PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia masalah ibu dan anak merupakan sasaran prioritas dalam pembangunan
bidang kesehatan. Angka kematian ibu merupakan salah satu indikasi yang menentukan derajat
kesehatan suatu bangsa, oleh sebab itu hal ini merupakan prioritas dalam upaya peningkatan
status kesehatan masyarakat yang utama di Negara kita. Upaya kesehatan reproduksi salah
satunya adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu hamil dan bersalin.
Angka kematian ibu dengan kehamilan di Indonesia termasuk tinggi di Asia. Pada setiap
2 jam terdapat satu ibu yang meninggal karena melahirkan. Propinsi penyumbang kasus
kematian ibu dengan kehamilan terbesar ialah Papua 730 per 100.000 kelahiran, Nusa Tenggara
Barat 370 per 100.000 kelahiran, Maluku 340 per 100.000. (Warta Demografi, tahun 30, no.4,
2000).
Dari data diatas meskipun ada kecenderungan menurun, tapi angka kematian ibu (AKI)
penduduk Indonesia masih relatif tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2003.
Tingginya angka kematian ibu diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor meliputi:
perdarahan, PEB dan infeksi. Salah satu dari ketiga faktor tersebut adalah perdarahan dan
perdarahan dapat terjadi pada wanita dengan mola hidatidosa. (Mansjoer, A. dkk, 2001)
Mola Hidatidosa ialah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri tumor jinak (benigna) dari
chorion penyebab embrio mati dalam uterus tetapi plasenta melanjutkan sel-sel trophoblastik
terus tumbuh menjadi agresif dan membentuk tumor yang invasif, kemudian edema dan
membentuk seperti buah anggur, karakteristik mola hidatiosa bentuk komplet dan bentuk parsial,
yaitu tidak ada jaringan embrio dan ada jaringan embrio. (Mochtar. R 1998)
1
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan kepada pembaca mengenai
sebuah kasus mola partial sekaligus sedikit memberikan penjelasan mengenai teori atau tinjauan
pustaka tentang mola hidatidosa. Sehingga diharapkan penulis dan pembaca pada akhirnya
mampu menjelaskan dan memahami mengenai kasus mola hidatidosa.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana terjadi
keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan perkembangan parsial atau
tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-
villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan
adalah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada vilus berproliferasi dan
mengeluarkan hormon human chononic gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih
besar daripada kehamilan biasa. Kehamilan mola hidatidosa adalah suatu kondisi tidak
normal dari plasenta akibat kesalahan pertemuan ovum dan sperma sewaktu fertilisasi
(Sarwono Prawirohardjo, 2003).
Mola hidatidosa adalah penyakit neoplasma yang jinak berasal dari kelainan
pertumbuhan trofoblas plasenta atau calon plasenta dan disertai dengan degenerasi kristik
villi dan perubahan hidropik sehingga tampak membengkak, edomatous, dan vesikuler
(Benigna). Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan cirri-ciri stroma villus
korialis langka vaskularisasi, dan edematus ( Wahyu Purwaningsih & Siti Fatmawati,
2010).
Mola Hidatidosa ditandai oleh kelainan vili korialis, yang terdiri dari proliferasi
trofoblastik dangan derajat yang bervariasi dan edema sroma vilus. Mola biasanya
menempati kavum uteri, tetapi kadang-kadang ditemukan dalam tuba falopii dan bahkan
dalam ovarium. Perkembangan penyakit trofoblastik ini amat menarik, dan ada tidaknya
jaringan janin telah digunakan untuk menggolongkannya menjadi bentuk mola yang
komplet (klasik) dan parsial (inkomplet), (Sarwono Prawirohardjo, 2003).
