Oleh :
General Practitioner
Pembimbing :
PLERED – PURWAKARTA
2020
i
HALAMAN PERSETUJUAN
OLEH :
BAMBANG HERIANTO
Makalah laporan kasus ini telah memenuhi persyaratan karya ilmiah dan telah disetujui oleh
tim pembimbing berikut
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan kasih sayang kepada hamba-Nya. Hanya dengan rahmat dan keridhaan-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Laporan Kasus Kehamilan Dengan
Multifetus – Triplet Di Rsia Dian Purwakarta”. Shalawat dan salam penulis sampaikan
untuk Rasulullah SAW yang telah membimbing umatnya dari kebodohan menuju cahaya
Islam. Penelitian ini disusun untuk mengikuti acara presentasi ilmiah pada “The 1st Digital
Conference And Workshop Pogi Predictive,Preventive, Participatory And Personalized
Approach In Woman Health 30th October – 1st November 2020”
Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga, pembimbing, sejawat, dan
semua pihak yang telah membantu penelitian ini. Penulis menyadari penelitian ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca. Semoga proposal penelitian ini mendapatkan ridho dari Allah SWT, dapat
dilanjutkan untuk Penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
masyarakat.
iii
ABSTRAK
dua atau lebih embrio / janin (fetus) sekaligus. Kehamilan multifetus sebagai suatu
Kehamilan multifetus mempunyai arti yang cukup penting dalam bidang obstetri,
karena disamping merupakan fenomena yang menarik, keadaan ini termasuk dalam
Pada kasus ini dilaporkan seorang pasien usia 28 tahun yang masuk KB IGD RSIA
DIAN Purwakarta pada tanggal 11 November 2019 pukul 20.45 WIB, Datang sendiri
dengan diagnosa G3P2A0H3 parturien preterm 36-37 minggu kala II (kehamilan triplet),
janin hidup triplet intra uterin letkep UUK depan H III-IV. Pasien control satu kali ke bidan
selama kehamilannya dan tidak pernah control ke Dokter Spesialis Kebidanan dan Penyakit
Kandungan. Bayi 1 lahir Spontan dengan berat badan lahir 2600 gr dan A/S 8/9, bayi II
lahir sepuluh menit kemudian dengan BB 1750 gr dan A/S 7/8, lima belas menit kemudian
lahir bayi III dengan BB 1400 gr dan A/S 6/7. Plasenta satu buah lahir spontan dengan
berat sekitar 900gr.
Penanganan yang dilakukan pada pasien saat datang adalah dengan mengikuti
persalinan karena pasien sudah dalam keadaan kala II dan kepala sudah crowning, dilakukan
pengawasan terhadap risiko terjadinya perdarahan post parum khususnya dikarenakan atonia
uteri. Pada pasien tidak terjadi penyulit yang berarti baik pada saat kala II, III ataupun kala
IV.
iv
ABSTRACT
MULTIFETUS - TRIPLET PREGNANCY CASE REPORT AT RSIA DIAN
PURWAKARTA
Bambang Herianto, Tomy Alamsyah, Muhardi
RSIA DIAN Plered Purwakarta
Correspondence: Bambang Herianto, RSIA DIAN Purwakarta, HP: 0812 2758 7123
A multifetus pregnancy can be defined as a pregnancy in which there are two or more
embryos / fetuses (fetuses) at once. Multiple pregnancies as a high-risk pregnancy account
for 12% of all perinatal deaths. Multifetus pregnancies have quite an important meaning in
the field of obstetrics, because apart from being an interesting phenomenon, this condition is
included in the high risk category in pregnancy and childbirth.
In this case, a 28-year-old patient who entered the emergency planning family
planning at RSIA DIAN Purwakarta was reported on November 11, 2019 at 20.45 WIB,
came alone with a diagnosis of G3P2A0H3 preterm 36-37 weeks II (triplet pregnancy), live
fetus intra-uterine triplet letkep UUK ahead of H III-IV. Patients control one time to a
midwife during pregnancy and never control to a specialist in obstetrics and gynecology.
Baby 1 was born spontaneously with birth weight 2600 gr and A / S 8/9, baby II was born
ten minutes later with a weight of 1750 gr and A / S 7/8, fifteen minutes later was born baby
III with a weight of 1400 gr and A / S 6/7. One placenta was born spontaneously and weighs
about 900g.
Handling carried out by the patient at arrival is by following the delivery because the
patient is already in stage II and the head is crowning, monitoring the risk of post parum
hemorrhage, especially due to uterine atony. In the patient there was no significant
complication either at stage II, III or stage IV.
v
DAFTAR ISI
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mengingat tingginya morbiditas dan mortalitas perinatal dari persalinan bayi
kembar, maka diagnosis dini pada suatu kehamilan multifetus adalah merupakan
suatu hal yang penting, bertujuan untuk mengenali kehamilan tersebut lebih awal, dan
melakukan upaya preventif terhadap penyulit serta menatalaksana dengan baik
berbagai kemungkinan kelainan patologis dan komplikasi selama kehamilan dan
persalinan (Saifuddin, 2009).
Berikut ini dilaporkan kasus seorang pasien wanita dengan usia 29 tahun
dengan diagnosis : G3P2A0H1 parturient preterm 36-37 minggu Kala II + kehamilan
multiple (triplet) ; Janin Hidup triplet Intra uterin; Anak I letak kepala, Anak II
letak kepala, Anak III letak kepala.
Anak I kemudian dilahirkan secara spontan, lahir seorang anak laki-laki dengan
BB 1350 gram, PB 47 cm dan A/S 4/5. Anak II dilahirkan secara spontan 10
menit kemudian, lahir seorang anak laki-laki dengan BB 1300 gr, PB 46 cm, A/S
3/4, dan anak III dilahirkan secara spontan 10 menit kemudian, lahir seorang
anak laki-laki dengan BB 1400 gr, PB 46 cm, A/S
6/7.
Masalah yang akan didiskusikan pada laporan kasus ini adalah mengenai
diagnosis, kemungkinan korionisitas dan plasentasi serta manajemen persalinan yang
tepat.
