Anda di halaman 1dari 172

Manajemen Pendidikan Islam

Penulis :

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M

Penerbit
Pustaka Cendekia.
ISBN: 978-602-52650-1-3
Editor

Alfian Erwinsyah, M.Pd

Redaksi

Email penerbitpustakacendekia@gmail.com
Cetakan Mei 2018
Alamat Penerbit :
Senoboyo, sleman Yogyakarta

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa
ijin tertulis dari penerbit.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt, karena rahmat dan
karunia-Nyalah sehingga penulis menyelesaikan tulisan sederhana ini
menjadi sebuah buku yang berjudul Manajemen Pendidikan Islam.

Penulis menyadari bahwa, buku Manajemen Pendidikan Islam


ini, di sana sini masih banyak kekurangan namun penulis berharap
dengan buku ini dapat membantu para mahasiswa, atau pembaca
dalam memahami Manajemen Pendidikan Islam, khusnya dalam
lingkup Perguruan Tinggi Islam baik negeri maupun Swasta.

Buku Manajemen Pendidikan Islam ini bisa diwujudkan


dengan ispirasi yang ada dalam buku Manajemen Pendidikan Islam
sebelumnya yang ditulis oleh Prof. Dr. Mujamil Qomar. Dengan
demikian, penulis ingin menambah literatur-literatur yang sudah ada
khusunya literatur yang berkaitan dengan Program Studi Manajemen
Pendidikan Islam, di mana penulis sebagai salah satu dosen di
lingkuang IAIN Sultan Amai Gorontalo terlebih khusus Dosen
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada Program Studi
Manajemen Pendidikan Islam, maka penulis harus menulis buku
manajemen pendidikan Islam.

Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang


mengelola dan memberdayakan sumber daya-sumber daya organisasi
kearah yang efektif dan efisien, sehingga tujuan akhir organisasi dapat
tercapai secara maksimal

Manajemen Pendidikan Islam


Kritik dan saran dengan lapang dada penulis terima sebagai
suatu masukan dalam penyempurnaan buku ini, kepada semua pihak
yang telah banyak membantu, penulis hanturkan banyak terimakasih.
Semoga Allah Swt selalu memberikan rahmatnya kepada kita semua.
Amin Ya Robbal Alamin.

Gorontalo, April 2018

Penulis

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................... i

Daftar Isi .................................................................................... iii

BAB I Pendidikan Islam .......................................................... 1

A. Pengada Pendidikan Islam .............................................. 1


B. Mengada Pendidikan Islam ............................................. 2
C. Pengertian Pendidikan Islam dari Segi Bahasa ............... 3
D. Pengertian Pendidikan Islam dari Segi Istilah ................ 13

BAB II Seputar Manajemen Pendidikan Islam .................... 17

A. Manajemen Pendidikan Islam dan Implikasinya ............ 17


B. Karakteritik Manajemen Pendidikan Islam ..................... 21
C. Prinsip-prinsip Dasar Manajemen Pendidikan Islam ...... 34
D. Mekanisme Membangun Konsep Manajemen
Pendidikan Islam ............................................................. 38

BAB III Kurikulum Pendidikan Islam .................................. 41

A. Pengertian kurikulum ..................................................... 41


B. Persoalan Kurikulum dalam Pendidikan Islam ............... 43
C. Peran Iman, Agama dan Logika dalam Sistem
Kependidikan Islam ........................................................ 51

BAB IV Manajemen Sarana Prasarana................................ 58

A. Definisi Manajemen Sarana Prasarana ........................... 58


B. Menambah Madrasah Bersih dan Indah.......................... 64

Manajemen Pendidikan Islam


BAB V Pembiayaan Pendidikan Islam ................................. 67

A. Pengertian dan Sejarah Pembiyaan Pendidikan .............. 67


B. Dasar dan Sumber Biaya Pendidikan Islam .................... 70
C. Prinsip-prinsip Pengelolaan Dana Pendidikan dalam
Islam ................................................................................ 78
D. Manajemen Keuangan Pendidikan Islam ........................ 78

BAB VI Lembaga Pendidikan Islam ..................................... 86

A. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam ......................... 86


B. Manajemen Pesantren ..................................................... 100
C. Manajemen Madrasah ..................................................... 121
D. Manajemen Perguruan Tinggi Islam ............................... 139

Daftar Pustaka........................................................................... 158

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


BAB I
PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengada Pendidikan Islam

P
engada Pendidikan adalah penyebab Pendidikan itu menjadi
“ada”. Adanya Pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu
pengetahuan berbeda dengan keberadaan Pendidikan itu
sendiri sebagai suatu lembaga kependidikan. Tetapi, baik Pendidikan
(Islam) sebagai suatu ilmu pengetahuan maupun Pendidikan (Islam)
sebagai salah satu bentuk dari realitas lembaga kependidikan berasal
dari satu sumber.
Sumber tesebut adalah manusia. Sebagai suatu sistem ilmu
pengetahuan, konsep Pendidikan (Islam) tercipta sebagaimana
manusia menciptakanya. Tanpa adanya manusia, tidak ada
pengetahuan yang bias disebut ilmu Pendidikan (Islam). Ilmu adalah
bentukan dari manusia.1

Itu berarti “pengada” Pendidikan (Islam) sebagai suatu sistem ilmu


pengetahuan maupun lembaga kependidikamya tetap saja berasal dari
sumber yang sama, yaitu manusia. Manusia yang “memusatkan
perhatian” atau “menciptakan” suatu sistem ilmu dana tau
kelembagaan Pendidikan berlatar belakang Islam.

Sebagaimana diketahui, Islam adalah salah satu nama agama besar


yang ada di dunia. Islam sebagai suatu agama disebarluaskan oleh
seorang Nabi sekaligus Rasul yang bernama Muhammad Saw. Islam
lahir pada sekitaran tahun 610 Masehi bertepatan pada turumya wahyu
pertama dalam kitab suci agama Islam, kitab suci agama Islam disebut
al-Qur’an, sedangkan sumber hukum ajaran Islam ini diyakini terdiri

1
Jasa Ungguh Muliawan, Epistemologi Pendidikan, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University, 2008), hlm.67

Manajemen Pendidikan Islam


dari tiga sumber pokok, yoitu al-Qur’an, as-Sumah/Hadis (Sabda
Rasul) dan Ijtihad (Akal).

Dari sini sejalas bahwa Pendidikan Islam secara kelembagaan


maupun keilmuan berhubungan dengan tiga yang paling utama dalam
agama Islam. Pembuktian lebih lanjut terkait dasar-dasar keberadaan
ontology pendidikan Islam masuk wilayah konsep ‘mengada’-nya.

B. Mengada Pendidikan Islam


Mengada (entitas) Pendidikan Islam adalah sesuatu yang melekat
dalam diri Pendidikan Islam yang menyababkan menjadi “ada”.
Mengada Pendidikan Islam ini dibedakan menjadi dalam dua bentuk.
Kedua bentuk mengada Pendidikan Islam tersebut adalah:2
1. Teori-teori Pendidikan ‘Murni’ Islam
2. Keberadaan lembaga Pendidikan Islam
Islam di samping sebagai suatu sistem ajaran keagamaan juga
merupakan salah satu bentuk sistem kependidikan. Banyak teori-teori
Pendidikan yang murni berasal dalam ajaran Islam itu sendiri. Disebut
‘murni’ karena benar-benar berasal dari dalam sistem ajaran agama
Islam, khususnya al-Qur’an, as-Sumah, dan Ijtihad. Bukan serapan
atau bentukan dari sumber lain. Bukan pula copy-an, tiruan, atau
imitasi dari teori-teori Pendidikan yang lain. Contohnya dalam QS.

Al-Alaq (96) ayat 5 yaitu


Artinya : Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
QS. Yunus (10) ayat 101

2
Jasa Ungguh Muliawan, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hlm.3

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Artinya : Katakanlah : “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di
bumi tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul
yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”.
Kedua ayat ini murni berasal dari dalam al-Qur’an sebagai
kitab suci agama Islam. Keduanya mengindikasikan adanya hubungan
yang kuat antara manusia dengan pendidikan. Teori pendidikan lain
yang ‘murni’ berasal dari dalam agama Islam masih banyak, antara
lain:
Hadis Nabi3
“Muliakanlah anak-anak dan baguskanlah pendidikan
mereka”,(HR. Ibnu Majah).

Sedangkan untuk teori pendidikan lain yang berasal dari


Ijtihad juga tidak kalah banyaknya. Bahkan bisa dibilang paling
banyak dan konkret dibandingkan kedua sumber hukum tersebut.
Banyak ahli-ahli pendidikan dan ilmuwan yang dilahirkan Islam.
Sejarah telah mencatat nama-nama besar seperti Ibnu Sina, Al Farabi,
Ibnu Kholdun, Al Ghazali, dan seterusnya. Mereka adalah tokoh-
tokoh ilmuwan yang dilahirkan dari sistem kependidikan Islam.
Sebagian diantara mereka juga menggeluti dunia pendidikan, dan
sebagian yang lain memberi kontribusi ilmu kependidikan yang tidak
sedikit.

C. Pengertian Pendidikan Islam dari Segi Bahasa


Selama ini buku-buku pendidikan Islam telah memperkenalkan
paling kurang tiga kata yang berhubungan dengan pendidikan Islam,
yaitu al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Jika ditelusuri ayat-ayat al-
Qur’an dan matan as-Sumah secara mendalam dan komprehensif
sesungguhnya selain tiga kata tersebut masih terdapat kata al-tazkiyah.
Deskripsi selengkapnya terhadap kata-kata tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.

3
Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Sekretariat
Ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1990), hlm. 3

Manajemen Pendidikan Islam


1. Al-Tarbiyah
Dalam Mu’jam al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’ashirah (A
Dictionary of Modern Written Arabic), karangan Hans Wehr, kata at-
tarbiyah diartikan sebagai : education (Pendidikan), upbringing
(Pengembangan), teaching (Pengajaran), instruction (Perintah),
pedagogy (Pembinaan kepribadian), breeding (memberi makan),
raising (of animals) (menumbuhkan).4 Kata tarbiyah berasal dari kata
rabba, yarubbu, rabban, yang berarti mengasuh, memimpin,
mengasuh (anak).5 Penjelasan atas kata al-tarbiyah ini lebih lanjut
dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, tarbiyah berasal dari kata rabba, yarbu tarbiyatan yang
memiliki makna tambah (zad) dan berkembang (numu). Pengertian ini
misalnya terdapat dalam surat ar-Rum (30) ayat 39, yang artinya:
Dan susuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah.
Berdasarkan pada ayat tersebut, maka al-tarbiyah dapat berarti
proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri
peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.
Kedua, rabba, yurbi, tarbiyatan, yang memiliki makna tumbuh
(nasyaa) dan menjadi besar atau dewasa. Dengan mengacu pada kata
yang kedua ini, makna tarbiyah berarti usaha menumbuhkan dan
mendewasakan peserta didik baik secara fisik, sosial, maupun
spiritual.
Ketiga, rabba, yarubbu tarbiyatan, yang mengandung kata
memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan, memelihara dan merawat,
memperindah, memberi makna, mengasuh, memiliki, mengatur, dan
menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Dengan menggunakan

4
Hans Wehr, Mu’jam al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’asharah (A Dictionary
of Modern Written Arabic) (Ed), J. Milton Cowan, (Beirut: Librarie Du Liban &
London: Macdonald & Evans LTD, 1974), hlm. 324.
5
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
tp.th.), hlm. 136

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


kata yang ketiga ini, makna tarbiyah berarti usaha memelihara,
mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengatur kehidupan peserta
didik, agar dapat survive lebih baik dalam kehidupamya.6
Jika ketiga kata tersebut dibandingkan atau diintergrasikan antara
satu dengan laimya, terlihat bahwa ketiga kata tersebut saling
menunjang dan saling melengkapi. Namun jika dilihat dari segi
penggunaamya, tampak istilah yang tiga lebih banyak digunakan.
Selanjutnya jika ketiga kata tersebut diintegrasikan, maka akan
diperoleh pengertian, bahwa al-tarbiyah berarti proses menumbuhkan
dan mengembangkan potensi (fisik, intelektual, sosial, estetika, dan
spiritual). Yang terdapat pada peserta didik, sehingga dapat tumbuh
dan terbina dengan optimal, melalui cara memelihara, mengasuh,
merawat, memperbaiki, dan mengaturnya secara terencana, sistematis,
dan berkelanjutan. Dengan demikian, pada kata al-tarbiyah tersebut
mengandung cakupan tujuan pendidian, yaitu menumbuhkan dan
mengembangkan potensi; dan proses pendidikan, yaitu memelihara,
mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengaturnya.
2. Al-Ta’lim
Kata al-ta’lim yang jamaknya ta’lim, menurut Hans Wehr dapat
berarti information (pemberitahuan tentang suatu), advice (nasihat),
instruction (perintah), derection (pengarahan), teaching (pengajaran),
training (pelatihan), schooling (pembelajaran), educational
(pendidikan), dan apprenticeship (pekerjaan sebagai magang, masa
belajar suatu keahlian). 7
Selanjutnya, Mahmud Yunus dengan singkat mengartikan al-
Ta’lim adalah hal yang berkaitan dengan mengajar dan melatih.8
sementara itu, Muhammad Rassyid Ridha mengartikan al-Ta’lim

6
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hlm. 10-11
7
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Op. cit., hlm 636;
lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia dan Ithaca and London : Cornell University Press, 2003), cet. Ke-27, hlm.
35
8
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Op. cit, hlm. 278

Manajemen Pendidikan Islam


sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa
individu tampa adanya Batasan dan ketentuan tertentu.9 Sementara itu,
H.M. Quraisy Shihab, ketika mengartikan kata yuallimu sebagaimana
terdapat pada surat al-Jumu’ah (62) ayat 2, dengan arti mengajar yang
intinya tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan
pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.10
Penggunaan kata al-ta’lim lebih lanjut dapat dijumpai di dalam al-
Qur’an dan as-Sumah, dalam al-Qur’an, kaya al-ta’lim digunakan oleh
Allah untuk mengajar nama-nama yang ada di alam jagat raya kepada
Nabi Adam a.s. (QS. Al-Baqarah (2) ayat 31), mengajar manusia
tentang al-Qur’an dan al-bayan (QS. Ar-Rahman (55) ayat 2),
mengajarakan al-kitab, al-hikmah, Taurat dan Injil (QS. Al-Maidah
(5) ayat 110), mengajarkan al-ta’wil mimpi (QS. Yusuf (12) ayat
101), mengajarkan sesuatu yang belum diketahui manusia (QS. Al-
Baqarah (2) ayat 239), mengajarakan tentang masalah sihir (QS.
Thaha (20) ayat 71), mengajarkan ilmu laduni (QS. Al-Kahfi (18) ayat
65), mengajarkan cara membuat baju besi untuk melindungi tubuh
dari bahaya (QS. al-Anbiya’ (21) ayat 80), mengajarkan tentang
wahyu dari Allah (QS. at-Tahrim (66) ayat 5), dengan demikian, kata
al-ta’lim dalam al-Qur’an menunjukkan sebuah proses pengajaran,
yaitu menyampaikan sesuatu berupa ilmu pengetahuan, hikmah,
kandungan kitab suci, wahyu, sesuatu yang belum diketahui manusia,
keterampilan membuat alat pelindung, ilmu laduni, (ilmu yang
langsung dari Tuhan), nama-nama atau simbol-simbol dan rumus-
rumus yang berkaitan dengan alam jagat raya, dan bahkan ilmu
tentang sihir. Ilmu-ilmu baik yang disampaikan melalui proses al-
ta’lim tersebut dilakukan oleh Allah Swt, malaikat, dan para Nabi.
Sedangkan ilmu pengetahuan yang berbahaya diajarkan oleh setan.

9
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz 1, (Kairo: Dar al-Manar,
1373 H), hlm. 262
10
H.M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
cet. Ke-12, hlm. 172

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Kata al-ta’lim atau asal katanya, yaitu ‘allam, yu’allimu, ta’liman
dijumpai dalam hadis sebagai berikut.
“pengetahuan adalah kehidupan Islam dan pilar iman, dan
barang siapa yang mengerjakan ilmu Allah akan menyempurnakan
pahala baginya, dan barangsiapa yang mengajarkan ilmu dan ia
mengamalkan ilmu yang diajarkamya itu, maka Allah akan
mengajarkan kepadanya sesuatu yang ia belum ketahui.” (HR. Abu
Syaikh).11
Didalam hadis tersebut kata ta’lim dihubungkan dengan
mengajarkan ilmu kepada orang lain seseorang, dan orang yang
menajarkan ilmu tersebut akan mendapatkan pahala dari Tuhan.
Selanjutnya jika ia bukan hanya mengajarkan ilmu tersebut,
melainkan mengamalkamya, maka ia selain mendapatkan pahala, juga
akan mendapat pengetahuan dari Allah tentang sesuatu yang belum
diketahuinya yang membentuknya dapat berupa ilmu laduni
sebagaimana hadis di atas, atau dapat berupa tambahan ilmu yang
dihasilkan dari praktik mengamalkan ilmu tersebut. Seorang tenaga
profesional dan praktisi yang tiap hari bergelut dengan pekerjaan,
biasanya semakin ditantang inovasi dan kreativitasnya untuk
memecahkan berbagai masalah yang tidak sepenuhnya dapat
dikembalikan kepada sejumlah teori yang telah dipelajarinya dibangku
kuliah. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut ia terpaksa
melakukan inovasi dan sintesis-sintesis baru yang selanjutnya dapat
mengembangkan teori atau konsep yang telah ada. Hal ini dapat
mengembangkan teori atau konsep yang telah ada. Hal ini dapat
diartikan sebagai bertambahnya ilmu sebagai akibat dari pengamalan
ilmu tersebut.
Kata al-ta’lim dalam arti pengajaran yang merupakan bagian dari
pendidikan banyak digunakan untuk kegiatan pendidikan yang bersifat
nonformal, seperti majelis taklim yang saat ini sangat berkembang dan

11
Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi Bek, Mukhtar al-Ahadis al-Nabawiyyah
wa al-Hikam al-Muhammadiyah, (Mesir: Mthaba’ah Hijaziy bi al-Qahirah, 1367
H/1948 M), hlm. 30

Manajemen Pendidikan Islam


variasi, yaitu ada majelis taklim yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di
kampung, ada majelis taklim dikalangan masyarakat elite, di kantoran,
hotel dan tempat kajian keagamaan, dari segi materinya ada secara
khusus membahas sebuah kitab tertentu, ada kajian tema-tema
tertentu, ada kajian tentang tafsir, hadis, fikih, dan sebaginya, dan ada
pula yang diselenggarakan kepada tuan guru. Waktunya ditentukan,
misalnya setiap minggu, atau setiap sebulan sekali, sedangkan
berbagai aturan lain berlaku secara konvensional dan fleksibel. Kata
al-ta’lim dalam arti pendidikan sesungguhnya merupakan kata yang
paling lebih dahulu digunakan daripada kata at-tarbiyah. Kegiatan
pendidikan dan pengajaran yang pertama kali dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw di rumah Al-Arqam (Dar al-Arqam) di Mekkah,
dapat disebut sebagai majelis al-ta’lim. Demikian pula kegiatan
pendidikan Islam di Indonesia yang dilaksanakan oleh para da’i di
rumah, musalah, masjid, surau, langgar, atau tempat tertentu, pada
mulanya merupakan kegiatan al-ta’lim. Kegiatan al-ta’lim hingga saat
ini masih terus berlangsung di seluruh Indonesia. Menurut data dari
Badan Kontak Majelis Ta’lim (BKMT) di Jakarta saja, saat ini
terdapat lebih dari 5.000 majelis ta’lim
3. Al-Ta’dib
Kata al-Ta’dib berasal dari kata addaba, yuaddibu, ta’diban yang
dapat berarti education (pendidikan), discipline (disiplin, patuh, dan
tunduk pada aturan), punishment (peringatan atau hukuman), dan
chastisement (hukuman-penyucian).12 Kata al-ta’dib berasal dari kata
adab yang berarti beradab, bersopan santun, 13 tata krama, adab, budi
pekerti, akhlak, moral, dan etika.14
Kata al-ta’dib dalam arti pendidikan, sebagaimana disinggung di
atas, ialah kata yang dipilih oleh al-Naquib al-Attas. Dalam hubungan

12
Hans Whers, A Dictionary of Modern Arabic Written, Loc. Cit., hlm.10;
lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Loc. cit., hlm.
109
13
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Op, cit., hlm. 36
14
Abdul Mujid dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Op, cit,. hlm.
20

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


ini, ia mengartikan al-ta’dib sebagai pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-
tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan,
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan
dan keagungan Tuhan. Melalui kata al-ta’dib ini Al-Attas ingin
mejadikan pendidikan sebagai sarana transformasi nilai-nilai akhlak
mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, serta
menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan.
Islamisasi ilmu pengetahuan ini menurutnya perlu dilakukan dalam
rangka membendung pengaruh materialism, sekularisme, dan
dikotomisme ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh barat.
4. Al-Tahdzib
Kata al-tahdzib secara harfiah berarti pendidikan akhlak, atau
menyucikan diri dari perbuatan akhlak yang buruk, berarti pula
terdidik atau terpelihara dengan baik, dan berarti pula yang beradab
sopan.15 lebih lanjut Hans Whehr mengatakan, al-tahdzib adalah
expurgation (menghilangkan bagian-bagian atau kata-kata yang tidak
patut dari buku, surat, dan sebagainya), emendation (perbaikan atau
perubahan), correction (perbaikan), rectification (pembetulan),
revision (perbaikan), training (latihan), instruction (perintah
mengerjakan sesuatu), education (pendidikan), upbringing (asuhan,
didikan), culture (budaya), dan refinement (kehalusan budi bahasa,
perbaikan, kemurnian).16
Dari berbagai pengertian tersebut, tampak bahwa secara
keseluruhan kata Hans al-tahzib terkait dengan perbaikan mental spiritual,
moral dan akhlak, yaitu memperbaiki mental anak seseorang yang tidak
sejalan dengan ajaran atau norma; memperbaiki perilakunya agar menjadi
baik dan terhormat serta memperbaiki akhlak dan budi pekertinya agar
menjadi berakhlak mulia. Berbagai kegiatan tersebut termasuk bidang
kegiatan pendidikan. Itulah sebabnya, kata al-tahzib juga berarti pendidikan.

