Anda di halaman 1dari 22

Tugas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Berdasar Perpres No 16 Tahun 2018

Pengadaan.web.id - Pejabat Pembuat Komitmen atau yang biasa disingkat PPK dalam dunia pengadaan barang dan
jasa adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk pengambil keputusan dan/atau melakukan
tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah (Pasal 1 angka
10 Perpres No.16 Tahun 2018). Kegiatan pengadaan barang dan jasa yang berlandaskan pada kontrak/perjanjian,
merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak pemahaman dan atau kemampuan mulai dari perencanaan
pengadaan sampai selesainya pekerjaan yang terdiri dari tahapan perencanaan pengadaan, pelaksanaan
pengadaan/pekerjaan dan pengendalian, penandatangan kontrak/perjanjian, dan melaporkan dan menyerahkan hasil
pekerjaan. Sehingga PPK bertanggung jawab secara administrasi, teknis dan finansial terhadap pengadaan barang
dan jasa.

Dengan demikian PPK mewakili SKPD-nya dalam membuat perikatan atau perjanjian dengan pihak lain, tanpa
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berarti instansi tersebut tidak bisa melakukan perjanjian dengan pihak lain.
Berhasil dan tidaknya proses suatu pengadaan barang dan jasa pada satu instansi tergantung pada Pejabat Pembuat
Komitmen. Ini berarti bahwa tugas pokok Pejabat Pembuat Komitmen berkaitan erat dengan penggunaan anggaran
negara atau pengelolaan keuangan, karena itu dalam pelaksanaannya menuntut suatu keahlian dan ketelitian serta
tanggung jawab yang berbeda dengan tugas pokok seorang pegawai administrasi lainnya. Kesalahan dalam
pelaksanaan tugas PPK akan berakibat timbulnya kerugian negara yang berujung pada tuntutan ganti rugi atau
tuntutan lainnya.

Di era lama, orang menganggap jabatan PPK merupakan "lahan basah", karena ‘memakmurkan’ orang yang
menjabatnya. Sehingga banyak pejabat struktural kadang berlomba-lomba untuk menjadi PPK. Tetapi di era
reformasi saat ini, jabatan PPK menjadi momok bagi birokrat. Alasannya tidak lain karena PPK sangat rentan
dengan masalah hukum, terkait dengan pelaksanaan kontrak. Akan sangat lazim kita jumpai kasus tindak
pidana korupsi terkait Pengadaan Barang/Jasa, pastilah menyeret PPK dan penyedia barang/jasa. Hal ini merupakan
konsekuensi yuridis dari dokumen kontrak yang dibuat oleh PPK dan Penyedia.

Personil kegiatan pengadaan sendiri antara lain PA/KPA, PPK, Unit Layanan Pengadaan, Panitia Pengadaan,
Pejabat Pengadaan dan Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Perubahan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah menjadi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah menyebabkan adanya perubahan tugas Perjabat Pembuat Komitmen (PPK). Di bawah ini
akan dijelaskan mengenai pembahasan tugas pokok dan wewenang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
berdasar Perpres No. 16 Tahun 2018.

Tugas Pokok dan Wewenang PPK (Perpres 16/2018, pasal 11)

(1) PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c memiliki tugas:
a. menyusun perencanaan pengadaan;
b. menetapkan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK);
c. menetapkan rancangan kontrak;
d. menetapkan HPS;
e. menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia;
f. mengusulkan perubahan jadwal kegiatan;
g. menetapkan tim pendukung;
h. menetapkan tim atau tenaga ahli;
i. melaksanakan E-purchasing untuk nilai paling sedikit di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
j. menetapkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
k. mengendalikan Kontrak;
l. melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan kepada PA/ KPA;
m. menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada PA/ KPA dengan berita acara penyerahan;
n. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan; dan
o. menilai kinerja Penyedia.

(2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPK melaksanakan tugas pelimpahan
kewenangan dari PA/ KPA, meliputi:
a. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja; dan
b. mengadakan dan menetapkan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran belanja yang telah ditetapkan.

(3) PPK dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh Pengelola Pengadaan
Barang/Jasa.

Beberapa Catatan Kesimpulan Tugas PPK sebagai berikut;

1. Menyusun Perencanaan pengadaan = menyusun spek, HPS dan rancangan kontrak


2. Menetapkan tim pendukung seperti tenaga administrasi, direksi lapangan, direksi teknis
3. Menetapkan tim atau tenaga ahli yaitu tim atau orang yang kompeten melaporkan pelaksanaan dan
penyelesaian kegiatan kepada PA/ KPA, untuk Prepres 16/2018 serah terima dengan penyedia dilakukan
oleh PPK ( bukan oleh PPHP lagi), maka PPK dapat melakukan sendiri, atau dibantu tim pendukung, tim
atau tenaga ahli dan atau konsultan pengawas
4. Melaksanakan E-purchasing = PPK dapat langsung bertransaksi produk-produk katalaog. PPK
bisa melakukan sendiri epurchasing. Sedangkan nilai s.d Rp 200jt oleh pejabat pengadaan
5. Menilai kinerja Penyedia yaitu menilai pelaksanaan kontrak oleh penyedia
6. PPK dapat dibantu oleh Pengelola pengadaan barang / jasa = dibantu oleh jabatan fungsional
pengadaan
Catatan :

1. PPK ditetapkan oleh PA (Pengguna Anggaran), Pasal 9 Ayat 1 huruf g Perpres 16/2108 ;
2. PPK memiliki kewenangan menandatangani kontrak sebagai pelimpahan kewenangan dari
PA/KPA ;
3. Dalam hal tidak ada personel yang dapat ditunjuk, KPA dapat merangkap sebagai PPK ;
4. PPK dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa ;
5. Setelah Pekerjaan selesai 100%, PPK memeriksa, menerima Pekerjaan dan menandatangani Berita
Acara Serah Terima.
6. PPK menetapkan Pengenaan sanksi denda keterlambatan dalam Kontrak sebesar 1 % (satu permil)
dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan ;
7. PPK wajib memiliki sertifikat kompetensi di bidang pengadaan barang/jasa paling lambat
Desember 2023 ;
8. PPK dapat mengusulkan Pengenaan Sanksi Daftar Hitam ;
9. PPK dapat dibantu oleh Pengeolal Pengadaan.

Tugas-tugas lain dari PPK selain tersebut di atas antara lain :

Mengusulkan kepada PA/KPA :

1. Perubahan paket pekerjaan, dan/atau


2. Perubahan jadwal kegiatan pengadaan
3. Menetapkan tim pendukung
4. Menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk membantu
pelaksanaan tugas Unit Layanan Pengadaan
5. Menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada penyedia barang/jasa.
Sedangkan berdasarkan pasal 13 Perpres No. 54 Tahun 2010, PPK dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau
menandatangani kontrak dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia
anggaran yang dapat mengakibatkn dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari
APBN/APBD.

Syarat-syarat Menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Sebelumnya telah dijelaskan mengenai tugas pokok PPK atau dalam bahasa inggrisnya The commitment maker
official, lalu sebenarnya apa sajakah syarat-syarat seseorang bisa menduduki jabatan sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK)?. Berikut ini uraiannya.

Dalam Perpres 54 Tahun 2010 pasal 12 ayat 2, syarat menjadi PPK tersurat dengan tegas :

1. memiliki integritas;
2. memiliki disiplin tinggi;
3. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
4. mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku
serta tidak pernah terlibat KKN;
5. menandatangani Pakta Integritas;
6. tidak menjabat sebagai pengelola keuangan; dan
7. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
Kemudian dijelaskan lagi bahwa persyaratan manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah:

1. berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat
mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
2. memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang
berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
3. memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.

