Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN KOMUNITAS II

Dosen Pengampu : Ns. Sang Ayu Made Adyani, M.Kep., Sp.Kep.Kom

“Analisis Jurnal Terapi Komplementer Dalam Keperawatan Komunitas


dengan Judul Pengaruh Air Rebusan Kayu Secang Dalam Penyembuhan
Biang Keringat Pada Bayi ”

Disusun Oleh :

Lisa Septiani 1610711103

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga akhirnya saya dapat membuat
makalah Keperawatan Komunitas II.

Makalah yang berjudul “Analisis Jurnal Terapi Komplementer Dalam


Keperawatan Komunitas dengan Judul Pengaruh Air Rebusan Kayu Secang
Dalam Penyembuhan Biang Keringat Pada Bayi ” ditulis untuk memenuhi tugas
individu pada mata kuliah Keperawatan Komunitas II.

Pada kesempatan yang baik ini, saya menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah
memberikan bantuan dan dorongan kepada saya dalam pembuatan makalah ini
terutama kepada :

1. Ibu Ns. Sang Ayu Made Adyani, M.Kep., Sp.Kep.Kom selaku dosen pada
mata kuliah Keperawatan Komunitas II.
2. Orang tua kami yang telah memberikan semangat, dukungan serta doa untuk
menyelesaikan makalah ini
3. Rekan satu kelas tutorial yang telah mendukung dalam menyelesaikan
makalah ini

Jakarta, 17 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... 1

I.1. Latar Belakang ........................................................................ 1


I.2. Tujuan Penulisan .................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN ......................................................................... 3

II.1. Pengertian Biang Keringat .................................................... 3


II.2. Prevalensi Biang Keringat ..................................................... 3
II.3.Penyebab Biang Keringat ........................................................ 4
II.4. Klasifikasi Biang Keringat .................................................... 5
II.5. Pengertian Kayu Secang ....................................................... 5
II.6. Khasiat Kayu Secang ............................................................ 6

BAB III : ANALISIS JURNAL ................................................................ 7

III.1. Merode Penelitian ................................................................ 7


III.2. Hasil Penelitian ................................................................... 7
III.3. Pembahasan ........................................................................ 8

BAB IV : PENUTUP ................................................................................. 10

IV.1. Kesimpulan ……................................................................. 10


IV.2. Saran .................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 11

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Terapi komplementer telah dikenal dan digunakan secara luas di pelayanan


kesehatan di negara-negara barat (Lindquist, Snyder dan Tracy, 2014).
Penggunaan terapi alternatif dan komplementer bukan hanya di negara-negara
berkembang tetapi juga di negara-negara maju seperti amerika serikat, inggris,
dan canada ( berger, tavares dan berger, 2013 : lambe, 2013 : roulston, wilkinson,
haynes dan campbell, 2013). Di amerika serikat terapi alternatif dan
komplementer telah terintegrasi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan
(lindquist, snyder dan tracy, 2014). Menurut deng dan colega (2010 dalam verrell,
coyle dan paice, 2015) menyatakan bahwa pelayanan kesehatan terintegrasi
merupakan pelayanan yang berbasis hubungan, berfokus pada pasien,
komprehensif, perawatan holistik yang mana fokusnya pada prioritas pasien untuk
mencapai kesejahteraannya baik melalui pencegahan, pengelolaan sakit,
rehabilitasi, dan paliasi penyakit dan injuri. Selain untuk mengatasi penyakit -
penyakit yang bersifat akut, terapi alternat if dan komplementer juga sering
digunakan oleh pasien dengan penyakit kronis yang semakin parah dan penyakit
yang membatasi atau mengancam jiwa (selman, williams dan simms, 2012).

