Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS

KEHAMILAN DENGAN MULTIFETUS –


TRIPLET DI RSIA DIAN PURWAKARTA

Oleh :

dr. Bambang Herianto

General Practitioner

Pembimbing :

dr. Tomy Alamsyah, Sp.OG,M.kes


Prof. Dr. Muhardi, S.E.,M.Si

RUMAH SAKIT IBU & ANAK DIAN

PLERED – PURWAKARTA

2020

i
HALAMAN PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS KEHAMILAN DENGAN MULTIFETUS – TRIPLET DI


RSIA DIAN PURWAKARTA

DI AJUKAN UNTUK PERSENTASI KASUS PADA “THE 1ST DIGITAL CONFERENCE


AND WORKSHOP POGI PREDICTIVE,PREVENTIVE, PARTICIPATORY AND
PERSONALIZED APPROACH IN WOMAN HEALTH 30TH OCTOBER – 1ST
NOVEMBER 2020”

OLEH :
BAMBANG HERIANTO

Makalah laporan kasus ini telah memenuhi persyaratan karya ilmiah dan telah disetujui oleh
tim pembimbing berikut

Purwakarta , Juli 2020

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

dr. Tomy Alamsyah, Sp.OG,M.kes Prof. Dr. Muhardi, S.E.,M.Si

ii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan kasih sayang kepada hamba-Nya. Hanya dengan rahmat dan keridhaan-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Laporan Kasus Kehamilan Dengan
Multifetus – Triplet Di Rsia Dian Purwakarta”. Shalawat dan salam penulis sampaikan
untuk Rasulullah SAW yang telah membimbing umatnya dari kebodohan menuju cahaya
Islam. Penelitian ini disusun untuk mengikuti acara presentasi ilmiah pada “The 1st Digital
Conference And Workshop Pogi Predictive,Preventive, Participatory And Personalized
Approach In Woman Health 30th October – 1st November 2020”
Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga, pembimbing, sejawat, dan
semua pihak yang telah membantu penelitian ini. Penulis menyadari penelitian ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca. Semoga proposal penelitian ini mendapatkan ridho dari Allah SWT, dapat
dilanjutkan untuk Penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
masyarakat.

Padang, Juli 2020

iii
ABSTRAK

LAPORAN KASUS KEHAMILAN DENGAN MULTIFETUS –


TRIPLET DI RSIA DIAN PURWAKARTA
Bambang Herianto, Tomy Alamsyah, Muhardi

RSIA DIAN Plered Purwakarta

Correspondence : Bambang Herianto, RSIA DIAN Purwakarta, HP : 0812 2758 7123

Kehamilan multifetus dapat didefinisikan sebagai suatu kehamilan dimana terdapat

dua atau lebih embrio / janin (fetus) sekaligus. Kehamilan multifetus sebagai suatu

kehamilan resiko tinggi berkontribusi pada 12 % dari semua kematian perinatal.

Kehamilan multifetus mempunyai arti yang cukup penting dalam bidang obstetri,

karena disamping merupakan fenomena yang menarik, keadaan ini termasuk dalam

kategori resiko tinggi dalam kehamilan dan persalinannya.

Pada kasus ini dilaporkan seorang pasien usia 28 tahun yang masuk KB IGD RSIA
DIAN Purwakarta pada tanggal 11 November 2019 pukul 20.45 WIB, Datang sendiri
dengan diagnosa G3P2A0H3 parturien preterm 36-37 minggu kala II (kehamilan triplet),
janin hidup triplet intra uterin letkep UUK depan H III-IV. Pasien control satu kali ke bidan
selama kehamilannya dan tidak pernah control ke Dokter Spesialis Kebidanan dan Penyakit
Kandungan. Bayi 1 lahir Spontan dengan berat badan lahir 2600 gr dan A/S 8/9, bayi II
lahir sepuluh menit kemudian dengan BB 1750 gr dan A/S 7/8, lima belas menit kemudian
lahir bayi III dengan BB 1400 gr dan A/S 6/7. Plasenta satu buah lahir spontan dengan
berat sekitar 900gr.
Penanganan yang dilakukan pada pasien saat datang adalah dengan mengikuti
persalinan karena pasien sudah dalam keadaan kala II dan kepala sudah crowning, dilakukan
pengawasan terhadap risiko terjadinya perdarahan post parum khususnya dikarenakan atonia
uteri. Pada pasien tidak terjadi penyulit yang berarti baik pada saat kala II, III ataupun kala
IV.

Kata Kunci : Kehamilan Multifetus, Kembar, Triplet

iv
ABSTRACT
MULTIFETUS - TRIPLET PREGNANCY CASE REPORT AT RSIA DIAN
PURWAKARTA
Bambang Herianto, Tomy Alamsyah, Muhardi
RSIA DIAN Plered Purwakarta
Correspondence: Bambang Herianto, RSIA DIAN Purwakarta, HP: 0812 2758 7123

A multifetus pregnancy can be defined as a pregnancy in which there are two or more
embryos / fetuses (fetuses) at once. Multiple pregnancies as a high-risk pregnancy account
for 12% of all perinatal deaths. Multifetus pregnancies have quite an important meaning in
the field of obstetrics, because apart from being an interesting phenomenon, this condition is
included in the high risk category in pregnancy and childbirth.
In this case, a 28-year-old patient who entered the emergency planning family
planning at RSIA DIAN Purwakarta was reported on November 11, 2019 at 20.45 WIB,
came alone with a diagnosis of G3P2A0H3 preterm 36-37 weeks II (triplet pregnancy), live
fetus intra-uterine triplet letkep UUK ahead of H III-IV. Patients control one time to a
midwife during pregnancy and never control to a specialist in obstetrics and gynecology.
Baby 1 was born spontaneously with birth weight 2600 gr and A / S 8/9, baby II was born
ten minutes later with a weight of 1750 gr and A / S 7/8, fifteen minutes later was born baby
III with a weight of 1400 gr and A / S 6/7. One placenta was born spontaneously and weighs
about 900g.
Handling carried out by the patient at arrival is by following the delivery because the
patient is already in stage II and the head is crowning, monitoring the risk of post parum
hemorrhage, especially due to uterine atony. In the patient there was no significant
complication either at stage II, III or stage IV.

Keywords: Multiple pregnancy, twins, triplets

v
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………………... i


Halaman Pengesahan ……………………………………………………………. ii
Kata Pengantar ………………………………………………………………….. iii
Abstrak ………………………………………………………………………….. iv
Abstract …………………………………………………………………………. v
Daftar isi ………………………………………………………………………… vi

BAB I Pendahuluan …………………………………………………….. 1

BAB II Laporan Kasus …………………………………………………... 3

BAB III T i n j a u a n P u s t a k a Kehamilan multifetus 11


……………………………….
A. Epidemiologi dan zigositas ........................................................................ 12
B. Plasentasi, , Zigositas, Korionisitas dan Amniositas ……………………. 15
C. Faktor resiko…………………………………………………………….... 19
D. Diagnosis ................................................................................................... 22
E. Adaptasi ibu pada kehamilan ...................................................................... 25
F. Komplikasi maternal ................................................................................... 27
G. Komplikasi fetus ......................................................................................... 29
H. Komplikasi unik pada kehamilan kembar ................................................. 31
I. Manajemen kehamilan ............................................................................... 39
J. Reduksi kehamilan multifetus..................................................................... 41
K. Waktu persalinan ....................................................................................... 42
L. Rute persalinan .......................................................................................... 42
M. Interval antara persalinan ......................................................................... 46
N. Tatalaksana paska salin ............................................................................ 47

BAB IV Diskusi ……………………………………………………………. 50


BAB VI Kesimpulan ………………………………………………………... 54
DAFTAR PUSTAKA

vi
BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan multifetus mempunyai arti yang cukup penting dalam bidang


obstetri, karena disamping merupakan fenomena yang menarik, keadaan ini termasuk
dalam kategori resiko tinggi dalam kehamilan dan persalinannya. Bahaya bagi ibu
tidak begitu besar, tetapi wanita dengan kehamilan kembar memerlukan pengawasan
dan perhatian khusus bila diinginkan hasil yang memuaskan bagi ibu dan janin
(Saifuddin, 2009). Morbiditas dan mortalitas mengalami peningkatan yang nyata pada
kehamilan dengan janin lebih dari satu (multifetus). Karena itu, mempertimbangkan
kehamilan kembar (multifetus) sebagai kehamilan dengan komplikasi
bukanlah hal yang berlebihan. (Cunningham, et al., 2014)

Kehamilan multifetus dapat didefinisikan sebagai suatu kehamilan dimana


terdapat dua atau lebih embrio / janin (fetus) sekaligus. Kehamilan multifetus
sebagai suatu kehamilan resiko tinggi berkontribusi pada 12 % dari semua kematian
perinatal. Kehamilan multipel telah menjadi salah satu kondisi risiko tinggi yang
paling umum dihadapi oleh dokter kandungan. Pada tahun 2003, ada 136.328
kehamilan multipel ditemukan di Amerika Serikat, jumlah tertinggi yang pernah
tercatat. Meskipun hal ini terjadi pada hanya sebagian kecil dari semua kelahiran
hidup, kehamilan multipel bertanggung jawab secara proporsional dari morbiditas dan
mortalitas perinatal. Kehamilan multipel terjadi pada 17% dari semua kelahiran
prematur kurang dari 37 minggu, 23% dari kelahiran prematur kurang dari 32 minggu,
dan 24% dari semua kasus berat badan lahir rendah (<2.500 g), dan 26% dari semua
kasus berat badan lahir sangat rendah (<1.500 g). Sebagai konsekuensi dari
prematuritas dan BBLR yang tinggi tersebut, bayi kembar diperkirakan 7 kali lipat
lebih besar berisiko meninggal sebelum ulang tahun pertama mereka dibandingkan
dengan bayi tunggal, sementara kembar tiga berada pada resiko hampir 17 kali
lipat lebih besar. (Newman & Rittenberg, 2008)

1
Mengingat tingginya morbiditas dan mortalitas perinatal dari persalinan bayi
kembar, maka diagnosis dini pada suatu kehamilan multifetus adalah merupakan
suatu hal yang penting, bertujuan untuk mengenali kehamilan tersebut lebih awal, dan
melakukan upaya preventif terhadap penyulit serta menatalaksana dengan baik
berbagai kemungkinan kelainan patologis dan komplikasi selama kehamilan dan
persalinan (Saifuddin, 2009).

Berikut ini dilaporkan kasus seorang pasien wanita dengan usia 29 tahun
dengan diagnosis : G3P2A0H1 parturient preterm 36-37 minggu Kala II + kehamilan
multiple (triplet) ; Janin Hidup triplet Intra uterin; Anak I letak kepala, Anak II
letak kepala, Anak III letak kepala.

Anak I kemudian dilahirkan secara spontan, lahir seorang anak laki-laki dengan
BB 1350 gram, PB 47 cm dan A/S 4/5. Anak II dilahirkan secara spontan 10
menit kemudian, lahir seorang anak laki-laki dengan BB 1300 gr, PB 46 cm, A/S
3/4, dan anak III dilahirkan secara spontan 10 menit kemudian, lahir seorang
anak laki-laki dengan BB 1400 gr, PB 46 cm, A/S
6/7.

Masalah yang akan didiskusikan pada laporan kasus ini adalah mengenai
diagnosis, kemungkinan korionisitas dan plasentasi serta manajemen persalinan yang
tepat.
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 29 tahun
Alamat : Plered – Purwakarta
MR : 024711
Pekerjaan : IRT
Tanggal masuk : 19 – 11 – 2019

ANAMNESIS
Seorang pasien, 29 tahun datang ke IGD RSIA DIAN bersama keluarga
nya Pada tanggal 11 November 2019 pukul 20.45 WIB, dengan keluhan keluar air
air dari jalan lahir sejak jam 14.30 Wib.
Pasien merasa kesakitan dan ingin mengedan.

