Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bakteri
1. Struktur Bakteri
Bakteri merupakan salah satu organisme golongan prokariotik, dibedakan
(Carrol et al, 2016; Struthers, 2017)
dengan eukariotik karena tidak memiliki membran nuklear .
Diameternya berkisar antara 0,5 sampai 2,0 μm (sebagai perbandingan eritrosit
berdiameter 7,5 μm). Meskipun demikan, bakteri yang berbentuk spiral dapat
mencapai panjang 60 μm (Black & Black, 2015).

Gambar 1. Ukuran Bakteri Dibandingkan dengan Eritrosit (Struthers, 2017)


a) Nukleoid
Bakteri membungkus DNA dalam sebuah struktur yang disebut dengan
(Black &
nukeloid. Nukleoid mengandung DNA yang tersusun di dalam kromosom
Black, 2015)
. Jumlah kromosom bergantung pada kondisi pertumbuhan. Pada
lingkungan yang mendukung, bakteri tumbuh lebih cepat sehingga memiliki
(Carrol et
jumlah kromosom lebih banyak dibanding bakteri yang tumbuhnya lambat
al, 2016)
.

Gambar 2. Nukleoid Eschericia coli (Black & Black, 2015)


b) Sitoplasma

3
Sitoplasma merupakan struktur semicair yang terdapat di dalam membran
sel. Umumnya sitoplasma bakteri mengandung ribosom, nukleoid, dan vakuola
atau granula (Black & Black, 2015).
Ribosom terdiri dari RNA dan protein yang tergabung dalam suatu rantai
yang disebut dengan poliribosom. Sintesis protein berlangsung di ribosom dengan
bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas dua subunit yang
berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S.
Kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom
70S (Black & Black, 2015; Ganiswara, 2007).
Bakteri menyimpan cadangan dalam bentuk granula maupun vakuola
yang disebut dengan badan inklusi, tampak seperti badan refraktil di bawah
mikroskop. Badan inklusi umumnya mengandung asam poli-beta-hidroksibutirat
dan glikogen. Keduanya digunakan untuk sintesis asam nukleat dan protein saat
pertumbuhan sel berlangsung (Carrol et al,2016).

Gambar 3. Bacillus megaterium; asam poli hidroksibutirat pada badan inklusi


(PHB), dinding sel (CW), nukleoid (N),membran plasma (PM), mesosom(M), dan
ribosom(R) (Carrol et al,2016)
c) Membran Sel
Membran sel bakteri terdiri dari fosfolipid dan sekitar 200 jenis protein.
Struktur membran sel diisi hampir 70% oleh protein, proporsi yang jauh lebih
banyak dibandingkan membran sel mamalia. Membran sel berfungsi untuk
transportasi zat terlarut, elektron, enzim, dan molekul yang berfungsi dalam
biosintesis bakteri (Carrol et al, 2016; Struthers, 2017).

4
Gambar 4. Struktur Membran Plasma Bakteri (Struthers, 2017)
d) Dinding Sel
Fungsi utama dinding sel adalah melindungi sel terhadap kekuatan
osmotik atau kekuatan fisik lainnya yang dapat menghancurkan sel. Kekuatan
dinding sel bakteri dipengaruhi oleh struktur peptidoglikan, yakni molekul tunggal
besar yang bersifat rigid sehingga juga berperan dalam menentukan bentuk sel
bakteri (Carrol et al, 2016; Struthers, 2017; Silhavy et al , 2010).
Pada bakteri gram positif, terdapat sekitar 40 lembar peptidoglikan yang
(Carrol et al, 2016; Black & Black, 2015)
menyusun lebih dari 50% material dinding sel .
Sedangkan bakteri gram negatif hanya mengandung satu atau dua lembar
peptidoglikan namun dilengkapi dengan membran luar bilayer (Black & Black, 2015; Silhavy et
al, 2010)
. Membran luar bilayer melekat pada peptidoglikan melalui lipoprotein.
Selain itu, bakteri gram negatif mengandung lipopolisakarida sebagai bagian
integral dari dinding sel nya. Lipopolisakarida atau yang disebut juga dengan
endotoksin terdiri dari polisakarida dan lipid A. Lipid A bertanggung jawab
terhadap toksisitas bakteri yang menyebabkan beberapa bakteri gram negatif
menimbulkan masalah klinis yang serius (Carrol et al, 2016; Black & Black, 2015)

Gambar 5. Dinding Sel Bakteri Gram Positif (Black & Black, 2015)

5
Gambar 6. Dinding Sel Bakteri Gram Negatif (Black & Black, 2015)
e) Flagela
Sebagian besar bakteri bersifat motil. Satu bakteri dapat memiliki satu atau
banyak flagela sebagai organ penggeraknya. Flagela terbuat dari ribuan molekul
(Black & Black, 2015)
subunit protein yang disebut flagelin . Flagela bakteri bersifat sangat
antigenik (antigen H). Beberapa respon imun terhadap infeksi ditujukan pada
protein-protein ini (Carrol et al, 2016).

Gambar 7. Flagela Bakteri (Carrol et al,2016)


f) Pili/Fimbriae
Pili/fimbriae merupakan struktur tambahan yang umumnya ditemukan
pada bakteri gram negatif. Pili lebih pendek dan lebih kecil dibandingkan flagela.
Pili disusun oleh protein struktural yang disebut dengan pilin. Selain berfungsi
sebagai alat gerak, pili berperan dalam perlekatan bakteri ke sel pejamu sehingga
pili iku serta dalam menentukan virulensi suatu bakteri. Contohnya, Neissherria
gonorrhae memiliki pili dari tipe antigen yang berbeda sehingga dapat tetap
(Carrol et al, 2016)
melekat ke pejamu walaupun terdapat antibodi terhadap pili aslinya .
Pada beberapa bakteri, pili berfungsi sebagai organ reproduksi atau disebut juga
pili seksual atau pili konjugasi. Pili seksual berperan dalam transfer DNA ke
bakteri yang lainnya (Black & Black, 2015).

6
Gambar 8. Pili Bakteri (Black & Black, 2015)
g) Endospora
Genus Bacillus dan Clostridium paling sering ditemukan membentuk
endospora. Bakteri ini berubah menjadi bentuk spora yang sangat resisten
(Carrol et al, 2016)
terhadap desikasi, panas, dan agen kimia . Spora dapat bertahan dalam
waktu yang lama mencapai 10.000 tahun pada temperatur -14 0C dan kedalaman
(Black & Black, 2015)
430 meter . Ketika kondisi lingkungan kembali mendukung, spora
bergerminasi untuk menghasilkan sel vegetatif tunggal (Carrol et al, 2016).