Penggunaan terapi alternatif dan komplementer di rusia telah


diimplementasikan di rumah hospis (kerr, 1997). Lebih lanjut kerr menyatakan
bahwa penggunaan terapi alternatif dan komplementer dapat meningkatkan
perawatan secara holistik pada pasien di rumah hospis. Hal serupa juga terjadi di
canada, dimana layanan terapi alternatif dan komplementer sejak tahun 2000 telah
di implementasikan di unit perawatan paliatif di salah satu rumah sakit di kota
toronto (berger, tavares dan berger, 2013).

1
Beberapa alasan mengapa pasien menggunakan terapi alternatif dan komplementer
sebagai terapi pilihan selain terapi secara medis, menurut Vincent dan Furnham (1996
dalam Roulston, Wilkinson, Haynes dan Campbell, 2013) menyatakan bahwa pasien
meyakini terapi alternatif dan komplementer memiliki nilai positif terhadap kondisi
kesehatannya, pengalaman menggunakan terapi medis dan hasilnya kurang efektif,
untuk menghindari efek samping dari terapi medis seperti penggunaan obat-obatan, dan
jeleknya komunikasi dari para praktisi kesehatan. Sedangkan Astin (1998 dalam
Roulston, Wilkinson, Haynes dan Campbell, 2013) menjelaskan bahwa ada beberapa
alasan mengapa penggunaan terapi alternatif dan komplementer meningkat dari tahun ke
tahun yaitu ; ketidakpuasan dari hasil terapi medis secara konvensional, karena
keinginan secara pribadi untuk mengontrol proses pengobatan, dan karena pandangan
secara filofis. Lebih lanjut Ferrell, Coyle dan Paice (2015) mengidentifikasi beberapa
alasan pasien memilih terapi alternatif dan komplementer yaitu prognosis yang buruk,
fokus perawatan pada rasa nyaman bukan untuk mengobati, keinginan untuk lebih
aktif dalam memilih metode pelayanan secara pribadi, mengurangi efek samping
pengobatan, mengurangi komplikasi penyakit, keinginan untuk memenuhi semua pilihan
layanan, saran dari keluarga/orang terdekat untuk menggunakan terapi alternatif dan
komplementer, pandangan secara filosofis dan budaya, lebih murah dibandingkan
dengan pengobatan secara medis, akses yang lebih mudah, ketidakpuasan dan hilangnya
kepercayaan terhadap pengobatan medis, keinginan untuk melakukan perawatan
penyakit secara alamiah, harapan akan adanya perubahan perkembangan penyakit,
adanya perasaan ketidakberdayaan dan keputusasaan, meningkatkan sistem imun,
meningkatkan kesehatan secara umum, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

1.2 Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Air Rebusan Kayu Secang
Dalam Penyembuhan Biang Keringat Pada Bayi di daerah Klaten Selatan Jawa
Tengah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Pengertian Biang Keringat


Biang keringat juga dikenal sebagai miliaria, merupakan ruam yang gatal,
bintik-bintik merah kecil timbul yang menyebabkan rasa menyengat atau tusukan
pada kulit. Ruam dapat berkembang di manapun pada tubuh, tetapi paling sering
terjadi di wajah, leher, punggung, dada dan paha. Ruam terdiri dari bintik-bintik
kecil atau benjolan yang dikelilingi oleh daerah kulit yang merah. Bintik-bintik
terkadang terlihat seperti lecet kecil. Ini dapat menyebabkan pembengkakan ringan,
gatal, dan tusukan-tusukan menyengat. Biang keringat memang bukan penyakit
yang berbahaya, namun bisa menular melalui kontak fisik, udara, atau pakaian