15
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Op, cit., hlm. 481
16
Hans Whers, A Dictionary of Modern Arabic Written, Loc. Cit.,
hlm.1024

Manajemen Pendidikan Islam


5. Al-Wa’dz atau Al-Mau’idzah
Al-Wa’dz berasal dari kata wa’aza yang berarti to preach
(mengajar), conscience (kata hati, suara hati, hati nurani), to admonish
(memperingatkan atau mengingatkan), exhort (mendesak), dan to
warm (memperingatkan).17
Dengan berbagai variasi, kata al-wa’dz dalam al-Qur’an diulang
sebanyak 28 kali. Misalnya pada surat Luqman (31) ayat 13

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di


waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku,
jangalah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang sangat besar.”
Dan, surat Yunus (10) ayat 57,:

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah dating kepadamu


pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-
penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Dengan demikian, inti al-wa’dz atau al-mau’idzah adalah


pendidikan dengan cara memberikan penyadaran dan pencerahan
batin, agar timbul kesadaran untuk berubah menjadi orang yang baik.
6. Al-Riyadhah
Al-Riyadhah berasal dari kata raudha, yang mengandung arti to
tame (menjinakkan), domesticate (menjinakkan), to break in

17
Hans Whers, A Dictionary of Modern Arabic Written, Loc. Cit.,
hlm.1082

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


(mendobrak atau membongkar), train (latihan), to train (melatih),
ciach (melatih), to facify (menanamkan atau menentramkan), placate
(mendamaikan, menentramkan), to practice (memperagakan), exercise
(melatih), regulate (mengatur), to seek to make tractable (menemukan
untuk membuat mudah dikerjakan), dan try to bring round (mencoba
membawa keliling).18 Dalam pendidikan, kata al-riyadhah diartikan
mendidik jiwa anak dengan akhlak mulia.19
Kata al-riyadhah selanjutnya banyak digunakan dikalangan para
ahli taSawuf dan diartikan agak berbeda dengan arti yang digunakan
para ahli pendidikan. Di kalangan para ahli taSawuf al-riyadhah
diartikan latihan spiritual rohaniah dengan cara khalwat dan uzlah
(menyepi dan menyendiri) disertai dengan perasaan batin yang takwa
(melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya), al-
wara’ (membentengi diri dari perbuatan yang haram dan syubhat), al-
zuhud (tidak terpedaya dengan kemewahan duniawai), al-sumtu (tidak
berkata-kata yang tidak ada hubungamya dengan Tuhan), al-khauf
(rasa takut yang dalam pada Allah Swt), al-raja’ (penuh harap), al-
hazn (rasa prihatin dan khawatir tidak diridhai Allah Swt), al-ju’wa
tark al-syahwat (menahan lapar dan meninggalkan keinginan nafsu
syahwat), al-khusyu wa al-tawadlu (penuh konsentrasi dan rendah
hati), mukhala fa al-naf (menentang keinginan nafsu), al-qona’ah
(mencukupkan dengan yang diberikan Allah Swt), al-tawakkal
(menyerahkan diri pada Allah Swt), al-syukr (berterima kasih atas
karunia yang diberikan Allah Swt), al-yaqin (percaya penuh dengan
janji Allah Swt), al-shabr (tahan terhadap ujian dan cobaan), al-

18
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Op. cit., hlm 367;
lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Op, cit., hlm.
599
19
Karim al-Bastani, dkk, al-Munjid fi Lughah wa A’lam, (Beirut: Dar al-
Masyriq, 1875), hlm. 287

Manajemen Pendidikan Islam


muraqabah (selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt), dan
sebagainya, hingga mencapai empat puluh Sembilan tahapan.20
Didalam al-Qur’an dan as-Sumah kata al-riyadhah secara eksplisit
tidak dijumpai, namun inti dan hakikat al-riyadhah dalam arti
mendidik atau melatih mental spiritual agar senantiasa mematuhi
ajaran Allah Swt amat banyak dijumpai. Al-Qur’an dan as-Sumah
sangat menekankan agar seseorang senantiasa bertakwa dan
mendekatkan diri kepada Allah Swt, meninggalkan keinginan hawa
nafsu, bersyukur, bertawakal, sabar, yakin, tawadlu, dan sebagainya.
7. Al-Tazkiyah
Al-tazkiyah berasal dari kata zakka-yuzakki-tazkiyatan yang berarti
purification (pemurnian atau pembersihan), chastening (kesucian dan
kemurnian), pronouncement of (pengumuman atau pernyataan),
integrity or credibility (ketulusan hati, kejujuran atau dapat
dipercaya), attestation of a witness (pengesahan atas kesaksian),
honorable record (catatan yang dapat dipercaya dan dihormati).21
Di dalam al-Qur’an, kaya al-tazkiyah antara lain dapat dijumpai
pada surat al-Jumu’ah ayat 2, yaitu:
Artinya: “Dia-lah yang menutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rosul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka
kitab dan hikmah as-Sumah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Kata yuzakkihim (menyucikan mereka) pada ayat tersebut,
menurut H.M. Quraish Shihab, dapat diidentikan dengan mendidik,
sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik

20
Abi al-Qasim Abd. al-Karim bin Hawazan al-Qusyarir al-Naisabury, al-
Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Khair, tp. th.), hlm. 475-
476
21
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Op. cit., hlm 380;
lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Op, cit., hlm.
471

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta
fisika.22
Kata al-tazkiyah atau yuzakki telah digunakan oleh para ahli
dalam hubungamya dengan menyucikan atau membersikan jiwa
seseorang dari sifat-sifat yang buruk (al-takhalli), dan mengisinya
dengan akhlak yang baik (al-tahalli), sehingga melahirkan manusia
yang memiliki kepribadian dan akhlak yang terpuji. Dalam hubungan
ini, Ibnu Sina dan al-Ghazali menggunakan istilah tazkiyah al-nafs
(menyucikan diri) dalam arti membersihkan rohani dari sifat-sifat
yang tercela. 23
Dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa kata al-tazkiyah ternyata
juga digunakan untuk arti pendidikan yang bersifat pembinaan mental
spiritual dan akhlak mulia.

D. Pengertian Pendidikan dari Segi Istilah


Istilah atau terminologi pada dasaranya merupakan kesepakatan
yang dibuat para ahli dalam bidangnya masing-masing terhadap
pegertian tentang sesuatu. Dengan demikian, dalam istilah tersebut
terdapat visi, misi, tujuan yang diinginkan oleh yang merumuskamya,
sesuai dengan latar belakang pendidikan, keahlian, kecenderungan,
kepentingan, kesenangan, dan lain sebagainya. Banyaknya factor yang
ikut mempengaruhi dalam merumuskan suatu istilah, maka istilah
tentang sesuatu itu pun akan beragam. Memahami berbagai istilah
yang beragam itu akan terasa mudah apabila, seseorang memiliki
pemahaman yang agak memadai tentang seorang ahli yang
merumuskan istilah tersebut.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, pada bagian ini pembaca akan
diajak melihat dan mendalami berbagai pengertian pendidikan dari
segi istilah, yakni dari segi yang diinginkan oleh para ahli, setelah itu

22
H.M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Op. cit,. hlm. 172
23
Ibn Sina, Al-Isyarat wa al-Tanbihat, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tp.th), hlm.
189; Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th), hlm.136-
137

Manajemen Pendidikan Islam


akan dilakukan analisis untuk menentukan latar belakang yang
mendasari rumusan istilah pendidian tersebut.
Pertama, menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani,
pendidikan adalah :
Proses pengubah tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi,
masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai
suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi
dalam masyarakat.24
Kedua, menurut Hasan Langgulung, pendidikan adalah:
Suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan
untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak
atau orang yang sedang dididik.25
Ketiga, menurut Ahmad Fuad Al-Ahwaniy:
Nidzam ijtima’iy yan-ba’u min falsafah kulli umat, wa huwa al-
ladzi yathbiqu hadzihi al-falsafah au yabrizuha ila-wujud (Pendidikan
adalah pranata yang bersifat sosial yang tumbuh dari pandang hidup
tiap masyarakat. Pendidikan senantiasa sejalan dengan pandangan
falsafah hidup masyarakat tersebut, atau pendidikan itu pada
hakikatnya mengaktualisasikan falsafah dalam kehidupan nyata.)26
Keempat, menurut Ali Khalil Abul A’inain :
Pendidikan adalah program yang bersifat kemasyarakatan, dan
oleh karena itu, setiap falsafah yang dianut oleh suatu masyarakat
berbeda dengan falsafah yang dianut oleh masyarakat lain sesuai
dengan karakternya, serta kekuatan peradaban yang memengaruhinya
yang dihubungkan dengan upaya menegakkan spiritual dan falsafah
yang dipilih dan sisetujui untuk memperoleh kenyamanan hidupnya.
Makna dari ungkapan tersebut ialah bahwa tujuan pendidikan diambil
dari tujuan masyarakat, dan perumusan operasionalnya ditunjukkan

24
Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah,
(terj), Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399
25
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi
dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), cet. ke-1, hlm. 32.
26
Ahmad Fuad al-Ahwaniy, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Ma’arif,
tp.th), hlm. 3

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


untuk mencapai tujuan tersebut, dan disekitar tujuan pendidikan
tersebut terdapat atmosfer falsafah hidupnya. Dari keadaan yang
demikian itu, maka falsafah pendidikan yang terdapat masyarakat
laimya, yang disebabkan perbedaan sudut pandang masyarakat, serta
pandangan hidup yang berhubungan dengan sudut pandang tersebut.27
Dari keempat rumusan tentang pendidikan tersebut dapat
dikemukakan beberpa catatan sebagai berikutu:
Pertama, seluruh rumusan pendidikan selalu memiliki objek atau
sasaran yang sama, yaitu manusia. Hal ini dapat diketahui, dengan
melihat tugas utama pendidikan yaitu meningkatkan sumber daya
manusia.
Kedua, seluruh rumusan pendidikan selalu menempatkan
pendidikan sebagai sarana yang strategis untuk melahirkan manusia
yang tebina seluruh potensi dirinya (fisik, psikis, akal, spiritual, fitrah,
talenta, dan sosial) sehingga dapat melaksanakan fungsi
pengabdiamya dalam rangka beribadah kepada Allah Swt serta
tercapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Ketiga, seluruh rumusan pendidikan tersebut selalu dilihat dari
kebutuhan masyarakat dan budaya. Pendidikan adalah sarana yang
paling strategis untuk menanamkan nilai-nilai, ajaran, keterampilan,
pengalaman, dan sebagainya yang datang dari luar ke dalam diri
peserta didik. Hal ini dapat menunjukkan masih kuatnya pengaruh
ideologi pendidikan normative perenialis. Ideologi progresivisme
yang menempatkan pendidikan hanya sebagai fasilitator yang
melayani kebutuhan manusia tampaknya belum diterima di kalangan
para ahli pendidikan Islam pada umumnya. Pendidikan yang
seharusnya lebih memerhatikan, memprogramkan atau melayani
kebutuhan peserta didik, sebagaimana dianut oleh ideologi pendidikan
progresivisme tampaknya belum menjadi pilihan pendidikan Islam.

27
Ali Khalil Abul A’inain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1980), cet. ke-1 hlm. 37

Manajemen Pendidikan Islam


Keempat, sesuai dengan karakteristik ajaran Islam yang
mengedepankan prinsip keseimbangan, seharusnya pendidikan Islam
dirancang berdasarkan prinsip yang memadukan antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu. Kepentingan masyarakat yang
tekait dengan pelestarian nilai, ajaran, dan norma yang berlaku di
masyarakat seharusnya diperhatikan oleh pendidikan dalam rangka
menjaga terciptanya keharmonisan dan stabilitas dalam kehidupan.
Demikian pula kepentingan individu yang terkait dengan penyaluran
bakat, minat, hobi, dan berbagai potensi laimya yang dimiliki
manusia, seharusnya juga diperhatikan. Dengan demikian, terjadi
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


BAB II
SEPUTAR MAJAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

A. Manajemen Pendidikan Islam dan Implikasinya

M
anajemen pendidikan Islam adalah suatu proses
pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara Islami
dengan cara menyiasati sumber-sumber belajar dan hal-
hal lain yang terkait untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara
efektif dan efisien.
Makna definitive ini selanjutnya memiliki implikasi-implikasi
yang saling terkait dan membentuk satu kesatuan sistem dalam
manajemen pendidikan Islam. Berikut ini penjabaramya.28
Pertama, proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara
Islami. Aspek ini menghendaki adanya muatan-muatan nilai Islam
dalam proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam. Misalnya,
pendekatan pada penghargaan, maslahat, kualitas, kemajuan, dan
pemberdayaan. Selanjutnya, upaya pengelolaan itu diupayakan
bersandar pada pesan-pesan Al-Qur’an dan hadis agar selalu dapat
menjaga sifat Islami.
Kedua, terhadap lembaga pendidikan Islam, hal ini menunjukkan
objek dari manajemen ini yang secara khusus diarahkan untuk
menangani lembaga pendidikan Islam dengan segala keunikamya.
Maka, manajemen ini bias memaparkan cara-cara pengelolaan
pesantren, madrasah, perguruan tinggi Islam dan sebagainya.
Ketiga, proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara
Islami menghendaki adanya sifat inklusif dan eksklusif. Frase secara
Islami menunjukkan sikap inklusif, yang berarti kaidah-kaidah
manajemerial yang dirumuskan dalam buku ini bisa dipakai untuk

28
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: PT.
Gelora Aksara Pratama, 2007), hlm. 10

Manajemen Pendidikan Islam


pengelolaan pendidikan selain pendidikan Islam selama ada
kesesuaian sifat dan misinya. Dan sebaliknya, kaidah-kaidan
manajemen pendidikan secara umum bisa juga dipakai dalam
mengelola pendidikan Islam selama sesuai dengan nilai-nilai Islam,
realita, dan kultur yang dihadapi lembaga pendidikan Islam.
Sementara itu, frase lembaga pendidikan Islam menunjukkan keadaan
eksklusif karena menjadi objek langsung dari kajian ini, hanya
terfokus pada lembaga pendidikan Islam. Sedangkan, lembaga
pendidikan laimya telah dibahas secara detail dalam buku-buku
manajemen pendidikan.29
Keempat, dengan secara menyiasati. Frase ini mengandung
strategi yang menjadi salah satu pembeda antara administrasi dengan
manajemen. Manajemen penuh siasat atau strategi yang diarahkan
untuk mencapai suatu tujuan. Demikian pula dengan manajemen
pendidikan Islam yang senantiasa diwujudkan melalui strategi
tertentu. Adakalanya strategi tersebut sesuai dengan strategi dalam
mengelola lembaga pendidikan umum, tetapi bisa jadi beberda sekali
lantaran adanya situasi khusus yang dihadapi lembaga pendidikan
Islam.
Kelima, sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang terkait.
Sumber belajar di sini memiliki cakupan yang cukup luas, yaitu (1)
Manusia, yang meliputi guru/ustadz/dosen, siswa/santri/ mahasiswa,
para pegawai, dan para pengurus yayasan; (2) Bahan, yang meliputi
perpustakaan, buku paket ajar, dan sebagainya; (3) Lingkungan,
merupakan segala hal yang mengarah pada masyarakat; dan (4) Alat
dan peralatan, seperti laboratorium; dan (5) Aktivitas. Adapun hal-hal
lain yang terkait bisa berupa keadaan sosio-politik, sosio-kultural,
sosio-ekonomi, maupun sosio-religius yang dihadapi lembaga
pendidikan Islam.30

29
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam…hlm. 11
30
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam…hlm. 12

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Keenam, tujuan pendidikan Islam. Hal ini merupakan arah dari
seluruh kegiatan pengelolaan lembaga pendidikan Islam sehingga
tujuan ini sangat memengaruhi komponen-komponen laimya, bahkan
mengendalikamya.
Ketujuh, efektif dan efesien. Maksudnya, berhasil guna dan
berdaya guna. Artinya, manajemen yang berhasil mencapai tujuan
dengan penghematan tenaga, waktu, dan biaya. Efektif dan efisien ini
merupakan penjelasan terhadap komponen-komponen sebelumnya
sekaligus mengandung makna penyempurnaan dalam proses
pencapaian tujuan pendidikan Islam.
Ditinjau dari perspektif sistem filsafat, rumusan definitive
manajemen pendidikan Islam tersebut telah mencakup sisi ontology,
epistimologi, dan aksiologi. Ontology sebagai objek pengelolaan,
dalam hal ini berupa lembaga pendidikan Islam, sumber-sumber
belajar, dan hal-hal yang tekait; epistimologi sebagai “cara atau
metode” pengelolaan, dalam hal ini berupa proses pengelolaan dan
cara menyiasati; sedangkan aksiologi sebagai hasil pengelolaan
berupa pencapaian tujuan pendidikan Islam. Adapun istilah efektif dan
efisien merupakan keterangan yang menjelaskan aksiologi dan
epistimologi. Efektif menekankan pada aksiologi sedangkan efisien
menitikberatkan pada epistimologi.
Komponen-komponen definisi tersebut dalam kerangka otologi,
epistimologi, dan aksiologi dapat dipetakan melalui table berikut.31
Subsistem Komponen-
keterangan
Filsafat komponen
Ontology 1.Lembaga 1. Objek pengelolaan
pendidikan Islam makro
2.Sumber-sumber 2. Objek pengelolaan
belajar meso
3.Hal-hal lain yang 3. Objek pengelolaan

31
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Op. cit., hlm.
13

Manajemen Pendidikan Islam


Subsistem Komponen-
keterangan
Filsafat komponen
terkait mikro
Epistimologi 1. Proses pengelolaan 1.Cara pengelolaan
secara Islami makro
2. Cara menyiasati 2.Cara pengelolaan
mikro
Aksiologi Pencapaian tujuan Hasil pengelolaan
pendidikan Islam
Gabungan Efektif dan efisien Menjelaskan keadaan
Aksiologi dan aksiologi dan
Epistimologi epistimologi: efektif
menekankan pada hasil
(aksiologi) sedangkan
efisien menekankan pad
acara (epistemologi).