Lalu muncul pertanyaan, jika sudah menjabat sebagai pejabat eselon ingin menjadi PPK apakah harus memenuhi
syarat di atas?. Oh tentu saja, syarat diatas merupakan syarat mutlak untuk menjadi PPK. Bahkan, PPK tidak harus
dijabat oleh seseorang yang mempunyai eselon.
Tugas PPK pada Setiap Tahapan Pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa

TAHAP PERENCANAAN KONTRAK

Pada tahap awal sebelum pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilakukan, sebagai seorang yang ditunjuk sebagai
komandan pengadaan barang/jasa, PPK dapat mengundang UKPBJ/pejabat pengadaan dan tim teknis untuk
mengkaji ulang tentang Rencana Umum Pengadaan yang telah ditetapkan oleh PA/KPA dalam rapat koordinasi
awal. Dalam rangka mengkaji ulang kebijakan umum tersebut PPK bersama tim teknis maupun Unit Layanan
Pengadaan /Pejabat Pengadaan dapat mere-view hal-hal :

1. Apakah kajian ulang pemaketan pekerjaan sudah mengakomodir unsur-unsur prinsip pengadaan
seperti dalam pasal 5 Perpres 54 tahun 2010 antara lain unsur effisiensi, effektifitas, transparan, terbuka,
bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel serta mendorong persaingan sehat, meningkatkan peran
usaha kecil dan penggunaan produksi dalam negeri.
2. Apakah kajian ulang biaya yang tercantum didalam rencana umum pengadaan masih layak untuk
dilaksanakan pada saat pekerjaan fisik dilaksanakan. Hal ini dipertimbangkan karena proses pengajuan
anggaran (pagu) biasanya memerlukan waktu yang cukup lama hingga persetujuan anggaran. Pengkajian
ulang pemaketan pekerjaan dapat dilakukan berdasarkan survei pasar.
3. Apakah kajian ulang paket-paket sebagaimana rencana umum pengadaan masih dapat
digabungkan dan/atau dipecah demi effektifitas dan effisiensi sejauh tidak untuk menghindari pelelangan
dan tidak menghalangi pengusaha kecil untuk ikut serta.
4. Apakah kajian tentang Kerangka Acuan Kerja, Spesifikasi teknis dan Gambar, waktu pelaksanaan
dan hal-hal lain yang dapat merubah lingkup dan output pekerjaan.
5. Berdasarkan hasil rapat koordinasi yang dituangkan dalam Berita Acara :
 Apabila PPK dan Unit Layanan Pengadaan /Pejabat Pengadaan sepakat untuk merubah Rencana Umum
Pengadaan (RUP_ maka perubahan tersebut diusulkan oleh PPK kepada PA/KPA untuk ditetapkan kembali;
 Apabila ada perbedaan pendapat antara PPK dengan Unit Layanan Pengadaan /Pejabat Pengadaan terkait
Rencana Umum Pengadaan maka PPK mengajukan permasalahan ini kepada PA/KPA untuk diputuskan; dan
putusan PA/KPA bersifat final.

Berdasar kesepakatan PPK dan Unit Layanan Pengadaan /Pejabat Pengadaan dan/atau keputusan PA/KPA, maka
PPK menetapkan Rencana Pelaksanaan Pengadaan yang meliputi: kebijakan umum, rencana penganggaran biaya
dan Kerangka Acuan Kerja. Dan selanjutnya PPK menyerahkan Rencana Pelaksanaan Pengadaan kepada Unit
Layanan Pengadaan (ULP) sebagai bahan untuk menyusun Dokumen Pengadaan (Perpres 54 tahun 2010, hal 177).

Spesifikasi Teknis Barang/ Jasa

Dalam Perpres 70 tahun 2012 pasal 11 ayat 1.a.1. menyebutkan bahwa salah satu tugas PPK adalah menetapkan
spesifikasi teknis barang/jasa. Penyusunan spesifikasi teknis merupakan hak PPK dan tugas ini adalah sangat riskan
dan krusial, karena spesifikasi merupakan dasar dalam proses pengadaan barang/jasa dan tidak boleh mengarah pada
merek/brand tertentu. Setiap penawaran dari penyedia barang/jasa harus memenuhi spesifikasi teknis yang telah
ditentukan dalam dokumen pengadaan.

Yang menjadi permasalahan adalah, luasnya ruang lingkup pengadaan barang/jasa bila dibandingkan dengan ruang
lingkup pengetahuan PPK. Seorang PPK harus memahami spesifikasi teknis pengadaan barang, pekerjaan
konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Seorang PPK tidak bisa berlindung dibalik tim teknis atau tim
pendukung yang menyiapkan spesifikasi teknis. Seorang PPK tidak bisa berlindung dibalik konsultan perencana
dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

Walaupun sebagian kegiatan perencanaan memang harus diserahkan kepada ahlinya, namun pokok pikiran serta inti
dari spesifikasi tetap harus dipahami oleh PPK. PPK tidak boleh berucap “saya lulusan sosial, jadi tidak paham
bangunan.” Apabila ditemukan kesalahan perencanaan konstruksi, maka oleh penyidik atau pemeriksa tetap akan
diminta pertanggungjawabannya. Disini dituntut keluasan pengetahuan dan pengalaman dari seorang PPK (Khalid
Mustafa).

Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

Tugas lainnya dari PPK adalah menyusun HPS. PPK menyusun HPS yang dikalkulasikan secara keahlian dan
berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan dan riwayat HPS harus didokumentasi oleh PPK secara baik.

Untuk mengetahui lebih detail mengenai langkah dalam penyusunan HPS dan fungsi HPSsendiri bisa dibaca disini.

Sesuai dengan pasal 66 ayat (7) Perpres 70 tahun 2012 menyebutkan bahwa penyusunan HPS dikalkulasikan secara
keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan meliputi :

1. Harga pasar setempat yaitu harga barang/jasa dilokasi barang/jasa


diproduksi/diserahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya pengadaan barang dan jasa.
2. Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
3. Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain
yang dapat dipertanggungjawabkan
4. Daftar biasa/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal
5. Biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor
perubahan biaya
6. Inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia
7. Hasil perbandingan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain
8. Perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer’s estimate)
9. Norma index, dan/atau
10. Informasi lain yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kasus yang paling banyak menimpa pelaksanaan pengadaan barang/jasa adalah kasus mark up dan salah satu
penyebabnya terletak pada penyusunan HPS. Berikut ini postingan sebelumnya, mengenai Panduan Penyusunan
HPS agar Tidak Terkena Kasus Mark-up dan Tidak Gagal Lelang. Memang dalam menyusun HPS membutuhkan
keahlian tersendiri, selain harus memahami karakteristik spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus
mengetahui sumber dari barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu saja berbeda dengan harga distributor
apalagi harga pasar.

Yang paling sering terjadi, entah karena kesengajaan atau karena ketidaktahuan, PPK menyerahkan perhitungan
HPS kepada penyedia barang/jasa atau malah kepada broker bin makelar yang melipatgandakan harga tersebut
untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok. PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan
cek and recheck lagi. Akibatnya pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) atau aparat hukum lainnya, ditemukan mark up harga dan mengakibatkan kerugian negara. Lagi-
lagi karena ketidaktahuan dan keinginan kerja cepat dan tidak teliti menjerumuskan PPK ke ranah hukum.

Memilih Jenis Kontrak yang akan Digunakan

Tugas lain dari PPK adalah membuat rancangan kontrak sesuai dengan Perpres 70 tahun 2012 pasal 11 ayat 1.a.3.
Kontrak merupakan ikatan utama antara penyedia barang/jasa dengan PPK. Draft kontrak seyogyanya berisi hal-hal
yang harus diperhatikan oleh penyedia sebelum memasukkan penawaran. Karena dari draft kontrak inilah akan
ketahuan ruang lingkup pekerjaan, tahapan, hal-hal yang harus diperhatikan sebelum memulai pekerjaan, bagaimana
proses pemeriksaan dan serah terima, serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi nilai penawaran penyedia.

