Anda di halaman 1dari 22

PENGOBATAN PREOPERATIF

(Oleh : Thomas Henry, Juliana, Runtika Dewi, Beriman Parhusip dan Alman)

Pendahuluan
Pengelolaan anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif psikologis,
dan bila perlu, pengobatan preoperatif.Beberapa macam obat dapat diberikan sebelum
dimulainya operasi.Obat-obatan tersebut disesuaikan pada setiap pasien. Seorang ahli
anestesi harus menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik selama visite preoperatif.
Sebab hal tersebut akan berpengaruh pada obat-obatan preanestesi, tehnik yang digunakan,
dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan yang buruk akan berakibat pada berbagai
permasalahan dan ketidaksesuaian setelah operasi.
Tidak ada suatu kesepakatan yang muncul untuk obat-obatan yang digunakan sebelum
operasi,sebagian besar digunakan hanya sebagai tradisi yang telah dimodifikasi akhir-akhir
ini seturut dengan kemajuan tehnik dan obat anestesi. Salah satu alasan mengapa obat-
obatan tersebut hanya berdasar tradisi ialah gabungan beberapa obat anestesi akan
mencapai tujuan yang sama. Namun satu hal yang jelas ialah, seorang penderita yang
hendak masuk ke kamar operasi harus terbebas dari rasa cemas dan beberapa tujuan khusus
telah tercapai dengan pemberian obat-obatan preoperatif.

A. Persiapan fisik
Persiapan fisik pada pasien meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan
pasien dan anggota keluarganya. Seorang ahli anestesi harus menjelaskan apa yang akan
terjadi dan tujuan tindakan anestesi sebagai upaya untuk mengurangi rasa cemas. Sebagian
besar penderita beranggapan hari operasi mereka adalah hari terbesar dalam hidup mereka.
Pasien tidak ingin diperlakukan tidak baik selama di ruang operasi. Kunjungan preoperasi
harus dilakukan secara efisien, tetapi harus bersifat memberikan informasi, rasa aman, dan
menjawab segala pertanyaan. Sebagian ahli anestesi berinteraksi dengan pasien dalam
keadaan tidak sadar atau tertidur, oleh sebab itu seorang ahli anestesi hendaknya
berinteraksi dengan pasien sebelum operasi untuk mendapatkan rasa percaya dan
meningkatkan rasa percaya diri pasien.
Sebagian besar pasien datang ke kamar operasi dalam keadaan cemas sebelum
pembedahan, sebuah studi menunjukan dari analisa terhadap 500 pasien bedah dewasa,
didapat pasien wanita lebih merasa cemas dibandingkan padien laki-laki sebelum operasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pasien dengan berat badan lebih dari 70 kg lebih mudah
merasa cemas.Sebuah studi oleh egbert dan rekan-rekan dengan pemberian 2 mg/kgBB
pentobarbital yang diberikan secara im 1 jam sebelum operasi dan mendapatkan penjelasan
mengenai tindakan yang akan dilakukan lebih tenang saat masuk ke dalam kamar operasi.
Penelitian Kogh menyatakan bahwa pasien dewasa yang mendapatkan kunjungan sebelum
operasi menunjukan level kecemasan yang lebih rendah dibandingkan apabila tidak
mendapatkan kunjungan sama sekali. Lebih lanjut dikatakan bahwa kunjungan sebelum
operasi lebih bermakna bagi pasien dibandingkan bila pasien mendapatkan informasi hanya
dari buku saja.Persiapan psikologis tidak menyelesaikan segalanya dan tidak meninggalkan
seluruh kecemasan. Di samping persiapan psikologis ada beberapa tujuan lain dari
pengobatan preoperatif. Pengendalian rasa sakit, dan level yang memuaskan dari sedasi
tidak dicapai dengan kunjungan preoperasi semata.Sebagai tambahan, situasi emergensi
mungkin menyediakan sedikit atau tidak ada sama sekali kunjungan preoperatif.

B. Persiapan farmakologi
Dalam memilih obat-obatan yang sesuai untuk pengobatan preoperatif kondisi psikologis
pasien dengan status fisik tetap menjadi pertimbangan.Seorang ahli anestesi harus
mengetahui berat badan pasien, dan respon terhadap obat-obatan depresan, termasuk efek
samping yang tidak diinginkan, dan alergi. Tujuan yang hendak dicapai pada setiap pasien
dengan pengobatan preopertif disesuaikan pada setiap pasien. Tujuan melepaskan rasa
cemas,dan membentuk sedasi, dapat diterapkan pada setiap pasien.
Pengobatan profilaksis terhadap alergik merupakan beberapa penyesuaian. Pencegahan
reflek otonom yang dimediasi oleh saraf vagus dan efek antiemetik lebih diutamakan pada
saat pengobatan preoperatif. Sebagian besar pengobatan preoperatif tidak mengurangi
keseluruhan anestesi, tetapi pengobatan preoperatif mencegah peningkatan konsentrasi
plasma dari β-endorphin, yang secara normal mengikuti respon terhadap stress.Pada
beberapa pasien sebaiknya tidak menerima antidepresan sebelum pembedahan. Pasien
dengan usia lanjut, atau trauma kepala atau hipovolemia akan lebih merasakan sakit
dibandingkan dengan yang telahmenerimaterapi premedikasi. Pada pembedahan yang
bersifat elektif, seorang ahlin anestesi akan menginingkan pasiennya masuk ke kamar
operasi terbebas dari rasa cemas dan tersedasi.