Dengan demikian, jelaslah pemetaan masing-masing komponen


pada subsistem filsafat. Komponen-komponen yang termasuk
ontology memberi kejelasan objek pengelolaan, meskipun dalam hal
ini obyeknya berupa fisik, bukamya metafisik karena manajemen
merupakan wilayah terapan. Komponen-komponen yang termasuk
epistimologi memberi kejelasan pad cara pengelolaan, sedangkan
komponen yang temasuk aksiologi memberi kejelasan pada hasil
pengelolaan.
Jadi, melalui penerapan tersebut diharapkan telah jelas semuanya.
Objek pengelolaamya jelas, cara pengelolanya jelas, dana rah hasil
pengelolaan juga jelas sehingga membantu mempermudah para
manajer untuk melakukan aktivitasnya.
Lalu, dari sini muncul pertanyaan: apa perbedaan manajemen
pendidikan Islam dengna manjemen laimya,? Memang secara general
sama. Artinya, ada banyak atau bahkan mayoritas kaidah-kaidah
manajerial yang dapat digunakan oleh kedua jenis manajemen
tersebut, bahka oleh seluruh manajemen. Namun, secara spesifik
terdapat kekhususan-kekhususan yang membutuhkan penanganan

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


yang special pula. Dede Rosyada menyatakan, “Inti manajemen dalam
bidang apa pun sama, hanya saja variable yang dihadapinya bisa
berbeda, tergantung pada bidang apa manajemen tersebut digunakan
dan dikembangkan.”32 Perbedaan variabel ini membawa perbedaan
kultur yang kemudian memunculkan berbagai perbedaan.
Komponen-komponen yang tergolong dalam ontology dan
aksiologi yang menunjukkan perbedaan objek pengelolaan dan
orientasi hasil pengelolaan memiliki pengaruh pad acara pengelolaan
walaupun tidak berbeda seluruhnya. Hal ini menunjukkan adanya
kaitan erat antara ontology, epistimologi, dan aksiologi (objek
pengelolaan, cara pengelolaan, dan hasil pengelolaan).
Gambaran tentang manajemen pendidikan Islam ini akan lebih
jelas lagi ketika karakteristik dipaparkan sebagai ciri-ciri yang
dimilikinya, dan ini dapat membedakan secara jelas dengan
manajemen pendidikan pada umumnya.

B. Karakteristik Manajemen Pendidikan Islam


Manajemen pendidikan Islam memiliki objek bahasan yang cukup
kompleks.b berbagai objek bahasa tersebut dapat dijadikan bahan
yang kemudian diintegrasikan untuk mewujudkan manajemen
pendidikan yang berciri khas Islam.
Istilah Islam dapat dimaknai sebagai Islam wahyu atau Islam
budaya. Islam wahyu meliputi Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi, baik
hadis Nabawi maupun hadis Qudsi. Sementara itu, Islam budaya
meliputi ungkapan sahabat Nabi, pemahaman ulama. Pemahaman
cendikiawan Muslim dan budaya umat Islam. Kata Islam yang
menjadi identitas manajemen pendidikan ini dimaksudkan dapat
mencakup makna keduanya, yakni Islam wahyu dan Islam budaya.
Oleh karena itu, pembahasan manajemen pendidikan Islam
senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum muslimin, ditambah

32
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model
Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media,
2004), hlm. 236

Manajemen Pendidikan Islam


kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum. Maka,
pembahasan ini akan mempertimbangkan bahan-bahan sebagai
berikut.33
1. Teks-teks wahyu baik Al-Qur’an maupun hadis yang berkaitan
dengan manajemen pendidikan.
2. Perkataan-perkataan (aqwal) para sahabat Nabi maupun ulama dan
cedikiawan muslim yang terkait dengan manajemen pendidikan.
3. Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam
4. Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan
Islam.
5. Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam
Bahan nomor 1 sampai 4 merefleksikan ciri khas Islam pada
bangunan manajemen pendidikan Islam, sedangan bahan nomor 5
merupakan tambahan yang bersifat umum dan karenanya dapat
digunakan untuk membantu merumuskan bangunan manajemen
pendidikan Islam. Tentunya setelah diseleksi berdasarkan nilai-nilai
Islam tersebut merupakan refleksi wahyu, sedangkan realitas tersebut
sebagai refleksi budaya atau kultur.
Teks-teks wahyu sebagai sandaran teologis; perkataan-perkataan
para sahabat Nabi, ulama, dan cendekiawan muslim sebagai sandaran
rasional; realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam serta kultur
komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam sebagai
sandaran epiris; sedangkan ketentuan kaidah-kaidah manajemen
pendidikan sebagai sandaran teoretis. Jadi, bangunan manajemen
pendidikan Islam ini diletakkan di atas empat sandaran, yaitu sandaran
teologis, rasional, empiris dan teoritis.34
Sandaran teologis menimbulkan keyakinan adanya kebenaran
pesan-pesan wahyu karena berasal dari Tuhan, sandaran rasional
menimbulkan keyakinan kebenaran berdasarkan pertimbangan akal-
pikiran. Sandaran empiris menimbulkan keyakinan adanya kebenaran

33
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 15

34
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 17

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


berdasarkan data-data riil dan akurat, sedangkan sandaran teoritis
menimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan akal pikiran
dan data sekaligus serta telah dipraktikkan berkali-kali dalam
pengelolaan pendidikan.
Selanjutnya, penerapan manajemen pendidikan Islam dalam
pengelolaan lembaga pendidikan juga menghadapi berbagai
kendala/hambatan, baik yang bersifat politis, ekonomi-finansial,
intelektual, maupun dakwah. Hambatan-hambatan tersebut dapat
dirinci sebagai berikut.35 al-Jumu’ah ayat 2
1. Ideologi, politik, dan tekanan (pressure) kelompok-kelompok
kepentingan.
Dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama yang
berstatus negeri, acap kali terjadi pertentangan ideologi
antarorganisasi sosial keagamaan utamanya, misalnya antara
Muhammadiyah dan NU, atau antar organisasi kemahasiswaan,
terutama antara HMI dengan PMII, HMI dengan IMM, atau IMM
dengan PMII. Latar belakang pertentangan-pertetang ini, akhirnya
politik kepentingan memasuki arena lembaga pendidikan dengan
memberikan tekanan-tekanan tertentu.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen
Agama, Yahya Umar, perna mencoba mengamati dan menyelami
kehidupan kampus UIN, IAIN maupun STAIN di seluruh
Indonesia. Pengamatan tersebut akhirnya menghasilkan suatu
kesimpulan yang singkat tetapi penuh makna, bahwa dikalangan
PTAIN tidak ada civitas akademika, sebaliknya yang ada justru
civitas politika. Kesimpulan ini tampaknya memang benar karena
nuansa politik di kalangan dosen, mahasiswa, bahkan karyawan
sangat dominan, mengalahkan nuansa akademik. Oleh karenanya,
kegiatan di lingkungan kampus lebih mengarah pada gerakan-
gerakan politik daripada pemberdayaan intelektual.

35
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 17

Manajemen Pendidikan Islam


Nuansa politik tersebut semakin terasa saat menjelang dan
pascapemilihan rektor, dekan, maupun ketua lembaga. Akibatnya,
pertikaian antardosen, antarkaryawan dan antar mahasiswa terus
berlangsung. Hal ini tentu saja menghambat kerja manajer (rektor,
dekan, atau ketua lembaga) dalam melaksanakan dan
menyukseskan program-programnya. Dosen dan karyawan pun
tidak bisa bekerja secara maksimal akibat pertentangan itu. Dan,
biasanya, paling cepat pertikaian itu berjalan dua tahun; setahun
pascapemilihan dan setahun menjelang pemilihan lagi. Jadi, dalam
satu periode kepemimpinan rektor, dekan, atau ketua lembaga
yang selama empat tahun itu mereka bisa bekerja secara normal
paling lama hanya dua tahun.
Dalam dua tahun itu pun, masing-masing aktvis memiliki
agenda dan kepentingan sendiri-sendiri yang berusaha melalukan
intervensi terhadap keputusan-keputusan pimpinan. Sufyarman
melaporkan, “Kelompok kepentingan hadir dalam percaturan
pembuatan kebijaksanaan untuk memperjuangkan kepentingamya
dalam kebijaksanaan dalam skala sempit dan spesifik,”36
Akibatnya, pimpinan tidak bersikap luas, mandiri, dan profesional.
Tindakan pimpinan dalam mengambil keputusan seringkali
dibayan-bayangi intervensi kepentingan kelompoknya. Hal ini
dilakukan pimpinan bai katas kesadaran sendiri maupun tekanan
dari orang-orang di sekelilingnya yang satu ideologi, aliran,
maupun kelompok.
Masi ada fenomena yang lebih parah lagi. Ternyata ukuran
atau parameter keberhasilan pimpinan bagi kalangan aktivis
organisasi bukan terletak pada kesesuaian antara pelaksanaan
program dengan perencanaamya. Akan tetapi, lebih pada seberapa
besar pimpinan tersebut dapat meberi keuntungan bagi
organisasinya sehingga profesionalisme tidak dibutuhkan lagi.

36
Sufyarman, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan Islam (Bandung:
Alfabeta, 2003), hlm. 75

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Tentu saja, fenomena ini sangat mengancam kemajuan lembaga
pendidikan Islam. Lembaga pendidikan hanya menjadi ajang
perebutan kekuasaan dan pengaruh.
Politik dalam rangka memperjuangkan ideologi organisasi
tersebut sempat merambah juga para lulusamya. Para alumni dari
sekolah-sekolah Islam lebih diproyeksikan menjadi pengikut setia
suatu organisasi tertentu dari pada menjadi orang pandai. A. Malik
Fadjar memberikan contoh, ada individu dari kalangan
Muhammadiyah maupun NU yang tidak risau menyaksikan
lemahnya daya saing mutu lulusan sekolah Muhammadiyah
maupun NU dibandingkan dengan sekolah lain. Namun, mereka
begitu khawatir jika lulusan dari sekolah Muhammadiyah tidak
menjadi Muhammadiyah dan lulusan dari sekolah NU tidak
menjadi NU.37
Dengan demikian, menguatnya ideologi dari organisasi
menyebabkan kecenderungan ini juga memasuki wilayah
pendidikan. Alhasil, proses pendidikan yang semestinya diniatkan
untuk membangun sumber daya manusia peserta didik agar
pandai, berakhlak, dan terampil pada akhirnya jurstru bergeser
karena mereka dibentuk untuk menjadi anak-anak yang militant
dan fanatik dalam mengikuti organisasi sosial keagamaan. Kasus
ini telah melenceng jauh dari substansi misi pendidikan Islam.
Berbagai kasus ideologi, politik, organisasi, dan tekanan-
tekanan kelompok kepentingan tersebut sangat mewarnai lembaga
pendidikan Islam negeri sehingga membuat lembaga pendidikan
Islam negeri berbeda dengan lembaga pendidikan umum. Jika
dilihat dari segi problem dihadapi dan konsekuensinya, dibutuhkan
strategi khusus untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah ini.
Lembaga pendidikan Islam swasta biasanya di dominasi satu
kelompok organisasi sosial keagamaan tertentu, seperti NU atau

37
A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga
Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI), 1998), hlm.
19

Manajemen Pendidikan Islam


Muhammadiyah, sehingga tidak terjadi pertentangan antara
keduanya. Namun, dominasi dari organisasi yang mengendalikan
itu, yaitu dengan program ke-NU-an dan ke-Muhammadiyah-an,
tidak jarang mengorbankan pemberdayaan SDM para peserta
didiknya, pengajar, dan para karyawamya. Sebab, pembebanan
yang diberikan kepada siswa bertambah besar, sedangkan beban
misi organisasi itu tidak ada kaitan apa-apa dengan
kesinambungan pe lajaran yang ditempuh siswa di lembaga
pendidikan berikutnya, kecuali jika mereka melanjutkan
kelembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah organisasi
sosial keagamaan yang sama. Kalau saja pelajaran ke-NU-an dan
ke-Muhammadiyah-an diganti untuk memperkuat kemampuan
siswa menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris tentu hasilnya
lebih riil karena lebih berkesinambungan dan selalu dibutuhkan.
2. Kondisi sosio-Ekonomik Masyarakat dan Animo-Finansial
Lembaga.
Masyarakat santri di Indonesia secara sosio-ekonomik rata-rata
berada dalam kategori kelas menengah ke bawah. Ekonomi orang
tua siswa lemah, ekonomi karyawan, pengajar, dan bahkan
pimpinamya juga lemah. Ini merupakan kendala serius bagi
lembaga pendidikan Islam untuk memacu kemajuan yang
signifikan.
Bagaimana seorang kepala madrasah misalnya, dituntut
mengelola madrasahnya secara profesional semen tara kondisi
ekonomi keluarganya amburadul? Bagaimana guru-guru madrasah
bisa dituntut serius melakukan inovasi strategi, pendekatan,
metode, dan desain pembelajaran dengan baik sementara
kebutuhan dasar sehari-hari saja tidak terpenuhi? Padahal, guru
merupakan ujung tombak pendidikan. Menurut E. Mulyasa, "Guru
meru pakan pemeran utama proses pendidikan yang sangat

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


menentukan tercapai-tidaknya tujuan pendidikan."38 Oleh
karenanya, guru merupakan jiwa dari sekolah.39 Demikian juga
karyawan, mereka sulit untuk bekerja serius ketika dibelit oleh
persoalan ekonomi. Sedangkan kelemahan ekonomi orangtua
murid senantiasa berdampak langsung terhadap minimnya
kesejahteraan pegawai, apalagi untuk pengembangan fisik.
Ekonomi orangtua siswa yang lemah menyebabkan
pendapatan keuangan pada lembaga pendidikan Islam sangat
minim, sebab mayoritas kehidupan lembaga pendidikan hanya
swasta hanya mengandalkan keuangan dari SPP, sumbangan uang
gedung, dan iuran lamya yang kesemuanya berasal dari orangtua
siswa atau mahasiswa. Ketergantungan sumber keuangan yang
hanya berasal dari siswa atau mahasiswa ini tergolong sumber
keuangan yang lemah sekali. Sebab, mestinya sebuah lembaga
pendidikan didukung sumber dana yang lebih kuat, misalnya
donatur tetap, pengusaha, pengembangan bisnis, dan lain-lain
3. Komposisi Status Kelembagaan dan Diskriminasi Kebijakan
Pemerintah
Mayoritas lembaga pendidikan Islam berstatus swasta dananya
bersumber dari usaha swadaya masyarakat santri yang kondisi
ekonominya tergolong dalam level kelas menengah ke bawah.
Komposisi ini paling jelas terlihat pada tingkat madrasah
ibtidaiyah, terutama jika dibandingkan dengan sekolah dasar. Data
statistik 2005/2006 yang menggambarkan jumlah sekolah di
Indonesia menyebutkan terdapat 21.042 (93,1%) madrasah
ibtidaiyah swasta, sedangkan madrasah ibtidaiyah negeri hanya
berjumlah 1.568 (6,9%). Keadaan ini berbanding terbalik jika
dibandingkan dengan sekolah dasar. Sebab sekolah dasar negeri
mencapai jumlah 137.673 (92,87%), sedangkan sekolah dasar

38
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 50
39
E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks
Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm 90

Manajemen Pendidikan Islam


swasta hanya berjumlah 10.569 (7,13%). Pada tingkat tsanawiyah,
yang berstatus negeri hanya berjumlah 1.264 (10,19%), sedangkan
yang swasta mencapai 11.234 (89,9%). Hal ini berbanding jauh
dengan SMP yang berstatus negeri mencapai 12.951 (54,30%)
sedangkan swasta hanya 10.902 (45,70%). Demikian juga pada
madrasah aliyah negeri hanya 642 (13,1%) sedangkan swasta
mencapai 4.276 (86,9%). Sementara itu SMA negeri masih
mencapai 3.940 (42,29%), sedangkan SMA swasta berjumlah
5.377 (57,71%).40
Perbedaan ini memiliki implikasi yang besar sekali terhadap
keadaan keuangan lembaga. Bagi madrasah ibtidaiyah, mengingat
93,1% di antaranya berstatus swasta itu, selalu berhadapan dengan
masalah keuangan. Minimnya keuangan madrasah ibtidaiyah ini
menyebabkan posisi lembaga pendidikan tersebut selalu
terbelakang dan sulit maju. Sebab, untuk memajukan madrasah,
seperti juga memajukan lembaga pendidikan laimya, sangat
membutuhkan dana yang memadai. Semua peningkatan komponen
lembaga pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan
pembiayaan ini menentukan apakah madrasah ini segera bisa
ditingkatkan atau dibiarkan dalam keadaan yang memprihatinkan.
Dalam waktu yang bersamaan dengan kondisi tersebut,
kebijakan pemerintah tidak pernah berpihak pada lembaga
pendidikan Islam swasta. Kepedulian dan keberpihakan
pemerintah hanya terarah pada lembaga pendidikan negeri
sehingga beban madrasah, khususnya madrasah ibtidaiyah,
semakin berat. Diskriminasi kebijakan pemerintah pada madrasah
yang mayoritas berstatus swasta tersebut telah berlangsung selama
berpuluh-puluh tahun hingga sekarang ini.
Diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap lembaga
pendidikan Islam ternyata bukan hanya terjadi pada lembaga
pendidikan Islam swasta, tetapi juga pada lembaga pendidikan

40
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 22

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


lslam negeri. Pada zaman Orde Baru. anggaran untuk empat belas
IAIN di seluruh Indonesia sama dengan anggaran satu IKIP
negeri. Sekarang, zaman sudah berganti menjadi Orde Reformasi,
tetapi sayang kebijakan pemerintah tentang keseimbangan
anggaran itu belum juga tereformasi. Anggaran untuk lembaga
pendidikan Islam masih tetap jauh di bawah lembaga pendidikan
umum, meskipun ada sedikit peningkatan. Hal ini berdampak
negatif terhadap seluruh komponen lembaga pendidikan Islam,
baik pada guru/dosen, siswa/ mahasiswa, maupun fasilitas yang
dibutuhkan untuk memajukan lembaga pendidikan Islam.
4. Keadaan potensi Intelektual siswa/Mahasiswa
Di samping secara ekonomi siswa/mahasiswa dalam lembaga
pendidikan Islam berada dalam kategori kelas menengah ke bawah,
secara intelektual, potensi mereka juga lemah. Rata-rata
siswa/mahasiswa mendaftar di berbagai lembaga pendidikan Islam
karena merasa tidak mungkin diterima di lembaga pendidikan umum
yang maju dan terutama yang berstatus negeri. Sebagian dari mereka
yang telah gagal masuk di lembaga pendidikan umum negeri
kemudian memilih lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian,
lembaga pendidikan Islam menjadi tempat pelarian siswa/mahasiswa
yang gagal masuk lembaga pendidikan umum negeri, atau karena
menyadari kemampuamya rendah dan mungkin amat rendah sehingga
sengaja tidak pernah mendaftar di lembaga pendidikan umum
negeri.41
Keadaan ini menunjukkan adanya unsur keterpaksaan; daripada
tidak sekolah/kuliah masih lebih baik memasuki lembaga pendidikan
Islam. Kalaulah bukan keterpaksaan. setidaknya lembaga pendidikan
Islam tetap bukan pilihan siswa/mahasiswa. Kondisi psikologis ini
tentunya tidak dapat memberikan pengaruh positif untuk
membangkitkan gairah belajar guna mengejar penguasaan

