Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Emboli Cairan Ketuban

1.1.1 Definisi

Emboli tidak asing lagi dalam istilah kedokteran, emboli


yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti embolus dalam
istilahnya diartikan sumbat, adapun menurut pengertian dari
emboli adalah obstruksi pembuluh darah oleh materi yang tidak
larut yang dapat disebabkan oleh gas, bakteri, parasit, lemak atau
sel kanker. Emboli tidak saja terjadi pada ibu sesuai persalinan
melainkan emboli juga dapat terjadi pada siapapun dalam kondisi
tertentu yang mengakibatkan oksigen terhambat sehingga sistem
tubuh menjadi terhenti. Emboli sendiri memiliki beberapa
pengaruh yang berbeda sesuai dengan terjadinya pada emboli.
Salah satu emboli yang terjadi di jantung yang mengakibatkan
terjadinya kondisi kerja abnormal dimana jantung bergetar dan
mengakibatkan pembuluh darah ke leher sehingga transportasi
darah ke otak menjadi terhalang dalam waktu beberapa menit akan
mengakibatkan pasokan oksigen terhenti, kondisi seperti ini akan
mengakibatkan stroke emboli (Irianto, 2014).

Menurut Toy tahun 2007 Pada Jurnal Internasional yang


berjudul Amniotic Fluid Embolism, Emboli cairan amnion
(Amniotic Fluid Embolism) adalah sindroma katastrofik. Terjadi
saat persalinan atau segera Pasca persalinan. faktor klinis yang
umum adalah sesak nafas, berubahnya status mental yang diikuti
secara mendadak, keruntuhan kardiovaskular, intravaskular
diseminata, koagulasi (DIC), dan kematian ibu (Stafford, 2007).

Emboli cairan ketuban adalah penyumbatan arteri pulmoner


(arteri paru-paru) ibu oleh cairan ketuban. Suatu emboli adalah
suatu massa dari bahan asing yang terdapat di dalam pembuluh

1
darah. Meskipun sangat jarang terjadi, emboli bisa terbentuk dari
cairan ketuban (Nugraha, 2012).

Emboli cairan amnion (ketuban) adalah salah satu


gangguan kompleks yang secara klasik ditandai oleh terjadinya
hipotensi, hipoksia, dan koagulopati konsumtif secara mendadak.
Manifestasi klinis sangat bervariasi dan mungkin saja hanya salah
satu diantara ketiga tanda klinis ini yang dominan atau malah tidak
terjadi sama sekali. Sindrom ini mutlak jarang dijumpai, namun
sindrom ini merupakan kausa umum kematian ibu (Berg dkk.,
1996; Koonin dkk.,1997). Dengan menggunakan Danielsen (1999)
memperkirakan frekuensinya sekitar 1 kasus per 20.000 perlahiran
(Cunningham dkk ., 2005).

1.1.2 Etiologi

Sebelum mengenal terjadinya emboli ketuban pada ibu


sesuai persalinan, salah satu emboli yang mungkin terjadi setelah
melahirkan adalah emboli udara dimana terjadinya udara yang
masuk ke dalam pembuluh ibu setelah melahirkan sehingga
mengakibatkan terjadinya gelembung. Gelembung yang terjadi
akan menghambat pasokan oksigen didalam tubuh. Sedangkan
emboli ketuban yaitu dimana terjadinya air ketuban yang masuk
kedalam pembuluh darah yang mengakibatkan sirkulasi darah
terhambat sehingga mengakibatkan gagal napas, gagal jantung
bahkan hingga pendarahan (Irianto, 2014).

Emboli air ketuban dapat terjadi ketika cairan lendir atau


sel gepeng masuk ke dalam tubuh ibu setelah melahirkan. Reaksi
emboli dapat terjadi paling lama 48 jam setelah persalinan dan
paling singkat kurang lebih 30 menit usai kelahiran pada dasarnya
reaksi tersebut timbul berdasarkan inflamasi atau luka yang
ditimbulkan diakibatkan hambatan sirkulasi, ketika inflamasi
semakin besar maka reaksi semakin cepat. Risiko kematian pada
ibu yang mengalami emboli air ketuban hampir 80% diakibatkan

2
dampak fatal yang disebabkan oleh benda asing yang masuk dan
menggangu sistem sirkulasi darah di dalam paru-paru dan juga
jantung. Emboli air ketuban belum bisa ditangani dengan baik
dikarenakan tidak adanya penatalaksanaan spesifik (Irianto, 2014).