B. Epidemiologi
Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per 120
kehamilan) daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di Indonesia, mola
hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang penting dengan insiden yang tinggi (data RS di
3
Indonesia, 1 per 40 persalinan), faktor risiko banyak, penyebaran merata serta sebagian
besar data masih berupa hospital based. Faktor risiko mola hidatidosa terdapat pada usia
kurang dari 20 tahun dan di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetic
(Mansoer A, dkk, 2011)
C. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya
yang kini telah diakui adalah :
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan.
2. Usia ibu yang terlalu muda atau tua (36-40 tahun) beresiko 50% terkena penyakit ini.
3. Imunoselektif dari sel trofoblast
4. Keadaan sosioekonomi yang rendah
5. Paritas tinggi
6. Defisiensi vitamin A
7. Kekurangan protein
8. Infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas.
Berbagai teori telah diajukan, misalnya teori infeksi, defisiensi zat makanan,
terutama protein tinggi. Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari Acosta
Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini lebih
banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio ekonomi rendah. Akhir-akhir ini
dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan sebuah sel telur dimana
intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23x
(haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46xx, sehingga mola hidatidosa
bersifat homozigot, wanita dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi pembuahan oleh 2
sperma, sehingga terjadi 46xx atau 46xy.
Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada golongan sosio ekonomi
rendah, umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun, dan dengan paritas tinggi. insiden
penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif berupa pencegahan kehamilan
di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun dengan jumlah anak tidak lebih dari tiga.
Juga disebutkan defisiensi lemak hewani dan karotene, kebiasaan merokok,
pemakaian pil kontrasepsi kombinasi merupakan faktor resiko. Secara singkat dapat
4
disimpulkan bahwa peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status estrogen,
kontrasepsi oral dan faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko walaupun masih belum
jelas hubungannya. (Abdullah MN,dkk, 1998)
D. Klasifikasi
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai janin maka
disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai janin atau bagian dari
janin disebut mola parsialis atau Parsials mole. (Mochtar. R. 1998)
5
Gambar 1 : Pembagian penyakit trofoblast
E. Patofisiologi
Menurut Sarwono, 2010, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena
tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologik yaitu : hasil
pembuahan dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3 – 5 minggu dan karena
pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi penimbunan cairan di dalam jaringan
mesenkim villi.
Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola memberikan
beberapa petunjuk mengenai asal mula dari lesi ini. Kebanyakan mola hidatidosa adalah
mola “lengkap” dan mempunyai 46 kariotipe XX. Penelitian khusus menunjukkan bahwa
kedua kromosom X itu diturunkan dari ayah. Secara genetik, sebagian besar mola
6
hidatidosa komplit berasal dari pembuahan pada suatu “telur kosong” (yakni, telur tanpa
kromosom) oleh satu sperma haploid (23 X), yang kemudian berduplikasi untuk
memulihkan komplemen kromosom diploid (46 XX). Hanya sejumlah kecil lesi adalah 46
XY.
Pada mola yang “tidak lengkap” atau sebagian, kariotipe biasanya suatu triploid,
sering 69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah 69 XXX atau 69 XYY.
Kadang-kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini, berbeda dengan mola lengkap, sering disertai
dengan janin yang ada secara bersamaan. Janin itu biasanya triploid dan cacat.
Gambar 2 : Susunan sitogenetik dari mola hidatidosa. A. Sumber kromosom dari mola
lengkap. B. Sumber kromosom dari mola sebagian yang triploid
Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblas:
7
2. Teori neoplasma
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Park. Pada penyakit trofoblas, yang
abnormal adalah sel-sel trofoblas dimana fungsinya juga menjadi abnormal. Hal ini
menyebabkan terjadinya reabsorpsi cairan yang berlebihan kedalam villi sehingga
menimbulkan gelembung. Sehingga menyebabkan gangguan peredaran darah dan
kematian mudigah.
F. Manifestasi Klinis
a. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling umum ditemui.
Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif. Gejala perdarahan biasanya
terjadi antara bulan pertama sampai bulan ke tujuh dengan rata-rata minggu ke 12-14.