PEMERIKSAAN
FISIK Status Umum
KU Kes TD Nd RR S
Sdg CMC 130/90 86 20 37°
• Gen : I : tampak kepala crowning

A/G3P2A0H2 parturien preterm 36-37 minggu kala II


janin hidup intra uterin kepala crowning

P/ pimpin persalinan

21.00 WIB : lahir bayi I : ♂, BB 2600 gr, PB 47 cm, A/S 8/9 tali
pusat diklem dan dipotong
Riwayat Penyakit Sekarang
• Pasien merasa kesakitan dan ingin mengedan sejak kurang lebih 1 jam yang
lalu
• Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak ± 7 jam sebelum masuk rumah sakit,
nyeri semakin lama semakin terasa kuat
• Keluar lendir campur darah sejak ± 7 jam sebelum masuk rumah sakit
• Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (+) sejak 3 jam SMRS
• Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)
• Tidak haid sejak ± 9 bulan yang lalu
• HPHT: lupa
• Gerak anak dirasakan sejak ± 5 bulan yang lalu
• RHM : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
• ANC : Jarang dan Kebidan 1x
• RHT : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
• Riwayat menstruasi : menarche usia 12 tahun, siklus haid teratur, 1 x
28 hari, lamanya 5-7 hari, ganti duk 2-3x/hari, nyeri(-)

Riwayat Penyakit Dahulu


• Tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, HT serta
alergi
Riwayat Penyakit Keluarga
• Tidak ada riwayat penyakit keturunan, menular dan kejiwaan

Riwayat Pernikahan: 1x tahun 2009


Riwayat Obstetri : Kehamilan/Abortus/Persalinan :
1. 2013, ♂, 2900 g, cukup bulan, spontan, Dukun, hidup
2. 2017, ♂, 2600 g, cukup bulan, spontan, Dukun, hidup
2. Sekarang
Riwayat Kontrasepsi: suntik 3 bulan (2014 -2018)
Riwayat Imunisasi : (-)
Riwayat Pendidikan : SD
Riwayat Pekerjaan : IRT
PEMERIKSAAN
FISIK Status Umum
KU Kes TD Nd RR S
Sdg CMC 130/90 92 22 37°

Abdomen
Inspeksi :
Tampak membuncit seperti usia kehamilan aterm, striae (+), sikatrik (-)
Palpasi :
L1 : FUT teraba 3 jari bawah processus Xyphoideus
teraba massa lunak nodular disamping massa lunak noduler
L2 : teraba tahanan terbesar disebelah kiri dan kanan ibu
L3 : teraba massa keras, terfixir
L4 : divergen
His : 3-4 x/40’/K
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal, BJA I: 140-150x/menit, BJA II: 130-140x/menit

Genitalia
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
VT : Ø lengkap
Ketuban (+) dipecahkan, sisa jernih
Teraba kepala UUK depan H III-IV

Diagnosis :
G2P2A0H2 parturien preterm 36-37 minggu kala II (janin ke-2 – kehamilan
triplet)
Janin hidup gemelli intra uterin letkep-letkep UUK depan H III-IV

Rencana :
Pimpin persalinan
21.10 WIB : lahir bayi II : ♂, BB 1750 gr, PB 46 cm, A/S 7/8 tali
pusat diklem dan dipotong
PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum
KU Kes TD Nd RR S
Sdg CMC 130/90 94 24 37°

Abdomen
Inspeksi : tampak membuncit, striae (+), sikatrik (-)
Palpasi :
L1 : FUT teraba pertengahan processus Xyphoideus - pusat teraba
massa lunak nodular
L2 : teraba tahanan terbesar disebelah kiri ibu
teraba bagian-bagian kecil janin disebelah kanan ibu
L3 : teraba massa keras, terfixir
L4 : divergen
His : 3-4 x/40’/K
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+) normal BJA : 140-150x/menit
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-) VT
: Ø lengkap
Ketuban (+) dipecahkan, sisa jernih
Teraba kepala UUK depan H III-IV

Diagnosis :
G2P2A0H2 parturien preterm 36-37 minggu kala II (janin ke-3 – kehamilan triplet)
Janin hidup gemelli intra uterin letkep UUK depan H III-IV

Rencana :
Pimpin Persalinan

21.25 WIB  lahir bayi III : ♂, BB 1400 gr, PB 46 cm, A/S 6/7 tali
pusat diklem dan dipotong
21.55 WIB  Lahir plasenta lengkap 1 buah, ukuran 28 x 21 x 3,5 cm berat sekitar 900
gram
Diagnosis :
P3A0H5 post partus prematurus spontan dengan janin triplet
Anak dan ibu dalam perawatan
Rencana :
- awasi kala IV
- kontrol KU, VS, PPV
- IVFD RL 20 tpm drip oksitosin : metergin = 1:1 amp
- amoxicillin 3 x 500 mg
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Rawat KR

Laboratorium post partum

Parameter Hasil Nilai normal

Hemoglobin 8.2 gr/dL 9,5-15

Leucocyte 5.500/mm3 5.900 – 16.000

Hematocrit 24 % 28 – 40

Trombosit 156.000/mm3 146.000 – 429.000


Gambar 1. Plasenta

Gambar 2. Bayi 1 (kiri), bayi 2 (tengah), bayi 3 (kanan)


A. B.

Gambar 3. A.Grafik klasifikasi bayi baru lahir berdasarkan berat lahir dan masa
kehamilan
B. Grafik hubungan skor total dan masa kehamilan
BAB III
KEHAMILAN MULTIFETUS

Kehamilan multipel telah menjadi salah satu kondisi risiko tinggi yang paling
umum dihadapi oleh dokter kandungan. Pada tahun 2003, ada 136.328 kehamilan
multipel ditemukan di Amerika Serikat (meningkat 80%), jumlah tertinggi yang
pernah tercatat. Saat ini kehamilan kembar mencakup 3% dari semua kelahiran.
Meskipun hal ini terjadi pada hanya sebagian kecil dari semua kelahiran hidup,
kehamilan multipel bertanggung jawab secara disproporsional dari morbiditas dan
mortalitas perinatal. (Newman & Rittenberg, 2008)

Di antara semua kehamilan kembar yang lahir, terdapat peningkatan risiko


jangka panjang kejadian cacat mental dan fisik. Kehamilan kembar menghasilkan
anak dengan cerebral palsy 12 kali lebih sering daripada kelahiran tunggal. Walaupun
banyak kasus cerebral palsy terkait dengan prematuritas ekstrim, namun tidak semua
merupakan akibat dari kelahiran prematur. Bahkan ketika sesuai dengan usia
kehamilan aterm dan lahir dengan berat > 2.500 g, bayi kembar memiliki risiko
hampir tiga kali lipat lebih besar terkena cerebral palsy daripada kehamilan tunggal.
Kehamilan kembar juga mengalami peningkatan risiko yang signifikan akan
kejadian pertumbuhan janin terhambat / Intrauterine growth restriction (IUGR), yang
dapat memperparah masalah yang terkait dengan prematuritas. Pertumbuhan janin
terhambat, bayi prematur, terlepas dari pluralitas, mengalami morbiditas dan
mortalitas yang lebih besar daripada bayi normal yang tumbuh dengan usia kehamilan
yang sama. Kembar dan kembar tiga dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR)
telah terbukti mengalami kelainan perkembangan saraf lebih banyak dibandingkan
dengan bayi tunggal dengan usia kehamilan yang sama. Bayi kembar beresiko untuk
mengalami berbagai komplikasi lain yang berkontribusi dalam munculnya luaran yang
merugikan (Cunningham, et al., 2014) (Elliott., 2005).

10
10
A. Epidemiologi dan zigositas.

Sejak 1980 hingga 2009 angka kelahiran kembar ganda telah mengalami
peningkatan 76% dari 18,9 menjadi 32,1 per 1000 kelahiran hidup di Amerika
serikat. Peningkatan ini terjadi akibat terapi kesuburan dan penerapan teknik
reproduksi berbantu (TRB) serta meningkatnya jumlah wanita yang melahirkan
pada usia lebih dari 35 tahun (Decherney & Nathan, 2007).

Di Inggris dan Wales, kejadian kelahiran kembar ganda antara tahun


1971 – 1975 adalah 9,9 per 1000 kelahiran hidup, pada tahun 2001 – 2002
meningkat menjadi 14,6. Di Singapura, kelahiran kembar ganda meningkat dari
5,82 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1980 menjadi 9,46 per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 2001. Di Taiwan, kejadian kehamilan kembar tiga (triplet)
meningkat dari 47 per sejuta kelahiran (1975) menjadi 453 per sejuta kelahiran
(1990). Di Amerika serikat, kejadian kelahiran kembar triplet mencapai angka
143,4 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kelahiran kembar empat
(kuadriplet) atau lebih adalah 9,89 per
100.000 kelahiran hidup (Krisnadi, et al., 2010).

Teknologi reproduksi berbantu terbukti berkontribusi besar terhadap kejadian


kehamilan multifetus. Laporan dari Society of Assisted Reproductive Technologies
(SART) tahun 2002 menunjukkan bahwa pada kehamilan yang menggunakan
teknologi reproduksi berbantu di Amerika Serikat, didapatkan 50.9% adalah
kehamilan tunggal, 37.8% adalah kembar dan 6.9% adalah triplet atau lebih, dan
4.4% tidak diketahui (Newman & Rittenberg, 2008). Sebanyak 18% dari
kehamilan multifetus di Amerika Serikat terjadi karena teknologi reproduksi
berbantu yang lebih sering digunakan oleh populasi wanita Kaukasia dengan
usia lebih tua, lebih sejahtera, dan berpendidikan lebih tinggi. Sebanyak 43%
kehamilan triplet terjadi sebagai hasil dari prosedur teknologi reproduksi berbantu,
dan
38% terjadi dari induksi ovulasi, sehingga hanya 19% yang dihasilkan dari
konsepsi spontan. Sebagai perbandingan, di Taiwan, selama kurun waktu tahun
1983 – 1995, hanya 12% dari 34 kehamilan triplet yang merupakan hasil konsepsi
alami, sedangkan 88% sisanya merupakan hasil induksi
ovulasi (termasuk fertilasi in vitro). Di Jepang sekitar 73,2% kehamilan multifetus
lebih dari dua fetus dihasilkan oleh fertilisasi in vitro, 22,1% oleh induksi ovulasi,
dan hanya 4,3% oleh kehamilan spontan. Di Indonesia, dari sekitar 140 kasus
teknologi reproduksi berbantu yang ditangani di Bandung, sebanyak 30%
menghasilkan kehamilan multifetus (Krisnadi, et al., 2010).
1. Kembar monozigot / monozygotic (MZ)
Kembar monozigot / monozygotic (MZ) adalah kehamilan di mana kedua
janin berasal dari ovum tunggal yang dibuahi dan secara genetik identik.
Kembar MZ adalah sebuah peristiwa acak, tidak dipengaruhi oleh faktor
seperti usia, ras, paritas, atau faktor keturunan. Insidensi bayi kembar MZ
adalah sebesar 3-4 per 1.000 kelahiran hidup pada hampir semua populasi.
Kembar monozigotik merupakan hasil dari pembelahan ovum yang telah
dibuahi pada bermacam-macam fase pertumbuhan. Penyebab yang pasti
belum diketahui, tetapi mungkin disebabkan karena kurangnya oksigen dan
nutrisi sehingga akan terjadi terlambatnya implantasi. Kematian dan kesakitan
perinatal hamil kembar monozigotik tergantung dari variasi plasentasinya yang
terjadi pada saat pembelahan ovum yang telah dibuahi. (Syamsuri, 2004)

Gambar 1. Kemungkinan luaran pada kembar monozigot (Cunningham, et al.,


2014).
2. Kembar dizigot / dizygotic (DZ)
Insidensi kembar dizigotik / dizygotic (DZ), di sisi lain, sangat bervariasi
dan merupakan sebagian besar kejadian dari kehamilan multipel. DZ, atau
kembar fraternal, merupakan hasil dari beberapa ovulasi dengan pembuahan
oleh sperma yang terpisah. Kembar dizigotik bisa berjenis kelamin sama atau
berbeda. Sekitar 75 % kembar dizigotik berjenis kelamin sama, 45% berjenis
kelamin sama laki-laki dan 30% berjenis kelamin sama wanita (Decherney &
Nathan, 2007).
Prinsip utama terjadinya kehamilan multifetus dizigotik adalah tersedianya
dua buah ovum yang dibuahi. Kejadian ini terjadi bila terdapat lebih dari satu
ovulasi dalam satu siklus menstruasi. Hal ini dapat berlangsung secara alamiah
atau artifisial. Kembar dizigotik terjadi karena adanya ovulasi berulang akibat
rangsangan FSH dan LH “surge”. Gonadotropin eksogen, klomifen sitrat, dan
obat-obat serupa yang dipakai untuk pengobatan infertilitas akan merangsang
pengeluaran FSH, sehingga akan terjadi ovulasi berulang yang berakibat
terjadinya kehamilan kembar. Wanita dengan hamil kembar mempunyai kadar
FSH dan LH yang lebih tinggi daripada wanita dengan hamil tunggal.
(Krisnadi, et al., 2010)
Beberapa faktor lain yang diketahui mempengaruhi kejadian
kembar DZ, termasuk riwayat keturunan kembar baik pribadi atau keluarga.
Jika seorang wanita telah pernah mengalami satu kehamilan kembar DZ,
kesempatannya mengalami kehamilan kembar DZ kedua meningkat dua kali
lipat, dan kerabat tingkat pertama dengan hamil kembar juga akan memiliki
peningkatan kesempatan juga (Newman & Rittenberg, 2008). Sebagian besar
dari peningkatan kejadian kembar DZ adalah akibar dari penggunaan terapi
induksi ovulasi dan tehnologi reproduksi berbantu. Wanita yang menggunakan
tehnik ini harus diberikan penjelasan mengenai kemungkinan hamil kembar dan
segala resiko/komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan tersebut.
Jumlah paritas yang tinggi, index massa tubuh yang besar dan penggunaan
kontrasepsi hormonal yang terputus tiba-tiba juga dihubungkan dengan
peningkatan kejadian kehamilan kembar DZ (Newman & Rittenberg, 2008).
B. Plasentasi, Zigositas, Korionisitas dan Amniositas
Penentuan plasentasi, zigositas, korionitas dan amniositas merupakan hal
yang penting untuk manajemen kehamilan multifetus. Penentuan zigositas
membantu untuk memprediksi resiko perinatal, khususnya twin to twin transfusion
syndrome. Kehamilan monokorionik- amnionik mempunyai angka kematian
tertinggi yakni 50% diikuti monokorionik-diamnionik 26% dan dikarionik
diamnionik 9%. Peningkatan mortalitas fetus pada monokorionik terutama
disebabkan hubungan vaskuler pada plasenta yang menyebabkan twin to twin
transfusion syndrome (Taylor & Fisk, 2004). Kehamilan monoamnionik
meningkatkan risiko prematuritas, kematian janin, dan kerusakan neurologis
sekunder terhadap twin to twin tranfusion syndrome. Selain korionisitas dan
amniositas, zigositas juga penting, makin banyak jumlah fetus makin tinggi risiko
morbiditas dan mortalitas. (Krisnadi, et al., 2010)
Plasentasi dari kembar DZ selalu diamniotik dikorionik. Terbentuk 2 unit
plasenta yang masing-masing memiliki amnion dan korion. Akibatnya membran
yang memisahkan bayi kembar DZ selalu terdiri dari 4 lapisan yang terbentuk dari
amnion dan korion dari masing-masing bayi. Plasenta itu sendiri dapat terpisah
ataupun bersatu antara kedua bayi tersebut namun selaput yang melapisi selalu
terdiri dari 4 lapisan.
Pada bayi kembar MZ, plasentasi ditentukan pada saat pembelahan kedua
janin terjadi. Jika pembelahan zigot terjadi dalam 3 hari pertama, akan terbentuk 2
plasenta yang lengkap dan selaput ketuban terdiri dari 2 lapisan amnion dan 2
lapisan korion, seperti yang terdapat pada bayi kembar DZ. Jika pembelahan
embrio terjadi antara hari ke 4 dan 8, maka plasentasi dapat terdiri dari 1 lapis
korion dan 2 lapis amnion. Sebagai akibatnya maka selaput akan tipis dan rapuh
karena hanya terdiri dari 2 lapisan selaput amnion tanpa penyatuan selaput korion.
Plasentasi ini dikenal sebagai diamnionik monokorionik. Amnion mulai
berdiferensiasi sejak hari ke 8, dan jika pembelahan embrio terjadi pada hari ke 8
hingga
13, kedua janin akan berbagi 1 buah amnion dan 1 buah korion yang disebut
plasentasi monokorion monoamnion. Kondisi ini, dimana tidak terdapat membran
yang membatasi kedua janin, memungkinkan terjadinya lilitan tali pusat yang letal.
Pembelahan embrio yang terjadi setelah hari ke
13 juga akan menghasilkan plasentasi monokorion monoamnion namun dengan
kemungkinan perlengketan antara kedua tubuh bayi yang akan mengakibatkan
terjadinya kembar siam (conjoint twin) (Newman & Rittenberg, 2008) .