Menurut Lockhart Emboli cairan amnion ini terjadi karena


defek pada membran amnion sesudah terjadi ruptur membran
tersebut atau sebagai akibat dari solusio plasenta parsial.

Menurut Rukiyah tahun 2011 salah satu etiologi emboli


cairan ketuban merupakan salah satu penyebab syok dalam ketuban
yang bukan disebabkan karena perdarahan, penyebabnya adalah
masuknya air ketuban melalui vena endoserviks atau sinus vena
yang terbuka didaerah tempat perlekatan plasenta, masukknya air
ketuban yang mengandung rambut lanugo, verniks casiosa dan
mekonium dalam peredaran darah ibu akan menyumbat pembuluh-
pembuluh kapiler dalam paru-paru ibu, selain itu zat-zat asing dari
janin tersebut juga menimbulkan reaksi anapilaksis yang keras dan
gangguan pembekuan darah.

Pertama-tama penderita tampak gelisah, mual, muntah, dan


disertai takikardi dan takipnea. Selanjutnya timmbul dispnea dan
sianosis, tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah, kesadaran
menurun disertai nistagmus dan kadang-kadang timbul kejang
tonik klonik. Bila ada penyumbatan kapiler paru-paru akan
menyebabkan edema paru yang luas dan akhirnya mengakibatkan
kegagalan dan payah jantung kanan.

1.1.3 Patofisiologi

Menurut Cunningham dkk tahun 2005 dalam buku williams


obstetri studi-studi pada primata dengan menggunakan injeksi
cairan amnion hommolog, serta studi yang dilakukan secara cermat
terhadap model kambing, menghasilkan pemahaman yang penting
tentang kelainan hemodinamik sentral (Adamsons dkk., 1971;

3
hankins dkk., 1993; Stolte dkk., 1967). Setelah suatu fase awal
hipertensi paru dan sistemik yang singkat, terjadi penurunnan
resistensi vaskular sistemik dan indeks kerja pulsasi ventrikel kiri
(Clark dkk., 1988). Pada fase awal sering dijumpai desaturasi
oksigen transien tetapi mencolok sehingga sebagian besar pasien
yang selamat mengalami cedera neurologis (Harvey dkk., 1996).
Pada wanita yang bertahan hidup melewati fase kolaps
kardiovaskular awal, sering terjadi fase sekunder berupa cedera
paru dan koagulopati.

Keterkaitan hipertonisitas uterus dengan kolaps


kardiovaskular tampaknya lebih berupa efek dari pada kausa
emboli cairan amnion (Clark dkk., 1995). Memang, aliran darah
uterus berhenti total apabila tekanan intrauterin melebihi 35-40
mmHg (Towll, 1976). Dengan demikian, kontraksi hipertonik
merupakan waktu yang paling Kecil kemungkinannya terjadi
pertukaran janin - ibu. Demikian juga tidak terjadi hubungan sebab
akibat.

1.1.4 Diagnosis

Diagnosa dibuat postmortem dan dijumpai adanya epitel


skuamosa janin dalam vaskularisasi paru. Pasien yang berhasil
selamat adalah dengan adanya epitel skuamosa dalam bronchus
atau sampel darah yang berasal dari ventrikel kanan. Pada situasi
akut tidak ada temuan klinis atau laboratoris untuk menegakkan
atau menyingkirkan diagnosa emboli air ketuban, diagnosa ini
secara klinis dan per eksklusionum (Nugraha, 2012).

Dahulu, ditemukan sel skuamosa atau debris lain yang


berasal dari janin di sirkulasi paru sentral diangap patognomonik
untuk emboli cairan amnion. Memang, pada kasus-kasus fatal,
gambaran histopatologis mungkin dramatik, terutama pada kasus
dengan cairan amnion yang tercemar mekonium. Namun, detesi
debris semacam ini mungkin memerlukan pewarnaan khusus yang

4
ekstensif dan setelah itu pun debris sering tidak ditemukan. Di
National Registry, elemen-elemen janin terdeteksi pada 75 persen
autopsi dan 50 persen spesimen yang dibuat dari aspirat buffy coat
pekat yang diambil dari katerisasi arteri pulmonalis sebelum pasien
meninggal. Selain itu beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
sel skuamosa, trofoblas, dan debris lain yang bersal dari janin
mungkin sering ditemukan di sirkulasi sentral wanita denan dondisi
selain emboli cairan amnion. Dengan demikian, temuan ini tidak
sensitif atau spesifik dan diagnosa umumnya ditegakkan
berdasarkan gejala dan tanda klinis yang khas, pada kasus-kasus
yang kurang khas, diagnosa didasarkan pada eksklusi kausa lain.
(Cunningham dkk., 2005).

