Anda di halaman 1dari 17

1

MAKALAH

PENDIDIKAN DAN GLOBALISASI

Di ajukan sebagai tugas terstruktur untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata
kuliah Sosiologi Pendidikan

Disusun oleh :

MISBAHUL HUSNA

DOSEN PEMBIMBING
DR. MUHIDDINUR KAMAL. M.Pd

PASCA SARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
BUKIT TINGGI SUMATRA BARAT
2018

2
BAB I
Pendahuluan

A. LatarBelakang

Dekadensi moral anak bangsa semakin memprihatinkan. Karakter telah


dipertaruhkan dalam tempat yang tidak semestinya. Jika tidak hati-hati,
bangsa ini menuju pada apa yang dinamakan the lost generation1. Karakter
bangsa yang semakin menurun dari waktu ke waktu telah menjadi pembicaraan
serius, mulai dari kalangan rakyat biasa sampai kepada pejabat dan kepala
negara.

Karakter bangsa juga tidak hanya menjadi isu lokal dan nasional, tetapi
jugatelah menjadi isu global.Menurut Sudarminta ada tiga gejala sosial yang
dapat dikatakanmerupakan indikasi bahwa bangsa masih mengidap krisis moral.
Tiga gejalasosial itu adalah: (1) masih merajalelanya praktik KKN dari tingkat
hulu sampaihilir birokrasi pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat;(2) lemahnya rasa tanggungjawab social para pemimpinbangsa serta
pejabatpublic umumnya; dan (3) kurangnya rasa kemanusiaan cukup banyak
wargamasyarakat2.Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu hilangnya
karakter bangsaadalah maraknya perilaku korupsi di negara Indonesia.

Disampingitukrisis moral yang dibahas di atas, krisis moral


jugamelandagenerasibangsaberupaprilakukekerasan,
prilakupenyalahgunaanseksdannarkobameningkatdikalanganremajasertaprilaku
moral yang semakinmerosot

Seiring dengan permasalahan di atas, makalah ini bertujuan untuk


memberikan gambaran tentang konsep pendidikan karakter, permasalahan
pendidikan karakter, dan solusi terhadap permasalahan tersebut dengan
mengoptimalkan peran dan fungsi pendidik (guru) di sekolah dan orang tua
dalam institusi keluarga. Dengan mengetahui peran dan fungsi masing-masing

1
Barnawi & M. Arifin. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Jogjakarta:
ArRuzz Media. 2012.
2
Sudarminta. PendidikanMoral di Sekolah: Jalan Keluar Mengatasi Krisis Moral bangsa?
Tulisandalam Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2004. H, 72

3
pendidik, diharapkanakan muncul kesadaran dan kepedulian para pendidik
dalam meningkatkan karakter bagi peserta didik, baik di sekolah maupun di
rumah, sehingga menjadi cirri dan budaya bangsa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah


sebagai berikut

1. Konsep pendidikan karakter


2. Permasalahanpendidikan karakteryaitukrisis moral
3. Solusidalammenghadapikrisis moralberupapendidikandankeluarga

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Konsep pendidikan karakter
2. Memahami bagaimana Konsep Permasalahanpendidikan
karaktertentangkrisis moral
3. Untuk mengetahuiperan dan fungsi pendidik (guru) di sekolah dan orang
tuadalam institusi keluarga