41
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 25

Manajemen Pendidikan Islam


pengetahuan, baik yang difasilitasi lembaga maupun atas inisiatit
sendiri.
Pada bagian lain, lembaga pendidikan Islam tidak mampu
melakukan seleksi penerimaan siswa atau mahasiswa baru secara ketat
dan kompetitif. Karena, selisih antara kuota yang direncanakan
dengan jumlah calon siswa atau mahasiswa yang mendaftar tidak
berbeda banyak. Bahkan, tidak jarang jumlah siswa/mahasiswa
pendaftar lebih sedikit daripada kuota yang direncanakan sehingga
tidak ada persaingan sama sekali. Keadaan ini membuat pimpinan
lembaga pendidikan Islam berada dalam posisi yang serba sulit
(dilema). Jika tidak ada seleksi, berarti siswa/mahasiswa yang
diterima bisa jadi berasal dari kalangan yang rendah secara intelektual.
Akan tetapi, jika diseleksi secara ketat, hanya diperoleh siswa
/mahasiswa dalam jumlah yang amat sedikit, yang akan menimbulkan
masalah untuk meningkatkan potensi keuangan lembaga.42
Kondisi potensi intelektual siswa/mahasiswa yang cukup parah ini
kemudian diperburuk dengan banyaknya beban mata pelajaran/mata
kuliah. Beban yang dihadapi siswa madrasah lebih berat dari siswa
sekolah umum karena pelajaramya ditambah dengan rumpun mata
pelajaran agama (Al-Quran. hadis, akidah akhlak, fikih, tarikh, dan
Bahasa Arab). Demikian juga yang dialami oleh mahasiswa perguruan
tinggi Islam, beban mereka lebih berat daripada mahasiswa perguruan
tinggi umum.
Kenyataan yang serba memberatkan ini potensi intelektual
siswa/mahasiswa yang begitu lemah disatu sisi, dan beban
pelajaran/perkuliahan yang lebih berat pada sisi lain dirasakan oleh
pimpinan beserta jajaran staf pengajar di lembaga pendidikan Islam
sebagai tugas berat, bahkan "mahaberat” yang terpaksa harus
diemban. Sementara itu, standar mutu lulusan yang dituntut dari
lembaga pendidikan Islam sangat tinggi. Keadaan ini benar-benar
timpang. Tidak ada keseimbangan antara cita-cita yang ingin diraih,

42
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen,,, hlm. 25

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


beban, dan modal kemampuan yang dimiliki peserta didik. Pimpinan
lembaga mana pun tentu juga merasakan kesulitan jika menghadapi
kondisi seperti ini.
Kondisi ini sangat berbeda dengan lembaga pendidikan umum
negeri. Siswa/mahasiswa yang memasuki lembaga tersebut berasal
dari kalangan garis depan (siswa/mahasiswa yang mencapai ranking
papan atas) di sekolah asalnya. Semakin maju suatu sekolah atau
perguruan tinggi, semakin ketat seleksi bagi siswa/mahasiswa yang
akan diterima. Sampai hari ini, belum ada keberanian lembaga
pendidikan yang maju untuk menerima siswa/mahasiswa yang
kemampuamya rendah sebagai kelas percobaan, satu kelas saja
misalnya. Kemudian, mereka digembleng dengan guru/dosen yang
profesional, sarana prasarana yang lengkap, strategi pembelajaran
yang bagus, dan situasi pembelajaran yang menggairahkan untuk
mewujudkan perubahan pada siswa mahasiswa tersebut.
Sekolah/perguruan tinggi yang maju cenderung hanya memilih
siswa/mahasiswa yang istimewa, yang tentu kemudian menjadi
lulusan yang baik. Inilah model pendidikan kapitalis yang harus
menghadapi pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah mutu lulusan
yang dihasilkan dengan baik itu lantaran rekayasa lembaga atau justru
lantaran potensi sebelumnya yang tersebut, memang sudah pandai?
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan potensi
siswa/mahasiswa lembaga pendidikan Islam yang lemah, sementara
tuntutan pelajaran lebih berat daripada siswa/mahasiswa lembaga
pendidikan umum, maka perlu segera diusahakan model pendidikan
emansipatoris. Yaitu, pendidikan yang berusaha mengubah secara
signifikan kemampuan siswa/mahasiswa yang lemah menjadi
siswa/mahasiswa yang pandai dan mampu bersaing dengan
siswa/mahasiswa dari lembaga laimya. Inilah model pendidikan yang
sejati karena mampu membawa perubahan positif, konstruktif, bahkan
progresif.
5. Keberadaan Motif Dakwah Pada pendirian Lembaga Pendidikan
Islam.
Manajemen Pendidikan Islam
Keberadaan lembaga pendidikan Islam kebanyakan berangkat dari
bawah, berawal dari inisiatif tokoh-tokoh agama yang kemudian
didukung oleh masyarakat sekitar Mereka mendirikan lembaga
pendidikan tersebut dengan motif dakwah, upaya sosialisasi, dan
penanaman ajaran-ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat.43
Dengan adanya motif dakwah tersebut, timbullah konsekuensi-
konsekuensi yang menjadi akibat. Misalnya, lembaga tersebut
didirikan secara asal-asalan dan tanpa melalui perencanaan matang
untuk memenuhi berbagai komponen pendukungnya. Layaknya
gerakan dakwah yang senantiasa berangkat dari bawah, dengan
menggunakan pendekatan pahala dan konsep lillahi ta’ala sehingga
terkadang mengabaikan kesejahteraan pegawai dan menerima semua
pendaftar tanpa seleksi. Hal ini didasari dengan pemikiran bahwa
mengapa harus menolak siswa/ mahasiswa yang mau belajar? Sikap
menolak orang yang mau belajar itu tidak baik.
Motif dakwah dalam pendirian lembaga pendidikan Islam ini
membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah
memiliki kekuatan besar untuk bersatu dan hidup (survive) meskipun
jumlah siswanya han sedikit. Tidak ada kata menyerah dalam
meneruskan keberadaan lembaga pendidikan. Sementara itu, segi
negatifnya terkadang menimbulkan kondisi serba tidak teratur, serba
tidak terencana, serba tidak terancang, serba tidak kompetitif, dan
serba mengalami kemunduran.
Motif dakwah ini pada akhirnya dapat mengurangi bobot kajian
ilmiah. Melalui motif ini, lembaga pendidikan Islam dianggap sebagai
lembaga keagamaan. Anggapan ini menuntut sikap pemihakan,
idealitas, bahkan pembelaan yang bercorak apologis. M. Amin
Abdullah menyatakan bahwa studi Islam di IAIN dan PTAIS secara
umum agaknya masih lebih banyak terbebani misi keagamaan yang
bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan
analitis, kritis, metodologis, dan historis empiris, terutama dalam

43
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 27

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah
terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para
peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.44

Demikianlah lima macam hambatan yang mewarnai


keberlangsungan lembaga pendidikan Islam. Selain itu, tentu masih
terdapat hambatan-hambatan laimya dalam skala yang lebih kecil
walaupun juga tidak bisa diremehkan begitu saja. Hambatan-hambatan
yang dihadapi manajemen pendidikan tersebut selama ini cukup sulit
diselesaikan, meskipun yakin ada jalan keluar yang strategis.
Berdasarkan lima macam hambatan tersebut, maka karakteristik
manajemen pendidikan Islam bersifat holistik artinya strategi
pengelolaan pendidikan Islam dilakukan dengan memadukan sumber-
sumber belajar dan mempertimbangkan keterlibatan budaya
manusianya, baik budaya yang bercorak politis, ekonomis, intelektual,
maupun teologis. Secara detail, kaidah-kaidah manajemen pendidikan
Islam yang harus dirumuskan haruslah:
1. Dipayungi oleh wahyu (Al-Qur'an dan hadis),
2. Diperkuat oleh pemikiran rasional
3. Didasarkan pada data-data empiric,
4. Dipertimbangkan melalui budaya, dan
5. Didukung oleh teori-teori yang telah teruji validitasnya
Syarat pertama berupa wahyu (Al-Quran dan hadis) maupun syarat
kedua berupa pemikiran rasional dari sahabat Nabi, ulama, maupun
cendekiawan muslim, dipandang perlu untuk menghadirkan pesan-
pesan wahyu maupun pesan pasan sahabat Nabi, ulama, serta
cendekiawan muslim dalam lembaga pendidikan Islam meskipun
masih berupa prinsip-prinsip dasar.

44
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 105-106

Manajemen Pendidikan Islam


C. Prinsip-prinsip Dasar Manajemen Pendidikan Islam
Pembahasan ini akan menghadirkan contoh-contoh ayat Al-Quran,
hadis Nabi, maupun perkataan sahabat Nabi yang dapat dipandang
sebagai prinsip-prinsip dasar manajemen pendidikan Islam. Sumber-
sumber prinsip tersebut bersifat inspiratif yang membutuhkan tindak
lanjut berupa pemahaman, penafsiran dan pemahaman secara
kontekstual. Adapun contoh-contoh ayat Al-Quran, maupun
pernyataan sahabat Nabi tersebut dapat diikuti pada pemaparan di
bawah ini.45
1. Surah al-Hasyr: 18
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Menurut Muhammad Ali al-Shabuni, yang dimaksud dengan
waltangjur nafsum maa qoddamat ligod adalah hendaknya masing-
masing individu memerhatikan amal-amal saleh apa yang diperbuat
untuk menghadapi Hari Kiamat.46
Ayat ini memberi pesan kepada orang-orang yang beriman untuk
memikirkan masa depan. Dalam bahasa manajemen, pemikiran masa
depan yang dituangkan dalam konsep yang jelas dan sistematis ini
disebut perencanaan (plaming). Perencanaan ini menjadi sangat
penting karena berfungsi sebagai pengarah bagi kegiatan, target-target,
dan hasil-hasilnya di masa depan sehingga apa pun kegiatan yang
dilakukan dapat berjalan dengan tertib.
2. Perkataan (qawl) sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:
"Kebenaran yang tidak terorganisasi dapat dikalahkan oleh kebatilan
yang terorganisasi”
Qawl ini mengingatkan kita pada urgensi berorganisasi dan
ancaman pada kebenaran yang tidak diorganisasi melalui langkah-

45
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 29
46
Muhammad Ali-Shabuni, Shafwat al-Tafsair, Jilid IV, (Beirut: Dar al-
Fikr, tt), hlm. 355

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


langkah yang konkret dan strategi-strategi yang mantap. Maka,
perkumpulan apa pun yang menggunakan identitas Islam meski
memenangi pertandingan, persaingan maupun perlawanan-tidak
memiliki garansi jika tidak diorganisasi dengan baik.
Oleh karena itu, qawi sayyidina Ali ini menginspirasi pendidikan
berorganisasi. Dari sisi wadah, organisasi memayungi manajemen,
yang berarti organisasi lebih luas daripada manajemen. Akan tetapi,
dari sisi fungsi, organisasi (organizing) merupakan bagian dari fungsi
manajemen, yang berarti organisasi lebih sempit daripada manajemen.
3. Hadis riwayat al-Bukhari:
“(Imam al-Bukhari menyatakan) Muhammad bin Sinan
menyampaikan (riwayat) kepada kami, Qulaih bin Sulaiman telah
menyampaikan (riwayat) kepada kami, Hilal bin ‘Ali telah
menyampaikan (riwayat) kepada kami, (riwayat itu) dari Atha’ dari
yasar, dari Abu Hurairah ra yang berkata: Rasulullah Saw bersabda:
Apabila suatu amanah disia-siakan, maka tunggulah saat
kehancuramya. (Abu Hurairah) bertanya: Bagaimana meletakkan
amanah itu, ya Rasulullah? Beliau menjawal pabila suatu perkara
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancuramya." 47
Hadis ini menarik dicermati karena menghubungkan antara
amanah dengan keahlian. Kalimat "Apabila suatu urusan diserahkan
kepada seseorang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancuramya” merupakan penjelas untuk kalimat pertama: "Apabila
amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancuramya." Hadis ini
ternyata memberikan peringatan yang berperspektif manajerial karena
amanah berarti menyerahkan suatu perkara kepada seseorang yang
profesional.

47
Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah al-Bukhary al-Ja’fi, al-Jami al-
Shahih al-Muhtashar, Jilid I, (Beirut: Dar ibn Katsir, 1987/1407), hlm. 33; Lihat
juga Ahmad bin al-Husein bn Ali bin Mussa Abu Bakr a-Baihaqi, Sunnan al-Baihaqi
al-Kubra, Jilid I, (Makkah Mukarrohmah: Maktabah Dar al-Baz, 1994/1414H), hlm.
118; Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Basti, Shahih ibni
Hibban Bitartib ibni Bilban, Jilid I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993/1414 H),
hlm. 307

Manajemen Pendidikan Islam


Di samping itu, kata-kata fantadzir al-sa’ah diucapkan dua
kali sebagai pertanda betapa pentingnya keahlian atau
profesionalisme. Implikasinya, hadis ini mendidik kita agar
mengedepankan pertimbangan profesional dalam menentukan
pegawai yang diamanati suatu pekerjaan atau tanggung jawab, terlebih
dalam perkara yang menyangkut persoalan orang banyak. Misalnya,
jabatan bendahara madrasah. Jabatan ini menyangkut hajat keuangan
seluruh pegawai di madrasah tersebut.
4. Hadis riwayat Ibnu Majah
“(Ibnu Majah menyatakan), al-Abbas bin Walid al-Dimasyqiy
telah menyampaikan riwayat) kepada kami, Wahb bin Sa’id bin
‘Athiyyah al-Salamiy telah menyampaikan (riwayat) kepada kami,
‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam telah menyampaikan (riwayat)
kepada kami, (riwayat itu) dari ayahnya, dari Abdullah bin Umar
yang berkata, Rasulullah bersabda: Berikanlah gaji upah pegawai
sebelum kering keringatnya”48.
Hadis ini memerintahkan kita untuk memberi upah, gaji, insentif,
atau honorarium kepada pekerja atau pegawai secepat mungkin
(sebelum kering keringatnya). Maksudnya, sistem penggajian pegawai
seharusnya dilakukan secara langsung tanpa menunggu satu bulan
sekali atau satu semester.
Dengan pengertian lain, hadis tersebut berisi pendidikan
penghargaan, dan dalam mengelola suatu lembaga, termasuk lembaga
pendidikan Islam, penghargaan ini sangat kondusif untuk mewujudkan
kepuasan pegawai yang selanjutnya mampu membangkitkan tanggung

48
Muhammad bin Yazid Abu Abdillah al-Qazwini, Sunnan Ibni Majah,
Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hlm. 817; Ahmad bin Abi Bakr bin Ismai’il al-
Kunani, Mishbah al-Zujajah fi Zawaid ibni Majah, Jilid III, (Beirut: Dar al-
‘Arabiyah, 1403), hlm. 75; dengan redaksi yang berbeda dapat dilihat pada Abu
Abdillah Muhammad bin ‘Abd al-Wahid bin Ahmad al-Hanbali al-Muqaddisi, al-
Ahadits al-Muhtarah, Jilid I, (Makkah Mukarramah: Maktabah al-Nahdhah al-
Haditsah, 1410 H), hlm. 183; Ali bin Abi Bakr al-Haitami, Majma’ al-Zawaid wa
Manba’ al-Fawaid, Jilid IV, (Kairo: Dar al-Rayan li al-Tsurats, 1407 H), hlm. 98

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


jawab dan kedisiplinan Menurut Jamal Madhi, "Kedisiplinan
merupakan gizi bagi pekerjaan”.49
5. Surah an-Nisa': 35

Artinya “Dan, jika kamu khawatir ada persengketaan antara


keduanya. maka kirimlah seorang hakam (orang yang tidak curang
dan memelihara rahasia) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang ini bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada
suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”50

Intisari ayat ini adalah mekanisme manajemen konflik. Model


pengelolaan konflik menurut ayat ini ditempuh dengan cara
melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, baik dari keluarga suami
maupun dari keluarga istri untuk mewujudkan ishlah (perbaikan)
hubungan antara keduanya.
Konflik dalam ayat tersebut terjadi pada keluarga. Ini berarti,
ayat tersebut mengajarkan pendidikan bagi keluarga agar rukun
kembali Jika terjadi konflik, lakukan mediasi sesegera mungkin
sehingga konflik tidak berlarut-larut yang kelak dapat mengancam
keutuhan rumah tangga.
6. Surah al Shafi: 2-3

49
Jamal Mahdi, Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh:
Tinjauan Manajemen Kepemimpinan Islam, terj: Anang Syafrudin dan Ahmad
Fauzan, (Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2002), hlm. 29
50
Q.S. al-Nisa’: 35

Manajemen Pendidikan Islam


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan.”

Ayat ini menyentuh persoalan kesesuaian antara perkataan


dengan perbuatan yang sekarang populer dengan istilah konsistensi.
Sikap konsisten bagi manajer adalah suatu keharusan sebab dia adalah
pemimpin yang dianut oleh bawahamya.51
Demikianlah sekadar contoh ayat Al-Qur'an, hadis Nabi
maupun perkataan sahabat yang dapat dipandang sebagai prinsip-
prinsip dasar manajemen pendidikan Islam. Untuk
mentransformasikan pesan ayat, hadis, maupun qawl sahabat tersebut
menjadi teori atau kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam
dibutuhkan mekanisme tertentu

D. Mekanisme Membangun Konsep Manajemen Pendidikan


Islam
Salah satu kelemahan umat Islam, bahkan para cendekiawamya
adalah kebiasaan berhenti pada konsep normatif sehingga mereka
seakan telah puas hanya dengan hafal dalil-dalil Al-Quran dan hadis.
Maka, wajar jika belakangan ini terjadi kelangkaan karya-karya kreatif
sebagai pembangkit peradaban Islam.
Untuk merespons gejala kelangkaan itu, Prof. Dr. Mujamil Qomar
pernah mengajukan tujuh agenda alternatif pemikiran paradigmatik
bagi cendekiawan muslim Indonesia. Agenda pertama adalah
mengubah tradisi berpikir normatif menjadi tradisi berpikir teoretis.52
Tradisi berpikir normatif berorientasi pada dakwah. Hal yang paling
tidak menguntungkan dari sifat berpikir tersebut adalah bisa
menimbulkan stagnasi. Sementara itu, tradisi berpikir teoretis
berorientasi pada keilmuan dan tentu memotivasi dinamika keilmuan

51
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 35
52
Mujamil Qomar, Dekontruksi Tradisi Pemikiran Islam: Beberapa Agenda
Alternatif Pemikiran Paradigmatik Bagi Cendekiawan Muslim Indonesia,
(Tulungagung: STAIN, 2004), hlm. 30

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


atau dinamika peradaban. Secara materi (maddah), sebenarnya banyak
sekali bahan keilmuan yang berserakan dalam berbagai bidang
keilmuan, termasuk bahan-bahan manajemen pendidikan Islam,
meskipun masih merupakan prinsip-prinsip dasar seperti yang
diuraikan sebelumnya. Di samping itu, perkembangan lembaga
pendidikan Islam maupun budaya komunitas (pimpinan dan pegawai)
yang ada di lembaga pendidikan Islam juga dapat dijadikan bahan.
Kemudian, tentu saja didukung kaidah-kaidah manajemen pendidikan.
Oleh karena itu, dibutuhkan para peramu atau peracik bahan-bahan
tersebut menjadi formula-formula teoretis yang kemudian bisa
diaplikasikan. Jika berhasil dengan baik, langkah berikutnya adalah
disosialisasikan dan dipublikasikan pada masyarakat luas agar cepat
tersebar.
Selanjutnya, perlu dikenali dahulu posisi dan fungsi bahan-bahan
keilmuan manajemen pendidikan Islam tersebut untuk memudahkan
pemahaman bagaimana mekanisme membangun konsep-konsep
teoretis tentang manajemen pendidikan Islam. Berikut ini bahan-bahan
keilmuan manajemen pendidikan Islam tersebut.53
1. Teks-teks wahyu, baik Al-Quran maupun hadis sahih srbagai
pengendali bangunan rumusan kaidah-kaidah teoretis manajemen
pendidikan Islam.
2. Aqwal (perkataan-perkataan) para sahabat Nabi, ulama dan
cendekiawan muslim sebagai pijakan logis argumentatif dalam
menjelaskan kaidah-kaidah teoretis manajemen pendidikan Islam
secara rasional.
3. Perkembangan lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris
dalam mendasari perumusan kaidah-kaidah teoritis manajemen
pendidikan Islam.
4. Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) dalam lembaga
pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam merumuskan

53
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 36

Manajemen Pendidikan Islam


kemungkinan strategi yang khas dalam mengelola lembaga
pendidikan lslam.
5. Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan sebagai pijakan
teoretis dalam mengelola lembaga pendidikan Islam, dengan tetap
melakukan kritik jika terdapat ketentuan-ketentuan atau prinsip-
prinsip yang tidak relevan supaya sesuai dengan kondisi budaya
yang terjadi dalam lembaga pendidikan Islam.