2. Klasifikasi Bakteri
Bakteri dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi, tempat
pertumbuhan, pewarnaan, kebutuhan nutrisi, fisiologi, biokimiawi, dan analisis
(Becerra et al,
molekular. Dalam praktik klinis, pewarnaan gram lebih umum digunakan
2016; Black & Black, 2015)
.
Pewarnaan gram mengklasifikasikan bakteri secara sederhana menjadi dua
yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif akan
mengikat kristal violet dan iodin sehingga tetap berwarna biru, sedangkan violet
pada bakteri gram negatif akan hilang saat diberikan alkohol. Selanjutnya jika
bakteri gram negatif diberi pewarnaan safranin makan bakteri gram negatif akan
(Struthers, 2017; Thaiharu et al, 2014; Becerraet al, 2016)
memperlihatkan warna merah .

a) Bakteri Gram Positif


Bakteri gram positif ditandai dengan peptidoglikan yang tebal (sekitar 50-
(Carrol et al, 2016; Thaiharu et al, 2014)
90% dari ketebalan dinding sel) . Bakteri gram positif
aerob yang sering ditemukan antara lain Staphylococcus, Streptococcus,

7
Enterococcus, Bacillus, Corynebacterium, dan lain-lain. Sedangkan bakteri gram
positif bersifat anaerob yang sering ditemukan yaitu Clostridium (Struthers, 2017).

Gambar 9. Klasifikasi Bakteri Gram Positif Aerobik (Struthers, 2017)

Gambar 10. Klasifikasi Bakteri Gram Positif Anerobik (Struthers, 2017)

Genus Staphylococcus memiliki setidaknya 40 spesies dan tumbuh dengan


mudah pada sebagian besar media bakteriologis pada kondisi aerob.
Staphylococcus merupakan sel sferis berdiameter sekitar 1 μm bersifat nonmotil
dan tidak membentuk spora serta memiliki enzim katalase untuk mengubah
hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Staphylococcus aureus dibedakan
dengan stafilokokus lainnya karena menghasilkan koagulase ekstraseluler, yakni
protein mirip enzim yang membekukan plasma yang mengandung oksalat dan

8
sitrat. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan bakterimia, endokarditis
infektif, dan infeksi berat lainnya (Tong et al ,2015; Carrol et al,20165).
Berbeda dengan Staphylococcus, Streptococcus tidak memiliki enzim
katalase. Streptococcus umumnya ditemukan dalam bentuk berpasangan atau
rantai. Bakteri ini tersebat sangat luas di alam dan dapat menyebabkan infeksi
ringan hingga berat (Terao, 2012; Carrol et al, 2016).
Enterococcus merupakan flora normal enterik dan memiliki paling sedikit
12 spesies, bersifat anaerob, dan nonspora. Enterococcus faecalis adalah spesies
yang paling umum ditemukan dan menyebabkan 85-90% infeksi Enterococcus
(Tyne et al, 2013; Carrol et al, 2016)
.
Basil gram positif pembentuk spora yang paling umum adalah Bacillus sp
dan Clostridium sp. Bacillus sp bersifat aerob sedangkan Clostridium sp bersifat
anaerob (Struthers, 2017). Genus Bacillus umumnya tidak menimbulkan penyakit kecuali
sebagian kecil seperti Bacillus antrachis yang menyebabkan penyakit antraks dan
Bacillus cereus pada keracunan makanan dan infeksi terlokalisir lainnya. Genus
Clostridium sangat heterogen mencapai lebih dari 190 spesies. Clostridium
menyebabkan beberapa penyakit penting yang diperantarai toksin seperti tetanus,
botulisme, gas gangren, dan kolitis pseudomembran (National Health Service, 2015).
b) Bakteri Gram Negatif
Bakteri gram negatif memilikipeptidoglikan yang tipis dan dilengkapi
(Thaiharu et al, 2014; Struthers, 2017)
membran luar bilayer pada dinding selnya . Bakteri gram
negatif yang sering ditemukan dalam praktik klinis antara lain golongan
Enterobacteriaceae (mencakup Eschericia, Salmonella, Shigella, Klebsiella,
Enterobacter, Proteus, dan Serratia), Neisseria, Pseudomonas, Moraxella, Vibrio
Cholerae, Bordetella pertusis, Haemophilus influenza, dan lain-lain (Struthers, 2017; Carrol
et al, 2016)
.

9
Gambar 11. Klasifikasi Bakteri Gram Negatif (Struthers, 2017)
Enterobacteriaceae merupakan kelompok besar bakteri gram negatif yang
habitat alaminya di saluran cerna.Enterobacteriaceae yang sering ditemukan yaitu
Eschericia, Salmonella, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, dan Serratia.
Eschericia coli bersifat komensal pada manusia dan menjadi patogen pada
(Jang, 2017)
imunokompromis . Sedangkan organisme enterik lain seperti Salmonella
dan Shigella memang bersifat patogen bagi manusia. Entereobacteriaceae tumbuh
(Carrol, et
baik pada agar McConkey, bersifat katalase positif, dan oksidase negatif
al,2016)
.
Pseudomonas tersebar di tanah dan air. Pseudomonas aeruginosa biasanya
ditemukan pada lingkungan yang lembab di rumah sakit dan termasuk ke dalam
(Cai, et al, 2011; Carrol, et al,
lima kuman tersering yang menyebabkan infeksi nosokomial
2016)
.
Vibrio cholerae merupakan bakteri aerobik berbentuk batang melengkung
yang motil karena memiliki flagel bipolar. Vibrio cholerae melekat pada
mikrovilus di saluran cerna kemudian memperbanyak diri dan melepaskan toksin
kolera (Silva& Benitez, 2016; Carrol et al, 2016).
Neisseria gonorrhoae berbentuk diplokokus, nonmotil, berdiameter sekitar
0,8 μm. Neisseria gonorrhoae menyerang membran mukosa saluran

10
genitourinaria, mata, rektum, dan faring yang menimbulkan supurasi dan dapat
menginvasi jaringan (Carrol et al, 2016).
c) Golongan bakteri lainnya
Selain bakteri gram positif dan negatif, ditemukan bakteri atipikal yang
tidak dapat digolongkan ke dalam keduanya. Contohnya adalah bakteri tahan
asam Mycobacterium, bakteri tanpa dinding sel yakni Mycoplasma dan
(Carrol et al,2016;
Ureaplasma, bakteri berbentuk spiral, dan bakteri obligat intraseluler
Struthers, 2017)
.

