Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu:
sebagai tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi
ekskresi. Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan
morfologi dan fisiologi.
Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat
kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine
satu jam pertama sampai beberapa hari postpartum. Perubahan ini juga
dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang mungkin
memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu.1
Residu urine setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan
50 ml, jika residu urine ini lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat
juga dikatakan retensi urine. Insiden terjadinya retensi urine post partum
berkisar 1,7% sampai 17,9%. Secara umum penanganannya diawali
dengan kateterisasi. Jika residu urine lebih dari 700 ml, antibiotik
profilaksis dapat diberikan karena penggunaan kateter dalam jangka
panjang dan berulang.1
Retensio urin merupakan salah satu komplikasi yang bisa terjadi
pada kasus obstetri. Retensi urine postpartum dapat terjadi pada pasien
yang mengalami kelahiran normal sebagai akibat dari peregangan atau
trauma dari dasar kandung kemih dengan edema trigonum. Faktor-faktor
predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi sectio cesarea , ekstraksi
vakum, epidural anestesia, pada gangguan sementara kontrol saraf
kandung kemih, dan trauma traktus genital.1,2
Kejadian retensio urin postpartum tercatat berkisar antara 1,7-17,9
%. Hal ini sepertinya disebabkan tidak akuatnya dan bervariasinya definisi
dan perbedaan dalam kriteria diagnostik. Penelitian secara restropektif di
bagian Ginekologi FK Unlam/RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun

1
2002-2003 didapatkan sebesar 0,38%, dimana 11 kasus retensio urin
postpartum dari 2.850 persalinan yang dirawat diantaranya melalui dengan
cara sectio cesarea sebanyak 737 (25,85%), spontan sebanyak 1.891
(66,35%) dan vakum ekstraksi sebanyak 222 (7,78%). Usia penderita
terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun, yaitu 4 kasus (36,3%) dan
paritas terbanyak adalah paritas 1, yaitu 6 kasus (54,5%). Berdasarkan
tindakan persalinan adalah spontan pervaginam 8 kasus (81,8%), vakum
ekstraksi 2 kasus (18,2%) dan sectio cesarea 1 kasus (1%).2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Traktus Urinarius


A. Anatomi9
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang,
terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri
vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak
sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal
ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan.
Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12),
sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau
iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus
transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)
sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra
L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan
posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

 Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya


terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus
dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan
tubulus kontortus distalis.
 Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya
terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus
pengumpul (ductus colligent).
 Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid
ginjal
 Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang
menonjol ke arah korteks

3
 Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh
darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan
ginjal.
 Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara
duktus pengumpul dan calix minor.
 Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
 Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
 Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
 Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica
urinaria.

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari


korpus renalis/ Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman),
tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus
distal yang bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling
tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol
(yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler
peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan
letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu
nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif
jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle
yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu
nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki
lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan
pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai
vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan
percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan
bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui
hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan

4
memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk
persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui
n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini
berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan
persarafan simpatis melalui n.vagus.

Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang
membawa hasil penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi)
dari pelvis renalis menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter
yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap
ginjal. Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun
di depan m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan
a.iliaca communis. Ureter berjalan secara postero-inferior di
dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial untuk
mencapai vesica urinaria. Adanya katup uretero- vesical mencegah
aliran balik urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat
beberapa tempat di mana ureter mengalami penyempitan yaitu
peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta muara
ureter ke dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering
terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta
abdominalis, a.iliaca communis, a.testicularis/ovarica serta
a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan ureter melalui segmen
T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta
pleksus hipogastricus superior dan inferior.

5
Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau
buli-buli, merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal
dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra
dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi
sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor),
bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi,
bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan
saraf.
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk
tetrahedral yang terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis
dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan
inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior,
posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria
terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular).
Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum
vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk
mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum
vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae
walaupun dalam keadaan kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan
inferior. Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan
oleh a.vaginalis. Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri
atas persarafan simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis
melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus imus, dan
n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis
melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai
sensorik dan motorik.

6
Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari
vesica urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa
perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki
panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual
(berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada
wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot
sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari
m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di
uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita
hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung
kemih dan bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars
prostatika, pars membranosa dan pars spongiosa.

 Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari


collum vesicae dan aspek superior kelenjar prostat. Pars
pre-prostatika dikelilingi otot m. sphincter urethrae internal
yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini
disuplai oleh persarafan simpatis.
 Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang
melewati/menembus kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih
dapat berdilatasi/melebar dibanding bagian lainnya.
 Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang
terpendek dan tersempit. Bagian ini menghubungkan dari
prostat menuju bulbus penis melintasi diafragma urogenital.
Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m.sphincter urethrae
eksternal yang berada di bawah kendali volunter (somatis).
 Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling
panjang, membentang dari pars membranosa sampai

7
orifisium di ujung kelenjar penis. Bagian ini dilapisi oleh
korpus spongiosum di bagian luarnya.

Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5


cm) dibanding uretra pada pria. Setelah melewati diafragma
urogenital, uretra akan bermuara pada orifisiumnya di antara
klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter
urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun
tidak seperti uretra pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi
reproduktif.

B. Fisiologi10
Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam
pengeluaran zat-zat toksis atau racun, b) mempertahankan suasana
keseimbangan cairan, c) mempertahankan keseimbangan kadar
asam dan basa dari cairan tubuh, dan d) mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
Tahap pembentukan urin adalah :

1. Proses Filtrasi
Di glomerulus terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah
bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring
ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air,
sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus
ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus.
2. Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari
glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat.
Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus
proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali
penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh.

8
Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan
sisanya dialirkan pada papilla renalis.
3. Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal
dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar

2.2. Definisi Retensio Urin


Retensio urin merupakan tidak adanya proses berkemih spontan
setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan
urin sisa kurang dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin adalah tidak
bisa berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter,
dimana tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung
kemih.1,2

2.3. Patofisiologi
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian
dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung
kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem
saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf
simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan
meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan
oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang
dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra.1
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi
oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama
yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.1

9
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf
sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan
informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat
aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral
dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.1
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan
relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet
dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran
yang minimal.1
Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran
pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien;
setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini meningkat menjadi 38
%. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis antara otot detrusor-
sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang kemudian
menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya akibat
dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor.1,2

2.4. Etiologi
Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti
dengan kontraksi otot-otot detrusor. Pengosongan kandung kemih secara
keseluruhan dikontrol didalam pusat miksi yaitu diotak dan sakral.
Terjadinya gangguan pengosongan kandung kemih akibat dari adanya
gangguan fungsi di susunan saraf pusat dan perifer atau didalam genital
dan traktus urinarius bagian bawah.1
Pada wanita, retensi urine merupakan penyebab terbanyak
inkontinensia yang berlebihan. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan
kronik dari retensi urine. Pada penyebab akut lebih banyak terjadi
kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot detrusor, atau

10
ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada kasus yang
retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan
intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius
bagian atas dan penurunan fungsi ginjal.1
Pasien post operasi dan postpartum merupakan bagian yang
terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat
dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan
kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih
yang adekuat.1
Merujuk terhadap perubahan fisiologis masa nifas, retensi urin
postpartum dapat disebabkan oleh keadaan hipotonik dari kandung kemih.
Perubahan ini dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa
minggu postpartum.
Selama proses persalinan, trauma tidak langsung dapat terjadi pada
uretra dan kandung kemih. Dinding kandung kemih dapat mengalami
hiperemis dan edema serta sering kali disertai daerah hemoragik. Rasa
nyeri pada panggul yang timbul akibat dorongan kepala bayi saat
persalinan serta rasa nyeri akibat laserasi vagina atau episiotomi dapat
mempengaruhi proses berkemih.

2.5. Gambaran Klinis


Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk
diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat,
dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan
atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih.1
Suatu penelitian melaporkan bahwa gejala yang paling bermakna
dalam memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran

11
kencing yang lemah, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna,
mengedan saat berkemih, dan nokturia.1,2

2.6. Diagnosis
Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga
pelvis, pemeriksaan neurologik, jumlah urine yang dikeluarkan spontan
dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume
residu urine, sangat dibutuhkan.1
Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat
digunakan uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan
voiding cystourethrography.1
Dikatakan normal jika volume residu urine adalah kurang atau
sama dengan 50ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari 200ml
dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun volume
residu urine antara 50-200ml menjadi pertanyaan, sehingga telah
disepakati bahwa volume residu urine normal adalah 25% dari total
volume vesika urinaria.1,2

2.7. Penatalaksanaan
Mengatasi masalah berkemih salah satunya dapat dilakukan dengan
intervensi bladder training diantaranya kateterisasi baik secara intermitten
4-6 jam sampai tercapai residu urin <150 ml, bila residu urin >150 ml
dipasang kateter menetap selama 24-48 jam. Bladder training merupakan
penatalaksanaan yang bertujuan melatih kembali kandung kemih mencapai
tonus otot otot kandung kemih yang normal sehingga tercapai kembali
pola berkemih normal. Pada perawatan maternal, bladder training
dilakukan pada ibu yang mengalami gangguan berkemih diantaranya pada
kasus retensi urin postpartum.
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan
kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48