Mekanisme ini mempertegas sikap bahwa dalam wilayah


keilmuan sekalipun, Islam melalui wahyu hadir untuk memberikan
inspirasi kreatif dalam membangun konsep ilmiah. Rincian detailnya
tentu saja diserahkan pada para ahli pendidikan Islam berdasarkan
inspirasi kreatif dari wahyu tersebut. Tetapi, dalam pembahasan ini,
kita juga harus bersikap adaptif selektif terhadap kaidah-kaidah
manajemen pendidikan yang terdapat dalam berbagai literatur dan
dipengaruhi oleh pemikiran dan pengalaman orang-orang Barat. Sikap
adaptif ini didasarkan pada pemikiran bahwa secara umum kaidah-
kaidah manajemen pendidikan itu bersifat general atau universal yang
juga dapat diterapkan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.
Hanya saja, mungkin ada kaidah-kaidah tertentu yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai Islam atau realita yang dihadapi lembaga
pendidikan Islam lantaran faktor budaya tertentu yang unik dan khas,
sehingga dibutuhkan sikap selektif dengan mengkritisi kaidah-kaidah
manajemen pendidikan secara umum itu, untuk kemudian diganti atau
disempurnakan.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


BAB III
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertia Kurikulum

M
enurut pengertian dasarnya, kurikulum adalah kumpulan
mata-mata pelajaran (studi ilmu) yang harus disampaikan
guru atau dipelajari siswa.54 Tampaknya konsep inilah
yang paling relevan (sesuai) memaknai kurikulum. Walaupun dalam
kenyataamya terjadi perdebatan dalam memberi definisi yang tepat,
tetapi perbedaan tersebut tidak sampai mengubah maksud dari
kurikulum itu sendiri. Oleh karena itu, hal ini sependapat dengan Jasa
Ungguh Muliawan yang cenderung menggunakan konsep lama
tersebut yaitu kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan
guru atau dipelajari siswa.55
Kurikulum menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam
setiap bahasa maupun uraian tentang materi dan bahan ajar yang harus
diberikan guru kepada siswanya. Dalam kasus ini termasuk yang
berhubungan dengan Batasan-batasan ontologis (umum berlaku)
kemampuan manusia belajar menurut pertumbuhan dan
perkembangamya.
Artinya tiap fase kehidupan seseorang mengakibatkan perbedaan
tingkat kualitas dan kuantitas target-target kurikulum yang harus dan
bisa diberikan. Dari kurikulum inilah semua hal yang berhubungan
dengan sasaran keilmuan, teknik pembelajaran, maupun standar-
standar kompetensi proses belajar-mengajar siswa di sekolah dapat
diketahui dan diukur keberhasilamya.

54
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dab
Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. ke-3., hlm. 4
55
Jasa Ungguh Muliawan, Epistemologi Pendidikan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2008), hlm. 196

Manajemen Pendidikan Islam


Tanpa adanya kurikulum yang bersifat terarah, sistematis, terpadu
dan berkelanjutan; misi, sasaran, orientasi dan tujuan dari proses
kependidikan di sekolah menjadi kacau dan tumpang-tindih. Siswa
tidak memiliki standar kompetensi dan kemampuan intelektual sesuai
dengan yang diharapkan bahkan mungkin berakibat pada terjadinya
penyimpangan-penyimpangan.
Dalam dataran yang lebih praktis, kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai: tujuan, isi, bahan atau materi
pelajaran serta cara yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran di sekolah.56
Kurikulum berlaku pada semuajenis dan jenjang pendidikan.
Mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dari jenis
sekolah kejuruan sampai dengan sekolah umum. Termasuk di
dalamnya lembaga pendidikan Islam maupun non-lslam. Semua
menggunakan kurikulum sebagai acuan dasar mata pelajaran yang
akan dipelajari.
Kurikulum menurut asal-usulnya berasal dari akar ilmu yang
disebut "objek". Sebagai objek belajar, kurikulum terbebas dari semua
kaidah nilai maupun etika yang diciptakan manusia. Etika dan kaidah
nilai suatu bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi tercipta manakala
ilmu pengetahuan atau teknologi yang berhasil diciptakan tersebut
"disalahgunakan", Artinya itu semua kembali pada unsur motivasi dan
niat baik manusia itu sen sebagai pengguna.
Dari sini akar persoalan etika dan kaidah nilai moral menjadi
penting untuk dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran pokok
dalam setiap jenis kurikulum yang disusun. Tujuamya agar di samping
memiliki kecerdasan intelektual, tiap manusia juga memiliki akidah
dan moralitas (akhlak) yang baik. Islam sebagai salah satu agama

56
Jasa Ungguh Muliawan, Manajemen Play Group dan Taman Kanak-
kanak, (Yogyakarta: DIVA Press, 2009) hlm. 199-200.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


yang paling banyak memuat kaidah nilai dan etika kemanusiaan
menjadi wajib dipelajari dan dihayati sebagai pedoman hidup.57
Aksiologi fungsi dari dasar pemikiran ini berakibat pada hukum
"wajibnya menyebarkan syiar Islam" ke semua elemen masyarakat
tanpa terkecuali. Baik ia seorang Muslim maupun non-Muslim.
Persoalan orang mau menerima atau tidak agama Islam itu beda
perkara. Persoalan semacam itu masuk masalah iman dan keyakinan.
Bahkan Al-Qur'an sendiri menjelaskan masalah ini secara khusus
dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 256 :

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);


Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [setan]
dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kesimpulan awal yang diperoleh terkait dasar-dasar pemikiran
tentang kurikulum pendidikan di sini adalah pentingnya menetapkan
dan mewajibkan pelajaran agama Islam sebagai salah satu mata
pelajaran pokok di sekolah.

B. Persoalan Kurikulum dalam Pendidikan Islam


Sebenarnya banyak persoalan dalam kurikulum pendidikan Islam.
Mulai dari tidak adanya pembedaan antara pendidikan Islam dengan

57
Ini bisa dilihat dari kandungan ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang
banyak berisi ajaran tentang akidah dan akhlak. Baca Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur'an Departemen Agama RI, Syaamil Al-Qur'an Terjemah
Per-kata, (Bandung: CV Haekal Media Center, 2007), bab klasifikasi ayat-
ayat Al-Qur'an, hlm. 1-15.

Manajemen Pendidikan Islam


pendidikan agama Islam58 sampai pada persoalan dikotomi ilmu. Di
beberapa sekolah perguruan tinggi Islam berikutnya muncul jurusan
atau program studi bernama kependidikan Islam yang bila dilihat dari
susunan kurikulumnya tidak jauh berbeda dengan program studi
Pendidikan Agama Islam.
Persoalan dikotomi ilmu itu terkait pembagian kelompok ilmu
Islam dalam pengertian ilmu agama59 yang dilawankan dengan
kelompok ilmu non-lslam atau ilmu umum.60 Sebagian cendekiawan
lain meyakini persoalan tersebut berawal dari perbedaan antara
kelompok ilmu antropo-sentris (berpusat pada manusia) dengan
kelompok ilmu teo-sentris (berpusat pada Tuhan).61
Menurut Azyumardi Azra, awal mula terjadinya dikotomi ilmu
tersebut dimulai dari serangan hebat yang dilakukan kaum Fuqaha
(ahli fikih) terhadap ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak
pada penelitian empiris, rasio dan logika.62 Dunia Islam kemudian
mengembangkan "ideologi ilmiah" dengan menempatkan seluruh
khazanah pemikiran Barat dan Yunani sebagai kebatilan.63
Puncak perdebatan corak keilmuan tersebut berakhir pada tuntutan
pembedaan antara konsep pendidikan Islam dengan Pendidikan pada
umumnya. Kurikulum sebagai salah satu bentuk dari konkretisasi ilmu
pengetahuan ikut terjebak dalam situasi dan kondisi dilematis tersebut.

58
Abdul Munir Mulkhan, Humanisasi Pendidikan Islam, dalam Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan: Tashwirul Afkar, Edisi
No.11, (Jakarta: LAKPESDAM dan TAE 2001), him. 18.
59
Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam, dalam
Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 87.
60
Muslih Usa (editor), Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita dan Fakta,
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 3.
61
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 94.
62
Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam, dalam
Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 78.
63
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), hlm. 2.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Padahal bila kita berusaha berpikir sedikit lebih objektif dan
dengan akal sehat yang jernih tanpa motivasi politik atau kepentingan
kelompok, persoalan semacam itu tidak perlu muncul.
Hadis Nabi sudah sangat jelas menjelaskan tentang sumber hukum
yang ada dalam Islam yaitu: Al-Qur'an, As-Sumah, dan ijtihad.64
Tidak semua hal dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun Sumah. Itu berarti
objek lain yang tidak dijelaskan dalam kedua sumber hukum tersebut adalah
objek dan wilayah kerja dari ijtihad.
Setiap orang yang melakukan ijtihad pasti menggunakan kemampuan
akal/nalar (bahasa arab ra'yi) yang disebut rasio atau logika. Bangunan
pendukung utama lain dari ijtihad adalah kekuatan intuisi/imajinasi. Dan
setiap orang yang ber-ijtihad pasti melibatkan kemampuan indra sebagai
Pintu gerbang masuk dan keluarnya ilmu pengetahuan.
Tidak ada yang salah dalam penggunaan ilmu-ilmu empiri, rasio dan
logika di dalam sistem keilmuan Islam. Demikian pula dalam hal
merumuskan kurikulum. Oleh sebab itu, menurut peneliti ada tiga sebab
utama dan mendasar yang melatarbelakangi munculnya berbagai macam

64
Hadis Nabi Muhammad Saw. ketika mengutus Muadz pergi ke Yaman.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At Turmudzi.
Nabi bertanya:
Dengan apa kamu memutuskan hukum?
Muadz menjawab:
Dengan kitab Allah
Nabi bertanya:
Jika kamu tidak mendapati di dalamnya?
Muadz
menjawab: Dengan
sunnah Rasullullah
Nabi bertanya:
Jika kamu tidak mendapati di dalamnya?
Muadz menjawab:
Saya berijtihad dengan akalku.
Baca: Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
Edisi kedua. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 151-152.

Manajemen Pendidikan Islam


persoalan tersebut. Ketiga sebab ini adalah: perbedaan keyakinan, perbedaan
cara pandang, dan perbedaan kepentingan.
Masing-masing memiliki objek dan wilayah kerja yang berbeda
manakala mulai mengontanimasi sistem penyusunan kurikulum pendidikan
di sekolah. Akibat yang dimunculkamya pun menjadi berbeda-beda, dan
sebagian di antaranya telah disebut pada penjelasan awal subbab ini.
Untuk lebih detail, uraian berikut akan membahas lebih lanjut terkait
objek, wilayah kerja dan sebab-akibat dari ketiga perbedaan cara pandang
tersebut.
1. Perbedaan Keyakinan
Keyakinan atau keimanan seperti yang telah dijelaskan pada
uraian pertama, berbeda bentuk dengan ilmu pengetahuan. Sebagian
beşar kekuatan iman adalah akar dan sumber utama pembentuk unsur
yang disebut kaidah nilai atau etika. Keyakinan dalam banyak 'aspek'
dan 'hal' dalam hidup manusia bersifat mendasar dan hakiki.
Bentuk keyakinan bermacam-macam. Ada yang berbentuk
keyakinan mutlak atau disebut juga sebagai keyakinan yang paling
prinsip dalam hidup manusia. Keyakinan Mutlak sulit untuk diubah.
Bentuknya juga bersifat absolut dalam diri seseorang. Orang rela
melakukan apa saja untuk mempertahankan keyakinan dan apa yang
dipercayanya tersebut. Bahkan seseorang sering kali sampai rela mati
untuk membelanya.
Berikutnya keyakinan yang berbentuk probabilitas (kemungkinan).
Keyakinan probabilitas adalah keyakinan yang didasarkan atas
pertimbangan situasi dan kondisi konkret dan riil dihadapi seseorang.
Keyakinan probabilitas biasanya dimiliki oleh orang-orang golongan
rasionalis. Mereka punya prinsip dan keyakinan yang kuat, tetapi
mereka tidak mau bertindak 'konyol' tanpa pertimbangan nalar dan
logika yang jelas. Bagi mereka "hidup itu adalah kesempatan", oleh
sebab itu mereka berusaha mempertahankamya semaksimal mungkin.
Pada dataran konkret jenis orang yang memiliki keyakinan
probabilitas lebih tampak sebagai seorang yang "plin-plan" dan tidak
tegas dalam mengambil keputusan.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Tetapi ada juga keyakinan yang berbentuk "ego-sentris”.
Keyakinan egosentyis adalah keyakinan untuk selalu berusaha
memenangkan diri sendiri. Benar-salah atau baik-buruk tidak jadi
masalah, yang penting segala sesuatu itü bermanfaat dan
menguntungkan untuk dirinya.
Pengaruh perbedaan keyakinan terhadap proses penyusunan
kurikulum biasanya terletak pada objek-objek yang bersifat pokok dan
prinsip seperti agama, ideologi, filosofi, visi-misi dan hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan tertentu.
Perbedaan keyakinan menjadi salah satu sebab utama munculnya
persoalan pembedaan antara kelompok ilmu teo-sentris dengan
antropo-sentris. Perbedaan keyakinan juga menjadi salah satu
motivator terkuat terciptanya pembedaan antara kelompok ilmu
filsafat dan agama Meskipun sebenarnya tidak demikian.
Filsafat dan agama secara metodologi memiliki cara kerja dan
rangka bangun yang sama. Di samping itu, realitas yang menjadi pusat
perhatian keduanya juga sama,65 yaitu: manusia, alam semesta dan
dunia metafisika (termasuk Tuhan).
Tetapi, bila terjadi perbedaan keyakinan di antara para konseptor
kurikulum, maka akan berakibat pada adanya usaha-usaha untuk
saling menghilangkan di antara kedua mata pelajaran tersebut.
Contoh. Konseptor pendidikan yang memiliki keyakinan kuat akan
agama Islam cenderung berusaha meletakkan pelajaran agama Islam
sebagai salah satu mata pelajaran pokok dan paling dasar di setiap
lembaga pendidikan yang dikelola. Sebaliknya, ia juga memiliki
kecenderungan untuk menghilangkan mata pelajaran filsafat yang
dianggap memiliki haluan filosofi dan keyakinan yang berbeda.
Hal yang sama juga terjadi pada konseptor-konseptor pendidikan
yang memiliki keyakinan agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu,
Budha atau Kong Hu Cu.

65
Osman Bakar, Hierarki Ilmu (Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu),
(Bandung: Mizan, 1997), him. 100,

Manajemen Pendidikan Islam


2. Perbedaan Cara Pandang
Perbedaan cara pandang sebagai salah satu penyebab munculnya
berbagai persoalan dalam kurikulum sebenarnya tidak perlu
dipermasalahkan. Perbedaan cara pandang seharusnya justru
memperlengkap dan menyempurnakan pengetahuan yang dimiliki
manusia, bukan sebaliknya. Menganggap salah satu 'benar' dan yang
lain 'salah'.
"Ibarat dua orang sahabat yang sedang melihat uang koin dari sisi
yang berbeda. Satu sisi melihat gambar angka nominal uang koin, sisi
lain melihat gambar perlambang nilai uang koin tersebut."
Masing-masing benar, karena apa yang mereka lihat dan
ungkapkan adalah fakta sekaligus objektif. Tidak seharusnya mereka
berdebat mengenai perbedaan gambar benda apa yang dilihat. Jika
mereka coba mau mengalah dan melihat dari sisi yang berbeda atau
pada posisi berlawanan, maka mereka akan menemukan keutuhan
pengetahuan yang sesungguhnya. Pengetahuan yang objektif dan
lengkap. Bukan sebagian-sebagian.
Kecenderungan untuk tidak mau melihat sisi lain dari cara
pandang orang biasanya disebabkan perbedaan keyakinan yang
bersifat prinsipil. Alasan semacam itu, bagi dunia ilmu pengetahuan
tidak bisa diterima. Ini yang kemudian semakin memperkuat
perbedaan antara iman dengan ilmu pengetahuan.
Konversi perbedaan cara pandang dalam merumuskan jenis dan
objek konkret susunan kurikulum akan sangat tampak nyata. Contoh.
Jasa Ungguh Muliawan, memandang pembedaan jenis ilmu
pengetahuan itu dari sudut pandang "kebendaan"-nya. Akibatnya ia
mendefinisikan jenis ilmu pengetahuan ke dalam tiga bentuk, yaitu: 66
a. Kosmologi
b. Antropologi/Humanologi

66
Jasa Ungguh Muliawan, Epistemologi Pendidikan, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2008), him. 146-154.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


c. Ilmu Pengetahuan Murni.
Pada sisi lain, Noeng Muhadjir, merumuskan pengelompokan ilmu
pengetahuan ke dalam tiga bentuk yang sama, namun dengan sebutan
yang berbeda, yaitu: 67
a. Meta-science
b. Meta-ideologi
c. Meta-fisik.
Noeng Muhadjir mengerti dan paham dengan lebih baik bahwa
sesungguhnya pengetahuan manusia itu sebenarnya berbentuk objek
abstrak. Bukan pengetahuan dalam arti realitas benda nyata.
Pengetahuan hanyalah bentukan manusia dalam pemikiramya.
Noeng Muhadjir memandang pengelompokan ilmu pengetahuan
dari sudut pandang "jenis ilmu"-nya versi manusia. Karena sifat
bentukan yang diciptakan dalam alam pikir manusia ini, kemudian ia
menyebutnya sebagai konsep ilmu yang bersifat "meta". Istilah meta
menurut pengertiamya berarti "sesudah, di atas, atau melampaui".68
Maksudnya sebutan yang menggunakan awalan meta berarti sebutan
untuk sesuatu yang berada "di atas"-nya atau sebutan untuk sesuatu
yang "berada di balik yang tampak".
Tidak ada yang salah di antara ke duanya, hanya cara pendangnya
saja yang berbeda. Akibatnya penyebutan kelompok ilmu yang
digunakan juga menjadi berbeda.
3. Perbedaan Kepentingan/Fungsi Aksiologi
Penyebab persoalan dalam kurikulum berikutnya adalah adanya
unsur kepentingan atau fungsi aksiologi tertentu. Seperti diketahui,
setiap orang dan setiap kelompok selalu memiliki kepentingan
tertentu, minimal kepentingan untuk mempertahankan keberadaan dan
eksistensi kehidupan yang dimilikinya.