Gambar 2. Mekanisme kembar monozigot.


A. Pada hari 0 – 4 hari paska fertilisasi, hasil konsepsi membelah menjadi dua
menghasilkan 2 lapis amnion dan 2 lapis korion (dikorionik diamnionik).
Plasenta dapat terpisah atau bersatu.
B. Pembelahan antara hari 4 – 8 menghasilkan blastokis dengan 2 embrio yang
terpisah. Tiap embrio memiliki lapisan amnion sendiri dengan lapisan khorion
bersama (monochorionic, diamnionic).
C. Pembelahan antara hari 8 – 12 menghasilkan 2 embrio dengan amnion dan
khorion bersama (monochorionic, monoamnionic).
D. Terdapat beberapa teori mengenai kembar siam (conjoint twin) antara lain
kembar siam adalah pembelahan yang tidak sempurna dari 1
embrio menjadi 2. Teori lain mengatakan hal ini karena adanya
persatuan 2 embrio monozigot satu sama lain. (Cunningham, et al.,
2014)

Gambar 3.Janin kembar dikorionik diamnionik pada usia kehamikan 6 minggu.


Panah kuning menunjukkan pembagian korion yang tebal. Panah biru
menunjukkan yolc sac (Cunningham, et al., 2014)

Gambar 4. Janin kembar monokorionik diamnionik pada usia kehamikan 8


minggu. Panah biru menunjukkan selaput tipis amnion mengelilingi tiap embrio
(Cunningham, et al., 2014)
Diantara kembar MZ, 18% - 36% adalah diamniotik dikorionik, 60% -
70% adalah diamnionik monokorionik dan hanya sekitar 1% merupakan
monokorion monoamnion. Kembar diamniotik dikorionik biasanya merupakan
kembar DZ jika memiliki jenis kelamin yang berbeda. Jika selaput tersebut terdiri
dari satu lapisan amnion dan satu korion maka ini merupakan kembar MZ. Jika
selaput tersebut terdiri dari 2 amnion dan 2 korion dan kedua bayi memiliki jenis
kelamin yang sama maka ini dapat merupakan kembar DZ ataupun MZ. Dokter
obstetri masih dapat menentukan zigositas di kamar bersalin pada kurang lebih
50% kasus dengan memperhatikan jenis kelamin bayi dan dengan
mengamati plasenta secara seksama. Pada kasus dimana hal ini masih sulit untuk
ditentukan maka diagnosis dapat dibuat dengan pemeriksaan darah atau antigen
HLA ataupun analisis DNA. (Newman & Rittenberg, 2008)

Plasenta tunggal secara umum merupakan karakteristik dari


kehamilan monozigotik monokorionik. Apabila ditemukan plasenta tunggal pada
kehamilan dikorionik, maka plasenta tersebut berasal dari penyatuan dua lempeng
plasenta. Bila terdapat dua plasenta, sebagian besar berasal dari kehamilan kembar
dizigotik, tetapi ada juga yang berasal dari kehamilan monozigotik yang
mengalami pembelahan sangat awal sebelum proses implantasi. Pemeriksaan
jumlah dan struktur membran serta lempeng plasenta sangat diperlukan untuk
menentukan zigositas secara akurat. Hal ini juga berlaku untuk triplet dan jumlah
plasenta yang lebih banyak. Pada triplet atau lebih, penyatuan masa plasenta
lebih sering terjadi, terlepas dari zigositas, karena terbatasnya ruang di dalam
uterus. Keunikan plasentasi pada kehamilan multifetus adalah tingginya prevalensi
insersi marginal dan velamentosa dari satu atau lebih tali pusat. Kejadian ini
berkaitan dengan kelahiran prematur dan BBLR. Sebagian besar plasenta
monokorionik menunjukkan anastomosis antara arteri dan vena pada sisi fetus.
Anastomosis ini dapat terjadi berupa arteri-arteri, arteri- vena, vena-vena.
Anastomosis arteri-arteri dan vena-vena jarang terjadi pada plasentasi dikorionik.
Ketidakseimbangan hemodinamik terjadi bila terdapat aliran darah satu arah dari
satu fetus ke fetus yang lain. (Krisnadi, et al., 2010)

17
17
Pada pemeriksaan klinik plasenta saat persalinan terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu (Decherney & Nathan, 2007):
1. Struktur membrana fetus
2. Kesatuan atau pemisahan masa plasenta
3. Tempat insersi tali pusat
4. Anastomosis pembuluh pada plasenta monokorionik

Secara klinis, tipe korion memegang peranan paling penting. Diikuti oleh
anastomosis vaskuler pada plasenta monokorionik, pemeriksaan mikroskopik
plasenta dan tempat insersi tali pusat. Pemeriksaan rutin plasenta harus dilakukan
karena (Norwitz, et al., 2005):
1. Korionisitas tidak selalu dapat dibedakan secara tepat melalui pemeriksaan
USG prenatal. Hal ini berkaitan dengan kelainan yang muncul pada
kehamilan.
2. Bila plasentasi terbukti monokorionik dengan pemeriksaan patologi, maka bayi
kembar tersebut ialah monozigotik.
3. Penjelasan untuk perbedaan pertumbuhan, kematian fetus, cedera neurologis,
kejadian inflamasi fetus / korioamnionitis tergantung pada korionitas.

C. Faktor resiko
Banyak faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya kehamilan
kembar, diantaranya :

1. Ras

Frekuensi kelahiran janin multipel bervariasi secara bermakna pada


berbagai kelompok etnik dan ras. Dibeberapa tempat di Afrika, frekuensi
kehamilan kembar sangat tinggi. Knox dan Morley (1960), dalam sebuah
survei disalah satu komunitas pedesaan Nigeria, mendapatkan bahwa
kehamilan kembar terjadi pada satu di antara setiap 20 kelahiran.
Perbedaan yang mencolok dalam kehamilan kembar ini mungkin
disebabkan oleh variasi rasial kadar follicle
stimulating hormone yang menyebabkan ovulasi multiple (Cunningham, et al.,
2014).

Tabel 1. Angka kehamilan kembar per 1000 kelahiran berdasarkan


zigositas (Cunningham, et al., 2014)

2. Keturunan

Faktor keturunan dari ibu secara demografi lebih bermakna daripada ayah.
Pada kasus kembar dizigotik, dilaporkan peran faktor keturunan dari pihak ibu
sebesar 1 : 58 kelahiran, sedangkan dari pihak ayah sebesar 1 : 116 kelahiran.
Penelitian mengenai peran genetika belum banyak dilakukan, sehingga
sampai saat ini dugaan ke arah faktor keturunan karena peran genetika belum
jelas (Cunningham, et al.,
2014).

3. Usia ibu dan paritas

Kejadian kehamilan multifetus meningkat sesuai dengan peningkatan usia


ibu dan mencapai puncaknya pada usia 37 tahun, kemudian menurun secara
tajam. Hal ini diduga berkaitan dengan faktor hormonal, yaitu kadar follicel
stimulating hormone (FSH) berkurang karena terjadi deplesi folikel. Penelitian
di Swedia dan Nigeria, melaporkan bahwa semakin tinggi paritas akan semakin
tinggi kemungkinan kehamilan multifetus. Di Swedia, kehamilan multifetus
ganda pada kehamilan anak pertama terjadi 1,3 % dan pada anak
keempat 2,7%. Di Nigeria, 1:50 pada kehamilan pertama, meningkat
menjadi 1 : 15 pada kehamilan ke-6 (Cunningham, et al., 2014).

4. Nutrisi

Adanya gradien tertentu dalam angka kehamilan kembar yang berkaitan


dengan status gizi seperti tercermin oleh ukuran tubuh ibu. Wanita yang lebih
tinggi dan lebih berat memiliki angka kehamilan kembar 25 sampai 30 persen
lebih tinggi daripada wanita bertubuh pendek yang kurang gizi. Kembar
dizigotik lebih sering dijumpai pada wanita tinggi besar daripada wanita
bertubuh kecil. Dalam sebuah uji klinik acak tentang suplementasi asam folat
perikonsepsi, mendapatkan bahwa wanita yang mendapatkan suplementasi asam
folat mengalami peningkatan insiden kehamilan multifetus (Cunningham, et al.,
2014).

5. Pengobatan infertilitas

Induksi ovulasi dengan FSH dan korionik gonadotropin atau klomifen


sitrat dapat meningkatkan kejadian multifetus. Schenker melaporkan bahwa
peningkatan fertiltas akibat teknologi reproduksi berbantu 16 – 40 % dan 75
% di antaranya merupakan kehamilan multifetus (Cunningham, et al., 2014).

6. Gonadotropin Hipofisis

Faktor umum yang mengaitkan ras, usia, berat, dan kesuburan dengan
gestasi multipel mungkin adalah kadar follicle stimulating hormone. Teori ini
didukung oleh kenyataan bahwa terjadinya peningkatan fekundasi dan angka
kehamilan kembar dizigotik pada wanita yang hamil dalam 1 bulan setelah
penghentian kontrasepsi oral, tetapi tidak dalam bulan – bulan berikutnya. Hal
ini mungkin disebabkan oleh pelepasan mendadak gonadotropin hipofisis dalam
jumlah yang lebih besar daripada biasanya selama daur spontan pertama setelah
penghentian kontrasepsi (Cunningham, et al., 2014).

20
20
D. Diagnosis.

Diagnosis dini kehamilan multifetus dapat mengurangi komplikasi yang


menyertainya sehingga menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
Perkembangan alat penunjang diganostik terutama ultrasonografi memungkinkan
deteksi zigositas, korionisitas, amnionisitas, plasentasi, presentasi fetus serta
komplikasi kehamilan multifetus diketahui sejak dini.

1. Anamnesis

Petunjuk awal anamnesis untuk mencari kehamilan multifetus ialah


riwayat kembar dalam keluarga, usia ibu, paritas, besarnya kehamilan dan
riwayat kehamilan kembar sebelumnya. Perlu diketahui konsumsi obat-obatan
yang dapat merangsang ovulasi seperti klomifen sitrat atau gonadotropin serta
kehamilan yang dihasilkan melalui teknologi reproduksi berbantu (Saifuddin,
2009).

2. Pemeriksaan klinis

Tinggi fundus uteri kehamilan multifetus pada trimester dua kehamilan


lebih tinggi dari ukuran normal pada hamil tunggal pada usia kehamilan yang
sama. Pada usia kehamilan antara 20-30 minggu fundus uteri dapat lebih 5
cm dibanding kehamilan tunggal pada usia yang sama. Hal ini yang perlu
dipikirkan jika tinggi fundus uteri lebih tinggi dari usia gestasinya adalah
elevasi uterus akibat peregangan kandung kencing, riwayat menstruasi yang
tidak akurat, polihidramnion, mola hidatidosa, mioma uteri, masa adnekas,
makrosomia dan kelainan fetus (Cunningham, et al., 2014). Pada palpasi uterus
kemungkinan kehamilan kembar dapat ditemukan jika teraba lebih dari dua
bagian besar fetus dan teraba 2 ballotemen atau lebih. Sebelum trimester tiga
pemeriksaan ini sulit dilakukan, bahkan hingga kehamilan lanjut pun mungkin
masih terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi kehamilan multifetus terutama
bila salah satu fetus berada diatas yang lain, obesitas ibu dan
polihidramnion (Krisnadi, et al., 2010). Denyut jantung fetus dapat dideteksi
dengan menggunakan doppler, pada akhir
trisemester pertama. Pada kehamilan multifetus dapat diidentifikasi dua denyut
jantung fetus yang frekuensinya perbedaan 10 atau lebih. Pemeriksaan yang
sama dapat dilakukan dengan fetoskop (laenec) pada usia kehamilan 18-20
minggu (Saifuddin, 2009).