Various goals for preoperatif medicine


1. Relief of anxiety.
2. Sedation
3. Amnesia
4. Analgesia
5. Drying of airway secretions
6. Prevention of autonomic reflex responses
7. Reduction of gastric fluid volume and increased ph
8. Antiemetic effects
9. Reduction of anesthetic requirements
10. Facilitation of smooth induction of anesthesia
11. Prophylaxsis againts allergic reactions

1. Sedasi, hipnosis dan penenang


Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah salah satu obat yang paling populer yang digunakan dalam
pengobatan preoperatif. Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa cemas, sedasi,
dan membuat amnesia penderita. Efek antikonvulsan dan pelemas otot dari
benzodiazepin tidak begitu penting ketika obat ini diberikan. Hal ini disebabkan tempat
kerja dari benzodiazepin berada pada susunan saraf pusat yang berefek sedikit
mendepresi pernafasan atau kardiovaskular pada dosis premedikasi. Benzodiazepin
memiliki efek terapi yang lebar dan insidensi rendah terjadinya keracunan.Secara
spesifik mual dan muntah biasanya tidak berkaitan dengan pemberian benzodiazepin
pada pemberian preoperatif. Obat-obatan ini biasanya digunakan juga sebelum operasi
untuk mengurangi mimpi buruk dan delirium yang muncul setelah pemberian ketamin.
Terdapat beberapa efek samping yang tidak diinginkan dan meracuni dari
benzodiazepin. Depresi ssp yang bersifat panjang dan menyeluruh, terutama bila
digunakan bersama lorazepam. Pada pemberian diazepam secara intramuskuler atau
intraven, dapat terjadi rasa sakit pada tempat penyuntikan , sebagaimana mungkin
terjadi pula suatu phlebitis. Obat-obatan ini bukanlah suatu pereda nyeri. Benzodiazepin
tidak selalu bersifat menenangkan, tapi mungkin mengakibatkan agitasi dan juga
delirium.
Efek sedasi dari benzodiazepin berasal dari penguatan atau penghambatan
neurotransmiter yang dimediasi oleh γ aminobutyric acid.

Diazepam
Efek sedasi, amnesia, dan penenang dari diazepam, membuat obat ini menjadi
pilihan paling populer sebagai obat premedikasi. Obat ini merupakan obat standar
terhadap benzodiazepin.lainnya. karena diazepam tidak larut dalam air dan harus
berdisosiasi pada pelarut organik (propylene, glycol, sodium benzoat), rasa sakit
mungkin muncul pada pemberian intramuskuler ataupun pada pemberian intravena.
Phlebitis sering merupakan gejala sisa dari injeksi intravena. Pemberian diazepam
secara oral dengan 150cc air lebih disukai daripada pemberian injeksi intramuskuler.
Lebih dari 90 persen dosis oral diazepam ceoat diserap. Efek puncak dapat terjadi
setelah pemberian oral dalam waktu 0,5 -1 jam pada orang dewasa dan 15-30 menit
pada anak-anak. Diazepam tidak melewati membran pasenta,dengan level konsentrasi
pada bayi yang setara atau melewati level ibu. Karena diazepam terikat kuat dengan
protein, maka pasien dengan albumin yang rendah, seperti pada sirosis hepatis atau
gagal ginjal kronis, mengakibatkan peningkatan efek dari obat. Diazepam
dimetabolisme reaksi oksidatif N dimethylasi menjadi metabolit yang lebih lemah.
Dimethyldiazepam dan oxazepam adalah metabolit primer. Sejumlah kecil obat
dimetabolisir menjadi temazepam. Waktu paruh dari diazepam adalah 21-37 jam pada
orang normal. Pada pasien usia lanjut dan sirosis pemberian diazepam secara peroral
lebih disukai.
Terdapat sedikit efek dari diazepam di luar ssp. Depresi normal dari saluran pernafasan,
sirkulasi atau fungsi hepar dan renal dapat terjadi. Lebih lanjut, depresi ventilator dapat
terdiri atas obat-obatan depresi lain, terutama opioid dan alcohol.ada sedikit depresi
kardiovaskular terlihat setelah penggunaan diazepam untuk medikasi preoperative.
Tentunya, dosis intravena lebih tinggi menghasilkan depresi sirkulasi lebih kecil. (16)
tidak banyak efek klinis pada neuromuscular junction setelah pemberian diazepam
untuk medikasi preoperative. Telah ada berbagai usaha untuk menurunkan myalgia dan
fasciculation akibat dari succinylcholine dengan diazepam. Efek fasciculations
bervariasi, tetapi myalgia menurun pada suatu percobaan. (19) Premedikasi dengan
diazepam tidak dapat dipercaya mencegah kenaikan tekanan intraokuler setelah intibasi
trakea. (20) Pada binatang, diazepam telah menurunkan ambang kejang untuk lidokain,
namun efek ini belum dapat dibuktikan pada manusia. (21)
Beberapa kontroversi ada karena interaksi diazepam dengan obat-obat lain.
Simetidin menghambat hepatic clearance dari diazepam. (22) Tujuan dari mekanisme
ini yaitu inhibisi enzim mikrosomal dari simetidin. Ada beberapa pertanyaan yaitu
apakah hal ini secara klinis signifikan ketika diazepam digunakan sebagai dosis tunggal
sebelum operasi. Diazepam 0,2 mg/kg telah menunjukkan penurunan konsentrasi
alveolar minimum untuk halothane. (23) Puncak reduksi dari kebutuhan anestesi dari
dosis premedikasi dapat atau tidak dapat penting untuk anesthesiologist.

Lorazepam
Lorazepam memiliki struktur serupa dengan oxazepam dan 5-10 kali lebih baik dari
diazepam. Lorazepam dapat menghasilkan amnesia, meredakan kecemasan, dan sedasi.
(Gambar 21-4). (24) Ketika lorazepam dibandingkan dengan diazepam, efeknya mirip
sekali. Meskipun lorazepam tidak larut dalam air dan membutuhkan pelarut seperti
polyethylene glycol atau propylene glycol, masuknya lorazepam, tidak seperti
diazepam, tidak berhubungan dengan nyeri saat injeksi atau phlebitis. Sedasi
berkepanjangan biasa terjadi pada penggunaan diazepam. Meskipun eliminasi waktu
paruh diazepam lebih lama daripada lorazepam (20-40 jam dibandingkan 10-20 jam),
efek diazepam dapat memendek karena lebih tidak berhungan dengan reseptor
benzodiazepine. (25)
Lorazepam dipercaya diabsorsi secara oral dan intramuskuler. Efek maksimal
muncul 30-40 menit setelah injeksi intravena. (26) Bradshaw et al mendemonstrasikan
efek klinis 30-60 menit setelah masuknya diazepam oral. (27) sebuah penelitian oleh
Blitt et al menunjukkan ketiadaan ingatan tidak dihasilkan sampai 2 jam setelah injeksi
intramuskuler. (28) Konsentrasi puncak plasma dapat tidak muncul sampai 2-4 jam
setelah masuknya obat-obatan oral. Oleh sebab itu, lorazepam harus dipertimbangkan
dengan baik sebelum operasi sehingga obat tersebut memiliki waktu untuk efektif
sebelum pasien masuk ke kamar operasi. Lorazepam juga dapat diberikan secara
sublingual. (29) Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, eliminasi waktu paruh
yaitu 10-20 jam. Dosis biasa antara 25-50 g/kg. Dosis untuk dewasa tidak boleh
melebihi 4,0 mg. (24,25,30) dengan dosis rekomendasi, amnesia antegrad dapat
dihasilkan selama 4-6 jam tanpa sedasi berlebihan. Dosis lebih tinggi menghasilkan
sedasi berkepanjangan dan berlebihan tanpa lebih banyak amnesia. Kerena onset yang
lama dan panjang kerja, lorazepam tidak berguna dengan cepat dimana diinginkan
bangun cepat, seperti pada anestesi pasien bukan rawat inap. Tidak ada metabolit aktif
dari lorazepam; dan karena metabolismenya tidak tergantung dari enzim mikrosomal,
ada pengaruh yang kurang pada efeknya dari usia atau penyakit hati. (31) Dibandingkan
dengan diazepam, sedikit depresi kardiovaskular muncul dengan lorazepam. Namun,
ada bahaya depresi respirasi yang tidak diinginkan pada dosis pada penyakit paru. (32)