67
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), Edisi II,
hlm. 6.
68
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996),
him. 620.

Manajemen Pendidikan Islam


Akibatnya tentu menjadi jelas. Setiap kurikulum selalu berusaha
mengakomodasi setiap kepentingan individu atau kelompok tersebut
dalam susunan kurikulum pendidikan yang dibuatnya. Perbedaan
kepentingan adalah penyebab terbesar munculnya keragaman jenis
kurikulum yang tercipta. Perbedaan kepentingan juga menjadi salah
satu alasan paling kuat pendorong munculnya cabang-cabang ilmu
baru yang berbeda dari garis rumpun ilmu awalnya.
Contoh paling konkret penyusunan kurikulum pendidikan berlatar
belakang kepentingan dan fungsi aksiologi ini sangat banyak. Antara
lain:
a. Olahraga dan keterampilan. Mata pelajaran olahraga dan
keterampilan muncul disebabkan adanya fungsi aksiologi ilmu
untuk menjaga kesehatan dan pentingnya memiliki keterampilan
motorik agar dapat menjaga kesehatan dan mempertahankan
kehidupamya dengan cara bekerja menggunakan keterampilan
yang dimiliki.
b. Bahasa (Jawa, Sunda, Indonesia, Inggris, dan lain-lain). Bahasa
menjadi salah satu jenis ilmu yang melatar belakang perbedaan
kepentingan komunikasi dalam suatu komunitas masyarakat.
c. Sejarah. Sejarah juga menjadi salah satu mata pelajaran berlatar
belakang kepentingan dan fungsi aksiologi tertentu. Sejarah
dipelajari untuk tujuan generasi baru mengingat peristiwa atau
kejadian yang terjadi di masa lampau. Jika peristiwa bersifat
buruk, diharapkan tidak terjadi lagi dimasa dating. Sebaliknya,
jika peristiwa sejarah di masa lampau itu bernilai positif,
diharapkan dapat dijadikan pijakan dan panutan bagi generasi-
generasi yang akan dating.
d. Pendidikan kewarganegaraan. Mata pelajaran ini tampak sebagai
mata pelajaran yang paling nyata mengemban visi dan misi
menumbuhkan semangat berkebangsaan dan berwarga negara.
Latar belakangnya juga jelas, kepentingan bangsa dan negara
untuk melakukan sosialisasi pada setiap warga negaranya.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Sebenarnya masih banyak mata pelajaran-mata pelajaran yang
berlatar belakang perbedaan kepentingan dan fungsi aksiologi ini.
Apalagi bila pengetahuan tersebut dilacak sampai ke akar bentukan
terbaru. Akan semakin tampak berbagai jenis mata pelajaran yang
tumbuh dan berkembang karena perbedaan kepentingan dan fungsi
aksiologi ini.

C. Peran Iman, Agama dan Logika dalam Sistem Kependidikan


Islam
Pertama, iman. Banyak hal yang menjadi bagian dari keimanan
yang tidak bisa dinalar melalui hükum ilmiah maupun logika rasional
manusia pada umumnya. Contoh keyakinan manusia tentang Tuhan,
keberadaan malaikat, setan, dan makhluk gaib laimya, hidup setelah
mati, atau konsep antara surga dan neraka, belum lagi ditambah hal-
hal lain yang berhubungan dengamya. Dari segi indrawi pun sulit
diakui kebenaramya. Tetapi masalahnya hampir setiap orang yang
hidup di bumi ini memiliki keyakinan dan keimanan semacam itu. İni
dibuktikan dengan kemampuan kepekaan dan sensitifitas manusia
terhadap hal-hal yang dapat membuatnya "takut” atau "tersentuh”
Puncak keyakinan manusia yang berhubungan dengan alam gaib
dan kehidupan kekal sesudah mati adalah adanya objek yang disebut
Tuhan. Tuhan dianggap sebagai pencipta dan penguasa alam semesta
fisik maupun metafisika (gaib). Tuhan adalah objek yang "benar-
benar” Maha dalam segala sesuatunya. Tidak ada satu pun bentuk atau
objek lain yang serupa atau menyerupai perwujudan Tuhan di alam
semesta ini.69
Keyakinan inilah yang menjadi "ruh” totalitas sistem kependidikan
Islam. Dengan keimanan yang benar akan membuat seseorang mampu

69
QS Asy-Syuura (42) ayat 11
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu darı jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan
(pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
Melihat.

Manajemen Pendidikan Islam


bersikap ikhlas dalam mengerjakan semua kebaikan, percaya akan
adanya qadha' dan qadar, selalu berusaha berserah diri, berlindung dan
memohon gampunan pada-Nya, serta selalu berusaha ridha
menerimanya (kenyataan) sebagai suatu ketetapan yang diberikan
Allah kepada setiap manusia.70
Di dalam sistem kependidikan İslam ada batas-batas di mana
segala sesuatu itü tidak bisa diperoleh hanya dengan proses rekayasa
pendidikan seperti yang dikenal selama ini, tetapi melalui sentuhan-
sentuhan dunia metafisika dan alam gaib. Sentuhan-sentuhan
berbentuk "komunikasi mindrawi” dan "kontak batin” yang tidak bisa
dimengerti dan dinalar dengan rasio dan logika akal sehat.
Wilayah-wilayah kerja semacam itü adalah wilayah kerja
pendidikan Kiakeimanan. Wilayah kerja pendidikan yang "tidak
biasa” dan "tidak lazim” dimengerti manusia pada umumnya. Hanya
orang-orang yang pernah 'mengalami' atau 'merasakamya' saja yang
dapat mengerti tentang hal-hal semacam itu.
Kedua, agama. Agama dalam pengertian umum berarti corak atau
gaya hidup. Dari sudut pandang ini, agama menjadi salah satu bagian
dari corak kebudayaan atau karakter khas peradaban suatu umat
manusia. Sebagai abagian dari budaya dan kebudayaan, maka agama
bisajuga diartikan sebagai hasil cipta-rasa dan karya manusia.
Sedangkan agama dalam pengertian khusus berarti keyakinan atau
kepercayaan seseorang pada keberadaan dunia metafisika, gaib
cunatau supranatural. Konteks agama dalam pengertian kedua,
umumnya mengandung unsur-unsur seperti:
1. Keyakinan dan kepercayaan akan adanya dunia ghaib ilahiyyah
(ketuhanan) dan metafisika laimya.

70
H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. ke-
5, him. 108.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


2. Memiliki kitab suci yang memuat ajaran tauhid (pengakuan ke-
Esa-an Tuhan) atau syariat ibadah dan amalan yang harus
dilakukan oleh setiap penganutnya.
3. Mempercayai adanya Nabi atau Rasul tertentu sebagai salah satu
tokoh yang wajib dianut dan diikuti.
Islam dalam sudut pandang ilmu pengetahuan juga mencakup dua
unsur tersebut. Islam sebagai salah satu bentuk Tauhid dan Islam
sebagai salah satu bentuk hasil cipta, rasa dan karsa masnusia. Islam
sebagai agama tauhid jelas dan tegas mewajibkan setiap penganutnya
untuk beribadah dan menyembah Allah Swt.71 Sebagai Tuhamya
manusia 72 tampa terkecuali.
Sedangkan Islam sebagai salah satu bentuk dari hasil cipta rasa
dan karsa manusia menganut corak dan gaya hidup yang penuh
dengan nilai-nilai luhur. Salah satunya adalah kewajiban pokok untuk
selalu menutup aurat. Aurat adalah hal tabu (memalukan) yang tidak
boleh dilihat oleh yang bukan muhrim (orang yang berhak atau
dibolehkan agama).
Ajaran ini bersumber dari ayat al-Qur’an surah an-Nuur (24) ayat
30-31:

71
Q.S. Adz-Dzariyaat (51) ayat 56 :” dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
72
Q.S. an-Naas (114) ayat 3: “Tuhannya manusia”

Manajemen Pendidikan Islam


Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangamya, dan memelihara
kemaluamya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangamya, dan kemaluamya, danjanganlah mereka
menampakkan perhiasamya, kecuali yang (biasa) tampak
daripadanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, danjanganlah menampakkan perhiasamya kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau Saudara-
saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanitawanita
Islam, atau budak-budakyang mereka miliki, ataupelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Syariat Islam untuk menutup aurat dari sudut pandang ilmu
budaya dan peradaban manusia merupakan salah satu nilai lebih dan

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


paling menonjol dimiliki Islam dibandingkan ajaran agama-agama
Iain. Ajaran agama Iain hampir dikatakan tidak ada
Oleh sebab itu, salah besar bila ada sebagian dari umat Islam
berpikir untuk mengasimilasi budaya menutup aurat ini dengan
budaya nudist (budaya telajang) yang sekarang marak tumbuh dan
berkembang di hampir seluruh penjuru dunia. Budaya nudist adalah
budaya binatang. Budaya berpakaian menutup aurat ini pula yang
menjadi salah satu pembeda utama dan mendasar antara penganut
Islam dengan penganut agama Iain.
Konversi corak budaya ke-lslam-an semacam ini dalam dunia
kependidikan Islam sangat besar.
Setiap lembaga pendidikan yang mencantumkan Islam sebagai
Iambang ideologinya wajib menerapkan ketentuan pokok menutup
aurat ini, tanpa terkecuali. Dan budaya menutup aurat itu bukan
setengah-setengah, tetapi harus dilakukan sepenuhnya secara mutlak.
Berlaku bagi tiap individu. Baik laki-laki maupun perempuan.
Filosofi ini pula yang menjadi dasar argumentasi paling kuat
mengapa agama penting bagi setiap individu. Manusia yang tidak
beragama cenderung melepaskan identitas ”kemanusiaan”-nya dengan
tanpa busana atau pakaian sempurna menutup aurat. Tingkatamya
menurun sampai pada derajat kebinatangan.
Baju atau pakaian merupakan salah satu tanda sekaligus ukuran
kepribadian dan akhlak seorang Muslim. Semakin baik dan sopan
berpakaian dalam arti menutup aurat dengan benar sesuai akidah
agama, maka semakin tinggi pula derajat kemuliaan akhlak yang
dimiliki. Agama benar-benar berfungsi sebagai ”baju” dalam konteks
kemuliaan akhlak. Baju yang melindungi setiap mukmin dari
kejahatan dan perbuatan tercela Iahir-batin.
Produk budaya dari sistem kependidikan Islam semacam ini
seharusnya tampak dari penampilan mereka dalam berpakaian sehari-
hari. Standar dan ukuramya adalah ”selama” dan ”setelah” mereka
lulus, bukan hanya sesaat atau karena memenuhi kriteria persyaratan
formal kelembagaan. Ini juga menjadi salah satu bagian dari visi dan
Manajemen Pendidikan Islam
misi konkret lembaga pendidikan Islam. Sulit, tetapi bukan berarti
tidak mungkin!
Ketiga, logika. Logika adalah cara berpikir. Logika disebut juga
sebagai rasio atau nalar. Logika menjadi dasar dari semua bentuk cara
berpikir yang dilakukan manusia. Baik itu cara berpikir empiris dan
konkret, maupun cara berpikir imajinatif dan abstrak. Keduanya tetap
bisa disebut sebagai bagian dari logika karena melibatkan kemampuan
berpikir yang dimiliki manusia.
Al-Qur'an dan As-Sumah sendiri juga banyak mengandung
unsurunsur logika, terutama pada ayat-ayat atau Sumah Rasul yang
masuk kategori “Muhkam”. Versi struktur ilmu masuk kategori
pengetahuan konkreta. Tetapi ini juga tidak menutup kemungkinan
pada ayat-ayat atau Sumah Rasul yang “Mutasyabih” atau bersifat
samar dan abstrak. Ayat atau Sumah Rasul tersebut masuk kategori
hasil bentukan logika manakala telah ditafsirkan atau diinterpretasikan
ke dalam bentuk yang lain.
Logika juga menjadi salah satu sumber hukum utama dalam Islam
yang dikenal dengan sebutan ijtihad. Ijtihad selalu menggunakan ra'yu
yang merupakan bahasa arab dari akal atau logika.
Bila di dalam sistem kependidikan Islam sebelumnya telah
dijelaskan bahwa iman itu berfungsi sebagai ”ruh” yang membuat
manusia itu menjadi hidup dan berarti, sedangkan agama itü ibarat
"baju” yang melindungi mereka dari kejahatan dan perbuatan tercela,
maka bagi setiap Muslim dan mukmin yang memiliki 'logika kuat'
ibarat "tentara yang membawa senjata lengkap siap tempur". Tidak
ada lagi yang mampu mencegahnya dari kemenangan terhadap orang-
orang kafir selain 'takdir' Allah Swt.73

73
Q.S Hud (ı ı) ayat 106-107 : “Adapun orang-orang yang celaka, maka
(tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menayik
napas (dengan meyintih).Mereka kekal di dalamnya selama ada langİt dan bumİ*,
kecualijika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pelaksana teyhadap apa yang Dia kehendaki. *alam akhiratjuga mempunyai langit
dan bumİ tersendiri.”

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Demikian pentingnya logika bagi setiap mukmin dan Muslim,
sampai-sampai Allah Swt. berfirman:
QS Asy-Syu'araa' (26) ayat 151-152:

Artinya : “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang


melewati batas. Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak
mengadakan perbaikan.”
Manusia diperintahkan untuk menggunakan akalnya dalam
menilai dan melaksanakan suatu perintah. Apalagi jika perintah
tersebut maşuk kategorim perbuatan tercela atau mengandung unsur
kejahatan seperti: merusak, melukai, membunuh, menghancurkan,
atau tipu daya untuk menjajah.
Konversi corak pemikiran semacam ini dalam sistem
kependidikan Islam adalah pentingnya menerapkan pola dan cara baru
dalam mendidik menggunakan nalar yang logis dan nyata.74 Artinya,
segala sesuatu itu harus dipertimbangkan kesesuaiamya dalam dataran
teoretis, namun juga harus dapat dibuktikan kebenaramya dalam
dataran empiris. Bukan sekadar telaah teori konseptual semata atau
kebenaran ilmiah yang melampaui batas kaidah nilai dalam etika.
Kurikulum pendidikan İslam yang mampu menyerap dan
menjiwai peran dan fungsi dari iman, agama dan logika, bisa
dipastikan memiliki landasan rangka bangun konstruksi keilmuan
yang kuat dan kokoh. Konsep semacam ini 'tidak' dimiliki Oleh
pendidikan pada umumnya.

74
Jasa Ungguh Muliawan, Epistemologi Pendidikan, op.cit., hlm. 39

Manajemen Pendidikan Islam


BAB IV
MANAJEMEN SARANA PRASARANA

A. Definisi Manajemen Sarana Prasarana

U
ntuk memenuhi kebutuhan manajemen sarana prasarana, kita
perlu memahami terlebih dahulu konsep dasar sarana dan
prasarana. Secara sederhana dalam Jaja Jahari, sarana
didefiniskan sebagai perangkat, peralatan, bahan perabot yang secara
langsung digunakan dalam proses pendidikan seperti gedung, bangku,
kursi, papan tulis maupun alat lainya. Sedangkan prasarana
didefiniskan sebagai perangkat, peralatan, bahan, perabot yang secara
tidak langsung digunakan dalam proses pendidikan seperti lapang
sepak bola, taman bunga, pagar dan lain sebagainya. 75
Keberadaan sarana pendidikan mutlak dibutuhkan dalam proses
pendidikan, sehingga termasuk dalam komponen-komponen yang
harus dipenuhi dalam melaksanakan proses pendidikan. Tampa sarana
pendidikan, peoses pendidikan akan mengalami kesulitan yang sangat
serius, bahkan bisa menggagalkan pendidikan. Suatu kejadian yang
mesti dihindari oleh semua pihak yang terlibat dalam pendidikan.
Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara
langsung dipergunakan dalam proses belajar-mengajar, seperti
gedung, ruang kelas, mejad kursi dan sebagainya seperti yang
diterangkan pada penjelasan awal tadi.
Manajemen sarana prasarana pendidikan bertugas mengatur serta
menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan
kontribusi pada proses pendidikan agar dapat memeberikan kontribusi
pada proses pendidikan secara optimal dan berarti. Kegiatan
pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan,

75
Jaja Jahari dan Amirulloh Syarbini, Manajemen Madrasah:Teori, Strategi
dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 65

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


pengawasan, penyimpanan, inventarisasi, penghapusan, serta
penataan76
Sarana dan prasarana pendidikan dalam lembaga pendidikan Islam
sebaiknya dikelola dengan sebaik mungkin sesuai dengan ketentuan-
ketentuan berikut ini.
1. Lengkap, siap dipakai setiap saat, kuat dan awet.
2. Rapi, indah, bersih, anggun, dan asri sehingga menyejukan
pandangan dan perasaan siapapun yang memasuki kompleks
lembaga pendidikan Islam.
3. Kreatif, inovatif, responsif, dan variatif sehingga dapat
merangsang timbulnya imajinasi peserta didik.
4. Memiliki jangkauan waktu penggunaan yang Panjang melalui
perencanaan yang matang untuk menghindari kecenderungan
bongkar-pasang bangunan.
5. Memiliki tempat khusus untuk beribadah maupun pelaksanaan
kegiatan sosio-religius seperti mushala atau masjid.
Keputusan penerapan ketentuan-ketentuan di atas akan berbeda
sesuai dengan perbedaan jenjang pendidikan. Misalnya, pelaksanaan
ketentuan harus kreatif, inovatif responsij dan variatif akan berbeda
antara lembaga madrasah ibtidaiyah dengan madrasah aliyah.
Penataan pada madrasah ibtidaiyah saja bisa berbeda beda antara
semua kelas. Ada yang seluruh meja di depan papan tulis seperti yang
terjadi selama ini, ada kelas yang penataan mejanya berbentuk oval,
separuh oval, beberapa meja bulat, dan sebagainya. Akan tetapi, untuk
madrasah aliyah tidak perlu sevariatif itu.
Penataan lingkungan dalam kompleks lembaga pendidikan Islam
seharusnya rapi, indah, bersih, anggun, dan asri. Keadaan ini
setidaknya menjadikan peserta didik merasa betah berada di lembaga
pendidikan, baik sewaktu proses pembelajaran berlangsung di kela
waktu istirahat, maupun ketika sekedar berkunjung ke sekolah.