4
BAB II

PENDIDIKAN DALAM MENANGGULANGGI KRISIS MORAL

A. Konsep pendidikan karakter


Secara harfiyah, karakter adalahkualitas mental, atau moral, kekuatan
moral, nama atau reputasi3.Karakter terbentuk karena kebiasaan yang dilakukan,
sikap yangdiambil dalam menanggapi keadaan, dan kata-kata yang diucapkan kepada
orang lain. Karakter ini pada akhirnya menjadi sesuatu yang menempel pada
seseorang dan sering orang yang bersangkutan tidak menyadari karakternya.
Orang lain biasanya lebih mudah menilai karakter seseorang.4
Pendidikan dan moral adalah dua pilar yang sangat penting bagi teguh dan
kokohnya suatu bangsa. Dua pilar ini menuntut untuk dicerna dan dicermati
dengan arif oleh segenap anak bangsa. Dalam suatu negara yang sedang
berusaha lepas dari badai krisis, sangatlah tepat apabila dicoba untuk melihat
kembali posisi dan interrelasi dua pilar ini bagi bangsa Indonesia.
Uraian berikut akan mencoba menelusuri posisi pendidikan dan moral
dalam bingkai kehidupan kebangsaan. Dengan menempatkannya pada posisi
yang tepat, diharapkan bisa mengantarkan untuk menemukan jalan yang lurus,
shirat al-mustaqim. Jalan yang akan dapat membuka mata hati dan kesadaran
kemanusiaan sebagai anakanak bangsa. Sehingga krisis yang hampir saja
menghempaskan ke jurang kebangkrutan dan kehancuran, dengan segera dapat
dilalui dan cepat berlalu.
B. Konsep Permasalahanpendidikan karaktertentangkrisis moral
1. Negara dan Moral
Munculnya pendapat dan tulisan yang mengkaitkan antara negara dan
moral, tentu saja memiliki latar belakangnya sendiri. Bencana besar akan
menimpa suatu bangsa atau umat, demikian dikatakan al-Gazali, kala bangsa
atau umat itu dihinggapi oleh suatu penyakit yang berbahaya, yaitu krisis
moral.

3
M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter Membangun PeradabanBangsa, (Surakarta:
Yuma Pustaka, 2010), hal. 12
4
Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi & Implementasnya
secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat,
(Yogyakarta: Arruzz Media, 2014), hal. 29.

5
Dalam waktu sekejap, penyakit ini akan mengancam keutuhan suatu
bangsa atau umat. Krisis moral dengan sendirinya akan menyebabkan
terjadinya krisis yang bersifat multi kompleks, yaitu krisis di semua bidang
kehidupan. Untuk ini al-Gazali menyebut adanya tiga akibat yang disebabkan
krisis moral ini: Dalam bidang politik, ia akan menimbulkan penyalahgunaan
kekuasaan, yang umum dinamakan krisis gezag. Para pejabat negara
mempergunakan kekuasaannya secara salah. Korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) merajalela. Kekuasaan dipergunakan untuk memenuhi nafsu serakah
individu dan kelompoknya. Jika pihak atasan sudah berbuat demikian, maka
para pegawai di tingkat bawah mengambil teladan atas perilaku atasannya itu.
Apabila demikian, maka pemerintahan merupakan suatu alat pengrusak di
tangan orang-orang yang jahat dan rakus.
Tidak pula kurang dahsyatnya, adalah bencana krisis moral dalam bidang
ekonomi. Kerusakan dalam bidang ini akibatnya akan mengancam
kepentingan hidup orang banyak. Krisis ini lebih dahsyat akibatnya daripada
sekedar depresi ekonomi. Wabah korupsi yang sudah demikian kronis, akan
berakibat pada kebangkrutan dan kehancuran negara. Dengan demikian, perlu
sesegera mungkin untuk mengingatkan dan menyadarkan para pejabat negara
dari budaya korup ini. Akibat dari krisis moral ini secara keseluruhan adalah
munculnya budaya rakus. Mereka yang telah mengidap penyakit ini akan
menggunakan segala cara, menghalalkan segala cara; mereka hanya
memperturutkan nafsu hewaninya, demi tujuan yang diinginkannya. Freud
mengatakan bahwa pangkal dari berbagai macam penyakit yang mengganggu
manusia berawal dari pertentangan di dalam hawa nafsu (sexueel conflict).
Dalam bahasa al-Qur’an dikatakan: “sesungguhnya nafsu cenderung selalu
mengarahkanpada kesesatan” (Q.S. Yusuf (12):53).
Seiring dengan apa yang dikatakan al-Gazali di atas, apabila kita
mencermati fenomena sosiologis masyarakat Indonesia, kita akan
menemukan adanya dua kecenderungan yang saling berlawanan.
Pertama, bangsa Indonesia menyebut dirinya sebagai bangsa yang religius.
Simbolsimbol untuk itu sangat jelas dan kasat mata. Kita semuanya tahu,
setiap penduduk negeri ini menyatakan keagamannya dalam KTP.