Midazolam
Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada penggunaannya
sebagai medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-bahan psikokimia dari obat itu
berguna untuk kelarutannya dalam air dan metabolisme cepat. Sedangkan dengan
benzodiazepin lain, midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan amnesia. Ini 2
sampai 3 kali lebih poten daripada diazepam karena peningkatannya pada reseptor
benzodiazepun. Dosis biasa intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 1,0-2,5 mg
pada intravena. Tidak ada iritasi atau phlebitis dengan injeksi midazolam. Insidensi efek
samping setelah masuknya obat rendah, meskipun depresi ventilasi dan sedasi dapat
lebih dari yang diharapkan, terutama pada pasien tua atau ketika obat dikombinasikan
dengan depresan system saraf pusat lain. Ada onset yang cepat pada kerja dan absobrsi
yang diperkirakan setelah injeksi intramuskular midazolam daripada diazepam. Waktu
onset setelah injeksi intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak muncul setelah 30-
60 menit. Onset setelah masuknya intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul setelah
1-2 menit. Ditambahkan onset yang lebih cepat, penyembuhan lebih cepat muncul
setelah masuknya midazolam dibandingkan dengan diazepam. Hal ini mungkin sebagai
hasil kelarutan midazolam pada lemak dan distribusi yang cepat pada jaringan perifer
dan biotransformasi metabolic. Atas alasan ini, midazolam biasanya diberikan dalam
waktu 1 jam induksi. (33) Midazolam dimetabolisme dengan enzim mikrosomal hepatic
untuk mencapai metabolisme hidroksilasi yang inaktif. Reseptor H2 antagonis tidak
mempengaruhi metabolisme. (34) Eliminasi waktu paruh midazolam kira-kira 1-4 jam
dan dapat memanjang pada orang tua. (35) Percobaan menunjukkan fungsi mental
biasanya kembali ke normal dalam 4 jam masuknya obat. (33) Setelah masuknya 5 mg,
amnesia berakhir dari 20-32 menit. (36) Masuknya obat intramuskuler dapat
menghasilkan periode amnesia lebih panjang. Hilangnya ingatan dapat diakibatkan oleh
masuknya skolpolamin berkelanjutan. Obat-obatan midazolam membuat hal ini ideal
untuk prosedur yang pendek.

Benzodiazepin lain
Oxazepam, benzodiazepin lain telah digunakan untuk medikasi preoperative,
merupakan salah satu metabolisme aktif farmakologi dari diazepam. Ini diabsorbsi
lambat setelah masuknya obat oral dan memiliki eliminasi waktu paruh 5-15 jam.
Temazepam telah diberikan pada dosis oral 20-30 mg sebelum operasi. Ini harus
diberikan dengan benar sebelum operasi karena tingkat plasma puncak tidak muncul
sampai kira-kira 2-2,5 jam setelah masuknya obat. Triazolam merupakan benzodiazepin
kerja pendek. Dosis obat oral pada dewasa yaitu 0,25-0,5 mg. Konsentrasi plasma
puncak timbul kira-kira 1 jam dan eliminsi waktu paruh yaitu 1,7-5,2 jam. Obat dapat
menjadi kerja panjang pada orang tua. Sama dengan, penelitian oleh Pinnock et al tidak
menunjukkan triazolam menjadi durasi pendek ketika dibandingkan dengan diazepam
untuk premedikasi pada operasi minor ginekologi. (37) Alprazolam (1mg) diberikan
pada dewasa telah menunjukkan prosedur reduksi yang sederhana pada kecemasan
sebelum operasi. (38)

Barbiturat
Penggunaan barbiturat untuk medikasi preoperative adalah waktu percobaan dengan
angka keamanan yang panjang. Obat-obatan ini digunakan secara primer untuk efek
sedatifnya. Sementara masuknya barbiturat untuk persiapan farmakologi sebelum
operasi telah digantikan pada berbagai hal dengan penggunaan benzodiazepin, ini
berguna dalam hal-hal tertentu. Sedikit deprsei kardiorespirasi dihubungkan dengn
dosis preoperative biasa. Barbiturat dapat diberikan oral juga parenteral, dan obat-
obatan relatif tidak mahal. Barbiturat, bagaimanapun, tidak menghasilkan sedasi pada
nyeri. Sebetulnya, disorientasi dan eksitasi paradoksik dapat muncul. Dosis rendah
barbiturat telah dikatakan merendahkan ambang nyeri dan menjadi antianalgesik. Agen
kekurangan spesifisitas aksi pada system saraf pusat dan mempunyai indeks terapeutik
yang lebih rendah daripada benzodiazepin. Barbiturat sebaiknya tidak digunakan pada
pasien dengan beberapa macam porphyria tertentu.
Secobarbital. Secobarbital biasanya digunakan pada dewasa dalam dosis oral 50-200
mg ketika untuk medikasi preoperative. Onset biasanya muncul 60-90 menit setelah
masuknya obat, dan efek sedatif bertahan 4 jam atau lebih. Tentunya, meskipun
secobarbital dulu telah dipertimbangkan sebagai kerja pendek barbiturat, ini dapat
menunjukkan kerja selama 10-22 jam. (39)
Pentobarbital. Pentobarbital biasanya digunakan secara oral atau parenteral. Dosis oral
digunakan untuk dewasa biasanya 50-200 mg. Pentobarbital memiliki biotransformasi
waktu paruh sekitar 50 jam. Karena itu, penggunaannya tidak sering cocok untuk
prosedur singkat.