12
jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan
kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi.1
Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan
dalam waktu 4 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih
harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urine minimal.
Bila kandung kemih mengandung lebih dari 100 ml urine, drainase
kandung kemih dilanjutkan lagi.1
Dilakukan bladder training yaitu salah satu upaya untuk
mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke
keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Bladder training
merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi nonfarmakologi.
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises
(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay
urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal
berkemih). Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan
kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter,
Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin
bag. Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan.
Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem
kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem
selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini
memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi
sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk
mengosongkan isinya.
Dari beberapa literatur, bladder training dapat dilakukan sebelum
masalah berkemih terjadi pada ibu postpartum, sehingga dapat mencegah
intervensi invasif yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi
saluran kemih. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih
untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan dan
meningkatkan kemampuan berkemih. Secara umum pertama sekali

13
diupayakan dengan cara yang non invasif agar pasien tersebut dapat
berkemih spontan.
Dari beberapa literatur, salah satu intervensi non invasif yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah perkemihan adalah menggunakan
alat Sitz bath dengan prinsip hidroterapi. Terapi ini menggunakan air
dengan posisi duduk pada alat Sitz bath. Prinsip hidroterapi ini untuk
menstimulasi sirkulasi darah di daerah pelvis. Aplikasi ini menggunakan
alternatif air dingin dan hangat. Sitz bath juga digunakan secara luas
dalam praktek medis salah satunya pada pasien retensi urin dan nyeri di
daerah pelvis tanpa gangguan neurologis. Dari literatur, aplikasi ini
terbukti bermanfaat untuk pemulihan organ urogenitalia eksterna.

2.8. Komplikasi
Retensi urin postpartum menimbulkan komplikasi pada masa nifas.
Beberapa komplikasi akibat retensi urin postpartum adalah terjadinya
uremia, infeksi, sepsis, bahkan ada penulis yang melaporkan terjadinya
ruptur spontan vesika urinaria.
Peningkatan tekanan intravesika akibat retensi urin pada periode
postpartum ini menimbukan komplikasi akut dan kronik pada ibu. Retensi
urin postpartum yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
inkontinensia urin. Pada komplikasi akut, manifestasi yang nyata adalah
menimbulkan rasa nyeri sampai menyebabkan kerusakan permanen
khususnya gangguan pada otot detrusor dan ganglion parasimpatis pada
dinding kandung kemih. Sedangkan komplikasi kronik dari retensi urin,
menyebabkan refluks ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan
penurunan fungsi ginjal.
Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka
kemampuan elastisitas vesica urinaria menurun, dan terjadi peningkatan
tekanan intra vesika yang menyebabkan terjadinya reflux, sehingga
penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal dan ureter atau
dapat juga dilakukan foto BNO- IVP.1

14
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Usia : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tunas Saur
Pekerjaan : Tenun
Agama : Islam
Dokter Pemeriksa : dr. Severina Adella, Sp.OG
Co. Assisten : Winda Rolita Firda, S.Ked
MRS : 18 Agustus 2014

SUAMI
Nama : Tn. S
Usia : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat : Tunas Saur
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam

3.2. Anamnesis
a. Keluhan Utama :
Pasien P2A0 mengeluh bengkak diperut bagian bawah dan sulit
BAK sejak 2 minggu yang lalu.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Os MRS melalui poli kebidanan RSMP. Os post partus
anak kedua, sudah 20 hari mengeluh bengkak di perut bagian
bawah dan sulit BAK sejak 2 minggu yang lalu. Os mengeluh
BAK sedikit-sedikit dan mengedan. Os juga mengeluh demam

15
sejak 2 hari yang lalu. Kemudian Os berobat ke puskesmas
Indralaya, lalu dirujuk oleh bidan ke RSMP. Riwayat dengan
keluhan yang sama pada anak pertama (+).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Asma (-), Hipertensi (-), DM (-), dan alergi obat (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Asma (-), Hipertensi (-), DM (-), Hepatitis (-)

e. Riwayat Menstruasi :
 Menarche : 15 tahun
 Siklus : 28 hari

f. Riwayat Perkawinan
Menikah satu kali, status masih menikah

g. Riwayat Persalinan
1. Perempuan, usia 8 tahun, lahir spontan, 3600 gr
2. Laki-laki, usia 22 hari, lahir spontan, 3500 gr

h. Riwayat KB :
KB suntik

i. Riwayat Operasi
Penderita belum pernah operasi sebelumnya

j. Riwayat ANC
Os mengaku melakukan pemeriksaan 9 kali selama kehamilan di
bidan puskesmas.