Dapat dimulai sesaat sebelum aborsi atau lebih sering dapat muncul secara intermiten,
sedikit-sedikit atau sekaligus banyak hingga menyebabkan syok atau kematian. Sebagai
akibat dari perdarahan tersebut gejala anemia sering dijumpai terutama pada wanita
malnutrisi. Efek dilusi dari hipervolemia terjadi pada wanita dengan mola yang lebih
besar. Anemia defisiensi Fe sering ditemukan, demikian pula halnya dengan kelainan
eritropoiesis megaloblastik, diduga akibat asupan yang tidak mencukupi karena adanya
mual dan muntah disertai peningkatan kebutuhan asam folat karena cepatnya
8
proliferasi trofoblas. Perdarahan juga sering disertai pengeluaran jaringan mola. Darah
yang keluar berwarna kecoklatan.
b. Ukuran uterus bisa lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia kehamilan)
Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat dari pada
kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien mola. Ada pula
kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besarnya dengan kehamilan normal,
walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan trofoblas tidak
terlalu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya dying mole. Uterus
mungkin sulit untuk diidentifikasikan secara pasti dengan palpasi, terutama pada
wanita nullipara. Hal ini disebabkan karena konsistensinya yang lembut di bawah
dinding perut yang kaku. Pembesaran uterus karena kista theca lutein multiple akan
membuat sulit perbedaaan dengan pembesaran uterus biasa.
e. Hiperemesis
Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu gejala mola
hidatidosa.
9
f. Tirotoksikosis
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat,
namun gejala hipertiroid jarang muncul. Menurut Curry insidennya 1%, tetapi
Martaadisoebrata menemukan angka lebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya tirotoksikosis
pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus
makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan
uterus besar masih banyak ditemukan, maka Martaadisoebrata menganjurkan agar pada
tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif.
Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari
segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita
meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek dari
estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin yang
meningkat sebagai akibat thyrotropin-like effect dari Chorionic Gonadotropin
hormone. Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya
kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis.
11
Gambar 4 : Mola hidatidosa partial ( dengan janin )
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang berlebihan,
perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan kadang bergelembung
seperti busa.
- terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari kehamilan
biasa
- terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli tua atau
kecoklatan
- pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan dengan usia
kehamilan seharusnya
- keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang
merupakan diagnosa pasti
(1) Perdarahan pervaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet
adalah perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan
perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak,
dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97%
kasus.
(2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini
merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-HCG.
(3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan
kulit yang hangat. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yang terjadi pada
27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg), protenuria
(>300 mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia.
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Palpasi :
12
Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek
Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.
Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
Pemeriksaan dalam :
Memastikan besarnya uterus
Uterus terasa lembek
Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kadar B-hCG
BetaHCG urin > 100.000 mlU/ml
Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter dalam
penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.
4. Pemeriksaan Imaging
a. Ultrasonografi
Gambaran seperti sarang tawon tanpa disertai adanya janin
Gambar 6 : Gambaran USG transvaginal menunjukkan badai salju atau “Snowstorm appearance” yang berlaku pada kehamilan
molar (di antara anak panah) memenuhi cavum uteri pada trimester pertama.
14
Gambar 7 : Gambaran USG transvaginal menunjukkan mola (anak panah).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu:
1. Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat dan srok
hipovolemik karena perdarahan. Atau menghilangkan penyulit seperti preeklamsia
dan tirotoksikosis. Preeklamsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan
untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam, antara lain dengan
inderal.