76
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, : Konsep, Strategi, dan
Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 49-50

Manajemen Pendidikan Islam


Bahkan, tamu-tamu dari luar juga diharapkan merasakan hal yang
sama. Kenyataan di lapangan menunjukkan kebanyakan lembaga
pendidikan Islam kurang memerhatikan kerapian, kebersihan,
keindahan, keanggunan, dan keasrian, terutama di lingkungan
pesantren. Namun, ada pula sejumlah kecil pesantren seperti Pesantren
An-Nur, Bululawang, Malang yang telah dapat mengelola lingkungan
kompleks pesantren dengan sangat baik. Taman-tamamya ditata apik,
dilengkapi dengan semacam kebun binatang mini. Nabi pernah
bersabda:77
Sesungguhnya Allah itu Indah, Dia menyukai keindahan.
Gedung-gedung yang dibangun harus melalui perencanaan yang
matang sehingga minimal dapat digunakan dalam waktu 25 tahun.
Gedung harus kuat, awet, dan posisinya tepat sehingga tidak sampai
dibongkar kemudian didirikan gedung baru di tempat yang sama
dalam waktu yang relatif cepat, karena hal itu adalah pemborosan.
Sebaiknya, gedung itu dibangun bertingkat yang berarti menghemat
tanah serta terkesan kokoh. Bentuk gedung pun sebaiknya juga indah
dan memiliki gaya arsitektur yang khas sehingga membuat orang yang
memandang merasa tertarik.
Di samping itu, suatu keharusan juga untuk membangun masjid
atau setidaknya mushala. Bangunan ibadah tersebut bukan sekadar
simbol lembaga pendidikan Islam, tetapi memang merupakan
kebutuhan riil untuk beribadah ketika pegawai dan peserta didik
berada di sekolah. Masjid atau mushala itu juga bisa dimanfaatkan
sebagai laboratorium ibadah. Misalnya cara berwudhu atau praktik
shalat yang benar, keduanya bisa dilaksanakan di tempat tersebut.
Lebih dari itu, masjid atau mushala diupayakan ikut mewarnai
perilaku Islami warga sekolah sehari-harinya, yaitu dengan

77
Hadis riwayat Muslim dan at-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud dari Ibnu
Umamah al-Bahy sedang al-Hakim dari Ibnu Umar. Lihat Ibnu Hamzah al-Hasaniy,
al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadits, (ttp: al-Maktabah al-Ilmiah,
19983)

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


mengoptimalkan kegiatan keagamaan maupun kegiatan ilmiah yang
ditempatkan di masjid atau mushala.
Pada dasarnya, yang terpenting bagi bangunan fisik bukanlah
kemegahamya, tetapi optimalisasi fungsinya. Bafadal menyatakan
bahwa penampilan fisik sekolah yang mendukung upaya peningkatan
mutu pendidikan tidak mengutamakan penampilan yang megah, tetapi
lebih mengutamakan keberfungsian fisik sekolah tersebut.78 Hanya
saja, jika bangunan fisik itu dapat difungsikan secara maksimal dan
kondisi bangunamya juga megah tentu akan lebih baik lagi dan bisa
menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
Dalam pengadaan alat-alat dan media pengajaran seharusnya yang
dibeli adalah alat-alat dan media pengajaran yang berkualitas tinggi
meskipun harganya cukup mahal. Sebab, alat dan media tersebut bisa
dua kali atau tiga kali lipat lebih awet dibanding alat-alat dan media
pengajaran yang berkualitas rendah. Jadi, jika dikalkulasikan
sebenarnya peralatan yang bermutu tinggi lebih efisien dan efektif
daripada peralatan yang berkualitas rendah. Hanya saja problemnya,
ketika membeli peralatan yang bermutu tersebut kondisi keuangan
lembaga kadang tidak mencukupi sehingga perlu clicarikan tambahan
uang.
Bagi lembaga pendidikan Islam yang memiliki areal tanah yang
luas tentunya akan memberi keuntungan tersendiri. Lembaga tersebut
bisa mengondisikan Jingkungan di dalam kompleksnya secara leluasa
untuk halaman, taman, kebun, maupun jalan raya. Adanya bangunan
yang bertingkat akan makin serasi dipandang jika halamamya luas.
Keadaan ini bisa diperindah jika dibangun taman-taman di sekitar
lembaga pendidikan Islam tersebut. Kebun bisa dipakai untuk
menanam aneka tanaman percobaan untuk praktik pelajaran biologi.
Di samping itu, juga perlu disediakan bahan dari sebagian kebun itu
untuk pengadaan apotek hidup. Selanjutnya, jalan menuju sekolah bila

78
Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar dari
Sentralisasi Menuju Desentralisasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), hlm. 23

Manajemen Pendidikan Islam


diperlebar supaya bisa menambah kesan positif. Lahan yang luas itu
perlu juga dimanfaatkan untuk pembangunan zona olahraga. Segala
jenis olahraga di sekolah dipusatkan di tempat tersebut: ada lapangan
sepakbola, bola voli, tenis lapangan, tenis meja, bola basket, wall
climbing, catur, sepak takraw, kolam renang, dan sebagainya sehingga
tersedia banyak pilihan.
Penataan sarana dan prasarana seperti yang diharapkan tersebut
jarang sekali terjadi dalam lembaga pendidikan Islam, apalagi
merawat budaya penataan ini. Budaya di kalangan umał Islam
memang kurang menguntungkan untuk program perawatan tersebut
sebab mereka masih lebih bersemangat mewujudkan sesuatu daripada
merawatnya, apalagi mengembangkamya. Hal ini membutuhkan
perhatian juga bagi manajer lembaga pendidikan Islam untuk
mentradisikan perawatan tersebut di dałam lembaga yang dipimpimya.
Program perawatan ini bisa disebut program perawatan preventif
yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kinerja, memperpanjang
usia pakaiy menurunkan biaya perbaikan, dan menetapkan biaya
efektif perawatan sarana dan prasarana sekolah, melestarikan kerapian
dan keindahan, serta menghindarkan dari kehilangan atau setidaknya
meminimalisasi kehilangan.
Program perawatan ini dapat ditempuh melalui langkah-langkah
berikut ini.
1. Membentuk tim pelaksana perawatan preventif di sekolah.
2. Membuat daftar sarana dan prasarana, termasuk seluruh perawatan
yang ada di sekolah.
3. Menyiapkan jadwal tahunan kegiatan perawatan untuk setiap
perawatan dan fasilitas sekolah.
4. Menyiapkan lembar evaluasi untuk menilai hasil kerja perawatan
pada masing-masing bagian di sekolah.
5. Memberi penghargaan bagi mereka yang berhasil meningkatkan
kinerja peralatan sekolah dałam rangka meningkatkan kesadaran
dałam merawat sarana dan prasarana sekolah.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Adapun program perawatan preventif di sekolah tersebut dapat
dilaksanakan dengan cara berikut ini.
1. Memberikan arahan kepada tim pelaksana perawatan preventif dan
mengkaji ulang program yang telah dilaksanakan secara teratur.
2. Mengupayakan pemantauan bulanan ke lokasi tempat sarana
prasarana, untuk mengevaluasi aktivitas pelaksanaamya
berdasarkan jadwal yang telah dilaksanakan.
3. Menyebarkan informasi tentang program perawatan preventif
untuk seluruh warga sekolah terutama guru dan siswa.
4. Membuat progranl lomba perawatan terhadap sarana dan fasilitas
sekolah untuk memotivasi warga sekolah.
Demikianlah, paparan tentang sarana dan prasarana, terutama yang
difungsikan menjadi sarana sebagai komponen dasar dalam proses
pendidikan melengkapi komponen personalia, kesiswaan, kurikulum,
dan keuangan. Sarana dan prasarana tersebut ternyata memiliki
kedudukan yang penting dalam manajemen pendidikan Islam. Para
siswa/mahasiswz santri, guru/ustadz, tamu-tamu yang hadir, orantua
wali bisa tertarik pada suatu lembaga pendidikan Islam, jika ada
pesona tertentu yang direfleksikan dari pengaturan sarana dan
prasarana yang serba rapi, bersih, indah, anggun, dan asri.
Bagaimanapun sekolah/madrasah/pesantren yang memiliki sarana
lengkap, rapi, dan bersih kemudian ditunjang oleh penataan prasarana
yang indah, anggun, dan asri akan memiliki pengaruh yang positif
sehingga mereka tertarik, dan betah berada di dalam kompleks
lembaga tersebut. Keadaan ini di samping sebagai bagian dari urusan
kelengkapan, juga—yang tidak kalah penting—termasuk urusan
estetika atau keindahan yang melibatkan aspek perasaan seseorang
untuk menilai dan merasakamya. Terkadang aspek perasaan ini sulit
sekali dijelaskan, meskipun mudah dirasakan dan dihayati.

Oleh karena itu, sarana dan prasarana pendidikan Islam


seharusnya diupayakan semaksimal mungkin agar lembaga
pendidikan Islam memiliki daya tarik yang khas. Jika terjadi

Manajemen Pendidikan Islam


demikian, maka posisi tawar lembaga tersebut terhadap masyarakat
sekitar sangatlah tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi jika sarana
prasarana ini mendapat perhatian besar dari manajer pendidikan Islam
mulai dari tahap perencanaan hingga perawatan.
B. Mendambah Madrasah Bersih dan Indah
Judul ini penulis kutip dalam Jejen Musfah yang mana
menemukan kenyataan pahit tentang kondisi madrasah yang kumuh
dan kotor. Sampah berserakan tak sedap dipandang, air menggenang
di toilet, dan jalanan becek saat hujan. Jangan membayangkan hal
indah dan hijau lingkungan madrasah. Jika faktanya seperti ini, bukan
berarti pimpinan dan guru madrasah tidak paham tentang ajaran
agama tentang kebersihan dan kesehatan. Apa sebenarnya yang terjadi
dengan pimpinan madrasah?
Islam mengajarkan bersih dan indah melalui wudhu, shalat, puasa,
zakat, dan sedekah. Pesan ini mengajarkan madrasah tampil terdepan
dalam hal kebersihan, hijau, dan indah. Tak perlu penegasan melalui
instrumen akreditasi dan lain sebagainya, seperti khotbat Jumat dan
upacara bendera, karena kebersihan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang dampaknya langsung terasa. Dalam fisik yang sehat
terdapat akal yang sehat.79
Dampak lingkungan madrasah kotor yaitu belajar mengajar tidak
nyaman, timbulnya ragam penyakit, lingkungan tidak indah dipandang dan
tidak nyaman, dan mengurangi daya tarik orangtua kemadrasahkan atau
memondokkan anak-anaknya. Kesan masyarakat umum bahwa madrasah itu
kotor dan kumuh tidak salah. Memang demikian kenyataamya.
Sudah saatnya madrasah berubah. Ragam langkah pemecahan
masalah harus segera dicanangkan, dengan kepala madrasah sebagai
penggerak dan pengontrolnya. Kepala madrasah orang pertama yang
bertanggung jawab terhadap kebersihan dan keindahan lingkungan
madrasah. Guru, staf, dan siswa sangat tergantung kepada

79
Jejeng Musfah, Manajemen Pendidikan: Teori, Kebijakan, dan Praktik
(Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 230

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


kepemimpinan kepala madrasah. Mereka semua bisa digerakkan untuk
menciptakan madrasah yang nyaman.
Pertama, mulaimya dari visi; cita-cita komunitas madrasah tidak
akan bisa bersih, hijau, dan indah. Jika banyak madrasah yang sudah
menulis visi seperti ini namun madrasahnya tetap kotor, maka ada
yang salah dengan pengelolaan madrasah.
Kedua, laksanakan program terkait, penghijauan, dan kełndahan
madrasah. Inilah misi madrasah. Ragam kegiatan bisa muncul seperti Jumat
bersih, penanaman serratus pohon, dan piket seharian di kelas dan
lingkungan madrasah yang melibatkan semua komponen madrasah. Kepala
sekolah terjun langsung kedalam kegiatan-kegiatan madrasah bersih, dan
memastikan semua kegiatan berjalan sesuai dengan rencana.
Ketiga, kegiatan tersebut harus menjadi budaya bersih madrasah,
bahwa siapa pun dan kapan pun di madrasah sadar berperilaku bersih,
tanpa paksaan. Suatu budaya diawali dengan kerja keras dan paksaat
dari atasan. Perlu teladan dari pimpinan, guru dan staf madrasah.
Menjadikan madrasah bersih tidak sulit jika ada kemauan. Awalnya
mungkin akan terasa berat dan sulit, namun seiring waktu berjalan,
kebersihan akan menajadi budaya madrasah.
Keempat, budaya bersih tegak jika kepala madrasah menjadi
penggerak utama dan pengawas. Agar sampai tujuan, seperti mobil,
harus ada sopirnya. Kepala madrasah berperan sebagai pelaku
sekaligus teladan bagi komunitas madrasah dalam hal kebersihan,
sehingga yang laimya meniru. Dia juga sebagai pengontrol yang
mengingatkan komunitas saat ditemukan penurunan komitmen. Harus
ada yang mengingatkan komunitas madrasah saat mereka mulai abai
pentingnya budaya bersih.
Kelima, sediakan tempat sampah di setiap ruang kelas, ruang guru,
ruang kepala madrasah, ruang staf, dan lain sebagainya. Tempat akhir
pembuangan sampah harus jauh dari lokasi madrasah. Sediakan lahan
untuk taman madrasah. Tanami madrasah dengan pohon-pohon
rindang agar udara sejuk dan tidak terlalu panas karena sinar matahari.

Manajemen Pendidikan Islam


Madrasah bukan hanya tempat belajar siswa, tetapi juga tempat
siswa bermain dari pagi hingga sore. Agar siswa merasa nyaman
belajar dan bermain, maka madrasah harus bersih dan nyaman. Toilet
harus bersih. Air bersih tersedia dengan baik. Akan sia-sia guru
mengajar akhlak kepada siswa jika madrasahnya kotor dan tidak
nyaman. Sebab, lain yang diucapkan dengan kenyataan di madrasah.
Sebaik nya, mereka akan mengganggap guru sebagai orang yang tidak
bisa dipercaya.
Saatnya wajah madrasah berubah. Masalah besar madrasah yaitu
soal kebersihan dan keindahan serta kesehatan. Ini bukan soal biaya,
tetapi soal cara pandang kepala madrasah tentang apa yang harusnya
utama dalam mengelola madrasah. Kebersihan dan keindahan ma sah
tidak terkait dengan uang puluhan juta, tetapi pola pikir kepala
madrasah.
Jangan pernah menganggap toilet itu perkara kecil. Orang tua
terdidik akan melihat kondisi toilet sebagai barometer memasukan
anaknya ke madrasah. Mungkin saja keberhasilan madrasah dimulai
dari sebab toiletnya yang bersih. Siswa banyak, orangtua rela
membayar SPP, dan kepercayaan masyarakat meningkat, maka
madras berkembang maju tahap demi tahap.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


BAB V
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian dan Sejarah Pembiayaan Pendidikan

P
embiayaan pendidikan secara sederhana dapat diartikan
sebagai ongkos yang harus tersedia dan diperlukan dalam
menyelenggarakan pendidikan dalam rangka mencapai visi,
misi, tujuan, sasaran dan strateginya. Pembiayaan pendidikan tersebut
diperlukan untuk pengadaan gedung, infrastruktur dan peralatan
belajar mengajara, gaji guru, 80 gaji karyawan dan sebagainya.
Timbulnya pembicaraan pembiayaan pendidikan itu antara lain
terjadi seiring dengan terjadinya pergeseran dari kegiatan belajar
mengajar yang semula dilakukan secara individual dan sambilan
dalam situasi ilmu pengetahuan yang belum berkembang, menjadi
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara khusus dan
profesional dalam situasi ilmu pengetahuan sudah dimulai
berkembang. Dalam sitiuasi terakhir ini, proses belajar mengajar tidak

80
Di kalangan para ahli terjadi perbedaan pendapat dalam hal guru menerima
gaji atau menolaknya. Yang paling terkenal menolak untuk menerima gaji yaitu
Sicrated. Ia seorang filsuf yang hidup di zaman Sophistes, yaitu golongan guru-guru
yang mengajar pemuda pemudi tentang kesusastraan, perdebatan, ilmu pidato dan
filsafat. Dari pekerjaan itu mereka mendapat gaji. Socrates berbeda pendapat dengan
mereka dalam hal ini, sebab ia mengejar pemuda pemudi tampa gaji. Ia mengejar
disegala tempat, seperti di kedai-kedai, jalan-jalan, alun-alun, dan Lorong-lorong.
Socrates menerangkan sebab-sebab menolak gaji itu, karena keutamaan (fadilat)
diambil dari jiwa, dan orang hanya sampai ke ilmu itu dengan berpikir (merenung).
Fadilat tidak bisa diajarkan. Oleh sebab itu, guru tidak berhak menerima gaji.
Pendapat yang serupa juga dijumpai pada imam al-Ghazali. Ia misalnya
berpendapat, bahwa seorang guru tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan
terima kasih, tetapi bermaksud dengan mengajar itu mencari keridaan Allah dan
mendekatkan diri kepada Tuhan. Pendapat imam al-Ghazali ini didasrkan pada
pemahaman terdapat dalam ayat al-Qur’an yang artinya: “Ikutilah orang yang tiada
meminta balasan kepadamu, dan mereka ialah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. Yaasin: 21). Lihat Mohammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan, (terj) oleh H. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, dari al-
Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. ke-2, hlm. 143. Lihat
pula Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1987). Cet. ke-1, hlm 137.

Manajemen Pendidikan Islam


dapat lagi dilakukan secara sambilan dengan memanfaatkan sarana
dan prasarana yang ada seperti masjid atau bagian tertentudari rumah
guru, melainkan sudah memerlukan tempat yang khusus, sarana
prasarana, infrastruktur, guru, dan laimya yang secara khusus
diadakan untuk kegiatan belajar dan mengajar, dan laimya yang secara
khusus diadakan untuk kegiatan belajar dan mengajar. Dengan situasi
yang demikian itulah, maka pembiayaan pendidikan merupakan
bagian yang harus diadakan secara khusus.
Pembiyaan pendidikan memang bukan segala-galanya, tetapi
tampa adanya pembiayaan pendidikan, maka pendidikan akan sulit
dilaksanakan untuk mencapai tujuamya yang ditetapkan. Beberapa
negara maju di dunia saat ini, seperti Jepang, Amerika Serikat,
Jerman, dan Australia, bermula dari adanya perhatian yang besar dan
sungguh-sungguh dalam menciptakan sistem pendidikan yang kukuh
dan ditopang oleh komitmen yang tinggi untuk melaksanakamya, serta
dana yang besar. Pada tahun 1960-an misalnya, Amerika Serikat
menemukan hasil penelitian yang mengatakan, bahwa investasi dalam
bidang pendidikan ternyata jauh lebih menguntungkan dibandingkan
dengan investasi dalam bidang saham, dengan perbandingan hingga
mencapai sepuluh kali lipat. Selanjutnya pada tahun 1965-an ia
mengeluarkan biaya tidak kurang dari 6 miliar dollar atau sekitar 60
triliun untuk melakukan penelitian dan pengembangan (research and
developłnent) dalam bidang pendidikan. Berbagai teori murni dan
konsep pendidikan yang dilakukan oleh para peneliti individual yang
ada sebelumnya81 mereka kembangkan lebih lanjut melalui sebuah
komisi khusus yang selanjutnya menghasilkan berbagai konsep dan
desain yang siap diaplikasikan. Berbagai konsep tentang kurikulum,

81
Sebelum tahun 60-an sudah terdapat sejumlah pakar yang melakukan riset murni
secara individual dalam bidang pendidikan, antara lain Burrhus Frederic Skinner
(1909-1990), Benyamin S. Bloom, (1913-1999), Jerome Ivan Illiach (1926-2002),
Jurgen Habermas (1916), dan Howerd Gardner, (1943). Lihat Joy A. Palmer (ed), 50
Pemikir Pendidikan dari Giaget sampai Masa Sekarang, (ahli bahasa) Farid Assifa,
dari judul asli Fifty Modern Thinkers on Education, (Yogyakarta: Jendela, 2003),
cet, ke-1,

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


proses belajar mengajar, manajemen pendidikan, standar lulusan,
evaluasi, dan sebagainya mereka kembangkan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Dari sejak itulah, pendidikan selain
mencerdaskan manusia, juga sebagai alat untuk mencari keuntungan
material. Pendidikan selanjutnya menjadi komoditas yang
diperdagangkan di pasaran bebas. Konsep pendidikan yang dihasilkan
Amerika Serikat tersebut kemudian diekspor ke luar melalui puluhan
juta masyarakat dunia yang menuntut ilmu di Amerika Serikat. Bisnis
dalam bidang pendidikan ini pada masa sekarang suda merata di
seluruh negara di dunia, termasuk negara tetangga, seperti Singapura
dan Malaysia. Ribuan pelajar dan mahasiswa asal Indonesia saat ini
bukan hanya belajar di Amerika, Australia, dan Jepang, melainkan
juga di Singapura dan Malaysia. Dengan demikian, setiap bulan dan
setiap tahun tidak sedikit uang yang mengalir dari Indonesia ke luar
negeri. Tidak hanya itu, pada saat ini, berbagai negara maju tersebut
sudah membawa sistem dan pelaksana pendidikan tersebut Indonesia.
Semua ini terjadi, karena tersedianya dana untuk melakukan kegiatan
tersebut.
Di dunia Islam, khususnya pada zaman klasik (abad ke-7 hingga
13M), kesadaran untuk mengeluarkan biaya yang besar untuk kegiatan
pendidikan sesungguhnya sudah pula terjadi. Namun berbeda motif
dan tujuamya dengan motif dan tujuan yang dilakukan negara-negara
maju sebagaimana tersebut di atas. Di zaman klasik atau kejayaan
Islam, motif dan tujuan pengeluaran biaya pendidikan yang besar
bukan untuk mencari keuntungan yang bersifat material atau
komersial, melainkan semata-mata untuk memajukan umat manusia,
dengan cara memajukan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
peradabamya. Para khalifah Islam di zaman klasik tidak
mengharapkan keuntungan dari biaya pendidikan yang
dikeluarkamya. Masyarakat yang belajar di berbagai lembaga
pendidikan Islam pada zaman itu biayanya ditanggung oleh
pemerintah, atau dengan kata lain tidak dipunggut biaya alias gratis.
Adapun belajar diberbagai negara maju tidak tidak ada yang gratis.
Manajemen Pendidikan Islam
Semua mahasiswa atau pelajar harus membayar penuh, walaupun
sumbernya ada yang berasal dari beasiswa yang jumlahnya sudah
dibatasi dan diberhitungkan sebagai ongkos promosi.