3. Pemeriksaan penunjang a.
Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ultrasonografi jumlah kantung gestasi dapat
ditentukan sejak dini. Pada pemeriksaan, masing – masing kepala fetus
harus dilihat pada dua bidang tegak lurus sehingga tidak salah mengenali
potongan melintang tubuh fetus sebagai kepala fetus kedua. Sebaliknya, dua
kepala fetus atau dua abdomen dapat dilihat pada bidang yang sama.
Pemeriksaan ultrasonografi harus dapat mendiagnosa kehamilan multifetus,
walaupun penentuan jumlah dan posisi kehamilan tiga atau lebih fetus lebih
sulit (Cunningham, et al.,
2014). Penentuan dini korionitas dan amnionitas pada kehamilan multifetus
menjadi parameter dasar pemeriksaan perinatal modern. Tanpa mengetahui
parameter dasar tersebut akan sulit melakukan penatalaksanaan kehamilan
multifetus yang baik.
Langkah-langkah pemeriksaan ultrasonografi yang harus dilakukan pada
trisemseter pertama untuk menentukan korionisitas dan amniositas adalah
(Morin & Lim, 2011):
1) Menghitung jumlah kantong korionik
Kantong korionik terlihat menempel pada satu sisi garis tengah
rongga dalam dua lapisan desidua tebal. Kantung terlihat sebagai struktur
sonolusen bulat dibatasi oleh cincin ekogenik yang menunjukkan korion.
Ukurannya bervariasi dengan diameter 2-5 mm, dan dapat dideteksi sejak
usia kehamilan 4-5 minggu. Dengan melihat jumlah kantung korionik,
dapat ditentukan apakah kehamilan tersebut dikorionik, trikorionik atau
lebih.
2) Menghitung jumlah embrio dan jumlah jantung yang berdenyut.
Sekitar minggu ke 5-6 kehamilan, kantung korionik telah cukup besar,
embrio dan yolk sac sudah dapat terlihat. Menetapkan
jumlah fetus berdasarkan jumlah kantong korionik dan yolk sac dapat
mengakibatkan kerancuan sehingga lebih baik menunggu hingga denyut
jantung fetus dapat teridentifikasi (setelah minggu ke-6).
3) Penilaian kantung korionik dan amnionik.
Untuk menentukan secara tepat jumlah amnion pada kehamilan
monokorionik sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulrasonografi pada usia
kehamilan 8 minggu. Pada saat tersebut, amnion dan rongga amnionik
telah jelas terpisah dari badan fetus. Keadaan dikorionik- diamnionik,
akan terlihat satu fetus pada masing-masing kantung. Korion yang
berdekatan dan terdapat sel desidua diantaranya akan membentuk struktur
seperti baji yang disebut sebagai lamda sign, delta sign atau twin-peak
sign.

Gambar 5a dan 5b (atas) Gambaran USG ‘’T sign’’ monokorionik


diamnionik pada usia kehamilan 30 minggu (Cunningham, et al.,
2014).

Gambar 6a dan 6b (bawah) Gambaran USG ‘’Peak Sign’’ atau


‘’Lamda Sign’’ pada dikorionik-diamnionik pada usia kehamilan 24
minggu (Cunningham, et al., 2014).
b. Pemeriksaan Radiografi
Pemeriksaan radiografi pada abdomen ibu dapat dilakukan jika jumlah
fetus pada kehamilan tidak dapat dipastikan, akan tetapi hasil pemeriksaan
radiografi tidak akurat pada keadaan berikut (Cunningham, et al., 2014):
1) Sebelum usia kehamilan 18 minggu ketika rangka fetus belum
terlihat radioopak secara memadai
2) Kualitas film yang buruk atau posisi ibu yang salah
3) Obesitas
4) Polihidramnion
5) Fetus bergerak saat pengambilan gambar.

c. Tes Biokimia
Pada saat ini tidak ada tes biokimia yang akurat untuk mendiagnosa
kehamilan multifetus. Jumlah hormon korionik gonadotropin pada plasma
dan urin biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan tunggal
tetapi tidak signifikan sebagai diagnosis pasti kehamilan multifetus.
Kehamilan kembar sering terdiagnosis sewaktu dilakukan pemeriksaan
peningkatan kadar alfa-fetoprotein serum ibu, walaupun pemeriksaan ini saja
tidak bersifat diagnostik. Saat ini belum ada uji biokimiawi yang dalam
setiap kasus dapat secara handal membedakan antara adanya satu dan lebih
dari satu janin (Krisnadi, et al., 2010).

E. Adaptasi ibu pada kehamilan.

Secara umum, derajat perubahan fisiologis ibu lebih besar pada kehamilan
dengan janin multifetus dibandingkan dengan janin tunggal. Sejak trimester
pertama, wanita dengan gestasi multifetus sering mengalami mual dan
muntah yang jauh melebihi yang biasa terjadi pada kehamilan tunggal, atas alasan
– alasan belum jelas. Peningkatan normal volume darah ibu lebih besar pada
kehamilan kembar. Sementara rata- rata peningkatan pada akhir kehamilan
adalah sekitar 40 % sampai 50 %
pada janin tunggal, pada kembar terjadi peningkatan sekitar 50 % - 60 % yang
setara dengan penambahan jumlah darah ibu sebesar sekitar 500 ml. Masa sel
darah merah juga meningkat, tetapi secara propersional lebih kecil pada
kehamilan kembar daripada pada kehamilan tunggal sehingga terjadi anemia
fisiologis yang lebih berat. Wanita dengan janin kembar memperlihatkan rata-rata
kosentrasi hemoglobin 10 gram/dl sejak usia kehamilan 20 minggu. Sangat
meningkatnya volume darah ibu dan meningkatnya kebutuhan akan zat besi dan
asam folat yang ditimbulkan oleh janin kedua meningkatkan risiko terjadinya
anemia ibu hamil (Cunningham, et al., 2014).

Pada kehamilan multifetus terjadi peningkatan curah jantung dibandingkan


dengan kehamilan tunggal, tetapi ukuran – ukuran ventrikel diastol akhir tetap.
Selama trisemester ketiga, curah jantung meningkat akibat meningkatnya frekuensi
denyut jantung dan bertambahnya isi sekuncup, sehingga meningkatkan kontraksi
jantung. Wanita yang mengandung janin kembar memperlihatkan pola perubahan
tekanan darah arteri yang khas dibandingkan dengan wanita yang mengandung
janin tunggal, tekanan darah diastolik mereka lebih rendah pada gestasi 20 minggu
dan 74 % memiliki tekanan diastol kurang dari 80 mmHg dibandingkan dengan 66
% pada janin tunggal. Keadaan ini diikuit oleh peningkatan tekanan diastol yang
lebih besar antara pertengahan kehamilan sampai pelahiran, dan 95 % wanita
dengan janin kembar mengalami peningkatan 15 mmHg atau lebih dibandingkan
dengan 54 % wanita dengan janin tunggal (Cunningham, et al., 2014).

Pada kehamilan multifetus yang dipersulit oleh hidramnion, fungsi ginjal


ibu dapat sangat terganggu. Quigley dan Cruikshank (1977) melaporkan dua
kehamilan dengan janin kembar plus hidramnio akut berat yang menyebabkan
terjadinya Azotemia. Keluaran urin dan kadar kreatinin plasma ibu segera kembali
normal setelah melahirkan. Apabila terjadi hidramnion berat, dapat dilakukan
amniosintesis terapeutik untuk mengurangi penderitaan ibu dan diharapkan
memungkinkan dilanjutkannya kehamilan. Berbagai stress kehamilan dan
kemungkinan penyulit serius
pada ibu hampir selalu lebih besar pada janin multifetus daripada janin tunggal.
Hal ini perlu diperhitungkanm terutama saat memberi penyuluhan kepada wanita
yang kesehatannya terganggu atau pada kehamilan multifetus yang diketahui sejak
dini (Cunningham, et al., 2014).

F. Komplikasi maternal.
Wanita dengan kehamilan kembar lebih banyak memerlukan perawatan
selama antenatal karena meningkatnya frekwensi dan derajat keparahan komplikasi
terkait kehamilannya.

1. Resiko Kardiovaskular.
Salah satu perubahan mayor yang berhubungan dengan kehamilan
kembar adalah meningkatnya jumlah volume plasma darah dan cardiac output
yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Peningkatan
volume plasma diakibatkan adaptasi ibu dalam memenuhi pasokan darah pada
bayi kembar.
2. Abnormalitas hematologi.
Peningkatan volume sel darah merah tidak dapat mengimbangi
peningkatan volume plasma darah baik pada kehamiln tunggal maupun kembar.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hemodilusi fisiologis. Kadar hemoglobin rata-
rata pada wanita hamil adalah 10g/dL pada usia kehamilan 20 minggu.
Hemoglobin dan hematokrit menurun pada kehamilan trimester satu , mencapai
titik terendah pada trimester kedua dan perlahan meningkat pada trimester
ketiga. Kadar hemoglobin dibawah 11g/dL pada kehamilan trimester satu dan
tiga dengan disertai kadar feritin serum dibawah 12 mg/dL menunjukkan
adanya anemia defisiensi zat besi yang mana terjadi pada 21 -36% kehamilan
kembar. Angka ini meningkat dua hingga 3 kali lipat daripada kehamilan
tunggal. Hal ini harus diatasi dengan konsumsi protein hewani yang kaya zat
besi dan suplementasi 60 mg elemen besi dan 1 mg asam folat setiap hari jika
ibu mengandung kekurangan zat ini (Norwitz, et al., 2005).
3. Kelainan metabolik.
Wanita dengan kehamilan kembar memiliki kadar glukosa puasa dan
postprandial yang lebih rendah, respon insulin yang lebih tinggi pada saat
makan dan kadar B-hydroxybutyrate yang lebih tinggi dibandingkan kehamilan
tunggal. Kehamilan kembar memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya diabetes melitus akibat peningkatan hormon plasenta karena massa
plasenta yang lebih besar (Norwitz, et al., 2005).
4. Hipertensi yang diinduksi kehamilan atau preeklampsia.
Hipertensi yang diinduksi atau preeklampsia lebih sering terjadi pada
kehamilan kembar. Peningkatan frekwensi dilaporkan terjadi dari
7% pada kehamilan tunggal menjadi 14% pada kehamilan kembar ganda, 21%
pada triplet dan 40% pada kuadruplet. Hipertensi yang diinduksi kehamilan
atau preeklampsia biasanya timbul lebih awal, lebih berat dan lebih sering pada
kehamilan kembar (Newman & Rittenberg,
2008).
5. Solusio plasenta / Placental Abruption.
Resiko kejadian perdarahan antepartum juga meningkat pada kehamilan
kembar dimana meningkat sebesar kurang lebih 3 kali lipat walaupun dengan
tekanan darah ibu yang terkontrol. Placental abruption lebih sering terjadi pada
kehamilan trimester tiga dan juga meningkat pada persalinan normal setelah
kelahiran anak pertama. (Newman & Rittenberg, 2008)
6. Hidramnion.
Hidramnion terjadi pada 2-5% kehamilan kembar ganda dan sekitar
8-10% kehamilan ganda terjadi pada semua kasus hidramnion. Hidaramnion
dapat berkembang sebagai konsekuensi dari TTTS dengan salah satu bayi yang
mengalami restriksi pertumbuhan dan oligohidramnion. (Newman & Rittenberg,
2008)
7. Infeksi saluran kemih.
Wanita dengan kehamilan kembar mengalami peningkatan resiko
terjadinya infeksi saluran kemih sebesar 1,4 kali lipat selama kehamilan. Infeksi
ini biasanya terjadi pada saluran kemih bagian bawah karena kejadian
pyelonefritis tidak meningkat signifikan. Komplikasi ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan urine yang statis akibat besarnya uterus yang
sedang hamil. (Newman & Rittenberg, 2008)
8. Perdarahan paska salin.
Peregangan yang berlebih dari rahim akibat kehamilan kembar dapat
menjadi predisposisi terjadinya perdarahan paska salin akibat atonia uteri. Dan
wanita dengan kehamilan kembar juga memiliki peningkatan resiko terjadinya
retensi jaringan plasenta, trauma mekanis pada saluran genital, dan
peningkatan resiko terjadinya efek samping dari medikasi seperti
magnesium sulfat yang biasa digunakan untuk mengatasi preekampsia dan
ancaman persalinan prematur. (Newman & Rittenberg, 2008)

G. Komplikasi fetus.
1. Abortus.
Abortus spontan lebih sering terjadi, pada kembar monokorionik lebih sering
dibandingkan kembar dikorionik yakni 18 banding 1, sehingga monozigotik
merupakan salah satu penyumbang terjadinya abortus spontan. Kelainan
kromosom (karena pembagian selama pembelahan yang tidak setara) seperti
pada kejadian abortus spontan umumnya merupakan faktor pendukung
terjadinya abortus spontan (Cunningham, et al., 2014).
2. Prematuritas.
Resiko persalinan prematur meningkat dengan banyaknya jumlah bayi
dalam rahim dan merupakan ancaman terbesar bagi kesehatan bayi baru
lahir. Persalinan prematur dan PPROM berhubungan dengan lebih dari 70%
kasus persalinan prematur. Dibandingkan dengan kehamilan tunggal, resiko
kematian dalam 1 tahun pertama adalah 5 kali lipat lebih besar pada kehamilan
kembar dan 14 kali lipat pada triplet. (Norwitz, et al., 2005)
3. Pertumbuhan janin terhambat (PJT).
PJT umum dijumpai pada kehamilan kembar. Pada trimenster ketiga,
rata-rata perkembangan bayi kembar mulai berbeda dibandingkan pada
kehamilan tunggal. PJT pada kehamilan kembar