2. Pengeluaran jaringan mola
Bila diagnosis telah ditegakkan, kehamilan mola harus segera diakhiri. Ada
dua cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi
a. Kuret hisap
Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi jaringan mola,
dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam
500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit. Oksitosi diberikan
untuk menimbulkan kontraksi uterus mengingat isinya akan dikeluarkan Tindakan
15
ini dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasidan dengan terjadinya
retraksi miometrium, dinding uterus akan menebal dan dengan demikian resiko
perforasi dapat dikurangi 8.Bila sudah terjadi abortus maka kanalis servikalis
sudah terbuka. Bila belum terjadi abortus, kanalis servikalis belum terbuka
sehingga perlu dipasang laminaria atau servikalis dilator (setelah 10 jam baru
terbuka 2-5 cm). Setelah jaringan mola dikeluarkan secara aspirasi dan
miometrium memperlihatkan kontraksi dan retraksi, biasanya dilakukan kuretase
yang teliti dan hati-hati dengan menggunakan alat kuret yang tajam dan besar.
Jaringan yang diperoleh diberi label dan dikirim untuk pemeriksaan. Kuretase
kedua dilakukan apabila kehamilan seusia lebih dari 20 minggu, atau tidak
diyakini bersih. Kuret ke-2 dilakukan kira-kira 10-14 hari setelah kuret pertama.
Pada waktu itu uterus sudah mengecil sehingga lebih besar kemungkinan bahwa
kuret betul-betul menghasilkan uterus yang bersih.
Jika terdapat mola hidatidosa yang besar (ukuran uterus >12 minggu, dan
dievakuasi dengan kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan, atau mungkin
diperlukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan atau perforasi.
Sebelum kuret sebaiknya disediakan persediaan darah untuk menjaga
kemungkinan terjadi perdarahan masif selama kuretase berlangsung.
b. Histerektomi
Sebelum kuret hisap digunakan, histerektomi sering dipakai untuk pasien
dengan ukuran uterus di luar 12-14 minggu. Namun histerektomi tetap merupakan
pilihan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak.
Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas
tinggi karena hal tersebut merupakan predisposisi timbulnya keganasan. Batasan
yang dipakai ialah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa
pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologi sudah tampak
adanya tanda-tanda mola invasif.
Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan
dilakukan melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah
16
ditinggalkan. Walau histerektomi tidak dapat mengeliminasi sel-sel tumor
trofoblastik, namun mampu untuk mengurangi kekambuhan penyakit ini.
18
Gambar 8 : Skema tatalaksana mola hidatidosa (Abdullah. MN, 1994)
19
I. Komplikasi
1. Perforasi uterus selama kuret hisap sering muncul karena uterus yang membesar. Jika
hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dalam bimbingan laparaskopi.
2. Perdarahan sering pada evakuasi mola, karenanya oksitosin IV harus diberikan
sebelum prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat juga diberikan.
3. Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola, karenanya
pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi sampai
hasilnya negatif.
4. DIC, karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik. Semua
pasien harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati.
5. Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor resiko
terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia
kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat berakhir fatal.
6. Kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Kista lutein dapat menyebabkan
pembesaran pada satu atau kedua ovarium dengan ukuran yang beragam, dari
diameter mikroskopik sampai ukuran 10 cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 25-60%
penderita mola. Kista teka lutein multiple pada 15-30% penderita mola menyebabkan
pembesaran satu atau kedua ovarium dan menjadi sumber rasa nyeri. Ruptur,
perdarahan atau infeksi mudah terjadi.
Kista lutein ini diperkirakan terjadi akibat rangsangan elemen lutein yang
berlebihan oleh hormon korionik-gonadotropin dalam jumlah besar yang disekresi
oleh trofoblas yang berproliferasi dengan pemeriksaan klinis, insiden kista lutein +
10,2%, tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50%. Kasus
mola dengan kista lutein mempunyai resiko empat kali lebih besar untuk mendapat
degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista. Involusi
dari kista terjadi setelah beberapa minggu yang biasanya seiring dengan penurunan
kadar B-hCG. Tindakan bedah hanya dilakukan bila ada ruptur dan perdarahan atau
ovarium yang membesar tadi mengalami infeksi. umumnya ukuran kembali normal
dalam 12 minggu.
7. Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang
20
8. Perdarahan dan syok. Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan oleh pelepasan
jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua, perforasi uterus oleh karena
keganasan, atonia uteri atau perlukaan pada uterus karena evakuasi jaringan mola.
9. Infeksi sekunder
J. Prognosis
__________________________________________________________________
Prognosis baik Prognosis buruk
Kehamilan terakhir < 4 bulan > 4 bulan
B-hCG < 40.000 > 40.000
Kehamilan sebelumnya mola term
Terapi sebelumnya tidak ada gagal
Metastase tidak ada, kadang paru otak, hati
Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnose dini dan terapi
yang adekuat. Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung untuk menderita
anemia dan perdarahan kronis. Infeksi dan sepsis pada kasus-kasus ini dapat menyebabkan
tingkat morbiditas yang tinggi.
Evaluasi dini tidak menghilangkan kemungkinan berkembangnya tumor persisten.
Hampir 20% mola komplet berlanjut menjadi tumor gestasional trofoblastik. Lurain and
21
Colleagues (1987) melaporkan setelah evakuasi mola hidatidosa, 81% mengalami regresi
spontan dan 19% berlanjut menjadi tumor trofolastik gestasional.
Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani evakuasi
mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari 80% pasien. Mola
hidatidosa yang berulang terjadi pada 0,5 – 2,6%, dengan resiko yang lebih besar untuk
menjadi mola invasif atau koriokarsinoma. Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung
antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama.
Kurang lebih 10-20% mola hidatidosa komplet menjadi metastastik koriokarsinoma yang
potensial invasif.
Kematian pada kasus mola disebabkan karena perdarahan, infeksi, preeklamsia,
payah jantung, emboli paru atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena mola
hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi, yaitu berkisar 2,2-
5,7%.
BAB III
LAPORAN KASUS
22
Identitas pasien :
Umur : 28th
Alamat : Pariaman
MR : 993655
Anamnesis
Keluhan utama
Seorang pasien usia 25 tahun masuk KR RSUP M Djamil kiriman dari poliklinik RSUP M
Djamil Padang pada tanggal 17 oktober 2017 dengan Diagnosis G3P1A1H1 gravid 19-20
minggu + Susp. Mola partial + janin hidup tunggal intra uterine.
ANC 2x kebidan, pada usia kehamilan 2 dan 4 bulan, ke dokter Sp.OG 1x pada usia
kehamilan 5 bulan.
23
Riwayat menstruasi :
Menarche usia 13th, haid teratur 1x/ bulan. Lama haid 5-7 hari, ganti duk 2-3x/hari, nyeri
haid (-)
Pasien diketahui hamil dengan mola saat kontrol ke dokter Sp. OG di pariaman 1 minggu
yang lalu kemudian pasien dikirim untuk kontrol ke poliklink kebidanan RSUP M Djamil
padang.
Pasien sebelumnya juga mengalami keguguran dengan hamil anggur pada kehamilan ke 2
tahun lalu, dikuret, followup tidak teratur
Tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM dan hipertensi
Riwayat perkawinan :
1. 2011, cukup bulan, 2900gr, SCTPP ai panggul sempit/ dokter Sp.OG/ RSUD Pariaman /
hidup
2. 2016/abortus mola / dikuret.
