Anda di halaman 1dari 12

Hukum Aborsi dan Sanksi atas Pelakunya

Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam


Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah
ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4
(empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan
keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum
ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.1
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w.
1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang
mengalami pertumbuhan. 1,2
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M)
dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud
Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel
sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada
kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru
yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.
Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan
lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau
dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81;
M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai
Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus
Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79). 1,2
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi
setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh
terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa
Rasulullah Saw telah bersabda: 2
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari
dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam
bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” [HR. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti
membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan
yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-An’aam [6]: 151).
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra` [17]: 31).
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra` [17]: 33).
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia
dibunuh.” (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa
atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu
tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam. 2

Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para
fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat Syaikh Abdul
Qadim Zallum (1998) dan Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih
rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau
42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin,
maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi
setelah peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya
belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. 1,2

Pertama; Hukum Aborsi Setelah Ditiupkan Ruh. Para ulama sepakat tentang keharaman
aborsi jika dilakukan setelah peniupan ruh, yaitu setelah janin berusia 120 hari dari awal
kehamilan, karena aborsi dihukumi setelah peniupan ruh terhadap janin. Pengharaman ini
termasuk jika keberadaan anak “masih dianggap” dapat membahayakan ibunya, karena
kematian ibunya dianggap belum pasti sementara aborsi sudah pasti membunuh janin. Hal ini
dikembalikan kepada kondisi ibu, jika dapat dipastikan dengan keyakinan dan melalui medis
bahwa keberadaan janin di dalam kandungan membahayakan nyawa ibunya, maka harus
diambil tindakan aborsi. Dalilnya: 3

َ‫ط ِن أ ُ ِهمه أَ ْربَ ِعيْن‬


ْ َ‫صد ُْو ُق ; إِ َّن أ َ َحدَ ُك ْم لَيُجْ َم ُع خ َْلقُهُ فِ ْي ب‬ْ ‫ِق ْال َم‬ُ ‫صاد‬ ‫س ْو ُل ه‬
َّ ‫ َوه َُو ال‬r ِ‫ّللا‬ ُ ‫ّللاُ َع ْنهُ قا َ َل ; َحدَّثَنا َ َر‬
‫ي ه‬ ِ ‫َع ِن اب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد َر‬
َ ‫ض‬
َ
‫ َويُؤْ َم ُر ِبأ ْر َب ِع‬، ‫الر ْو َح‬ ْ
ُّ ‫س ُل ِإلَ ْي ِه ال َملَكُ فَيَ ْنفُ ُخ فِ ْي ِه‬ ْ ً
َ ‫ ث ُ َّم ي ُْر‬، َ‫ضغَة ِمث َل ذاَلِك‬ ْ ‫ ث ُ َّم يَ ُك ْونُ ُم‬، َ‫ ث ُ َّم َي ُك ْونُ َعلَقَة ِمث َل ذاَلِك‬، ً‫طفَة‬
ْ ً ْ ُ‫يَ ْوما ً ن‬
- ‫س ِعيْد – الحديث رواه أحمد‬ َ ‫ي أ َ ْو‬ َ ‫ َوه َْل ه َُو‬، ‫ َو َع َم ِله‬، ‫ َوأ َ َج ِله‬، ‫ت ; ِر ْزقِه‬
ٌّ ‫ش ِق‬ ٍ َ ‫َك ِلما‬

“Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata: “Bahwa Rasulullah SAW telah bersabda kepada kami -
beliau jujur dan terpercaya-; “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian benar-benar
berproses kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud air mani; kemudian
berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal darah; lantas berproses lagi selama 40 hari
menjadi segumpal daging; kemudian malaikat dikirim kepadanya untuk meniupkan ruh ke
dalamnya; lantas (sang janin) itu ditetapkan dalam 4 ketentuan: ditentukan (kadar) rizkinya,
ditentukan batas umurnya, ditentukan amal perbuatannya, dan ditentukan apakah tergolomg
orang celaka ataukah orang yang beruntung.” (HR. Ahmad)

Adapun pelaku aborsi ini, setelah peniupan ruh dianggap telah melakukan kriminal dan
atasnya sanksi ghurrah (diyat janin) yang harus dibayar karena telah melakukan pembunuhan
terhadap manusia dan menghilangkan nyawa. 3