Ada beberapa jenis kontrak dalam pengadaan barang/jasa yang harus diketahui dan dipahami oleh PPK. Hal ini
bertujuan agar PPK mampu memastikan kesesuaian antara jenis kontrak dengan jenis pekerjaan. Apa dan kapan
harus menggunakan kontrak lumpsum, kontrak harga satuan, gabungan lumpsum dan harga satuan, kontrak
persentase, kontrak terima jadi, kontrak tahun tunggal, dan kontrak tahun jamak. Itu baru dari sisi jenis kontraknya.
Belum membahas mengenai syarat-syarat umum kontrak (SSUK) dan syarat-syarat khusus kontrak (SSKK).
Perlakuan terhadap pekerjaan yang bersifat kritis juga harus berbeda dengan perlakukan pekerjaan rutin. Bahkan
untuk pekerjaan yang dilaksanakan menjelang akhir tahun anggaran harus memperhatikan klausul denda, batas akhir
pekerjaan, dan pembayaran, khususnya apabila pekerjaan melewati batas pembayaran Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara.

MENERBITKAN SPPJB

Unit Layanan Pengadaan/Panitia Lelang menyampaikan Berita Acara Hasil Pemeriksaan kepada PPK sebagai dasar
untuk menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). PPK menerbitkan SPPBJ dengan ketentuan
tidak ada sanggahan dari peserta, maupun sanggahan banding.

Walaupun ketentuan penerbitan SPPBJ telah dipersiapkan secara matang oleh ULP/panitia pengadaan, sebaiknya
PPK meneliti ulang Berita Acara Hasil Pelelangan yang diserahkan oleh Unit Layanan Pengadaan/Panitia
Pengadaan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dan mere-view Berita Acara Hasil Pemeriksaan diantaranya :

1. Cek proses pelaksanaan pemilihan. Jika PPK melihat adanya kesalahan prosedur pemilihan yang
dihasilkan oleh Unit Layanan Pengadaan /Panitia Pengadaan dengan data dan bukti, PPK berhak
mengembalikannya kepada Unit Layanan Pengadaan.
2. Cek Harga Penawaran dengan Total HPS. Nilai penawaran di bawah 80% dari HPS, atau di atas
80% dari HPS.
3. Cek Kemampuan Personil. Jika PPK memandang personil tidak kompeten, PPK berhak meminta
pengganti personil dengan tenaga yang dipersyaratkan.
Jika proses pemilihan yang dilakukan Unit Layanan Pengadaan/Panitia Pengadaan sudah dianggap memenuhi
persyaratan yang dipersyaratkan terutama yang berkaitan dengan spesifikasi teknis, HPS dan kontrak, selanjutnya
PPK menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pengumuman
penetapan pemenang. Penerbitan SPPBJ yang dikeluarkan oleh PPK berisikan hal-hal yang menjadi dasar
pertimbangan pembuatan kontrak antara lain :

1. Besarnya Jaminan Pelaksanaan yang harus dibuat oleh penyedia jasa;

 Nilai penawaran terkoreksi antara 80% (delapan puluh perseratus) sampai dengan 100% (seratus
perseratus) dari nilai total HPS, Jaminan Pelaksanaan adalah sebesar 5% (lima perseratus) dari nilai Kontrak;
 Nilai penawaran terkoreksi dibawah 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai total HPS, besarnya Jaminan
Pelaksanaan 5% (lima perseratus) dari nilai total HPS.
2. Jaminan Pelaksanaan sudah harus diberikan oleh Penyedia Jasa kepada PPK paling lambat 14 hari sejak
diterbitkannya Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa.

3. Jaminan Pelaksanaan berlaku sejak tanggal Kontrak sampai serah terima Barang/Jasa Lainnya atau serah terima
pertama Pekerjaan Konstruksi atau pekerjaan selesai untuk pengadaan barang/jasa lainnya.

Menandatangani Kontrak

Setelah SPPBJ diterbitkan, PPK melakukan finalisasi terhadap rancangan kontrak, dan menandatangani kontrak
pelaksanaan pekerjaan, apabila dananya cukup tersedia dalam dokumen anggaran, dengan ketentuan:

1. Penandatangan kontrak dilakukan paling lambat 14 hari (empat belas) hari kerja setelah diterbitkan SPPBJ, dan
setelah penyedia menyerahkan jaminan pelaksanaan dengan ketentuan :

 Nilai jaminan pelaksanaan untuk harga penawaran terkoreksi 80% (delapan puluh perseratus) sampai
dengan 100 % (seratus persen) nilai total HPS adalah sebesar 5 % (lima perseratus) dari nilai kontrak.
 Nilai jaminan pelaksanaan untuk harga penawaran terkoreksi atau di bawah 80% (delapan puluh perseratus)
nilai HPS adalah sebesar 5% (lima perseratus) dari nilai total HPS, dan
 Masa berlaku jaminan pelaksanaan sejak tanggal penandatangan kontrak sampai serah terima barang
berdasarkan kontrak.
2. Sebelum menandatangani kontrak PPK dan Penyedia Barang/Jasa berkewajiban untuk memeriksa konsep kontrak
yang meliputi substansi, bahasa/redaksional, angka, huruf serta membubuhkan paraf pada lembar demi lembar
dokumen kontrak.

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgeriijk Wetboek) menyebutkan: Supaya terjadi persetujuan
yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
PPK harus memperhatikan hal ini, karena apabila salah satu dari 4 hal tersebut tidak terpenuhi, maka
penandatanganan kontrak menjadi tidak sah. Sebelum penandatanganan, PPK harus yakin bahwa yang mewakili
penyedia adalah benar-benar direktur atau kuasa direktur yang nama penerima kuasa ada dalam akta atau pejabat
yang menurut anggaran dasar perusahaan berhak untuk mengikat perjanjian. Para pihak juga dalam kondisi sah
untuk mengikat perjanjian, pokok perjanjiannya jelas dan tidak ada hal-hal yang melanggar hukum, baik perdata
maupun pidana, dalam isi perjanjian.

MELAKSANAKAN KONTRAK

Kontrak adalah dokumen yang memiliki kekuatan hukum serta mengikat para pihak. Namun, terkadang karena
kesibukan secara struktural, Pejabat Pembuat Komitmen hanya menandatangani dan melupakan pelaksanaannya.
Penyedia barang/jasa dibiarkan bekerja seenak mereka atau hanya menyerahkan pengawasan pelaksanaan pekerjaan
pada konsultan pengawas. Mereka lupa, bahwa pelaksanaan pekerjaan adalah tanggung jawab PPK. Apabila terjadi
permasalahan, sering dibiarkan begitu saja dan baru kalang kabut apabila pekerjaan telah selesai atau mengalami
hambatan. Ini yang sering terjadi pada pekerjaan konstruksi, khususnya apabila pelaksanaan pekerjaan tersebut
dilaksanakan pada akhir tahun anggaran. Sudah menjadi aturan baku, bahwa tahun anggaran berakhir 31 Desember
bagi pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan kontrak tahun tunggal. Tapi baru kalang kabut akhir Desember
setelah melihat pekerjaan belum selesai 100% bahkan tidak dapat diselesaikan tepat tanggal 31 Desember. Bahkan
sebagian kasus, baru pusing setelah masuk bulan Januari.