Butyrophenones
Dosis intravena atau intramuskular 2,5-7,5 mg droperidol menghasilkan keadaan
sedasi pada pasien sebelum operasi. Penenang dan tranquilitas telah diobservasi, namun
pasien biasanya menyatakan merasa disforia dan tidak bisa beristirahat dan bahkan
mengalami ketakutan akan mati. Perasaan disforia pasien mengakibatkan penolakan
terhadap tindakan operasi. Karena droperidol merupakan antagonis dopamine, tanda-
tanda ekstrapiramidal dapat muncul setalah masuknya obat. (40) ini telah dilaporkan
muncul sekitar 1% pasien. Butyrophenone juga menyebabkan efek -bloking yang
ringan. Butyrophenone lain, haloperidol, juga obat anti-psikotik kerja panjang yang
jarang digunakan untuk medikasi preoperative.
Sekarang, droperidol biasanya digunakan untuk efek antiemesis daripada bahan
sedatif (lihat Antiemesis). Dosis klinis rendah (sampai 2,5 mg) droperidol telah
digunakan sebelum operasi atau hanya sebelum emergensi dari anestesi untuk
mencegah mual dan muntah pada kamar pemulihan.
Sebagai reseptor bloker dopaminergik, droperidol mencapai efek inhibisi dopamine
pada badan karotis dan respon ventilator pada hipoksia. Konsekuensinya, ini
memberikan respons badan karotis pada hipoksia. Untuk alasan ini, dikatakan
droperidol memberikan dapat menjadi premedikasi yang baik untuk pasien yang
tergantung pada alat ventilator hipoksia (Gambar 21.5). (41)

Obat-obat Sedatif Lain


Hydroxyzine. Hydroxyzine merupakan obat penenang nonphenothiazine. Biasanya
diberikan untuk tujuan efek tambahan pada opioid dan tidak menyebabkan peningkatan
dalam efek samping. Hydroxyzine memiliki aksi sedatif dan bahan anxiolitik. Ini
memiliki batas bahan analgesik dan tidak menghasilkan amnesia. Ini merupakan
antihistamin dan antiemetik.
Diphenhydramine. Diphenhydramine merupakan rseptor histamin antagonis dengan
aktifitas sedatif dan antikolonergik. Juga merupakan antiemetik. Dosis 50 mg akan
bertahan 3-6 jam pada dewasa. Diphenhydramine telah sering digunakan akhir-akhir ini
dalam kombinasi dengan simetidin, steroid, dan obat-obat lain untuk profiklasis pada
pasien dengan atopi kronis dan untuk profilaksis sebelum khemonukleolisis dan
penelitian yang berkaitan. (42) Diphenhydramine menghambat reseptor histamin untuk
mencegah efek histamin perifer.
Phenothiazine. Promethazine, promazine, dan perphenazine biasanya digunakan dalam
kombinasi dengan opioid. Phenothiazine memiliki bahan sedatif, antikolinergik, dan
antiemetik. Efek-efek ini, ditambahkan efek analgesik opiod, telah digunakan untuk
medikasi preopratif.