Gambar 12. Golongan Bakteri Lainnya (Struthers, 2017)

B. Antibiotik
1. Farmakokinetik Antibiotik
Farmakokinetik dapat menjelaskan efektivitas obat dalam penggunaannya
secara klinis. Proses faramakokinetik terdiri dari fase absoprosi, distribusi,
metabolisme, dan eksresi (Ganiswara, 2007; Gallagher & MacDougall, 2017).
a) Absorpsi
Sebagian besar antibiotik diberikan secara oral dan intravena. Absorpsi
obat dijelaskan melalui bioavailibilitas, yakni persentasi obat yang dapat
mencapai sirkulasi. Jika obat diberikan secara intravena, maka bioavailibilitasnya

11
(Ganiswara, 2007; Levison & Levison, 2009)
mencapai 100% . Jika diberikan secara oral,
bioavailibiltas antibiotik dapat tetap tinggi atau menurun. Fluorokuinolon,
metronidazol, tetrasiklin, minosiklin, doksisiklin, linezolid, dan kotrimoksazol
merupakan contoh antibiotik yang dapat diserap dengan baik pada dosis yang
sama saat pemberian oral dan intravena. Sedangkan penisilin G memiliki
bioavalibilitas yang rendah (<30%) karena mudah dihancurkan oleh asam
lambung. Penisilin V lebih stabil terhadap kondisi asam, bioavailibilitasnya
sekitar 60-70%. Amoksisilin jauh lebih menguntungkan diberikan secara oral,
bioavailibilitasnya mencapai 74-92%. Sedangkan ampisilin oral hanya diabsorbsi
sekitar 30-55% (Ganiswara, 2007).
Pada umumnya, antibiotik diserap lebih baik di usus halus dibanding
lambung. Oleh karena itu, semakin cepat pengosongan lambung, semakin cepat
dan semakin tinggi konsentrasi obat dapat dicapai. Makanan berlemak dapat
menunda pengosongan lambung sehingga juga menurunkan menurunkan level
puncak obat di plasma. Penisilin G lebih baik diberikan saat puasa (1/2 jam
sebelum atau 2 jam setelah makan), yakni saat kondisi asam lambung minimal.
Eritromisin dan azitromisin memiliki bioavailibilitas yang lebih pada saat puasa.
Sedangkan absorpsi amoksisilin fluorokuinolon, metronidazole, minoksiklin,
doksisiklin, linezolid, dan kotrimoksazol tidak dipengaruhi oleh keadaan puasa
maupun makan (Ganiswara, 2007).

Tabel 1. Bioavalibilitas Antibiotik Oral (Gallagher & MacDougall, 2017)


Obat Bioavailibilitas Dosis Peroral Dosis Intravena
Bioavailibilitas tinggi, dosis oral sama dengan dosis itravena
Metronidazol 95-100% 500 mg PO q8h 500 mg IV q8h
Levofloksasin 95-100% 500–750 mg PO perhari 500–750 mg IV q24h
Flukonazol 95-100% 200–400 mg PO perhari 200–400 mg IV perhari
Doksisiklin 95-100% 100 mg PO q12h 100 mg IV q12h
Siprofloksasin ~80% 500 mg PO q12h 400 mg IV q12h
Bioavailibilitas tinggi, dosis oral berbeda dengan dosis itravena
Aminopenisilin ~90% Amoksisilin 500 mg–1 g Ampisilin 1–2 g IV
PO TID q4–6h
Sefalosporin ~90% Sefazolin: 1–2 g IV Sefaleksin 500 mg PO
generasi I q8h QID
Bioavailibilitas rendah, dosis oral sama dengan dosis itravena
Sefuroksim ~40% 500 mg PO BID 750 IV q8h

12
b) Distribusi
Setelah diabsorbsi, obat akan didistrubusikan ke berbagai jaringan.
Konsentrasi obat di jaringan bisa sama, lebih tinggi, ataupun lebih rendah dari
konsentrasi di darah (Gallagher & MacDougall, 2017).
Sebagian besar obat melewati membran dengan cara difusi pasif. Difusi
terjadi jika konsentrasi di salah satu sisi membran lebih tinggi dari sisi yang lain.
Namun di beberapa jaringan, seperti mata, prostat, dan otak, terdapat membran
yang memiliki junction yang erat dan tidak memiliki pori kapiler sehingga sulit
untuk berdifusi. Antibiotik harus menembus sel endotel yang membrannya
terbentuk dari lipid. Sehingga antibiotik yang digunakan untuk organ-organ
tersebut adalah agen yang larut lemak (Ganiswara, 2007; Levison & Levison, 2009).
Obat larut lemak seperti metronidazol dan rifampisin lebih baik
melakukan penetrasi ke kapiler dibandingkan obat larut air seperti β-laktam dan
aminoglikosida. Namun pada beberapa kasus seperti meningitis, penggunaan β-
laktam dapat digunakan dengan cara meningkatkan dosisnya agar dapat
menembus cairan serebrospinal (Ganiswara, 2007).
Selain itu distribusi obat ke jaringan juga bergantung pada ikatannya
dengan protein di dalam darah, terutama albumin. Obat yang berikatan kuat
dengan protein tidak mampu berdifusi melewati membran sel sehingga
efektifitasnya menjadi turun. Distribusi obat juga dipengaruhi oleh karakteristik
pasien. Kondisi seperti vaskularisasi yang buruk akibat komorbid atau terdapatnya
abses dapat menurunkan pencapaian konsentrasi antibiotik di jaringan yang
terinfeksi (Levison & Levison, 2009; Gallagher & MacDougall, 2017).
c) Metabolisme dan Ekskresi
Antibiotik dapat langsung dieliminiasi atau setelah diubah menjadi
metabolit. Pada proses metabolisme, umumnya obat diubah menjadi lebih polar
sehingga mudah larut dalam air dan mudah dieksresikan melalui ginjal. Selain itu,
biotransformasi ini sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat karena dapat
mengubah obat menjadi inaktif (Levison & Levison, 2009).
Ekskresi terutama terjadi melalui urin dan feses. Sebagian besar β-laktam,
aminoglikosida, tetrasiklin, vankomisin, dan sulfonamid dieksresikan melalui
ginjal. Hanya obat bebas (yang tidak terikat protein plasma) yang dapat melewati
filtrasi glomerulus, sehingga obat yang terikat kuat dengan protein seperti
seftriakson akan memperpanjang durasinya di dalam darah. Eritromisin,

13
azitromisin, moksifloksasin, klindamisin, rifampisin, dan sefoperazon diekresikan
dari hepar ke duktus biliaris (Ganiswara, 2007).