3. Sekarang
KU KSD TD ND NF T
LILA : 24cm
Status obstetrikus :
Payudara : membesar (+), areola dan papil hiperpigmentasi, kelenjar montgomery (+),
kolostrum (-)
25
Abdomen :
Inspeksi : tampak sedikit membuncit sesuai usia kehamilan 7 bulan, sikatrik (+) linea mediana
Genitalia :
Inspekulo :
Vagina : masa (-) laserasi (-) fluksus (-) darah merah kehitaman di forniks posterior
Portio : NP, ukuran sebesar jempol tangan dewasa, masa (-), laserasi (-), fluksus + darah merah
kehitaman merembes dari canalis cervikalis
Pemeriksaan Penunjang :
USG
26
USG :
FL :32,2mm HL : 33,7cm
EFW : 338gr
Tampak massa plasenta bercampur dengan gambaran vesikel pada seluruh bagian
plasenta
Kesan : gravid : 19-20 minggu
Mola hidatidosa partial
Pemeriksaan Laboratorium
27
Hb : 9,5 g/dl
Ht : 30 %
Trombosit : 228.000/mm3
SGOT/SGPT :13/8 Ul
Diagnosis :
G3P1A1H1 gravid 19-20 minggu + mola partial + anemia ringan + abortus imminens + bekas
SC
Sikap :
Th /
FOLLOW UP
18/10/2017
08.00
O/
KU KSD TD ND NF T
A/
G3P1A1H1 gravid 19-20 minggu + mola hidatidosa partial + abortus imminens + bekas SC
P/
Bed Rest
Nifedipin 3x10mg
19/10/2017
08.00
29
O/
KU KSD TD ND NF T
A/
G3P1A1H1 gravid 19-20 minggu + mola hidatidosa partial + abortus imminens + bekas SC
P/
Bed Rest
Nifedipin 3x10mg
Lab 19/10/2017
T3 : reagen habis
20/10/2017
08.00
30
O/
KU KSD TD ND NF T
A/
G3P1A1H1 gravid 19-20 minggu + mola hidatidosa partial + abortus imminens + bekas SC
P/
Bed Rest
Nifedipin 3x10mg
20/10/2017
Hb : 8,0 g/dl
Ht : 26%
31
Trombosit : 214.000/mm3
21/10/2017
08.00
O/
KU KSD TD ND NF T
A/
G3P1A1H1 gravid 19-20 minggu + mola hidatidosa partial + abortus imminens + bekas SC
P/
Bed Rest
Nifedipin 3x10mg
32
Rencana histerotomi senin 23/10/2017
Laboratorium
Tgl 21/10/2017
Pukul 10.00
Hb : 11,4 g/dl
Ht : 34%
Trombosit : 176.000/mm3
21/10/2017
22.00
O/
KU KSD TD ND NF T
Inspekulo :
Vagina : tumor (-) laserasi (-) fluksus (+) darah berwarna merah kehitaman di forniks posterior
33
Portio : MP, ukuran sebesar jempol kaki dewasa, laserasi (-) fluksus (+) darah merembes dari
canalis servikalis, OUE tertutup
A/
G3P1A1H1 gravid 19-20 minggu + mola hidatidosa partial + abortus imminens + bekas SC
P/
Bed Rest
Nifedipin 3x10mg
Laboratorium
21/10/2017
23.15
Hb : 10,5g/dl
Leukosit : 7750/mm3
Hematokrit : 31%
22/10/2017
08.00
34
O/
KU KSD TD ND NF T
A/
G3P1A1H1 gravid 19-20 minggu + mola hidatidosa partial + abortus imminens + bekas SC
P/
Bed Rest
Nifedipin 3x10mg
Tanggal 23/10/2017
10.00
Lahir bayi
BBL : 400gr
35
PB : 22cm
A/S : 1/3
A/ P1A2H1 post histerotomi ai mola hidaidosa partial + perdarahan berulang banyak + bekas SC
P/
Hb : 7,9 g/dl
Leukosit : 11.190/mm3
Ht : 24 %
36
Followup post op
24/10/2017
08.00
O/
KU KSD TD ND NF T
A/ P1A2H1 post histerotomi ai mola hidaidosa partial + perdarahan berulang banyak + bekas SC
+ anemia sedang
P/
Paracetamol 3x500mg
37
SF 2x1 tab
Vit C 3x 1 tab
Hb : 10,9 g/dl
Ht : 33 %
25/10/2017
08.00
O/
KU KSD TD ND NF T
38
A/ P1A2H1 post histerotomi ai mola hidaidosa partial + perdarahan berulang banyak + bekas SC
P/
Paracetamol 3x500mg
SF 2x1 tab
Vit C 3x 1 tab
26/10/2017
08.00
O/
KU KSD TD ND NF T
A/ P1A2H1 post histerotomi ai mola hidaidosa partial + perdarahan berulang banyak + bekas SC
39
P/
Cefixime 2x200mg PO
Paracetamol 3x500mg PO
SF 2x1 tab PO
Vit C 3x 1 tab PO
31/10/2017
BAB IV
PENUTUP
A. DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien usia 28 tahun dirawat dengan mola hidatidosa partial dan
abortus imminens. Pasien sebelumnya dikirim melalui poliklinik kebidanan di salah satu Rumah
sakit jejaring dengan Susp. Mola partial. Pada saat masuk ditemukan ada perdarahan pervaginam
sedikit sedikit sejak 1 hari yang lalu membasahi 1 duk, serta ditemukan anemia sedang, Hb 9,5
g/dl. Kemudian pasien dirawat untuk perbaikan KU serta persiapan untuk terminasi kehamilan
seperti pemeriksaan faal tyroid serta konsul ke bagian penyakit dalam dan anestesi.