Keterlambatan pekerjaan tidak terjadi begitu saja dan tidak terjadi hanya dalam semalam. Sejak awal, setiap
keterlambatan telah dapat dideteksi. Seharusnya, apabila ada gejala-gejala awal keterlambatan, misalnya material
yang seharusnya sudah masuk belum tiba, atau curah hujan yang terjadi diluar perkiraan, maka dapat dilakukan
tindakan pencegahan dan langkah-langkah penanggulangan. Apabila setelah dicoba ditanggulangi tetap tidak dapat
teratasi, maka klausul kontrak kritis dapat diberlakukan. Lagi-lagi, khusus klausul kontrak kritis sudah harus
dipersiapkan pada saat perencanaan atau penyusunan draft kontrak. Namun, alangkah banyak PPK yang setelah
menandatangani kontrak seakan-akan melupakan adanya sebuah pekerjaan yang berada dibawah tanggungjawabnya.
Malah ada yang baru turun ke lokasi proyek pembangunan gedung kalau atasannya hendak berkunjung. Sehingga,
saat menghadapi masalah menjadi ‘gelagapan’ dan kebingungan. PPK wajib memiliki kemampuan untuk membaca
time shedule dan berbagai jenis bentuk dan mekanisme kontrol pekerjaan (rahmanmokoginta).

Melaporkan Pelaksanaan/Penyelesaian Pengadaan Barang/ Jasa

Melaporkan pelaksanaan pekerjaan ini tidak sekedar membuat laporan asal bapak senang. PPK juga harus mampu
melaporkan kesesuaian antara kontrak yang ditandatangani dengan pelaksanaan pekerjaan. Selain kemajuan fisik,
yang sering ditanyakan oleh PA/KPA adalah kemajuan daya serap anggaran serta kendala yang dihadapi pada saat
pelaksanaan.

Yang harus diingat, setiap kendala merupakan tugas yang harus diselesaikan oleh PPK, sehingga setiap laporan
terhadap kendala harus dibarengi dengan laporan rencana penyelesaian terhadap kendala tersebut.

Peyerahan Hasil Pekerjaan

Salah satu temuan yang paling sering terjadi adalah pengadaan barang/jasa fiktif. Hal ini terjadi karena PPK tidak
cermat dalam melihat barang/jasa yang diadakan. Hasil pekerjaan yang diserahkan oleh penyedia barang/jasa
diterima bulat-bulat dan tidak melakukan prinsip check, recheck and crosschek

Karena tidak memahami jenis barang/jasa yang diadakan, PPK biasanya menerima dokumen apapun yang
disodorkan oleh penyedia. Walaupun ada panitia penerima hasil pekerjaan atau ada konsultan pengawas,
penanggung jawab pekerjaan tetap berada di tangan PPK, sehingga pemeriksaan atas barang/jasa yang telah
diadakan tetap mutlak dilakukan oleh PPK sebelum diserahkan kepada PA/KPA.

Penyerahan hasil pekerjaan tidak sekedar menyerahkan secara fisik, melainkan harus menyerahkan sesuai dengan
fungsi dan kemampuan yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan serta dokumen kontrak. Oleh sebab itu,
pada saat pengujian, PPK harus bisa memastikan setiap spesifikasi sesuai dengan yang telah ditetapkan dan
alat/barang berfungsi sesuai ketentuan. Dari keterangan tersebut di atas jelas, bahwa beberapa tugas pokok dan
fungsi PPK, bahwa tugas PPK tidak sekedar tanda tangan kontrak.

Sumber:

 http://bdksemarang.kemenag.go.id/, PPK dalam Pengadaan Barang dan Jasa (Yeri Adriyanto)


 Majalah Kredibel Edisi 02, PPK tidak sekedar tanda tangan kontrak (Khalid Mustafa)
 Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

DAMPAK HUKUM PPK TIDAK


BERSERTIFIKAT
By Samsul Ramli / Januari 30, 2017
Seringkali insiden Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan barang jasa
yang ditemukan tidak memiliki sertifikat ahli pengadaan, menjadi persoalan
serius hingga keranah pidana khusus. Celakanya ternyata dilapangan masih
banyak pertanyaan persoalan syarat sertifikasi PPK ini.
Perpres 54/2010 pasal 12 ayat 1 menyebutkan bahwa PPK merupakan
Pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa. Setidaknya terdapat 2 dimensi yang melingkupi pembahasan
PPK. Pertama, PPK sebagai kewenangan, kerap disebut kewenangan ke-
PPK-an. Kedua, PPK sebagai personil untuk kemudian disebut PPK.
Pasal 12 ayat 1 menegaskan bahwa yang dimaksud PPK adalah personil
yang ditunjuk dan ditetapkan oleh PA/KPA untuk menjalankan kewenangan
ke-PPK-an. Dalam rangkaian penetapan tersebut PA/KPA wajib
memperhatikan syarat-syarat sebagaimana tertuang pada ayat 2. Salah
satunya ayat 2 huruf g bahwa untuk ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi
persyaratan memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
Perlu dipahami, sekali lagi, bahwa jabatan sebagai PPK melalui proses
penetapan, bukan berdasar pendaftaran atau pengajuan diri. Untuk itu
kewajiban memperhatikan syarat memiliki sertifikat ahli pengadaan dan
lainnya adalah kewajiban PA/KPA dalam menunjuk dan menetapkan
seseorang untuk menjadi PPK.
Syarat memiliki sertifikasi ahli pengadaan dikecualikan jika tidak ada personil
yang memenuhi persyaratan untuk ditunjuk sebagai PPK. Sebagaimana pasal
12 ayat 2b, jika tidak ada staf yang memenuhi syarat memiliki sertifikat ahli
pengadaan, maka PPK dapat dijabat oleh pejabat eselon I dan II di K/L/D/I
dan/atau PA/KPA yang bertindak sebagai PPK.
Jika kewenangan ke-PPK-an dilaksanakan oleh pejabat eselon I dan II, ini
otomatis adalah unsur pimpinan tinggi pada unit kerja, maka tidak diperlukan
lagi sertifikat ahli pengadaan.
Demikian juga jika kewenangan ke-PPK-an tidak dapat dilimpahkan oleh
PA/KPA kepada staf dibawahnya, maka secara otomatis PA/KPA bertindak
sebagai PPK. Ketiadaan pelimpahan kewenangan inilah yang menyebabkan
PA/KPA tidak lagi perlu dipersyaratkan sertifikat ahli pengadaan.
Bagaimana kalau ternyata masih ditemukan adanya personil, yang
terlanjur ditunjuk dan ditetapkan sebagai PPK, tidak memenuhi syarat pasal
12 ayat 2 terutama tidak bersertifikat? Merunut pemahaman sebelumnya
maka yang harus mempertanggungjawabkannya adalah yang menetapkan,
yaitu PA/KPA.
Apalagi jika ternyata dalam proses penunjukan didapati personil yang ditunjuk
telah menyampaikan telaahan bahwa dirinya tidak memenuhi persyaratan,
namun tetap ditetapkan juga, maka tentu tanggungjawab sepenuhnya ada
pada yang menetapkan. Tentang hal ini bisa dieksplore lebih lanjut pada UU
30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Misal UU 30/2014 pasal 55 bahwa setiap keputusan harus berdasarkan
pertimbangan yuridis, sosialogis dan filosofis yang menjadi dasar penetapan
putusan atau penjelasan terperinci. Termasuk jika keputusan penetapan
adalah bagian dari diskresi.
Ada juga Pasal 7 ayat 2 huruf k, pejabat pemerintahan, misal yang ditetapkan
sebagai PPK, wajib melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan oleh
atasan.

Dampak Hukum Terhadap Kurangnya Persyaratan


Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana status perikatan yang terjadi
antara seorang PPK, yang tidak memenuhi syarat Perpres 54/2010 Pasal 12
ayat 2, dengan penyedia barang/jasa. Karena ini adalah soal perikatan maka
pendekatannya tidak lagi pendekatan hukum administratif negara (HAN)
melainkan pendekatan Hukum Perdata.
Dalam wilayah keperdataan dikenal syarat sahnya perikatan/kontrak. Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perjanjian
dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat kumulatif, yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (KUHPerd. 28, 1312 dst.)