2. Farmakodinamik Antibiotik
Farmakodinamik mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi antibiotik
terhadap sel. Melalui farmakodinamik, dapat diketahui efek utama antibiotik
sehingga menjadi dasar terapi rasional (Ganiswara, 2007).
Antibiotik yang baik memiliki toksisitas selektif yang tinggi. Artinya, obat
tersebut harus bersifat sangat toksik terhadap bakteri namun tidak toksik terhadap
pejamu. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang menghambat
pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) dan ada yang bersifat membunuh bakteri
(bakterisidal). Kadar minimal antibiotik yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri disebut dengan minimal inhibitory concentration (MIC).
Sedangkan kadar minimal yang diperlukan untuk membunuh bakteri disebut
dengan minimal bactericidal concentration (MBC). Selain itu di dalam
farmakodinamik juga dikenal istilah efek pascaantibiotik, yakni tertundanya
(Levison & Levison, 2009;
pertumbuhan kembali bakteri setelah pajanan agen antibiotik
Ganiswara, 2007)
.
Antibiotik dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan proses
farmakodinamiknya. Kelompok pertama adalah time-dependent bactericidal.
Antibiotik ini tidak terlalu dipengaruhi konsentrasi antibiotik yang melebihi nilai
MIC (contoh: β-laktam dan vankomisin). Time-dependent bactericidal memiliki
aktivitas bakterisidal yang lambat. Peningkatan aktivitas bakterisidal dapat dilihat
saat konsentrasinya meningkat melebihi aksi bakterisidal maksimal, yakni hampir
empat kali lipat MIC. Antibiotik ini memiliki efek pascaantibiotik yang pendek
terhadap kokus gram positif dan tidak memiliki efek pascaantibiotik terhadap
basil gram negatif. Frekuensi pemberian obat penting dalam menentukan hasil.
Interval pemberian yang pendek akan meningkatkan waktu dimana konsentrasi
obat tetap lebih tinggi dari MIC (Levison & Levison, 2009).
Kelompok kedua adalah concentration-dependent bactericidal. Antibiotik
ini dipengaruhi oleh konsentrasi obat dan memiliki efek pascaantibiotik yang
panjang (contoh: aminoglikosida, fluorokuinolon, kolistin, metronidazol, dan
azitromisin). Jumlah obat yang diberikan lebih menentukan efikasi obat dibanding
frekuensi pemberian obat (Levison & Levison, 2009).

14
Kelompok ketiga adalah antibiotik yang predominan bersifat bakteriostatik
dan memiliki efek pascaantibiotik yang panjang (contoh: makrolid, klindamisin,
tetrasiklin, dan tenazolid). Karena memiliki efek pascaantibiotik yang panjang,
maka efikasinya tidak terlalu bergantung pada waktu (Levison & Levison, 2009).
Penting untuk mempertahankan kadar efektif antibiotik saat bakteri
penyebab sedang berproliferasi. Kadar tersebut harus dipertahankan dalam jangka
waktu yang cukup untuk memusnahkan bakteri. Karena obat diberikan secara
intermiten, dieksresikan dan diserap secara tidak tertur, maka kadar obat akan
terus naik turun di tempat infeksi. Untuk mempertahankan kadar obat yang
adekuat di dalam jangka waktu yang cukup, hubungan waktu dan dosis harus
diperhatikan. Semakin besar dosis, semakin lama interval yang diperbolehkan
antara pemberian dosis. Semakin kecil dosis, semakin pendek interval yang
diperbolehkan untuk memastikan tercapainya kadar obat yang adekuat (Ganiswara, 2007).

Sifat antibiotik berbeda antara satu dengan lainnya. Penisilin G aktif


terhadap bakteri gram positif, sedangkan bakteri gram negatif umumnya tidak
peka terhadap penisilin G. Streptomisin memiliki sifat yang sebaliknya.
Tetrasiklin aktif terhadap bakteri gram positif, gram negatif, Rickettsia dan
Chlamydia. Berdasarkan perbedaan ini antibiotik dibagi menjadi dua yakni
antibiotik spektrum sempit seperti benzil penisilin dan streptomisin, dan antibiotik
spektrum luas seperti tetrasiklin dan kloramfenikol (Ganiswara, 2007).
Antibiotik bekerja terhadap bakteri melalui 4 mekanisme: 1) menghambat
sintesis dinding sel, 2) mengganggu fungsi membran sel, 3) menghambat sintesis
protein, 4) menghambat sintesis asam nukleat bakteri, dan 5) meningkatkan enzim
yang dihambat oleh antibiotik (Carrol, et al,2016; (Black & Black, 2015).

3. Klasifikasi Antibiotik
1) Antibiotik yang Menghambat Sintesis Dinding Sel
a. Penisilin
Penisilin alami seperti penisilin G dan penisilin V diekstrak dari hasil
kultur Penicillum notatum. Semua penisilin memiliki struktur yang sama yakni
cincin tiazolidin yang berikatan dengan β-laktam. Jika ikatan tersebut diputuskan
secara enzimatis oleh β-laktamase maka penisilin tidak lagi memiliki aktivitas
antibakteri (Hauser, 2013; Carrol, et al,2016; Black & Black, 2015).
Semua obat golongan β-laktam termasuk penisilin bekerja dalam
menghambat sintesis peptidoglikan. Obat ini berikatan dengan reseptor PBP

15
(Penicillin-Binding Protein) yang seharusnya terlibat dalam reaksi transpeptidase
pada pembentukan peptidoglikan (Gualerzi et al, 2014).
Penisilin dikembangkan menjadi bentuk semisintetik yang mampu
melawan bakteri resisten penisilin karena tahan terhadap enzim β-laktamase.
Contoh penisilin semisintetik di antaranya adalah metisilin, nafsilin, oksasilin,
ampisilin, amoksisilin, karbenisilin, dan ticarsilin (Gualerzi et al, 201; Black & Black, 2015).
Penisilin efektif terhadap infeksi Streptococcus, Pneumococcus,
Meningococcus, Spirochaeta, Clostridium, batang gram positif aerobik,
Staphylococcus dan Gonococcus yang bukan penghasil penisilinase, dan
Actynomyces (Hauser, 2013).
b. Sefalosporin
Sefalosporin mirip dengan penisilin karena sama-sama memiliki cincin β-
laktam. Sefalosporin generasi pertama yang sering digunakan antara lain
sefaleksin, sefadrin, dan sefadroksil. Ketiganya diabsorbsi dengan baik di usus
sehingga dapat dikonsumsi secara oral. Contoh lain seperti sefalotin, sefapirin,
dan sefazolin diberikan secara parenteral. Karena ditemukannya bakteri resisten
terhadap generasi pertama, maka dikembangkan sefalosporin generasi kedua
seperti sefuroksim dan sefaklor, sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson
dan seftazidim, generasi keempat seperti sefepim, dan generasi kelima yaitu
seftarolin (Hauser, 2013; Black & Black, 2015; Carrol et al,2016).
c. Obat β-laktam Lainnya
Antibiotik lainnya yang berkerja menghambat dinding sel adalah
karbapenem dan monobaktam. Imipenem adalah obat pertama karbapenem.
Imipenem memiliki efektivitas yang baik terhadap bakteri batang gram negatif,
batang gram positif, dan anaerob. Meropenem serupa dengan imipenem, namun
memiliki efek samping yang lebih ringan (Hauser, 2013; Carrol et al,2016).
2) Antibiotik yang Menganggu Keutuhan Membran Sel
Polimiksin disusun oleh senyawa amonia kuarterner yang dapat merusak
membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel bakteri.
Polimiksin merupakan polipeptida kationik yang bersifat nefrotoksik dan
neurotoksik. Oleh karena itu polimiksin lazimnya digunakan secara topikal.
Polimiksin bersifat bakterisidal bagi banyak bakteri batang gram negatif seperti
Pseudomonas dan Serratia, bekerja dengan cara berikatan dengan membran sel