Perdarahan pervaginam merupakan salah satu manifestasi klinis dan gejala klasik dari
mola hidatidosa yang paling sering ditemui, biasanya disertai juga dengan anemia, selain itu
pada pasien ini karena ditemukan bayi pada pemeriksaan USG dan ditemukaan DJJ pada
40
pemeriksaan dopler, maka ditambahkan diagnosis abortus imminens sesuai dengan manifestasi
klinis dan pemeriksaan yang ada pada pasien.
Pada pasien terdapat beberapa faktor risiko seperti riwayat kehamilan mola sebelumnya
yang tidak tuntas followup dan pengobatannya, pasien mengalami abortus mola pada kehamilan
sebelumnya yang berjarak kurang dari 6 bulan sebelum kehamilan sekarang, pada pasien
dianjurkan untuk kontrol ulang pada minggu ke 2, 4, bulan ke 2, 6 dan 12 post kuretase mola,
dan dilakukan pemeriksaan B HCG serial untuk menentukan penatalaksanaan lanjutan mola
hidatidosa, misalnya bila kadar B HCG > 100.000IU/L maka dipikirkan akan mengarah kepada
keganasan, sehingga dapat dipertimbangkan untuk pemberian sitostatik seperti metotrexate,
namun bila kadar B HCG cenderung terus menurun hingga < 1000, maka pasien memiliki
prognosis yang baik. Selain itu juga pasien termasuk kedalam sosio ekonomi rendah, sehingga
asupan makro dan mikronutrien yang dibutuhkan untuk perkembangan kehamilan.
Selama perawatan pasien dilakukan transfusi PRC untuk perbaikan keadaan umum
terlebih dahulu, yaitu transfusi darah, dari yang sebelumnya Hb = 9,5 g/dl. Sebelum rencana
tindakan intervensi berikutnya, terlebih dahulu pasien dilakukan persiapan pemeriksaan faal
tyroid, karena pada kasus mola hidatidosa biasanya kadar tyroid sering meningkat akibat
thyrothropin like effect dari chorionic gonadotropine hormone, peningkatan kadar hormon tyroid
pada pasien molahidatidosa biasanya berhubungan dengan prognosa yang buruk. Pada pasien ini
didapatkan T4 normal ( T4= 87,43 nmol/l ) serta TSH normal ( TSh = 0,82mIU/mL).
