Anda di halaman 1dari 15

ESAI

SURAH AN-NAAS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tathbiq Tafsir Tahlili

Dosen Pengampu :

Yeti Dahliana, S.Si., S.Th.I., M.Ag

Disusun Oleh :
Naila Fauziah G100231147

PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2024
Surah an-Nās
Surah ini terdiri dari 6 ayat.
Kata AN-NĀS, yang berarti “Manusia”,
diambil dari ayat pertama.

A. Tafsir Al-Mishbah
Surah ini serangkai dengan surah sebelumnya, yaitu surah al-Falaq. Ia turun sesudah
surah al-Falaq. Bagi yang berpendapat bahwa surah al-Falaq Madaniyyah, mereka juga
menyatakan bahwa surah an-Nas pun demikian, begitu juga yang menyatakan bahwa al-Falaq
Makkiyyah, mereka menilai surah ini Makkiyyah. Rujuklah ke QS. al-Falaq untuk mengetahui
alasan masing-masing.
Namanya yang populer adalah surah an-Nās. Namanya yang lain telah penulis
kemukakan ketika menafsirkan QS. al-Falaq.
Tema utama surah ini, sebagaimana surah al-Falaq, adalah permohonan perlindungan
kepada Allah s.w.t. Nabi s.a.w. bersabda: “Allah telah menurunkan kepadaku ayat-ayat yang
tidak ada bandingannya: Qul A‘ūdzu bi Rabb-in-Nās dan Qul A‘ūdzu bi Rabb-il-Falaq
(dst)” (HR. Muslim dan at-Tirmidzī melalui ‘Uqbah Ibn ‘Āmir al-Juhānī). Yang dimaksud
dengan tidak ada bandingannya adalah dalam hal doa meminta perlindungan. Dalam riwayat
lain, Nabi s.a.w. bersabda kepada ‘Uqbah (sahabat yang meriwayatkan hadits ini): “Mohonlah
perlindungan dengan membaca keduanya karena tidak satupun yang meminta
perlindungan serupa dengannya.”
Al-Biqā‘ī menulis bahwa tujuan utama surah ini adalah hasil yang dicapai dari tujuan
surah al-Fātiḥah. Tujuan al-Fātiḥah adalah pengawasan yang mengantar kepada ketulusan
terhadap Allah dan permusuhan terhahap syaithan. Demikian terlihat kaitan yang erat antara
akhir surah al-Qur’ān dan awalnya. Di tempat lain, al-Biqā‘ī mengemukakan bahwa surah-
surah al-Qur’ān dalam urutannya serupa dengan rantai yang sambung-menyambung sehingga
akhirnya dapat dinilai awal. Kalau sebelum membaca al-Qur’ān seseorang dianjurkan
memohon perlindungan Allah dari gangguan syaithan (ber-ta‘awwudz), maka surah yang
mengandung pengajaran untuk memohon perlindungan dari syaithan manusia dan jin ini
menjadi awal al-Qur’ān dan dibaca sebemum membaca Umm-ul-Qur’ān. Demikian terlihat
akhir al-Qur’ān berhubungan dengan awalnya, persis seperti rantai yang sambung-
menyambung itu.
Ulama yang berpendapat bahwa surah ini Makkiyyah menyatakan bahwa surah ini
merupakan surah yang ke-21 dari segi perurutan turunnya. Ia turun sesudah surah al-Falaq dan
sebelum surah al-Ikhlāsh. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 6 ayat.

َّ ‫الر ْْحن‬
‫الرحِيْ ِم‬ َّ ِ‫ب ْس ِم اهلل‬
ِ ِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
AYAT 1-6
ْ ‫ َّاَّل‬.‫اس‬
ْ ِ ‫ِي يُ َو ْسو ُس‬
ِ َّ‫ِف ُص ُد ْورِ انل‬
‫ م َِن‬.‫اس‬ ِ ‫ن‬ َ ْ ‫اس‬
َّ ‫اْل‬ ِ َ ‫ م ِْن َش ال ْ َو ْس‬.‫اس‬
‫و‬ ِ َّ‫ إهلِ انل‬.‫اس‬
ِ َّ‫ِك انل‬
ِ ‫ل‬‫م‬َ .‫اس‬
ِ َّ‫قُ ْل أَ ُع ْو ُذ ب َرب انل‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ْ
‫اس‬ِ َّ‫اْل َّنةِ َو انل‬
ِ
AYAT 1-3
“Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Maha Raja manusia, Tuhan yang
disembah manusia.”
Surah al-Falaq adalah permohonan perlindungan menyangkut segala macam kejahatan
di segala tempat dan waktu, dan secara khusus disebut malam pada saat kelamnya, penyihir,
dan yang iri hati. Kesemuanya bersumber dari pihak lain. Dalam surah al-Falaq yang disebut
terakhir adalah iri hati, dan inilah yang merupakan sumber upaya iblis menjerumuskan manusia
serta sumber permusuhan dengannya. Karena itu, wajar jika surah an-Nās ini memulai dengan
memohon perlindungan dari kejahatan khusus yaitu godaan jin atau iblis. Di sisi lain, surah al-
Falaq merupakan permohonan perlindungan dari kejahatan yang bersumber dari luar, sedang
surah an-Nās merupakan permohonan perlindungan dari kejahatan yang datang dari dalam,
bahkan boleh jadi diri manusia sendiri. Allah s.w.t. pada surah ini mengajar Nabi s.a.w., agar
memohon perlindungan dengan berfirman: Katakanlah, wahai Nabi Muḥammad, aku
berlindung kepada Tuhan Pemelihara manusia, Maha Raja yang menguasai manusia,
Tuhan yang disembah dipatuhi oleh manusia, suka atau tidak suka.
Tidak ada perbedaan antara ayat pertama surah an-Nās dan ayat pertama surah al-Falaq,
kecuali pada kata terakhirnya. Di sana al-Falaq dan di sini an-Nās. Untuk itu rujuklah ke sana!
Yang perlu ditambahkan di sini adalah kesan yang diperoleh dari pemilihan
kata Rabb bukan Allāh. Seperti telah sering dikemukakan, Rabb mengandung pengertian
kepemilikan dan kepemiliharaan serta pendidikan yang melahirkan pembelaan serta limpahan
kasih-sayang. Jika demikian, menyebut kata itu di sini dapat memberi kesan tentang bakal
terpenuhinya permohonan ini karena yang dimaksud adalah Tuhan Pemelihara itu.