28
28
paling baik diprediksi dengan mengukur beberapa parameter biometrik
termasuk lingkar perut.
4. Abnormalitas/malformasi kongenital.
Abnormalitas kongenital terjadi 2 kali lipat lebih sering pada kehamilan
multipel dan lebih sering terjadi pada kehamilan MZ daripada DZ. Mayoritas
kelainan terjadi pada kembar MZ. Abnormalitas kongenital bahkan terjadi
hingga 3 kali lipat pada kehamilan triplet. (Norwitz, et al., 2005). Malformasi
mayor terjadi pada 4% fetus kembar sedangkan malformasi minor 2%.
Peningkatan ini terjadi karena defek struktural kembar monozigotik termasuk
dalam salah satu golongan dibawah ini (Cunningham, et al., 2014) :

a. Cacat akibat proses pembentukan fetus kembar itu sendiri, termasuk kedalam
proses teratogenik, yaitu kembar siam, sirenomelia, defek tabung saraf dan
holoprosensefalus.
b. Cacat akibat twin to twin syndrome. Keadaan ini dapat menyebabkan
berbaliknya aliran darah disertai tidak tumbuhnya sebagian tubuh fetus
(akardia) pada salah satu fetus. Bila salah satu meninggal, faktor
pembekuan terpengaruh dan menyebabkan obstruksi pada fetus hidup
terutama menyerang organ vital sehingga terjadi kerusakan, seperti
mikrosefalus, hidranensefalus, atresia usus dan amputasi ekstremistas.
c. Cacat akibat letak paksa karena keterbatasan ruang, hal ini
menyebabkan kelainan seperti talipes equinovarus, atau dislokasi panggul
kongenital. Kejadian letak paksa juga dapat terjadi pada fetus dizigotik
karena berdesakan.

Gejala hidramnion menjadi petanda kemungkinan terjadinya


malformasi pada salah satu atau kedua kembar. Hidramnion persisten menjadi
tanda yang sangat kuat terjadinya anomali. Sedangkan hidrmanion juga dapat
terjadi pada seperempat kasus kembar yang normal (Cunningham, et al.,
2014).
H. Komplikasi unik pada kehamilan kembar.
1. Vanishing Twin Syndrome.
Hilangnya satu atau lebih janin dapat terjadi pada kehamilan kembar
setiap saat pada kehamilan trimester satu. Kemajuan teknologi ultrasonografi
memungkinkan pemantauan fetus secara visual sejak awal kehamilan.
Dengan kemajuan teknologi ultrasonografi, angka kejadian vanishing twin
didapatkan sekitar 71% dari kehamilan multifetus yang terdeteksi secara
USG sebelum usia kehamilan 10 minggu. Bila kehamilan multifetus terdeteksi
antara usia kehamilan 10-
15 minggu maka didapatkan angka kejadian vanishing twin sekitar 63%.
Menurut Dickey, dari 709 kehamilan multifetus yang mengalami
vanishing twin, didapatkan dari kehamilan ganda sebesar 36 %, dari triplet
sebesar 53%, dan dari kuadriplet sebesar 65%. Pada kasus vanishing twin,
kehamilan kembar yang terdeteksi pada trisemseter awal kehamilan, akan
berakhir dengan kehamilan tunggal. Umumnya, kejadian hilangnya fetus
terjadi sebelum trisemester kedua. Vanishing twin juga sering muncul pada
teknologi reproduksi berbantu. (Newman
& Rittenberg, 2008)

2. Kematian janin dalam rahim.


Pada kehamilan multifetus sering terjadi kematian satu fetus saat usia
kehamilan belum aterm atau fetus layak hidup, sehingga kehamilan harus terus
berlangsung dengan fetus mati. Penyebab tersering adalah discordance twin
dan twin to twin syndrome. Setelah kematian salah satu fetus, risiko
kematian fetus lainnya enam kali lebih sering. Setelah trimester pertama,
kematian fetus terjadi 2-5% dari kehamilan kembar dan sebanyak 10-15% pada
kehamilan triplet. Resiko kematian fetus dalam rahim meningkat 3-4 kali lipat
pada kembar monokorion (Newman
& Rittenberg, 2008). Pada saat lahir, fetus yang meninggal beserta plasenta dan
selaput ketubannya mungkin teridentifikasi tetapi mungkin juga mengalami
kompresi berat sehingga terbentuk fetus paperiseus. Resiko ibu dan prognosis
fetus yang masih hidup tergantung pada usia kehamilan saat kematian salah satu
fetus terjadi, dan lamanya waktu antara kematian tersebut dengan persalinan.
Kematian dini seperti pada

30
30
vanishing twin tampaknya tidak meningkatkan risiko kematian fetus yang masih
hidup secara bermakna. Pada usia kehamilan lanjut, kematian salah satu fetus
akan memicu gangguan koagulasi pada sirkulasi ibu. Pada kondisi ini terjadi
penurunan fibrinogen ibu dan terjadi peningkatan produksi degradasi fibrin, hal
ini mungkin berfungsi menghambat lepasnya tromboplastin dari fetus dan
plasenta yang mati ke dalam sirkulasi ibu sehingga mencegah terjadinya
koagulasi intravaskuler diseminata (Cunningham, et al., 2014).
Jika terjadi kematian fetus, kelanjutan manajemen kehamilan tergantung
pada usia kehamilan, korionisitas, dan keadaan ibu dan janin. Sebagian
besar kasus kehamilan kembar dengan salah satu fetus meninggal adalah
monokorionik. Penelitian pada kasus kematian satu fetus monokorionik
memperlihatkan bahwa terjadi penurunan tekanan aliran darah yang mendadak
pada salah satu fetus hidup setelah kematian fetus kembarnya. Proses
koagulopati setelah meninggalnya salah satu fetus berlangsung > 5 minggu
sejak mulainya kematian. Kematian janin tunggal pada kembar monokorion
adalah indikasi untuk persalinan segera jika kehamilan telah mendekati atau
telah cukup bulan. Jika ini merupakan kehamilan dikorionik, maka tidak
diperlukan intervensi kecuali jika kehamilan telah cukup bulan atau terdapat
indikasi ibu ataupun bayi untuk dilahirkan. (Newman & Rittenberg, 2008)

3. Kembar monoamnionik.
Kembar monoamnionik adalah bila kedua fetus menempati satu kantung
amnion yang sama. Jenis monoamnionik relatif jarang terjadi pada monozigotik
dibandingkan diamnionik, tetapi bila terjadi akan meningkatkan resiko
komplikasi. Kembar monoamnionik adalah kejadian yang langkah, hanya
mencakup kurang dari 1% dari kembar MZ. Namun kembar ini menyebabkan
40% angka kematian bayi yang terutama disebabkan oleh lilitan antar tali
pusat dan oklusi. Kembar monoamnionik juga berada pada faktor resiko
seperti kejadian anomali kongenital, termasuk kembar siam dan TTTS. Operasi
sectio caesaria biasanya direkomendasikan karena kemungkinan terjadinya
fetas distress intra partum akibat lilitan tali pusat. Jika direncanakan akan

31
31
menjalani persalinan spontan, monitoring janin secara kontinyu dianjurkan
sekaligus mempersiapkan kemungkinan dilakukannya sectio caesaria darurat.
(Newman & Rittenberg, 2008)

4. Pertumbuhan kembar diskordan.


Penyebab utama dari diskordan antara lain adalah faktor genetik.
Penyebab lainnya dapat karena faktor plasentasi. Kehamilan multifetus terutama
monozigotik ditandai oleh berat lahir rendah yang disebabkan pertumbuhan
janin terhambat dan persalinan prematur. Secara umum, semakin banyak jumlah
fetus semakin tinggi resiko pertumbuhan janin terhambat dan persalinan
prematur. Pertumbuhan janin terhambat pada kasus dizigotik dapat terjadi
karena perbedaan suplai darah kedua plasenta. Plasenta satu lebih baik
vaskularisasinya dibanding plasenta lainnya, terutama karena faktor vaskular
pada uterus. Pada kedua tipe kembar (monizogotik atau dizigotik) faktor
plasenta, kelainan tali pusat, dan kelainan insersi plasenta juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan fetus. Pada kehamilan monokorionik, kejadian diskordan
lebih sering, sering kali lebih berat dan dapat berhubungan dengan TTTS
(Krisnadi, et al., 2010).
Kembar yang tidak setara atau discordance twin mungkin merupakan
tanda pertumbuhan janin terhambat pada salah satu fetus, dan fetus yang lebih
besar dijadikan acuan. Semakin berat perbedaan semakin buruk prognosisnya.
Pertumbuhan janin terhambat sering terjadi pada akhir trisemester dua atau
awal trisemester tiga, dan bersifat asimetris.
Ultrasonografi sangat bermanfaat dalam mendeteksi pertumbuhan janin
diskordan yang merupakan hal yang unik pada kehamilan kembar. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pada bayi yang lebih kecil akan memiliki
resiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi terutama jika perbedaan berat
badan sangat mencolok (>20% - 25%) (Norwitz, et al., 2005).
Discordance twin dapat ditentukan dengan beberapa cara. Salah satu
metode yang sering digunakan adalah biometri fetus dan pemeriksaan dopler.
Kriteria yang diambil adalah :
1. Perbedaan perkiraan berat badan antar fetus > 20 %
2. Perbedaan panjang abdominal circumference (AC) > 20 mm
3. Perbedaan diameter biparietal ≥ 6 mm
4. Perbedaan panjang femur ≥ 5 mm
5. Perbedaan rasio S/D arteri umbilikus > 15% atau > 0,4

Penilaian profil biofisik dianjurkan apabila terdapat discordance twin


fetus. Discordance twin tidak menjadi indikasi terminasi kehamilan. Indikasi
persalinan adalah usia gestasi yang dianggap cukup untuk hidup dan
tersedianya peralatan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup neonatus
(Cunningham, et al., 2014).

5. Twin-to-Twin Transfusion Syndrome (Chronic Intertwin Transfusion


Syndrome) / TTTS.
TTTS adalah komplikasi yang serius yang dapat terjadi pada kehamilan
kembar dan terkadang dikenal sebagai sindrom transfusi antar kembar kronis
(Chronic Intertwin Transfusion Syndrome), sebuah komplikasi daripada
kembar monokorionik / MZ dimana terjadi lintas arteri vena didalam
plasenta yang tidak dapat dikompensasi. Hubungan vaskuler kasus twin to twin
transfusion memiliki hubungan anastomosis arteriovena dalam jaringan
vilosa (profunda), sedangkan pada kehamilam monokorionik normal
mempunyai anastomosis yang bersifat superfisial. Hubungan superfisial tidak
bermakna klinis karena terdapat banyak anastomosis sehingga alirannya
bersifat dua arah dan tekanan hemodinamiknya tetap seimbang. Pada
anastomosis arteriovena profunda terjadi anastomosis tunggal, darah
mengalir satu arah yaitu dari donor ke resepien (Krisnadi, et al., 2010).
Darah pada Twin to twin transfusion syndrome akan dipompa dari fetus
donor ke fetus resipien. Fetus donor mengalami kondisi anemia dan
pertumbuhannya terganggu, sedangkan fetus resipien mengalami polisitemia
selanjutnya mengalami hidrops fetalis. Neonatus mungkin
mengalami kelebihan cairan (overload) dan gagal jantung. Polisitemia
meningkatkan risiko hiperbilirubinemia berat sampai kern ikterus
Pada sindrom transfusi antar bayi kembar kronis, arteri dari kembar donor
dapat tumbuh terhambat, anemis, hipotensif, dan oligohidramnion. Jika terdapat
sedikit atau tidak ada cairan amnion yang mengelilingi janin yang lebih
kecil, selaput amnion dapat menempel pada janin dan juga terestriksi oleh
dinding uterus. Hal ini dikenal sebagai ” stuck twin”. stuck twin terkadang dapat
mengalami salah identifikasi sebagai monokorion. Arteri kembar donor juga
dapat menyebabkan iskhemia organ yang melibatkan otak, ginjal dan saluran
pencernaan. Vena donor resipien dapat menjadi hipervolemik, hiperviskositas,
hipertensif dan polihidramnionik akibat peningkatan aliran darah pada ginjal.
Polihidramnion, yang mana umum terjadi pada vena resipien juga berkontribusi
terhadap tingginya kejadian persalinan prematur ataupun PPROM. (Norwitz, et
al., 2005).

Gambar 7. Hubungan anastomosis arteri–arteri pada Twin to Twin


Transfusion Syndrome (Cunningham, et al., 2014).