II.2 Prevalensi Biang Keringat


Biang keringat sering terjadi pada bayi berusia kurang dari 6 bulan.
karena kulit bayi cenderung lebih sensitif daripada orang dewasa. Bahkan 70 persen
dari tubuh bayi mengandung air, itulah mengapa bayi mudah sekali mengeluarkan
keringat bila dibandingkan dengan orang dewasa. Menurut Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization, 2006) melaporkan tiap tahun terdapat 80%
penderita biang keringat (miliaria), diantaranya 65% terjadi pada bayi. Berdasarkan
harian Kompas Jakarta 15
Desember 2008 melaporkan 49,6% penduduk Indonesia Beresiko terkena
biang keringat (miliaria). Sebagian besar sering terjadi pada bayi terutama di
kota-kota besar yang panas dan pengap. Milliariasis sering terjadi pada bayi
prematur karena proses diferensiasi sel epidermal dan apendik yang belum
sempurna. Kasus milliariasis terjadi pada 40-50% bayi baru lahir, muncul pada
usia 2-3 bulan pertama dan akan menghilang dengan sendirinya pada 3-4 minggu
kemudian. Terkadang kasus ini menetap untuk beberapa lama dan dapat menyebar
ke daerah sekitarnya. (Hoesin, 2004).
Ada banyak cara untuk mempercepat penyembuhan dan menghambat
penyebaran biang keringat, salah satunya dengan bisa diberikan rebusan kayu
secang yang digunakan untuk memandikan bayi. Pada rebusan kayu secang akan
melarutkan senyawa yang terkandung dalam kayu secang yaitu senyawa tanin dan

3
brasilin. Kandungan tanin dan brasilin yang berada pada batang kayu secang. Tanin
dapat bersifat sebagai antibakteri dan astringen sedangkan brazilin mempunyai
aktivitas sebagai antibakteri dan bakteriostatik. Peneliti lain mengungkapkan
bahwa brazilin diduga mempunyai efek anti-inflamasi (Grainne, 2014).
WHO (2006) juga telah memperbolehkan penggunaan tanaman mengalami
biang keringat dan menyebabkan bayi menjadi rewel.

II.3 Penyebab Biang Keringat

Miliaria terjadi ketika saluran kelenjar keringat bisa terpasang karena sel-sel
kulit mati atau bakteri seperti Staphylococcus epidermidis , bakteri umum pada
kulit yang juga dikaitkan dengan jerawat . Staphylococcus epidermidis bercampur
keringat menyebabkan iritasi (menusuk-nusuk), gatal dan ruam lepuh yang sangat
kecil, biasanya di daerah lokal dari kulit.

Biang keringat biasanya timbul akibat keringat yang berlebihan tapi tidak
bisa keluar karena adanya penyumbatan pada saluran kelenjar keringat. Gejala yang
muncul kemudian adalah rasa gatal, pedih dan kulit jadi kemerahan, serta
munculnya gelembung-gelembung kecil atau lenting yang berisi air.

Biang keringat sering muncul di sekitar dahi dan leher, juga mengincar
bagian-bagian tubuh yang tertutup pakaian seperti dada dan punggung, serta bagian
yang mengalami tekanan atau gesekan pakaian. Bahkan beberapa kasus, timbul
pada kulit kepala.

Biang keringat biasanya terjadi ketika seseorang berkeringat lebih dari


biasanya, seperti saat cuaca panas atau lembab. Namun, tidak menutup
kemungkinan biang keringat bisa terjadi di saat musim dingin. Kondisi ini
disebabkan ketika kelenjar keringat tubuh menjadi terhalang. Keringat berlebihan
dapat menyebabkan keringat menjadi terperangkap di bawah kulit Anda. Keringat
terperangkap menyebabkan iritasi kulit dan mengalami ruam panas

4
II.4 Klasifikasi Biang Keringat

Jenis-jenis biang keringat. Berdasarkan perbedaan kelainan yang muncul di


kulit, maka biang keringat dibedakan menjadi tiga:

II.4.1 Miliaria kristalina. Sumbatan yang terjadi pada bagian atas dari
lapisan kulit.

Ciri-ciri: Gelembung kecil berukuran 1-2 mm, berisi cairan jernih


seperti tetesan air, namun tanpa disertai munculnya kulit
kemerahan. Lokasi: Dahi, leher, punggung dan dada.