Diagnosis AFE (Amnion Fluid Embolism) dilakukan atas


dasar presentasi klinis. Tanda-tanda awal mungkin sering terlihat
pada elektrokardiogram (takikardia dengan pola regangan 13
ventrikel kanan dan perubahan gelombang ST-T) dan pulse
oximetry dapat menunjukkan penurunan mendadak dalam saturasi
oksigen. Ini diikuti dengan hipotensi berat dan kolaps
kardiovaskular yang terkait dengan gangguan pernapasan berat.
Ada subset dari pasien yang perdarahan berat dengan DIC
mungkin merupakan tanda pertama. Namun, diagnosis definitif
biasanya dibuat oleh demonstrasi bahan cairan ketuban dalam
sirkulasi maternal dan dalam arteri kecil, arteriol, dan kapiler
pembuluh paru (Rudra, 2009).

Pengenalan dan diagnosis AFE dengan segera sangat


penting untuk memperbaiki prognosis maternal dan fetal. Sampai
saat ini, diagnosis pasti AFE dibuat hanya setelah otopsi maternal
menunjukkan adanya sel skuamous, lanugo, atau material fetal dan
air ketuban lainnya di dalam vaskulatur arterial pulmonal. Metode
pewarnaan khusus untuk squamos keratin harus digunakan pada
beberapa bagian dari paru-paru untuk diagnosis positif.

5
Squama janin telah ditemukan di dahak ibu dalam beberapa
kasus. Alat diagnostik tambahan untuk konfirmasi emboli cairan
ketuban yang dicurigai secara klinis meliputi :

1. Foto toraks: Dapat menunjukkan pembesaran atrium kanan dan


ventrikel dan arteri pulmonalis menonjol proksimal dan edema
paru.
2. Lung Scan: Dapat menunjukkan beberapa daerah berkurang
radioaktivitas di bidang paru-paru.
3. Tekanan vena sentral (CVP) dengan kenaikan awal karena
hipertensi pulmonal dan akhirnya penurunan yang mendalam
karena perdarahan parah.
4. Profil Koagulasi: Biasanya pada kehamilan, faktor pembekuan
darah meningkat. Namun, dengan emboli cairan ketuban, bukti
koagulasi intravaskular diseminata terjadi kemudian dengan
kegagalan darah untuk membeku, penurunan jumlah trombosit,
penurunan fibrinogen dan afibrinogenemia, PT berkepanjangan
dan PTT, dan kehadiran produk degradasi fibrin.

Dengan demikian, yang bisa dilakukan adalah diagnosis klinis.


Karena secara garis besar air ketuban menyerbu pembuluh darah
paru-paru, maka amat penting untuk mengamati gejala klinis si ibu.
Apakah ia mengalami sesak napas, wajah kebiruan, terjadi
gangguan sirkulasi jantung, tensi darah mendadak turun, bahkan
berhenti, dan atau adanya gangguan perdarahan.

Dampak yang ringan biasanya hanya sebatas sesak napas, tapi


yang berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Dahulu,
ditemukannya sel skuamosa atau debris lain yang berasal dari janin
di sirkulasi paru sentral dianggap patognomonik untuk emboli
cairan amnion. Selain itu beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa sel skuamosa, trophoblast dan debris lain yang berasal dari
janin mungkin sering ditemukan disirkulasi sentral wanita dengan
kondisi selain emboli cairan amnion.

6
1.1.5 Penatalaksanaan

Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan


amnion terjadi hipertensi sistemik dan pulmonal, fase ini bersifat
sementara. Wanita yang dapat bertahan hidup setelah menjalani
resusitasi jantung paru seyogyanya mendapat terapi yang ditujukan
untuk oksigenasi dan membantu miokardium yang mengalami
kegagalan. Tindakan yang menunjang sirkulasi serta pemberian
darah dan koomponen darah sangat penting dikerjakan. Belum ada
data yang meyatakan bahwa ada suatu intervensi yang dapat
memperbaiki prognosis ibu pada emboli cairan amnion. Wanita
yang belum melahirkan dan mengalami henti jantung harus
dipertimbangkan untuk melakukan seksio sesarea perimortem
darurat sebagai upaya menyelamatkan janin. Namun, bagi ibu yang
hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti
jantung, pengambilan keputusan semacam itu menjadi semakin
rumit. (Cunningham., dkk 2005).