2. ANALGETIK
Opioid
Morfin dan meperidine dahulu merupakan jenis opioid yang sering digunakan untuk
medikasi preoperatif intramuskular. Akhir-akhir ini, penggunaan fentanyl intravena
sebelum operasi telah popular. Opioid digunakan ketika analgesi dibutuhkan sebelum
operasi. Telah dikatakan pada kalimat yang jelas bahwa “jikalau ada nyeri, tidak
dibutuhkan narkose dalam medikasi preanestesi”. (43) Untuk pasien yang mengalami
myeri sebelum operasi, opioid dapat memberikan analgesia yang baik dan bahkan
euphoria. Opioid telah digunakan untuk pasien sebelum operasi untuk mengurangi
ketidaknyamanan yang dapat muncul selama anestesi regional atau insersi invasive
kateter monitor atau jalur intravena yang besar. Dosis opioid dapat dikurangi pada
pasien retardasi mental atau orang tua. Pasien orang tua seringkali mengalami
pengurangan sensitivitas nyeri. Lebih lanjut, pasien orang tua dapat memiliki respon
analgesik yang meningkat pada opioid. Opioid juga telah digunakan sebelum operasi
dalam pasien tergantung opioid.
Sensitivitas hipoksia (perubahan dalam ventilasi untuk tiap kenaikan 1% dalan
saturasi oksigen) meningkat setelah masuknya droperidol intravena, 2,5 mg. Symbol
solid melambangkan percobaan ulangan pada subjek yang sama seperti yang telah
diperlihatkan oleh symbol terbuka. (Dikutip dari Ward DS : Stimulation of hypoxic
ventilatory drive by droperidol. Anesth Analg 63:106, 1984).
Masuknya preoperative opioid dalam hal yang lain telah controversial. Ini telah
diberikan sebelum operasi mendahului anestesi opioid nitro-oksi. Hal ini dilakukan
sebagai usaha untuk memperoleh kadar basal anestesi yang tepat ketika pasien sampai
di kamar operasi dan untuk mendapatkan pendahuluan respons pasien terhadap opioid.
Opiod telah diberikan pada pasien sebelum operasi untuk menyediakan analgesi pada
saat meraka sadar dalam kamar pemulihan. Pendekatan lainnya adalah untuk mentitrasi
opioid intravena selama emergensi atau saat pasien tiba di kamar pemulihan. Masuknya
preoperative opioid dapat merendahkan kebutuhan anestesi. (44) hal ini dapat atau tidak
dapat secara klinis signifikan untuk pasien secara spesifik menerima teknik anestesi
khusus. Beberapa anesthesiologist menggunakan opioid dalam kombinasi dengan obat
lain sebelum operasi untuk menyediakan anestesi induksi dengan masker. Hal ini
popular terutama pada pasien dimana jalur intravena untuk induksi obat tidak dapat
digunakan. Yang harus diingat bahwa opioid menurunkan ventilasi selama nafas
spontan dan karenanya menurunkan masuknya obat-obat inhalasi. Jika dibutuhkan,
anesthesiologists dapat menginginkan untuk menggunakan ventilasi bantuan atau
terkontrol dari paru-paru untuk menghasilkan efek depresi respirasi dari opioid.
Akhirnya, opioid bukan merupakan obat terbaik untuk meredakan apprehensi,
menghasilkan sedasi, atau mencegah ingatan kembali.
Masuknya opioid telah memberikan potensi untuk menyebabkan beberapa efek
samping. Biasanya menghambat bukan efek myocardial kecuali pada kasus dari
meperidine dosis tinggi. Namun, opioid mempengaruhi konstriksi kompensasi dari otot
halus dari pembuluh darah perifer. Hal ini menyebabkan hipotensi orthostatic.
Pelepasan histamin setelah injeksi morfin dapat terdiri dari efek-efek sirkulasi ini.
Dengan medikasi preoperative yang sering, merupakan hal teraman untuk pasien tetap
tirah baring setelah premedikasi opioid. Bahan analgesi dan efek depresi respirasi
opioid berlangsung selang-seling. Penurunan karbondioksida pada pusat respirasi
meduler dapat diperpanjang. Lebih lanjut, ada penurunan respon pada hipoksia pada
badan karotis hanya setelah injeksi opioid dosis rendah. (45) Anesthesiologists dapat
menginginkan untuk pemikiran oksigen suplemen pada pasien yang mendapat
premedikasi opioid. Dalam hal umum, opioid agonis-antigonis menghasilkan depresi
respirasi lebih rendah, namun juga menghasilkan disforia. Ketika efek samping ini
muncul, biasanya terlihat pada pasien yang tidak mengalami nyeri sebelum operasi dan
telah menerima premedikasi opioid. Mual dan muntah dapat merupakan hasil dari
masuknya opioid. Efek opioid pada apparatus vestibuler menyebabkan aksi kesakitan
atau stimulasi dari khemoreseptor meduler zona pemacu yang dikatakan sebagai
penyebab mual dan muntah. Spasme sfingter choledochoduodenal (sfingter Oddi) telah
sering diperhatikan tidak sering terjadi pada injeksi opioid. Opioid menghasilkan
konstriksi otot halus, yang menyebabkan nyeri kuadaran kanan atas. (46) pereda nyeri
dapat dicapai dengan naloxone atau glikagon yang memungkinkan. Biasanya, nyeri dari
spamne traktur biliaris sulit untuk dibedakan dari nyeri angina pectoris. Masuknya
nitrogliserin harus meredakan angina pectoris dan nyeri dari spasme traktus biliaris;
antagonis opioid harus meredakan hanya nyeri akibat spasme traktus biliaris. Beberapa
pertanyaan pada penggunaan premedikasi opioid dalam pasien dengan penyakit traktus
biliaris. Semua opioid telah berpotensi untuk menyebabkan spasme sfingter
choledochoduodenal. Meperidine kurang lebih seperti morfin untuk menghasilkan efek
samping ini. Opioid dapat menyebabkan pruritus. Morfin, mungkin lewat pelepasan
histamin, sering menghasilkan gatal-gatal, terutama sekitar hidung. Opioid juga dapat
menyebabkan kemerahan, pusing, dan miosis.
Obat-obat lain biasanya dikombinasikan dengan opioid untuk efek tambahannya
atau untuk menyembuhkan kerugian efek samping opioid. Hipnotik-sedatif dan
skopolamin biasanya digunakan dengan opioid untuk menghasilkan sedasi, anxiolysis,
dan amnesia dalam tambahan analgesia. Pada pasien tertentu, kombinasi dari morfin
dan benzodiazepin atau skopolamin dapat berguna untuk bahan farmakologi
preoperative.

Morfin
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah injeksi intramuskuler. Onset efeknya muncul
dalam 15-30 menit. Efek puncak muncul dalam 45-90 menit dan bertahan selama 4 jam.
Setelah masuknya intravena, efek puncak biasanya muncul dalam 20 menit. Morfin
tidak dipercaya diabsorbsi setelah masuknya obat oral. Dengan opioid lain, depresi
ventilasi dan hypotensi orthostatic dapat muncul setelah injeksi morfin. Efek morfin
pada zona pemacu khemoreseptif dapat mengahsilkan mual dan muntah. Mual dan
muntah dapat juga muncul sebagai komponen vestibuler. Hal ini telah dikatakan karena
pasien supinasi kurang lebih mengeluh mual dan muntah. Setelah masuknya morfin,
motilitas traktus gastrointestinal menurun. Juga sekresi gastrointestinal meningkat.

Meperidin
Meperidin memiliki efek poten sepersepuluh dari morfin. Meperidin dapat diberikan
secara oral maupun parenteral. Dosis tunggal dari meperidin biasanya berlangsung 2-4
jam. Onset setelah pemberian intramuskular sulit diprediksi dan terdapat variasi waktu
dalam mencapai efek puncak. Meperidin secara primer dimetabolisme di
hepar.Peningkatan detak jantung dan hipotensi ortostatik dapat terjadi pada pemberian
meperidin.