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 29 tahun
Alamat : Plered – Purwakarta
MR : 024711
Pekerjaan : IRT
Tanggal masuk : 19 – 11 – 2019
ANAMNESIS
Seorang pasien, 29 tahun datang ke IGD RSIA DIAN bersama keluarga
nya Pada tanggal 11 November 2019 pukul 20.45 WIB, dengan keluhan keluar air
air dari jalan lahir sejak jam 14.30 Wib.
Pasien merasa kesakitan dan ingin mengedan.
PEMERIKSAAN
FISIK Status Umum
KU Kes TD Nd RR S
Sdg CMC 130/90 86 20 37°
• Gen : I : tampak kepala crowning
P/ pimpin persalinan
21.00 WIB : lahir bayi I : ♂, BB 2600 gr, PB 47 cm, A/S 8/9 tali
pusat diklem dan dipotong
Riwayat Penyakit Sekarang
• Pasien merasa kesakitan dan ingin mengedan sejak kurang lebih 1 jam yang
lalu
• Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak ± 7 jam sebelum masuk rumah sakit,
nyeri semakin lama semakin terasa kuat
• Keluar lendir campur darah sejak ± 7 jam sebelum masuk rumah sakit
• Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (+) sejak 3 jam SMRS
• Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)
• Tidak haid sejak ± 9 bulan yang lalu
• HPHT: lupa
• Gerak anak dirasakan sejak ± 5 bulan yang lalu
• RHM : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
• ANC : Jarang dan Kebidan 1x
• RHT : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
• Riwayat menstruasi : menarche usia 12 tahun, siklus haid teratur, 1 x
28 hari, lamanya 5-7 hari, ganti duk 2-3x/hari, nyeri(-)
Abdomen
Inspeksi :
Tampak membuncit seperti usia kehamilan aterm, striae (+), sikatrik (-)
Palpasi :
L1 : FUT teraba 3 jari bawah processus Xyphoideus
teraba massa lunak nodular disamping massa lunak noduler
L2 : teraba tahanan terbesar disebelah kiri dan kanan ibu
L3 : teraba massa keras, terfixir
L4 : divergen
His : 3-4 x/40’/K
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal, BJA I: 140-150x/menit, BJA II: 130-140x/menit
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
VT : Ø lengkap
Ketuban (+) dipecahkan, sisa jernih
Teraba kepala UUK depan H III-IV
Diagnosis :
G2P2A0H2 parturien preterm 36-37 minggu kala II (janin ke-2 – kehamilan
triplet)
Janin hidup gemelli intra uterin letkep-letkep UUK depan H III-IV
Rencana :
Pimpin persalinan
21.10 WIB : lahir bayi II : ♂, BB 1750 gr, PB 46 cm, A/S 7/8 tali
pusat diklem dan dipotong
PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum
KU Kes TD Nd RR S
Sdg CMC 130/90 94 24 37°
Abdomen
Inspeksi : tampak membuncit, striae (+), sikatrik (-)
Palpasi :
L1 : FUT teraba pertengahan processus Xyphoideus - pusat teraba
massa lunak nodular
L2 : teraba tahanan terbesar disebelah kiri ibu
teraba bagian-bagian kecil janin disebelah kanan ibu
L3 : teraba massa keras, terfixir
L4 : divergen
His : 3-4 x/40’/K
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+) normal BJA : 140-150x/menit
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-) VT
: Ø lengkap
Ketuban (+) dipecahkan, sisa jernih
Teraba kepala UUK depan H III-IV
Diagnosis :
G2P2A0H2 parturien preterm 36-37 minggu kala II (janin ke-3 – kehamilan triplet)
Janin hidup gemelli intra uterin letkep UUK depan H III-IV
Rencana :
Pimpin Persalinan
21.25 WIB lahir bayi III : ♂, BB 1400 gr, PB 46 cm, A/S 6/7 tali
pusat diklem dan dipotong
21.55 WIB Lahir plasenta lengkap 1 buah, ukuran 28 x 21 x 3,5 cm berat sekitar 900
gram
Diagnosis :
P3A0H5 post partus prematurus spontan dengan janin triplet
Anak dan ibu dalam perawatan
Rencana :
- awasi kala IV
- kontrol KU, VS, PPV
- IVFD RL 20 tpm drip oksitosin : metergin = 1:1 amp
- amoxicillin 3 x 500 mg
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Rawat KR
Hematocrit 24 % 28 – 40
Gambar 3. A.Grafik klasifikasi bayi baru lahir berdasarkan berat lahir dan masa
kehamilan
B. Grafik hubungan skor total dan masa kehamilan
BAB III
KEHAMILAN MULTIFETUS
Kehamilan multipel telah menjadi salah satu kondisi risiko tinggi yang paling
umum dihadapi oleh dokter kandungan. Pada tahun 2003, ada 136.328 kehamilan
multipel ditemukan di Amerika Serikat (meningkat 80%), jumlah tertinggi yang
pernah tercatat. Saat ini kehamilan kembar mencakup 3% dari semua kelahiran.
Meskipun hal ini terjadi pada hanya sebagian kecil dari semua kelahiran hidup,
kehamilan multipel bertanggung jawab secara disproporsional dari morbiditas dan
mortalitas perinatal. (Newman & Rittenberg, 2008)
10
10
A. Epidemiologi dan zigositas.
Sejak 1980 hingga 2009 angka kelahiran kembar ganda telah mengalami
peningkatan 76% dari 18,9 menjadi 32,1 per 1000 kelahiran hidup di Amerika
serikat. Peningkatan ini terjadi akibat terapi kesuburan dan penerapan teknik
reproduksi berbantu (TRB) serta meningkatnya jumlah wanita yang melahirkan
pada usia lebih dari 35 tahun (Decherney & Nathan, 2007).
17
17
Pada pemeriksaan klinik plasenta saat persalinan terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu (Decherney & Nathan, 2007):
1. Struktur membrana fetus
2. Kesatuan atau pemisahan masa plasenta
3. Tempat insersi tali pusat
4. Anastomosis pembuluh pada plasenta monokorionik
Secara klinis, tipe korion memegang peranan paling penting. Diikuti oleh
anastomosis vaskuler pada plasenta monokorionik, pemeriksaan mikroskopik
plasenta dan tempat insersi tali pusat. Pemeriksaan rutin plasenta harus dilakukan
karena (Norwitz, et al., 2005):
1. Korionisitas tidak selalu dapat dibedakan secara tepat melalui pemeriksaan
USG prenatal. Hal ini berkaitan dengan kelainan yang muncul pada
kehamilan.