6
Pembangunan tempat ibadah terus bertambah dari waktu ke waktu. Dari
tempat-tempat suci tersebut berkumandang seruan dan ajakan untuk berbuat
kebaikan. Jumlah orang yang naik haji dari tahun ke tahun tidak pernah
berkurang. Bahkan apabila kuota untuk jamaah haji Indonesia ditambah
sekalipun, yakin dan pasti kuota itu akan terpenuhi. Media massa, baik cetak
maupun elektronik, senantiasa memberikan tempat dan ruang untuk dakwah.
Bahkan dalam kurun terakhir, buku-buku yang bernuansa keagamaan,
kelihatan sangat menggembirakan dan banyak diminati. Para pengamat tidak
akan kesulitan untuk sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang taat beragama. Antusiasme beragama dari waktu ke
waktu menunjukkan grafik yang senantiasa naik. Apalagi kalau mereka
menyaksikan suasana keagamaan di Indonesia antara bulan Ramadlan sampai
Dzul Hijjah. Religiositas di Indonesia is ok.
Kedua, adanya fenomena yang sungguh bertolak belakang dan
berseberangan dengan gambaran suasana dan nuansa keagamaan di atas.
Dengan mudahnya perilaku sekelompok orang yang tidak mau tahu dengan
segala bingkai moral. Pelanggaran moral baginya dirasakan enteng saja,
sekalipun pesan-pesan agama yang sering didengarnya mengecam perilaku
itu, sejak dari ancaman yang ringan sampai ke tingkat yang sangat keras dan
mengerikan. Bagaimanapun kecilnya pelanggaran moral, kalau hal itu
menggejala dan sampai menjadi budaya, maka ia akan dapat merapuhkan
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Contoh
yang sangat memuakkan dan menggelisahkan dari bangsa ini adalah
kecenderungan untuk berbuat skandal korupsi dan menyalahgunakan
kekuasaan. Sejarah Indonesia modern selama hampir lima dekade ini sarat
dengan muatan korupsi dan penyalahguanaan wewenang. Padahal, sekali lagi,
bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang religius dan sebagai bangsa Muslim
terbesar di muka bumi. Atribut-atribut mulia dan besar ini teramat sering
dihancurkan oleh perilaku korup dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada
waktu-waktu ini, ketika para anggota legislatif di tingkat daerah akan
mengakhiri masa jabatannya, kita dipertontonkan dengan deretan kasus
korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat yang terhormat ini. Meskipun

7
demikian masih saja ada pembelaan dari sementara pihak, bahwa korupsi
tersebut bukanlah satu kesengajaan, melainkan sebagai kesalahan penafsiran
dari satu undang-undang yang tidak jelas. Selama hampir lima dekade budaya
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaanmerajalela, apakah belum cukup? Sila
kedua dari Pancasila sungguh merana! sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, tetapi perilaku sebagian orang justru menghianati nilai moral dari
sila kedua ini. Nilai adil dan beradab sebegitu jauh lebih merupakan hiasan
bibir dalam upacara-upacara bendera dan kenegaraan. Perbuatan korup adalah
perbuatan biadab yang tidak layak dilakukan oleh warga negara dari bangsa
yang beradab. Negara memang sedang berada pada batas sejarah yang sangat
kritikal. Sebenarnya yang mengalami keguncangan tidak saja bidang
ekonomi, dunia politik pun sejak Dekrit 5 Juli 1959 sudah mengalami
kemacetan.
Dalam perspektif ini, kekuatan moral bangsa tidak boleh menyerah pada
mesin kekuasaan yang a moral. Untuk menguatkan fondasi moral, salah satu
jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memberi penguatan pada bidang
pendidikan.
Harapan yang masih tersisa dari bangsa ini, sehingga bisa lepas dari
berbagai krisis, mungkin juga adzab, adalah dengan memperbaiki sistem
pendidikan. Karena melalui pendidikan, anak-anak pemilik masa depan
bangsa ini, diharapkan dapat belajar dari kesalahan yang diperbuat bapak-
bapak mereka.