Fentanyl
Fentanyl adalah agonis opioid sintetik yang strukturnya mirip dengan meperidin.
Fentanyl memiliki efek enalgesik 75-125 kali lebih poten dibanding morfin. Fentanyl
lebih larut dalam lemak dibanding morfin sehingga onsetnya lebih cepat. Konsentrasi
yang puncak dalam plasma terjadi dalam waktu 6-7 menit setelah pemberian melalui
intravena dan waktu paruhnya adalah 3-6 jam. Karena waktu kerja yang pendek
menyebabkan fentanyl di redistribusi ke paru, lemak, dan otot skelet. Fentanyl
dimetabolisme terutama oleh N-demethylation menjadi norfentanyl, yang memiliki efek
poten analgesik lebih kecil.
Fentanyl dengan dosis 1-2 mikrogram/kgBB iv, dapat digunakan untuk analgesik
preoperatif. Terdapat preparat fentanyl dalam bentuk oral transmukosa dengan dosis 5-
20 μg/kgBB. Bentuk ini dapat digunakan sebagai premedikasi pada orang dewasa dan
anak-anak untuk mengurangi kecemasan dan nyeri. Fentanyl dalam bentuk oral
transmukosa tidak direkomendasikan untuk anak dibawah 6 tahun sebagai preoperatif
karena dapat menyebabkan mual dan muntah. Fentanyl dapat menyebabkan depresi
miokard dan pelepasan histamin dan mungkin menyebabkan depresi ventilasi dan
bradikardi.
Agonis dan Antagonis Opioid
Agonis-antagonis opioid telah dipilih untuk preoperatif medikasi dalam mengurangi
efek efek samping pada ventilasi dari agonis opioid. Disforia sering terjadi setelah
pemberian agonis-antagonis opioid. Hal lain yang juga harus diingat dalah bahwa
agonis – antagonis opioid dapat mengurangi efek dari opioid agonis yang diperlukan
dalam mengontrol nyeri post operasi. Agonis-antagonis opioid yang sering digunakan
adalah Pentazocine, Butorphanol, dan Nalbuphine.

3. pH DAN VOLUME CAIRAN LAMBUNG


Banyak pasien yang datang ke kamar operasi dengan resiko aspirasi pneumonitis.
Contoh klasik adalah pasien dengan nyeri akut dan perut penuh yang harus menjalani
pembedahan emergensi. Pasien dengan kehamilan, kegemukan, diabetes dan hiatus
hernia atau efflux gastroesofageal memiliki resiko untuk terjadinya aspirasi isi gaster
dan subsequent chemical pneumonitis. Aspirasi pulmonal dari isi gaster yang signifikan
secara klinik sangat jarang pada pasien yang sehat yang menjalani pembedahan elektif.
Pentingnya untuk dilakukan puasa sebelum dilakukan induksi anestesi untuk
pembedahan elektif saat ini dipertentangkan.Beberapa institusi memperbolehkan
minum 3 jam bahkan 2 jam sebelum operasi pada pasien tertentu. Volume isi
gaster,setelah induksi anestesi tidak meningkat dengan pemberian 150 ml air, kopi atau
jus jeruk 2-3 jam sebelumnya. Studi yang sama yang dilakukan oleh Shevde dan
Trivedi menggambarkan pemberian 240 ml air, kopi, jus jeruk pada relawan yang sehat,
semuanya memiliki volume gaster kurang dari 25 ml dengan sedikit peningkatan pH
dalam 2 jam setelah minum satu atau tiga jenis minuman.Hal yang dipertimbangkan
dari puasa adalah kenyamanan, hipovolemi dan hipoglikemi pada pasein anak-anak
perioperatif. Investigasi oleh Splinter dkk, menyimpulkan bahwa minum air putih 3 jam
sebelum operasi, tidak terlalu memiliki efek pada volume gaster dan pH pada anak-
anak yang sehat dengan usia 2-12 tahun. Studi lain pada bayi, anak-anak dan orang
dewasa yang dijadwalkan untuk operasi elektif memiliki hasil yang sama. Namun harus
diingat bahwa data tersebut didapatkan dari pasien yang tidak memiliki resiko terhadap
aspirasi dan hanya meminum air putih. The American Society of Anesthesiologists
menyimpulkan pedoman untuk praktek puasa peroperatif yang diadaptasi pada tahun
1998 (lihat table 21.5)
Tabel 21.5
REKOMENDASI PUASA UNTUK MENGURANGI RESIKO ASPIRASI
PULONAL
Jenis minuman Waktu puasa minimal (untuk semua umur)
 Air putih* 2 jam
 ASI 4 jam
 Makanan bayi 6 jam
 Susu formula 6 jam
 Makanan berat 6 jam
 Dilakukan pada pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif dan tidak
dianjurkan untuk wanita bersalin. Mengikuti pedoman tadak menjamin
pengosongan gaster secara komplit.
 * Termasuk air putih, jus buah, bahan-bahan berkarbonasi, teh dan kopi hitam.
 Di adaptasi dari Practice Guidelines for Preoperative Fasting and the Use of
Pharmacologic Agents to Reduce the Risk of Pulmonary Aspiration : Application to
Healthy Patients Undergoing Elective Procedures. A Report by the American
Society of Anesthesiologists Task Force on Preoperative Fasting. Anesthesiologists
90:896, 1999.

Antikolinergik
Baik atropine ataupun glycopyrrolate menunjukkan keefektifan yang tinggi dalam
meningkatkan pH isi cairan gaster atau mengurangi volume gaster. Sebuah studi oleh
Stoelting menunjukkan bahwa ketika pemberian dengan intramuscular 1-1,5 jam
sebelum operasi, baik atropin (0,4 mg) ataupun glycopyrrolate (0,2 mg) dapat merubah
pH atu volume isi gaster. Sudi lain yang serupa menyebutkan bahwa glyccopyrolate (4-
5 μg/kgBB) yang diberikan sebelum operasi tidak mengurangi persentase pasien dengan
resiko terhadap aspirasi pneumonitis yaitu sejumlah besar pasien dengan pH cairan
gaster dibawah 2,5 dan volume isi gaster > 0,4 ml/kgBB. Pemberian glycopyrrolate
dosis tinggi (0,3 mg) tidak lagi efektif. Lebih jauh lagi, dosis intravena antikolinergic
dapat menyebabkan relaksasi gastroesophageal junction. Secara teori, hal ini juga dapat
terjadi pada pemberian intramuskuler. Oleh karena itu, resiko terhadap aspirasi
pneumonal dapat meningkat , tapi efek spesifik dari pemberian IM dari antikolinergik
untuk preoperative belum dapat dibuktikan.

Antagonis Receptor Histamin


Antagonis reseptor H2, Cimetidin, Ranitidin, Famotidin and Nizatidin mengurangi
sekresi asam gaster. Mereka memblok kemampuan histamine untuk menginduksi
sekresi asam gaster dengan konsentrasi ion hydrogen yang tinggi. Oleh karena itu
antagonis reseptor histamin meningkatkan pH gaster. Antagonisme dari reseptor
histamine terjadi dalam cara yang selektif dan kompetitif. Penting untuk mengingat
bahwa obat-obatan ini tidak dapat diperkirakan tergantung dari volume gaster.
Dibanding dengan premedikasi, mereka relatif memiliki efek samping yang lebih
sedikit. Karena efek sampingnya yang relatif sedikit dan karena banyak pasien elektif
memiliki resiko aspirasi pneumonitis, beberapa anesthesiologists menyarankan
penggunaan antagonis reseptor H2. Regimen dosis mulitipel dapat lebih efektif dalam
meningkatkan pH gaster dibanding dosis tunggal sebelum operasi pada hari operasi.
Antagonis H2 juga dapat diberikan pada pasien alergi.