2. Bila plasentasi terbukti monokorionik dengan pemeriksaan patologi, maka bayi
kembar tersebut ialah monozigotik.
3. Penjelasan untuk perbedaan pertumbuhan, kematian fetus, cedera neurologis,
kejadian inflamasi fetus / korioamnionitis tergantung pada korionitas.
C. Faktor resiko
Banyak faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya kehamilan
kembar, diantaranya :
1. Ras
2. Keturunan
Faktor keturunan dari ibu secara demografi lebih bermakna daripada ayah.
Pada kasus kembar dizigotik, dilaporkan peran faktor keturunan dari pihak ibu
sebesar 1 : 58 kelahiran, sedangkan dari pihak ayah sebesar 1 : 116 kelahiran.
Penelitian mengenai peran genetika belum banyak dilakukan, sehingga
sampai saat ini dugaan ke arah faktor keturunan karena peran genetika belum
jelas (Cunningham, et al.,
2014).
4. Nutrisi
5. Pengobatan infertilitas
6. Gonadotropin Hipofisis
Faktor umum yang mengaitkan ras, usia, berat, dan kesuburan dengan
gestasi multipel mungkin adalah kadar follicle stimulating hormone. Teori ini
didukung oleh kenyataan bahwa terjadinya peningkatan fekundasi dan angka
kehamilan kembar dizigotik pada wanita yang hamil dalam 1 bulan setelah
penghentian kontrasepsi oral, tetapi tidak dalam bulan – bulan berikutnya. Hal
ini mungkin disebabkan oleh pelepasan mendadak gonadotropin hipofisis dalam
jumlah yang lebih besar daripada biasanya selama daur spontan pertama setelah
penghentian kontrasepsi (Cunningham, et al., 2014).
20
20
D. Diagnosis.
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan klinis
3. Pemeriksaan penunjang a.
Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ultrasonografi jumlah kantung gestasi dapat
ditentukan sejak dini. Pada pemeriksaan, masing – masing kepala fetus
harus dilihat pada dua bidang tegak lurus sehingga tidak salah mengenali
potongan melintang tubuh fetus sebagai kepala fetus kedua. Sebaliknya, dua
kepala fetus atau dua abdomen dapat dilihat pada bidang yang sama.
Pemeriksaan ultrasonografi harus dapat mendiagnosa kehamilan multifetus,
walaupun penentuan jumlah dan posisi kehamilan tiga atau lebih fetus lebih
sulit (Cunningham, et al.,
2014). Penentuan dini korionitas dan amnionitas pada kehamilan multifetus
menjadi parameter dasar pemeriksaan perinatal modern. Tanpa mengetahui
parameter dasar tersebut akan sulit melakukan penatalaksanaan kehamilan
multifetus yang baik.
Langkah-langkah pemeriksaan ultrasonografi yang harus dilakukan pada
trisemseter pertama untuk menentukan korionisitas dan amniositas adalah
(Morin & Lim, 2011):
1) Menghitung jumlah kantong korionik
Kantong korionik terlihat menempel pada satu sisi garis tengah
rongga dalam dua lapisan desidua tebal. Kantung terlihat sebagai struktur
sonolusen bulat dibatasi oleh cincin ekogenik yang menunjukkan korion.
Ukurannya bervariasi dengan diameter 2-5 mm, dan dapat dideteksi sejak
usia kehamilan 4-5 minggu. Dengan melihat jumlah kantung korionik,
dapat ditentukan apakah kehamilan tersebut dikorionik, trikorionik atau
lebih.
2) Menghitung jumlah embrio dan jumlah jantung yang berdenyut.
Sekitar minggu ke 5-6 kehamilan, kantung korionik telah cukup besar,
embrio dan yolk sac sudah dapat terlihat. Menetapkan
jumlah fetus berdasarkan jumlah kantong korionik dan yolk sac dapat
mengakibatkan kerancuan sehingga lebih baik menunggu hingga denyut
jantung fetus dapat teridentifikasi (setelah minggu ke-6).
3) Penilaian kantung korionik dan amnionik.
Untuk menentukan secara tepat jumlah amnion pada kehamilan
monokorionik sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulrasonografi pada usia
kehamilan 8 minggu. Pada saat tersebut, amnion dan rongga amnionik
telah jelas terpisah dari badan fetus. Keadaan dikorionik- diamnionik,
akan terlihat satu fetus pada masing-masing kantung. Korion yang
berdekatan dan terdapat sel desidua diantaranya akan membentuk struktur
seperti baji yang disebut sebagai lamda sign, delta sign atau twin-peak
sign.
c. Tes Biokimia
Pada saat ini tidak ada tes biokimia yang akurat untuk mendiagnosa
kehamilan multifetus. Jumlah hormon korionik gonadotropin pada plasma
dan urin biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan tunggal
tetapi tidak signifikan sebagai diagnosis pasti kehamilan multifetus.
Kehamilan kembar sering terdiagnosis sewaktu dilakukan pemeriksaan
peningkatan kadar alfa-fetoprotein serum ibu, walaupun pemeriksaan ini saja
tidak bersifat diagnostik. Saat ini belum ada uji biokimiawi yang dalam
setiap kasus dapat secara handal membedakan antara adanya satu dan lebih
dari satu janin (Krisnadi, et al., 2010).