Pengawasan pasca tindakan pasien ini lebih ketat karena kemungkinan terjadinya
perdarahan, krisis tyroid serta risiko pasca operasi lainnya, post tindakan didapatkan pasien
41
anemia sedang dengan Hb 7,9 g/dl. Kemudian pasien mendapatkan transfusi 3 kantong PRC,
sehingga Hb naik jadi 10,9 g/dl. Untuk mencegah atonia pada pasien yang dapat memperburuk
perdarahan, selama perawatan pasien juga diberikan uterotonika drip selama 2 hari, dilanjutkan
uterotonika oral pada hari ke 3. Pemberian uterotonika pasca tindakan pada pasien dirasa sudah
tepat karena menurut literatur juga disebutkan perlunya uterotonik untuk mencegah terjadinya
atonia, uterotonik juga dapat diberikan sebelum tindakan, dapat diberikan oksitosin ataupun
metergin.
Perdarahan pervaginam tidak ada dan uterus mengalami involusi yang cukup baik, serta
faal hemodinamik cukup baik sampai 4 hari pasca tindakan. Kemudian pasien dipulangkan.
Pasien disarankan kontrol 5 hari lagi ke poliklinik kebidanan RSUP M Djamil padang untuk
dilakukan pengawasan keadaan post operasi seperti luka operasi dan hemodinamik pasien. Yang
terpenting juga kepada pasien ini dipesankan untuk dmelakukan followup lagi setelah 2 minggu
pasca operasi untuk dilakukan pemeriksaan kadar B HCG serum dan dapat diberikan obat-obatan
sitostatik jika hasil pemeriksaan menunjukkan kearah keganasan, namun bila kadar B HCG
cenderung menurun apalagi sampai negatif maka prognosis akan lebih baik dan tidak diperlukan
pengobatan sitostatik untuk pasien, namun bila pasien berencana akan hamil lagi, maka
ditekankan untuk dapat hamil setelah 1 tahun dari terakhir kali pemeriksaan B HCG normal.
Serta dilakukan pengawasan ketat selama kehamilan mengingat pasien sudah dua kali menjalani
operasi pada rahim.
42
B. Kesimpulan
Mola Hidatidosa ditandai oleh kelainan vili korialis, yang terdiri dari proliferasi
trofoblastik dangan derajat yang bervariasi dan edema sroma vilus. Mola biasanya menempati
kavum uteri, tetapi kadang-kadang tumor ini ditemukan dalam tuba falopii dan bahkan dalam
ovarium. Perkembangan penyakit trofoblastik ini amat menarik, dan ada tidaknya jaringan janin
telah digunakan untuk menggolongkannya menjadi bentuk mola yang komplet (klasik) dan
parsial (inkomplet).
Kehamilan mola hidatidosa merupakan kelainan kehamilan yang banyak terjadi pada
multipara yang berumur 35-45 tahun.Mengingat banyaknya kasus mola hidatidosa pada wanita
umur 35-45 tahun sangat diperlukan suatu penanggulangan secara tepat dan cepat dengan
penanganan tingkat kegawatdaruratan obstetric. Observasi dini sangat diperlukan untuk
memberikan pertolongan penanganan pertama sehingga tidak memperburuk keadaan pasien.
C. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. M.N. dkk. Mola Hidatidosa. PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI LAB/UPF.
KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN. RSUD DOKTER SOETOMO SURABAYA. 1994.
Hal 25-28.
Cuninngham. F.G. dkk. “Mola Hidatidosa” Penyakit Trofoblastik Gestasional Obstetri Williams. Edisi 21.
Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran. EGG Jakarta. 2006. Hal 930-938.
Martaadisoebrata. D, & Sumapraja, S. Penyakit Serta Kelainan Plasenta & Selaput Janin. ILMU
KEBIDANAN. Yayasan Bina pustaka SARWONO PRAWIROHARDJO. Jakarta.2002 Hal 341-348.
Mochtar. R. Penyakit Trofoblas. SINOPSIS OBSTETRI. Jilid I. Edisi2. Penerbit Buku Kedokteran. ECG.
Jakarta. 1998. Hal. 238-243.
44
Sastrawinata, S.R. Mola Hidatidosa. OBSETETRI PATOLOGIK. Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. ELSTAR OFFSET. Bandung. 1981. Hal38-42.
45