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (KUHPerd. 1329 dst.)
3. Suatu pokok persoalan tertentu; (KUHPerd. 1332 dst.)
4. Suatu sebab yang tidak terlarang; (KUHPerd. 1335 dst.)

Syarat 1 dan 2 dikenal dengan syarat subyektif sebuah perikatan.


Sedangkan syarat 3 dan 4 dikenal dengan syarat obyektif sebuah perikatan.

Mengutip hukumonline.com dalam artikel Batalnya Suatu


Perjanjian disebutkan bahwa jika sebuah perikatan tidak memenuhi pasal
1320 KUHPerdata bisa berakibat kepada BATAL-NYA PERJANJIAN.
Pembatalan Perjanjian dibedakan ke-dalam 2 terminologi yang memiliki
konsekuensi Yuridis tersendiri, yaitu:

1. Perjanjian Batal; ini bila salah satu syarat subyektif tidak dipenuhi.
Dampak yuridisnya adalah Perjanjian Batal. Sifat dari
pembatalan subyektif artinya berdasarkan permintaan pembatalansalah
satu pihak kepada hakim peradilan perdata. Perjanjiannya sendiri tetap
mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan, oleh hakim.
2. Perjanjian Batal Demi Hukum; ini bila salah satu syarat obyektif tidak
terpenuhi. Dampak yuridisnya adalah perjanjian batal demi hukum. Artinya
jika telah dibuktikan tidak terpenuhinya syarat obyektif maka sejak awal
perjanjian itu telah dianggap batal atau dianggap tidak pernah ada.

Dikaitkan dengan kasus PPK tidak bersertifikat atau tidak memenuhi


persyaratan Perpres 54/2010 Pasal 12 ayat 2, dampak hukum perikatan
apakah Perjanjian Batal atau Perjanjian Batal Demi Hukum? Untuk melihat
ini kita harus melihat substansi perintah pemenuhan persyaratan ditunjuk
sebagai PPK.
Persyaratan memiliki sertifikat ahli pengadaan adalah salah satu syarat
kompetensi bagi seseorang yang ditunjuk sebagai PPK. Jika tidak memenuhi
maka dapat dikatakan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat
formil Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Ini berarti pula
perikatan yang terjadi tidak memenuhi syarat subyektif berkontrak.
Dampak yuridisnya kontrak dapat dinyatakan batal oleh salah satu pihak
yang berikat kontrak, setelah sebelumnya dimintakan pembatalan kepada
hakim peradilan perdata. Jika para pihak tidak ada yang keberatan atau
belum ada putusan tetap hakim maka perjanjian tetap mengikat kedua belah
pihak.
Masalahnya dilapangan seringkali dampak yuridis, tidak bersertifikatnya
seorang PPK, disimpulkan kontrak batal demi hukum. Perjanjian dianggap
melanggar syarat obyektif, yaitu perjanjian harus terjadi atas suatu sebab
yang tidak terlarang (kehalalan berkontrak). Sebab ketidakhalalan tersebut
adalah terlanggarnya Perpres 54/2010 pasal 12 ayat 2, khususnya huruf g.
Tidak dapat disangkal bahwa PPK tidak bersertifikat tidak sesuai dengan
perintah pasal 12 ayat 2. Hanya saja insiden ini tidak serta merta menjadi
tanggungjawab personil yang ditunjuk sebagai PPK. Seperti diterangkan
dibagian awal, perintah memperhatikan pasal 12 ayat 2 ditujukan pada
PA/KPA dalam menetapkan PPK. Bukan perintah kepada personil yang
menjadi PPK.
Oleh karena yang bertandatangan dalam kontrak/perjanjian adalah bukan
PA/KPA, yang diduga melanggar pasal 12 ayat 2, maka tidak bisa dinyatakan
serta merta bahwa kontrak/perjanjian telah melanggar syarat obyektif.
Personil yang ditunjuk sebagai PPK tidak bisa divonis sebagai pelaku
pelanggaran peraturan. Apalagi jika yang bersangkutan telah memberikan
telaahan, informasi atau pertimbangan kepada PA/KPA tentang tidak
terpenuhinya syarat ke-PPK-an pada dirinya. Dalam kondisi ini justru
tunduknya seorang PPK terhadap putusan administrasi dari PA/KPA adalah
upaya menjalankan sumpah jabatan sebagai Aparatur Sipil Negara sekaligus
menjalankan amanat UU 30/2014.
Dampak yuridis pelanggaran syarat obyektif berdampak pada simpulan
status perjanjian batal demi hukum. Seringkali pula penetapan
terlanggarnya syarat obyektif, yang berakibat pada status perjanjian batal
demi hukum, tidak melalui proses yang komprehensif terperinci secara
yuridis, sosiologis dan filosofis.
Pembatalan perjanjian berujung pada simpulan prematur bahwa telah
terjadinya potensi kerugian negara, karena keuntungan yang tidak halal atas
pembayaran yang diterima penyedia.
Salah satu referensi yuridis, saat terjadi pembatalan perjanjian, ada pada
KUHPerdata pasal 1265 bahwa suatu syarat batal adalah syarat yang bila
dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu
kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu
perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya
mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila
peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
Padahal seperti yang diuraikan oleh Yulia Dewitasari dan Putu Tuni
Cakabawa, Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana,
dalam jurnal berjudul, “Akibat Hukum Terhadap Para Pihak Dalam
Perjanjian Apabila Terjadi Pembatalan Perjanjian”, konsekuensi lanjutan
dari pembatalan perjanjian adalah apabila setelah pembatalan salah satu
pihak tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan apa yang
telah diperolehnya maka pihak lain dapat mengajukan gugatan. Hal ini
semata-mata untuk melaksanakan tujuan pembatalan yaitu mengembalikan
keadaan sebagaimana semula sebelum perjanjian terjadi.
Artinya posisi dikembalikan ketitik awal sebelum ada perikatan. Untuk itu
seluruh barang/jasa dikembalikan kepada penyedia. Namun apabila
barang/jasa sudah terlanjur dimanfaatkan oleh pengguna maka pembayaran
wajib dilakukan sesuai dengan progres pekerjaan yang telah dilaksanakan
oleh penyedia dan sesuai ketentuan didalam kontrak. Equal dengan
pengguna, penyedia pun tidak mendapatkan keuntungan dari progres
pekerjaan yang telah dilaksanakan.
Untuk itu sebelum diambil langkah-langkah penyelesaian, terlebih dahulu
dilakukan audit terhadap progres pelaksanaan pekerjaan. Hasil audit menjadi
pedoman bagi para pihak dalam melakukan proses selanjutnya. Terutama
menentukan besaran pembayaran yang harus dilakukan. Apabila pihak
penyedia merasa keberatan atas hasil audit maka dapat mengajukan gugatan
secara perdata.
Langkah gugatan para pihak menunjukkan bahwa akibat hukum atas
pembatalan kontrak adalah berlangsungnya peristiwa keperdataan yang
harus diselesaikan melalui mekanisme perdata. Bukan serta merta melalui
mekanisme pidana.