Secara umum, derajat perubahan fisiologis ibu lebih besar pada kehamilan
dengan janin multifetus dibandingkan dengan janin tunggal. Sejak trimester
pertama, wanita dengan gestasi multifetus sering mengalami mual dan
muntah yang jauh melebihi yang biasa terjadi pada kehamilan tunggal, atas alasan
– alasan belum jelas. Peningkatan normal volume darah ibu lebih besar pada
kehamilan kembar. Sementara rata- rata peningkatan pada akhir kehamilan
adalah sekitar 40 % sampai 50 %
pada janin tunggal, pada kembar terjadi peningkatan sekitar 50 % - 60 % yang
setara dengan penambahan jumlah darah ibu sebesar sekitar 500 ml. Masa sel
darah merah juga meningkat, tetapi secara propersional lebih kecil pada
kehamilan kembar daripada pada kehamilan tunggal sehingga terjadi anemia
fisiologis yang lebih berat. Wanita dengan janin kembar memperlihatkan rata-rata
kosentrasi hemoglobin 10 gram/dl sejak usia kehamilan 20 minggu. Sangat
meningkatnya volume darah ibu dan meningkatnya kebutuhan akan zat besi dan
asam folat yang ditimbulkan oleh janin kedua meningkatkan risiko terjadinya
anemia ibu hamil (Cunningham, et al., 2014).
F. Komplikasi maternal.
Wanita dengan kehamilan kembar lebih banyak memerlukan perawatan
selama antenatal karena meningkatnya frekwensi dan derajat keparahan komplikasi
terkait kehamilannya.
1. Resiko Kardiovaskular.
Salah satu perubahan mayor yang berhubungan dengan kehamilan
kembar adalah meningkatnya jumlah volume plasma darah dan cardiac output
yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Peningkatan
volume plasma diakibatkan adaptasi ibu dalam memenuhi pasokan darah pada
bayi kembar.
2. Abnormalitas hematologi.
Peningkatan volume sel darah merah tidak dapat mengimbangi
peningkatan volume plasma darah baik pada kehamiln tunggal maupun kembar.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hemodilusi fisiologis. Kadar hemoglobin rata-
rata pada wanita hamil adalah 10g/dL pada usia kehamilan 20 minggu.
Hemoglobin dan hematokrit menurun pada kehamilan trimester satu , mencapai
titik terendah pada trimester kedua dan perlahan meningkat pada trimester
ketiga. Kadar hemoglobin dibawah 11g/dL pada kehamilan trimester satu dan
tiga dengan disertai kadar feritin serum dibawah 12 mg/dL menunjukkan
adanya anemia defisiensi zat besi yang mana terjadi pada 21 -36% kehamilan
kembar. Angka ini meningkat dua hingga 3 kali lipat daripada kehamilan
tunggal. Hal ini harus diatasi dengan konsumsi protein hewani yang kaya zat
besi dan suplementasi 60 mg elemen besi dan 1 mg asam folat setiap hari jika
ibu mengandung kekurangan zat ini (Norwitz, et al., 2005).
3. Kelainan metabolik.
Wanita dengan kehamilan kembar memiliki kadar glukosa puasa dan
postprandial yang lebih rendah, respon insulin yang lebih tinggi pada saat
makan dan kadar B-hydroxybutyrate yang lebih tinggi dibandingkan kehamilan
tunggal. Kehamilan kembar memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya diabetes melitus akibat peningkatan hormon plasenta karena massa
plasenta yang lebih besar (Norwitz, et al., 2005).
4. Hipertensi yang diinduksi kehamilan atau preeklampsia.
Hipertensi yang diinduksi atau preeklampsia lebih sering terjadi pada
kehamilan kembar. Peningkatan frekwensi dilaporkan terjadi dari
7% pada kehamilan tunggal menjadi 14% pada kehamilan kembar ganda, 21%
pada triplet dan 40% pada kuadruplet. Hipertensi yang diinduksi kehamilan
atau preeklampsia biasanya timbul lebih awal, lebih berat dan lebih sering pada
kehamilan kembar (Newman & Rittenberg,
2008).
5. Solusio plasenta / Placental Abruption.
Resiko kejadian perdarahan antepartum juga meningkat pada kehamilan
kembar dimana meningkat sebesar kurang lebih 3 kali lipat walaupun dengan
tekanan darah ibu yang terkontrol. Placental abruption lebih sering terjadi pada
kehamilan trimester tiga dan juga meningkat pada persalinan normal setelah
kelahiran anak pertama. (Newman & Rittenberg, 2008)
6. Hidramnion.
Hidramnion terjadi pada 2-5% kehamilan kembar ganda dan sekitar
8-10% kehamilan ganda terjadi pada semua kasus hidramnion. Hidaramnion
dapat berkembang sebagai konsekuensi dari TTTS dengan salah satu bayi yang
mengalami restriksi pertumbuhan dan oligohidramnion. (Newman & Rittenberg,
2008)
7. Infeksi saluran kemih.
Wanita dengan kehamilan kembar mengalami peningkatan resiko
terjadinya infeksi saluran kemih sebesar 1,4 kali lipat selama kehamilan. Infeksi
ini biasanya terjadi pada saluran kemih bagian bawah karena kejadian
pyelonefritis tidak meningkat signifikan. Komplikasi ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan urine yang statis akibat besarnya uterus yang
sedang hamil. (Newman & Rittenberg, 2008)
8. Perdarahan paska salin.
Peregangan yang berlebih dari rahim akibat kehamilan kembar dapat
menjadi predisposisi terjadinya perdarahan paska salin akibat atonia uteri. Dan
wanita dengan kehamilan kembar juga memiliki peningkatan resiko terjadinya
retensi jaringan plasenta, trauma mekanis pada saluran genital, dan
peningkatan resiko terjadinya efek samping dari medikasi seperti
magnesium sulfat yang biasa digunakan untuk mengatasi preekampsia dan
ancaman persalinan prematur. (Newman & Rittenberg, 2008)
G. Komplikasi fetus.
1. Abortus.
Abortus spontan lebih sering terjadi, pada kembar monokorionik lebih sering
dibandingkan kembar dikorionik yakni 18 banding 1, sehingga monozigotik
merupakan salah satu penyumbang terjadinya abortus spontan. Kelainan
kromosom (karena pembagian selama pembelahan yang tidak setara) seperti
pada kejadian abortus spontan umumnya merupakan faktor pendukung
terjadinya abortus spontan (Cunningham, et al., 2014).