Kedua; Hukum Abaorsi Sebelum Ditiupkan Ruh. Para ulama dari berbagai kalangan
berbeda pendapat tentang aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh, atau sebelum janin
berusia 120 hari sejak kehamilannya, bahkan dari kalangan madzhab pun berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat tersebut dalam masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut; 3
1. Haram hukumnya, pendapat ini disandaran kepada madzhab Al-Mâ Imam ad-Dardîr
mengatakan: “Tidak boleh menggugurkan (mengeluarkan) mani yang sudah terbentuk
di dalam rahim meskipun belum cukup 40 hari”, Ad-Dasûqî mengatakan: “yang
dimaksud oleh Imam ad-Dardîr adalah haram”. Menurut Ibnu Rusyd, Imam Mâlik
mengatakan: “Setiap yang dibuang (digugurkan) oleh perempuan adalah jinâyah
(kriminal) baik berupa segumpal darah atau daging, yang sudah diketahui bahwa itu
adalah janin maka baginya ghurrah (sanksi)”, bahkan menurut Imam Mâlik sebaiknya
dikenakan kaffârah (denda) dang ghurrah sekaligus. 3
2. Hukumnya makruh secara mutlak, pendapat ini disandarkan kepada madzhab Al-
Hanafiyah. Imam Ali bin Musa dari ulama Hanafiyah, dan Ibnu ‘Abidîn menukil
darinya, ia berkata bahwa: “Dimakruhkan (hukumnya) membuang (menggugurkan)
sebelum ditiupkan ruh, karena air mani yang telah terbuahi di dalam rahim
berpontensi hidup, maka statusnya sama dengan hidup”. Madzhab Al-Mâlikiyah juga
memakruhkan jika janin sebelum 40 hari. Imam ar-Ramlî dari kalangan ulama Asy-
Syâfi’iyah berkesimpulan bahwa makruh hukumnya pengguguran janin sebelum
peniupan ruh hingga mendekati waktu peniupan ruh dan haram hukumnya waktunya
telah mendekati peniupan ruh karena hal itu termasuk kriminal. 3
3. Hukumnya mubah secara mutlak, pendapat ini disandarkan kepada sebagian ulama
Al-Hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa hukumnya mubah (boleh) menggugurkan
kehamilan selama belum ditiupkan ruh pada janin. Imam Al-Lakhmî dari ulama Al-
Mâlikiyah dan Abu Ishâq al-Marwazî dari kalangan Asy-Syâfi’iyah, mengatakan
hukumnya mubah sebelum umur janin 40 hari. Juga pendapat madzhab Al-Hanâbilah
yang membolehkan menggugurkan pada fase awal (40 hari) kehamilan karena
perempuan dibolehkan minum obat untuk menggugurkan sperma (fase awal), tetapi
tidak untuk segumpal darah. 3
4. Hukumnya mubah karena ada udzur (alasan syar’iy). Pendapat ini sebenarnya adalah
pendapat madzhab Al-Hanafiyah, Ibnu ‘Abidîn menegaskan bahwa tidak boleh
menggugurkan janin tanpa ada udzur (alasan), alasan yang dimaksud adalah alasan
terpaksa (dharûrat) yaitu terhentinya air susu ibunya setelah hamil dan bapaknya
tidak mampu menyewa ibu susuan dan khawatir akan kebinasaan. 3

Berdasarkan beberpa hukum aborsi dari berbagai kalangan ulama madzhab sebagaimana
disebutkan di atas, dapat diringkas bahwa hukumnya setelah peniupan ruh ke dalam janin
adalah haram secara aklamasi (ijma’ ulama). Baik dengan cara meminum obat, melakukan
gerakan-gerakan yang keras, maupun tindakan medis; baik dilakukan oleh pihak ibu, ayah,
maupun dokter. Sebab, abortus merupakan tindakan pelanggaran terhadap jiwa manusia yang
terpelihara darahnya. 3 Allah SWT berfirman:

ِ ‫ّللاُ ِإال ِب ْال َح ه‬


[)١٥١( … ‫ق‬ َّ ‫س الَّتِي َح َّر َم‬
َ ‫] … َوال ت َ ْقتُلُوا النَّ ْف‬

“…dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar…” (QS. Al-An’âm [6]: 151)
Tindakan ini termasuk tindakan kriminal yang mewajibkan diyat (tebusan) yang ukurannya
sama dengan diyat ghurrah budak lelaki maupun perempuan, yang nilainya sepersepuluh
(10%) diyat membunuh manusia dewasa. Dalilnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah RA, berkata;

] ‫ط َم هِيتًا ِبغُ َّر ٍة َع ْب ٍد أ َ ْو أَ َم ٍة‬ َ َ‫ين ا ْم َرأَةٍ ِم ْن بَنِي لَحْ يَان‬


َ َ‫سق‬ َّ ‫سو ُل‬
ِ ِ‫ فِي َجن‬r ِ‫ّللا‬ َ َ‫[ ق‬
ُ ‫ضى َر‬

“Bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan atas janin perempuan dari Banî Lahyân yang
janinnya keguguran dengan ghurrah (tebusan) diyat budak lelaki atau perempuan.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim)

Standar bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diyat ghurrah, adalah setelah
nampak jelas bentuknya sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan,
kaki, atau kuku. 3

Adapun hukum pengguguran sebelum janin ditiupkan ruh adalah, (1) jika dilakukan setelah
berumur 40 hari sejak awal kehamilan, dimana proses penciptaan dimulai, maka hukumnya
juga haram. Dalilnya hadits Imam Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata,
aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: 3

َ ‫ص َرهَا َو ِج ْلدَهَا َولَحْ َم َها َو ِع‬


‫ ث ُ َّم‬،‫ظا َم َها‬ َ َ‫ص َّو َرهَا َو َخلَق‬
َ ‫س ْم َع َها َو َب‬ َ ‫ َب َع‬،ً‫َان َوأ َ ْر َبعُونَ لَ ْيلَة‬
َ َ‫ ف‬،‫ث هللاُ ِإلَ ْي َها َملَ ًكا‬ ْ ُّ‫[ ِإذَا َم َّر ِبالن‬
ِ ‫طفَ ِة ثِ ْنت‬
) ‫ضي … ] ( رواه مسلم‬ ُ
ِ ‫ يَا َربه ِ أَذَكَر أَ ْم أ ْنثَى؟ فَيَ ْق‬:َ‫قَال‬

“Jika nuthfah (zigote) telah berlalu 42 malam, Allah akan mengutus padanya seorang
malaikat. Maka malaikat itu akan membentuknya, mencipta pendengarannya,
penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat berkata, ”Wahai
Tuhanku, apakah dia ditetapkan laki-laki atau perempuan?” Maka Allah memberi
keputusan…”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain disebutkan: 40 malam (arba’ina lailatan). Jadi, pengguguran janin
pada saat permulaan proses penciptaannya, maka hukumnya sama dengan pengguguran janin
yang telah ditiupkan ruh padanya, yaitu haram. Hal itu karena ketika dimulai proses
pembentukan janin dan sudah tampak sebagian anggota tubuhnya, dipastikan janin itu adalah
janin yang hidup dan sedang menjalani proses untuk menjadi seorang manusia sempurna. 3

Karena itu, penganiayaan terhadap janin tersebut sama saja dengan penganiayaan terhadap
jiwa seorang manusia yang terpelihara darahnya. Penganiayaan tersebut dipandang sebagai
pembunuhan terhadap janin dan pelakunya berkewajiban membayar diyat berupa ghurrah
budak laki-laki atau perempuan. Allah SWT jelas-jelas telah mengharamkan tindakan ini,
sebagaimana firman-Nya: 3

ْ َ‫ب قُتِل‬
[)٩( ‫ت‬ ٍ ‫ي ذَ ْن‬‫)بِأ َ ِه‬٨( ‫ت‬ ُ ُ ‫]وإِذَا ْال َم ْو ُءودَة‬
ْ َ‫سئِل‬ َ

“Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka
dibunuh?” (QS. At-Takwîr [81]: 8-9)
Atas dasar ini, seorang ibu, ayah, atau dokter haram melakukan abortus setelah janin berumur
40 hari sejak awal kehamilan. Siapa saja yang melakukan tindakan itu, berarti ia telah
melakukan tindakan kriminal dan melakukan dosa. Ia wajib membayar diyat atas janin yang
digugurkannya itu, yakni diyat ghurrah. 3

Kesimpulannya; aborsi tidak boleh dilakukan, baik pada fase pembentukan janin (40 hari)
maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika para dokter yang adil (bukan orang
fasik, pen.) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan
kematian ibunya, sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi semacam ini, aborsi
dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya.

Pandangan Aborsi dari Agama Kristen3

Dalam Alkitab dikatakan dengan jelas betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas pembunuhan
seperti yang dilakukan dalam tindakan aborsi.
a. Jangan pernah berpikir bahwa janin dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.
Yer 1:5 ~ “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal
engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku
telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Kej 16:11; Kej 25:21-26; Hos 12:2-3; Rom 9:10-13; Kel 21-22; Yes 7:14; Yes 44:2,24; Yes
46:3; Yes 49:1-2; Yes 53:6; Ayb 3:11-16; Ayb 10:8-12; Ef 1:4; Mat 25:34; Why 13:8; Why
17:8
b. Hukuman bagi para pelaku aborsi sangat keras.
Kel 21:22-25 ~ Apabila ada orang berkelahi dan seorang dari mereka tertumbuk kepada
seorang perempuan yang sedang mengandung, sehingga keguguran kandungan, tetapi tidak
mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka pastilah ia didenda sebanyak yang
dikenakan oleh suami perempuan itu kepadanya, dan ia harus membayarnya menurut putusan
hakim. Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau
harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan,
kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.
c. Aborsi karena alasan janin yang cacat tidak dibenarkan Tuhan.
Yoh 9:1-3 ~ Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-
muridNya bertanya kepadaNya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau
orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang
tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia…”
Kis 17:25-29; Mzm 94:9; Rom 8:28; Im 19:14; Yes 45:9-12
d. Aborsi karena ingin menyembunyikan aib tidak dibenarkan Tuhan.
Kej 19:36-38 ~ Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. Yang lebih tua
melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang
sekarang. Yang lebih mudapun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-
Ami; dialah bapa bani Amon yang sekarang.
Kej 50:20; Rom 8:28
e. Tuhan tidak pernah memperkenankan anak manusia dikorbankan. Apapun alasannya.
Kel 1:15-17 ~ Raja Mesir juga memerintahkan kepada bidan-bidan yang menolong
perempuan Ibrani, seorang bernama Sifra dan yang lain bernama Pua, katanya: “Apabila
kamu menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu harus memperhatikan waktu
anak itu lahir: jika anak laki-laki, kamu harus membunuhnya, tetapi jika anak perempuan,
bolehlah ia hidup.” Tetapi bidan-bidan itu takut akan Allah dan tidak melakukan seperti yang
dikatakan raja Mesir kepada mereka, dan membiarkan bayi-bayi itu hidup.
Yeh 16:20-21; Yer 32:35; Mzm 106:37-42 ; II Raj 16:3; 17:17 ; 21:6 ; Ul 12:31; 18:10-13;Im
18:21, 24 dan 30
f. Anak-anak adalah pemberian Tuhan. Jagalah sebaik-baiknya.
Kej 30:1-2 ~ Ketika dilihat Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub, cemburulah
ia kepada kakaknya itu, lalu berkata kepada Yakub: “Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak,
aku akan mati.” Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan ia berkata:” Akukah
pengganti Allah, yang telah menghalangi engkau mengandung?”
Mzm 127:3-5 ~ Sesungguhnya, anak laki-laki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah
kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah
anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung
panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan
musuh-musuh di pintu gerbang.

Aborsi di Pandang dari Segi Agama Kristen Katolik3

Bagaimana memelihara hidup sebelum lahir dan menjelang ajalnya?Di sini kita juga
harus terus menerus mencari jalan agar dapat menyelesaikan konflik secara manusiawi. Pada
saat-saat akhir hidup, rasa hormat akan hidup mungkin bertentangan dengan rasa iba karena
menyaksikan penderitaan yang membuat hidup itu kelihatan tak-bernilai lagi, sampai orang –
dengan eutanasia – mempercepat kematian guna membebaskan sesama dari penderitaannya.
Masa awal hidup, yaitu masa hidup dalam kandungan, mempunyai arti yang khas, baik bagi
bayi maupun bagi ibunya.Hidup manusia baru itu berelasi dengan ibunya dan relasi itu
meliputi dimensi-dimensi biologis, medis, psikologis, dan juga pribadi. Anak di dalam
kandungan “menerima hidup” seluruhnya dari ibunya yang “memberikan” hidup, dan justru
relasi erat itu dapat menimbulkan bermacam-macam konflik, yang sering berakhir dengan
pengguguran (aborsi).
Mengenai pengguguran, tradisi Gereja amat jelas, Mulai dari abad-abad pertama
sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti dalam
masyarakat Romawi abad pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam
masyarakat.Orang Kristen selalu menentang dan melarang pengguguran. Konsili Vatikan II
masih menyebut pengguguran suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan
pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan; telah mempercayakan pelayanan mulia
melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka
kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat.” (GS 51) Menurut
ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik,
bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (14).Dalam ensiklik Paus
Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993), pengguguran digolongkan di antara
“perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya – dengan sendirinya dan dalam dirinya dan
oleh karena isinya dilarang keras”. Gaudium et Spes menyatakan, “Apa saja yang berlawanan
dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku,
pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri yang sengaja; apa pun yang melanggar keutuhan
pribadi manusia, seperti … penganiayaan, apa pun yang melukai martabat manusia … :
semuanya itu sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia : .. sekaligus
sangat bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).
Kitab Hukum Kanonik mengenakan hukuman ekskomunikasi pada setiap orang yang aktif
terlibat dalam “mengusahakan pengguguran kandungan yang berhasil” (KHK kan. 1398).
Hukuman itu harus dimengerti dalam rangka keprihatinan Gereja untuk melindungi hidup
manusia. Sebab hak hidup “adalah dasar dan syarat bagi segala hal lain, dan oleh karena itu
harus dilindungi lebih dari semua hal yang lain. Masyarakat atau pimpinan mana pun tidak
dapat memberi wewenang atas hak itu kepada orang-orang tertentu dan juga tidak kepada
orang lain” (Kongregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi mengenai Aborsi, 18 November 1974,
no. 10). “Hak itu dimiliki anak yang baru lahir sama seperti orang dewasa.Hidup manusia
harus dihormati sejak saat proses pertumbuhannya mulai” (no. 11).
Manusia dalam kandungan memiliki martabat yang sama seperti manusia yang sudah
lahir. Karena martabat itu, manusia mempunyai hak-hak asasi dan dapat mempunyai segala
hak sipil dan gerejawi, sebab dengan kelahirannya hidup manusia sendiri tidak berubah,
hanya lingkungan hidupnya menjadi lain. Kendati anak baru mulai membangun relasi sosial
setelah kelahiran, namun sudah dalam kandungan berkembanglah kemampuannya untuk
relasi pribadi.Baru sesudah kelahirannya, manusia menjadi anggota masyarakat hukum.
Namun juga sebelum lahir, ia adalah individu unik, yang mewakili seluruh “kemanusiaan”
dan oleh sebab itu patut dihargai martabatnya. Keyakinan-keyakinan dasar ini makin berlaku
bagi orang yang percaya, bahwa setiap manusia diciptakan oleh Allah menurut citra-Nya,
ditebus karena cinta kasih-Nya, dan dipanggil untuk hidup dalam kesatuan dengan-
Nya.“Allah menyayangi kehidupan” (KWI, Pedoman Pastoral tentang Menghormati
Kehidupan, 1991). Artinya: setiap manusia disayangi-Nya. Maka sebetulnya tidak cukuplah
mengakui “hak” hidup manusia dalam kandungan; hidup manusia harus dipelihara supaya
dapat berkembang sejak awal.
Kapankah mulai hidup seorang manusia sebagai individu dan pribadi?Pertanyaan itu
mendapat bermacam-macam jawaban yang berbeda-beda dari zaman ke zaman, sesuai
dengan pengetahuan medis dan sesuai dengan keyakinan filsafat dan religius yang berbeda-
beda.Banyak orang menilai hidup sesudah kelahiran lebih tinggi daripada sebelumnya (sebab
anak yang belum lahir belum “dilihat”), namun tetap dikatakan, bahwa hidup “harus
dihormati sejak saat mulai pertumbuhannya”. Manusia menjadi manusia dalam suatu proses
pertumbuhan, dan dalam proses itu, dibedakan beberapa “saat” yang menonjol. Pada saat
pembuahan (yakni persatuan sel telur dan sperma) mulailah suatu makhluk baru, yang mulai
hidup dengan identitas genetik tersendiri; namun sampai saat embrio bersarang dalam
kandungan (nidasi) kira-kira 40% embrio gugur. Individualitas menjadi makin jelas, pada
saat bila tidak bisa menjadi kembar lagi (twinning) atau sudah tidak mungkin lagi dua
kumpulan sel menjadi satu kembali (reconjunction), dan bila mulai berkembang (sumsum)
tulang punggung. Karena otak mutlak perlu untuk perbuatan-perbuatan personal, maka ada
yang berpendapat, bahwa sebelum struktur otak terbentuk (yang terjadi antara hari ke-15
sampai ke-40), tidak tepat memandang embrio sebagai manusia yang berpribadi.Jelaslah,
bahwa semua pendapat ini tidak hanya bersandar pada alasan medis dan biologis, melainkan
juga berlatar-belakang suatu gambaran manusia yang tertentu. Tambah pula, istilah-istilah
seperti “manusia”, “individual” dan “personal” belum tentu punya arti yang sama. Kiranya
semua menyetujui yang dikatakan dalamDeklarasi mengenai Aborsi oleh Kongregasi untuk
Ajaran Iman (1974), “Dengan pembuahan sel telur sudah dimulai hidup yang bukan lagi
bagian dari hidup ayah atau ibunya, melainkan adalah hidup manusia baru, dengan
pertumbuhannya sendiri.” Namun tidak semua sependapat bahwa hidup yang bertumbuh itu
harus dilindungi dengan cara yang sama, mulai dari tahap pertama perkembangannya. Tetapi
Gereja menuntut, supaya hidup manusia dilindungi seluas-luasnya sejak saat pembuahan,
justru karena tidak mungkin ditetapkan dengan tegas kapan mulailah hidup pribadi
manusia.“Kehidupan manusia sejak saat pembuahan adalah suci” (KWI).
Sebab itu, moral Katolik memegang teguh keyakinan, bahwa begitu hidup pribadi
manusia dimulai, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama seperti pembunuhan setelah
kelahiran. Pengguguran dinilai sehubungan dengan larangan membunuh manusia.Namun
larangan membunuh, biarpun berlaku universal, berlaku tidak tanpa kekecualian.Hidup
manusia adalah nilai paling fundamental, namun bukan nilai yang paling tinggi.Hidup
manusia dapat dikurbankan demi nilai yang lebih tinggi dan yang lebih mendesak –
sebagaimana jelas dari uraian teologi moral mengenai “hukuman mati”. Maka, tidak sedikit
ahli teologi moral Katolik yang berpendapat bahwa kalau ada seorang ibu yang tidak
mungkin diselamatkan, bila kehamilan berlangsung terus dan kalau anak dalam kandungan
oleh karena penyakit sang ibu juga tidak mampu hidup sendiri di luar kandungan, dalam
konflik itu hidup ibu yang mesti berlangsung terus harus diselamatkan biarpun oleh
karenanya hidup anak tidak mungkin diselamatkan. Pokoknya, hidup harus dipelihara! Kalau
tidak mungkin hidup ibu dan anak, sekurang-kurangnya satu yang hidup terus!
Namun kiranya jarang terjadi bahwa pengguguran menjadi satu-satunya jalan untuk
memelihara hidup. Jauh lebih sering terjadi konflik lain, seperti kehamilan di luar nikah yang
menjadi beban psikis bagi ibu dan keluarganya. Jelas sekali, bahwa konflik seperti itu tidak
dapat diselesaikan dengan pengguguran.Dalam hal ini harus dituntut sikap wajar dan
manusiawi dari lingkungan, dan dari tempat-tempat pendidikan serta tempat kerja.Kewajiban
mereka ialah membantu orang yang hamil di luar nikah, bukan menghukumnya. Hal yang
sama berlaku, bila pemeriksaan medis sebelum kelahiran memperlihatkan, bahwa anak yang
akan lahir itu cacat. Sudah barang tentu, demi cacatnya, anak tidak boleh dibunuh, baik
setelah maupun sebelum lahir, Konflik yang dialami oleh keluarga yang menantikan
kelahiran seorang anak cacat, hendaknya diatasi dengan bantuan sosial dan dengan konseling,
pribadi dan resmi, sipil dan gerejawi. Konflik hidup hanya dapat diselesaikan dengan
membantu hidup!
Di Indonesia pengguguran terlarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 346-
349, yang untuk itu juga ditetapkan hukuman yang berat.Hukum Pidana mau melindungi
hidup sejak awal. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan (1992) tampaknya
ingin mengatur konflik:
“Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau
janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.” Aturannya memang tidak jelas, karena
menampung banyak pendapat yang berbeda-beda; dan pada umumnya dipertanyakan, adakah
hukum aborsi masih efektif membantu orang dalam konflik atau melindungi hidup dalam
kandungan.
Kini makin meluaslah pendapat bahwa hidup hanya diterima kalau direncanakan dan
sebagaimana direncanakan. Para dokter dan petugas medis sering dihadapkan dengan
permintaan untuk membunuh anak yang ”di luar rencana”, padahal merekalah “wakil dan
wali kehidupan” dalam masyarakat. Bagaimana mendukung dan membela hidup dalam
suasana “hidup berencana”?Tugas membela dan melindungi hidup tidak dapat dibebankan
seluruhnya kepada ibu yang hamil saja.Dan tidak pada tempatnya menilai, apalagi mengutuk
seorang ibu yang ternyata menggugurkan anak¬nya.Tidak ada orang yang menggugurkan
kandungan karena senang membunuh, melainkan karena mengalami diri terjepit dalam
konflik.Konflik hidup hanya diatasi dengan bantuan praktis. Bila ada orang merasa harus
menggugurkan kandungan atau telah melakukannya – karena alasan apa pun – orang itu
hendaknya diberi pendampingan manusiawi agar dapat kembali menghargai hidup. Masalah
pengguguran hanya nyata bagi ibu yang hamil.

Aborsi di Pandang dari Segi Agama Hindu3

Aborsi dalam Theology Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut “Himsa
karma” yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan
menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan nyawa”
mendasari falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi
sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Segera
setelah terjadi pembuahan di sel telur maka atma sudah ada atas kuasa Hyang Widhi. Dalam
“Lontar Tutur Panus Karma”, penciptaan manusia yang utuh kemudian dilanjutkan oleh
Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai “Kanda-Pat” dan “Nyama Bajang”. Selanjutnya
Lontar itu menuturkan bahwa Kanda-Pat yang artinya “empat-teman” adalah: I Karen,
sebagai calon ari-ari; I Bra, sebagai calon lamas; I Angdian, sebagai calon getih; dan I
Lembana, sebagai calon Yeh-nyom. Ketika cabang bayi sudah berusia 20 hari maka Kanda-
Pat berubah nama menjadi masing-masing: I Anta, I Preta, I Kala dan I Dengen. Selanjutnya
setelah berusia 40 minggu barulah dinamakan sebagai : Ari-ari, Lamas, Getih dan Yeh-nyom.
Nyama Bajang yang artinya “saudara yang selalu membujang” adalah kekuatan-kekuatan
Hyang Widhi yang tidak berwujud. Jika Kanda-Pat bertugas memelihara dan membesarkan
jabang bayi secara phisik, maka Nyama Bajang yang jumlahnya 108 bertugas mendudukkan
serta menguatkan atma atau roh dalam tubuh bayi.
Oleh karena itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab
suci Hindu antara lain Rgveda 1.114.7 menyatakan: “Ma no mahantam uta ma no arbhakam”
artinya: Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi. Atharvaveda X.1.29: “Anagohatya
vai bhima” artinya: Jangan membunuh bayi yang tiada berdosa. Dan Atharvaveda X.1.29:
“Ma no gam asvam purusam vadhih” artinya: Jangan membunuh manusia dan binatang.
Dalam ephos Bharatayuda Sri Krisna telah mengutuk Asvatama hidup 3000 tahun dalam
penderitaan, karena Asvatama telah membunuh semua bayi yang ada dalam kandungan istri-
istri keturunan Pandawa, serta membuat istri-istri itu mandul selamanya.
Pembuahan sel telur dari hasil hubungan sex lebih jauh ditinjau dalam falsafah Hindu sebagai
sesuatu yang harusnya disakralkan dan direncanakan. Baik dalam Manava Dharmasastra
maupun dalam Kamasutra selalu dinyatakan bahwa perkawinan menurut Hindu adalah
“Dharmasampati” artinya perkawinan adalah sakral dan suci karena bertujuan memperoleh
putra yang tiada lain adalah re-inkarnasi dari roh-roh para leluhur yang harus lahir kembali
menjalani kehidupan sebagai manusia karena belum cukup suci untuk bersatu dengan Tuhan
atau dalam istilah Theology Hindu disebut sebagai “Amoring Acintya”. Oleh karena itu maka
suatu rangkaian logika dalam keyakinan Veda dapat digambarkan sebagai berikut :
Perkawinan (pawiwahan) adalah untuk syahnya suatu hubungan sex yang bertujuan
memperoleh anak. Gambaran ini dapat ditelusuri lebih jauh sebagai tidak adanya keinginan
melakukan hubungan sex hanya untuk kesenangan belaka.Prilaku manusia menurut Veda
adalah yang penuh dengan pengendalian diri, termasuk pula pengendalian diri dalam bentuk
pengekangan hawa nafsu.Pasangan suami-istri yang mempunyai banyak anak dapat dinilai
sebagai kurang berhasilnya melakukan pengendalian nafsu sex, apalagi bila kemudian
ternyata bahwa kelahiran anak-anak tidak dalam batas perencanaan yang baik.Sakralnya
hubungan sex dalam Hindu banyak dijumpai dalam Kamasutra. Antara lain disebutkan bahwa
hubungan sex hendaknya direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, misalnya terlebih
dahulu bersembahyang memuja dua Deva yang berpasangan yaitu Deva Smara dan Devi
Ratih, setelah mensucikan diri dengan mandi dan memercikkan tirta pensucian. Hubungan
sex juga harus dilakukan dalam suasana yang tentram, damai dan penuh kasih sayang.
Hubungan sex yang dilakukan dalam keadaan sedang marah, sedih, mabuk atau tidak sadar,
akan mempengaruhi prilaku anak yang lahir kemudian.
Oleh karena hubungan sex terjadi melalui upacara pawiwahan dan dilakukan semata-mata
untuk memperoleh anak, jelaslah sudah bahwa aborsi dalam Agama Hindu tidak dikenal dan
tidak dibenarkan.

Aborsi di Pandang dari Segi Agama Buddha3

Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran


kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.Dari
sudut pandang Buddhis aborsi bisa di toleransi dan dipertimbangkan untuk dilakukan.Agama
Buddha, umat Buddha terdiru dari dua golongan yaitu pabbajita dan umat awam.Seorang
pabbajita mutlak tidak boleh melakukan aborsi karena melanggar vinaya yaitu
parajjika.Tetapi sebagai umat awam aborsi boleh dilakukan dengan alasan yang kuat.Misal
janin dalam kandungan dalam kondisi abnormal yang dapat membahayakan kesehatan ibu
bahkan dapat mengancam keselamatan ibu.Aborsi dalam agama Buddha merupakan suatu
pembunuhan yang tidak diperbolehkan yang dapat menimbulkan karma buruk.Tetapi agama
Buddha tidak melarang secara multak orang yang melakukan aborsi.Dengan alasan yang
sangat kuat aborsi dapat dilakukan dengan berbagai pertimbangan.Hal terbaik untuk tidak
melakukan aborsi adalah menghindari terjadinya aborsi misal tidak melakukan hubungan
seks bebas yang bisa memungkinkan terjadinya aborsi. Dalam kasus lain yang tidak dapat
dihindari untuk terjadinya aborsi boleh dilakukan dengan alasan tidak ada cara lain yang
terbaik dan dengan alasan yang sangant kuat. Aborsi boleh dilakukan dengan kondisi yang
sangat sulit akan tetapi seminimal mungkin untuk menghindari terjadinya aborsi karena
dalam agama buddha aborsi merupakan suatu pembunuhan yang tidak diperbolehkan karena
menghilangkan nyawa suatu mahluk yang mengakibatkan karma buruk.
Dalam agama budha perlakuan aborsi tidak dibenarkan karena suatu karma harus
diselesaikan dengan cara yang baik, jika tidak maka akan timbul karma yang lebih buruk lagi.
Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup :
a. Mata utuni hoti: masa subur seorang wanita
b. Mata pitaro hoti: terjadinya pertemuan sel telur dan sperma
c. Gandhabo paccuppatthito: adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus
kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta), yang memiliki
energi karma
Dari penjelasan di atas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan
aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata.
Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut:
a) Ada makhluk hidup (pano)
b) Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c) Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d) Melakukan pembunuhan (upakkamo)
e) Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)
Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi
pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka
pembunuhan ini akan berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan
yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan
tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun mereka
telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian hari.
Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh
makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada
makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kembali
sebagai manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan panjang".
DAFTAR PUSTAKA

1. Zallum, Abdul Qadim, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan


Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, Al-Izzah, Bangil
2. Aborsi dalam Pandangan Islam .[online] 2016. [Dikutip 12 Maret 2017} http://hizbut-
tahrir.or.id/2016/03/17/aborsi-dalam-pandangan-islam/
3. Aborsi menurut 5 pandangan agama di indonesia . [online] 2013. [Dikutip 12 Maret 2017]
http://dellydamayanti.blogspot.co.id/2013/12/aborsi-menurut-5-pandangan-agama-
di.html

Anda mungkin juga menyukai