tentangnya sedangkan
umat Islam saat itu memerlukan jawaban yang cepat.
sehingga dengan sendirinya berarti tidak ada cela sama sekali dan berujung pada
integritas moral yang sempurna. Doktrin ini adalah bagian dari keterjagaan risalah
Kemaksuman Nabi adalah bagian dari kesempurnaan amal dan ilmu Nabi saw.
sebagai malakah atau karakter permanen yang menjadikan Nabi saw. tidak akan
pernah melakukan perbuatan dosa (‘is}mah ‘amali@) dan tidak memiliki sifat lupa, keliru
‘ada>lah lantaran tidak hanya menahan seseorang dari dosa secara sengaja atau tidak,
17
Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, terj. Rahmani Astuti dan Ilyas
Hasan (Cet. 5; Bandung: Mizan, 1998), h. 85.
18
Jawadi Amuli, Nabi saw dalam Al-Qur’an, terj. oleh Nano Warno (Jakarta: Al-Huda, 2009),
h. 23.
13
tapi kemaksuman juga mensterilkan orang dari kejahilan, kesalahan, kealpaan, dan
juga pikun.19
D. Kesimpulan
tidak hanya sebatas pengertian terjaga dari kesalahan dan dosa, namun lebih dari
ditujukan kepada Rasulullah saw. adalah penjagaan dari berbagai sisi, baik dari
segi fisik maupun non-fisik.
sehingga dengan sendirinya berarti tidak ada cela sama sekali dan berujung pada
19
Jawadi Amuli, Nabi saw dalam Al-Qur’an, terj. oleh Nano Warno, h. 24.
14
DAFTAR PUSTAKA
Amuli, Jawadi. Nabi saw dalam Al-Qur’an, terj. oleh Nano Warno. Jakarta: Al-Huda,
2009
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid IX. Singapura: Pustaka Nasional, 2005.
Ibn Kas\i@r, Abu> al-Fida> Isma‘i@l. Tafsi@r al-Qur’a>n al-‘Az}i@m. Bairut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1419 H.
Ibn Manz}u>r, Muhammad bin Mukrim bin ‘Ali@. Lisa>n al-‘Arab. Cet. 3; Bairut: Da>r al-
S}a>dir, 1414 H.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Penerbit Lentera Abadi,
2010.
Al-Marāgi@, Aḥmad bin Mus}t}afa>. Tafsi@r al-Mara>gi@. Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi@ al-H{albi@,
1946.
Quṭb, Sayyid. Tafsi@r Fi@ Ẓila>l al-Qur’a>n. Bairut: Da>r al-Syuru>q, 1412 H.
Schimmel, Annemarie. Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, terj. Rahmani Astuti
dan Ilyas Hasan. Cet. 5; Bandung: Mizan, 1998.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishba>h, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Subh}ani, Ja‘far. Mafa>hi>m al-Qur’a>n. Cet. I; Iran: Muassasah al-Nasry al-Isla>mi@, 1991.
Al-T{abari@, Muhammad bin Jari@r. Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi@l al-Qur’a>n. Bairut:
Muassasah al-Risa>lah, 2000.
Al-Zamakhsyari@, Muḥammad ibnu ‘Amr bin Ah}mad. Al-Kasysya>f ‘an H{aqa>iq
Gawa>mid al-Tanzi@l. Cet. III; Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi@ , 1407 H.
Al-Zuh}aili@, Wahbah. Tafsi@r al-Muni@r fi@ al-‘Aqidah wa al-Syari@‘ah wa al-Manhaj.
Bairut: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1418 H.