Menurut Toy tahun 2009 dalam European Journal of


General Medicine Pengobatan dalam penanganan emboli cairan
ketuban masih belum bersifat kausatif tapi mendukung. Dan
awalnya berfokus pada kardiopulmoner maternal yang cepat.
Mayoritas pasien akan membutuhkan unit perawatan intensif
setelah stabilisasi awal. Tujuan terapi yang paling penting adalah
Mencegah hipoksia tambahan dan kegagalan organ akhir
berikutnya. Meski mengalami penurunan angka kematian, belum
ada penemuan yang baru tetapi Terapi telah muncul dan
pengobatan tetap pada dasarnya.

Perawatan pertama ditujukan untuk mengatasi edema paru-


paru dengan pemberian zat asam dengn tekanan positif, digitalis
dapat diberkan bila ada indikasi payah jantung. Dapat juga
diberikan Morphin 0.01-0.02 subcutan atau Atropis 0.001-0.003
IV, perlaha-lahan pasang torniquet pada lengan dan tunngkai untuk

7
meringankan sisi kanan jantung, kembangkan antara tekanan
sistolik dan diastolik, kalau perlu pasang vena sakti, tidak boleh
diberikan vasoprosesor (Lockhart, 2014)

Penanganan

1. Memberikan oksigen, darah, dan heparin


2. Memasang kateter tekanan vena sentral
3. Memantau dengan ketat status kardipulmonal
4. Segera melahirkan bayi

1.1.6 Prognosis

Prognosis emboli cairan amnion yang buruk jelas berkaitan


dengan bias pelaporan, juga sindrom ini kemungkinan besar
kurang terdiagnosis (underdiagnosed), kecuali pada kasus-kasus
yang sangat parah. Pada laporan-laporan National Registry, angka
kematian ibu adalah 60 persen. Di data dasar 1,1 juta persalinan di
California oleh Gilbert dan Danielson (1999), hanya seperempat
kasus yang dilaporkan yang meninggal. Weiwen (2000)
menyajikan data awal dari 38 kasus di daerah Suzhou di Cina.
Hampir 90 persen wanita yang meninggal dalam penelitian di Cina,
12 meninggal dalam waktu 30 menit (Cunningham dkk., 2005).

Kelainan neurologis yang parah sering terjadi pada mereka


yang selamat. Di atara para wanita yang dilaporkan ke National
Registry mengalami henti jantunng disertai gejala-gejala awal,
hanya 8 persen yang selamat tanpa mengalami kelaian neurologis.
Hasil akhir juga buruk bagi janin kelompok wanita yang selamat
tesebut dan berkaitan dengan interval henti jantung sampai
pelahiran. Angka ketahanan hidup neonatus keseluruhan adalah 70
persen, tetapi hampir separuh menderita kelainan neurologis
residual (Cunningham dkk., 2005).

Emboli ini sampai paru-paru ibu dan menyumbat arteri ,


penyumbatan ini disebut emboli pulmoner. Emboli air ketuban

8
merupakan masuknya cairan ketuban dan komponen-komponenya
kedalam sirkulasi darah ibu. Komponen tersebut berupa unsur-
unsur yang ada dalam air ketuban, misalnya lapisan kulit janinn
terlepas, lanugo, lapisan lemak janin, dan musin atau cairan kental
(Cunningham dkk., 2005).

Emboli cairan ketuban umumnya terjadi pada kasus aborsi,


terutama jika dilakukan setelah usia kehamilan 12 minggu. Emboli
air ketuban merupakan kasus yanng berbahaya yang dapat
membawa kematian. Bagi yang selamat dapat terjadi efek samping
seperti gangguan syaraf.

Menurut Toy tahun 2009 dalam European Journal of


General Medicine Pasien dengan AFE memiliki prognosis yang
sangat buruk. Kejadian ini tidak bisa diprediksi atau dicegah. AFE
tetap menjadi salah satu yang paling ditakuti dan mematikan.
Komplikasi kehamilan Prognosis dan mortalitas dari AFE telah
meningkat secara signifikan dengan awal diagnosis AFE dan
resusitasi dini. Meskipun angka kematian telah menurun,
Morbiditas tetap tinggi, terutama gangguan neurologis. Terapi
kortikosteroid mungkin diberikan segera sebelum amniosentesis
dan pengiriman untuk meminimalkan potensi teoritis kekambuhan.
Berpengalaman dengan sejarah yang diketahui Atopi atau
anafilaksis juga beresiko tinggi terhadap AFE. Dalam Embolisme
Cairan Amniotik Nasional, diketahui riwayat alergi obat dan atopi
ditemukan di 41% dari 46 pasien dengan AFE.

1.1.7 Komplikasi

a. Gangguan Pembekuan Darah


Partikel air ketuban dapat menjadi inti pembekuan darah.
Factor X atau musin /lender dan debris air ketuban dapat
menjadi trigger terjadinya koagulasi intravaskuler, mengaktifkan
system fibrinolisis dan bekuan darah sehingga terjadi
Hipofibrinogemia dan menimbulkan perdarahan dari implantasi

9
plasenta. Kekurangan oksigen dan terjadinya metabolisme
anaerobic dalam otot uterus menyebabkan atonia uteri sehingga
terjadi perdarahan. Kedua komponen ini dapat menimbulkan
syok dan terjadi kematian dalam waktu sangat singkat sebelum
sempat memberikan pertolongan adekuat.
b. Kolaps Kardiovaskuler
Air ketuban yang terhisap dengan benda padatnya (
rambut lanugo, lemah, dan lainnya ) menyambut kapiler paru
sehingga terjadi hipertensi arteri pulmonum, edema paru, dan
gangguan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Akibat
hipertensi pulmonum menybabkan tekanan atrium kiri turun,
curah jantung menurun, terjadi penurunan tekanan darah
sistemik yang mengakibatkan syok berat. Gangguan pertukaran
oksigen dan karbon monoksida menyebabkan sesak nafas,
sianosis,dan gangguan pengaliran oksigen ke jaringan yang
mengakibatkan asidosis metabolic dan metabolisme anaerobic.

Edema paru dan gangguan pertukaran oksigen dan


karbon monoksida menyebabkan terasa dada sakit – berat – dan
panas, penderita gelisah karena kekurangan oksigen,
dikeluarkannya histamine yang menyebabkan spasme bronkus,
pengeluaran prostaglandin dapat menambah spasme bronkus
dan sesak nafas. Terjadi refleks nervus vagus yang
menyebabkan bradikardia dan vasokontriksi arteri koroner yang
menimbulkan gangguan kontraksi otot jantung dan dapat
menimbulkan henti jantung akut. Manifestasi keduanya
menyebabkan syok dalam, kedinginan, dan sianosis. Kematian
dapat berlangsung sangat singkat dari 20 menit sampai 36 jam.

10
BAB II
KONSEP MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN
PADA EMBOLI CAIRAN KETUBAN

1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Data subjektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu
pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. (Untuk mengetahui siapa yang
melakukan pengkajian, kapan, dan dimana pengkajian dilaksanakan )
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
1). Identitas

a) Nama

Nama ibu dan suami untuk mengenal, memanggil, dan menghindari


terjadinya kekeliruan (Cristina,2000:41)

b) Usia

Untuk mengetahui apakah umur ibu menentukan diagnose kehamilan,


umur < 16 tahun atau > 35 tahun termasuk dalam resiko tinggi.
Sedangkan kasus emboli air ketuban ini rentan terjadi pada usia yang
terlalu tua / lebih dari 35 tahun.

c) Pendidikan
Untuk memudahkan bidan dalam memberikan konseling sesuai
dengan tingkat pendidikan klien
d) Alamat
Untuk mengetahui tempat tinggal pasien agar memudahkan bidan
untuk memberikan informasi pada keluarga jika sewaktu – waktu ada
keadaan darurat.

11
2). Keluhan utama

Untuk mengetahui apa yang terjadi pada ibu saat pengkajian. Pada
kasus ini biasanya pasien gelisah, sesak nafas, merasakan mual dan
nyeri dada serta mengeluarkan perdarahan dari alat kelamin.

3). Riwayat kesehatan yang lalu

Perlu ditanyakan untuk mengetahui riwayat kesehatan ibu yaitu ada


atau tidaknya penyakit jantung, asma, gangguan pada paru – paru
dan gangguan pada pembekuan darah. Karena penyakit tersebut
akan lebih memperparah keadaan saat ibu mengalami emboli air
ketuban.

4). Riwayat obstetri yang lalu

Ibu dengan multiparitas merupakan salah satu faktor resiko


terjadinya emboli cairan ketuban.

5). Riwayat obstetri saat ini

Emboli cairan ketuban rentan terjadi pada ibu bersalin dengan


tindakan oksitosin drip, operasi SC, IUFD, solusio plasenta,
makrosomia.

b. Data Objektif
1) Keadaan umum
Keadaan umum pada ibu yang mengalami emboli air ketuban biasanya
lemah hingga syok.
2) Kesadaran
Untuk mengetahui tingkat kesadaran ibu. Kesadaran pada ibu dengan
kasus emboli air ketuban biasanya sebagai berikut :
 Somnolen
Kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
dibangunkan tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban
verbal
 Sopor

12
Keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri
 Coma
Tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun
3) Tanda vital

Dapat berubah karena mengalami perubahan karena gejala syok.

 Tekanan darah
Batas normal tekanan darah adalah 90/60 – 140/90mmHg. Pada kasus
emboli biasanya terjadi hipotensi yaitu sistole < 90 mmHg dan
diastole < 60 mmHg
 Suhu tubuh

- Normalnya 36,60C – 37,60C.

- Suhu tubuh waktu inpartu tidak melebihi dari 37,20C, sesudah


partus dapat naik 0,50C dari keadaan normal tetapi tidak melebihi
380C.

- Pada kasus ini biasanya terjadi hipotermia yaitu suhu kurang dari
36o C.

 Nadi
Untuk mengetahui denyut nadi klien dengan menghitung dalam 1
menit, normalnya denyut nadi dalam 1 menit adalah 60-100 x/menit.
Pada kasus ini, biasanya terjadi takikardia / nadi cepat yaitu lebih dari
100x/menit.
 Pernafasan
Untuk mengetahui pernafasan klien dengan menghitung dalam waktu
1 menit. Normalnya pernafasan dalam 1 menit adalah 16- 20x/menit.
Pada kasus ini, biasanya terjadi nafas cepat yaitu lebih dari 30 x/menit

2. Pemeriksaan fisik

 Kepala
- Muka : pucat
- Konjungtiva : pucat

13
 Abdomen

- TFU biasanya sesuai dengan usia kehamilan atau bisa lebih karena
bayi besar (makrosomia)

- His : Kontraksi uterus yang terlalu kuat dengan hampir tidak terdapat
fase relaksasi dapat memicu terjadinya emboli air ketuban. Kontraksi
tersebut biasanya terjadi pada persalinan dengan oksitosin drip.
Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan terjadinya
laserasi atau rupture uteri, hal ini juga menggambarkan pembukaan
vena, dengan pembukaan vena, maka cairan ketuban dengan mudah
masuk ke pembuluh darah ibu, yang nantinya akan menyumbat
aliran darah.

- DJJ -> bisa turun hingga kurang dari 110 x/menit. Jika penurunan ini
berlangsung selama 10 menit atau lebih, hal ini merupakan
bradicardia.

 Genitalia

Ditemukan perdarahan pervaginam yang persisten biasanya akibat


atonia uteri, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular diseazminata.

3. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan sel darah lengkap dan apusan darah untuk mengetahui


hilangnya darah dan kadar Hb yang ada.

 Golongan darah dan rhesus : darah dikirim ke bank darah untuk


menentukan golongan dan rhesus. Empat unit dicocok silang untuk
transfusi seperti yang diindikasikan. Defek koagulasi segera diduga bila
darah dalam selang gagal membeku

 Keluaran urine dapat menurun, menunjukkan perfusi ginjal yang tidak


adekuat

 Gas darah arteri : P O2 biasanya menurun

14
 Gambaran koagulasi biasanya abnormal, menunjukkan koagulasi
intravaskular diseminata

 Elektrokardiogram dapat memperlihatkan regangan jantung kanan akut

II. Interpretasi Data


a. Diagnosa :
G _ P _ _ _ _ Ab_ _ _ uk .... minggu inpartu kala 1 fase .... dengan
emboli air ketuban

G _ P _ _ _ _ Ab_ _ _ uk .... minggu inpartu kala 2 dengan emboli air


ketuban

G _ P _ _ _ _ Ab_ _ post partum ....jam dengan emboli air ketuban

G (Gravida) :jumlah kehamilan yang dialami wanita


P (Para) :jumlah kehamilan yang diakhiri dengan kelahiran janin
yang memenuhi syarat hidup
P (digit I) :jumlah kelahiran bayi cukup bulan, berisi seluruh
persalinan aterm yang pernah dialami
P (digit II) :jumlah kelahiran prematur (28-36 minggu/ 1000-2499
gram)
P (digit III) :jumlah kelahiran imatur (21-28 minggu/500-1000 gram)
P (digit IV) :jumlah kelahiran anak yang hingga kini masih hidup
Ab (Abortus) :jumlah kelahiran yang diakhiri dengan aborsi spontan
(sebelum 20 minggu/ <500 gram)
Ab (digit I) : jumlah seluruh abortus yang pernah dialami
Ab (digit II) : jumlah kehamilan mola yang pernah dialami
Ab (digit III) :jumlah kehamilan ektopik yang pernah dialami

b. Masalah aktual :

Trias dispnea yaitu :

- Pecahnya ketuban

- Sianosis dan syok

15
- Perdarahan pervaginam yang hebat dan koagulopati

III. Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial


Pada langkah ini kita kita mengidengtifikasi masalah atau diagnoa
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah yang ada. Langkah ini
membutuhkan antisipasi, bila mungkin dilakukan pencegahan. Sambil
mengamati pasien, bidan diharapkan siap bila diagnosa atau masalah
potensial benar-benar terjadi.
Diagnosa potensial :

- Koagulasi intravaskular diseminata

- Gagal ginjal akut akibat hipotensi

Masalah potensial :

- Kerusakan neurologis permanen

- Kematian ibu dan janin

IV. Identifikasi Tindakan Segera


Bidan menetapkan kebutuhan segera, melakukan konsultasi dan
kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain berdasarkan kondisi klien.
Langkah ke-4 ini mencerminkan kesinambungan dari proses menejemen
kebidanan. Jadi menejemen bukan hanya selama asuhan primes
periodik/kunjungan prenatal saja, tetapi juga selama wanita hamil tersebut
dalam persalinan. Bidan melakukan tindakan harus sesuai dengan masalah/
kebutuhan yang dihadapi klien. Setelah bidan merumuskan tindakan yang
perlu dilakukan untuk mengantisipasi diagnosis/masalah potensial pada
langkah sebelumnya. Bidan juga merumuskan tindakan segera (emergensi)
untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Tindakannya termasuk tindakan secara
mandiri atau rujukan (Hani,2014).
Pada kasus emboli cairan ketuban bidan harus melakukan kolaborasi
dengan Tim Medis dan dilakukan rujukan.

16
V. Intervensi
Perencanaan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan adalah secara Mandiri,
Kolaborasi atau Rujukan.
1) Mandiri :
 Beritahu keluarga mengenai kondisi ibu
R/ Informasi tentang keadaan ibu sangat diperlukan keluarga untuk
mengetahui sejauh mana keadaan ibu.

 Berikan informed consent sebelum melakukan tindakan

R/ Informed consent sebelum melakukan tindakan perlu dilakukan


oleh bidan. Supaya keluarga bisa benar-benar memutuskan
keputusan apa yang harus di ambil dengan konseling yang telah
disampaikan bidan, informed consent juga dapat melindungi bidan
dari jeratan hukum.

 Observasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan

R/ Observasi ttv tetap harus terus dilakukan sampai ke tempat


rujukan tiba supaya bidan dapat mengetahui keadaan umum ibu.

 Observasi His dan Denyut Jantung Janin

R/ Observasi HIS dan Denyut jantung Janin dilakukan untuk


memantau bagaimana his ibu apakah semakin sering atau bahkan
melemah. DJJ pada kasus emboli cairan ketuban bisa turun hingga
kurang dari 110 x/menit. Jika penurunan ini berlangsung selama 10
menit atau lebih, hal ini merupakan bradicardi yang menandakan
ada gawat pada janin.

 Pasang infus intravena RL

R/ RL (Ringer Laktat) yaitu suatu cairan infus yang mengandung


elektrolit untuk rehidrasi ibu.

17
 Berikan terapi oksigen

R/ Pada ibu dengan kasus emboli biasanya akan mengalami sesak


nafas, sehingga diperlukan terapi pemberian oksigen, supaya ibu
tidak mengalami hipoksia.

2) Kolaborasi

 Kolaborasi dengan petugas laboratorium untuk pemeriksaan darah

R/ Pemeriksaan sel darah lengkap dan apusan darah untuk


mengetahui hilangnya darah dan kadar Hb yang ada.

 Kolaborasi dengan dokter SpOG untuk terapi / rencana persalinan


sesuai protap.