16
k. Kebiasaan Hidup
Merokok (-), Alkohol (-)

3.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
 TD : 120 / 80 mmHg
 N : 81x / menit
 RR : 20 x / menit
 Suhu : 39 º C

Kepala : Normocephali, rambut hitam, tidak mudah rontok


Mata : Conjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
edema palpebra -/-
THT : Sekret telinga -/-, sekret hidung -/-, tonsil tidak
hiperemis, T1 – T1
Leher : KGB tidak membesar, tiroid tidak teraba membesar.
Thorax
 Mammae : Simetris
 Pulmo : Suara nafas vesikuler, ronki - / -, wheezing - / -
 Cor : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Nyeri tekan dan pembesaran pada daerah
hypogastrica
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

3.4. Pemeriksaan Laboratorium


Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal
1. Hb : 9,7 gr/dl 11,7-15,5 g/dl
2. Leukosit : 14.160 4000-11.000 g/dl

17
3. Diffcount : 0/0/2/86/7/5 1-2/0-1/3-5/54-62/25-33/3-7
4. LED : 96 mm/jam <15 mm/jam
5. Golongan darah :O A/B/AB/O
6. Rhesus Factor :+ Negatif/Positif
7. Clotting time : 9 menit <15 menit
8. Bleeding time : 3 menit 1-6 menit

Urine Lengkap
9. Warna urin : Kuning tua kuning muda
10. Kejernihan : keruh jernih
11. PH urin : 6,5 4,6-8,0
12. Berat jenis : 1.010 1,001-1,035
13. Protein urin : ++ negatif
14. Bilirubin : negatif negatif
15. Urobilinogen urin :+ positif
16. Nitrit : negatif negatif
17. Keton : negatif negatif
18. Leukosit urin : Penuh <5/LPB
19. Eritrosit urin : Penuh <2/LPB
20. Epitel urin : positif positif
21. Silinder urin : Granuler (+) negatif
22. Reduksi urin : negative negatif
23. Kristal urin : negatif negatif
24. Kristal Amorf : negatif negatif
25. Kristal Ca. Oxalat : negatif negatif
26. Kristal Uric Acid : negatif negatif

3.5. Diagnosis
Retensio urine postpartum

18
3.6. Penatalaksanaan
 Observasi tanda-tanda vital
 Cek laboratorium darah dan urine
 IVFD RL xx gtt/menit
 Injeksi ceftriaxone 2x1
 Citrosol 3x1
 Paracetamol 3x1
 Nonflamin 2x1
 Dc menetap 2x24 jam
 Bladder training

3.7. Prognosis
Dubia ad Bonam

3.8. Follow Up Pasien

TANGGAL PERKEMBANGAN PASIEN


/JAM
S O A P

18/08/2014 Tidak KU: Baik Retensio  IVFD RL


bisa Sensorium: urine  injeksi ceftriaxone
BAK Compos mentis postpartum 2x1
TD:120/80 mmhg  Citrosol 3x1
N: 80 x/m,  Paracetamol 3x1
RR: 20 x/m  Nonflamin 2x1
o
T: 39 C  Kateter menetap
2x24 jam
19/07/2014 Sakit KU: Baik Retensio  IVFD RL
kepala Sensorium: urine  injeksi ceftriaxone
Compos mentis postpartum 2x1

19
TD:110/70 mmHg  Citrosol 3x1
HR: 84x/menit  Paracetamol 3x1
RR: 20x/menit  Nonflamin 2x1
T: 38,7°C  Kateter (+)

20/08/2014 Tidak KU: Baik Retensio  IVFD RL


ada Sensorium: urine  injeksi ceftriaxone
keluhan Compos mentis postpartum 2x1
TD:130/80 mmHg  Citrosol 3x1
HR: 86x/menit  Paracetamol 3x1
RR: 20x/menit  Nonflamin 2x1
T: 36,3°C  Bladder training /
4 jam
21/08/2014 Tidak KU: Baik Retensio  Citrosol 3x1
bisa Sensorium: urine  Ciprofloxacin 2x1
BAK Compos mentis postpartum  Paracetamol 3x1
TD:130/80 mmHg  Nonflamin 2x1
HR: 86x/menit  Kompres air
RR: 20x/menit hangat di daerah
T: 36,3°C suprapubik
 Bladder training
intermitten / 2 jam