Dari artikel panjang ini setidaknya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. PA/KPA dalam menetapkan PPK wajib mematuhi ketentuan persyaratan


sebagai PPK. Jika PA/KPA mengabaikan persyaratan ini dengan sengaja
maka wajib mempertanggungjawabkan secara administratif maupun pidana.
2. Subyek dari Perpres 54/2010 pasal 12 ayat 2 tentang syarat-syarat PPK
adalah PA/KPA. Untuk itu yang wajib dan bertanggungjawab
memperhatikan keterpenuhan persyaratan tersebut adalah PA/KPA yang
menetapkan PPK
3. Pejabat pemerintah yang ditunjuk sebagai PPK sebaiknya memberikan
pertimbangan terkait persyaratan yang harus dipenuhi, sebagai pemenuhan
kewajiban staf kepada atasan.
4. Tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai PPK berdampak pada tidak
terpenuhinya syarat subyektif perjanjian.
5. Tidak terpenuhinya syarat subyektif perjanjian dapat
mengakibatkan kontrak batal setelah ditetapkan oleh Hakim, atas
permintaan salah satu pihak yang berhak. Jika tidak ada gugatan maka
status perikatan tetap seperti sediakala.
6. Kontrak batal demi hukum hanya terjadi atas tidak terpenuhinya syarat
obyektif berkontrak.
7. Penanganan dampak lanjutan dari kontrak batal ataupun kontrak batal
demi hukum diputuskan melalui audit internal dan jika penyedia keberatan
dapat mengajukan gugatan keperdataan.

Tentu artikel ini masih diperlukan penyempurnaan, untuk itu silakan


berdiskusi.
Tugas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
dalam Perpres 16 Tahun 2018
Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk
pengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah.

Dalam pasal 11 Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah PA
memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut :
a. menyusun perencanaan pengadaan ;
b. menetapkan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK) ;
c. menetapkan rancangan kontrak ;
d. menetapkan HPS ;
e. menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada penyedia ;
f. mengusulkan perubahan jadwal kegiatan ;
g. menetapkan tim pendukung ;
h. menetapkan tim atau tenaga ahli ;
i. melaksanakan E-Purchasing untuk nilai paling sedikit di atas Rp. 200.000.000. (dua ratus
juta rupiah) ;
j. menetapkan surat penunjukan penyedia barang/jasa ;
k. mengendalikan kontrak ;
l. melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan kepada PA/KPA ;
m. menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada PA/KPA dengan berita acara
penyerahan ;
n. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan ; dan
o. menilai kinerja penyedia.

selain tugas tersebut di atas PPK melaksanakan tugas pelimpahan kewenangan dari PA/KPA,
meliputi :

a. Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja ;

b. Mengadakan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran belanja yang telah
ditetapkan.

Persyaratan untuk ditetapkan sebagai PPK :


1. memiliki integritas dan disiplin ;
2. menandatangani pakta integritas ;
3. memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan bidang tugas PPK ; (syarat ini dapat
menggunakan Sertifikat Keahlian tingkat dasar sampai dengan 31 desember 2023)
4. berpendidikan paling rendah S1 atau setara ; (syarat ini dapat diganti dengan paling
rendah golongan III a / atau disetarakan dengan golongan III a)
5. memiliki kemampuan manajerial level 3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

apabila tidak terdapat pegawai yang memenuhi 5 persyaratan PPK di atas, PA / KPA dapat
merangkap sebagai PPK .

Catatan :

1. PPK ditetapkan oleh PA (Pengguna Anggaran), Pasal 9 Ayat 1 huruf g Perpres 16/2108 ;

2. PPK memiliki kewenangan menandatangani kontrak sebagai pelimpahan kewenangan dari PA/KPA ;

3. Dalam hal tidak ada personel yang dapat ditunjuk, KPA dapat merangkap sebagai PPK ;

4. PPK dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa ;

5. Setelah Pekerjaan selesai 100%, PPK memeriksa, menerima Pekerjaan dan menandatangani Berita
Acara Serah Terima.

6. PPK menetapkan Pengenaan sanksi denda keterlambatan dalam Kontrak sebesar 1 % (satu permil) dari
nilai kontrak atau nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan ;

7. PPK wajib memiliki sertifikat kompetensi di bidang pengadaan barang/jasa paling lambat Desember
2023 ;

8. PPK dapat mengusulkan Pengenaan Sanksi Daftar Hitam ;

9. PPK dapat dibantu oleh Pengelola Pengadaan.


Tahun 2012 sudah didepan mata. Beberapa institusi pusat yang masih belum
melaksanakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Pedoman
Penyelenggaraan APBN, yaitu memerintahkan pengangkatan PPK setiap tahun
anggaran, saat ini sedang bersiap-siap untuk mengangkat PPK tahun 2012.

Hal ini sebenarnya merupakan salah satu penyebab molornya pelaksanaan pengadaan
barang/jasa setiap tahun, dan merupakan penyebab terjadinya bottleneck atau
penyumbatan dalam daya serap, karena pengadaan barang/jasa menunggu PPK baru di
SK-kan atau dilantik. Padahal sudah amat jelas pada Pasal 5 Ayat (4a) Perpres Nomor
53 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian pejabat yang
berkaitan dengan dokumen anggaran (PPK, Atasan Langsung Bendaharawan, dan
Bendaharawan) tidak terikat tahun anggaran.

Artinya, PPK yang saat ini sedang menjabat, masih terus menjabat sebagai PPK selama
SK masih berlaku dan belum dicabut.

Tapi, kalau hal tersebut masih terjadi, semoga dapat diperbaiki pada pengangkatan PPK
tahun 2012.

Pada tulisan ini saya akan menyoroti khusus mengenai pengangkatan PPK yang tidak
memiliki Sertifikat Pengadaan Barang/Jasa (PBJ)

Kewajiban bersertifikat PBJ untuk PPK tertuang pada Pasal 12 Ayat (2) Huruf g, yaitu ”
Untuk ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Memiliki
Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.”
Tenggat waktu pemenuhan kewajiban ini sebenarnya sudah dipermudah, khususnya
untuk Propinsi/Kabupaten/Kota dan UPT Kementerian yang terletak di Propinsi, yaitu
dengan ketentuan pada Pasal 127 Perpres Nomor 54 Tahun 2010:

Ketentuan masa transisi Pemberlakuan Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa


diatur sebagai berikut:

1. PPK pada Kementerian/Lembaga/Instansi lain wajib memiliki Sertifikat Keahlian


Pengadaan Barang/Jasa sejak Peraturan Presiden ini berlaku;
2. PPK pada Kementerian/Lembaga/Instansi lain yang ditugaskan di Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Pusat/Kabupaten/Kota, wajib memiliki sertifikat keahlian
Pengadaan Barang/Jasa paling lambat 1 Januari 2012; dan
3. PPK pada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota wajib memiliki sertifikat keahlian
Pengadaan Barang/Jasa paling lambat 1 Januari 2012.
Jadi sebenarnya tidak ada alasan “tidak punya waktu” untuk mempersiapkan hal
tersebut, melainkan yang lebih tepat adalah “tidak peduli” atau “menganggap remeh.”

Apa akibatnya kalau PPK yang tidak bersertifikat tetap dipaksakan menandatangani
kontrak?
Mari kita lihat ketentuan berikut ini:

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)
menyebutkan:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Jadi sudah jelas bahwa karena yang membuat perjanjian adalah PPK dan untuk menjadi
PPK wajib memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa, maka apabila
sebuah kontrak ditandatangani oleh PPK yang tidak bersertifikat maka
Kontrak tersebut tidak sah atau batal demi hukum.
Oleh sebab itu, menjelang tahun 2012, saat seluruh K/L/D/I mempersiapkan PPK,
maka pastikan PPK yang ditunjuk atau diangkat telah memiliki Sertifikat Keahlian
Barang/Jasa.

Jangan berlindung pada kalimat “PPK khan tidak ketahuan, jadi bisa saja tidak
bersertifikat tetapi pura-pura bersertifikat”, karena saat ini sudah ada Undang-Undang
(UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), khususnya
Pasal 11 Ayat (1) Huruf e yaitu “Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik
setiap saat yang meliputi: perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga.”