II.4.2 Miliaria rubra. Sumbatan terjadi pada bagian tengah lapisan kulit.

Ciri-ciri: Gelembung kecil, masih berukuran 1-2 mm dan berwarna


merah. Gelembung biasanya tersebar, tapi dapat juga berkelompok.
Disertai keluhan sangat gatal dan pedih bila berkeringat. Biang
keringat ini paling sering ditemukan. Lokasi: Bagian-bagian tubuh
yang tertutup pakaian dan yang tergesek pakaian.

II.4.3 Miliaria profunda. Sumbatan terjadi pada bagian dalam dari lapisan
kulit.

Ciri-ciri: Bintil-bintil putih berukuran 1-3 mm, dan tidak disertai


kulit yang kemerahan. Tidak juga menimbulkan rasa gatal. Biang
keringat ini jarang sekali dijumpai. Lokasi: Badan, lengan dan
tungkai.

II.5. Pengertian Kayu Secang


Secang atau sepang (Caesalpinia sappan L.) adalah anggota suku polong-
polongan (Fabaceae) yang dimanfaatkan pepagan (kulit kayu) dan kayunya sebagai
komoditi perdagangan rempah-rempah.

Asal usul tumbuhan ini tidak diketahui dengan pasti, namun sejak lama
dibudidayakan orang di wilayah India, Asia Tenggara, Malesia, hingga Pasifik,
terutama sebagai penghasil bahan pewarna dan juga bahan obat tradisional.
Salah satu spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat
tradisional adalah secang (Caesalpinia sappan L.), tergolong tumbuhan herbal
yang tumbuh alami pada hutan-hutan sekunder. Secang mengandung senyawa

5
fenolik seperti flavonoid, mempunyai aktivitas antioksidan penangkap radikal
bebas (Panovska et al., 2005 dalam Rahmawati, 2011). Senyawa antioksidan dari
bahan alami atau tumbuhan memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan
sintetik karena residu yang dihasilkan lebih mudah terdegradasi (Wijayakusuma et
al.1996).
II.6. Khasiat Kayu Secang
Secang merupakan tumbuhan semak atau perdu yang kayunya dapat mulai
dipanen sejak umur 1-2 tahun. Pada tahun 1902, Chevreul telah mengisolasi zat
warna yang terdapat di dalam kayu Brazil dan diberi nama Brazilin. Ekstrak kayu
secang berkhasiat untuk mengobati diare, sifilis, darah kotor, berak darah, malaria,
dan tumor (Anariawati, 2009). Selanjutnya dapat digunakan sebagai penawar
racun, pengobatan sesudah persalinan, katarak, maag, masuk angin, dan kelelahan
(Rahmawati, 2011). Selain itu, ekstrak cair kayu secang dapat dibalurkan pada
bagian tubuh yang luka, serta dapat mengobati penyakit tulang keropos
(osteoporosis).
Mufidah et al. (2012) mengemukakan bahwa ekstrak etanol kayu secang
mampu menstimulasi sel osteoblast dan juga dapat menghambat pembentukan sel
osteoclast. Ekstrak kayu secang juga bersifat antibakteri, yaitu dapat menghambat
aktivitas bakteri dalam saluran pencernaan, karena diduga mengandung asam galat
di dalam ekstrak kayu secang (Fazri, 2009). Selanjutnya Sa’diah et al. (2013)
menyatakan bahwa ekstrak kayu secang yang mengandung brazilin > 200 mg/g
yang diformulasi menjadi krim, dapat digunakan sebagai obat anti jerawat.
Kandungan brazilin pada kayu secang dapat menghambat protein inhibitor
apoptosis survivin dan terlibat dalam aktivasi caspase 3 dan caspase 9, sehingga
dapat mengobati penyakit kanker (Zhong et al., 2009). Ekstrak metanol, n-butanol
serta kloroform dari kayu secang dapat membunuh sel kanker. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian Rahmi et al. (2010) bahwa ekstrak etanolik kayu secang
memiliki aktivitas antikanker dengan menurunkan viabilitas pada beberapa sel
kanker payudara, kanker kolon, kanker serviks, namun tetap selektif terhadap sel
normal. Ekstrak zat warna kayu secang hasil maserasi dengan pelarut air dan
alkohol dapat digunakan sebagai indikator alami dalam titrasi asam-basa
(Padmaningrum et al., 2012). Selain itu, senyawa-senyawa aktif lain yang
terkandung dalam kayu secang, seperti Sappanchalcone dan Caesalpin P, terbukti
memiliki khasiat untuk terapi antiinflamasi, diabetes dan gout secara in vitro
(Wicaksono et al., 2008 dalam Rahmawati, 2011)
6
BAB III