Diagnosis sindrom transfusi antar bayi kembar kronis dapat menjadi


kontroversial. Kriteria diagnosis yang lama terfokus pada pengukuran neonatal
(seperti perbedaan kadar hemoglobin darah sebesar 5 g/dL ataupun selisih berat
badan bayi sebesar 20%). Parameter ini telah mulai ditinggalkan karena dinilai
tidak efisien lagi. Saat ini sindrom transfusi antar bayi kembar kronis
didiagnosis

34
34
menggunakan ultrasonografi dengan kriteria meliputi (Cunningham, et al.,
2014):
a. Monokorion
b. Jenis kelamin yang sama
c. Polihidramnio yang didefinisikan sebagai adanya ukuran kantong vertikal
terbesar > 8 cm pada salah satu bayi kembar dan oligohidramnion yang
didefinisikan sebagai adanya ukuran kantong vertikal < 2 cm pada kembar
yang lain
d. Diskrepansi ukuran tali pusat
e. Disfungsi kardiak pada kembar resipien dengan polihidramnion
f. Ukuran pembuluh darah umbilikus atau velosimetri dopler duktus
venosus yang abnormal.
g. Pertumbuhan diskordan yang signifikan.

Saat teridentifikasi, TTTS biasanya dikategorikan kepada sistem


Quintero staging (Quintero and colleagues, 1999), yaitu (Cunningham, et al.,
2014):
a. Stage I:
Adanya diskordan pada cairan amnion seperti dikemukakan diatas namun
masih terlihat urine didalam vesika urinaria donor secara sonografi.
b. Stage II :
Adanya kriteria dari stage I, namun tidak terlihat urine didalam
vesika urinaria donor secara sonografi.
c. Stage III:
Adanya kriteria dari stage II dan adanya abnormalitas arteri umbilikal,
duktus venosus, dan vena umbilikalis pada pemeriksaan Doppler.
d. Stage IV:
Adanya ascites atau hidrops pada bayi salah satu atau kedua bayi kembar
e. Stage V:
Adanya kematian dari salah satu atau kedua fetus.
Tatalaksana sindrom transfusi antar bayi kembar kronis sesuai dengan
kondisi tiap individu dan tergantung kepada stadium ”Quintero staging” dan
usia kehamilan pada saat terdeteksi.

Gambar 8. Twin to Twin Tranfusion Syndrome (Cunningham, et al., 2014)

Pilihan persalinan tergantung pada maturitas janin dan potensi morbiditas


yang akan dihadapi. Pada usia awal kehamilan, dekompresi dengan
amniosentesis serial dan terapi tokolitik terbukti bermanfaat dalam
memperpanjang usia kehamilan. Dengan perkembangan fetoskopi, oklusi
dengan laser secara langsung pada vaskularisasi plasenta yang abnormal dapat
menjadi pilihan. Pada pasien yang belum akan bersalin, kesejahteraan janin
harus dievaluasi secara rutin dengan profil biofisik dan monitoring detak
jantung janin. Pada semua pilihan manajemen, reduksi cairan dalam jumlah
banyak dengan amniosentesis adalah efektif dan terapi yang minimal invasif
yang mungkin merupakan pilihan terapi setelah mempertimbangkan viabilitas
janin. Untuk pasien yang belum viabel, prognosisnya sangat buruk dan
diperlukan
pertimbangan untuk dilakukan ablasi laser intrauterin pada anastomosis
perdarahan di permukaan plasenta, penjepitan tali pusat dengan fetoskopi
ataupun terminasi kehamilan. (Newman & Rittenberg, 2008)

6. Kembar siam.
Insidensi terjadi pada 1 per 60.000 persalinan. Kembar siam sering terjadi
pada penyatuan bagian-bagian tubuh janin (Cunningham, et al.,
2014) :

a. Ventral
1. Rostral : Omfalofagus, torkofagus, sefalofagus.
2. Kaudal : Isiofagus
3. Lateral : Parafagus diprosopus, parafagus disefalus b.
Dorsal
1. Kraniofagus
2. Rakifagus
3. Pigofagus

Gambar 7. Jenis –jenis Kembar Siam (Cunningham, et al., 2014).

Apabila tubuh fetus mengalami duplikasi sebagian, perlekatan biasanya


terletak lateral. Pemisahan inkomplit lempeng embrionik dapat dimulai pada
salah satu atau kedua kutub dan menghasilkan dua kepala dengan dua, tiga atau
empat ekstremitas, kombinasinya tergantung gangguan pembelahan yang
terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan sejak trisemester pertama dengan USG.
(Cunningham, et al., 2014)
7. Kembar akardiak.
Kembar akardiak terjadi karena adanya perfusi balik arteri pada kembar
(TRAP = twin reverse arterial perfusion). Pada kejadian ini terdapat satu fetus
yang memperlihatkan gejala gagal jantung dan satu lagi mengalami
pertumbuhan yang tidak sempurna karena tanpa jantung (akardiak). Pada
akardiak terdapat hubungan antar arteri yang sering diiringi antar vena pada
plasenta. Tekanan perfusi pada salah satu kembar mengalahkan yang lain
sehingga aliran balik darah berbalik. Darah arteri yang telah dipakai oleh fetus
yang lain mengalir ke daerah inferior memperdarahi tubuh bagian bawah
sehingga terjadi kemerosotan pertumbuhan tubuh bagian atas. Gangguan
pertumbuhan kepala dikenal sebagai akardiak sefalus, kepala yang tumbuh
parsial dengan sebagian ektramitas disebut akardia mielosefalus, dan
kegagalan semua struktur disebut akardiak amorfosa. Tanpa terapi, 50-
75 % fetus yang lain akan meninggal (Cunningham, et al., 2014).

I. Manajemen kehamilan.
Untuk kepentingan ibu dan janin, perlu diadakan pencegahan
terhadap pre-eklampsi dan eklampsia, partus prematurus, dan anemia. Agar
tujuan tersebut dapat tercapai, perlu dibuat diagnosa dini kehamilan. Pemeriksaan
antenatal perlu diadakan lebih sering. Sebaiknya wanita dengan kehamilan
multifetus melakukan antenatal care ke dokter yang berpengalaman
dibidangnya untuk mencegah peningkatan persalinan operatif pervaginam maupun
perabdominam, wanita dengan kehamilan multifetus diberi konseling tentang
resiko – resiko yang mungkin terjadi karena kehamilan multifetus merupakan
kehamilan yang beresiko tinggi baik bagi ibu maupun bagi janin. Mulai
kehamilan 24 minggu pemeriksaan dilakukan tiap 2 minggu, sesudah kehamilan
36 minggu dilakukan tiap minggu, sehingga tanda – tanda pre-eklampsia dapat
diketahui dini dan penanganan dapat dikerjakan segera. Penanganan selama
kehamilan secara intensif berfungsi untuk (James & Arnold, 2001):

 Memperpanjang kehamilan.
 Meningkatkan berat kelahiran.
 Mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal.
 Pengurangan insiden komplikasi ibu

Beberapa penulis menyatakan bahwa tirah baring merupakan


tindakan yang dianjurkan lebih banyak karena merupakan tindakan yang
menguntungkan bagi janin kembar. Tindakan ini menyebabkan aliran darah ke
plasenta meningkat, sehingga pertumbuhan janin lebih baik, juga terjadi melalui
peningkatan perfusi darah serta penurunan gaya kekuatan fisik yang dapat
bekerja merugikan pada serviks untuk mempercepat proses penipisan dan dilatasi
serviks. Kehamilan multifetus dapat mengakibatkan terbukanya serviks dan
dilatasi secara dini. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa istirahat di
tempat tidur juga memperpanjang kehamilan dan menurunkan mortalitas perinatal,
sementara yang lainnya tidak berhasil menunjukkan keuntungan tambahan ini.
Penelitian di Swedia telah melaporkan suatu angka kematian perinatal yang sama
dengan kehamilan tunggal (0,6 persen). Pasien dianjurkan untuk beristirahat di
tempat tidur di rumah hingga trimester ketiga (James & Arnold, 2001).

Kebutuhan akan kalori, protein, mineral, vitamin dan asam lemak esensial
mengalami peningkatan pada wanita dengan multifetus. Kecukupan gizi yang di
anjurkan bagi kehamilan tanpa komplikasi bukan saja harus dipenuhi, tetapi pada
banyak keadaan perlu jumlah yang lebih. Karena itu konsumsi energi harus
ditingkatkan sebesar 300 kalori lagi per hari per jumlah fetus (Fortner, et al.,
2007). Pada kehamilan multifetus ini, suatu keadaan yang sering terjadi adalah
dimana terjadi kegagalan ibu untuk bertambah berat yang jumlahnya paling tidak
harus sama dengan berat produk kehamilannya (Cunningham, et al., 2014). Ibu
dengan kehamilan multifetus sebaiknya mendapatkan kalori dari protein 20 %,
karbohidrat 40 % dan lemak 40 %. Berdasarkan penelitian, komposisi diet tersebut
mampu meningkatkan kontrol glikemik. Diet hendaknya mencapai target kalori
sebanyak 3000 – 4000 kkal/hari. Pada trisemester pertama sebaiknya berat badan
meningkat 2-3 kg, ibu disarankan untuk mengkonsumsi asam folat 1 mg/hari dan
zat besi 60-100 mg/hari, karena pada trimester ketiga volume darah maternal
akan meningkat 50 -60 %.
Pertumbuhan fetus triplet akan lebih baik bila ibu naik berat bedannya >
0,75 kg/minggu sejak usia kehamilan 24 minggu (Krisnadi, et al., 2010).

Pertumbuhan janin berlangsung lebih lambat pada kehamilan multifetus


daripada kehamilan janin tunggal. Aspek penting penilaian pertumbuhan janin
dengan USG adalah untuk mengenali ketidaksesuaian pertumbuhan antara janin
dalam kehamilan multifetus. USG rutin dilakukan mulai kehamilan 24 minggu,
untuk menilai pertumbuhan janin, karena anak kembar cendrung menderita
keterbelakangan pertumbuhan dalam rahim (IUGR = intrauterine growth
retardation ) (James & Arnold, 2001).

J. Reduksi kehamilan multifetus.


Usia kehamilan dan berat badan lahir pada saat persalinan adalah 2 hal yang
paling penting yang menentukan morbiditas dan mortalitas perinatal, dam
keduanya berhubungan terbalik dengan jumlah janin yang dikandung. Reduksi
kehamilan multifetus adalah sebuah prosedur untuk meningkatkan kemungkinan
bertahan hidup dan kesehatan pada kehamilan multifetus. Tehnik yang
dianjurkan adalah secara perabdominam, dengan injeksi potassium chloride
intracardiac yang dipandu dengan ultrasonografi. Reduksi hingga menjadi menjadi
kehamilan tunggal juga dapat dipertimbangkan pada pasien dengan insufisiensi
servikal, riwayat persalinan prematur spontan ataupun stres psikososial. Awalnya,
dipercaya bahwa wanita dengan kuadruplet atau lebih adalah kandidat yang ideal
untuk dilakukan reduksi. Adalah penting untuk mempertimbangkan aspek
psikososial ibu sebelum dilakukan tindakan ini. Seleksi terminasi fetus dilakukan
jika teridentifikasi adanya malformalitas ataupun abnormalitas yang berat dan
mengancam salah satu janin yang ada. Indikasi tersering dari seleksi terminasi ini
adalah diskordan kembar DZ dengan adanya abnormalitas kromosom janin,
malformasi struktur janin yang serius, ataupun gangguan gen pada salah satu janin.
(Newman & Rittenberg, 2008)

40
40
K. Waktu persalinan
Insiden dari kematian bayi lahir mati ataupun kematian bayi setelah lahir
cenderung menurun hingga usia kehamilan 37-38 minggu untuk kehamilan
kembar. Insidensi terendah dari kematian perinatal pada kehamilan kembar adalah
pada usia kehamilan 38 minggu. Sebagian besar bayi yang meninggal pada
kehamilan kembar memiliki berat badan lahir kurang dari persentil 10.
Pemanjangan usia kehamilan memerlukan bukti ultrasonografi yang terpercaya
mengenai pertumbuhan janin yang adekuat, volume cairan amnion, dan
pemeriksaan kesejahteraan janin serta kondisi ibu yang stabil. Timbulnya PJT,
diskordan yang signifikan, oligohidramnion, preeklampsia pada ibu ataupun
komplikasi lainnya pada ibu setelah usia kehamilan 36 minggu dengan kehamilan
kembar ganda dan setelah usia kehamilan 34 minggu dengan kehamilan triplet
menjadi indikasi spesifik untuk persalinan. (Newman & Rittenberg, 2008)

