Anda di halaman 1dari 5

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi penelitian


Penelitian berlokasi di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Lokasi penelitian terokus pada
pusat kota Singkawang yang ditetapkan melalui konsentrasi dari keramaian kota atau kawasan
urban.

3.2 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan selama kurang lebih (lama penelitian), sejak bulan Oktober hingga
Desember 2018. Pengambilan data dilakukan selama (lama menetap di singkwang)

3.3 Data Penelitian


Data penelitian yang dibutuhkan adalah:
1. Peta lokasi (blockplan) pusat Kota Singkawang
2. Fungsi bangunan di pusat Kota Singkawang
3. Pemilik bangunan (dari sudut pandang etnik)
4. Foto objek yang diteliti
5. Elemen visual yang digunakan. (sebagai patokan dalam menentukan kualitas visual)
6. Persebaran dan konsentrasi dari bangunan berarsitektur tionghoa
7. Konsentrasi bangunan berarsitektur tionghoa
8. Batasan kawasan berarsitektur tionghoa
9. 2 – 3 sampel bangunan berarsitektur tionghoa
10. Pemetaan kawasan berarsitektur tionghoa dari sudut pandang kualitas visual
11. Tipe-tipe bangunan berarsitektur tionghoa

3.4 Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain:

1. Peta lokasi (blockplan) pusat kota Singkawang


Pada waktu pengambilan data, peta lokasi atau blockplan menggunakan citra google
earth. Blockplan digunakan untuk menandai persebaran fungsi dan kepemilikan bangunan di
pusat kota Singkawang.
2. Alat tulis
Alat tulis yang digunakan adalah kertas, sketchbook, pena, pensil, dan spidol berwarna.
Kertas digunakan untuk mencatat informasi-informasi di lapangan. Skectbook digunakan
untuk sketsa secara kasar kondisi objek di lapangan. Pena, pensil dan spidol berwarna
digunakan sebagai alat tulis, dimana spidol berwarna berfungsi untuk membedakan tipe-tipe
bangunan yang berbeda di lapangan.
3. Voice recorder
Voice recorder digunakan untuk merekam informasi-informasi yang disampaikan secara
lisan oleh narasumber di lapangan.
4. Dan bahan penelitian lainnya – catat
3.5 Batasan Penelitian
Batasan penelitian yang diambil hanya sebatas pada kawasan pusat kota Singkawang yang
ditentukan melalui konsentrasi keramaian dalam kota. Pembahasan yang akan dilakukan
mencangkup etnis tionghoa yang terdapat di kota Singkawang.

3.6 Metode Pencarian Data


Metode yang dilakukan dalam penelitian adalah:
1. Mencari peta lokasi dalam bentuk blockplan yang diambil dari citra satelit (google
earth).
2. Melakukan pengamatan sekilas pada kota Singkawang untuk menentukan batasan lokasi
pengamatan.
3. Membuat batasan lokasi dalam peta blockplan sebelumnya.
4. Melakukan observasi lapangan. Observasi dilakukan dengan mengacu pada pencarian
data berupa fungsi bangunan serta status kepemilikan (etnik). Data tersebut akan
dituangkan dalam peta blockplan kawasan pusat kota Singkawang.
5. Mengambil 2-3 sampel bangunan berarsitektur tionghoa untuk dilakukan analisis pada
aspek kualitas visual bangunan.

3.7 Metode Pengolahan Data


Data yang diperoleh melalui observasi lapangan selanjutnya akan diolah. Langkah-langkah
dalam pengolahan data adalah sebagai berikut:
1. Membuat pemetaan persebaran bangunan tionghoa pada kawasan pusat kota
Singkawang.
2. Melakukan pengelompokan bangunan tionghoa berdasarkan fungsi bangunan.

3.8 Metode Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif-kuantitatif sebagai berikut:
1. Melakukan analisis kualitatif, yaitu dengan pengamatan langsung untuk menentukan
bangunan-bangunan berarsitektur tionghoa yang memiliki nilai keistimewaan untuk
dijadikan sampel bangunan dengan potensi cagar budaya.
2. Kriteria yang digunakan dalam menentukan sampel adalah dari segi kualitas visual,
orisinalitas bangunan dan karakter bangunan. Kriteria penilaian akan diambil dari
akumulasi data pada dokumen Permen PUPR No. 1 Tahun 2015, Undang-undang No. 11
Tahun 2010 dan Burra Charter.
3. Melakukan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode scoring, untuk
mendapatkan data yang valid berkenaan dengan bangunan-bangunan tersebut.
4. Melakukan pemetaan bangunan-bangunan berarsitektur tionghoa yang memiliki kualitas
visual yang baik untuk diajukan sebagai bangunan cagar budaya. Setelah pemetaan
dilakukan, akan terlihat pola persebaran dari bangunan-bangunan tersebut.
5. Melakukan proses coding pada bangunan-bangunan berarsitektur tionghoa dengan
kriteria: (a) bangunan yang masih ditinggali; (b) bangunan yang masih asli; (c) bangunan
yang sudah mengalami percampuran karakter.
6. Membuat batasan kawasan baru, yaitu usulan kawasan cagar budaya berdasarkan data-
data yang diperoleh sebelumnya. Dapat mengajukan dua usulan kawasan cagar budaya
sebagai bahan pertimbangan.
PERTANYAAN