16
(Carrol, et al, 2016;
dan merusak fungsi transpor aktif dan permeabilitas membran sel
Ganiswara, 2007)
.
Polimiksin A, B, C D, dan E didapatkan dari Bacillus polymixa.
Polimiksin B dan E merupakan jenis yang paling sering digunakan secara topikal
(Black & Black, 2015)
.

3) Antibiotik yang Menghambat Sintesis Protein


a. Aminoglikosida
Aminoglikosida bekerja dengan cara menghambat sintesis protein melalui
perlekatannya dengan subunit 30S ribosom bakteri menyebabkan kode pada
mRNA salah dibaca oleh tRNA pada saar sintesis protein. Aminoglikosida lebih
aktif pada pH basa dibandingka asam (Carrol, et al, 2016).
Aminoglikosida yang pertama kali ditemukan adalah streptomisin, namun
memiliki efek samping terhadap pendengaran dan fungsi ginjal. Selain itu
beberapa bakteri ditemukan resisten terhadap antibiotik ini. Sehingga streptomisin
hanya digunakan pada keadaan tertentu saja disertai kombinasi dengan obat lain
(Hauser, 2013)
. Aminoglikosida lainnya yang memiliki efek samping lebih ringan di
(Black
antaranya adalah kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramsin, dan netilmisin
& Black, 2015)
.
b. Tetrasiklin
Tetrasiklin dikonsentrasikan oleh bakteri yang sensitif. Bakteri yang
resisten tidak akan mengkonsentrasikan obat ini. Tetrasiklin menghambat sintesis
protein dengan menghambat ikatan monoasil-tRNA ke unit 30S ribosom bakteri
(Carrol, et al,2016)
.
Tetrasiklin, doksisiklin, dan minosiklin merupakan antibiotik yang
memiliki spektrum luas dan sensitif terhadap bakteri gram positif maupun negatif.
Namun, sifat tersebut menyebabkan antibiotik ini membunuh flora normal usus
dan menimbulkan kelainan gastrointestinal. Selain itu tetrasilikin memiliki efek
toksik samping yang beragam dari ringan hingga berat seperti mual, diare, ruam
kulit dan mukosa, penimbunan zat di gigi dan tulang, gangguan hati, gangguan
ginjal (Hauser, 2013; Black & Black, 2015).
c. Kloramfenikol

17
Kloramfenikol merupakan inhibitor poten sintesis protein bakteri.
Kloramfenikol menghambat perlekatan asam amino ke unit 50S ribosom dengan
cara mengganggu enzim peptidil transferase (Carrol et al, 2016).
Kloramfenikol memiliki spektrum luas, biasanya digunakan untuk infeksi
Meningococcus dan Haemophilus influenza yang resisten penisilin, abses otak,
dan infeksi riketsial yang berat. Efek sampingnya berupa anemia aplastik akibat
penekanan sum-sum tulang, gejala gastrointestinal, serta menyebabkan grey
syndrom pada bayi karena belum memiliki mekanisme detoksifikasi yang baik
(Hauser, 2013; Black & Black, 2015; Carrol, et al, 2016)
.
d. Makrolid
Eritromisin berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat translokasi
tRNA-peptida. Eritromisin, azitromisin, dan klaritromisin direkomendasikan pada
infesksi yang disebabkan oleh Streptococcus, Pneumococcus, Corynebacterium,
Mycoplasma, Chlamydia, dan Campylobacter. Eritromisin menghambat sintesis
protein dengan cara mengganggu translokasi dan pembentukan kompleks inisiasi.
Eritromisin memiliki efek toksik yang lebih ringan dibandingkan antibiotik
lainnya (Gualerzi, et al, 2014; Black & Black, 2015; Carrol, et al,2016).
e. Linkosamid
Linkomisin juga berikatan dengan ribosom 50S dan merupakan jenis
linkosamid murni. Derivatnya yakni klindamisin yang memiliki efek toksik lebih
ringan dibanding linkomisin. Klindamisin efektif terhadap infeksi Bacteroides dan
bakteri anaerob lainnya kecuali Clostridium difficile. Klindamisin bahkan dikenal
(Black & Black, 2015; Carrol, et
menjadi salah satu penyebab kolitis oleh Clostridium difficile
al, 2016)
.
4) Inhibisi Sintesis Asam Nukleat
a. Kuinolon
Kuinolon bekerja dengan cara menghambat sintesis DNA dengan
menghambat DNA gyrase, yakni enzim yang berperan dalam persiapan replikasi
DNA. Kuinolon efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif. Contoh
(Skold, 2011;
kuionolon diantaranya adalah norfloksasin, siprofloksasin, dan enoksasin
Carrol, et al, 2016)
.
b. Sulfonamid dan Trimetoprim
Sulfonamid bekerja dengan menghambat sintesis asam folat yang
dibutuhkan untuk membuat DNA. Sulfonamid dikombinasikan dengan

18
trimetoprim dalam bentuk kotrimoksazol yang efektif untuk infeksi saluran kemih
tanpa komplikasi(Carrol, et al, 2016; Hauser, 2013).

C. Mekanisme Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik


Ada 5 mekanisme yang menyebabkan resistensi bakteri terhadap
antibiotik, yaitu: (Carrol, et al, 2016; Ganiswara, 2007)
1) Bakteri menghasilkan enzim yang merusak antibiotik. Contohnya,
Staphylococcus resisten teradap penisilin G karena memiliki enzim β-
laktamase yang menjadikan obat inaktif. Hal ini dikenal dengan istilah ESBL (
Extended Spectrum Beta Lactamase )
2) Bakteri menurunkan permebabilitasnya terhadap obat. Contohnya, tetrasiklin
dapat terkumpul pada bakteri yang sensitif namun tidak pada bakteri yang
resisten karena membran sel bakterinya bersifat impermeabel terhadap
tetrasiklin.
3) Bakteri memodifikasi target site antibiotik. Contohnya, Streptococcus dan
Enterococcus resisten terhadap penisilin karena memodifikasi PBP
(Penicillin-Binding Protein).
4) Bakteri membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh
antibiotik. Contohnya, beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid
tidak menggunakan PABA (Para-Amino Benzoic Acid) untuk sintesis asam
folat. Sementara sulfonamid bekerja dengan cara menghambat PABA.
5) Bakteri meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antibiotik.
Contohnya, bakteri meningkatkan produksi dihydrofolic acid reductase yang
dihambat oleh trimetoprim, sehingga trimethoprim tidak efektif dalam
menghambat bakteri.