ANALISIS JURNAL

III.1 Metode Penelitian

Jenis penelitan ini adalah Quasi Eksperiment. Sampelnya adalah 20


bayi yang mengalami biang keringat yang diberikan air rebusan kayu secang dan
sejumlah 20 bayi yang mengalami biang keringat tapi diberikan selain air rebusan
kayu secang di wilayah Klaten Selatan. Tehnik pengambilan sampel secara
consecutive sampling. Analisa data nya menggunakan uji U Mann Whitney.

III.2 Hasil Penelitian

Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan di Bidan Praktek Mandiri


di wilayah Klaten Selatan, pada bulan april s/d juni 2014.

1. Hasil uji Deskritif Statistik pada kelompok perlakuan dan kelompok


kontrol tentang lama penyembuhan biang keringat bayi

Tabel 1 Distribusi diskriptif kelompok pelakuan

Kelompok N Mean SD

Perlakuan 20 5,75 1.802

Kontrol 20 9,80 2.419

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa pada kelompok perlakuan nilai


rata-rata lama penyembuhan biang keringat bayi adalah 5,75 hari sedangkan
nilai rata-rata lama penyembuhan biang keringat bayi pada kelompok kontrol
adalah 9,80 hari

2. Hasil uji U Mann-Whitney terhadap data penelitian pada kelompok


perlakuan dan pada kelompok kontrol untuk mengetahui beda rerata antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol maka dilakukan uji U Mann-
Whitney p < 0,05 yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dimana waktu (lamanya hari)
yang dibutuhkan untuk penyembuhan biang keringat bayi pada kelompok
yang diberikan air rebusan kayu secang (kelompok perlakuan ) lrbih cepat
dibandingkan dengan waktu (lamanya hari) yang dibutuhkan untuk

7
penyembuhan biang keringat bayi pada kelompok yang diberi tanpa
rebusan air secang (kelompok kontrol)

III.3 Pembahasan

Dari hasil uji deskriptif statistic dapat diketahui bahwa pada kelompok
perlakuan nilai rata-rata lama penyembuhan biang keringat bayi adalah 5.75 hari
dan nilai rata-rata pada lama penyembuhan biang keringat bayi pada kelompok
kontrol adalah 9.80 hari. Hal tersebut didukung dari hasil uji U Mann-Whitney
yang menunjukkan p value = 0.001, dimana p < 0.05 yang berarti ada perbedaan
yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dimana waktu
(lamanya hari) yang dibutuhkan untuk penyembuhan biang keringat bayi pada
kelompok yang diberi air rebusan kayu secang (kelompok perlakuan) lebih cepat
dibanding waktu (lamanya hari) yang dibutuhkan untuk penyembuhan biang
keringat bayi pada kelompok yang diberi selain rebusan air secang (kelompok
kontrol).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sukria
1993 dalam Sundari et al, (1998) yang menyatakan bahwa kayu secang
mengandung zat Flavonoid. Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam
dari senyawa fenolik yang banyak merupakan pigmen tumbuhan. Fungsi flavonoid
dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan. Antioksidan melindungi jaringan
terhadap kerusakan oksidatif akibat radikal bebas yang berasal dari proses-proses
dalam tubuh atau dari luar, dan memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C
(meningkatkan efektivitas vitamin C). Dalam banyak kasus, flavonoid dapat
berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari
mikroorganisme seperti bakteri atau virus. Selain itu kayu secang juga mengandung
minyak atsiri. Minyak atsiri, atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil),
minyak esensial, serta minyak aromatik, adalah kelompok besar minyak nabati yang
berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga
memberikan aroma yang khas. Beberapa jenis minyak atsiri digunakan sebagai
bahan astiseptik internal dan eksternal. Kandungan lain kayu secang adalah tanin
dan asam galat. Tanin dan Asam Galat adalah komponen zat organik yang sangat
komplek dan terdiri dari senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul 500 –
3000, dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa komplek larut yang
tidak larut. Tanin bersifat sebagai antibakteri dan astringent atau menciutkan
dinding usus yang rusak karena asam atau bakteri. Kayu secang juga mengandung