Kata (‫ )انلَّاس‬an-nās terulang di dalam al-Qur’ān sebanyak 241 kali. Kata ini berarti

kelompok manusia. Ia terambil dari kata (‫ )انلَّوس‬an-nauws yang berarti gerak, ada juga yang
َُ
berpendapat bahwa ia terambil dari kata (‫ )أناس‬unās yang akar katanya berarti tampak.

Kata an-nās digunakan al-Qur’ān dalam arti jenis manusia (QS. al-Ḥujurāt [49]: 13)
atau sekelompk tertentu dari manusia (seperti QS. Āli ‘Imrān [3]: 173).
Kata (‫ )النَّاس‬an-nās terulang tiga kali dalam tiga ayat di atas secara berturut-turut.
Sementara ulama memahami dalam tiga pengertian yang berbeda. Yang pertama janin dan
anak-anak kecil karena mereka memerlukan perlindungan, yang kedua orang-orang dewasa
yang membutuhkan bimbingan serta penguasaan, dan yang ketiga adalah orang-orang tua yang
karena kekuatannya sudah sangat membutuhkan kedekatan dan kepatuhan kepada Allah.
Pendapat yang membeda-bedakan ini ditolak oleh sementara ulama karena ketiga kata an-
nās itu dalam bentuk definite (memakai Alif dan Lām). Ini berarti bahwa ketiganya
mengandung makna yang sama karena, menurut kaidah umum, apabila satu kata yang sama
dan kesemuanya berbentuk definite, makna kata-kata tersebut sama. Atas dasar itu, penulis
cenderung berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata an-nās dalam ayat-ayat surah ini
adalah seluruh manusia tanpa kecuali. Menurut Thāhir Ibn ‘Āsyūr, perurutan penyebutan sifat-
sifat Allah dalam ketiga ayat di atas sangat serasi. Perlindungan yang dimohonkan itu
menyangkut bencana yang dapat menimpa manusia. Maka, sangat wajar jika yang pertama
diingatkan kepadanya atau diingatnya ialah Tuhan Pemelihara karena Dia-lah Sang Pencipta
yang dapat melindungi dan membimbing (‫اس‬ ِّ َّ‫ب الن‬
ِّ ‫)ر‬
َ Rabb-in-Nās, kemudian meningkat pada
mengingatkan tentang kuasa-Nya atas manusia dan seluruh makhluk. Dari sini, disebutlah ( ِّ‫َملِّك‬
ِّ َّ‫ )الن‬Mālik-in-Nās, selanjutnya karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia,
‫اس‬
menjadi sangat wajar Dia disembah dan dipatuhi sehingga disebutlah sifat-Nya sebagai ( ‫إِّل ِّه‬
‫اس‬ ِّ َّ‫ )الن‬Ilāh-in-Nās (Tuhan yang dipatuhi manusia). Demikian lebih kurang Ibnu ‘Āsyūr.
Kata ( ِّ‫ ) َملِّك‬Malik/Raja yang biasanya digunakan untuk penguasa yang mengurus
manusia, berbeda dengan ( ِ‫ ) َمالِك‬Mālik/Pemilik yang biasanya digunakan untuk
menggambarkan kekuasaan si pemilik terhadap sesuatu yang tidak bernyawa. Kalau demikian,
adalah wajar apabila ayat kedua surah an-Nās ini tidak dibaca mālik dengan memanjangkan
huruf (‫ )م‬mīm sebagaimana dalam surah al-Fātiḥah. Di sisi lain, kesan yang ditimbulkan oleh
kata Raja dari segi kekuasaan dan keagungan melebihi kesan yang ditimbulkan oleh
kata pemilik.
Kalau di atas dikemukakan bahwa kata (‫)رب‬
َ Rabb mengandung makna kepemilikan,
pemeliharaan, dan perlindungan terhadap pemohon, dengan kata Mālik tersurat sekaligus
tersirat kerajaan dan kekuasaan-Nya untuk menggagalkan usaha siapa pun yang bermaksud
jahat. Demikian, masing-masing ayat menekankan sisi yang berbeda. Sedang, kata ( ‫ِّإل ِّه‬
ِّ َّ‫ )الن‬Ilāh-in-Nās mencakup si pemohon dan yang bermaksud jahat, bahkan semua manusia.
‫اس‬
Kata (‫ )إِّله‬Ilāh terambil dari kata (‫يَأْلَه‬ – َ‫ )أَ ِّله‬aliha-ya’lahu dalam
arti menuju dan bermohon. Tuhan adalah Ilāh karena seluruh makhluk menuju serta bermohon
kepada-Nya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pendapat lain mengatakan bahwa kata
tersebut pada mulanya berarti menyembah/mengabdi sehingga Ilāh adalah “dzāt yang
disembah dan kepada-Nya tertuju segala pengabdian.”

AYAT 4-6
“Dari kejahatan pembisik yang bersembunyi, yang membisik di dada manusia, dari jin dan
manusia.”
Setelah ayat-ayat yang lalu menyebut sifat Allah yang menjadikan-Nya wajar untuk
dihadapkan, kepada-Nya permohonan, ayat di atas menyebut apa yang dimohonkan yaitu
perlindungan dari kejahatan syaithan pembisik yang bersembunyi mundur dan menghilang
jika diusik dengan memohon pertolongan Allah, yang senantiasa membisik secara
tersembunyi di dada, yakni hati, manusia hal-hal yang mengantarnya terjerumus ke dalam
kebinasaan, yakni para pembisik dari kelompok syaithan jin dan syaithan manusia.
Rujuklah ke QS. al-Falaq untuk memahami makna kata (‫ )شَر‬syarr.
ْ al-waswās pada mulanya berarti suara yang sangat halus, kemudian
Kata (‫)ال َوس َْواس‬
makna ini berkembang sehingga diartikan bisikan-bisikan. Biasanya, kata ini digunakan untuk
bisikan-bisikan negatif. Karena itu, sementara ulama tafsir memahami kata ini dalam
arti syaithān. Menurut mereka, syaithan sering kali membisikkan ke dalam hati seseorang
rayuan dan jebakannya. Untuk maksud makna tersebut, ada ulama yang menyisipkan
kata pelaku sebelum kata al-waswās sehingga berarti pelaku yang melakukan bisikan ke dalam
hati, yakni syaithan. Ada juga yang berpendapat bahwa sisipan tersebut tidak perlu karena,
dengan demikian, syaithan tidak lagi digambarkan sebagai pelaku, tetapi ia sendiri merupakan
wujud dari bisikan negatif itu. Jika anda berkata: “si A pelaku kejahatan”, kalimat ini hanya
menginformasikan bahwa kejahatan tertentu telah dilakukan si A, namun tidak menutup
kemungkinan adanya kebaikan yang dia lakukan, tetapi jika anda berkata “si A adalah
kejahatan,” maka tidak ada satu sisi pun dalam diri dan aktivitasnya kecuali kejahatan. Ada
juga ulama yang langsung memahami kata waswas dalam arti pelaku bisikan negatif.
ِّ َّ‫ ) ْال َخن‬al-khannās terambil dari kata (‫ )خَنس‬khanasa yang berarti kembali, mundur,
Kata (‫اس‬
melempem, dan bersembunyi. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna sering
kali atau banyak sekali. Dengan demikian, ia dapat berarti:
a). Syaithan sering kali dan berulang kali kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan
melupakan Allah.
b). Syaithan sering kali dan berulang-ulang mundur dan melempem (tidak giat) saat manusia
berdzikir dan mengingat Allah. Pendapat kedua ini didukung sabda Nabi s.a.w.:
“Sesungguhnya syaithan itu bercokol di hati putra Ādam. Apabila ia berdzikir, syaithan itu
mundur menjauh, dan bila ia lengah, syaithan berbisik.” (HR. Bukhārī melalui Ibn ‘Abbās).
ْ al-jinnah adalah bentuk jama‘ dari kata (‫)ال ِّجنِّي‬
Kata (‫)ال ِّجنَّة‬ ْ jinny yang ditandai dengan
(‫ )ــة‬tā’ untuk menunjukkan bentuk jama‘ mu’annats. Kata jinn terambil dari akar kata
(‫ )جنن‬janana, yang berarti tertutup atau tidak terlihat. Anak yang masih dalam kandungan
dinamai janīn karena dia tidak terlihat. Demikian juga hutan yang lebat, dinamai
(‫ )جنة‬jannah karena pandangan tidak dapat menembusnya. (‫ )مجنون‬Majnūn adalah orang
gila/yang tertutup akalnya. Jin, dinamai demikian, karena ia adalah makhluk halus yang tidak
dapat dilihat dengan mata.
Kata (‫ )مِّ ْن‬min pada awal ayat ini mengandung makna sebagian. Hal ini wajar karena
tidak semua manusia dan tidak semua jin melakukan bisikan-bisikan negatif. Dalam QS. al-
Jinn [72]: 11, Allah mengabadikan ucapan jin bahwa:
ُ
.‫اِل ْو َن َو م َِّنا ُد ْو َن ذل َِك ك َّنا َط َرائ ِ َق ق َِد ًدا‬ َّ ‫َو َأنَّا م َِّنا‬
ُ ِ ‫الص‬

“Dan sesungguhnya di antara kami ada yang saleh-saleh dan ada juga di antara
kami yang tidak demikian halnya. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda.”
Ada juga yang memahami min berfungsi menjelaskan sehingga ia berarti yakni.
Semua makhluk Allah yang tidak saleh, yang menggoda dan mengajak kepada kemaksiatan,
dinamai syaithān (setan), baik dari jenis jin maupun manusia. Dari sini, dapat dipahami bahwa
ada syaithān manusia dan ada pula syaithān jin. Syaithan jin tersembunyi, tetapi syaithān
manusia bisa terlihat. Diriwayatkan bahwa Abū Dzarr, salah seorang sahabat Nabi s.a.w.,
pernah bertanya kepada seseorang: “Apakah anda telah meminta perlindungan Allah dari
syaithan manusia?” Yang ditanya balik bertanya: “Apakah ada syaithan manusia?” Abū Dzarr
menjawab: “Ya, bukankah Allah telah berfirman:
ُ ْ َ ْ ُ
.‫خ ُرف ال َق ْو ِل غ ُر ْو ًرا‬
َ ُ ْ ِ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ ْ َ َ ًّ ُ َ َ ُ َ ْ َ َ َ َ َ
‫ِح َب ْعض ُه ْم إَِل َب ْع ٍّض ز‬‫اْل ِن يو‬
ِ ‫اْلن ِس و‬
ِ ‫ب عدوا شياطِْي‬
ٍّ ِ ‫ِك ن‬
ِ ‫و كذل ِك جعلنا ل‬
“Dan demikian itu, Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi musuh, yaitu syaithan-syaithan
(dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian
yang lain perkataan yang indah-indah untuk memperdaya” (QS. al-An‘ām [6]: 112).
Di atas, telah dikemukakan bahwa syaithan – baik dari jenis manusia maupun jin –
selalu berupaya untuk membisikkan rayuan dan ajakan negatif atau, dalam bahasa surah
ini: Yuwaswisu Fī Shudūr-in-Nās. Waswasah itulah yang merupakan salah satu manifestasi dari
bisikan hati yang bersumber dari syaithan.
Para ulama, khususnya kaum sufi, menekankan bahwa pada hakikatnya manusia tidak
mengetahui gejolak nafsu dan bisikan hati, kecuali bila ia dapat melepaskan diri dari pengaruh
gejolak tersebut. At-Tustarī, seorang sufi besar, menyatakan: “Tidak diketahui bisikan syirik,
kecuali oleh seorang muslim, tidak diketahui bisikan kemunafikan kecuali oleh seorang
mu’min, demikian juga bisikan kebodohan kecuali yang berpengetahuan, bisikan kelengahan
kecuali ingat, bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan dunia kecuali dengan amalan
akhirat.”
Dari ayat di atas, kita dapat memahami bahwa bisikan negatif itu muncul dari dua
sumber: nafsu manusia dan rayuan syaithan. Gejolak dan dorongan nafsu tertolak dengan tekad
tidak memperturutkannya karena “nafsu bagaikan bayi, jika anda membiarkannya menyusu ia
terus menyusu, dan jika anda bersikeras menyapihnya, dia akan menurut.”
Adapun bisikan syaithan, ia tertolak dengan mengingat Allah. Dalam konteks ini, al-
Qur’ān mengingatkan:
ٌ َ َ َّ َّ َّ َّ ْ ْ ٌ ْ َ َ ْ َّ َ َ َّ َ َ ْ َ َّ َ
‫ إِن اَّل ِْي َن اتق ْوا إِذا َم َّس ُه ْم َطائِف م َِن‬.‫ إِن ُه َس ِميْ ٌع َعل ِيْ ٌم‬،ِ‫ِاس َتعِذ بِاهلل‬ ‫ان نزغ ف‬ ِ ‫و إِما يْنغنك مِن الشيط‬
ُ ِ ْ‫الشيْ َطان تَ َذ َّك ُر ْوا فَإ َذا ُه ْم ُمب‬
.‫ِص ْو َن‬ َّ
ِ ِ
“Dan jika kamu ditimpa suatu godaan syaithan, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-
orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa godaan dari syaithan, mereka mengingat, maka
ketika itu juga mereka melihat (yakni menyadari kesalahan-kesalahannya)” (QS. al-A‘rāf
[7]: 200-201).
Surat an-Nās ini menyebut Tuhan dengan tiga sifat-Nya: Rabb, Mālik, dan Ilāh, sedang
yang dimohonkan hanya satu, yakni perlindungan dari bisikan dan rayuan syaithan yang
merasuk ke dalam hati. Ini berbeda dengan surah al-Falaq yang hanya menyebut satu sifat
Tuhan sebagai Rabb-ul-Falaq tetapi yang dimohon adalah kejahatan makhluk yang secara
khusus disebut tiga macam, yaitu ghāsiq(in) idzā waqab, an-naffātsāti fil-‘uqad, dan ḥāsid(in)
idzā ḥasad. Sementara ulama berkata hal tersebut menunjukkan bahwa rayuan syaithan yang
berada dalam dada manusia atau musuh yang berada dalam diri manusia jauh lebih berbahaya
daripada musuh yang ada di luar dirinya, dan oleh karena itu, maka permohonan untuk
dilindungi dari musuh yang di dalam itu dimohonkan dengan berulang kali menghadirkan
kuasa Allah s.w.t.
Demikian surah an-Nās ini mengingatkan manusia akan musuh-musuhnya dan
mendorong mereka untuk memohon perlindungan Allah. Perlindungan itu dapat diperoleh
manusia dengan mengamalkan tuntutan kitab suci-Nya yang dimulai dari surah al-Fātiḥah
sampai dengan surah an-Nās ini. Wa Allāhu A‘lam.
B. Tafsir Al-Munir
‫الرحِّ ي ِّْم‬
َّ ‫ْمن‬
ِّ ‫الرح‬
َّ ِّ‫بِّس ِّْم هللا‬
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
SURAH AN-NĀS
MADANIYYAH, ENAM AYAT

Penamaan Surah
Surah ini dinamakan surah an-Nās, karena dimulai dengan firman Allah s.w.t. ( ‫ق ْل أَع ْوذ‬
ِّ َّ‫ب الن‬
.‫اس‬ ِّ ‫)بِّ َر‬. Kata an-Nās dalam surah ini diulang sebanyak lima kali. Surah ini turun bersamaan
dengan surah sebelumnya dan merupakan surah Makkiyyah menurut kebanyakan ulama. Ada
yang berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyyah, sebagaimana keterangan sebelumnya.
Sebab turunnya juga dapat kita ketahui sebagaimana surah sebelumnya.
Surah ini adalah surah terakhir dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dimulai dengan surah al-
Fātiḥah yang merupakan permintaan pertolongan kepada Allah dan memuji-Nya. Dan al-
Qur’an diakhiri dengang dua surah al-Mu‘awwidzatain yang bertujuan untuk meminta
pertolongan kepada Allah juga.

Kandungan Surah
Surah ini mengandung isti‘ādzah (permintaan perlindungan) kepada Allah s.w.t. Tuhan
seluruh manusia dari segala kejahatan Iblis dan bala tentaranya yang dapat melalaikan manusia
dengan cara menebarkan rasa waswas pada diri mereka.
Kita telah mengetahui bahwa surah ini, al-Falaq dan al-Ikhlāsh adalah surah-surah yang
digunakan oleh Rasulullah s.a.w. untuk meminta perlindungan kepada Allah dari sihir orang-
orang Yahudi. Ada yang mengatakan bahwa kedua surah al-Mu‘awwidzatain dinamakan
juga al-Muqasyqasyatān, yakni dua surah yang dapat membebaskan dari sifat munafik.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Uqbah bin
‘Amir dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:

ِّ َ‫ب ْالفَل‬
.ِّ‫ق إِّلَى آخِّ ِّر الس ُّْو َرة‬ ِّ ‫ َو ق ْل أ َع ْوذ بِّ َر‬،ِّ‫اس إِّلَى آخِّ ِّر الس ُّْو َرة‬ ِّ ‫ ق ْل أَع ْوذ بِّ َر‬:‫ت لَ ْم ي َر مِّ ثْله َّن‬
ِّ َّ‫ب الن‬ َ ‫لَقَدْ أ َ ْنزَ َل هللا‬
َّ َ‫عل‬
ٍ ‫ي آيَا‬
“Allah telah menurunkan ayat-ayat kepadaku yang tidak ada tandingannya, yaitu surah an-
Nās dan surah al-Falaq.”
Tirmidzi berkata: “Hadits ini ḥasan shaḥīḥ.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Berlindung Dari Berbagai Kejahatan Setan.
Surah an-Nās. Ayat 1-6.
ِّ َّ‫ مِّ نَ ْال ِّجنَّ ِّة َو الن‬.‫اس‬
‫اس‬ ِّ َّ‫ي ي َو ْس ِّوس فِّ ْي صد ْو ِّر الن‬ ِّ َّ‫اس ْال َخن‬
ْ ‫ الَّ ِّذ‬.‫اس‬ ِّ ‫ مِّ ْن ش َِّر ْال َوس َْو‬.‫اس‬
ِّ َّ‫ ِّإل ِّه الن‬.‫اس‬
ِّ َّ‫ َملِّكِّ الن‬.‫اس‬ ِّ ‫ق ْل أَع ْوذ ِّب َر‬
ِّ َّ‫ب الن‬
114-1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai)
manusia,
114-2. Raja manusia,
114-3. Sembahan manusia,
114-4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
114-5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114-6. Dari (golongan) jin dan manusia.”

I‘rāb
ِّ َّ‫ )مِّ نَ ْال ِّجنَّ ِّة َو الن‬kalimat ini bisa jadi badal (pengganti) dari (‫اس‬
(‫اس‬ ِّ ‫)ش َِّر ْال َوس َْو‬, perkiraan
kalimatnya (.‫اس‬ ِّ َّ‫اس مِّ ْن ش َِّر ْال ِّجنَّ ِّة َو الن‬ ِّ َّ‫ب الن‬ِّ ‫)أَع ْوذ ِّب َر‬. Bisa juga berkaitan dengan kata yang dibuang,
perkiraannya (.‫اس‬ ْ
ِّ َّ‫)الكَائِّن مِّ نَ ال ِّجنَّ ِّة َو الن‬, yang memberikan rasa waswas di diri manusia. Dalam kata
(‫ )ي َو ْس ِّوس‬terdapat dhamīr al-jinnah. Dhamīr tersebut merupakan dhamīr mudzakkar karena
mengandung makna Jin. Kata tersebut diungkapkan secara metaforis dan mengakhirkan
kata al-Jinnah karena kata tersebut diperkirakan ada di bagian depan. Itu seperti firman Allah
s.w.t. dalam surah Thāhā ayat 67 (.‫سى‬ َ ‫)فَأ َ ْو َج‬. Dalam ayat tersebut dhamīr berada
َ ‫س فِّ ْي نَ ْف ِّس ِّه خِّ ْيفَةً م ْو‬
lebih dahulu dalam susunannya karena lafal Musa diperkirakan ada di bagian depan
dan dhamīr-nya berada setelahnya.

Balāghah

ِّ ‫ )أَع ْوذ ِّب َر‬kalimat ini dan setelahnya merupakan idhāfah (penyandaran) yang
ِّ َّ‫ب الن‬
(‫اس‬
bertujuan untuk memuliakan dan meminta bantuan. Lafal Rabb disandarkan pada lafal an-
Nās karena isti‘ādzah (permintaan pertolongan) dari kejahatan yang memberi rasa waswas
pada hati mereka. Mereka meminta pertolongan kepada Tuhan mereka, sebagaimana seorang
hamba sahaya meminta pertolongan kepada tuannya jika ada masalah. Abu Hayyan berkata:
“Yang tampak bahwa kalimat (.‫اس‬ ِّ َّ‫ ) َملِّكِّ الن‬dan (.‫اس‬
ِّ َّ‫ ) ِّإل ِّه الن‬adalah dua sifat Allah.” Zamakhsyari
berkata: “Ada ‘athaf bayān pada kata Rabb karena Rabb terkadang bukan
merupakan Malik dan Malik terkadang bukan merupakan Ilāh.”
ِّ َّ‫ ِّإل ِّه الن‬.‫اس‬
(.‫اس‬ ِّ َّ‫ َملِّكِّ الن‬.‫اس‬
ِّ َّ‫ب الن‬
ِّ ‫ ) ِّب َر‬merupakan ithnāb dengan mengulang-ulang kata an-Nās,
yang bertujuan untuk menambah makna takrīm (pemuliaan) dan ‘aun (pertolongan) juga
memberi tambahan keterangan dan menunjukkan kemuliaan manusia.
ْ dan (‫اس‬
Antara kata (‫)ال ِّج َّن ِّة‬ ِّ ‫ )ال َّن‬terdapat Thibāq (antonim). Antara kata (‫ )ي َو ْس ِّوس‬dan
(‫اس‬ ْ terdapat jinās isytiqāq (sinonim pecahan kata). Tiap kata akhir dalam surah tersebut
ِّ ‫)ال َوس َْو‬
berakhir dengan huruf sīn yang mengandung bunyi nyaring dan mengena dalam jiwa.

