METODE PENELITIAN
Pak Wisnu, setelah observasi lapangan dan mengumpulkan informasi dari beberapa sumber salah
satunya Pak Timur, saya ingin menyampaikan beberapa hal.
Kemarin ketika konsultasi langsung sama Bapak di Richard’s Home, terdapat beberapa pertanyaan
yang sudah saya dapatkan jawabannya:
1. Bangunan yang “diduga” cagar budaya, saat ini masih dalam tahap pelestarian tahap
pertama (registrasi dan dokumentasi), belum sampai ke tahap pengembangan dan
pemanfaatan.
2. Beberapa masalah yang dihadapi dalam pengusulan bangunan cagar budaya adalah: (a)
belum adanya tim Ahli Cagar Budaya sehingga tidak bisa mengajukan objek ; (b) politik
kepentingan dalam pemerintahan; (c) pemilik bangunan yang belum sadar pentingnya
bangunan milik mereka, sehingga mereka tidak mau bangunan tersebut diajukan sebagai
bangunan cagar budaya; (d) status kepemilikan atau tanggung jawab yang berbeda antar
dinas, misal dalam satu area bangunannya dibawah naungan dinas A, sedangkan
halamannya dibawah naungan dinas B.
3. Terdapat beberapa wacana yang disampaikan oleh pemerintah kota: (a) pembuatan aturan
pemerintah terkait bangunan cagar budaya, hal ini tertunda terus karena timpang tindih
dengan kepentingan dari dinas-dinas yang lain; (b) Taman Gayung yang ada sejak awal tahun
1990-an akan diubah menjadi “taman modern”.
4. Terdapat tragedi (saya lupa nama tragedinya, kalau tidak salah tragedi mandor) dimana satu
generasi yang didalamnya terdapat banyak orang pintar, dibantai oleh Jepang. Sehingga bisa
dikatakan terdapat missing link dalam informasi-informasi terkait bangunan yang ada.
5. Terdapat Rumah Kapiten China, dahulunya bangunan kolonial yang digunakan oleh tentara
Belanda (kalau tidak salah) yang digunakan sebagai basecamp untuk mengakomodir
masyarakat dengan etnis tionghoa. Bangunannya secara fisik terlihat ada campuran karakter
antara melayu dan tionghoa. Menurut Pak Timur, atapnya merupakan jenis “atap kapal”
yang merupakan ciri dari bangunan tionghoa (seperti klenteng)
6. Terdapat permukiman Sedau Pasar, di daerah Singkawang Selatan. Fisik bangunannya: (a)
dinding bangunan dari kayu yang bisa dibongkar pasang untuk membuat bukaan baik pintu
atau jendela; (b) menggunakan panggung kecil untuk menghindari banjir; (c) kondisi atap
sudah mengalami perubahan material; (c) bagian depan bangunan biasa saja bahkan
terkesan “kurang mampu”, tapi ternyata setelah ruang tamu ruangan menggunakan
marmer, terdapat kitchen set dll; (d) ukuran rumah kecil dan berjejer panjang (seperti kos-
kosan)
7. Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang merupakan objek yang diduga cagar budaya, sebenarnya
bukan merupakan bangunan tertua tetapi dewanya lah yang tertua (tidak memiliki bukti
kapan berdirinya). Terdapat bangunan lain yaitu Cetiya (saya lupa namanya) yang memiliki
bukti kapan dibangunnya yang diukir di kayu bangunan, dan diduga lebih tua dari vihara.
Menurut Pak Timur, Cetiya yang dimaksudkan lebih memiliki nilai tinggi dalam sudut
pandang cagar budaya daripada vihara tersebut.
8. Rumah Marga Tjhia, merupakan bangunan tempat tinggal saudagar kaya dulunya dan satu-
satunya bangunan tempat tinggal yang berarsitektur tionghoa. Dulu pernah ada intensif dari
pemerintah untuk merawat bangunan (dalam konteks cagar budaya), tapi karena sejatinya
banguna tersebut belum terdaftar secara resmi, pendanaan dihentikan dan menimbulkan
keresahan di pihak pemilik bangunan.
9. Di Singkawang sebenarnya tidak pernah terjadi konflik, hanya daerah sekitarnya saja yang
sering terjadi konflik. Pemerintah mengangkat istilah TIDAYU untuk mengindari perluasan
konflik ke dalam kota Singkawang. Padahal sejatinya terdapat 15 paguyuban etnis di
Singkawang, tetapi yang diangkat dan sering dibicarakan hanya TIDAYU. Menurut Pak Timur,
sebenarnya hal ini bisa menimbulkan kecemburuan dari orang-orang selain TIDAYU, bahkan
bisa menyebabkan konflik lainnya, seperti api dalam sekam.
10. Menurut Pak Timur, tidak ada representasi dari “keharmonisan” TIDAYU. Dalam bentuk fisik
pun tidak ada.
1. Sebenarnya saya masih merasa bingung dengan produk akhir yang akan saya dapatkan. Saya
membuat pemetaan tionghoa, tetapi menurut pengamatan sekilas, bangunan tionghoa tidak
memiliki ciri khas fisik. Bukti fisik lebih banyak ditemukan di bangunan peribadatan.
Sebenarnya kawasan pertokoan di pusat kota sebagian besar dimiliki oleh orang tionghoa,
tapi saya tidak tau apakah bangunan tersebut termasuk dalam bangunan berarsitektur
tionghoa.
2. Saya sejak awal penelitian memang ingin mencoba membuat pemetaan kawasan dan
kebetulan penelitian saat ini juga berkaitan dengan pemetaan. Tapi saya bingung bagaimana
menghubungkan dengan cagar budaya, karena bangunan tionghoa yang saat ini “terlihat”
hanya bangunan peribadatan dan rumah marga tjhia.
3. Sebelumnya di metode penelitian saya menjelaskan juga tentang scoring bangunan,
sebenarnya apakah itu perlu? Apakah saya perlu mencari kriteria untuk scoring berdasarkan
dokumen-dokumen tersebut? Atau mungkin hanya sebatas pengamatan sekilas “menurut
saya” saja sudah cukup?
4. Kalau menurut pengamatan sekilas, saya menemukan pengelompokan seperti ini: (a)
bangunan tempat tinggal yang pemiliknya tionghoa tapi tidak berarsitekur tionghoa; (b)
bangunan peribadatan; (c) bangunan pertokoan yang pemiliknya tionghoa (tapi saya belum
tau apakah itu berarsiyektur tionghoa); (d) bangunan baik tempat tinggal atau komersil yang
berkarakter campuran, yaitu modern dan ornamentasi tionghoa.