Masyarakat dapat meminta seluruh kontrak pengadaan yang dilakukan K/L/D/I dan
juga meminta bukti Sertifikat PPK yang menandatangani kontrak tersebut, atau
walaupun tanpa bukti sertifikat dapat melakukan pengecekan nama PPK pada website
LKPP yang memuat daftar pemegang sertifikat keahlian barang/jasa di Indonesia.
Apabila terbukti PPK tidak bersertifikat, maka masyarakat dapat melakukan tuntutan
Perdata berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan mengakibatkan
kontrak yang telah ditandatangani menjadi batal.

Mari sama-sama mengingatkan seluruh K/L/D/I tentang hal ini.


Thursday, March 29, 2012

PPK Tidak Sekedar Tanda Tangan Kontrak


PPK Tidak Sekedar Tanda Tangan Kontrak
Awal tahun 2012 beberapa orang datang langsung berdiskusi atau bertanya melalui telepon tentang
Pengadaan Barng/Jasa khususnya mengenai pelaksanaan kontrak.
Sebagian isi diskusi adalah menanyakan pekerjaan yang dilaksanakan akhir tahun 2011 namun hingga
tahun 2012 masih belum selesai. Ada yang bertanya bagaimana cara pemutusan kontrak, ada yang
bertanya kok bisa terjadi padahal penawaran penyedia barang/jasa pada saat pelelangan bagus-bagus,
ada juga yang bingung bagaimana membayarnya padahal batas akhir pembayaran hanya sampai 31
Desember.
Setelah diteliti lebih dalam, sebagian besar terjadi karena ketidaktahuan dan kurangnya kompetensi
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Penyebabnya, sebagian besar menjadi PPK bukan karena memang pantas menjadi PPK, melainkan
karena menduduki jabatan eselon tertentu.
Sayangnya, banyak yang lupa, bahwa tanggung jawab PPK di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54
Tahun 2010 amat berat.

Berdasarkan Pasal 11 Perpres Nomor 54 Tahun 2010, tugas pokok dan kewenangan PPK adalah:

1. PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:


a. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang
meliputi:
1. spesifikasi teknis Barang/Jasa;
2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
3. rancangan Kontrak.
b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
c. menandatangani Kontrak;
d. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
e. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada
PA/KPA;
g. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA
dengan Berita Acara Penyerahan;
h. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan
hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
i. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa.
2. Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam hal diperlukan, PPK dapat:
a. mengusulkan kepada PA/KPA:
1. perubahan paket pekerjaan; dan/atau
2. perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b. menetapkan tim pendukung;
c. menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer)
untuk membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
d. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada
Penyedia Barang/Jasa.
Mari kita lihat satu persatu sebagian tugas pokok dan kewenangan tersebut serta apa saja yang harus
diperhatikan.
Menetapkan Rencana Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
PPK tidak bekerja pada akhir pengadaan. PPK sudah mulai bekerja sejak perencanaan pengadaan. Hal
ini karena PPK adalah orang yang paling mengetahui tentang barang/jasa yang akan diadakan.
Oleh sebab itu, apabila terjadi kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa yang disebabkan karena
kesalahan perencanaan, maka PPK juga bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
Tanggung jawab PPK pada tahap perencanaan adalah:
1. Spesifikasi Teknis Barang/Jasa
Ini adalah hal yang krusial, karena spesifikasi merupakan dasar dalam proses pengadaan
barang/jasa. Setiap penawaran dari penyedia barang/jasa harus memenuhi spesifikasi teknis
yang telah ditentukan dalam dokumen pengadaan.
Yang menjadi permasalahan adalah, luasnya ruang lingkup pengadaan barang/jasa dan
dibandingkan dengan ruang lingkup pengetahuan PPK. Seorang PPK harus memahami
spesifikasi teknis pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya.
Seorang PPK tidak bisa berlindung dibalik tim teknis atau tim pendukung yang menyiapkan
spesifikasi teknis. Seorang PPK tidak bisa berlindung dibalik konsultan perencana dalam
pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Walaupun sebagian kegiatan perencanaan memang harus diserahkan kepada ahlinya, namun
pokok pokiran serta inti dari spesifikasi tetap harus dipahami oleh PPK.
PPK tidak boleh berucap “saya lulusan sosial, jadi tidak paham bangunan.” Apabila ditemukan
kesalahan perencanaan konstruksi, maka oleh penyidik atau pemeriksa tetap akan diminta
pertanggungjawabannya.
Disini dituntut keluasan pengetahuan dan pengalaman dari seorang PPK.
2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
Kasus yang paling banyak menimpa pelaksanaan pengadaan barang/jasa adalah kasus markup
dan salah satu penyebabnya terletak pada penyusunan HPS.
Menyusun HPS membutuhkan keahlian tersendiri, selain harus memahami karakteristik
spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus mengetahui sumber dari barang/jasa
tersebut. Harga barang pabrikan tentu saja berbeda dengan harga distributor apalagi harga
pasar. Juga perhitungan harga semen serta batu kali dan besi beton akan mempengaruhi total
harga secara keseluruhan.
Yang paling sering terjadi, entah karena kesengajaan atau karena ketidaktahuan, PPK
menyerahkan perhitungan HPS kepada penyedia barang/jasa atau malah kepada broker bin
makelar yang melipatgandakan harga tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi atau
kelompok.
PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan cek and recheck lagi. Akibatnya pada
saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh aparat hukum, ditemukan mark
up harga dan mengakibatkan kerugian negara.
Lagi-lagi karena ketidaktahuan dan keinginan kerja cepat dan tidak teliti menjerumuskan PPK ke
ranah hukum.
3. Rancangan kontrak.
Kontrak merupakan ikatan utama antara penyedia dengan PPK. Draft kontrak seyogyanya berisi
hal-hal yang harus diperhatikan oleh penyedia sebelum memasukkan penawaran. Karena dari
draft kontrak inilah akan ketahuan ruang lingkup pekerjaan, tahapan, hal-hal yang harus
diperhatikan sebelum memulai pekerjaan, bagaimana proses pemeriksaan dan serah terima,
serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi nilai penawaran penyedia.
Draft kontrak bukan sekedar lembaran-lembaran kertas. Ada beberapa jenis kontrak yang harus
diketahui dan dipahami oleh PPK. Apa dan kapan harus menggunakan kontrak lumpsum,
kontrak harga satuan, gabungan lumpsum dan harga satuan, kontrak persentase, kontrak terima
jadi, kontrak tahun tunggal, kontrak tahun jamak, kontrak pengadaan tunggal, kontrak pengadaan
bersama, kontrak payung (framework contract), kontrak pengadaan pekerjaan tunggal, dan
kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi.
Itu baru dari sisi jenis kontraknya. Belum membahas mengenai syarat-syarat umum dan syarat-
syarat khusus kontrak. Perlakuan terhadap pekerjaan yang bersifat kritis juga harus berbeda
dengan perlakukan pekerjaan rutin. Bahkan untuk pekerjaan yang dilaksanakan menjelang akhir
tahun anggaran harus memperhatikan klausul denda, batas akhir pekerjaan, dan pembayaran,
khususnya apabila pekerjaan melewati batas pembayaran KPPN.
Ini semua baru penjelasan untuk tugas pokok pertama lho
Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ)