8
brasilin/brazilin. Brasilin adalah golongan senyawa yang memberi warna merah
pada kayu secang dengan struktur C6H14O5 dalam bentuk kristal berwarna
kuning sulfur, larut air dan berasa manis, akan tetapi jika teroksidasi akan
menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna merah kecoklatan. Brazilin
merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya.
Berdasarkan aktivitas antioksidanya, brazilin mempunyai efek melindungi tubuh
dari keracunan akibat radikal kimia. Brazilin juga mempunyai efek anti-inflamasi.
Kaitannya dengan biang keringat pada bayi, berdasarkan FKUI, (2000)
bayi yang menderita biang keringat (Miliaria) mengalami 3 kali lebih banyak
bakteri per satuan luas kulitnya dibanding bayi yang tidak mengalami biang
keringat. Biang keringat itu sendiri adalah suatu keadaan tertutupnya pori-pori
keringat sehingga menimbulkan tersumbatnya kelenjar keringat di bawah kulit dan
mengakibatkan timbulnya bintik-bintik merah. E.Sukardi dan Petrus Andrianto,
(1988) juga menyatakan bahwa biang keringat adalah dermatosis yang timbul
akibat penyumbatan kelenjar keringat dan porinya, yang lazim timbul dalam
udara panas lembab seperti daerah tropis atau selama awal musim panas atau 6
maka menimbulkan tekanan yang menyebabkan pecahnya kelenjar atau duktus
kelenjar keringat. Keringat yang masuk ke jaringan sekelilingnya menimbulkan
perubahan anatomi. Sumbatan disebabkan oleh bakteri yang menimbulkan
peradangan dan oleh edema akibat keringat yang tak keluar. Oleh karena itu perlu
suatu tindakan yang berupa pencegahan maupun pengobatan untuk mengatasi biang
keringat pada bayi karena biang keringat menimbulkan rasa ketidaknyamanan
pada bayi bahkan jika tidak diatasi bisa menimbulkan komplikasi (infeksi) pada
kulit bayi. Air rebusan kayu secang mengandung flavonoid, minyak atsiri, tanin
dan asam galat serta brazilin yang berfungsi sebagai anti bakteri, anti inflamasi, dan
anti oksidan juga stringen ekstrak serutan kayu secang dapat berefek positif
menghambat pertumbuhan Strepto-coccus yang memiliki daya antibakteri terhadap
S. aureus dan E. coli sehingga air rebusan kayu secang dapat mengobati biang
keringat pada bayi.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa bayi yang menderita biang
keringat yang dimandikan dengan air rebusan kayu secang lebih cepat
kesembuhannya dibandingkan yang tidak menggunakan kayu secang.

9
BAB IV

PENUTUP

IV.1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara lama penyembuhan biang keringat pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol, dimana waktu (lamanya hari) yang dibutuhkan untuk penyembuhan biang
keringat bayi pada kelompok yang diberi air rebusan kayu secang (kelompok
perlakuan) lebih cepat dibanding yang dibutuhkan untuk penyembuhan biang
keringat bayi pada kelompok yang diberi tanpa rebusan air secang Kelompok
kontrol).

