Anda di halaman 1dari 22

Ira Sher

Usiaku sembilan tahun ketika aku menemukan seorang laki-


laki terjerumus di dalam sumur di sebuah ladang kosong yang
telah lama ditelantarkan. Ladang itu tidak jauh dari rumahku.
Lalu aku mendengar suara seorang laki-laki yang berteriak
minta tolong jauh di dasar sumur.

Aku rasa penting bagiku untuk menegaskan bahwa pada


waktu itu kami memutuskan untuk tidak menolong laki-laki
tersebut. Semua temanku, termasuk aku, mungkin terpikir
untuk segera mengambil tali, atau bertanya pada orang lain di
mana kami bisa meminjam tangga. Tapi pada saat itu, kami
menoleh ke arah satu sama lain, dan mengambil keputusan
tersebut. Aku tidak ingat apakah kami sempat mendiskusikan
alasan kenapa kami tidak bisa menolongnya, tapi aku ingat
bahwa pada saat itu juga kami mengambil keputusan itu. Dan
itu juga sebabnya aku tidak pernah mendekati bibir sumur,
atau kalaupun aku berada di dekatnya, biasanya aku hanya
merangkak ke arah sumur tersebut, agar laki-laki di dalamnya
tidak bisa melihatku — di saat yang sama, kami pun tak
melihatnya. Lagipula, sumur tersebut terlalu gelap dan dalam.
Bahkan saat matahari sedang tinggi-tingginya, sinarnya hanya
meraba dinding sumur yang memancarkan cahaya
kekuningan.

Aku ingat kami masih tergelak oleh permainan petak umpat


yang sedang berlangsung saat kami menyapa laki-laki itu. Ia
mendengar suara kami yang sedang asyik bermain dan terus
memanggil kami agar mendekat ke bibir sumur. Dari
suaranya, ia terdengar sangat lega mendengar keberadaan
kami.

“Aduh, segera keluarkan aku dari sini. Aku sudah berada di


dalam sini selama berhari-hari.” Dia pasti tahu kami hanya
sekelompok anak-anak, karena ia segera memerintahkan kami
untuk “mengambil tangga dan mencari bantuan.”

Awalnya, takut menentang perintah laki-laki tersebut, kami


buru-buru membalikkan tubuh dan melangkah ke arah rumah
penduduk terdekat, yang tak lain adalah rumah Arthur.
Namun semakin jauh kami melangkah, langkah kami pun
semakin lambat; hingga akhirnya kami berhenti dan — setelah
menunggu selama beberapa saat —perlahan-lahan
mengarahkan langkah kaki kami kembali ke sumur.

Kami berdiri atau berbaring di sekitar bibir sumur dan


mendengarkan suara-suara yang berasal dari dalam sumur
selama setengah jam. Tak lama setelah itu, dengan sedikit
ragu, Arthur memanggil ke dasar sumur, “Siapa namamu?”
Pertanyaan yang cukup sederhana, pikir kami.

Laki-laki itu segera menjawab. “Kalian sudah mendapatkan


tangga?”

Kami menoleh ke arah Arthur, dan ia berkata, “Belum, kami


tidak berhasil mendapatkannya.”

Begitu kami mulai berdialog dengan si laki-laki di dalam


sumur, mendadak kami jadi punya begitu banyak pertanyaan
yang ingin kami lontarkan; tapi laki-laki itu terus berbicara
tanpa jeda:
“Sana, laporkan pada orangtua kalian bahwa ada orang yang
terperangkap di dalam sumur ini. Bila mereka punya tali atau
tangga…” suaranya mengecil. Suara laki-laki itu serak,
diselingi batuk. “Sudah, segera laporkan saja pada
orangtuamu.”

Kami diam, tapi kali ini tak ada dari kami yang bergerak atau
bangkit berdiri. Salah satu dari kami, kalau tidak salah Jason,
memanggil ke dasar sumur. “Halo. Gelapkah di bawah sana?”
— lalu beberapa saat kemudian — “Apakah kau bisa melihat
langit dari dasar sumur?”