Mufradāt Lughawiyyah
(‫ )أَع ْوذ‬aku berlindung (‫اس‬
ِّ َّ‫ب الن‬
ِّ ‫ ) ِّب َر‬kepada Tuhan manusia yang mengatur dan
memerhatikan urusan mereka. Al-Baidhawi berkata: “Ketikan surah sebelumnya berisi
mengenai permintaan perlindungan dari bahaya fisik, yang mencakup manusia dan lainnya,
surah ini permintaan pertolongan tersebut dari bahaya yang mengancam jiwa manusia secara
khusus. Di sana idhāfah dimaksudkan secara umum sedangkan di sini dikhususkan kepada
ْ ‫)أَع ْوذ مِّ ْن ش َِّر ْالم َو ْس ِّوس ِّإلَى النَّاس ِّب َر ِّب ِّه ْم الَّ ِّذ‬
manusia, seakan-akan dikatakan (.‫ َو َي ْستَحِّ ُّق ِّع َبادَ ِّت ِّه ْم‬،‫ي َي ْملِّك أم ْو َره ْم‬
aku berlindung dari yang menebarkan rasa waswas kepada manusia dengan Tuhan mereka yang
menguasai perkara mereka dan berhak untuk mereka sembah.
ِّ َّ‫ إِّل ِّه الن‬.‫اس‬
(‫اس‬ ِّ َّ‫ ) َملِّكِّ الن‬dua sifat yang menunjukkan bahwa Allah s.w.t. mampu untuk
memberikan perlindungan dan tiada yang dapat mencegah-Nya. (‫اس‬ ْ rasa waswas yang
ِّ ‫)ال َوس َْو‬
menebarkan di dalam hati bahaya kejahatan dan keburukan. Kata tersebut boleh dimaksudkan
sebagai bentuk mashdar, yakni (‫)الوسوسة‬, seperti (‫ )الزلزال‬dengan makna (‫)الزلزلة‬.
ْ shīghat mubālaghah, yakni termasuk adat kebiasaannya adalah lambat mengingat
ِّ َّ‫)ال َخن‬
(‫اس‬
Allah. Al-Khunūs adalah kembali dan terlambat. (‫ )مِّ نَ ْال ِّجنَّ ِّة‬ini adalah penjelasan bagi kata
(‫)وسواس‬, kata (‫ )مِّ نَ ْال ِّجنَّ ِّة‬merupakan bentuk jamak dari kata (‫)جني‬, seperti kata (‫ )إِّنسي‬dan (‫)إِّنس‬.
Jin merupakan makhluk halus yang hanya diketahui oleh Allah s.w.t.