VI.2. Saran
Saran penelitian ini diharapkan para ibu lebih aktif bertanya dan mencari
informasi tentang pencegahan dan pengobatan biang keringat secara medis maupun
herbal dan terutama dapat menerapkan pencegahan dan pengobatan biang keringat
dengan menggunakan air rebusan kayu secang dan para petugas kesehatan
khususnya Bidan dapat menerapkan pencegahan dan pengobatan biang keringat
pada bayi dengan menggunakan air rebusan kayu secang secara lebih luas
dimasyarakat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, dkk. 2008, Penyakit Kulit Pada Bayi, Jakarta.


http://www.siti_aisyah. Com

Boediardja, dkk, 2004, Perawatan Kulit Bayi dan Balita, EGC : Jakarta

Chucill Living Stone, 1995, Pediatric Dermatology, Edisi 2, EGC : Jakarta

Gold Disorders,1999,Dermatology in General,FKUI :Jakarta

Grainne B, 2014 Rendomised Controlled Trial Evaluating A Baby Wash


Product on Skin Barrier Function in Healthy, Term
Neonates: Essentially Midirs

Hoesin M, Dr, 2004, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FKUI : Jakarta

Murti B. 2010. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan
kualitatif dibidang kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press 2011. Validitas dan reliabilitas. Surakarta: Matrikulasi persiapan
pendidikan doktoral bidang kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Notoatmodjo.S.2003. Metodologi Penelitian Kesehatan,Arcan:Jakarta, 2000,


Perawatan Bayi, IDI : Jakarta, http://www.ikatan_dokter Indonesia_jakarta

Pasaribu, dkk, 2007, Perawatan Kulit Bayi, FKUI : Jakarta,


http://www.conectique.com, dkk, 1999, Perawatan Kulit Bayi, FKUI
:Jakarta, http://www.republika.com

Shelov,2000.Perawatan untuk bayi dan balita,Arcan :Jakarta.

Siregar R.S, Prof. Dr., 2002, Penyakit Kulit, FKUI, Jakarta

Stillman MA, Hindson TC and Maibach HI, 1971 The Effect of Pretreatment of
Skin on Artificially Induced miliaria Rubra and Hypohidrosis: British
Journal of Dermatology, 1971,84(2),110

Anariawati. 2009. Studi eksperimen pembuatan serbuk instan kayu secang (


Caesalpinia sappan ) dengan menggunakan jumlah gula yang berbeda
sebagai minuman berkhasiat. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi.
Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Astina, I. G. A. A. 2010. Optimasi pembuatan ekstrak etanolik kayu secang ( C a e


s alpinia s a p p a n L.) secara digesti : Aplikasi desain faktorial. [Skripsi].
Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Dianasari, N. 2009. Uji efektivitas antibakteri ekstrak etanol kayu secang (


Caesalpinia sappan L.) terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella

11
dysentriae serta bioautografinya. [Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Direktorat Obat Asli Indonesia. 2008. Caesalpinia sappan L. Badan Pengawas


Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Ernawati, A. 2013. Stabilitas antioksidan ekstrak kayu secang ( Caesalpinia sappan


L.) selama penyimpanan. [Tesis]. Program Studi Ilmu dan Teknologi
Pangan. Universitas Gajahmada. Yogyakarta.

Fadliah, M. 2014. Kualitas organoleptik dan pertumbuhan bakteri pada susu


pasteurisasi dengan penambahan kayu secang ( Caesalpinia sappan L.)
selama penyimpanan. [Skripsi]. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Farhana, H., Indra, T. M., dan Reza, A. K. 2015. Perbandingan pengaruh suhu dan
waktu perebusan terhadap kandungan brazilin pada kayu secang ( C a e s
alpinia s a p p a n Linn.) Prosiding Penelitian Sivitas Akademika UNISBA,
Farmasi Gelombang 2, Tahun Akademik 2014 - 2015.