L. Rute persalinan.
Pasien datang ke rumah sakit jika ditemukan tanda-tanda inpartu, pecah
ketuban atau jika ada perdarahan yang signifikan (Decherney & Nathan,
2007). Faktor –faktor yang mempengaruhi keberhasilan persalinan multifetus
adalah terdiagnosanya multifetus saat kehamilan sehingga perencanaan persalinan
akan lebih baik. Perlu ditentukan lokasi melahirkan dan penolong yang
kompeten untuk mengatasi komplikasi yang mungkin terjadi. Diagnosa dini dapat
dilakukan dengan ultrasonografi pada kehamilan muda sehingga korionitas,
amnionitas dan zigositas dapat diketahui dengan baik yang akan mempengaruhi
cara persalinan. Adanya faktor resiko antenatal yang lain seperti plasenta previa,
preeklampsia, PJT dan lainnya juga mempengaruhi cara persalinan, demikian juga
letak dan presentasi fetus I dan II, terutama untuk fetus II saat bayi I sudah
dilahirkan (Krisnadi, et al., 2010).
Pemilihan rute persalinan untuk kahamilan kembar ditentukan oleh
presentasi janin dimana biasanya dikategorikan kedalam 3 kelompok :
1. Kembar A (I) Vertex / Kembar B (II) Vertex.
Kurang lebih 40% kehamilan kembar akan berada pada posisi vertex
pada kedua bayi dan lebih dari 80% bayi kembar dengan
presentasi ini akan dapat lahir pervaginam (Fortner, et al., 2007). Bila presentasi
fetus I adalah kepala, bagian terendah sudah masuk pintu panggul dan ibu
merasa ingin meneran, pimpinan persalinan pervaginam segera dilakukan.
Bila kontraksi uterus tidak baik, dapat dilakukan augmentasi oksitosin.
Pemberian infus oksitosin (terutama setelah kelahiran bayi pertama) dapat
diberikan dengan dosis 10 IU didalam 1 liter NaCl 0,9% dengan kecepatan 1-2
mIU/menit, dinaikan dosisnya setiap 15-30 menit untuk mengembalikan
kontraksi uterus yang adekuat (Norwitz, et al., 2007).
Pada fetus II, kepala dilahirkan dengan cara yang sama. Apabila
presentasi fetus II berubah, prosedur persalinan sesuai dengan fetus I kepala ,
fetus II bukan kepala. Indikasi persalinan berbantu (ekstraksi vakum, forceps
atau seksio sesarea) sama dengan indikasi pada persalinan tunggal (Gabbe, et
al., 2007). Presentasi bayi kedua harus diperiksa ulang setelah bayi pertama
lahir mengingat dapat terjadi perubahan pada 10-20% kasus. Ibu tetap harus
diberitahu adanya kemungkinan seksio sesarea pada fetus II, karena setelah
fetus I lahir, pada sekitar 20% kasus dapat terjadi perubahan posisi/presentasi
fetus II yang tergantung dari usia gestasi. Semakin muda usia gestasi
semakin besar kemungkinan perubahan presentasi fetus II (Krisnadi, et al.,
2010).
Hogle dan rekan menelaah penelitian dalam skala luas dan menyimpulkan
bahwa sectio caesaria terencana tidak meningkatkan outcome perinatal jika
kedua bayi kembar berada pada letak kepala- kepala (Cunningham, et al., 2014).
Tidak ada bukti yang mendukung persalinan dengan sectio caesaria dengan
pertimbangan diskordan ukuran pada kedua bayi. Bahkan jika bayi kedua
(II) lebih besar daripada bayi pertama (I), persalinan pervaginam yang
aman dan sukses adalah mungkin terjadi jika bayi kedua berada pada presentasi
kepala. (Newman & Rittenberg, 2008)

2. Kembar A(I) Vertex / Kembar B(II) non Vertex.


Terdapat perbedaan opini mengenai cara persalinan yang optimal pada
kondisi kembar A (I) vertex / kembar B (II) non vertex dimana

42
42
terjadi pada sebanyak 40% dari persalinan kembar. Pilihan yang ada meliputi
sectio caesaria untuk kedua bayi, ekstraksi bokong pada bayi kedua, persalinan
per vaginam dengan eksternal / internal cephalic version intrapartus pada bayi
kedua ataupun persalinan pervaginam untuk bayi pertama dan sectio caesaria
untuk bayi kedua akibat komplikasi intrapartum seperti prolaps tali pusat atau
fetal distress. Diperlukan observasi dan keterampilan yang baik untuk
memprediksi dan memutuskan persalinan fetus kedua (Cunningham, et al.,
2014).
Setelah bayi I lahir, lakukan evaluasi presentasi fetus II. Apabila fetus II
presentasi bokong dengan taksiran berat badan > 2000 gram, lakukan persalinan
sungsang pervaginam atau ekstraksi kaki. Kemungkinan lainnya adalah
melakukan versi luar untuk menjadikan fetus II presentasi kepala. Kadang-
kadang bagian terendah fetus II tidak turun yang biasanya disebabkan oleh
inersia uteri, maka harus dilakukan augmentasi oksitosin (Krisnadi, et al.,
2010).

Usia kehamilan menjadi pertimbangan penting, pada persalinan


dengan usia kehamilan < 32 minggu, dianjurkan seksio sesarea elektif karena
janin rentan terhadap trauma. Berat badan fetus juga menjadi bahan
pertimbangan cara persalinan, bila fetus II bukan kepala dengan berat badan >
2000 gram, fetus dilahirkan pervaginam. Bila taksiran berat fetus II < 2000
gram dipertimbangkan untuk persalinan dengan seksio sesarea mengingat partus
pervaginam bagi bayi yang ekstrim prematur kematian perinatalnya lebih tinggi
(Krisnadi, et al., 2010). Jika berat badan bayi kedua diperkirakan melebihi 20%
dari bayi pertama, maka juga dianjurkan untuk menjalani sectio caesaria
(Cunningham, et al., 2014).

3. Kembar A (I) non Vertex


Pada kurang lebih 20% kasus, bayi pertama berada pada presentasi non
vertex. Persalinan pervaginam pada kembar dengan bayi pertama (A) pada
presentasi non vertex merupakan hal yang problematik, hanya terdapat
sedikit data mengenai keamanannya.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa terjadi peningkatan resiko kematian
perinatal jika bayi A lahir dengan presentasi bokong, namun beberapa data lain
menyatakan tidak ada perbedaan luaran perinatal yang signifikan.
Apabila fetus I dalam presentasi bokong dan bokong sudah masuk pintu
atas panggul, versi luar tidak dilakukan, dan persalinan dapat dilakukan sesuai
dengan protokol presentasi bokong pada persalinan dengan janin tunggal. Bila
taksiran berat fetus > 3500 gram, maka seperti protokol sungsang untuk
persalinan fetus tunggal, lakukan seksio sesarea. Bila fetus II juga sungsang
dengan taksiran berat badan > 20% dari fetus I yang ditaksir dengan
pemeriksaan ultrasonografi, maka persalinan pervaginam merupakan
kontraindikasi relatif (Krisnadi, et al.,
2010).
Pada bayi dengan presentasi bokong/vertex terdapat resiko interlocking.
Walaupun kejadian ini jarang namun bersifat fatal. Pertimbangan lainnya
adalah leher dari bayi A dapat mengalami hiperekstensi akibat ruangan yang
tercipta antara bayi A dengan bayi B dan ini mengakibatkan trauma pada saraf
servikal. Jika bayi A dalam presentasi bokong, tindakan yang paling umum
adalah dilakukan sectio caesarea (Gabbe, et al., 2007).

4. Kembar triplet atau lebih.


Sectio caesarea adalah langkah yang direkomendasikan pada kasus triplet
atau lebih. Berdasarkan dari data yang dihimpun secara luas pada periode
1985-1988 menunjukkan bahwa pada kehamilan triplet, 94% lahir dengan sectio
caesaria, 4,5% dengan persalinan pervaginal, dan 1,5% dengan kombinasi
persalinan vaginal/abdominal (Newman & Rittenberg, 2008). Rata-rata lama
gestasi pada triplet adalah 33 minggu dan hanya 29 minggu pada kuadruplet
dengan rata- rata berat badan bayi 1818 gram dan 1395 gram pada kelompok
usia gestasi tersebut (Moore, 2007). Kehamilan triplet atau lebih berada pada
resiko tinggi akan kejadian prematuritas, hambatan pertumbuhan janin, dan
malpresentasi. Mayoritas dokter kandungan memilih metode
terminasi dengan sectio caesaria namun persalinan pervaginam yang sukses juga
dilaporkan pada beberapa kasus dengan luaran perinatal yang baik. Jika
direncanakan terminasi secara pervaginam, diperlukan tim obstetris yang baik
dan siap, antisipasi kejadian malpresentasi dan persiapan sectio caesaria darurat
jika diperlukan. Persalianan pervaginam akan menjadi pilihan yang optimal jika
diperkirakan berat masing-masing bayi tidak lebih dari 1500 gr dan presentasi
bayi pertama dan kedua berada pada presentasi vertex (Newman & Rittenberg,
2008).
Dengan persalinan pervaginam, bayi pertama biasanya lahir dengan
sedikit ataupun tanpa manipulasi. Persalinan untuk fetus berikutnya disesuaikan
dengan presentasi fetus. Seringkali dibutuhkan manuver obstetri seperti
ekstraksi bokong total dengan ataupun tanpa versi podalik interna. Kejadian
yang dapat timbul mengikuti persalinan multifetus ini antara lain prolaps tali
pusat dan penurunan perfusi plasenta akibat perdarahan dari pelepasan plasenta.
Dengan alasan ini, banyak klinisi menyimpulkan bahwa sebaiknya dilakukan
sectio caesaria pada persalinan dengan triplet atau lebih.

M. Interval antara persalinan


Data-data menunjukkan bahwa waktu interval antara persalinan bayi kembar
yang melebihi 30 menit berhubungan dengan luaran yang masih dapat diterima.
Penundaan lebih dari 1 jam juga belum tentu menghasilkan luaran perinatal yang
buruk selama dilakukan pemantauan denyut jantung janin yang seksama. Pada
beberapa kasus, terjadi perburukan kondisi janin kedua setelah kelahiran bayi
pertama. Pelepasan plasenta dan prolap tali pusat adalah komplikasi yang umum
terjadi setelah kelahiran bayi pertama. Distress bayi kedua biasanya diatasi dengan
sectio caesaria segera. Versi podalik internal dan ekstraksi bokong dapat
dipertimbangkan hanya jika diperlukan persalinan yang cepat dan darurat, dan jika
tindakan sectio caesaria segera tidak dapat dilakukan. Seringkali terjadi
periode hipokontraktilitas setelah kelahiran bayi pertama. Jika persalinan tidak
segera terjadi setelah kelahiran bayi kedua, pemberian oksitosin infus dapat
segera dimulai dan dosis disesuaikan hingga tercapainya kontraksi yang adekuat.
Setelah kontraksi yang adekuat tercapai, ibu dipimpin untuk

45
45
mengedan. Setelah bagian terbawah kepala mencapai pintu bawah panggul, dapat
dilakukan tindakan amniotomi pada saat kontraksi dengan disertai penekanan
ringan pada fundus uteri untuk membantu fiksasi kepala didalam panggul.
(Newman & Rittenberg, 2008)

N. Tatalaksana paska salin

Tambahan kalori untuk dikonsumsi oleh ibu sebanyak 500-600 kcal per
bayi per hari untuk kelancaran laktasi dengan komposisi 20% protein,
40% karbohidrat dan 40% lemak. Ibu diedukasi untuk cukup mengkonsumsi
cairan dan juga posisi menyusui yang baik (Karkata & Kristanto, 2012).

Karena adanya resiko atonia uteri dan persarahan postpartum, ibu harus
dipantau ketat beberapa jam setelah persalinan. Pemberian oksitosin intravena
harus diberikan dan fundus uteri harus sering diperiksa untuk memastikan
kontraksi uterus yang baik tercapai. Konsultasi laktasi dapat diberikan agar ibu
dapat menyusui bayi kembarnya dengan baik terutama pada kasus persalinan
prematur. Follow up dan dukungan bagi ibu pada minggu-minggu awal persalinan
adalah penting untuk diberikan terutama pada kasus bayi memerlukan perawatan
yang intensif. Depresi paska salin terkadang dapat dijumpai pada ibu dengan
persalinan kembar. (Newman & Rittenberg, 2008)
Gambar 8. Alur penatalaksanaan kehamilan multifetus (Karkata & Kristanto,
2012).
Gambar 9. Protokol penatalaksanaan persalinan multifetus (Krisnadi, et al.,
2010).
BAB IV

DISKUSI

Pada kasus ini dilaporkan seorang pasien usia 28 tahun yang masuk KB IGD
RSIA DIAN Purwakarta pada tanggal 11 November 2019 pukul 20.45 WIB, Datang
sendiri dengan diagnosa G3P2A0H3 parturien preterm 36-37 minggu kala II
(kehamilan triplet), janin hidup triplet intra uterin letkep UUK depan H III-IV.
Sebagai panduan diskusi akademik berikut adalah hal yang akan didiskusikan :
1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
2. Apakah tata laksana pasien ini sudah tepat?
3. Apakah kemungkinan korionisitas dan plasentasi pada kehamilan ini?