2. Prematuritas.
Resiko persalinan prematur meningkat dengan banyaknya jumlah bayi
dalam rahim dan merupakan ancaman terbesar bagi kesehatan bayi baru
lahir. Persalinan prematur dan PPROM berhubungan dengan lebih dari 70%
kasus persalinan prematur. Dibandingkan dengan kehamilan tunggal, resiko
kematian dalam 1 tahun pertama adalah 5 kali lipat lebih besar pada kehamilan
kembar dan 14 kali lipat pada triplet. (Norwitz, et al., 2005)
3. Pertumbuhan janin terhambat (PJT).
PJT umum dijumpai pada kehamilan kembar. Pada trimenster ketiga,
rata-rata perkembangan bayi kembar mulai berbeda dibandingkan pada
kehamilan tunggal. PJT pada kehamilan kembar
28
28
paling baik diprediksi dengan mengukur beberapa parameter biometrik
termasuk lingkar perut.
4. Abnormalitas/malformasi kongenital.
Abnormalitas kongenital terjadi 2 kali lipat lebih sering pada kehamilan
multipel dan lebih sering terjadi pada kehamilan MZ daripada DZ. Mayoritas
kelainan terjadi pada kembar MZ. Abnormalitas kongenital bahkan terjadi
hingga 3 kali lipat pada kehamilan triplet. (Norwitz, et al., 2005). Malformasi
mayor terjadi pada 4% fetus kembar sedangkan malformasi minor 2%.
Peningkatan ini terjadi karena defek struktural kembar monozigotik termasuk
dalam salah satu golongan dibawah ini (Cunningham, et al., 2014) :
a. Cacat akibat proses pembentukan fetus kembar itu sendiri, termasuk kedalam
proses teratogenik, yaitu kembar siam, sirenomelia, defek tabung saraf dan
holoprosensefalus.
b. Cacat akibat twin to twin syndrome. Keadaan ini dapat menyebabkan
berbaliknya aliran darah disertai tidak tumbuhnya sebagian tubuh fetus
(akardia) pada salah satu fetus. Bila salah satu meninggal, faktor
pembekuan terpengaruh dan menyebabkan obstruksi pada fetus hidup
terutama menyerang organ vital sehingga terjadi kerusakan, seperti
mikrosefalus, hidranensefalus, atresia usus dan amputasi ekstremistas.
c. Cacat akibat letak paksa karena keterbatasan ruang, hal ini
menyebabkan kelainan seperti talipes equinovarus, atau dislokasi panggul
kongenital. Kejadian letak paksa juga dapat terjadi pada fetus dizigotik
karena berdesakan.
30
30
vanishing twin tampaknya tidak meningkatkan risiko kematian fetus yang masih
hidup secara bermakna. Pada usia kehamilan lanjut, kematian salah satu fetus
akan memicu gangguan koagulasi pada sirkulasi ibu. Pada kondisi ini terjadi
penurunan fibrinogen ibu dan terjadi peningkatan produksi degradasi fibrin, hal
ini mungkin berfungsi menghambat lepasnya tromboplastin dari fetus dan
plasenta yang mati ke dalam sirkulasi ibu sehingga mencegah terjadinya
koagulasi intravaskuler diseminata (Cunningham, et al., 2014).
Jika terjadi kematian fetus, kelanjutan manajemen kehamilan tergantung
pada usia kehamilan, korionisitas, dan keadaan ibu dan janin. Sebagian
besar kasus kehamilan kembar dengan salah satu fetus meninggal adalah
monokorionik. Penelitian pada kasus kematian satu fetus monokorionik
memperlihatkan bahwa terjadi penurunan tekanan aliran darah yang mendadak
pada salah satu fetus hidup setelah kematian fetus kembarnya. Proses
koagulopati setelah meninggalnya salah satu fetus berlangsung > 5 minggu
sejak mulainya kematian. Kematian janin tunggal pada kembar monokorion
adalah indikasi untuk persalinan segera jika kehamilan telah mendekati atau
telah cukup bulan. Jika ini merupakan kehamilan dikorionik, maka tidak
diperlukan intervensi kecuali jika kehamilan telah cukup bulan atau terdapat
indikasi ibu ataupun bayi untuk dilahirkan. (Newman & Rittenberg, 2008)
3. Kembar monoamnionik.
Kembar monoamnionik adalah bila kedua fetus menempati satu kantung
amnion yang sama. Jenis monoamnionik relatif jarang terjadi pada monozigotik
dibandingkan diamnionik, tetapi bila terjadi akan meningkatkan resiko
komplikasi. Kembar monoamnionik adalah kejadian yang langkah, hanya
mencakup kurang dari 1% dari kembar MZ. Namun kembar ini menyebabkan
40% angka kematian bayi yang terutama disebabkan oleh lilitan antar tali
pusat dan oklusi. Kembar monoamnionik juga berada pada faktor resiko
seperti kejadian anomali kongenital, termasuk kembar siam dan TTTS. Operasi
sectio caesaria biasanya direkomendasikan karena kemungkinan terjadinya
fetas distress intra partum akibat lilitan tali pusat. Jika direncanakan akan
31
31
menjalani persalinan spontan, monitoring janin secara kontinyu dianjurkan
sekaligus mempersiapkan kemungkinan dilakukannya sectio caesaria darurat.
(Newman & Rittenberg, 2008)
34
34
menggunakan ultrasonografi dengan kriteria meliputi (Cunningham, et al.,
2014):
a. Monokorion
b. Jenis kelamin yang sama
c. Polihidramnio yang didefinisikan sebagai adanya ukuran kantong vertikal
terbesar > 8 cm pada salah satu bayi kembar dan oligohidramnion yang
didefinisikan sebagai adanya ukuran kantong vertikal < 2 cm pada kembar
yang lain
d. Diskrepansi ukuran tali pusat
e. Disfungsi kardiak pada kembar resipien dengan polihidramnion
f. Ukuran pembuluh darah umbilikus atau velosimetri dopler duktus
venosus yang abnormal.
g. Pertumbuhan diskordan yang signifikan.