Fazri, M. E. 2009. Uji efektivitas antibakteri ekstrak metanol kayu secang (


Caesalpinia sappan L.) terhadap Helicobacter pylori secara in vitro .
[Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.

Garg, J. M. 2009. Caesalpinia sappan (sappan wood). http://wikimedia.org.


Diakses pada tanggal 21 April 2016.

Hariana, A. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Depok : Niaga Swadaya.

Mirza, Z. 2010. Inventarisasi pemanfaatan tumbuhan obat secara tradisional oleh


Suku Osing Banyuwangi. [Skripsi]. Jurusan Pendidikan MIPA. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Jember. Jember.

Mufidah, Subehan, dan Yusnita, R. 2012. Karakterisasi dan uji antiosteoporosis


ekstrak kayu secang ( Caesalpinia sappan ). Prosiding InSINas, 29 - 30
November 2012.

Padmaningrum, R. T., Siti, M., dan Antuni, W. 2012. Karakter ekstrak zat warna
kayu secang ( Caesalpinia sappan L.) sebagai indikator titrasi asam basa.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012.

Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gajah Mada. 2011. Jenis bahan


penyamak kulit ikan. Laporan perkembangan hibah pembelajaran elearning.

Rahmawati, F. 2011. Kajian potensi ‘wedang uwuh’ sebagai minuman fungsional.


Seminar Nasional ‘Wonderfull Indonesia’, Jurusan PTBB FT UNY, 3
Desember 2011.

12
Rahmi, K., Erlina, R., dan Ika, N. 2010. Kajian komprehensif ekstrak etanolik
kayu secang ( C a e s alpinia s a p p a n L.) sebagai agen kemopreventif
tertarget. Naskah Tidak Dipublikasikan.

Rina, O., Chandra, U. W., dan Ansori. 2012. Efektivitas ekstrak kayu secang ( C a
e s alpinia s a p p a n L.) sebagai bahan pengawet daging. Jurnal Penelitian
Pertanian Terapan, 12 (3) : 181 - 186.

Rusdi, U. D., W. Widowati, dan E. T. Marlina. 2005. Efek ekstrak kayu secang,
vitamin E dan vitamin C terhadap Status Antioksidan Total (SAT) pada
mencit yang terpapar aflatoksin. Media Kedokteran Hewan, 21 (2) : 66 - 68.

Sari, L. O. R. K. 2006. Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat


dan keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, III (1) : 1 - 7.

Sa’diah, S., Latifah, K. D., Wulan, T., dan Irmanida, B. 2013. Efektivitas krim anti
jerawat kayu secang ( C a e s alpinia s a p p a n ) terhadap Propionibacterium
acnes pada kulit kelinci. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 11 (2) : 175 -
181.

Sufiana dan Harlia. 2014. Uji aktivitas antioksidan dan sitotoksisitas campuran
ekstrak metanol kayu sepang ( Caesalpinia s appan L.) dan kulit kayu manis (
Cinnamomum burmanii B.). JKK, 3 (2) : 50 - 55.

Widowati, W. 2011. Uji fitokimia dan potensi antioksidan ekstrak etanol kayu
secang ( Caesalpinia sappan L.). Jurnal Kedokteran Maranatha, 11 (1) : 23 –
31.

Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., dan Wirian, A., 1996, Tanaman Berkhasiat
Obat di Indonesia. Jilid ke-4. Jakarta : Pustaka Kartini.

Zhong, X., Wu, B., pan, Y. J., and Zheng, S. 2009. Brazilein inhibits survivin
protein and mrna expression and induces apoptosis in hepatocellular
carcinoma HepG2 cells. Neoplasma, 56 (5) : 87 - 92.

https://id.wikipedia.org/wiki/Biang_keringat

13

Anda mungkin juga menyukai