1. Diagnosis pasien ini :


Dari anamnesis awal diketahui pasien adalah multipara dengan kehamilan
saat ini kurang bulan, pasien jarang control ke bidan hanya satu kali selama
kehamilan dan tidak pernah ke Dokter Spesialis. Pada saat datang pasien sudah
mengeluhkan tanda-tanda kala II yang sebelumnya telah terdapat tanda-tanda
inpartu. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan : tanda-tanda vital pasien
dalam batas normal, pada inspeksi abdomen tampak perut membuncit seperti
hamil aterm, pada inspeksi genital tampak kepala bayi sudah crowning. Pada
saat ini dibuat diagnosis : G2P1A0H1 parturien preterm 36-37 minggu kala II,
janin hidup intra uterin kepala crowning. Pasien lalu dipimpin untuk
mengedan dan diikuti dengan persalinan anak pertama 2 menit kemudian. Lahir
bayi I berjenis kelamin laki-laki, BB 2600 gr, PB 47 cm, A/S 8/9, tali pusat lalu
diklem dan dipotong dibagian distal, klem dibiarkan terpasang.
Setelah itu dilakukan anamnesis lanjutan dan didapatkan bahwa pasien telah
mengalami tanda-tanda inpartu (nyeri pinggang yang menjalar ke ari-ari yang
semakin lama semakin sering dan bertambah kuat serta terdapat keluar lendir
campur darah dari kemaluan) sejak ± 7 jam sebelum masuk RSMD, terdapat
keluar air-air yang banyak dari kemaluan sejak 5
menit sebelum anak pertama lahir. Pasien tidak haid sejak kurang lebih 9 bulan
lalu, dengan hari pertama haid terakhir pada 6 Desember 2014 dan tafsiran
persalinan pada 13 September 2015, siklus haid teratur, 1 x 28 hari.
Berdasarkan HPHT dapat dikalkulasikan bahwa saat ini pasien memasuki usia
kehamilan 36-37 minggu.
Dari pemeriksaan fisik lanjutan didapatkan abdomen tampak membesar
seperti kehamilan aterm, sikatriks (-), fundus uteri teraba 3 jari dibawah processus
xyphoideus. Dari pemeriksaan Leopold didapatkan kesan bayi kedua letak kepala
dengan bayi ketiga juga berada pada letak kepala, punggung bayi pada sisi kiri dan
kanan ibu dan kepala bayi kedua sudah masuk pintu atas panggul. Terdengar 2
lokasi bunyi jantung janin pada tempat yang terpisah dengan DJJ 1 : 140-
150x/menit dan DJJ 2 :
130-140x/menit. Pemeriksaan USG tidak dilakukan. Didapatkan kesan pasien ini
mengalami kehamilan kembar dengan bayi II berada pada letak kepala dan bayi III
juga berada pada letak kepala. Perkiraan berat badan bayi berdasarkan tinggi
fundus uteri tidak dapat dilakukan karena pasien ini dengan kehamilan kembar.
Dari pemeriksaan dalam pada genital didapatkan pembukaan sudah lengkap,
ketuban (+) dan teraba kepala UUK depan HIII-IV. Didapatkan kesimpulan bahwa
pasien sudah berada pada kala II persalinan. Ketuban lalu dipecahkan dan pasien
dipimpin mengedan, lahir bayi kedua (laki-laki )
10 menit kemudian dengan BB 1750 gr, PB 46 cm, A/S 7/8. Tali pusat lalu diklem
dan dipotong dibagian distal, klem dibiarkan terpasang.
Dilakukan pemeriksaan fisik lanjutan dan didapatkan abdomen
tampak membesar seperti kehamilan aterm, sikatriks (-), fundus uteri teraba 4
jari dibawah processus xyphoideus. Dari pemeriksaan Leopold didapatkan kesan
bayi ketiga berada pada letak kepala dengan punggung bayi pada sisi kiri ibu dan
kepala bayi sudah masuk pintu atas panggul. His baik dengan intensitas 3-4
x/40’/K. Terdengar bunyi jantung janin dengan DJJ : 140-150x/menit. Dari
pemeriksaan dalam pada genital didapatkan pembukaan sudah lengkap, ketuban
(+) dan teraba kepala UUK depan HIII-IV. Didapatkan kesimpulan bahwa
pasien sudah berada pada kala II persalinan. Ketuban lalu dipecahkan dan pasien
dipimpin mengedan, lahir bayi ketiga (laki-laki) 5 menit kemudian dengan BB
1800 gr, PB 46 cm, A/S

50
50
6/7. Tali pusat lalu diklem dan dipotong dibagian distal, klem dibiarkan terpasang.
Dilakukan peregangan tali pusat terkendali dan plasenta lahir 8 menit kemudian,
tampak 2 plasenta tergabung menjadi 1 dengan 3 tali pusat (2 tali pusat
berinsersi pada 1 plasenta dan 1 tali pusat pada plasenta lainnya).
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis pasien
ini sudah tepat yaitu pada saat pertama kali masuk dengan D/ G2P1A0H1 parturien
preterm 36-37 minggu kala II, janin hidup intra uterin kepala crowning dan setelah
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan lanjutan didapatkan D/ G2P2A0H2
parturien preterm 36-37 minggu kala II (janin ke-2 – kehamilan triplet), Janin
hidup gemelli intra uterin letkep- letkep UUK depan H III-IV.

2. Tatalaksana pasien :
Menurut Newman dan Rittenberg tahun 2008, sectio caesarea adalah langkah
yang direkomendasikan pada kasus triplet atau lebih. Mayoritas dokter kandungan
memilih metode terminasi dengan sectio caesaria namun persalinan pervaginam
yang sukses juga dilaporkan pada beberapa kasus dengan luaran perinatal yang
baik. Jika direncanakan terminasi secara pervaginam, diperlukan tim obstetris yang
baik dan siap, antisipasi kejadian malpresentasi dan persiapan sectio caesaria
darurat jika diperlukan. Persalinan pervaginam akan menjadi pilihan yang optimal
jika diperkirakan berat masing-masing bayi tidak lebih dari 1500 gr dan presentasi
bayi pertama dan kedua berada pada presentasi vertex (Newman & Rittenberg,
2008). Dengan persalinan pervaginam, bayi pertama biasanya lahir dengan sedikit
ataupun tanpa manipulasi. Persalinan untuk fetus berikutnya disesuaikan dengan
presentasi fetus.
Pada kasus ini pasien pasien sebelumnya tidak pernah control ke SP OG dan
saat datang sudah berada pada kala II dengan presentasi vertex pada anak pertama
maka persalinan dilakukan secara pervaginam. Seharusnya estimasi berat badan
bayi diketahui serta dapat dideteksi jumlah dan posisi janin, namun tidak
dapat ditentukan pada pasien ini karena pasien tidak dapat di USG (Kala II)
dan tidak ada data dari ANC pasien sebelumnya.
Beberapa menit setelah persalinan anak pertama didapatkan his pasien masih
adekuat (tidak memerlukan augmentasi dimana menurut Krisnadi et al, biasanya
pada persalinan bayi kembar dapat disertai inersia uteri). Setelah dilakukan
pemeriksaan didapatkan kedua bayi didalam rahim berada pada posisi vertex-
vertex. Persalinan lalu ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi pada persalinan
bayi kembar dengan posisi vertex-vertex yaitu dengan persalinan pervaginam yang
mana menurut Fortner et al, lebih dari 80% bayi kembar dengan presentasi ini akan
dapat lahir pervaginam. Dan menurut Hogle dan rekan setelah menelaah penelitian
dalam skala luas dan disimpulkan bahwa sectio caesaria terencana tidak
meningkatkan outcome perinatal jika kedua bayi kembar berada pada letak kepala-
kepala (Cunningham, et al., 2014).
Berdasarkan kondisi dan diagnosis pada saat itu maka tatalaksana pada
pasien ini sudah tepat.

3. Apakah kemungkinan zigonisitas dan plasentasi pada kehamilan ini?


Pada pasien ini ketiga anak yang lahir memiliki jenis kelamin yang sama
yaitu laki-laki. Pada kehamilan monozigot biasanya akan didapatkan jenis kelamin
yang sama, dan pada kehamilan dizigot pun sebagian besar akan memiliki jenis
kelamin yang sama. Menurut Newman dan Rittenberg, jika selaput tersebut terdiri
dari 2 amnion dan 2 korion dengan plasenta terpisah ataupun menyatu dan kedua
bayi memiliki jenis kelamin yang sama maka ini dapat merupakan kembar DZ
ataupun MZ.
Pada plasenta pasien ini didapatkan kesan bahwa terdapat 2 plasenta
tergabung menjadi 1 (plasenta A dan B) dengan 3 tali pusat (2 tali pusat berinsersi
pada 1 plasenta (A) dan 1 tali pusat pada plasenta lainnya (B)). Menurut Newman
et al (2008) dan Krisnadi (2010), plasenta tunggal secara umum merupakan
karakteristik dari kehamilan monozigotik monokorionik. Apabila ditemukan
plasenta tunggal pada kehamilan dikorionik, maka plasenta tersebut berasal dari
penyatuan dua lempeng plasenta. Bila terdapat dua plasenta, sebagian besar
berasal dari kehamilan kembar dizigotik, tetapi ada juga yang berasal dari
kehamilan
monozigotik yang mengalami pembelahan sangat awal sebelum proses implantasi.
Hal ini juga berlaku untuk triplet dan jumlah plasenta yang lebih banyak. Pada
triplet atau lebih, penyatuan masa plasenta lebih sering terjadi, terlepas dari
zigositas, karena terbatasnya ruang di dalam uterus.
Sehingga kemungkinan pada pasien ini merupakan kehamilan monozigot.
Namun untuk mengetahui secara pasti apakah termasuk kehamilan monozigot
dengan monokorion diamnion atau dikorion diamnion dapat dilakukan
pemeriksaan patologi anatomi.
BAB V
KESIMPULAN

Kehamilan Multifetus memiliki risiko lebih tinggi untuk ibu dan janin baik
dalam proses kehamilan ataupun persalinan, risiko yang dapat muncul selama
kehamilan adalah abortus, kelahiran premature, IUGR, Twin to thin transfusion
syndrome, kelainan pada janin, preeclampsia dll. Serta selama proses kelahiran tentu
saja persalianan macet, persalinan yang harus dilakukan dengan operasi, serta risiko
perdarahan pasca kelahiran yang menjadi lebih tinggi, terutama diakibatkan oleh atonia
uteri.
Peran penting tenaga kesehatan untuk mencegah, menemukan dan segera
merujuk apabila ditemukan kehamilan dengan risiko tinggi seperti ini, sehingga
morbiditas dan mortalitas lebih lanjut dapat dicegah.
Pada laporan kasus ini menunjukkan bahwa pasien 26 tahun dengan kehamilan
triplet, datang ke tenaga kesehatan hanya sekali selama kehamilan, serta datang
kerumah sakit sudah dalam keadaan kala II, tentu saja keadaan ini menjadi keadaan
darurat untuk sebuah kasus obstetric, dengan kehamilan yang masih preterm,
semestinya keadaan seperti ini sudah terpantau sejak awal kehamilan, sehingga
penanganan dapat dilakukan lebih baik.
Diperlukan perhatian lebih ketat dari tenaga kesehatan di perifer misalnya bidan
desa dan kader untuk menyaring ibu hamil dengan risiko tinggi agar mendapatkan ANC
yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. et al., 2014. Multifetal pregnancy. Em: Williams Obstetrics


24th edition. New York: McGraw-Hill, p. Chapter 45.

Decherney, A. & Nathan, L., 2007. Multiple Pregnancy. Em: Current diagnosis and
treatment obstetrics and Gynecology, 10th edition. New York: McGraw-Hill.

Elliott., J. P., 2005. Preterm Labor in Twins and High-Order Multiples. Obstet
Gynecol Clin N Am, Volume 32, p. 429– 439.

Fortner, K. B., Althaus, J. E. & Gurewitsc, E. D., 2007. Gestational Complications -


Multiple Gestation. Em: K. B. Fortner, L. M. Szymanski, H. E. Fox & E. E.
Wallach, eds. Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, The, 3rd
Edition. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins, p. Chapter 8.

Gabbe, S. G., Niebyl, J. R. & Simpson, J. L., 2007. Multiple gestations. Em:
Obstetrics : Normal and Problem Pregnancies. Philadelphia: Churchill
Livingstone of Elsevier, p. Chapter 28.

James, R. & Arnold, L., 2001. Kehamilan Ganda. Em: Esensial Obstetri dan
ginekologi edisi 2, Alih bahasa Nugroho E. Jakarta: Hipokrates.

Karkata, M. K. & Kristanto, H., 2012. Penatalaksaan kehamilan multifetus.


Em: Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri. s.l.:Himpunan
Kedokteran Feto Maternal, pp. 104-114.

Krisnadi, R., Anwar, A. & Irianto, S., 2010. Kehamilan multifetus. Bandung: Divisi
Fetomaternal obstetri dan ginekologi Fakultas kedokteran Universitas
Padjajaran.

Moore, T. R., 2007. Multifetal gestation and malpresentation. Em: Essentials of


Obstetrics and Gynecology 4E. Philadelphia: Elsevier Inc, p. Chapter
14.
Morin, L. & Lim, K., 2011. Ultrasound in twin pregnancies. Em: SOGC Clinical
Practice Guidline. s.l.:s.n.

Newman, R. B. & Rittenberg, C., 2008. Multiple Gestation. Em: Danforth's


Obstetrics and Gynecology, 10th Edition Copyright. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, p. Chapter 14.

Norwitz, E. R., Arulkumaran, S., Symonds, I. M. & Fowlie, A., 2007.


Pregnancy complication - Multiple pregnancies. Em: Oxford American
Handbook of Obstetrics and Gynecology, 1st Edition. New York: Oxford
University Press, pp. 78-84.

Norwitz, E. R., Edusa, V. & Park, J. S., 2005. Maternal Physiology and
Complications of Multiple Pregnancy. Seminars in Perinatology, Volume
29, pp. 338-348.

Saifuddin, A. B., 2009. Kehamilan Ganda. Em: Acuan Nasional Pelayanan


Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi Satu Cetakan Kelima. Jakarta:
JNPKKR – POGI - Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp.
145-152.

Syamsuri, K. A., 2004. Kehamilan kembar. Em: R. Hariadi, ed. Ilmu Kedokteran
Fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal, pp. 426-443.

Taylor, J. & Fisk, N., 2004. Prenatal diagnosis in multiple pregnancy. Em:
Bailliere’s Clinical obstetrics and gynaecology. London: s.n.
Pada kehamilan monokorionik, kejadian diskordan lebih sering, sering
kali lebih berat dan dapat berhubungan dengan TTTS (Krisnadi, et al., 2010).
Kembar yang tidak setara atau discordance twin mungkin merupakan
tanda pertumbuhan janin terhambat pada salah satu fetus, dan fetus yang lebih
besar dijadikan acuan. Semakin berat perbedaan semakin buruk prognosisnya.
Pertumbuhan janin terhambat sering terjadi pada akhir trisemester dua atau
awal trisemester tiga, dan bersifat asimetris.

Anda mungkin juga menyukai