6. Kembar siam.
Insidensi terjadi pada 1 per 60.000 persalinan. Kembar siam sering terjadi
pada penyatuan bagian-bagian tubuh janin (Cunningham, et al.,
2014) :
a. Ventral
1. Rostral : Omfalofagus, torkofagus, sefalofagus.
2. Kaudal : Isiofagus
3. Lateral : Parafagus diprosopus, parafagus disefalus b.
Dorsal
1. Kraniofagus
2. Rakifagus
3. Pigofagus
I. Manajemen kehamilan.
Untuk kepentingan ibu dan janin, perlu diadakan pencegahan
terhadap pre-eklampsi dan eklampsia, partus prematurus, dan anemia. Agar
tujuan tersebut dapat tercapai, perlu dibuat diagnosa dini kehamilan. Pemeriksaan
antenatal perlu diadakan lebih sering. Sebaiknya wanita dengan kehamilan
multifetus melakukan antenatal care ke dokter yang berpengalaman
dibidangnya untuk mencegah peningkatan persalinan operatif pervaginam maupun
perabdominam, wanita dengan kehamilan multifetus diberi konseling tentang
resiko – resiko yang mungkin terjadi karena kehamilan multifetus merupakan
kehamilan yang beresiko tinggi baik bagi ibu maupun bagi janin. Mulai
kehamilan 24 minggu pemeriksaan dilakukan tiap 2 minggu, sesudah kehamilan
36 minggu dilakukan tiap minggu, sehingga tanda – tanda pre-eklampsia dapat
diketahui dini dan penanganan dapat dikerjakan segera. Penanganan selama
kehamilan secara intensif berfungsi untuk (James & Arnold, 2001):
Memperpanjang kehamilan.
Meningkatkan berat kelahiran.
Mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal.
Pengurangan insiden komplikasi ibu
Kebutuhan akan kalori, protein, mineral, vitamin dan asam lemak esensial
mengalami peningkatan pada wanita dengan multifetus. Kecukupan gizi yang di
anjurkan bagi kehamilan tanpa komplikasi bukan saja harus dipenuhi, tetapi pada
banyak keadaan perlu jumlah yang lebih. Karena itu konsumsi energi harus
ditingkatkan sebesar 300 kalori lagi per hari per jumlah fetus (Fortner, et al.,
2007). Pada kehamilan multifetus ini, suatu keadaan yang sering terjadi adalah
dimana terjadi kegagalan ibu untuk bertambah berat yang jumlahnya paling tidak
harus sama dengan berat produk kehamilannya (Cunningham, et al., 2014). Ibu
dengan kehamilan multifetus sebaiknya mendapatkan kalori dari protein 20 %,
karbohidrat 40 % dan lemak 40 %. Berdasarkan penelitian, komposisi diet tersebut
mampu meningkatkan kontrol glikemik. Diet hendaknya mencapai target kalori
sebanyak 3000 – 4000 kkal/hari. Pada trisemester pertama sebaiknya berat badan
meningkat 2-3 kg, ibu disarankan untuk mengkonsumsi asam folat 1 mg/hari dan
zat besi 60-100 mg/hari, karena pada trimester ketiga volume darah maternal
akan meningkat 50 -60 %.
Pertumbuhan fetus triplet akan lebih baik bila ibu naik berat bedannya >
0,75 kg/minggu sejak usia kehamilan 24 minggu (Krisnadi, et al., 2010).
40
40
K. Waktu persalinan
Insiden dari kematian bayi lahir mati ataupun kematian bayi setelah lahir
cenderung menurun hingga usia kehamilan 37-38 minggu untuk kehamilan
kembar. Insidensi terendah dari kematian perinatal pada kehamilan kembar adalah
pada usia kehamilan 38 minggu. Sebagian besar bayi yang meninggal pada
kehamilan kembar memiliki berat badan lahir kurang dari persentil 10.
Pemanjangan usia kehamilan memerlukan bukti ultrasonografi yang terpercaya
mengenai pertumbuhan janin yang adekuat, volume cairan amnion, dan
pemeriksaan kesejahteraan janin serta kondisi ibu yang stabil. Timbulnya PJT,
diskordan yang signifikan, oligohidramnion, preeklampsia pada ibu ataupun
komplikasi lainnya pada ibu setelah usia kehamilan 36 minggu dengan kehamilan
kembar ganda dan setelah usia kehamilan 34 minggu dengan kehamilan triplet
menjadi indikasi spesifik untuk persalinan. (Newman & Rittenberg, 2008)
L. Rute persalinan.
Pasien datang ke rumah sakit jika ditemukan tanda-tanda inpartu, pecah
ketuban atau jika ada perdarahan yang signifikan (Decherney & Nathan,
2007). Faktor –faktor yang mempengaruhi keberhasilan persalinan multifetus
adalah terdiagnosanya multifetus saat kehamilan sehingga perencanaan persalinan
akan lebih baik. Perlu ditentukan lokasi melahirkan dan penolong yang
kompeten untuk mengatasi komplikasi yang mungkin terjadi. Diagnosa dini dapat
dilakukan dengan ultrasonografi pada kehamilan muda sehingga korionitas,
amnionitas dan zigositas dapat diketahui dengan baik yang akan mempengaruhi
cara persalinan. Adanya faktor resiko antenatal yang lain seperti plasenta previa,
preeklampsia, PJT dan lainnya juga mempengaruhi cara persalinan, demikian juga
letak dan presentasi fetus I dan II, terutama untuk fetus II saat bayi I sudah
dilahirkan (Krisnadi, et al., 2010).
Pemilihan rute persalinan untuk kahamilan kembar ditentukan oleh
presentasi janin dimana biasanya dikategorikan kedalam 3 kelompok :
1. Kembar A (I) Vertex / Kembar B (II) Vertex.
Kurang lebih 40% kehamilan kembar akan berada pada posisi vertex
pada kedua bayi dan lebih dari 80% bayi kembar dengan
presentasi ini akan dapat lahir pervaginam (Fortner, et al., 2007). Bila presentasi
fetus I adalah kepala, bagian terendah sudah masuk pintu panggul dan ibu
merasa ingin meneran, pimpinan persalinan pervaginam segera dilakukan.
Bila kontraksi uterus tidak baik, dapat dilakukan augmentasi oksitosin.
Pemberian infus oksitosin (terutama setelah kelahiran bayi pertama) dapat
diberikan dengan dosis 10 IU didalam 1 liter NaCl 0,9% dengan kecepatan 1-2
mIU/menit, dinaikan dosisnya setiap 15-30 menit untuk mengembalikan
kontraksi uterus yang adekuat (Norwitz, et al., 2007).