1. Resistensi Non Genetik


Sebagian besar antibiotik memerlukan bakteri yang aktif bereplikasi untuk
dapat bekerja. Sehingga, bakteri yang tidak aktif memperbanyak diri menjadi
resisten terhadap antibiotik. Contonya, Mycobacterium dapat bertahan hidup
dalam jaringan selama bertahun-tahun walaupun ditekan oleh pertahanan pejamu
dan tidak memperbanyak diri. Organisme ini resisten terhadap antibiotik dan tidak

19
dapat dieradikasi. Namun, saat bakteri mulai memperbanyak diri, mereka menjadi
sepenuhnya sensitif terhadap obat yang sama (Carrol, et al, 2016).
Bakteri dapat kehilangan struktur target spesifik suatu obat selama
beberapa generasi sehingga resisten terhadap antibiotik. Contohnya, bakteri yang
sensitif terhadap penisilin dapat mengubah strukturnya menjadi tidak berdinding
sel sehingga resisten terhadap obat yang bekerja menghambat sintesis dinding sel
seperti penisilin dan sefalosporin. Jika bakteri kembali ke bentuk asalnya dengan
cara membentuk kembali dinding sel, bakteri tersebut akan kembali sensitif
terhadap penisilin (Carrol, et al, 2016).
Bakteri dapat menginfeksi pejamu pada tempat-tempat yang tidak dapat
dimasuki antibiotik. Contohnya, Salmonella terletak di intrasel, sedangkan
aminoglikosida tidak dapat memasuki sel. Oleh karena itu, aminoglikosida
resisten terhadap Salmonella (Carrol, et al, 2016).

2. Resistensi Genetik
Sifat resistensi suatu bakteri ditentukan oleh elemen yang bersifat genetik.
Resistensi dapat bersifat a lamiah dan didapat. Resistensi alamiah artinya adalah
bakteri yang sejak awal resisten terhadap antibiotik. Contohnya, bakteri gram
negatif yang sejak awal, sebelum paparan antibiotik, telah resisten terhadap
penisilin G. Sedangkan resistensi didapat terjadi pada bakteri yang awalnya peka
terhadap suatu antibiotik kemudian merubah sifat genetiknya menjadi kurang atau
tidak peka terhadap antibiotik tertentu (Ganiswara, 2007; Carrol, et al, 2016).
Perubahan sifat genetik terjadi karena bakteri memperoleh elemen genetik
yang membawa sifat resisten. Elemen resisten dapat diperoleh dari luar atau
disebut juga resistensi dipindahkan (transferred resistance) dan dapat pula akibat
(Ganiswara,
mutasi spontan maupun karena rangsangan antibiotik (induced resistance)
2007)
.
Resistensi akibat mutasi spontan terjadi pada lokus yang mengatur
kerentanan terhadap antibiotik tertentu. Keberadaan antibiotik berperan dalam
mekanisme seleksi, yaitu menekan organisme yang sensitif dan menunjang
pertumbuhan mutan yang resisten terhadap antibiotik. Karena alasan inilah
penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi. Mutan
biasanya resisten karena perubahan reseptor struktural untuk suatu obat, misalnya

20
protein P12 pada subunit 30S ribosom bakteri yang berperan untuk perlekatan
streptomisin. Mutasi juga dapat menyebabkan hilangnya PBP sehingga mutan
resisten terhadap obat-obat β-laktam (Carrol, et al, 2016).
Resistensi dipindahkan terjadi melalui proses transformasi, tranduksi, dan
konjugasi. Pada proses transformasi, bakteri menginkorporasi faktor resistensi
langsung dari media atau lingkungannya. Pada proses transduksi, faktor resistensi
dipindahkan dari bakteri resisten ke bakteri yang masih peka dengan perantara
bakteriofag. Pada proses konjugasi, terbentuk hubungan langsung antara bakteri
yang saling berkonjugasi sehingga memungkinkan perpindahan komponen
pembawa faktor resistensi (Ganiswara, 2007).

3. Resistensi Silang
Bakteri yang resisten terhadap antibiotik tertentu juga bisa resisten
terhadap antibiotik lain yang memiliki kesamaan mekanisme kerja. Biasanya
terjadi pada antibiotik yang segolongan (Carrol, et al, 2016).
Berdasarkan mekanisme terjadinya, maka resistensi dapat ditekan melalui
beberapa cara yaitu: 1) dengan mempertahankan kadar obat dalam jaringan
sehingga cukup tinggi untuk menghambat populasi asal sekaligus populasi mutan,
2) dengan memberikan dua obat yang tidak memiliki resistensi silang secara
bersamaan, masing-masing menekan kemunculan mutan yang resisten terhadap
antibiotik lainnya (misalnya rifampisin dan isoniazid), dan 3) dengan mencegah
terpajannya bakteri dengan antibiotik yang dianggap tidak sensitif (Carrol, et al, 2016).

D. Pola Bakteri di Berbagai Rumah Sakit


Resistensi antibiotik merupakan masalah global baik di negara maju
maupun negara berkembang, di rumah sakit mapun di komunitas. Infeksi yang
disebabkan oleh bakteri yang resisten mempengaruhi biaya, durasi, dan hasil
pengobatan.Bakteri resisten menyebabkan penyakit yang serius dan sulit diatasi
karena terbatasnya antibiotik sebagai pilihan terapi (Lestari, dkk, 2009).
Penelitian di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar oleh Rostina,
dkk (2006) terhadap 841 spesimen memperlihatkan bakteri yang paling sering
ditemukan di semua spesimen adalah Klebsiella aeroginosa, Enterobacter spp,
dan Staphylococcus spp. Jika dilihat berdasarkan spesimen, pada spesimen pus