Cimetidin
Cimetidin biasanya diberikan dengan dosis150-300 mg baik oral maupun parenteral.
Penggunaan 300 mg cimetidin oral, 1-1,5 jam sebelum operasi, menunjukkan
peningkatan pH cairan gaster diatas 2,5 pada 80% pasien. Tidak ada efek pada volume
cairan gaster. Namun, sebuah studi oleh Maliniak dkk melaporkan bahwa cimetidin
(300 mg) yang diberikan IV 2 jam sebelum operasi meningkatkan pH cairan gaster dan
menurunkan volume gaster. Cimetidine IV dapat diberkan pada pasien yang tidak dapat
menggunakan cimetidin secara oral. Untuk pasien yang sangat obesitas, dosis cimetidin
perlu ditingkatkan. Cimetidin dapat menembus plasenta, namun efek samping terhadap
janin belum terbukti. Pada satu pusat investigasi, 126 pasien yang akan menjalani
operasi sectio cesarean elektif diteliti. Para pasien menerima 30 ml antacid 1-3 jam
sebelum operasi atau 300 mg cimetidine oral pada saat tidur dan juga IM 1-3 jam
sebelum operasi. Terdapat peningkatan pada pH cairan gaster dan penurunan volume
cairan gaster pada grup yang diberikan cimetidine.Yang terpenting dari diskusi ini
adalah, tidak terdapat perbedaan pada kerja saraf dari neonatus diantara kedua grup.
Efek gaster dari cimetidine berlangsung sepanjang 3 atau 4 jam, dan oleh karena itu
obat ini dapat digunakan pada operasi dengan durasi waktu tersebut.
Cimetidin memiliki beberapa efek samping,namun ada beberapa catatan. Cimetidine
dapat menghambat berbagai fungsi system enzim oksidase hepar sehingga dapat
memperpanjang waktu paruh dari berbagai obat, termasuk diazepam, chlordiazepoxide,
theophylline, propanolol dan lidokain. Hal yang juga menjadi pertanyaan adalah
penurunan aliran darah hepar oleh cimetidin dan perpanjangan efek obat pada pasien
gagal ginjal. Disritmia jantung, hipotensi, cardiac arrest, dan depresi system saraf pusat
pernah terjadi setelah pemberian cimetidin. Efek samping ini mungkin terjadi pada
pasien dengan penyakit berat setelah pemberian cimetidin IV yang cepat. Diduga,
resistensi jalan nafas mungkin meningkat pada pasien asma karena cimetidin dapat
menghasilkan unopposed reseptor H2 yang dapat menyebabkan bronko konstriksi.

Ranitidin
Ranitidin lebih poten,spesifik, dan kerja lebih lama dibanding cimetidin. Dosis oaral
biasanya 50-200 mg. Ranitidin 50-100 mg yang diberikan parenteral,akan menurunkan
pH cairan gaster dalam 1 jam. Sama efektifnya dengan cimetidin dalam mengurangi
jumlah pasien yang memiliki resiko aspirasi gaster dan memiliki sedikit efek samping
terhadap kardiovaskular dan SSP. Efek dari ranitidine berlangsung sampai 9 jam. Oleh
karena itu, ranitidine lebih superior dari cimetidin pada prosedur jangka panjang dalam
mengurangi resiko aspirasi pneumonitis selama keadaan bahaya dari anestesi dan
extubasi trakea.

Antagonis Reseptor Histamin lainnya.


Famotidin adalah penghambat reseptor H2 yang diberikan preoperatif untuk
meningkatkan pH cairan gaster. Farmakokinetik dari famotidin mirip dengan cimetidin
dan ranitidine, dengan pengecualian. Famotidin memiliki waktu paruh yang lebih lama
dibanding keduanya. Famotidin pada dosis 40 mg oral,1,5-3 jam preoperatif
menunjukkan efektifitas dalam meningkatkan pH gaster. Nizatidin 150-300 mg oral, 2
jam sebelum pembedahan, menurunkan asam gaster preoperatif.

Antasid
Antacid digunakan untuk menetralkan asam dalam gaster. Antacid dosis tunggal
yang diberikan 15-30 menit sebelum induksi anestesi, hampir 100% efektif dalam
meningkatkan pH cairan gaster diatas 2,5. Antacid nonparticulate 0,3 M sodium
citrate,sering diberikan sebelum operasi yang menginginkan peningkatan pH cairan
gaster. Antacid nonparticulate tidak merusak paru jika terjadi aspirasi pulmonal yang
mengandung antacid. Suspensi koloid antacid lebih efektif dalam meningkatkan pH
cairan gaster dibanding antacid nonparticulate. Namun aspirasi cairan gaster yang
mengandung particulate antacid dapat menyebabkan kersakan paru yang signifikan dan
persisten, disamping peningkatan pH cairan gaster. Sekuele terhadap pulmonal
bermanifestasi dalam bentuk edem pulmonal dan hipoksemi arteri.
Antacid langsung bekerja setelah pemberian. Antacid efektif pada cairan yang
terdapat dalam abdomen. Hal ini menyebabkan antacid lebih digunakan dalam keadaan
emergensi pada pasien yang dapat menerima obat secara oral.
Bagaimanapun juga, antacid dapat meningkatkan volume cairan gaster, tidak seperti
penghambat reseptor H2. Resiko terhadap aspirasi tergantung pada pH dan volume isi
gaster.