Pada fetus II, kepala dilahirkan dengan cara yang sama. Apabila
presentasi fetus II berubah, prosedur persalinan sesuai dengan fetus I kepala ,
fetus II bukan kepala. Indikasi persalinan berbantu (ekstraksi vakum, forceps
atau seksio sesarea) sama dengan indikasi pada persalinan tunggal (Gabbe, et
al., 2007). Presentasi bayi kedua harus diperiksa ulang setelah bayi pertama
lahir mengingat dapat terjadi perubahan pada 10-20% kasus. Ibu tetap harus
diberitahu adanya kemungkinan seksio sesarea pada fetus II, karena setelah
fetus I lahir, pada sekitar 20% kasus dapat terjadi perubahan posisi/presentasi
fetus II yang tergantung dari usia gestasi. Semakin muda usia gestasi
semakin besar kemungkinan perubahan presentasi fetus II (Krisnadi, et al.,
2010).
Hogle dan rekan menelaah penelitian dalam skala luas dan menyimpulkan
bahwa sectio caesaria terencana tidak meningkatkan outcome perinatal jika
kedua bayi kembar berada pada letak kepala- kepala (Cunningham, et al., 2014).
Tidak ada bukti yang mendukung persalinan dengan sectio caesaria dengan
pertimbangan diskordan ukuran pada kedua bayi. Bahkan jika bayi kedua
(II) lebih besar daripada bayi pertama (I), persalinan pervaginam yang
aman dan sukses adalah mungkin terjadi jika bayi kedua berada pada presentasi
kepala. (Newman & Rittenberg, 2008)
42
42
terjadi pada sebanyak 40% dari persalinan kembar. Pilihan yang ada meliputi
sectio caesaria untuk kedua bayi, ekstraksi bokong pada bayi kedua, persalinan
per vaginam dengan eksternal / internal cephalic version intrapartus pada bayi
kedua ataupun persalinan pervaginam untuk bayi pertama dan sectio caesaria
untuk bayi kedua akibat komplikasi intrapartum seperti prolaps tali pusat atau
fetal distress. Diperlukan observasi dan keterampilan yang baik untuk
memprediksi dan memutuskan persalinan fetus kedua (Cunningham, et al.,
2014).
Setelah bayi I lahir, lakukan evaluasi presentasi fetus II. Apabila fetus II
presentasi bokong dengan taksiran berat badan > 2000 gram, lakukan persalinan
sungsang pervaginam atau ekstraksi kaki. Kemungkinan lainnya adalah
melakukan versi luar untuk menjadikan fetus II presentasi kepala. Kadang-
kadang bagian terendah fetus II tidak turun yang biasanya disebabkan oleh
inersia uteri, maka harus dilakukan augmentasi oksitosin (Krisnadi, et al.,
2010).
45
45
mengedan. Setelah bagian terbawah kepala mencapai pintu bawah panggul, dapat
dilakukan tindakan amniotomi pada saat kontraksi dengan disertai penekanan
ringan pada fundus uteri untuk membantu fiksasi kepala didalam panggul.
(Newman & Rittenberg, 2008)
Tambahan kalori untuk dikonsumsi oleh ibu sebanyak 500-600 kcal per
bayi per hari untuk kelancaran laktasi dengan komposisi 20% protein,
40% karbohidrat dan 40% lemak. Ibu diedukasi untuk cukup mengkonsumsi
cairan dan juga posisi menyusui yang baik (Karkata & Kristanto, 2012).
Karena adanya resiko atonia uteri dan persarahan postpartum, ibu harus
dipantau ketat beberapa jam setelah persalinan. Pemberian oksitosin intravena
harus diberikan dan fundus uteri harus sering diperiksa untuk memastikan
kontraksi uterus yang baik tercapai. Konsultasi laktasi dapat diberikan agar ibu
dapat menyusui bayi kembarnya dengan baik terutama pada kasus persalinan
prematur. Follow up dan dukungan bagi ibu pada minggu-minggu awal persalinan
adalah penting untuk diberikan terutama pada kasus bayi memerlukan perawatan
yang intensif. Depresi paska salin terkadang dapat dijumpai pada ibu dengan
persalinan kembar. (Newman & Rittenberg, 2008)
Gambar 8. Alur penatalaksanaan kehamilan multifetus (Karkata & Kristanto,
2012).
Gambar 9. Protokol penatalaksanaan persalinan multifetus (Krisnadi, et al.,
2010).
BAB IV
DISKUSI
Pada kasus ini dilaporkan seorang pasien usia 28 tahun yang masuk KB IGD
RSIA DIAN Purwakarta pada tanggal 11 November 2019 pukul 20.45 WIB, Datang
sendiri dengan diagnosa G3P2A0H3 parturien preterm 36-37 minggu kala II
(kehamilan triplet), janin hidup triplet intra uterin letkep UUK depan H III-IV.
Sebagai panduan diskusi akademik berikut adalah hal yang akan didiskusikan :
1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
2. Apakah tata laksana pasien ini sudah tepat?
3. Apakah kemungkinan korionisitas dan plasentasi pada kehamilan ini?
50
50
6/7. Tali pusat lalu diklem dan dipotong dibagian distal, klem dibiarkan terpasang.
Dilakukan peregangan tali pusat terkendali dan plasenta lahir 8 menit kemudian,
tampak 2 plasenta tergabung menjadi 1 dengan 3 tali pusat (2 tali pusat
berinsersi pada 1 plasenta dan 1 tali pusat pada plasenta lainnya).
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis pasien
ini sudah tepat yaitu pada saat pertama kali masuk dengan D/ G2P1A0H1 parturien
preterm 36-37 minggu kala II, janin hidup intra uterin kepala crowning dan setelah
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan lanjutan didapatkan D/ G2P2A0H2
parturien preterm 36-37 minggu kala II (janin ke-2 – kehamilan triplet), Janin
hidup gemelli intra uterin letkep- letkep UUK depan H III-IV.