21
ditemukan, tiga kuman terbanyak yaitu: Enterobacter agglomerans, Klebsiella
aeroginosa,dan Alkaligenes faecalis. Pada spesimen darah, bakteri yang paling
banyak ditemukan adalah Staphylococcus epidermidis, Alkaligenes faecalis, dan
Klebsiella aeroginosa. Pada spesimen sputum, bakteri yang paling banyak
ditemukan yaitu Klebsiella aeroginosa, Streptococcus spp, Pseudomonas
aeruginosa,dan Acinetobacter calcoaceticus. Pada bilasan bronkus ditemukan
bakteri yang paling sering adalah Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella
aeroginosa. Pada spesimen urin ditemukan yang paling sering adalah Escherichia
coli, Staphylococcus epidermidis, dan Klebsiella aeroginosa (Rostina, dkk, 2006).
Sedangkan di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta, bakteri terbanyak yang
ditemukan di Ruang Rawat Intensif dari tahun 2001-2002 adalah Pseudomonas sp
diikuti Klebsiella sp, Escherichia coli, Streptococcus β haemoliticus,
Staphylococcus epidermidis, dan Staphyllococcus aureus (Refdanita, dkk, 2004).
Penelitian Sianturi, dkk (2012) menunjukkan tiga bakteri terbanyak yang
ditemukan di Unit Perawatan Neonatus RSUP Adnan Malik Medan yaitu
Staphylococcus sp, Pseudomonas sp, dan Enterobacter sp (Sianturi, dkk, 2012). Sedangkan
penelitian di ICU RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta memperlihatkan bakteri
terbanyak yang ditemukan adalah Acinetobacter baumannii, Pseudomonas
aeruginosa, Klabsiella sp, dan Escherichia coli (Lestari, Susanti, & Rahmawati, 2011). Penelitia di
Ruang Rawat Bedah RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh memperliatkan
bakteri terbanyak yang ditemukan yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Pseudomonas aeruginosa, dan Acinetobacter sp (Oyong, Anggraini, & Karina, 2016).

E. Pola Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik di Berbagai Rumah Sakit


Penelitian di Ruang Rawat Inap Kebidanan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek,
Bandar Lampung tahun 2012 memperlihatkan isolat bakteri gram positif yang
resisten terhadap penisilin G sebanyak 88,89%, kloramfenikol 55,56%, seftazidim
dangentamisin 33,33%, sefotaksim, siprofloksasin, amikasin, dan eritomisin
22,22%. Isolat bakteri gram negatif yang resisten terhadap penisilin G sebanyak
100%, eritromisin 81,48%, kloramfenikol 55,56%, sefotaksim 44,44%,
gentamisin dan siprofloksasin 40,74%, seftazidim 22,22%, dan amikasin18,52%.
Sehingga disimpulkan bahwa resistensi tertinggi yaitu terhadap penisilin G dan
terendah terhadap amikasin. Amikasin memiliki sensitivitas yang paling pada uji

22
(Samuel &
sensitivitas terhadap isolat bakteri aerob gram positif dan gram negatif
Warganegara, 2012)
.
Pada penelitia Refdanita, dkk (2004), Pseudomonas sp sensitif terhadap
fosmisin, amikasin, dan seftriakson, dan resisten terhadap penisilin G,
amoksisilin, ampisilin, sefaleksin, sefotiam, kloramfenikol dan tetrasiklin.
Klebsiella sp sensitif terhadap netilmisin, amikasin, seftriakson, sefotaksim, dan
seftizoksim, dan resisten terhadap amoksisilin, penisilin G, ampisilin,
kloramfenikol, sefaleksin, tetrasiklin, dan kanamisin. Escherichia coli sensitif
terhadap seftriakson, amikasin, seftizoksim, amoksisilin-asam klavulanat,
netilmisin, tobramisin dansefotaksim dan resisten terhadap ampisilin, penisilin G,
amoksisilin, kloramfenikol, tetrasiklin dan sulbenisilin. Staphylococcus
epidermidis sensitif terhadap kanamisin, netilmisin, tobramisin, sefotaksim,
seftizoksim, amoksisilin-asamklavulanat, dan kotrimoksazol, dan resisten
terhadap ampisilin, amoksisilin, penisilin G, tetrasiklin, dan kloramfenikol.
Staphylococcus aureus sensitif terhadap dibekasin, gentamisin, netilmisin,
tobramisin, sefaleksin, sefotiam, sefotaksim, seftizoksim, tetrasiklin,
kotrimoksazol, dan fosmisin, dan resistenterhadap ampisilin, amoksisilin-asam
klavulanat, amoksisilin, penisilin G, sulbenisilin, kloramfenikol dan
siprofloksasin. Streptococcus β haemoliticus sensitif terhadap seftizoksim,
seftriakson, penisilin G, sulbenisilin, siprofloksasin, fosmisin, dan netilmisin, serta
terhadap tobramisin, sefaleksin, ampisilin, tetrasiklin dan kloramfenikol (Refdanita, dkk,
2004)
.
Sianturi, dkk (2012) mengungkapkan dalam penelitiannya di Unit
Perawatan Neonatus RSUP Adnan Malik Medan bahwa Staphylococcus sp paling
sesnsitif terhadap vankomisin dan paling resisten terhadap ampisilin,
Pseudomonas sp dan Enterobacter sp paling sensitif terhadap meropenem dan
paling resisten terhadap ampisilin (Sianturi, dkk, 2012).
Penelitian serupa di Ruang Neonatologi RSUD Arifin Achmad Riau
menyebutkan bahwa Staphylococcus coagulase negatif paling sensitif terhadap
vankomisin dan paling resisten terhadap amokisisilin, Acinetobacter baumannii
paling sensitifterhadap amikasin dan paling resisten terhadap sefazolin, Klebiseilla
pneumoniae paling sensitif terhadap amikasin paling resisten terhadap amoksiklav
(Oyong, Anggraini, & Karina, 2016)
.