20
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini Ny. M 30 tahun datang ke poli kebidanan mengeluh sulit
BAK sejak 2 minggu yang lalu setelah melahirkan. Os didiagnosa retensio urine
postpartum ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang disesuaikan dengan literatur.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien P2A0 mengeluh sulit BAK sejak
2 minggu yang lalu. Keluhan dirasakan saat setelah Os pulang kerumah 1 minggu
setelah melahirkan. Os juga mengeluh BAK sedikit-sedikit dan mengedan saat
BAK. Selain itu Os mengeluh demam sejak 2 hari yang lalu. Os memiliki riwayat
keluhan yang sama pada anak pertama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan dan pembesaran pada daerah
hypogastric. Sedangkan pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.
Untuk penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat. Pasien diberikan terapi
injeksi berupa antibiotik ceftriaxone berfungsi untuk mencegah adanya infeksi
mikroorganisme berupa bakteri, antipiretik berupa paracetamol untuk tatalaksana
demam dan citrosol merupakan golongan prostaglandin. Prostaglandin telah
terbukti dapat mempengaruhi kerja otot-otot detrusor, meningkatkan sensitifitas
kandung kemih, meningkatkan tonus dan kontraktilitas otot detrusor. Nonflamin
digunakan untuk mengurangi peradangan serta nyeri dan pemasangan kateter
2x24 jam.
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan
kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk
menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih
menemukan kembali tonus normal dan sensasi.
Mengatasi masalah perkemihan salah satunya dapat dilakukan dengan
bladder training. Setelah pemasangan kateter 2x24 jam dilakukan bladder training
pada pasien, pasien disuruh berkemih setiap 4 jam, dilakukan selama 24 jam.
Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung
kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal

21
neurogenik. Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk
mengembalikan pola normal berkemih dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluaran urin. Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di
antara terapi nonfarmakologi.
Pada perawatan maternitas, bladder training dilakukan pada ibu yang telah
mengalami gangguan berkemih seperti inkontinensia urin atau retensio urin.
Padahal sesungguhnya bladder training dapat mulai dilakukan sebelum masalah
berkemih terjadi pada ibu postpartum, sehingga dapat mencegah intervensi invasif
seperti pemasangan kateter yang justru akan meningkatkan kejadian infeksi
kandung kemih. Selama ini apabila ibu postpartum mengalami masalah BAK,
maka salah satu tindakan penyelesaiannya adalah melalui pemasangan kateter
untuk mencegah peregangan kandung kemih yang berlebihan. Dengan bladder
training diharapkan ibu postpartum dapat BAK secara spontan dalam enam jam
postpartum. Program latihan dalam bladder training meliputi penyuluhan, upaya
berkemih terjadwal, dan memberikan umpan balik positif.
Pada hari ketiga kateter pasien dilepas dan pasien diharapkan dapat
berkemih sendiri tanpa kateter. Namun, setelah kateter dilepas pasien masih sulit
untuk BAK. Kemudian kateter dipasang kembali dan didapatkan jumlah residu
urine sebanyak 800cc. Jika residu urine lebih dari 700 ml, antibiotik profilaksis
dapat diberikan karena penggunaan kateter dalam jangka panjang dan berulang.
Penatalaksanaan terhadap pasien ini adalah dilakukan bladder training kembali
secara intermitten 2 jam sampai tercapai residu urin <150 ml, bila residu urin
>150 ml dipasang kateter menetap selama 24-48 jam

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran


Indonesia, 20 Agustus 2014.
2. Junizaf. Tinjauan Kasus Retensio Urin Post Partum di RSUD Ulin
Banjarmasin 2002-2003. Jurnal Kedokteran dan Farmasi, Vol
19/1/2006. 10-13.
3. Hadi R. Persalinan dengan Cara Ekstraksi Vakum di RSUD dr.
Soedomo Madiun. Cermin Dunia Kedokteran No.133/2001. 31-34.
4. Diaa M, Mowafi E. Obstetrics Simplified. Department of Obstetric
and Gynaecology. Benha Faculty of Medcine, Egypt. 2002
5. Hamilton D, Fairly. Obstetric and Gynaecology. Second Edition.
Blackwell Publishing. 193-196
6. Sophie. AC, etc. Obstetric in Remote Setting. First Edition. 2007.
French. 88-90
7. P’ O Grady J. Vacuum Extraction. http://www.emedicine.com/med
/topic3389.htm
8. Barus PR. Infeksi dalam Kehamilan dan Persalinan. Cermin Dunia
Kedokteran. Edisi Khusus. No 80. 1992. 57-59
9. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran; alih bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.
10. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN
Edisi II. EGC: Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai