Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

EMBOLI AIR KETUBAN & ROBEKAN JALAN LAHIR

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Askeb Neonatus

Dosen pengampu : Ari Antini,SST,M.Keb

Semester Ganjil tahun ajaran 2020-2021

Disusun Oleh :

Christin Bela Putri Safira

Denisa Rizki W Salma

Elfa Sagita Siska Nur

Fitria Nurul Hikmah SalsabellaValeska

Herlina Putri Suhara Silvia Handayani

Hayataunnisa Santi Nuraini

KELOMPOK 2

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

PRODI KEBIDANAN KARAWANG

2020-2021
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kematian ibu menurut World Health Organization (WHO) adalah kematian


perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun 42 hari sejak terminasi
kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan, yakni kematian yang
disebabkan karena kehamilannya atau penanganannya, tetapi bukan karena
sebab sebab lain seperti kecelakaan dan terjatuh. AKI dapat dihitung dengan
jumlah kasus kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (KH). Salah satunya
dapat disebabkan emboli ketuban dan robekan jalan lahir.
Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan
ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan
pernafasan yang akut dan shock.  Sindrom cairan ketuban adalah sebuah
gangguan langka dimana sejumlah besar cairan ketuban tiba – tiba memasuki
aliran darah. Emboli cairan ketuban adalah masuknya cairan ketuban beserta
komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Yang dimaksud komponen di sini
ialah unsur-unsur yang terdapat di air ketuban seperti lapisan kulit janin yang
terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan musin/cairan kental. yang dapat
menghambat pembuluh darah dan mencairkan darah yang mempengaruhi
koagulasi. Dua tempat utama masuknya cairan ketuban dalam sirkulasi darah
maternal adalah vena yang dapat robek sekalipun pada persalinan normal.
Ruptura uteri meningkatkan kemampuan masuknya cairan ketuban. (dr. Irsjad
Bustaman, SpOG.2009)
Emboli cairan ketuban dapat terjadi bila ada pembukaan pada dinding
pembuluh darah dan dapat terjadi pada  wanita tua/ usia lebih dari 30 tahun,
sindrom janin mati, Multiparitas, Janin besar intrauteri, Insidensi yang tinggi
kelahiran dengan operasi, Menconium dalam cairan ketuban dan kontraksi
uterus yang kuat. Dua puluh lima persen wanita yang menderita keadaan ini
meninggal dalam waktu 1 jam. Emboli air ketuban atau EAK (Amniotic fluid
embolism) merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Kasusnya antara 1 :
8.000 sampai 1 : 80.000 kelahiran. Bahkan hingga tahun 1950, hanya ada 17
kasus yang pernah dilaporkan. Sesudah tahun 1950, jumlah kasus yang
dilaporkan sedikit meningkat. Dalam kenyataannya memang emboli cairan
ketuban jarang dijumpai, namun kondisi ini dapat mengakibatkan kematian ibu
dengan cepat. Sekalipun mortalitas tinggi, emboli cairan tidak selalu membawa
kematian pada tiap kasus. 75% wanita meninggal sebagai akibat langsung
emboli. Sisanya meninggal akibat perdarahan yang tidak terkendali.

Meskipun jarang terjadi, tetapi bila edema cairan ketuban terjadi pada
wanita, maka akan menyumbat aliran darah ke paru, yang bila meluas akan
mengakibatkan penyumbatan dijantung, sehinggaa iskemik dan kematian
jantung secara mendadak bisa terjadi. Karena wanita tersebut akan mengalami
gangguan penapasan, syok, hipotermi, Dyspnea, Batuk, Hipotensi perubahan
pada membran mukosa akibat dari hipoksia Cardiac arrest. Koagulopati atau
pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain (DIC terjadi di 83%
pasien.). Risiko emboli cairan ketuban tidak bisa diantisipasi jauh-jauh hari
karena emboli paling sering terjadi saat persalinan. Dengan kata lain,
perjalanan kehamilan dari bulan ke bulan yang lancar-lancar saja, bukan
jaminan ibu aman dari ancaman EAK. Sementara bila di persalinan
sebelumnya ibu mengalami EAK, belum tentu juga kehamilan selanjutnya akan
mengalami kasus serupa. Begitu juga sebaliknya.

Selanjutnya menurut Prawirohardjo (2009), perdarahan pasca persalinan


dapat menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama pasca
melahirkan, 68-73 % dalam satu minggu setelah melahirkan, dan 82-88 %
dalam 2 minggu setelah melahirkan.Yang terjadi pada 24 jam pertama setelah
melahirkan salah satunya adalah robekan jalan lahir. Ruptur perineum adalah
perlukaan jalan lahir yang terjadi pada saat kelahiran bayi baik menggunakan
alat maupun tidak menggunakan alat.Penyebab dari terjadinya rupture
perineum adalah paritas, berat badan bayi, pimpinan persalinan tidak
sebagaimana mestinya, perineum yang kaku, ekstraksi cunam, ekstraksi fakum,
trauma alat dan episiotomy. Ruptur perineum terjadi pada hampir semua
persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya.

Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang


bervariasi banyaknya.Perdarahan yang berasal dari jalan lahir harus selalu
dievaluasi, yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat
diatasi.Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet atau laserasi), luka episiotomy,
rupture uteri, robekan perineum spontan derajat 1 sampai derajat IV (spingter
ani) terputus, robekan pada dinding vagina, fornix uteri, serviks, daerah
sekitarklitoris dan uretra Ibu bersalin yang mengalami robekan perineum dapat
meningkatkan risiko komplikasi yang dapat terjadi seperti perdarahan hebat
yang dapat menyebabkan ibu menjadi tidak berdaya, lemah, tekanan darah
turun, bahkan anemia.Komplikasi lain yang mungkin dapat terjadi akibat ruptur
perineum adalah fistula, hematoma, dan infeksi.(oxorn, 2010)

Di Indonesia laserasi perineum dialami oleh 75% ibu melahirkan


pervaginam. Pada tahun 2017 menemukan bahwa dari total 1951 kelahiran
spontan pervaginam, 57% ibu mendapat jahitan perineum (28% karena
episiotomi dan 29% karena robekan spontan) (Depkes RI, 2017)

1.2. Rumusan Masalah

a. Apa itu emboli ketuban?

b. Apa penyebab emboli air ketuban?

c. Bagaimana tanda dan gejala emboli udara?

d. Bagaimana penatalaksanaan emboli udara?

e. Apa itu robekan jalan lahir?

f. Apa penyebab robekan jalan lahir?

g. Bagaimana tanda dan gejala robekan jalan lahir?

h. Bagaimana penatalaksanaan robekan jalan lahir?

1.3. Tujuan

a. Memahami apa itu emboli ketuban

b. Memahami penyebab emboli air ketuban

c. Memahami tanda dan gejala emboli udara


d. Memahami penatalaksanaan emboli udara

e. Memahami apa itu robekan jalan lahir

f. Memahami penyebab robekan jalan lahir

g. Memahami tanda dan gejala robekan jalan lahir

h. Memahami penatalaksanaan robekan jalan lahir

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. EMBOLI AIR KETUBAN

1. DEFINISI

Emboli air ketuban atau amniotic fluid embolism (AFE) merupakan


suatu sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan
atau segera setelah melahirkan (postpartum).Emboli cairan amnion adalah
suatu gangguan kompleks yang secara klasik ditandai oleh terjadinya
hipotensi, hipoksia, dan koagulopati konsumtif secara mendadak.
AFE juga merupakan penyebab penting kematian maternal di
negara-negara berkembang. AFE memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Mortalitas dan morbiditas AFE telah menurun secara dramatis
akhir-akhir ini, dimana dilaporkan mortalitas maternal adalah sekitar 16%.
Insidensi yang sebenarnya tidak jelas disebabkan sindrom ini sulit untuk
dideteksi. ibu. Dengan menggunakan data dari 1,1 juta pelahiran di
California, Gilbert dan Danielsen (1999) memperkirakan frekuensinya
sekitar 1 kasus per 20.000 kelahiran.
2. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi AFE, masih belum jelas dan spekulatif, banyak teori-


teori berbeda yang dipublikasikan. Gei dan Hankins (2000) membuat suatu
patofisiologi AFE berupa tiga respon atau kombinasi respon klinis terhadap
debris fetal yang bersirkulasi. Repson inisial respirasi dimulai dengan
transient pulmonary vasospasm yang mungkin disebabkan oleh amniotic
microemboli yang mencetuskan pelepasan metabolit asam arachidonat dan
akhirnya terjadi hipertensi pulmonal, intrapulmonary shunting,
bronkokonstriksi, dan hipoksia berat. Komponen dari air ketuban yang
menyebabkan efek tersebut tidak diketahui secara pasti. Namun Clark
(1990) dengan penjelasan konvensional menyatakan komponen abnormal
seperti sel skuamous fetal, lanugo, dan meconium yang terdapat dalam air
ketuban menyebabkan obstruksi vascular paru-paru yang pada akhirnya
mengakibatkan hipertensi pulmonal, gagal jantung kanan dan kiri, hipotensi,
dan kematian. Bukti baru-baru ini menyarankan bahwa penyebabnya lebih
mungkin karena reaksi imunologis akibat pengaruh mediator-mediator
maternal.

Manifestasi kedua mencakup inotropisme negatif dan left ventricular


failure yang mengakibatkan meningkatnya edema pulmonal dan hipotensi
yang akhirnya terjadi syok. Manifestasi ketiga merupakan respon neurologis
terhadap kerusakan sistem respiratorik dan kerusakan hemodinamik, berupa
kejang, konfusi, atau koma. Sekitar 40%-50% pasien yang bertahan hidup
sampai titik ini akan mengalami koagulopati berat, biasanya disseminated
intravascular coagulation (DIC), mengakibatkan perdarahan uterus yang
tidak terkontrol serta perdarahan dari tempat tusukan seperti tempat insersi
untuk jalur intravena dan kateter epidural. Proses koagulopati ini dicetuskan
oleh beberapa komponen procoagulan dari air ketuban, yaitu tromboplastin
yang menginisiasi jalur ekstrinsik dari cascade pembekuan darah dan
mengakibatkan aktivitas fibrinolitik yang berlebihan.
Patofisiologi Emboli Air Ketuban
(Sumber:http://ccn.aacnjournals.or
g/cgi/reprint/24/4/54.pdf)
Sebelum onset tanda dan gejala maternal, perubahan inisial pada
pola denyut jantung janin menjadi jelas pada monitor fetal. Perubahan ini
terjadi karena penurunan perfusi uterus yang mengakibatkan penurunan
aliran darah plasenta yang berhubungan dengan hipotensi maternal.
Cadangan fetal yang diperlukan untuk menngkompensasi penurunan perfusi
ini dengan cepat akan hilang dan fetus akan menunjukkan tanda- tanda
hypoxia-induced stress. Denyut jantung janin yang normal berkisar antara
110-160/menit dengan variabilitas 6-25/menit.

Penurunan oksigenasi fetal akibat hipotensi dan hipoksia maternal


akan menyebabkan non-reassuring pattern pada denyut jantung janin
seperti:

Perubahan Pola Denyut Jantung Janin Akibat Hipoksia Fetal


(Sumber :http://ccn.aacnjournals.org/cgi/reprint/24/4/54.pdf)

Setiap pola yang terdapat pada tabel di atas mempunyai lebih dari satu
penyebab, beberapa diantaranya jinak dan mudah dikoreksi.
3. EPIDEMIOLOGI
4. TANDA GEJALA
5. PENYEBAB
Patofisiologi belum jelas diketahui secara pasti. Diduga bahwa terjadi kerusakan
penghalang fisiologi antara ibu dan janin sehingga bolus cairan amnion memasuki sirkulasi
maternal yang selanjutnya masuk kedalam sirkulasi paru dan menyebabkan:
 Kegagalan perfusi secara masif
 Bronchospasme
 Renjatan
Akhir akhir ini diduga bahwa terjadi suatu peristiwa syok anafilaktik akibat adanya antigen
janin yang masuk kedalam sirkulasi ibu dan menyebabkan timbulnya berbagai manifestasi
klinik.

Faktor Risiko Emboli air ketuban dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan namun sebagian
besar terjadi pada saat inpartu (70%), pasca persalinan (11%) dan setelah Sectio Caesar (19%).
Yang menjadi faktor risiko adalah beberapa hal berikut :
1) Multipara
2) Solusio plasenta
3) IUFD
4) Partus presipitatus
5) Suction curettahge
6) Terminasi kehamilan
7) Trauma abdomen
8) Versi luar
9) Amniosentesis

6. PREDISPOSISI
Penyebab kematian ibu dalam bidang obstetri disebabkan karena
infeksi, eklampsia, perdarahan, emboli air ketuban, trauma anestesi,
trauma operasi. Infeksi yang banyak dialami oleh ibu sebagian besar
merupakan akibat dari adanya komplikasi atau penyulit kehamilan, seperti
febris, korioamnionitis, infeksi saluran kemih, dan sebanyak 65% adalah
karena ketuban pecah dini (KPD) yang banyak menimbulkan infeksi pada
ibu dan bayi (Prawirohardjo, 2011). Ketuban pecah dini merupakan
komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan
mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada
bayi yang kurang bulan. Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34
minggu sangat kompleks, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan
terjadinya prematuritas dan RDS (Respiration Dystress Syndrome)
(Leeson, 2010) Ketika selaput ketuban pecah dan mikroorganisme masuk
ke dalam tubuh, zat-zat perantara kimiawi yang berasal dari jaringan yang
mengalami infeksi atau kerusakan dari leukosit aktif itu sendiri mengatur
kecepatan produksi berbagai jenis leukosit. Hormon-hormon yang analog
dengan eritropoietin mengarahkan diferensiasi, proliferasi, replikasi serta
pembebasan leukosit, sehingga pada beberapa ibu bersalin dengan KPD
akan ditemukan leukositosis (Prawirohardjo, 2011).
Defisiensi vitamin C dapat menimbulkan beberapa gejala, dari yang
ringan sampai berat. Defisiensi ringan ditandai dengan timbulnya
kelelahan, anoreksia, nyeri otot dan lebih mudah stress dan infeksi,
sedangkan defisiensi berat menimbulkan penyakit skorbut. Bila
pengobatan yang diberikan terlambat dapat menyebabkan kematian
(Almatsier, 2012). Manfaat vitamin C bagi kehamilan antara lain:
mempertahankan keutuhan membran yang menyelimuti janin dan
ketuban; mencegah ketuban pecah dini, membantu pembentukan Hb
darah, mencegah infeksi dan memperkuat daya tahan tubuh Secara khusus
vitamin C membantu terbentuknya jaringan kolagen sebagai jaringan ikat
untuk memperkuat membrane ketuban, menghindari infeksi yang
menyebabkan KPD. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh riwayat pemberian vitamin C pada ibu bersalin
terhadap kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD).
Ketuban pecah dini mempengaruhi 10-20% komplikasi yang terjadi
dari kehamilan dan penyebab utama kelahiran prematur, morbiditas, dan
mortalitas neonatal (Casaneuva E, 2005). Salah satu pemicu terjadinya
KPD adalah menurunnya integritas jaringan ikat membran korioamnion.
Rusaknya selaput membran korioamnion akibat dari proses pelepasan
toksin bakteri yang akan secara langsung menstimulasi sintesis
prostaglandin pada amnion dan korion serta melepaskan mediator
inflamasi dari sel desidua menstimulasi sel miometrium, dan protease
yang dihasilkan mampu merusak selaput membran korioamnion. Ketuban
pecah dini dapat di cegah dengan mengkonsumsi vitamin C 100mg/hari
pada wanita hamil usia kehamilan > 20 minggu (Fonghaha 2009)
Vitamin C memainkan peranan yang penting metabolisme kolagen
yang meningkatkan pemeliharaan ketahanan selaput ketuban. Hal ini di
bahas oleh penelitian. Pada kelompok pertama di berikan perlakuan
dengan 100 mg vitamin C setiap hari mulai ke 14 minggu dan kelompok
ke dua tanpa ada perlakuan kemudian dibandingkan pada kelompok
pertama pemberian vitamin C dapat mencegah KPD dengan kasus
kelompok pertama 31% sedangkan kelompok kedua 44,7%.(Huth J 2010).
Kerusakan kolagen sebagai komponen utama dari matriks
ekstraseluler membran ketuban (amnion dan korion), dianggap sebagai
faktor utama terjadinya ketuban pecah dini. pemberian suplemen vitamin
C pada masa kehamilan secara efektif dapat mengurangi kejadian ketuban
pecah dini. Vitamin C terlibat dalam pemeliharaan kolagen dan
antioksidan (Almatsier, 2012). Vitamin C yang adekuat dapat langsung
bertindak untuk meningkatkan tiga helix mRNA kolagen posttransciption.
Selain itu vitamin C bertidak sebagai kofaktor enzim untuk lysyl
hidroksilase dan prolyl hydroxylase untuk dapat membentuk
hidroksiprolin yang menyediakan tiga helix stabilisasi Vitamin C terlibat
dalam sintesis kolagen, sekresi kolagen dan pembentukan kolagen itu
sendiri. Vitamin C merupakan nutrisi penting terlibat dalam proses
biokimia. Vitamin C merupakan antioksidan yang menghalangi kerusakan
daristres oksidatif in vitro. Sehingga vitamin C dapat mencegah ketuban
pecah dini dengan perannya untuk antioksidan atau dalam sintesis kolagen
dan pemeliharaanya (Parry 1998).
(jurnal.poltekkes-mataram.ac.id)

7. KOMPLIKASI
8. PENATALAKSANAAN
9. WEWENANG BIDAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bidan sebagai penolong pertama selalu
melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan dalam menangani kasus
kegawatdaruratan obstetric. Dilihat dari status dan riwayat kehamilan yang
beresiko tersebut, seharusnya bidan tidak menangani sendiri di klinik sendiri yang
dimilikinya, tetapi harus dilakukan konseling sejak kehamilan pasien bahwa
kehamilannya merupakan kehamilan yang beresiko dan pssien dianjurkan untuk
sebaiknya melahirkan di fasilitas kesehatan yang komperehensif seperti rumah sakit
sehingga segera dapat penanganan yang cepat jika terjadi kegawatdaruratan
obstetric.

10. JURNAL HASIL PENELITIAN

B. Robekan Jalan Lahir


1. Definisi
Robekan jalan lahir adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan
maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan terjadi hampir pada semua
primipara (Prawirohardjo, 2009).
Robekan jalan lahir adalah robekan obstetric yang terjadi pada daerah perineum akibat
ketidakmampuan otot dan jaringan lunak pelvic untuk menakomodasi kan lahirnya fetus.Pada
dasarnya robekan perineum dapat dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul
dilewati kepala janin terlalu cepat.( Fatimah, prasetya.2019: hal 153)

2. Patofisiologi
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada

persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan maupun dikurangi dengan menjaga agar

jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat, sebaliknya apabila kepala

janin akan lahir jangan ditahan terlalu kuat dan lama karena akan menyebabkan asfiksia dan

perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul

karena diregangkan terlalu lama (Cunningham, 2013).

Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala

janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari biasa sehingga kepala janin terpaksa

lahir lebih belakang daripada biasanya, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan
ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipitobregmatika, atau anak dilahirkan

dengan pembedahan vaginal. Adanya desakan tiba- tiba dan karena pergerakan pada vulva

sehingga membuat integritas kulit menjadi rusak dan kontiunitas jaringan dan pembuluh

kapiler darah terpisah(Wiknjosastro, 2008). Adanya perlukaan yang luas di bagian yang tidak

bisa berkontraksi akan menyebabkan perdarahan yang banyak (Chalik, 2006).

Bagan 1 : Patofisiologi robekan perineum

Kepala Janin Lahir terlalu cepat

Sudut arkus pubis lebih kecil dari biasa

Kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar

Robekan perineum

Terputusnya pembuluh darah pada perineum

Luka terbuka

Perdarahan
3. Epidemiologi
 Robekan spontan karena partus macet (Manuaba, 2008).
 Gagal atau terlambat melakukan tindakan episiotomi (Manuaba, 2008).
 Memimpin persalinan sebelum pembukaan lengkap (Christanto, 2014).
 Kepala janin terlalu cepat lahir dan partus presipitatus (Manuaba, 2007).

4. Tanda Gejala
a) Tanda dan gejala robekan jalan lahir diantaranya adalah perdarahan, darah segar yang
mengalir setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan plasenta normal.
 Kontraksi uterus kuat, keras, dan mengecil
 Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir.Perdarahan ini terus menerus setelah
massage atau pemberian uterotonika langsung mengeras tapi perdarahan tidak
berkurang.Dalam hal apapun, robekan jalan lahir harus dapat diminimalkan karna tak
jarang perdarahan terjadi karna robekan dan ini menimbulkan yang fatal seperti terjadi
syok (Rukiyah, 2012)
 Bila perdarahan berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan adanya
retensi plasenta maupun sisa plasenta, kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir.
b) Gejala yang sering terjadi antara lain pucat, lemah, pasien dalam keadaan menggigil

5. Penyebab
a) Paritas
Adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari 500 gr yang pernah dilahirkan hidup
maupun mati bila berat badan tidak diketahui maka dipakai umur kehamilan lebih dari 24
nminggu.Robekan perineum hampir terjadi pada semua persalinan pertama (primipara) dan
tidak jarang pada persalinan berikutnya (multipara)
b) Berat Bayi Lahir
Semakin besar berat bayi dilahirkan meningkatkan risiko terjadinya rupture
perineum.Bayi besar adalah bayi yang begitu lahir memiliki berat lebih dari 4000 gr.Hal ini
terjadi karena semakin besar bayi berat badan bayi yang dilahirkan akan meningkatkan
risiko terjadinya rupture perineum karna perineum tidak cukup menahan regangan kepala
bayi dengan berat badan.Kelebihan berat badan dapat disbabkan oleh beberapa hal
doiantaranya ibu menderita DM, ibu yang meiliki riwayat melahirkan bayi besar, factor
genetic, dan pengaruh kecukupan gizi.Berat bayi lahir normal adalah sekitar 2500-4000
gram
c) Cara Mengejan
Kekuatan kontraksi rahim dibantu tenaga ibu yang kuat waktu mengejan, akan
mendorong kepala bayi berada pada dasar otot panggul. Pelahiran kepala bayi dilakukan
diantara kontraksi, alasannya adalah bahwa kombinasi kontraksi dan upaya mendorong ibu
memberikan kekuatan pada saat melahirkan.Hal ini membuat pelahiran kepala lebih cepat
dan melepaskan tekanan secara mendadak, yang keduanya meningkatkan risiko kerusakan
intracranial bayi dan laserasi pada jalan lahir .
d) Elastisitas Perinium
Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat persalinan kala II dan dapat
meningkatkan resiko terhadap janin.Juga menyebabkan robekan perineum yang luas sampai
tingkat 3.Hal ini sering ditemui pada primigravida berumur diatas 35 .
e) Umur Ibu <20 Tahun dan > 35 Tahun
Pada umur < 20 tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna,
sehingga bila terjaid kehamilan dan persalinan akan lebih mudah mengalami
komplikasi.Selain itu, otot-otot perineum dan otot-otot perut belum bekerja secara optimal,
sehingga sering terjadi persalinan lama atau macet yang memerlukan tindakan.
f) Faktor penolong
Diantaranya adalah pimpinan persalinan yang salah, cara menahan perineum dan cara
berkomunikasi penolong dengan ibu bersalin dapat mempengaruhi terjadinya rupture
perineum.

6. Predisposisi
 Paritas (Primigravida lebih berisiko) (Saifuddin, 2009).
 Bayi besar (Varney, 2007).
 Posisi janin (Varney, 2007).
 Trauma forceps atau ekstraksi vacuum (Christanto, 2014).
 Persalinan dengan tindakan episiotomy (Manuaba, 2008).
 Persalinan dilakukan dengan tergesa-gesa, dengan dorongan fundus yang
berlebihan (Saifuddin, 2009).

7. Komplikasi
a) Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karna perdarahan pasca persalinan dalam waktu 1 jam
setelah melahirkan.Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama kala 1 dan kala 4
persalinan sangat penting.Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital,
mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan dan menilai tonus
otot.
b) Fistula
Fistula dapat terjadi tanda diketahui penyebabnya karna perlukaan pada vagina
menembus kandung kencing atau rectum.Jika kandung kencing luka, maka air kencing akan
segera keluar melalui vagina.Fistula dapat menekan kandung kemih atau rectum yang lama
antara janin dan panggul sehingga terjadi iskemia
c) Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karna adanya penekanan
kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri pada perineum dan
vulva berwarna biru dan merah
d) Infeksi
Infeksi masa nifas adalah peradangan disekitar alat genetalia pada kala nifas.Perlukaan
pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman kedalam tubuh sehinnga dapat
menimbulkan infeksi
(Fatimah, prasetya.2019 : hal 171-173)

8. Penatalaksanaan
a) Massage pada perineum
Perineum massage adalah teknik menjahit perineum disaat hamil atau beberapa minggu
sebelum melahirkan guna meningkatkan perubahan hormonal yang melembutkan jaringan
ikat, sehingga jaringan perineum lebih elastic dan lebih mudah merenggang.Teknik ini
dapat dilakukan satu kali sehari selama beberapa minggua terakhir kehamilan didaerah
perineum
b) Penjahitan Robekan Perinium
(1) Pengertian
Penjahitan luka adalah suatu tindakan untuk mendekatkan tepi luka dengan benang
sampai sembuh
(2) Tujuan
 Untuk mendekatkan jaringan-jaringan perlukaan sehingga proses penyembuhan
bisa terjadi, proses penyembuhan itu bukanlah hasil dari penjahitan tersebut tetapi
hasil dari pertumbuhan jaringan
 Untuk menghentikan perdarahan
(3) Prinsip Dasar Penjahitan Perinium
 Ibu dalam posisi litotomi
 Pengunaan cahaya yang cukup terang
 Tindakan cepat
 Teknik yang steril
 Bekerja hati-hati kassa jangan sampai tertinggal di vagina

c) Klasifikasi Derajat Laserasi Jalan Lahir


Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling jauh terhadap penolong
(Kemenkes RI, 2013).
Menurut (Sulistyawati,2012: 181) derajat laserasi jalan lahir adalah sebagai berikut :
 Derajat I
Laserasi mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum.Tidak perlu
dijahit jika tidak ada perdarhan dan posisi luka baik. Robekan perineum yang melebihi
derajat 1 harus di jahit  dengan penderita berbaring secara litotomi dilakukan
pembersihan luka dengan cairan anti septic dan luas robekan ditentukan dengan seksama.
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan memakai catgut yang
dijahitkan secara jelujur atau dengan cara jahitan angka delapan dengan catgut kromik 2-
0 (Jems, 2012; Saifuddin, 2014).

 Derajat II
Laserasi mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot
perineum.Jahit menggunakan teknik yang sesuai kondisi pasien. Pada derajat 2, setelah
diberi anastesi local otot-otot diafragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah dengan
jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan
mengikutsertakan jaringan dibawahnya.
(a) Jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang
bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu.Pinggir robekan sebelah kiri dan
kanan masing-masing dijepit dengan klem terlebih dahulu, kemudian digunting.
Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
(b) Diawali dengan jahitan mukosa dengan benang catgut :
(1) Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan benang 2-0 mulai dari 1 cm di atas
puncak luka di dalam vagina sampai pada batas vagina (Kemenkes RI, 2013;
Saifuddin, 2014).
Gambar 1: Penjahitan Mukosa Vagina
Sumber :Kemenkes RI (2013).

(c) Dilanjutkan dengan jahitan otot :


(1)Lanjutkan jahitan pada daerah otot perineum sampai ujung luka pada perineum
secara jelujur dengan benang 2-0 (JEMS, 2012; Kemenkes RI, 2013; Saifuddin,
2014).
(2)Lihat ke dalam luka untuk mengetahui letak ototnya (Kemenkes RI, 2013;
Saifuddin, 2014).
(3)Penting sekali untuk menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga di antaranya
(Kemenkes RI, 2013; Saifuddin, 2014)

Gambar 2 : Penjahitan Otot Perineum


Sumber :Kemenkes RI (2013)

(d) Jahitan Kulit


(1) Carilah lapisan subkutikuler persis di bawah lapisan kulit (Kemenkes RI, 2013;
Saifuddin, 2014).
(2) Lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali ke arah batas vagina, akhiri
dengan simpul mati pada bagian dalam vagina (Kemenkes RI, 2013; Saifuddin,
2014).
(3) Potong kedua ujung benang, dan hanya disisakan masing masing 1 cm
(Kemenkes RI, 2013; Saifuddin
Gambar 3 : Penjahitan Kulit Perineum
Sumber :Kemenkes RI (2013).

 Derajat III
Laserasi mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot
perineum,otot spingter ani. Pada derajat 3 dilakukan dengan teliti : dinding depan rectum
yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal ditutup, dan muskulus sfingter ani eksternus
yang robek dijahit. Lakukan penutupan robekan.
(a) Lakukan inspeksi pada vagina dan perineum untuk melihat robekan (Saifuddin, 2009).
(b) Jika ada perdarahan yang menutupi luka perineum, pasang tampon atau kasa ke dalam
vagina (sebaiknya menggunakan tampon yang berekor benang) (Saifuddin, 2009).
(c) Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci pemegang jarum
(Saifuddin, 2009).
(d) Pasang benang jahit (kromik 2/0) pada mata jarum (Saifuddin, 2009).
(e) Tentukan dengan jelas batas luka robekan (Saifuddin, 2009).
(f) Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah akibat robekan dijepit dengan klem
(Saifuddin,2009; JEMS, 2012).
(g) Tautkan ujung otot sfingter ani dengan 2-3 jahitan benang 2-0 angka 8 secara
interuptus (Kemenkes RI, 2013; Saifuddin, 2009).
(h) Larutan antiseptik pada daerah robekan (Kemenkes RI, 2013).
(i) Dilanjutkan dengan penjahitan robekan lapis demi lapis seperti menjahit robekan
perineum derajat II (Jems, 2012; Kemenkes RI, 2013; Saifuddin, 2009).

 Derajat IV
Laserasi mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot
perineum,otot spingter ani,rektum. Sedangkan pada derajat 4 dilakukan rujukan
Khusus pada robekan perineum derajat IV dilakukan penjahitan lapis demi lapis
dengan bantuan bougie pada rectum (Edwin, 2011).

Gambar 4 : Penjahitan Sfingter Ani

(a) Untuk membuat simpul mati benar-benar kuat, buatlah 1 1 2

simpul mati. Potong kedua ujung benang, dan hanya disisakan masing-masing 1 cm
(Saifuddin, 2014).
(b) Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan colok rectal, dan pastikan tidak ada
bagian rectum yang terjahit (Saifuddin, 2014).
(c) Perawatan pascatindakan :
- Observasi tanda-tanda infeksi
- Jangan lakukan pemeriksaan rectal selama 2 minggu (Saifuddin, 2014).

Robekan perineum terjadi hampir pada semua persalinan pertama dan tidak jarang pada
persalinan berikutnya. Luka perineum setelah persalinan ada 2 macam yaitu terdiri dari:
a) Rupture
Rupture adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan secara
alamiah karna proses desakan kepada janin atau
b) Episiotomy
Adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput
lendir vagina, cincin se;aput darah, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia
perineum dan kulit sebelah depan perineum (Prawiraharjo,2011)
Tingkat episotomi menurut Manuaba (2007) antara lain :
Tingkat Jaringan terkena Keterangan
episiotomy
Pertama ·         ·         Mungkin
Fourchet tidak perlu
te dijahit
·         Kulit ·         Menutup
perineum sendiri
·        
Mukosa
vagina
Kedua ·         Fascia ·         Perlu dijahit
+
muskulu
s badan
perineum
Ketiga ·         ·         Harus dijahit
Ditamba legeartis
h dengan sehingga tidak
sfincter menimbulkan
ani inkontinensia
Keempat ·         ·         Teknik
Ditamba menjahit
h dengan khusus
mukosa sehingga tidak
rektum menimbulkan
fistula
d) Nasehati ibu untuk :
 Menjaga periniumnya untuk selalu tetap bersih dan kering
 Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineum
 Cuci periniumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir tiga sampai empat kali
perhari
 Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya
 Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan busuk
dari daerah lukanya jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri (Ari Sulistyawati, 2012, hal
189)

9. Wewenang Bidan
Bidan berperan penting dalam penurunan AKI/AKB, namun Permenkes No. 1464 tahun
2010 mengurangi kewenangan praktik bidan mandiri. Ada pembatasan kewenangan praktik
bidan yang cukup banyak pada permenkes No 1464 tahun 2010 dibandingkan dengan
kepmenkes No 90 Tahun 2002 dan pada pada praktik bidan masih banyak yang menjalankan
permenkes tersebut.
Permenkes No. 1464 Tahun 2010 pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa kewenangan bidan
dalam upaya pelayanan kesehatan ibu antara lain : pelayanan ibu nifas normal, artinya
kewenangan bidan pada kehamilan, persalinan dan nifas abnormal tidak diatur. Akibat
pembatasan kewenangan praktik bidan mandiri menimbulkan kitdak sinkronan permenkes No
1464 Tahun 2010 dengan kepmenkes No 369 Tahun 2007 yang memuat 9 kompetensi dan
menimbulkan hak melakukan bagi bidan. Dan permenkes No. 1464 tahun 2010 pasaal 3 butir
(c) menyebutkan bidan berwenang memberikan pelayanan “ penanganan kegawat- daruratan,
dilanjutkan perujukan”.
Permenkes No. 1464 tahun 2010 tidak mengatur bidan dalam melakukan episiotomy yang
luas/diperluas. Hanya episiotomy dengan penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan Tingkat II.
Namun bila bidan menghadapi kasus penyulit persalinan seperti distosia bahu yang merupakan
kegawatdaruratan kebidanan. Kewenangan tersebut bisa diberikan dengan tujuan
penyelamatan nyawa ibu dan janin seperti pada pasal 10 ayat 3 butir (c) dan sebagaimana
disebutkan dalam undang-undang Nomor 36 tahun 2009 pasal 32.
Luka jalan lahir akibat dilakukan tindakan episiotomi yang luas atau diperluas bisa terjadi
pada Tingkat III dan IV. Tingkat III : robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter
ani dan Tingkat IV : robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa
rektum. Memperbaiki luka jalan lahir Tingkat III dan IV tidak diberikan kepada bidan dan
bidan harus segera mencari bantuan dengan sistem rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
yang ada dokter spesialisnya dengan alasan kompetensi bidan dalam penjahitan otot sfingter
ani dan otot rektum.
Sebagai seorang bidan dalam memerikan asuhan harus berdasarkan aturan atau hokum yang
berlaku, sehingga penyimpangan terhadap hokum (mal praktik)
dapat dihindarkan dalam memberikan asuhan kebidanan dengan robekan jalan lahir,
landasan hokum yang digunakan antara lain: Berdasarkan PERMENKES RI
NO.1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Pasal 10
yaitu Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana maksud pada ayat (2) berwenang
untuk :
1) Episiotomy
2) Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
3) Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan.
4) Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
5) Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
6) Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusui dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif
7) Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala III dan postpartum
8) Penyuluhan dan konseling
9) Bimbingan pada kelompok ibu hamil
10)Pemberian surat keterangan kematian
11)Pemberian surat keterangan cuti bersalin

10. Jurnal Hasil Penelitian


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka Prawitasari, Anafrin Yugostyowati, Dyah Kartika
Sari, 2015 dengan judul“Penyebab Terjadinya Ruptur Perinium Pada Persalinan Normal, Di
Rsud Muntilan, Kabupaten Magelang “bahwa Hubungan antara Ruptur Perineum dengan
Umur Ibu hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum
derajat 1 sebanyak 1 orang dengan umur ibu <20 tahun (2,43%) dan 7 orang ibu bersalin dengan
umur ibu 20-35 tahun (17,07%). Pada ibu bersalin yang mengalami derajat 2 sebanyak 1 orang
dengan umur ibu <20 tahun (2,43%), 17 orang ibu bersalin dengan umur ibu 20-35 tahun
(41,46%), dan 6 orang ibu bersalin dengan umur ibu >35 tahun (14,63%); sedangkan pada ibu
bersalin yang mengalami derajat 3 sebanyak 1 orang dengan umur ibu <20 tahun (2,43%), 5 orang
ibu bersalin dengan umur ibu 20- 35 tahun (12,19%), dan 3 orang ibu bersalin dengan umur ibu
>35 tahun (7,31%).
Menurut Mochtar, meskipun umur ibu normal apabila tidak berolahraga dan rajin
bersenggama dapat mengalami ruptur perineum(6). Kelenturan jalan lahir dapat berkurang
apabila calon ibu kurang berolahraga atau genetalianya sering terkena infeksi. Infeksi akan
mempengaruhi jaringan ikat dan otot di bagian bawah dan membuat kelenturannya hilang
(karena infeksi dapat membuat jalan lahir menjadi kaku). Hal ini juga dipengaruhi oleh
perineum yang sempit dan elastisitas perineum sehingga akan mudah terjadinya robekan jalan
lahir, oleh karena itu bayi yang mempunyai lingkar kepala maksimal tidak dapat melewatinya
sehingga dapat menyebabkan ruptur perineum.
Selanjutnya adapun Hubungan antara Ruptur Perineum dengan Berat Badan Bayi Lahir,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum derajat
1 sebanyak 8 orang ibu yang melahirkan dengan berat badan bayi lahir 2.500-4.000 gram
(19,51%). Pada ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum derajat 2 sebanyak 7 orang ibu
yang melahirkan dengan berat badan bayi lahir <2.500 gram (17,07%), 16 orang ibu bersalin
yang melahirkan dengan berat badan bayi lahir 2.500-4.000 gram (39,02%), dan 1 orang ibu
bersalin yang melahirkan dengan berat badan bayi lahir >4.000 gram (2,43%); sedangkan pada
ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum derajat 3 sebanyak 3 orang ibu yang melahirkan
dengan berat badan bayi lahir 2.500-4.000 gram (7,31%) dan 6 orang ibu yang melahirkan
dengan berat badan bayi lahir >4.000 gram (14,63%).Hasil penelitian yang didapatkan
menunjukkan kesesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa semakin besar berat badan bayi
yang dilahirkan akan meningkatkan resiko terjadinya ruptur perineum, karena perineum tidak
cukup kuat menahan proses kelahiran bayi dengan berat badan bayi lahir yang besar sering
terjadi ruptur perineum(11)..
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Elisa, Siti Nur Endah, Sri Yuniarti , 2016 dengan
judul“Hubungan Paritas Dengan Terjadinya Robekan Perinium Spontan Pada Persalinan
Normal Di Pmb Delima Tampubolon Kota Cimahi”Bahwa berdasarkan hasil analisis
hubungan paritas dengan kejadian robekan perineum spontan pada ibu bersalin di PMB Delima
Tampubolon kota Cimahi tahun 2015, dapat diketahui bahwa dari 126 paritas primipara
sebagian besar mengalami robekan spontan sebanyak 107 (84,9 %), dan dari 229 ibu dengan
multipara lebih dari setengahnya yaitu 143 (62,4%) mengalami robekan perineum spontan,
sedangkan dari 18 paritas grandemultipara sebagian besar yaitu 17 (94,4%) tidak mengalami
robekan perineum spontan.
Penelitian ini terjadi pada primipara sebagian besar 84,9 % mengalami robekan perineum
sponta, hal ini dapat disebabkan karna pada primipara perineum masih utuh dikarenakan jalan
lahir belum pernah dilalui oleh bayi sehingga otot- otot perineum belum merenggang.Namun
pada paritas multipara robekan lebih terjadi dari setengahnya 62, 4%, hal ini dapat disebabkan
karna selain factor paritas dapat juga disebabkan oleh factor lain janin seperti berat badan bayi
lahir, partus presipaturus, dan factor penolong persalinan seperti cara memimpin mengejan saat
kala 2 persalinan dan cara bidan menahan perineum saat menolong persalinan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori prawirahardjo, Sarwono 2013 dan teori Triana
(2015) yang mengatakan bahwa robekan perineum hamper terjadi pada semu persalinan
pertama (primipara) dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya (multipara).
DAFTAR PUSTAKA

http://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/3ce328390b41f7a823fa1bb4e556d6dc.pdf
http://docshare01.docshare.tips/files/28436/284361945.pdf
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/47594/MTgyMzA4/Asuhan-kebidanan-ibu-
nifas-pada-ny-i-umur-21-tahun-p2a0-dengan-perdarahan-primer-karena-laserasi-porsio-
dan-robekan-perineum-derajat-iii-di-RSUD-Karanganyar-BAB-II.pdf

Anda mungkin juga menyukai