2. Dekadensi Moral RemajadanTeknologi

Di Era globalisasi saat ini banyak budaya dari luar baik itu yang positif
atau negativemasuk ke Negara kita ini. Budaya ini secara otomatis
mempengaruhi moraldan perilaku masyarakat dan bisa mengarah ke arah
yang dapat menimbulkandekadensi moral di kalangan umat manusia di era
globalisasi ini, hinggafenomena dekadensi moral sudah menjadi hal yang
umum yang ada ditengah masyarakat dunia sekarang. Kalangan yang sangat
rentan mengalamidekadensi moral adalah anak-anak remaja. Seiring dengan
perkembanganteknologi dan perkembangan jaman, moral remaja justru

8
mengalamipenurunan yang cukup drastis, walaupun masih ada sebagian
remaja yangbisa menjaga dan mengembangkan moralnya ke arah yang lebih
baik. Remajayang mengalami penurunan moral biasanya akan mengabaikan
aturan-aturanyang berlaku dan melanggar norma-norma yang ada di dalam
lingkungannya.
Adapun hal-hal yang sangat mempengaruhi dengan penurunan moral
remaja yang paling utama adalah lingkungan dimana remaja itu melakukan
aktivitasnya. Adapun faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penurunan
moral remaja adalah keluarga si remaja, lingkungan tempat ia tinggal,
lingkungan sekolah dan teman bergaul.Banyak faktor yang menjadi
penyebabnya,salah satu faktor yangmempunyai pengaruh paling besar adalah
media informasi mulai daritelevisi,media internet dsb. Media internet
memberikan dampak yangluar biasa di kalangan anak remaja saat ini,baik
dampak positif ataupundampak negatif. 5
Budaya-budaya local saat ini sudah mulai luntur danbahkan malah remaja
saat ini tidak tahu budaya asli kita sendiri. Salahsatu contoh yang sangat
ironis yang melanda masyarakat sekarang adalahbanyak nya masyarakat yang
megikuti budaya luar seperti budaya korea(k-pop). Hal yang di khawatir kan
sekarang adalah mulai berkurangnya rasanasionalsime masyarakat di karena
kan masuknya budaya luar yang lebihmenarik.Dekadensi moral di mulai dari
hal yang kecil mulai dari mengikutibudaya luar di mulai dari mengikuti cara
berpakaian,berbicara,tradisi yang
tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat dan bahkan dapat mengurangi
keimanan dan berpindah agama hanya karena ingin mengikuti trend yang
sudah di dapat dari budaya luar. Orang tua saat ini harus bisa mengawasi
dan membimbing anak-anaknya untuk selalu menjunjung tinggi kebudayaan
lokal.
Fasilitas teknologi, informasi dan komunikasi merupakan salahsatu faktor
yang merubah kemuliaan perilaku generasi muda dewasa ini.Jaringan internet
misalnya, merupakan sebuah terobosan baru yang bisamenghubungkan antara

5
IbnuBasyar, Dari KuntumMenjadiBunga, (Jakata: Al-Qalam, 2018), hal. 159

9
mereka yang di timur dengan mereka yang ada dibarat atau di selatan.
Sehingga penyebaran informasi merupakan hal yangtidak bisa dipungkiri
sehingga seluruh informasi baik membangun maupunyang merubuhkan
akhlak akan berkontaminasi dengan kepribadian bangsa sebagai orang timur
ditambah dengan kurangnya nilai iman untuk menyaringarus perjalanan
informasi tersebut.
Sudah banyak sekali kasus yang bisa kita saksikan melalui
media massa bahwa generasi muda sebagai motor dan tulang punggung
negara ini sudah rusak moral (akhlak) dan perilakunya. Budaya Islam sebagai
budaya yang seharus dikembangkan dan dijadikan sebagai ukuran atau filter
penyaring dilupakan bahkan dilecehkan. Generasi muda sudah kehilangan
takaran iman yang bisa menepis pengaruh budaya luar yang merusak
kepribadian kita sebagai bangsa. Generasi muda kita banyak kehilangan
arah dan tersesat dalam area yang sangat berbahaya dan cenderung hanya
menggunakan nafsu sebagai takarannya.
C. Solusi :Pendidikankarakterdalam Mengatasi KrisisMoral
Setelah mengenali beberapa faktor penyebab hancurnya karakter bangsa,
penulis perlu memberikan beberapa alternatif solusi atau pemecahan masalah
tersebut. Dalam makalah ini penulis hanya membatasi solusi pada peran peran
orang tua di institusi keluarga dan guru di sekolah, sebab orang tua dan guru
merupakan pelaku pendidikan yang pertama dan utama.
1. Peran orang tua dalam institusi keluarga
Orang tua dituntut untuk mengoptimalkan peran dan fungsi institusi
keluarga. Pendidikan karakter harus dimulai dari keluarga sebagai pilar
utama. Keluarga telah menjadi sebuah institusi paling kecil yang pernah ada
di dunia ini. Tetapi, sungguh pun begitu, ia mempunyai fungsi yang sangat
urgen dalam membangun karakter bangsa. Menurut Bambang Suryadi
dalam bukunya Family Counseling, ada empat fungsi institusi keluarga
yang perlu dioptimalkan, yaitu fungsi spiritual, intelektual, sosial, dan
dakwah.
a. Fungsi spiritual. Orang tua harus membekali anak-anak mereka dengan
ajaran agama sejak dini. Islam sebagai way of life harus diajarkan dan

10
diamalkan dalam institusi keluarga. Penanaman dasar-dasar
pengetahuan agama ini sangat penting sejak mereka berusia lima tahun.
Pendidikan karakter akan mudah diterapkan jika jiwa seseorang itu
dekatdengan Allah. Artinya ada keimanan dan keyakinan yang kuat
terhadapAllah sebagai sang Pencipta.
b. Fungsi intelektual. Orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama
bagi anak-anak mereka. Karena itu orang tua bertanggungjawab
terhadappendidikan anak-anak mereka. Ingat, tugas mendidik bisa
dibagi–kepada guru, ustadh atau kerabat—tetapi tanggungjawab tetap
ada padaorang tua. Dalam sebuah hikmah disebutkan ―al-ummu
madrasah fa ina’dadtaha a’dadta syi’ban thayyibal a’raq‖. Artinya,
ibu itu laksana madrasahbagi anak-anaknya. Maka jika engkau
menyiapkannya dengan baik,engkau telah menyiapkan generasi yang
unggul.
c. Fungsi sosial. Dengan mengoptimalkan fungsi sosial, orang tua akan
bisamengembangkan kemampuan interpersonal dan intrapersonal pada
anak-anak mereka. Melalui dua kemampuan ini akan tumbuh ikatan
emosional (emotional attachment) yang kuat antara orang tua dan
anakanak.
d. Fungsi dakwah. Orang tua harus berani dan tegas untuk mengajak,
mengingatkan, menegur, dan menasihati anak-anak mereka dalam
melakukan kebaikan. Pada saat adzan subuh berkumandang, misalnya,
orang tua harus membangunkan anaknya untuk menunaikan shalat
subuh6
Setelah keempat fungsi institusi keluarga tersebut dilaksanakan, yang
paling penting dan utama, bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya
adalah memberkan keteladanan dalam semua aspek kehidupan.
Abdurrahman Al-Bakhalawi dalam bukunya Ushulu Tarbiyah Al-Islamiyah
waAsalibuha fil-bait, Madrasah wal-mujtama’ menyebutkan bahwa seorang
anaksenantiasa memerlukan contoh nyata di dalam rumahnya, dan itu akan