2. Tatalaksana pasien :
Menurut Newman dan Rittenberg tahun 2008, sectio caesarea adalah langkah
yang direkomendasikan pada kasus triplet atau lebih. Mayoritas dokter kandungan
memilih metode terminasi dengan sectio caesaria namun persalinan pervaginam
yang sukses juga dilaporkan pada beberapa kasus dengan luaran perinatal yang
baik. Jika direncanakan terminasi secara pervaginam, diperlukan tim obstetris yang
baik dan siap, antisipasi kejadian malpresentasi dan persiapan sectio caesaria
darurat jika diperlukan. Persalinan pervaginam akan menjadi pilihan yang optimal
jika diperkirakan berat masing-masing bayi tidak lebih dari 1500 gr dan presentasi
bayi pertama dan kedua berada pada presentasi vertex (Newman & Rittenberg,
2008). Dengan persalinan pervaginam, bayi pertama biasanya lahir dengan sedikit
ataupun tanpa manipulasi. Persalinan untuk fetus berikutnya disesuaikan dengan
presentasi fetus.
Pada kasus ini pasien pasien sebelumnya tidak pernah control ke SP OG dan
saat datang sudah berada pada kala II dengan presentasi vertex pada anak pertama
maka persalinan dilakukan secara pervaginam. Seharusnya estimasi berat badan
bayi diketahui serta dapat dideteksi jumlah dan posisi janin, namun tidak
dapat ditentukan pada pasien ini karena pasien tidak dapat di USG (Kala II)
dan tidak ada data dari ANC pasien sebelumnya.
Beberapa menit setelah persalinan anak pertama didapatkan his pasien masih
adekuat (tidak memerlukan augmentasi dimana menurut Krisnadi et al, biasanya
pada persalinan bayi kembar dapat disertai inersia uteri). Setelah dilakukan
pemeriksaan didapatkan kedua bayi didalam rahim berada pada posisi vertex-
vertex. Persalinan lalu ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi pada persalinan
bayi kembar dengan posisi vertex-vertex yaitu dengan persalinan pervaginam yang
mana menurut Fortner et al, lebih dari 80% bayi kembar dengan presentasi ini akan
dapat lahir pervaginam. Dan menurut Hogle dan rekan setelah menelaah penelitian
dalam skala luas dan disimpulkan bahwa sectio caesaria terencana tidak
meningkatkan outcome perinatal jika kedua bayi kembar berada pada letak kepala-
kepala (Cunningham, et al., 2014).
Berdasarkan kondisi dan diagnosis pada saat itu maka tatalaksana pada
pasien ini sudah tepat.
Kehamilan Multifetus memiliki risiko lebih tinggi untuk ibu dan janin baik
dalam proses kehamilan ataupun persalinan, risiko yang dapat muncul selama
kehamilan adalah abortus, kelahiran premature, IUGR, Twin to thin transfusion
syndrome, kelainan pada janin, preeclampsia dll. Serta selama proses kelahiran tentu
saja persalianan macet, persalinan yang harus dilakukan dengan operasi, serta risiko
perdarahan pasca kelahiran yang menjadi lebih tinggi, terutama diakibatkan oleh atonia
uteri.
Peran penting tenaga kesehatan untuk mencegah, menemukan dan segera
merujuk apabila ditemukan kehamilan dengan risiko tinggi seperti ini, sehingga
morbiditas dan mortalitas lebih lanjut dapat dicegah.
Pada laporan kasus ini menunjukkan bahwa pasien 26 tahun dengan kehamilan
triplet, datang ke tenaga kesehatan hanya sekali selama kehamilan, serta datang
kerumah sakit sudah dalam keadaan kala II, tentu saja keadaan ini menjadi keadaan
darurat untuk sebuah kasus obstetric, dengan kehamilan yang masih preterm,
semestinya keadaan seperti ini sudah terpantau sejak awal kehamilan, sehingga
penanganan dapat dilakukan lebih baik.
Diperlukan perhatian lebih ketat dari tenaga kesehatan di perifer misalnya bidan
desa dan kader untuk menyaring ibu hamil dengan risiko tinggi agar mendapatkan ANC
yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
Decherney, A. & Nathan, L., 2007. Multiple Pregnancy. Em: Current diagnosis and
treatment obstetrics and Gynecology, 10th edition. New York: McGraw-Hill.
Elliott., J. P., 2005. Preterm Labor in Twins and High-Order Multiples. Obstet
Gynecol Clin N Am, Volume 32, p. 429– 439.
Gabbe, S. G., Niebyl, J. R. & Simpson, J. L., 2007. Multiple gestations. Em:
Obstetrics : Normal and Problem Pregnancies. Philadelphia: Churchill
Livingstone of Elsevier, p. Chapter 28.
James, R. & Arnold, L., 2001. Kehamilan Ganda. Em: Esensial Obstetri dan
ginekologi edisi 2, Alih bahasa Nugroho E. Jakarta: Hipokrates.
Krisnadi, R., Anwar, A. & Irianto, S., 2010. Kehamilan multifetus. Bandung: Divisi
Fetomaternal obstetri dan ginekologi Fakultas kedokteran Universitas
Padjajaran.
Norwitz, E. R., Edusa, V. & Park, J. S., 2005. Maternal Physiology and
Complications of Multiple Pregnancy. Seminars in Perinatology, Volume
29, pp. 338-348.
Syamsuri, K. A., 2004. Kehamilan kembar. Em: R. Hariadi, ed. Ilmu Kedokteran
Fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal, pp. 426-443.
Taylor, J. & Fisk, N., 2004. Prenatal diagnosis in multiple pregnancy. Em:
Bailliere’s Clinical obstetrics and gynaecology. London: s.n.
Pada kehamilan monokorionik, kejadian diskordan lebih sering, sering
kali lebih berat dan dapat berhubungan dengan TTTS (Krisnadi, et al., 2010).
Kembar yang tidak setara atau discordance twin mungkin merupakan
tanda pertumbuhan janin terhambat pada salah satu fetus, dan fetus yang lebih
besar dijadikan acuan. Semakin berat perbedaan semakin buruk prognosisnya.
Pertumbuhan janin terhambat sering terjadi pada akhir trisemester dua atau
awal trisemester tiga, dan bersifat asimetris.