Laki-laki itu tidak menjawab, tapi lantas memerintahkan kami


untuk segera pergi mengabari orangtua kami perihal
keberadaannya di dasar sumur.

Kami diam lagi, dan laki-laki itu memanggil kami untuk


memastikan kami sudah pergi.

Setelah beberapa saat, Wendy merangkak ke arah bibir sumur


hingga sebagian rambutnya bergoyang diterpa angin yang
berembus keluar dari dasar sumur. “Apakah ada air di bawah
sana?”

“Apakah yang lain sudah pergi mencari bantuan?” tanya laki-


laki itu.

Wendy menoleh ke arah kami, lalu kembali berteriak ke dasar


sumur. “Ya, mereka semua sudah pergi. Apakah ada air di
bawah sana?”

Tidak ada seorang pun dari kami yang tersenyum mendapati


betapa mudahnya laki-laki itu diperdaya — ini terlalu penting.
“Ada tidak?” desak gadis itu.

“Tidak,” kata laki-laki itu. “Di bawah sini sangat kering.” Ia


membersihkan tenggorokannya. “Apakah menurutmu akan
turun hujan?”

Wendy bangkit berdiri dan menatap ke arah langit luas


dengan sepasang matanya yang kebiruan, hanya untuk
memastikan. “Kurasa tidak.”
Kami mendengar suara batuknya di dasar sumur, maka kami
menunggu sesaat, membayangkan bagaimana laki-laki itu
menunggu bantuan yang tak akan datang di bawah sana.

Seraya beristirahat di atas hamparan rumput dengan punggung


tersandar pada dinding sumur yang terbuat dari semen, aku
berusaha membayangkan rupa laki-laki yang terperangkap di
bawah sana. Aku bayangkan bagaimana ia menutup mulutnya
dengan sebelah tangan setiap kali ia terbatuk. Atau mungkin
ia terlalu lelah untuk melakukan hal itu setiap kali.

Setelah satu jam berlalu, laki-laki itu bersuara lagi,


memanggil kami, dan entah kenapa kami tak menjawab
panggilannya. Kami justru bangkit berdiri dan berlari pergi,
tubuh kami seakan digerakkan oleh rasa panik yang semakin
memuncak dengan setiap langkah yang kami ayunkan —
hingga kami seolah berlomba menjauh dari sana, melintasi
ladang kering. Sesekali aku menoleh ke belakang dan nyaris
jatuh tersandung karenanya.
Mungkin laki-laki itu mendengar suara tubuh kami yang
beranjak berdiri kemudian berlari pergi. Hanya Wendy yang
menyisakan sedikit waktu dan terus berdiri di dekat sumur
tersebut, memandangi punggung kami yang kian menjauh,
sementara laki-laki itu terus berteriak lebih keras — hingga
akhirnya gadis itu juga ikut berlari meninggalkan sumur itu.

***

Pagi berikutnya kami kembali mengunjungi sumur tersebut.


Sebagian besar dari kami membawa potongan roti atau buah-
buahan atau makanan lain di saku kami. Arthur bahkan
membawa sebuah tas kain berisi makanan dari rumahnya dan
satu buyung plastik berisi air minum.

Begitu kami tiba di sumur, kami berdiri mengelilingi bibir


sumur tanpa banyak bersuara — mencoba untuk mendeteksi
keberadaan laki-laki itu.

“Mungkin dia tertidur,” kata Wendy.


Kami duduk di sekitar bibir sumur, di atas permukaan beton
yang terasa hangat oleh sinar matahari serta di mana serangga
dan semut kecil melintas bebas. Begitu kami mulai merasa
nyaman, Aaron memanggil laki-laki itu — dan tanpa jeda,
laki-laki itu menjawab (seolah ia tengah mendengarkan gerak-
gerik kami sedari tadi).

“Apakah orangtua kalian sudah minta bantuan pihak yang


berwajib?”

Arthur berlutut di tepi sumur dan berkata, “Awas, minggir


sedikit” — seraya menggantung tas makanan tepat di tengah
lubang sumur, seolah ingin memberi aba-aba kepada laki-laki
itu, sebelum melepasnya ke dalam sumur. Bingkisan itu
mendarat di dasar sumur lebih cepat dari perkiraanku. Aku
lumayan terkejut mendengar suara jatuhnya tas kain itu di
dasar sumur, yang artinya bukan tidak mungkin laki-laki
tersebut bisa mendengar setiap gerak-gerik kami, membuatku
berpikir seolah ia berada di dekat kami. Bagaimana bila ia
bisa melihat kami?
Strategi utamaku adalah untuk tetap diam, sehingga bila laki-
laki itu menggunakan pendengarannya untuk mengenali
keberadaan kami, maka ia takkan pernah bisa mengenali
suaraku. Laki-laki itu kemudian terbatuk. Mendengar itu,
Arthur pun segera merapatkan diri ke bibir sumur.

“Ada air di dalam tas tadi. Masing-masing dari kami


membawa sedikit makanan dan minuman untukmu,” kata
Arthur.

Kami mendengar gesekan kakinya di dasar sumur. Setelah


beberapa saat, laki-laki itu bertanya: “Kapan bantuan akan
tiba? Apa kata orangtua kalian?”

Kami saling menatap, sadar bahwa laki-laki itu tak mengenal


kami. Dan laki-laki itu pun nampaknya menyadari hal yang
sama — karena kemudian ia memanggil kami lagi dengan
suaranya yang serak dan kecil: “Siapa nama kalian?”

Tak ada seorang pun dari kami yang menjawab. Namun sesaat
kemudian, Aaron, yang paling tua di antara kami, berkata:
“Ayahku bilang ia akan segera datang bersama petugas
kepolisian. Mereka pasti tahu apa yang harus mereka
lakukan.”

Kami salut terhadap Aaron. Jawabannya lugas dan cepat.

“Apakah mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sini?”


tanya laki-laki itu. Kami bisa mendengar dari suaranya bahwa
ia tengah mengunyah makanan.

“Kata ayahku kau tak perlu khawatir, karena ia akan datang


bersama petugas kepolisian.”

Jason — yang paling kecil di antara kami — menghampiri


Aaron dan bertanya ke dalam sumur, “Siapa namamu?”
Hanya karena tak ada dari kami yang mengetahui nama laki-
laki itu dan kami tidak tahu harus memanggilnya dengan
sebutan apa. Saat kami membicarakan dia, kami hanya
menyebutnya sebagai, “si laki-laki”.
Laki-laki itu tidak menjawab, maka Jason melontarkan
pertanyaan lain: berapa usianya? Lalu Grace ikut berdiri di
tepi sumur dan menanyakan sesuatu, entah apa, aku tidak
ingat. Kami semua menanyakan pertanyaan-pertanyaan
bodoh; dan laki-laki itu tak sekali pun memberikan jawaban.
Akhirnya, kami berhenti bicara dan berbaring di atas lantai
semen di sekitar sumur.

Hari itu panas sekali. Setelah beberapa saat, Grace bangkit


berdiri, disusul oleh Jason dan bocah kecil lainnya, Robert
(kalau tidak salah, itu namanya) dan bersama-sama mereka
pergi ke bioskop agar bisa menikmati udara AC. Di masa itu,
kami pergi nonton film di bioskop hampir setiap sore.

Sejam kemudian, semua orang telah pergi kecuali aku dan


Wendy. Aku pun sedang berpikir untuk pergi dari sana.

Mendadak laki-laki itu bersuara. “Apakah bantuan sudah


dekat?”
“Ya,” jawab Wendy seraya melempar tatapan penuh arti
kepadaku. Aku mengangguk. Gadis itu terdengar begitu
yakin: “Kurasa bantuan sudah dekat sekali. Kata Aaron
ayahnya tak lama lagi tiba.”

Begitu kalimat tersebut meluncur keluar dari bibirnya, Wendy


langsung merasa bersalah karena dia baru saja melanggar
salah satu peraturan utama yang telah kami tetapkan bersama.
Aku bisa melihat keresahan itu di wajahnya, pandangan
kosong di matanya, dan gerakan tubuhnya yang serta-merta
menjauh dari bibir sumur. Sekarang laki-laki itu mengetahui
nama salah satu dari kami.

Wendy buru-buru menimpalkan: “Mereka akan segera


datang” untuk menutupi kesalahannya; tapi kesalahan itu
tidak lantas bisa diperbaiki begitu saja. Fakta bahwa nama
Aaron telah terlontar tidak bisa diubah.

Laki-laki itu terdiam selama beberapa menit. Lalu ia


mengejutkan kami dengan sebuah pertanyaan: “Apakah akan
turun hujan hari ini?”
Wendy bangkit berdiri dan memutar tubuhnya seperti yang
pernah ia lakukan beberapa hari sebelum ini, namun langit di
atas kami tampak cerah. “Tidak,” jawabnya.

Laki-laki itu bertanya lagi. “Kau bilang tadi mereka akan


segera datang. Ayah Aaron,” lalu laki-laki itu berteriak
lantang: “Bukan begitu?”

Kami terlonjak dan buru-buru beranjak pergi dari sana, seperti


yang kami lakukan beberapa hari lalu.

Kami bisa mendengar suaranya di kejauhan, berteriak kepada


kami, dan kami takut seseorang mendengar teriakan itu.
Kupikir, di akhir teriakannya, laki-laki itu meminta maaf.
Tapi aku tak pernah tanya kepada Wendy apa yang
didengarnya saat itu.

***

Kami semua berkumpul lagi di sumur itu keesokan paginya.


Hanya itu yang ada di pikiranku semalam, saat bersantap
malam di meja makan keluargaku; dan tadi pagi saat aku
menyantap sarapan pagi, sumur itu masih terus membayangi
pikiranku. Ibuku sedang kesal, entah gara-gara apa. Aku bisa
mendengar isak-tangisnya semalam di kamar tidurnya di
lantai bawah rumah kami, diikuti oleh gumaman ayahku yang
keras kepala. Aku ingat apa yang kurasakan saat itu, di hari-
hari itu, bahkan selama berbulan-bulan di masa itu, dan
bagaimana masa kecilku selalu terkait pada ingatan tentang
kejadian di sumur itu. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan, yang
datangnya tiba-tiba seolah diantar oleh bisikan angin, atau
gumpalan awan, atau deru ombak yang memecah di tepi
pantai.

Di sumur itu, kami kembali mengumpulkan makanan yang


telah kami bawa dari rumah, namun sebelum kami
memasukkan potongan-potongan makanan itu ke dalam tas
kain yang telah kami sediakan, suara laki-laki itu kembali
bergemuruh dari dasar sumur, “Bantuan akan segera tiba?”

Kami berdiri dalam diam agar laki-laki itu tidak dapat


mendengar suara kami; tapi aku tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya dan tak ada satu hal pun yang dapat kulakukan
untuk mencegahnya.

“Aaron,” panggil laki-laki itu.

Aku bayangkan laki-laki itu telah melatih suaranya sepanjang


malam untuk memanggil salah satu dari kami dengan nama
yang telah ia ketahui; bagaimana ia mengulum nama itu
dalam mulutnya agar tak lupa saat ia tertidur.

Wajah Aaron memucat dan ia menatap kami dengan


pandangan curiga, seolah kami telah mengkhianatinya. Aku
bahkan tidak menoleh ke arah Wendy. Kami terlalu malu —
maka kami tak berkata apa-apa; kami semua diam seribu kata.

Arthur baru saja selesai memasukkan potongan-potongan


makanan ke dalam tas kain dan tangannya gemetar ketika ia
menjatuhkan tas itu ke dalam sumur. Kami mendengar derap
langkah kaki laki-laki itu bergerak menjauh dari tengah
sumur, memberi ruang bagi tas kain itu untuk mendarat.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Grace berteriak ke dalam
sumur: “Siapa namamu?” — tapi salah satu dari kami segera
menariknya dari bibir sumur dan kami pun kembali terdiam.
Hari ini pertanyaan sederhana itu menimbulkan rasa malu
dalam diri kami.

Tak ada suara yang keluar dari dalam sumur selama beberapa
saat, kecuali suara tas kain yang bersinggungan dengan batu,
serta suara langkah kaki laki-laki itu di dasar sumur.

Tak lama setelah itu, ia mengangkat suaranya dengan nada


sopan, “Aaron, menurutmu siapa namaku?”

Aaron yang sedari tadi diam saja menoleh ke arah kami


semua. Kami tahu dia ketakutan; jemarinya menarik-narik
kerah kemeja yang ia kenakan. Sebelum ia sempat menjawab
pertanyaan laki-laki itu, Wendy menyahut, mungkin karena ia
merasa bersalah: “Apakah namamu Charles?” Tebakan
bodoh, pikirku, tapi laki-laki itu menjawab.

“Bukan,” katanya.
Wendy berpikir sebentar. “Edgar.”

“Bukan, bukan.”

Jason ikut menebak. “David?”

“Bukan,” kata laki-laki itu.

Kemudian Aaron, dengan suara pelan, berkata: “Arthur.”

Kami terkejut.

Aku bisa lihat amarah itu terpatri di wajah Arthur, tapi Aaron
berusia lebih tua dengan tubuh lebih besar dari Arthur; dan
bila ia menyahut sekarang, maka laki-laki itu akan
mengetahui siapa dia. Kami sadar sekarang bahwa laki-laki
itu mendengarkan segalanya dari dasar sumur — deru napas
kami dan setiap gerakan tubuh kami.

Aaron tidak memandang Arthur, atau siapapun, dan perlahan-


lahan ia menyebut semua nama kami satu per satu.
Kami menatapnya dengan tubuh gemetar, wajah kami seperti
wajah para penonton sirkus yang sedang menghadiri
pertunjukkan horor. Mata kami terbelalak lebar; dan aku ingat
bagaimana amarah itu meletup dalam dadaku saat Aaron
menyebut namaku.

Sekarang laki-laki itu tahu siapa kami, mengingat nama kami.

Lalu, sunyi.

Begitu Aaron selesai berbicara, kami menunggu reaksi dari


dasar sumur. Aku bertumpu di atas satu kaki, lalu kaki yang
lain, hingga akhirnya aku mengambil posisi duduk. Kami
menunggu selama satu jam penuh, dan tak ada satu pun dari
kami yang berniat pergi dari sana.

Akhirnya, laki-laki itu berkata, “Baiklah. Arthur. Menurutmu


seperti apa rupaku?” Kami mendengarnya terbatuk beberapa
kali. Kami juga mendengar suara yang terdengar seperti orang
yang tengah mengecap bibir. Arthur duduk dengan dagu
ditopang di atas kedua tangan, tak menyahut. Bagaimana
mungkin dia menjawab pertanyaan itu — aku sendiri tak akan
bisa menjawabnya bila pertanyaan tersebut diarahkan
kepadaku. Laki-laki itu memanggil nama kami satu per satu;
dan kulihat wajah kami memucat setiap nama kami disebut.

Laki-laki itu terdiam lagi. Hari semakin sore, dan cahaya


langit mulai berubah — menjauh dari tepian sumur, memberi
kesan seolah sumur itu penuh dengan tanah. Laki-laki itu
bergerak di dasar sumur, lalu memanggil Jason. Ia bertanya:
“Menurutmu berapa usiaku, Jason?”

Laki-laki itu tak peduli bahwa tak ada seorang pun dari kami
yang berniat menjawab pertanyaannya; atau mungkin dia
sudah menduga bahwa kami takkan menjawab pertanyaannya.
Ia berkata lagi: “Wendy, apakah bantuan akan segera datang?
Apakah ayah Aaron sudah dalam perjalanan ke sini?” Ia
menyeret langkahnya di dasar sumur, dan kami mendengar
gerak-gerik tangannya yang sedang mengorek isi tas kain
yang kami lempar sebelumnya. Ia bertanya lagi: “Baiklah, jadi
siapa namaku?” Ia kembali menggunakan nama kami satu per
satu. Ketika ia menyebut namaku, kurasakan mataku
memanas dan basah. Ingin sekali aku melempar gumpalan
tanah atau bongkahan kerikil ke dalam sumur itu guna
meredam suaranya. Tapi kami tak bisa melakukan apa-apa.
Tak ada satu hal pun yang kami lakukan — karena kami tak
ingin dia tahu siapa kami.

Menjelang malam, laki-laki itu mulai lelah. Ia tak banyak


bicara dan nampaknya sudah tak tertarik berbicara dengan
kami.

Saat kami bangkit berdiri dan menatap bayangan gelap


pepohonan di sekitar kami yang harus kami lewati untuk
kembali ke rumah, laki-laki itu berkata: “Kenapa kalian tak
melaporkan hal ini kepada siapa-siapa?” Ia terbatuk. “Apa
kalian sengaja tidak mau mencari bantuan?”

Mungkin ia mendengar keraguan dalam tarikan napas kami,


tapi ia takkan membantu kami sekarang. Hari semakin gelap
dan untungnya kami tak dapat melihat ekspresi yang timbul di
wajah kami masing-masing.
Malam itu hujan turun dan derap air yang menghantam atap
rumah tempat tinggalku mengiringi tangisan ibuku di lantai
bawah. Aku mendengar semua itu hingga tertidur.

Setelah hari itu, kami tak lagi bermain di dekat sumur itu;
bahkan saat kami beranjak dewasa, kami juga enggan kembali
ke sana. Aku takkan pernah kembali ke sana. FL
2015 © Fiksi Lotus dan Ira Sher. Tidak untuk ditukar, dijual,
ataupun digandakan.
————————-

# CATATAN:
> Cerita ini bertajuk “The Man in the Well” karya IRA SHER
dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1995 oleh Chicago
Review. Cerita ini juga pernah dibacakan langsung oleh
penulisnya pada sebuah segmen program radio This American
Life yang disiarkan pada tanggal 21 Juni 1996 dengan tema
“Kejamnya Anak-Anak” (“The Cruelty of Children”)
>> IRA SHER adalah seorang penulis kebangsaan Amerika
Serikat. Karya-karya lainnya berjudul “Gentlemen of Space”
(novel) dan “Singer” (novel).
#POIN DISKUSI:
1. Apa kesan kalian setelah membaca cerita ini?

2. Cerita “The Man in the Well” termasuk salah satu cerita


yang seringkali dijadikan bahan diskusi di kelas-kelas
kepenulisan karena tekniknya yang unik (penggunaan
narator yang tak bisa dipercaya, salah satunya) dan juga
karena kompleksitas tema yang diangkat. Apakah
perilaku anak-anak dalam cerita ini, menurut kalian, tidak
normal?

3. Bila kalian bisa memberikan ending yang berbeda


terhadap cerita ini, apa kira-kira ending yang kalian pilih?
4. Apa pesan utama dari cerita ini, menurut kalian?

Anda mungkin juga menyukai