R/ Dengan dilakukannya kolaborasi dengan dokter SpOG bidan


bisa melakukan tindakan yang benar sebelum dilakukannya
rujukan.

 Kolaborasi dengan petugas bank darah dan PMI

R/ Perlu adanya kolaborasi dengan bank darah dan PMI supaya


bisa mengetahui golongan darah dan rhesus pada ibu. Empat unit
dicocok silang untuk transfusi seperti yang diindikasikan. Defek
koagulasi segera diduga bila darah dalam selang gagal membeku.

3) Rujukan:

 Buat informed consent untuk meminta persetujuan tindakan


rujukan ke rumah sakit dan menjelaskan kemungkinan yang akan
terjadi yaitu keadaan ibu akan semakin memburuk jika tidak segera
dibawa ke RS dengan fasilitas yang lebih lengkap.

R/ Untuk memberikan informasi kepada keluarga sekaligus


persetujuan bahwa ibu harus dirujuk, informed consent juga dapat
melindungi bidan dari hukum.

18
 Siapkan manajemen rujukan dengan BAKSOKUDA

R/ Untuk antisipasi jika sewktu-waktu ada kegawatdaruratan dalam


perjalanan ke tempat rujukan.

VI. Implementasi
Kegiatan yang dilakukan di rencana Asuhan menyeluruh seperti yang
telah diuraikan pada langkah sebelumnya, dilaksanakan secara efisien dan
aman (Purwoastuti, 2014).
1) Mandiri :

 Memberitahu keluarga mengenai kondisi ibu

 Memberikan informed consent sebelum melakukan tindakan

 Mengobservasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan

 Mengbservasi His dan Denyut Jantung Janin

 Memasasang infus intravena RL

 Memberikan terapi oksigen

2) Kolaborasi :

 Mengkolaborasi dengan petugas laboratorium untuk pemeriksaan


darah

 Mengkolaborasi dengan dokter SpOG untuk terapi / rencana


persalinan sesuai protap seperti transfusi darah, fibrinogen, heparin

 Mengkolaborasi dengan petugas bank darah dan PMI

3) Rujukan:

 Membuat informed consent untuk meminta persetujuan tindakan


rujukan ke rumah sakit dan menjelaskan kemungkinan yang akan
terjadi yaitu keadaan ibu akan semakin memburuk jika tidak segera
dibawa ke RS dengan fasilitas yang lebih lengkap

19
 Menyiapkan manajemen rujukan dengan BAKSOKUDA

 Merujuk ibu ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas PONEK

VII Evaluasi
Merupakan langkah akhir dari proses asuhan kebidanan. Asuhan
manajemen kebidanan dilakukan secara kontiniu sehingga perlu dievaluasi
setiap tindakan yang telah diberikan agar lebih efektif. Kemungkinan hasil
evaluasi yang ditemukan pada ibu dengan emboli cairan ketuban adalah
ttercapai seluruh perencanaan tindakan dan tercapai sebagian dari
perencanaan tindakan sehingga dibutuhkan revisi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F Gary, dkk.2005. Obstetri Williams Ed. 21. Jakarta: EGC

Hani, Ummi., Kusbandiyah, Jiarti., Marjati Yulifah, Rita. 2014. Asuhan Kebidanan Pada
Kehamilan Fisiologis. Jakarta : Salemba Medika.

Irianto, Koes. 2014. Biologi Reproduksi. Bandung: Alfabeta.

Lockhart RS, Anita. 2014. Kebidanan Patologi. Jakarta : Binarupa Aksara

Nugroho. Taufan. 2012. Patologi Kebidanan.Yogyakarta: Nuha Medika

Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan: Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Rudra A, Chatterjee S, Mitra J. Amniotic Fluid Embolism. Indian Journal of


Critical Care Medicine. 2009. Cited: July 3rd 014.Available from
:http://www.ijccm.org/article.asp?issn=09725229;year=2009;volume=13;iss
ue=3;spage=129;epage=135;aulast=Rudra

Rukiyah, Ai Yeyeh & Lia Yulianti. 2010. Asuhan Kebidanan IV (Patologi


Kebidanan). Jakarta: Trans Info Media

Toy, Harun 2009. European Journal of General Medicine. Turkey.


http://www.bioline.org.br/pdf?gm09024

http://docshare01.docshare.tips/files/23751 /237517877.pdf . diakses pada tanggal


4 Agustus 20017 pukul 19.30 wib

21

Anda mungkin juga menyukai