Omeprazole
Omeprazole menekan sekresi cairan lambung dengan cara berikatan pada pompa
proton sel parietal. Pada pasien dewasa diberi dengan dosis 40 mg iv, 30 menit sebelum
induksi. Atau 40-80 mg p.o, 2-4 jam preoperative. Efek terhadap pH gaster palig lama
24 jam.
Metoklopramid
Metoclopramide adalah antagonis dopamine yang menstimulasi motilitas
gastrointestinal bagian atas, meningkatkan tonus spingter gastroesofagus, dan relaksasi
pylorus dan duodenum. Selain itu, juga sebagai antiemetik. Metoklopramide
mempercepat pengosongan lambung tapi belum diketahui efeknya pada sekresi asam
dan pH cairan lambung. Dapat diberikan secara oral atau parenteral. Dosis parenteral 5-
20 mg biasanya diberikan 15-30 menit sebelum induksi. Dosis per oral 10 mg memiloki
onset 30-60 menit. T1/2 metoklopramid kira-kira 2-4 jam.
Penggunaan sebagai obat gastrokinetik adalah pada pasien-pasien yang jumlah
cairan gasternya besar seperti pasien persalinan, pasien yang dijadwalkan operasi
emergensi dan baru saja makan, obesitas, pasien trauma, rawat jalan, dan pasien DM
yang akan dilakukan gastroparesis sekunder.
Bagaimanapun, metoklopramide tidak menjamin pengosongan lambung. Sejumlah
cairan lambung yang bermagna masih mungkin ada meskipun itu diberikan. Efek
metoklopramide pada saluran cerna bagian atas bisa dihalangi oleh pemberian atropin
atau sebelumnya disuntikkan opioid. Mungkin juga tidak efektif setelah pemberian
natrium sitrat. Yang jalas, metoklopramide terutama akan efektif mengurangi resiko
terjadinya a antisialogogue spirasi paru bila dikombinasi dengan H2 reseptor antagonis
(seperti, ranitidine) sebelum pembedahan elektif.

3. ANTIEMETIK
Ada berbagai kelompok pasien yang berespon terhadap obat-obat yang membantu
mengurangi mual dan muntah. Termasuk disini adalah pasien yang dijadwalkan untuk
operasi mata, pasien yang sebelumnya ada riwayat mual muntah, atau motion sickness,
pasien yang akan dilakukan operasi laparoskopi atau ginekologi, dan pasien obesitas.
Ada 4 faktor resiko yang diprediksi mengalami mual muntah postoperasi: perempuan,
riwayat motion sickness atau mual post operasi, tidak merokok, dan menggunakan
opioid postoperasi. Bila didapatkan 2 atau lebih para peneliti mengusulkan pemberian
antiemetik pofilaktik saat menggunakan anestesi volatile. Banyakan ahli anestesi tidak
suka memberikan antiemetikk sebagai bagian dari regimen preopertif, tetapi sebaiknya
diberikan intravena pada sesaat sebelum operasi.selesai.

Droperiol.
Diberikan intravena dosis rendah untuk mencegah mual muntah postperasi. Kortilla
dkk, meneliti bahwa dosis 1,25 mg 5 menit sebelum operasi berakhir mengurangi
kejadian mual mintah setelah operasi. Merekaa menemukan efek antiemetik droperidol
lebih baik dari pada metoklopramide atau domperidone. Studi lain oleh Santos dan
Datta bahwa droperidol efektif sebagai antiemetik untuk pasien seksio Caesarean
dengan anestesi spinal. Namun, dosis rendah droperidol tidak selalu efektif mencegah
mual dan muntah. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan sedasi berlebih sampai di
ruang pemulihan.

Metoklopramide
Seperti telah disebutkan, dapat digunakan sebagai antiemetik preoperative. Namun
masih controversial dan tidak konsisten.

Ondansetron
Adalah antagonis seseptor serotonin type-3. pemberian dosis 4-8 mg i.v pada
dewasa sebelum induksi, ondansetron menunjukkan efektivitas iang tinng mencegah
mual dan muntah postoperasi. Penggunaannya preoperative tidak dibenarkan pada
banyak populasi tapi harus melalui situasi terseleksi.

Antiemetik lain
Seperti fenotiazin, terutama prokloperazine memiliki efek antiemetik. Hidroksizin
dan difenidol adalah dua obat lain yang juga bernilai antiemetik. Walaupun domperidon
memiliki efek antiemetik, namun tidak terbukti mengurangi mual dan muntah
postoperasi.

4. ANTIKOLINERGIK.
Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi diproduksi secret yang
berlebihan oleh saluran nafas dan pad bahaya bradikardi intraoperatif. Indikasi khusus
antikolinergik sebelum operasi adalahsebagai (1) antisialogogue dan (2) sedasi dan
amnesia. Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan mengurangi sekresi cairan
lamung, namun tidak disetujui penggunaannya pada preoeratif.
Antisialogogue. Antikolinergik telah digunakan secara selektif mengeringkan saluran
nafas atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi endotrakeal. Antisialogogue
sangan penting pada operasi intraoral dan pada pemeriksaan jalan nafas seperti
bronkoskopi.
Perbandingan Beberapa Obat Antikolinergik
Atropin Glycopirolate Scopolamine
Increased heart +++ ++ +
rate + ++ +++
Antisialogogue + 0 +++
Sedation
0=no effect; + = small effect; ++ = moderate effect; +++ = large effect.
Karena glykopirolate tidak mudah menembus sawar darah otak, maka tidak dapat
bekerja sebagai sedasi.
Sedatif dan amnesia. Kedua scopolamine dan atropine dapat menembuas sawar darah
otak namun scopolamine adalah yang selalu dipakai sebagai sedatif terutama bila
dikombinasi dengan morfin. Tidak seperti lorazepam atau diazepam, tidak semua pasien
dapat berefek amnesia oleh pemberian scopolamine.
Aksi vagolitik. Aksi vagolitik dari antikolinergik diperoleh melalui blokade efek
asetylkolin pada SA node. Atropin lebih potensial disbanding glykopirolat dan
scopolamine. Aksi vagolitik ini berguna mencegah refleks bradikardi selama operasi.
Bradikardi bias terjadi akibat traksi otot ekstraorbital, otot abdomen, stimulasi sinus
carotis, atau setelah pemberian berulang suksinylkolin. Atropine dan glykopirolat
diberikan intravena.
Elevasi kadar pH cairan gaster. Dosis tinggi antikolinergik sering diperlukan untuk
mengubah kadar pH. Namun demikian, saat preoperative antikolinergik tidak
dibenarkan untuk menurunkan sekresi H+ lambung.

Anda mungkin juga menyukai