Tafsir dan Penjelasan


“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia,
Sembahan manusia.” (an-Nās: 1-3).
Katakanlah wahai Rasul: “Aku berlindung dan meminta pertolongan kepada Allah Zat
yang memelihara dan menjaga seluruh manusia, serta menciptakan dan mengatur seluruh
perkara mereka. Dialah Zat yang mempunyai kepemilikan dan kekuasaan yang sempurna. Dia
adalah Tuhan yang disembah oleh seluruh manusia. Nama al-Ilāh khusus untuk Allah dan tiada
sekutu bagi-Nya. Adapun nama al-Malik terkadang dipakai oleh Zat yang benar-benar Tuhan,
terkadang tidak.
Inilah tiga sifat bagi Allah s.w.t., ar-Rubūbiyyah, al-Milku, dan al-Ulūhiyyah. Dia
adalah Tuhan dan pemilik segala sesuatu. Semua makhluk diciptakan oleh-Nya dan menjadi
milik-Nya. Sifat ar-Rubūbiyyah didahulukan karena cocok untuk al-Isti‘ādzah (permintaan
pertolongan). Sifat ini mengandung kenikmatan penjagaan dan pemeliharaan. Kemudian Allah
s.w.t. menyebutkan sifat Milkiyyah (kepemilikan) karena orang yang meminta pertolongan
tidak mendapati pertolongan melainkan dari pemiliknya. Setelah itu Allah menyebutkan
sifat Ulūhiyyah untuk menjelaskan bahwa Dialah Zat yang berhak untuk disyukuri dan
disembah, bukan yang selain-Nya.
Sebab pengulangan lafal an-Nās adalah untuk menambah penjelasan dan keterangan,
serta menunjukkan kemuliaan manusia di antara makhluk-makhluk Allah s.w.t. Allah
berfirman (‫اس‬ِّ َّ‫ب الن‬
ِّ ‫)ر‬
َ Tuhan manusia, padahal Allah adalah Tuhan seluruh makhluk. Manusia
disebutkan secara khusus untuk tujuan memuliakan eksistensi mereka, karena al-
Isti‘ādzah (permintaan pertolongan) tersebut adalah karena mereka.
“Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi.” (an-Nās: 4).
Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan setan yang menebarkan rasa waswas yang
sering bersembunyi dan terlambat mengingat Allah. Jika manusia mengingat Allah s.w.t., setan
akan bersembunyi. Namun jika ia tidak mengingat-Nya setan akan menyebar dalam hatinya.
Ibnu ‘Abbas berkomentar tentang ayat ini: “Setan bertengger di hati anak Adam. Jika ia lupa
(berzikir), setan akan memberinya rasa waswas, dan jika ia mengingat Allah, setan akan
bersembunyi.”
Allah s.w.t. telah memberi kekuatan kepada setan untuk menguasai manusia kecuali
orang-orang yang telah dijaga oleh Allah s.w.t. Itu semua bertujuan untuk ber-mujāhadah,
fitnah (bencana) dan ujian. Dalam hadits shaḥīḥ, Nabi s.a.w. bersabda:
.‫ فَ ََل يَأْمرنِّ ْي إِّ ََّّل بِّ َخي ٍْر‬،‫ فَأ َ ْسلَ َم‬،ِّ‫علَ ْيه‬ َ َ ‫ َو أ َ ْنتَ يَا َرس ْو َل هللاِّ؟ نَعَ ْم إِّ ََّّل أ َ َّن هللاَ أ‬:‫ قَال ْوا‬.‫َما مِّ ْنك ْم مِّ ْن أ َ َح ٍد إِّ ََّّل و ِّك َل بِّ ِّه قَ ِّريْنه‬
َ ‫عانَنِّ ْي‬
“Tiada seorang pun dari kalian melainkan diberi qarinnya (teman). Para sahabat
bertanya: “Engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Iya, hanya saja Allah telah
membantuku atasnya sehingga dia masuk Islam dan tidak menyuruhku melainkan dalam
kebaikan.”
Dalam Shaḥīḥ Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Anas tentang kisah Shafiyyah
yang mengunjungi Nabi s.a.w. saat beliau beri‘tikaf dan keluarnya beliau dengannya di waktu
malam untuk mengantarnya pulang ke rumahnya. Kemudian ada dua orang lelaki dari kaum
Anshar berpapasan dengan beliau. Saat keduanya melihat Nabi s.a.w., mereka menpercepat
jalan, lantas Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kalian berdua jangan berjalan tergesa-gesa,
sesungguhnya ini adalah Shafiyyah binti Huyay.” Mereka berdua berkata: “Maha Suci Allah,
wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya setan mengalir pada diri manusia dalam
aliran darah. Sesungguhnya aku khawatir setan menebarkan sesuatu – atau keburukan – dalam
hati kalian berdua.”
Diriwayatkan oleh al-Hadizh Abu Ya‘la al-Maushili dari Anas bin Malik, ia berkata:
“Rasulullah s.a.w. bersabda:
.‫ فَذلِّكَ ْال َوس َْواس ْال َخنَّاس‬،‫ِّي ْالتَقَ َم قَ ْل َبه‬
َ ‫ َو ِّإ ْن نَس‬،‫َس‬
َ ‫هللا َخن‬ ِّ ‫علَى قَ ْل‬
َ ‫ فَإِّ ْن ذَك ََر‬،‫ب اب ِّْن آدَ َم‬ ْ ‫اض ٌع خ‬
َ ‫َط َمه‬ َ ‫ش ْي‬
ِّ ‫طانَ َو‬ َّ ‫ِّإ َّن ال‬
“Sesungguhnya setan telah meletakkan hidungnya di hati anak Adam. Jika ia
mengingat Allah, maka setan akan bersembunyi. Jika ia lupa, maka setan akan menguasai
hatinya, dan itulah “al-waswās-ul-khannās” waswas yang bersembunyi.”
Ahmad meriwayatkan dari Abu Tamimah yang menyampaikan dari orang yang berjalan
di belakang Rasulullah s.a.w.:
،‫طان‬َ ‫ش ْي‬ َ ‫ تَع‬: َ‫ َفإِّ َّنكَ إِّذَا ق ْلت‬،‫طان‬
َّ ‫ِّس ال‬ َ ‫ش ْي‬َّ ‫ِّس ال‬
َ ‫ تَع‬:‫ي (ص) ََّل ت َق ْل‬ ُّ ِّ‫ َف َقا َل ال َّنب‬،‫طان‬ َ ‫ش ْي‬ َ ‫ تَع‬:‫ فَق ْلت‬،‫عث َ َر بِّالنَّبِّي ِّ (ص) حِّ َماره‬
َّ ‫ِّس ال‬ َ
.‫ب‬ ُّ ْ
ِ ‫صي َْر مِ ث َل الذبَا‬ َّ
ِّ َ‫صاغ ََر َحتى ي‬ َ ْ َ
َ ‫ ت‬،ِّ‫ بِّاس ِّْم هللا‬: َ‫ َو إِّذا قلت‬،‫ص َرعْته‬ َ
َ ‫ بِّق َّوتِّ ْي‬:َ‫ َو قال‬،‫تعَاظ َم‬ َ َ
“Unta Nabi s.a.w. tersungkur, lantas aku berkata: “Hancurlah setan.” Lantas Nabi
s.a.w. bersabda: “Janganlah kamu berkata: “Hancurlah setan, karena jika kamu berkata
demikian, maka setan akan semakin besar dan berkata: “Dengan kekuatanku maka aku
akan melemparnya.” Dan jika kamu berkata: “Dengan menyebut nama Allah” maka setan
akan mengecil hingga menjadi seperti lalat.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa ketika hati berdzikir (mengingat) kepada Allah,
setan akan mengecil dan kalah. Akan tetapi jika hati tidak berdzikir kepada Allah, setan akan
membesar dan mengalahkan.
Kemudian, Allah s.w.t. menjelaskan tempat waswas setan, Allah berfirman:
“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (an-Nās: 5).
Yang menebarkan pikiran-pikiran buruk dan jahat di dalam hati. Dalam ayat tersebut
disebutkan kata ash-Shudūr (dada) karena dada adalah tempat hati. Pikiran-pikiran itu tempat
di hati, sebagaimana dikenal dalam dialektika orang-orang ‘Arab.
Kemudian Allah s.w.t. menjelaskan bahwa yang melakukan waswas itu ada dua macam:
jin dan manusia. Allah berfirman:
“Dari (golongan) jin dan manusia.” (an-Nās: 6).
Yang menebarkan rasa waswas itu adakalanya setan dari kalangan jin yang menebarkan
waswas di hati manusia, sebagaimana telah dijelaskan. Adakalanya juga setan dari kalangan
manusia. Waswas setan dari kalangan manusia di hati manusia adalah ia melihat dirinya
layaknya orang yang menasihat. Kemudian nasihatnya tersebut mengena dalam hati dan
menjadikannya mangsa waswas setan dari kalangan jin. Ini merupakan dalil bahwa waswas itu
terkadang dari kalangan jin dan terkadang dari kalangan manusia, sebagaimana dalam firman
Allah:
“Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari
setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan yang indah sebagai tipuan.” (al-An‘ām: 112).
Yakni bukan permusuhan, pemaksaan dan penguasaan, tetapi Allah s.w.t. meletakkan
pada diri mereka kekuasaan untuk memilih. Di antara mereka memilih untuk mendengarkan
waswas setan dan di antara mereka ada yang menghindari permusuhan dan waswas setan.