23
Panelitian Katamida, dkk (2017) di RSPI Prof Dr. Sulianti Saroso
menyebutkan bahwa Escherichia coli, Staphylococcus epidermidis, Klabsiella
pneumoniae paling sensitif terhadap amikasin dan paling resisten terhadap
ampisilin, Proteus sp juga paling sensitif terhadap amikasin dan paling resisten
terhadap eritromisin (Katamida, dkk, 2017).
Tabel 2. Pola Bakteri dan Sensitivitasnya terhadap Antibiotik di Berbagai
Rumah Sakit
Pola Resistensi
Rumah Sakit Pola Kuman
Sensitif Resisten
Unit Staphylococcus Vankomisin**, meropenem, Ampisilin***, sefoperazon,
Perawatan sp amikasin seftriakson, sefotaksim,
Neonatus kloramfenikol, gentamisin
RSUP Adnan Pseudomonas Meropenem** Ampislin***, vankomisin,
Malik Medan sp amoksiklav, seftriakson,
(Sianturi, dkk, 2012)
sefotaksim, kloramfenikol,
gentamisin
Enterobacter sp Meropenem**, amikasin Vankomisin, ampisilin***,
amoksiklav, sefoperazon,
seftriakson, sefotaksim,
kloramfenikol, gentamisin
ICU RSPI Acinetobacter Kotrimoksazol , amikasin** Amoksiklav, ampisilin,
Prof Dr baumannii* azetronam, sefotaksim,
Sulianti seftazidim, seftriakson,
Saroso Jakarta kloramfenikol, siprofloksasin,
(Lestari, Susanti, &
eritromisin***, gentamisin,
Rahmawati, 2011)
imipenem, kanamisin,
norfloksasin, tetrasiklin
Pseudomonas Amikasin**, amoksiklav, Amoksiklav***, ampisilin,
Aeuroginosa seftriakson, imipenem, azetronam, sefotaksim,
norfloksasin seftazidim, kloramfenikol,
siprofloksasin, eritromisin,
gentamisin, kanamisin,
kotrimoksazol, tetrasiklin
Klabsiella sp Amikasin**, amoksiklav, Ampisilin, eritromisin***
azetronam, sefotaksim,
seftazidim, seftriakson,
kloramfenikol,
siprofloksasin, imipenem,
kanamsin, norfloksasin,
kotrimoksazol, tetrasiklin
Eschericia coli Amikasin**, seftazidim, Amoksiklav, ampisilin***,
kloramfenikol, imipenem, azetronam, sefotaksim,
norfloksasin seftriakson, sipofloksasin,
eritomisin, gentamisin,
kanamisin, kotrimoksazol,
Tetrasiklin

Pasien ISK RS Escherichia Netilmisin**, ampisilin Amoksiklav***,


Hasan coli siprofloksasin, seftriakson,
Sadikin, kotimoksazol, sefuroksim,
Bandung kloramfenikol, sefepim

24
(Mailani, 2017)
Enterobacter Netilmisin**, seftriakson, Amoksiklav, kotrimoksazol,
cloaca sefuroksim, sefepim ampisilin, kloramfenikol***
Ruang Staphylococcus Vankomisin**, linezolid, Amoksiklav***, sefazolin,
Neonatologi koagulase kotrimoksazol seftazidim, sefepim,
RSUD Arifin negatif meropenem, gentamisin,
Achmad Riau siprofloksasin, levofloksasin,
(Oyong, Anggraini,
klindamisin
Karina, 2016)
Acinetobacter Gentamisin, siprofloksasin, Ampisilin, sefazolin***,
baumannii amikasin** seftazidim, sefepim,
meropenem, levofloksasin,
kotrimoksazol
Klabsiella Amikasin** Ampisilin, sefazolin,
pneumoniae amoksiklav***, seftazidim,
sefepim, meropenem,
gentamisin, siprofloksasin,
levofloksasin, kotrimoksazol
Ruang Rawat Staphylococcus Vankomisin**, klindamisin Sefotaksim, sefuroksim,
Bedah RSUD aureus seftriakson, seftazidim,
ZA Banda amoksiklav, gentamisin,
Aceh (Hayati, Azwar, siprofloksasin, meropenem,
& Puspita, 2012)
tetrasiklin***
Escherichia Siprofloksasin, tetrasiklin, Kotrimoksazol, ampisilin***
coli meropenem**, seftazidim,
setriakson, sefotaksim,
kloramfenikol, sefuroksim,
gentamisin
Pseudomonas Meropenem** Seftazidim, sefotaksim,
aeruginosa seftriakson***, gentamisin,
siprofloksasin
Acinetobacter Gentamisin**, tobramisin Kotrimoksazol***,
sp seftazidim, sefotaksim,
seftriakson, meropenem,
siprofloksasin, tetrasiklin
PICU RSPI Escherichia Amikasin, kloramfenikol, Amoksisilin, ampisilin,
Prof Dr. coli gentamisin, imipenem, seftriakson, eritromisin,
Sulianti kanamisin kotrimoksazol
Saroso,
Jakarta (Katarnida, Staphylococcus Amikasin**, amoksisilin, Ampisilin***, seftriakson,
dkk, 2017)
epidermidis sefotaksim, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin
gentamisin, imipenem,
vankomisin
Klabsiella Amikasin**, gentamisin, Amoksiklav, ampisilin***,
pneumoniae imipenem sefotaksim, seftriakson,
kloramfenikol,
eritromisin***, kanamisin,
kotrimoksazol
Proteus sp Amikasin**, amoksiklav, Ampisilin,
sefotaksim, seftriakson, kloramfenikol,eritromisin***,
gentamisin, imipenem, kotrimoksazol
kanamisin

Ruang Serratia Ampisilin, fosfomisin, Gentamisin***, sefotaksim,


Perinatologi marcescens meropenem** seftazidim, siprofloksasin,
RSUP Sanglah kloramfenikol, sefoperazon

25
Denpasar Staphylococcus Sefotaksim, Ampisilin, gentamisin,
(Kardana, 2011)
koagulase fosfomisin,meropenem**, seftazidim***, sefoperazon
positif siprofloksasin
Staphylococcus Gentamisin, fosfomisin, Ampisilin, sefotaksim,
koagulase meropenem**, seftazidim***,
negatif siprofloksasin,
kloramfenikol, sefoperazon
Enterobacter sp Fosfomisin**, meropenem, Ampisilin***, gentamisin,
siprofloksasin, sefotaksim, seftazidim,
kloramfenikol, sefoperazon
Klabsiella Fosfomisin**, meropenem, Ampisilin***, gentamisin,
pneumoniae siprofloksasin, sefotaksim, seftazidim,
kloramfenikol, sefoperazon
Pasien ISK Escherichia Amikasin, sefepim, Amoksiklav,
RS Dr. coli seftazidim, seftriakson, ampisilinsefaolin,
Wahidin kloramfenikol, sefoperazon, ofloksasin,
Sudirohusodo siprofloksasin, fosfomisin**, tetrasiklin, kotrimoksazol***
(Samirah, dkk, 2006)
norfloksasin, sefotaksim
Klabsiella Amikasin, sefepim, Amoksiklav, ampisilin,
aerogenes seftriakson**, sefazolin, sefoperazon,
siprofloksasin, norfloksasin, kloramfenikol, tetrasiklin,
ofloksasin, sefotaksim kotrimoksazol***
Acinerobacter Amikasin** Ampisilin***, amoksiklav,
calcoaceticus sefazolin, sefepim,
sefoperazon, seftazidim,
seftriakson, kloramfenikol,
siprofloksasin, fosfomisin,
norfloksasin, kotrimoksazol,
sefotaksim
**Antibiotik yang paling sensitif
***Antibiotikyang paling resisten

26

Anda mungkin juga menyukai