Pak Wisnu, setelah observasi lapangan dan mengumpulkan informasi dari beberapa sumber salah
satunya Pak Timur, saya ingin menyampaikan beberapa hal.

Kemarin ketika konsultasi langsung sama Bapak di Richard’s Home, terdapat beberapa pertanyaan
yang sudah saya dapatkan jawabannya:

1. Apakah di Singkawang terdapat cagar budaya pada level kawasan?


Jawaban: Belum ada Kawasan Cagar Budaya atau pun Bangunan Cagar Budaya.
pak Timur menjelaskan bahwa di Singkawang sebenarnya “belum ada” bangunan cagar
budaya karena belum teregistrasi. (Objek cagar budaya harus dinilai oleh tim Ahli Cagar
Budaya terlebih dahulu, setelah layak baru diajukan dan mendapatkan nomor registrasi.
Sedangkan saat ini Singkawang, bahkan Kalimantan Barat belum memiliki tim Ahli Cagar
Budaya. Sehingga bangunan-bangunan yang selama ini dikatakan sebagai cagar budaya
sebenarnya masih berjudul “bangunan yang diduga cagar budaya”)
2. Apakah sudah ada usulan kawasan cagar budaya? Atau hanya sebatas gagasan kawasan yang
sesuai untuk dijadikan kawasan cagar budaya.
Jawaban: Ada.
Pak Timur menjelaskan bahwa pernah ada dari bagian pemerintahan (saya lupa bagian apa)
ingin membuat kawasan cagar budaya. Dan pak Timur sempat mengusulkan untuk
mengambil kawasan tersebut (saya masih belum tau kawasan mana yang dimaksudkan, tapi
menurut saya yang dimaksud Pak Timur adalah kawasan sekitar Masjid Raya, karena
memang di kawasan tersebut terdapat banyak bangunan heritage yang berdekatan)
Tapi saya kurang tau, apakah usulan ini sudah berupa usulan “dalam rapat” atau hanya
sekedar usulan lisan dalam obrolan ringan.
Ketika saya menanyakan “Apakah ada lokasi yang berpotensi dijadikan sebagai kawasan
cagar budaya”, Pak Timur menjawab: “Ada, Banyak.”

Beberapa penjelasan dari Pak Timur yang menjadi bahan pertimbangan:

1. Bangunan yang “diduga” cagar budaya, saat ini masih dalam tahap pelestarian tahap
pertama (registrasi dan dokumentasi), belum sampai ke tahap pengembangan dan
pemanfaatan.
2. Beberapa masalah yang dihadapi dalam pengusulan bangunan cagar budaya adalah: (a)
belum adanya tim Ahli Cagar Budaya sehingga tidak bisa mengajukan objek ; (b) politik
kepentingan dalam pemerintahan; (c) pemilik bangunan yang belum sadar pentingnya
bangunan milik mereka, sehingga mereka tidak mau bangunan tersebut diajukan sebagai
bangunan cagar budaya; (d) status kepemilikan atau tanggung jawab yang berbeda antar
dinas, misal dalam satu area bangunannya dibawah naungan dinas A, sedangkan
halamannya dibawah naungan dinas B.
3. Terdapat beberapa wacana yang disampaikan oleh pemerintah kota: (a) pembuatan aturan
pemerintah terkait bangunan cagar budaya, hal ini tertunda terus karena timpang tindih
dengan kepentingan dari dinas-dinas yang lain; (b) Taman Gayung yang ada sejak awal tahun
1990-an akan diubah menjadi “taman modern”.
4. Terdapat tragedi (saya lupa nama tragedinya, kalau tidak salah tragedi mandor) dimana satu
generasi yang didalamnya terdapat banyak orang pintar, dibantai oleh Jepang. Sehingga bisa
dikatakan terdapat missing link dalam informasi-informasi terkait bangunan yang ada.
5. Terdapat Rumah Kapiten China, dahulunya bangunan kolonial yang digunakan oleh tentara
Belanda (kalau tidak salah) yang digunakan sebagai basecamp untuk mengakomodir
masyarakat dengan etnis tionghoa. Bangunannya secara fisik terlihat ada campuran karakter
antara melayu dan tionghoa. Menurut Pak Timur, atapnya merupakan jenis “atap kapal”
yang merupakan ciri dari bangunan tionghoa (seperti klenteng)
6. Terdapat permukiman Sedau Pasar, di daerah Singkawang Selatan. Fisik bangunannya: (a)
dinding bangunan dari kayu yang bisa dibongkar pasang untuk membuat bukaan baik pintu
atau jendela; (b) menggunakan panggung kecil untuk menghindari banjir; (c) kondisi atap
sudah mengalami perubahan material; (c) bagian depan bangunan biasa saja bahkan
terkesan “kurang mampu”, tapi ternyata setelah ruang tamu ruangan menggunakan
marmer, terdapat kitchen set dll; (d) ukuran rumah kecil dan berjejer panjang (seperti kos-
kosan)
7. Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang merupakan objek yang diduga cagar budaya, sebenarnya
bukan merupakan bangunan tertua tetapi dewanya lah yang tertua (tidak memiliki bukti
kapan berdirinya). Terdapat bangunan lain yaitu Cetiya (saya lupa namanya) yang memiliki
bukti kapan dibangunnya yang diukir di kayu bangunan, dan diduga lebih tua dari vihara.
Menurut Pak Timur, Cetiya yang dimaksudkan lebih memiliki nilai tinggi dalam sudut
pandang cagar budaya daripada vihara tersebut.
8. Rumah Marga Tjhia, merupakan bangunan tempat tinggal saudagar kaya dulunya dan satu-
satunya bangunan tempat tinggal yang berarsitektur tionghoa. Dulu pernah ada intensif dari
pemerintah untuk merawat bangunan (dalam konteks cagar budaya), tapi karena sejatinya
banguna tersebut belum terdaftar secara resmi, pendanaan dihentikan dan menimbulkan
keresahan di pihak pemilik bangunan.
9. Di Singkawang sebenarnya tidak pernah terjadi konflik, hanya daerah sekitarnya saja yang
sering terjadi konflik. Pemerintah mengangkat istilah TIDAYU untuk mengindari perluasan
konflik ke dalam kota Singkawang. Padahal sejatinya terdapat 15 paguyuban etnis di
Singkawang, tetapi yang diangkat dan sering dibicarakan hanya TIDAYU. Menurut Pak Timur,
sebenarnya hal ini bisa menimbulkan kecemburuan dari orang-orang selain TIDAYU, bahkan
bisa menyebabkan konflik lainnya, seperti api dalam sekam.
10. Menurut Pak Timur, tidak ada representasi dari “keharmonisan” TIDAYU. Dalam bentuk fisik
pun tidak ada.

Kebingungan yang saya alami:

1. Sebenarnya saya masih merasa bingung dengan produk akhir yang akan saya dapatkan. Saya
membuat pemetaan tionghoa, tetapi menurut pengamatan sekilas, bangunan tionghoa tidak
memiliki ciri khas fisik. Bukti fisik lebih banyak ditemukan di bangunan peribadatan.
Sebenarnya kawasan pertokoan di pusat kota sebagian besar dimiliki oleh orang tionghoa,
tapi saya tidak tau apakah bangunan tersebut termasuk dalam bangunan berarsitektur
tionghoa.
2. Saya sejak awal penelitian memang ingin mencoba membuat pemetaan kawasan dan
kebetulan penelitian saat ini juga berkaitan dengan pemetaan. Tapi saya bingung bagaimana
menghubungkan dengan cagar budaya, karena bangunan tionghoa yang saat ini “terlihat”
hanya bangunan peribadatan dan rumah marga tjhia.
3. Sebelumnya di metode penelitian saya menjelaskan juga tentang scoring bangunan,
sebenarnya apakah itu perlu? Apakah saya perlu mencari kriteria untuk scoring berdasarkan
dokumen-dokumen tersebut? Atau mungkin hanya sebatas pengamatan sekilas “menurut
saya” saja sudah cukup?
4. Kalau menurut pengamatan sekilas, saya menemukan pengelompokan seperti ini: (a)
bangunan tempat tinggal yang pemiliknya tionghoa tapi tidak berarsitekur tionghoa; (b)
bangunan peribadatan; (c) bangunan pertokoan yang pemiliknya tionghoa (tapi saya belum
tau apakah itu berarsiyektur tionghoa); (d) bangunan baik tempat tinggal atau komersil yang
berkarakter campuran, yaitu modern dan ornamentasi tionghoa.

Anda mungkin juga menyukai