Fiqih Kehidupan atau Hukum-hukum


Karena sifat kasih Allah s.w.t. kepada kita Allah mengajari kita tentang tata cara untuk
berlindung dari setan menusia dan jin. Dia memberitahu kita tentang tiga sifat-Nya;
rububiyyah, milkiyyah, dan uluhiyyah. Dengan sifat-sifatNya tersebut, Allah akan menjaga
hamba yang meminta perlindungan dari kejahatan setan-setan dalam agama, dunia dan akhirat.
Makna sifat rububiyyah menunjukkan perhatian yang lebih dan keinginan kuat untuk
memelihara. Allah menyebutkan bahwa Dia adalah Tuhan seluruh manusia, meskipun
sebenarnya adalah Tuhan seluruh makhluk. Hal ini karena dua alasan; (1) kerana manusia
adalah makhluk yang diagungkan. Dengan menyebut mereka, Allah memberitahu bahwa Dia
adalah Tuhan yang memelihara mereka meskipun derajat mereka agung, (2) Karena Allah s.w.t.
memerintahkan untuk meminta perlindungan dari kejahatan manusia. Dengan menyebut
mereka, Allah memberitahu bahwa Dialah yang memberi perlindungan kepada mereka. (2881).
Kemudian, Allah s.w.t. menyebutkan dua sifat-Nya; al-Milk, dan Uluhiyyah untuk
menjelaskan kepada manusia bahwa Dialah pemilik mereka yang sebenarnya meskipun mereka
mempunyai raja-raja. Allah juga memberitahu bahwa Dialah Tuhan dan sesembahan mereka,
tiada Tuhan melainkan Dia. Dialah yang wajib untuk dimintai perlindungan, bukan raja-raja
dan para pembesar dari kalangan makhluk.
Surah ini menjelaskan bahwa waswas, adakalanya dari jin dan adakalanya dari manusia.
Hasan berkata: “Itu adalah dua setan. Setan dari kalangan jin akan menebarkan rasa waswas di
hati manusia. Sementara itu, setan dari kalangan manusia, ia akan datang secara terang-

1
288). Tafsir al-Qurthubi: 20/260.
terangan.” Qatadah berkata: “Sesungguhnya dari kalangan jin ada setan-setan dan dari
kalangan manusia juga ada setan-setan, maka berlindunglah kepada Allah dari setan manusia
dan jin.”
Kita dapat memerhatikan bahwa Zat yang dimintai perlindungan dalam surah al-Falaq,
disebutkan dengan satu sifat, yaitu bahwa dia adalah Rabb-ul-Falaq (Tuhan yang menguasai
Shubuh). Hal yang dihindari di dalam surah tersebut ada tiga macam keburukan, yaitu al-
Ghāsiq (gelap malam), an-Naffātsāt (tukang sihir perempuan), dan al-Hāsid (orang dengki).
Adapun di dalam surah ini, Zat yang dimintai perlindungan disebutkan dengan tiga sifat,
yaitu Rabb (pemelihara), Malik (penguasa/pemilik) dan Ilāh (Tuhan sesembahan), sedangkan
yang dihindari adalah satu keburukan, yaitu waswas. Sebab perbedaan pada dua surah ini
adalah bahwa pada surah pertama yang diminta adalah keselamatan jiwa dan badan, sedangkan
dalam surah ini adalah keselamatan agama. Kecelakaan agama meskipun sedikit, lebih besar
daripada kecelakaan dunia meskipun banyak.” (2892).
Selanjutnya, Saya bersujud syukur kepada Allah s.w.t. atas segala kesempurnaan dan
kenikmatan yang telah dikaruniakan kepadaku dengan selesainya tafsir yang mencakup
ma’tsur (riwayat) dan ma‘qul (logika) serta mencakup seluruh macam penjelasan dan hukum-
hukum dalam al-Qur’an yang merupakan tafsir kontemporer. Saya selesai menulis tafsir ini
tepat pada pukul 08.00 di pagi yang penuh berkah pada 13 Dzulqa‘dah 1408 H, yang bertepatan
dengan tanggal 27 Juni 1988 M. Pada saat itu, umur saya telah mencapa 56 tahun. Aku telah
konsentrasi untuk menyelesaikan misi ini bertahun-tahun. Demi menyelesaikannya, aku
berhijrah ke daerah Imārat-ul-‘ain, meninggalkan anak dan keluarga, tenggelam dalam
lautan kalam ilahi sehingga keimanan saya semakin bertambah.
Kitab ini adalah karangku pertama di daerahku Der ‘Athiyyah di pinggir kota
Damaskus yang luas, tempat kelahiranku tahun 1932 M. Daerah ini adalah daerah bekas
peperangan pada tahun 1962 M. Kemudian, saya terus melanjutkan aktivitas menulis saya
setelah itu. Karya-karyaku yang telah saya tulis selama tiga puluh tahun, sebagian besar saya
tulis di Riyadh, Damaskus dan ‘Ain. Segala puji dan syukur hanya bagi-Mu Ya Allah.
Jadikanlah setiap huruf dari kitab-Mu dan tafsirannya serta seluruh yang saya tulis hanya
semata-mata ikhlas karena-Mu. Berilah kemanfaatan dan kebaikan. Dengan semua itu, kelak
di akhirat bebaskanlah setiap jengkal dari raga, ruh, rambut, kulit, tulang, daging, pendengaran,
penglihatan, otak dan darah saya dari api neraka. Masukkanlah saya ke dalam surga dengan
penuh keselamatan.
Maha Suci Engkau Ya Allah, saya tidak dapat menghitung pujian atas-Mu sebagaimana
Engkau memuji diri-Mu. Ya Allah Yang Maha Lembut di atas segala kelembutan, berlaku
lembutlah dalam segala perkara saya sebagaimana saya inginkan. Ridhailah aku di dunia dan
akhirat. Ampunilah dosa-dosa saya, orang tua saya serta kaum Muslimin dan Muslimat.

2
289). Tafsir ar-Razi: 32/199.
C. Referensi
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir (Aqidah, Syari’ah, Manhaj). Ter. Abdul Hayyie al-
Kattani, et.al. Jakarta: Gema Insani. 2016. Vol 15:731-736.
https://hatisenang.com/quran/surah-an-nas-114-tafsir-al-munir/
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah (pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an). Jakarta:
Lentera Hati. 2002. https://hatisenang.com/quran/surah-an-nas-114-tafsir-al-mishbah/
D. Lampiran

Anda mungkin juga menyukai