PPK tidak serta merta menerbitkan SPPBJ setelah pelaksanaan pelelangan. PPK punya hak untuk tidak
sependapat atas penetapan pemenang yang telah dilakukan oleh panitia.
Dasar SPPBJ adalah Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) yang berarti PPK wajib memahami isi dari
BAHP.
Memahami isi dari BAHP apalagi berani menolak penetapan panitia berarti PPK wajib memiliki
pengetahuan terhadap proses pelelangan/seleksi yang telah dilakukan oleh panitia. Artinya, selain
kemampuan manajerial, PPK wajib mengetahui proses pengadaan barang/jasa secara utuh dan lengkap
tahap demi tahap serta memahami hal-hal apa saja yang dievaluasi oleh panitia serta kelemahan-
kelemahannya.
Inilah sebabnya, PPK wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa. Bukan sekedar
selembaran kertas belaka, tetapi PPK wajib mengetahui proses pengadaan barang/jasa secara detail
agar dapat menjalankan fungsi check and recheck terhadap kerja panitia dan mampu untuk menolak
usulan pemenang dari panitia.
Apabila PPK tidak memiliki pengetahuan dalam bidang pengadaan barang/jasa, maka PPK cenderung
hanya menjadi “tukang stempel” terhadap hasil panitia pengadaan barang/jasa.
Menandatangani Kontrak
Kontrak adalah ikatan antara dua atau lebih pihak yang isinya mengikat kepada seluruh pihak yang
menandatangani.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) menyebutkan:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
PPK harus memperhatikan hal ini, karena apabila salah satu dari 4 hal tersebut tidak terpenuhi, maka
penandatanganan kontrak menjadi tidak sah.
Sebelum penandatanganan, PPK harus yakin bahwa yang mewakili penyedia adalah benar-benar
direktur atau kuasa direktur yang nama penerima kuasa ada dalam akta atau pejabat yang menurut
anggaran dasar perusahaan berhak untuk mengikat perjanjian. Para pihak juga dalam kondisi sah untuk
mengikat perjanjian, pokok perjanjiannya jelas dan tidak ada hal-hal yang melanggar hukum, baik
perdata maupun pidana, dalam isi perjanjian.
Inilah pentingnya sebelum pelaksanaan penandatanganan kontrak, PPK melaksanakan rapat persiapan
terlebih dahulu agar penandatanganan kontrak tidak sekedar seremonial belaka melainkan dipahami dan
nantinya dapat dilaksanakan oleh para pihak.
Melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa dan Mengendalikan Pelaksanaan Kontrak.

Kontrak adalah dokumen yang memiliki kekuatan hukum serta mengikat para pihak. Namun, terkadang
karena kesibukan secara struktural, PPK hanya menandatangani dan melupakan pelaksanaannya.
Penyedia barang/jasa dibiarkan bekerja seenak mereka atau hanya memasrahkan pengawasan
pelaksanaan pekerjaan pada konsultan pengawas.
Mereka lupa, bahwa pelaksanaan pekerjaan adalah tanggung jawab PPK. Apabila terjadi permasalahan,
sering dibiarkan begitu saja dan baru kalang kabut apabila pekerjaan telah selesai atau mengalami
hambatan.
Ini yang sering terjadi pada pekerjaan konstruksi, khususnya apabila pelaksanaan pekerjaan tersebut
dilaksanakan pada akhir tahun anggaran.
Sudah menjadi aturan baku, bahwa tahun anggaran berakhir 31 Desember bagi pekerjaan yang
dilaksanakan berdasarkan kontrak tahun tunggal. Tapi baru kalang kabut akhir Desember setelah melihat
pekerjaan belum selesai 100% bahkan tidak dapat diselesaikan tepat tanggal 31 Desember. Malah
sebagian kasus, baru pusing setelah masuk bulan Januari.
Keterlambatan pekerjaan tidak terjadi begitu saja dan tidak terjadi hanya dalam semalam. Sejak awal,
setiap keterlambatan telah dapat dideteksi. Seharusnya, apabila ada gejala-gejala awal keterlambatan,
misalnya material yang seharusnya sudah masuk belum tiba, atau curah hujan yang terjadi diluar
perkiraan, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan dan langkah-langkah penanggulangan.
Apabila setelah dicoba ditanggulangi tetap tidak dapat teratasi, maka klausul kontrak kritis dapat
diberlakukan. Lagi-lagi, khusus klausul kontrak kritis sudah harus dipersiapkan pada saat perencanaan
atau penyusunan draft kontrak.
Namun, alangkah banyak PPK yang setelah menandatangani kontrak seakan-akan melupakan adanya
sebuah pekerjaan yang berada dibawah tanggungjawabnya. Malah ada yang baru turun ke lokasi proyek
pembangunan gedung kalau atasannya hendak berkunjung. Sehingga, saat menghadapi masalah
menjadi gelagapan dan kebingungan.
PPK wajib memiliki kemampuan untuk membaca time shedule dan berbagai jenis bentuk dan mekanisme
kontrol pekerjaan. Bisa berupa kurva S atau bentuk diagram lainnya. Pemahaman terhadap aplikasi
project (seperti MS Project) adalah nilai plus.
Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa dan kemajuan pekerjaan
termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap
triwulan

Melaporkan pelaksanaan pekerjaan ini tidak sekedar membuat laporan Asal Bapak Senang (ABS). PPK
juga harus mampu melaporkan kesesuaian antara kontrak yang ditandatangani dengan pelaksanaan
pekerjaan.
Selain kemajuan fisik, yang sering ditanyakan oleh PA/KPA adalah kemajuan daya serap anggaran serta
kendala yang dihadapi pada saat pelaksanaan.
Yang harus diingat, setiap kendala merupakan tugas yang harus diselesaikan oleh PPK, sehingga setiap
laporan terhadap kendala harus dibarengi dengan laporan rencana penyelesaian terhadap kendala
tersebut.
Menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara
Penyerahan
Salah satu temuan yang paling sering terjadi adalah pengadaan barang/jasa fiktif.

Hal ini terjadi karena PPK tidak cermat dalam melihat barang/jasa yang diadakan. Hasil pekerjaan yang
diserahkan oleh penyedia barang/jasa diterima bulat-bulat dan tidak melakukan prinsip check and
recheck
Karena tidak memahami jenis barang/jasa yang diadakan, PPK biasanya menerima dokumen apapun
yang disodorkan oleh penyedia.
Walaupun ada panitia penerima hasil pekerjaan atau ada konsultan pengawas, penanggung jawab
pekerjaan tetap berada di tangan PPK, sehingga pemeriksaan atas barang/jasa yang telah diadakan
tetap mutlak dilakukan oleh PPK sebelum diserahkan kepada PA/KPA.
Penyerahan hasil pekerjaan tidak sekedar menyerahkan secara fisik, melainkan harus menyerahkan
sesuai dengan fungsi dan kemampuan yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan serta dokumen
kontrak. Oleh sebab itu, pada saat pengujian, PPK harus bisa memastikan setiap spesifikasi sesuai
dengan yang telah ditetapkan dan alat/barang berfungsi sesuai ketentuan.
Nah, dari tulisan ini telah jelas beberapa tugas pokok dan fungsi PPK dan jelas bahwa tugas PPK tidak
sekedar tanda tangan kontrak.
Oleh sebab itu, bagi SKPD yang tidak mengangkat PPK, karena mengikuti Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2011, pastikan PA/KPA memahami tugas pokok dan fungsi dari
PPK.
Karena, apabila PA/KPA bertindak selaku PPK, maka tugas pokok PPK juga melekat pada mereka.

Jabatan Wakil Sekretaris Bagai Macan ompong Tanpa Sertifikat PBJ


Jabatan Wakil Sekretaris atau Wasek di Pengadilan Negeri ataupun Agama merupakan jabatan struktural
Eselon IV jika di kelas II.

Wasek merupakan Penanggung jawab kesekretariatan dan bertanggung jawab langsung kepada
Panitera / Sekretaris.

Tetapi saat ini, umumnya Jabatan PPK harus memiliki persyaratan khusus.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan APBN :
Kewajiban bersertifikat PBJ untuk PPK tertuang pada Pasal 12 Ayat (2) Huruf g, yaitu ” Untuk
ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Memiliki Sertifikat Keahlian
Pengadaan Barang/Jasa.”

Anda mungkin juga menyukai