6Bambang Suryadi. Family counseling: menggapai rumah tangga bahagia. Yogyakarta: MitsaqPustaka.
2012

11
dilihat dari dua orang tuanya sehingga ia bisa mengerti dasar-dasar
keislaman sejak masa anak-anak sampai nanti menjelas dewasa7
Menurut Wakil PresidenBoediono dalam peringatan Hari Keluarga
Nasional (Harganas) XIX diMataram (30/6/2012), keluarga adalah tempat
peletakan pertama bagiterbentuknya karakter bagi anak-anak dalam keluarga,
tempat menyemainilai-nilai kepribadian, kasih sayang, ketenteraman.
Semuaini menjadiprasyarat bagi lahirnya generasi muda yang tangguh dan
andal. Dari ibuyang sehat dan pandai akan lahir generasi yang pandai dan
andal8
Secara singkat, mari kita wujudkan slogan baiti jannati (rumahku
surgaku) dengan menerapkan empat fungsi institusi keluarga tersebut.
Inilah gambaran rumah tangga yang ideal. Ibarat ungkapan klasik, it is easy
to build a house but not home.
2. Peran guru dalam institusi sekolah
Guru memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam
pendidikan karakater. Guru harus mengiptimalkan perannya sebagai
muallim (pengajar), murabbi (pengasuh), muaddib (pendidik), dan mursyid
(pembimbing). Dengan memainkan empat peran ini, guru benar-benar
menjadi pribadi yang ‗digugu dan ditiru‘ oleh anak didiknya.
Untuk menerapkan keempat peran tersebut guru harus memiliki niat
yang tulus dalam mendidik, mencintai profesinya sebagai guru,
mengembangkan strategi dan metode mengajar yang sesuai dengan
perkembangan peserta didik, dan senantiasa mendoakan peserta didiknya.
Indonesia lebih membutuhkan pendidik, bukan guru. Pendidik bisa
siapa saja dan datang dari profesi apa saja, yang penting perhatian dan
berperan mencerdaskan. Demikian menurut Johana Rosalina Kristyanti
sebagaimana dikutip Kompas (2 Juli 2012). Menurut Wakil Dekan Bidang
Akademik dan Kemahasiswaan Sampoerna School of Education tersebut,

7Abdurrahman Al-Bakhalawi. (1984). Ushulu Tarbiyah Al-Islamiya wa Asalibuha fil Madrasahwal-


mujtama (The principle of Islamic education and its concepts for schools and society). Beirut, Libanon:Dar Al-Fikr
Al-Ma‘ashir. Tanpa tahun.
8Lihat Kompas. Peringatan hari keluarga nasional. 2 Juli 2012.Bambang Suryadi Pendidikan Karakter :

Solusi...NIZHAM, Vol. 4, No. 2 Juli - Desember 2015

12
Pendidikan merupakan kunci keberhasilan bangsa. Untuk menghadapi
dunia yang terus berubah, kita butuh pendidik-pendidik yang inovatif.
Pendidik dan guru, lanjut Johana, adalah dua istilah yang sering
dianggap sama. Padahal, pengertian keduanya berbeda. Kata ―pendidik‖
lebih tepat saat menunjukkan peran seseorang sebagai mentor yang
mendorong, mendukung, dan membimbing. Kata ―guru‖ untuk
menggambarkan pelatih atau pembimbing akademik. Pendidik tidak harus
berprofesi sebagai guru. Tetapi guru, harus ditunjuk manajemen sekolah
untuk mengajar mata pelajaran tertentu.
Pendidikan karakter bukan merupakan hal yang baru dalam sistem
pendidikan nasional. Pendidikan karakter telah lama dicanangkan dengan
namayang berbeda-beda. Namun sejak tahun 2010 Pemerintah melalui
KementerianPendidikan Nasional (Sekarang Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan)menjadikan pendidikan karakter sebagai gerakan nasional.
Artinya pencanganini sebenarnya adalah usaha untuk ―mengarusutamakan‖
atau mainstreamingkarakter sebagai pilar bangsa. Untuk menyelesaikan
masalah moral dan karakterbangsa ini, tidak bisa dilakukan secara sendiri-
sendiri atau secara parsial. Tetapiharus dilakukan secara menyeluruh dan
komprehensif dengan melibatkansemua pemangku kepentingan. Hanya
dengan cara dan strategi seperti inilahpendidikan karakter akan berhasil.
Integrasi pendidikan karakter merupakan aspek yang urgen dalam
mengatasi masalah krisis moral. Maka dalam implementasi integrasi
pendidikan karakter di sekolah dilakukan dalam tiga wilayah, yaitu melalui
pembelajaran, melalui ekstra kurikuler dan melalui budaya sekolah. Usaha
yang demikian tersebut merupakan usaha sekolah untuk mengatasi krisis
moral yang terjadi pada diri peserta didik, dimana pada akhir-akhir ini cukup
parah.
Pengertian pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses
pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran
akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam
tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik
yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran.

13
Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta
didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan
dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan
menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Dalam struktur kurikulum kita, ada dua mata pelajaran yang terkait
langsung dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia, yaitu
pendidikan Agama dan PKn. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan
mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan
sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi
nilai-nilai. Pada panduan ini, integrasi pendidikan karakter pada mata-mata
pelajaran selain pendidikan Agama dan PKn yang dimaksud lebih pada
fasilitasi internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui
proses pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
Pengenalan nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahan-bahan ajar tetap
diperkenankan, tetapi bukan merupakan penekanan. Yang ditekankan atau
diutamakan adalah penginternalisasian nilai-nilai yang melalui
kegiatankegiatan di dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang dimaksud
adalahpembelajaran langsung dan tak langsung.
Lickona mengemukakan strategi pembelajaran dalam pengintegrasian
pendidikan karakter dalam pembelajaran sebagai berikut 9
1) Guru peduli pada peserta didik, dengan menjadi teladan dan
memberituntunanmoral.
2) Menciptakan komunitas kelas yang peduli satu dengan yang lainnya.
3) Membantu peserta didik mengembangkan daya pikir moral, disiplin
diri, dan hormat pada orang lain.
4) Melibatkan peserta didik dalam pembuatan keputusan.
5) Menggunakan Cooperative learning untuk memberi kesempatan
padapeserta didik mengembangkan kompetensi moral dan sosialnya.
6) Membiasakan peserta didik membaca buku-buku yang mengandung
nilai-nilai hidup.
7) Mengembangkan kesadaran atau dorongan pada peserta didik untuk
melakukan hal baik.
8) Mengajarkan nilai yang harus diketahui peserta didik, cara
mempraktekkannya hingga menjadi suatu kebiasaan, dan menekankan
bahwa setiap orang punya tanggung jawab untuk mengembangkan
karakternya sendiri.
9) Mengajarkan peserta didik menyelesaikan konflik.

9
Thomas Lickona¸ Mendidik untuk Membentuk Karakter, (Jakarta: BumiAksara, 2012), hal. 291.

14
10) Guru menghindari penggunaan kata-kata yang bernada menyalahkan,
melainkan memancing peserta didik untuk berani mengakui kesalahan
dan menggali makna belajar dari kesalahan yang dilakukan. Anak didik
dilatih untuk menyadari bahwa tindakan yang dilakukan merupakan
pilihan pribadi. Jadi kesalahan atau kegagalan yang dialami tidak boleh
ditujukan pada orang lain.
11) Materi dalam pembelajaran karakter diambil dari hal-hal yan
berlangsung di sekitar kehidupan peserta didik di lingkungan sekolah.
12) Hal terpenting dalam strategi di ruang kelas adalah kesempatan
yang diberikan pada anak didik untuk mendiskusikan suatu masalah/
peristiwa dari sudut pandang moral. Frekuensi kegiatan diskusi yang
cukup banyak di kelas akan menciptakan kesempatan pada peserta
didik.10
13) Mengembangkan daya pikir/analisa secara moral. Yang terpenting
dalam proses diskusi bukanlah memberikan penilaian tentang
benar atau salahnya suatu persoalan, namun untuk mencermati atau
menganalisa hal-hal yang baik dan salah yang terdapat dalam persoalan
tersebut.
14) Peserta didik dapat mencari dan menemukan sendiri nilai-nilai yang
hidup di masyarakat. Peserta didik akan melihat dan mengalami
langsung nilai yang tumbuh di lingkungan masyarakat, yang dapat
membuatnya bingung. Melalui diskusi, peserta didik melakukan proses
penjernihan nilai untuk menemukan makna nilai-nilai tersebut

10P. Suparno, dkk., Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah: Suatu TinjauanUmum. (Yogyakarta: Kanisius,
2002), hal. 26.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, maka penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
Pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk membantu
manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika inti.
Harapan karakter dan kepribadian yang terbentuk dalam diri peserta didik
itulah yang merupakan impian keberhasilan pendidikan karakter. Peserta
didik diharapkan mampu memahami nilai-nilai yang ditanamkan kepada
dirinya, seutuhnya tanpa ada kesalahan pemahaman sama sekali. Bahkan
diharapkan peserta didik akan memahami pengembangan nilai-nilai tersebut.
Pelaku pendidikan yang pertama dan utama dalam menerapkan konsep
pendidikan karakter adalah orang tua dan guru. Orang tua dan guru memiliki
perannya masing-masing dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada anakanak
mereka. Namun peran ini dirasa belum optimal. Oleh sebab itu perlu
optimalisasi peran orang tua dan guru di dalam institusi keluarga dan sekolah.
Yang lebih penting dari itu adalah pemberian keteladanan kepada anak-anak
mereka. Tanpa adanya keteladanan, pendidikan karakter hanya terbatas sebagai
slogan biasa kalau tidak bisa dikatakan sebagai proyek. Sebab bicara tentang
pendidikan karakter, sebenarnya kita bicara perubahan perilaku atau behavior
modification yang terjadi melalui keteladanan.

B. Saran

Saran yang dapat kami berikan yaitu agar makalah ini biisa jadi sedikit
renungan bagi pendidik agar jangan lengah mendidik anak bangsa.

Sebagai manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, penulis


sadar akan kekurangan dalam pembuatan makalah ini, untuk itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah
selanjutnya, untuk kritik dan sarannya penulis ucapkan terima kasih.

16
DAFTAR PUSTAKA

Badudu, J.S., Sutan Mohammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Bagir, Haidar, “Belajar dari Pengalaman Finlandia” sebuah Pengantar dalam


Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih
Banyak ala Finlandia, terj. Ahmad Mukhlis, Jakarta: Kaifa Learning,
2014.

Hidayatullah, M. Furqon, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban


Bangsa, Surakarta: Yuma Pustaka, 2010.

Kurniawan, Syamsul, Pendidikan Karakter: Konsepsi & Implementasnya


secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi
dan Masyarakat, Yogyakarta: Arruzz Media, 2014.

Kusoema, Doni, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman


Global, Jakarta: Grasindo, 2010.

Lickona, Thomas, Marvin W. Berkowitz & Melinda C Bier,What Works


In Character Education: A research-driven guide for educators,

17

Anda mungkin juga menyukai