B. Dasar dan Sumber Biaya Pendidikan Islam


Berdasarkan petunjuk al-Qur’an, al-Hadis, pendapat para ulama
fakta sejarah, dijumpai dasar dan sumber biaya pendidikan sebagai
berikut.
1. Dana Fi Sabilillah (Di jalan Allah)
Baik di dalam al-Qur’an al-Hadis sedik sekali ayat atau matan
hadis yang secara eksplisit berbicara tentang dasar dan sumber biaya
pendidikan. Ayat-ayat- al-Qur’an dan al-Hadis yang berbicara tentang
zakat dan infak misalnya tidak banyak memasukkan biaya pendidikan
sebagai unsur yang menerima bagian dari zakat dan infak tersebut. Di
dalam surat at-Taubah (9) ayat 60 misalnya disebutkan delapan
golongan yang berhak menerima zakat, yaitu orang-orang fakir,
miskin, panitia zakat, para mu’allaf, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah (fi sabillah), dan orang-
orang yang sedang dalam perjalan.
Ketika menafsirkan kata untuk jalan Allah (fi sabillah) pada ayat
tersebut pada umumnya tidak memasukkan biaya pendidikan. al-
Maraghi misalnya mengatakan:
Wa sabil Allah huwa al-thariq al-muwashil ila mardhatihi wa
matsubatihi, wa al-murad bi al-ghuzat wa al-murabithun lil jihad, wa
ruwiya and alImam Ahmad annahu ju'ila al-hajj min sabil lillah,
yadadkhulu fi zalika jami'u wujuh al-khair min takfin al-mauta wa
bina al-jiwar wa al-husun wa imarah al-masjid wa nahwi zalika. Wa
al-haq anna al-muradu bi sabil Allah mashalih al-muslimin al-'amah
allati bina qiwam amr al-din wa aldaulah dun al-afrad kata'min
thuruq al-hajj wa taufir al-ma'a wa al-ghiza wa asbab al-shihah lil al-
hujjaj wa in lam yujad mashrifa akhar, wa laisa minha hajj al-afrad
liannahu wajib al-almustathi' fa hasb.82

82
Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, al-Mujallid al-Rabi’,
(Beirut: Dar al-Fikr, t,t), hlm. 875-876.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Pada penjelasan (tafsir) sabilillah tersebut tercakup berbagai yang
mendatangkan kemaslahatan yang dapat mengantarkan seseorang
menuju keridaan dan pahala dari Allah, termasuk untuk. pengamanan
perjalanan haji, penyediaan air, bahan makanan dan peralatan
kcsehatan untuk para hujaj yang bersifat kepentingan umum dan
bukan untuk kepentingan para haji yang bersifat perorangan, seperti
ongkos haji dan sebagainya. Termasuk pula di dalamnya para tentara
yang berjihad di jalan Allah yang tidak memperoleh gaji yang tetap
dari pemerintah, atau semacam para sukarelawan. Dengan demikian,
secara eksplisit biaya pendidikan tidak tersedia dari zakat. Selanjutnya
Wahbab al-Zuhaili, ketika menafsirkan ayat 60 surah: at-Taubah
tersebut mengatakan sebagai berikut:
Ittafaqa jamahir fuqahau al-mazhab 'ala annahu laa yajuzu sharf
alzakat ila ghair man zukira Allah Ta'a;a, min bina al-masajid wa
al-jusur wa al-qanathir, wa al-siqayaat, wa kary al-anhar, wa
ishlah al-thuruqat, wa takfin al-mauta, wa qadhai al-din, wa
tausi'ah 'ala al-adlyaaf, wa binai al-aswar wa i'dadi wasail al-
jihad, ka shina 'at al-sufun al-harbiyah wa syirai al-silah, wa nahw
dzalika min al-qarb al-lati lam yadzkur Allah Ta'ala mimma laa
tamliku fih, li anna Allah subhanahu wa ta'ala qala: innama al-
shadaqat lil al-fuqarai. Wa kalimat "innama" li al-hashr wa al-
istbaat, tatsabbat al-madzkur wa tanfi ma 'adahu, fala yadzuzu
Sharp al-zakat ila hadzihi al-wujuh, li annahu lam yuujad al-tamlik
ashlan.
Lakin fassara al-Kaasaaniy fi al-bada'i sabil Allah, bijami'i al-
qarb, fa yadkhulu filli kullu man sa'a fi tha'at Allah wa sabil al-
khairat idza kaana muhtaadzan, li anna fi sabil Allah 'aam fi al-
milk, ay yasymilu 'imarat almasajid wa nafw dzalika mimma
zukira, wa fassara ba'dla al-hanafiyah sabil Allah bi thalab al-'ilm
walau kana al-thalib ghaniyan.83

Kutipan tersebut secara eksplisit menegaskan, bahwa zakat hanya


diperuntukkan bagi sejumlah kelompok sosial yang secara khusus
telah disebutkan di dalam Al-Qur'an, yaitu fakir, miskin, panitia,

83
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, al-Juz al-Tsani,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M) cet. ket-3, hlm. 875-876.

Manajemen Pendidikan Islam


hamba sahaya, mualaf, orang yang berutang, ibn sabil dan sabilillah.
Penggunaan kata "innama " yang dalam bahasa Arab disebut alat
untuk membatasi dan menetapkan, menunjukkan bahwa hanya yang
ditetapkan Allah sajalah yang dapat diberikan zakat. Berbagai
kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, menyediakan
air minum, menggali sungai, memperbaiki jalan, mengafani orang
mati, memenuhi perintah agama, memberikan kemsempatan dan
keluasan bagi tamu, membangun menara, dan sebagainya tidaklah
termasuk yang dapat memmperoleh bagian dari zakat. Hanya sebagian
dari pengikut mazhab Abu Hanifah sajalah yang memasukkan para
pelajar yang menuntut ilmu sebagai bagian dari orang yang sedang di
jalan Allah (sabilillah) yang berhak mendapat bagian dari zakat,
walaupun pelajar tersebut tergolong orang kaya.
Dengan demikian, sumber dana pendidikan yang berasal dari
zakat, khususnya yang bcrasal dari sektor di jalan Allah (Fi sabilillah)
tergolong sangat kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali.

2. Dana Dari Para Siswa (Wali Murid)


Sumber pembiayaan pendidikan selanjutnya berasal dari para
pelajar yang dibayarkan oleh orang tuanya. Di dalam Islann, orang tua
berkewajiban mendidik putra-putrinya. Namun karena orang tua
tersebut sibuk dengan tugas lainnya, tidak menguasai berbagai
keahlian dalam ilmu pengetahuan serta mengajarkannya, maka tugas
mendidik tersebut diserahkan kepada guru pada lembaga pendidikan
yang secara khusus dilatih dan disediakan untuk mendidik putra-putri
dari anggota masyarakat, dengan cara masyarakat tersebut
nnenanggung biaya yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan
tersebut. Berkenaan dengan ini, maka setiap orang yang ingin
mendapatkan pendidikan, harus mengeluarkan biaya pendidikan.
Burhan al-din al-Zarnuji dalam hubungan ini mengatakan: "Ingatlah!
Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam syarat; aku
akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan, hasrat

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


atau motivasi yang keras, sabar, biaya, petunjuk guru, dan waktu yang
cukup.84
Kewajiban orang tua membiayai pendidikan scorang anak, juga
dapat dipahami dari hadis Nabi Muhammad Saw sebagai berikut.
"Hak seorang anak atas orang tuanya adalah memberikan nama
dan akhlaknya yang baik, mengajarkan menulis, berenang dan
memanah, memberikan rezeki hanya yang baik-baik saja, dan
menikahkannya, jika sudah menemukan jodohnya." (HR. al-Hakim)85
"Didiklah anak-anakmu sekalian dengan tiga hal, yaitu mencintai
nabimu, mencintai keluarganya, dan membaca al-Qur'an, karena
orang yang membaca al-Qur'an akan berada dalam naungan Allah,
pada hari yang tidak ada naungan lainnya, kecuali naungannya,
bersama para nabi dan orang-orang yang dikasihinya." (HR. al-
Dailamiy dari 'Ali)
"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah
amalnya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang
dimanfaatkan, dan anak yang saleh yang dapat mendo'akannya."
(HR. Muslim)86
Hadis-hadis tersebut secara keseluruhan berbicara tentang
kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya, agar menjadi anak
yang memiliki akhlak yang baik, dapat menjalankan ibadah, membaca
al-Qur'an, dan menjadi anak yang saleh. Untuk mewujudkan anak
yang memiliki pendidik seperti itu, maka diperlukan biaya pendidikan
yang harus dikeluarkan oleh orang tua anak tersebut. Dana yang
berasal dari sumbangan para siswa (wali murid) ini tergolong dana
yang paling stabil dan berlaku hingga saat ini. Hal ini disebabkan
karena beberapa faktor sebagai berikut.

84
Burhan al-Din al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum,
(Surabaya: Salim Nabhan, t.t), hlm. 15
85
Ahmad al-Hasyim Bek, Mukhtart al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-Hikam al-
Muhammadiyah, (Mesir: Mathb’ah Hijazi, 1367 H/1948 M), Ibid., hlm. 79
86
Ahmad al-Hasyim Bek, Mukhtart al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-Hikam al-
Muhammadiyah, Op. cit., hlm. 79

Manajemen Pendidikan Islam


Pertama, masyarakat memandang bahwa membiayai pendidikan
merupakan kewajiban yang melekat pada orang tua, dan sebagai
panggilan agama yang harus dilaksanakan. Dengan demikian, orang
tua akan berusaha membanting tulang dan memeras keringat untuk
mencukupi biaya pendidikan anak-anaknya.
Kedua, masyarakat memandang bahwa kemajuan dan prestasi
belajar yang dicapai anak-anaknya akan dapat mengangkat harkat dan
martabatnya. Orang tua akan merasa bangga dan terhormat, jika anak-
anaknya sukses dalam Studi. Untuk itu, ia berusaha memenuhi biaya
anak-anaknya.
Keliga, orang tua memandang, bahwa mengeluarkan biaya
pendidikan merupakan sebuah investasi yang menguntungkan. Dana
yang dikeluarkannya itu diyakini akan kembali dengan jumlah yang
jauh lebih besar dan menguntungkan, jika anaknya kelak sudah lulus
dari pendidikannya dan memasuki lapangan kerja yang bergengsi dan
mendatangkan uang, seperti menjadi dokter, menjadi pengacara, pilot,
pengusaha besar, dan sebagainya.
3. Dana dari Wakaf
Sumber pembiayaan pendidikan lainnya yang paling menonjol
dalam sejarah Islam yaitu berasal dari dana sosial berupa wakaf. Pada
awalnya, tujuan diadakannya wakaf yaitu untuk mengekalkan pokok
dari sesuatu benda, sedangkan manfaatnya boleh digunakan untuk
kebaikan, atau harta yang dapat digunakan hasilnya tetapi asalnya
kekal.
Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa yang asal
dalam wakaf ialah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah,
tetapi mungkin orang mengeluarkan wakaf untuk orang lain dengan
tujuan mencari kasih, atau untuk seorang anak karena takut dijual
sesudah wafatnya dan harganya dihabiskan. Atau kalau ia takut
dihalangi darinya dan dijual untuk membayar utangnya. Atau ia
memberi wakaf karena ria. Dalam hal terakhir seniua wakaf itu tidak
ada pahalanya, sebab ia tidak mengharapkan keridaan Allah Swt.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Menurut Imam Syafi'i, bahwa wakaf adalah khusus untuk kaum
Muslimin saja. Orang-orang jahiliah tidak mengeluarkan wakaf, hanya
orang-orang Islam saja yang mengeluarkan wakaf.
Wakaf tersebut hukumnya sunah jika dilakukan semata-mata
mengharapkan keridaan Allah Swt. Hal ini didasarkan pada dalil ayat
al-Qur'an:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah


kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamil
mendapat kemenangan”. (QS. al-Hajj (22): 77)
Adapun as-Sunah yang oleh para ulama dijadikan dalil tentang
wakaf, di antaranya yaitu yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar
r.a., yang menceritakan, bahwa Umar mendapat sebidang tanah di
Khaibar, kemudian beliau mendatangi Nabi Saw, meminta
pendapatnya tentang tanah tersebut. Hadis tersebut selengkapnya
berbunyi: "Wahai Rasulullah, aku mendapat tanah di Khaibar, aku
belum pernah mendapat harta yang lebih berharga dari itu, apa kata
_Rasulullah tentang tanah itu?" Rasulullah berkata: "Jika engkau mau
engkau tahan asalnya dan scdekahkan hasilnya. Tetapi tidak boleh
dijual yang asal, tidak boleh diberikan dan tidak boleh diwariskan."
Katanya, Umar pun menyedekahkannya kepada orang-orang fakir,
kauni kerabat, hamba sahaya, di jalan Allah, anak jalanan dan orang
lemah. Tidak berdosa orang yang memeliharanya untuk makan dari
situ dengan baik dan memberi makan kawan yang tidak membuat
harta di situ. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, hadis yang dijadikan dasar tentang wakaf ini adalah:
"Jika seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga

Manajemen Pendidikan Islam


hal. Pertama sedekah yang berjalan terus, atau ilmu yang digunakan,
atau anak saleh yang mendo'akannya." (HR. Muslim)87
Dalil lain yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan wakaf adalah
ijma' ulama yang didasarkan pada keterangan dari Jabir. Katanya,
bahwa tidak ada seorang pun sahabat Nabi Saw yang sanggup
(mampu) yang tidak berwakaf.88
Di dalam sejarah Islam, wakaf mengalami perkembangannya yang
luar biasa pada abad kedelapan dan kesembilan hijrah. Pada waktu itu
bukan hanya berupa tanah pertanian saja yang diwakafkan, melainkan
juga rumah, toko, kebun, lesung, pencelup, pabrik roti, kantor dagang,
pasar, tempat potong rambut, tempat mandi, gudang hasil pertanian,
pabrik penetasan telur, dan lain-lain juga diwakafan. Dengan
demikian, wakaf sudah berkembang luas, dan menjangkau
perusahaan.
4. Dana dari Kas Negara
Athiyah al-Abrasyi melaporkan, bahwa Madrasah al-
Muntashiriyah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir,
yang merupakan madrasah (sekolah) yang terbesar ketika itu
menghabiskan biaya yang besar sekali. Darul Ilmi di Kairo, yang
didirikan oleh al-Hakim bi Amrillah pada tahun 1004 M dengan
menelan biaya sekitar 257 dinar setiap tahun. Dana tersebut digunakan
untuk membeli tikar, kertas, gaji pemimpin perpustakaan, air, gaji
pesuruh, menjilid buku, membeli permadani untuk musim dingin.
Biaya tersebut belum termasuk biaya untuk gaji guru dan karyawan.89
Selanjutnya Nizam al-Muluk mengeluarkan anggaran belanja yang
luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. la mengeluarkan
biaya sebesar 600.000 dinar setiap tahun untuk membiayai seluruh
madrasah yang diasuh negara dan sebanyak 60.000 dinar untuk

87
Ahmad al-Hasyim Bek, Mukhtart al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-Hikam al-
Muhammadiyah, Op. cit., hlm. 18
88
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1978), cet. ke-1, hlm. 159-160.
89
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj)
Butami A.Gani dan Djohar Bahru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 98

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


membiayai Madrasah Nidzamiyah Baghdad saja, dana tersebut
terhitung cukup besar, karena satu dinar senilai dengan 4.025 gram
emas. Dengan demikian, biaya setahun Madrasah Nizamiyah Baghdad
saja menghabiskan lebih dari 240 kilogram emas. Biaya seluruh
sekolah yang diurus oleh Nizam al-Muluk setiap tahun lebih dari 2,4
ton emas. Nizam al-Muluk, tidak mencari uang, karena uang sudah
tersedia di kas negara.90
5. Dana dari Hibah Perorangan dan Lainnya
Di zaman kejayaan Islam sebagaimana tersebut, terdapat sejumlah
orang yang kaya raya dan berkecukupan dan menyukai ilmu
pengetahuan dan kemajuan Islam. Orang tersebut selanjutnya
menyisikan sebagian dananya untuk membantu kegiatan pendidikan
dalam bentuk hibah, hadia, dan infa. Mereka itu selanjutnya dikenal
sebagai para donator yang memberikan bantuan dana secara rutin,
dengan tidak mengharapkan apa-apa, kecuali untuk kemajuan
pendidikan dan umat Islam. Lembaga pendidikan yang diberikan
bantuan tcrscbut biasanya lembaga pendidikan yang memiliki
berbagai persyaratan yang ditentukan. Misalnya, lembaga tersebut
dapat dipercaya, menghasilkan lulusan yang bermutu, mcmiliki visi,
misi, tujuan, sasaran dan targct yang jclas, serta mcndapatkan
kepercayaan masyarakat.
Selain itu, ada pula dana yang diberikan pcrorangan kepada para
pelajar yang menunjukkan tingkat kesungguhan dan kecerdasan yang
tinggi, serta bercita-cita untuk memajukan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan umat Islam. Beberapa ulama besar dalam Islam,
seperti imam Syafi'i, Ibn Sina, dan al-Ghazali misalnya pernah
mendapatkan bantuan dari perorangan untuk melanjutkan
pendidikannya.

90
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), cet. ke-2, hlm. 98-99.

Manajemen Pendidikan Islam


C. Prinsip-prinsip Pengelolaan Dana Pendidikan dalam Islam
Terdapat sejumlah prinsip yang menjadi pegangan dalam
pengelolaan dana pcndidikan dalam Islam. Prinsip ini sebagai berikut.
Pertama, prinsip keikhlasan. Prinsip ini antara lain terlihat pada
dana yang berasal dari wakaf sebagaimana tersebut di atas.
Kedua, prinsip tanggung jawab kepada Tuhan. Prinsip ini antara
lain terlihat pada dana yang berasal dari para wali murid. Mereka
mengeluarkan dana atas dasar kewajiban mendidik anak yang
diperintahan oleh Tuhan, dengan cara membiayai pendidikan anak
tersebut.
Keliga, prinsip, suka rela. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana
yang berasal dari bantuan hibah perorangan yang tergolong mampu
dan menyukai kemajuan Islam.
Keempat, prinsip halal. Prinsip ini terlihat pada seluruh dana yang
digunakan untuk pendidikan yang berasal dari dana yang halal dan
menurut hukum Islam.
Kelima, prinsip kecukupan. Prinsip ini antara lain terlihat pada
dana yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berasal dari kas negara.
Keenam, prinsip berkelanjutan. Prinsip ini antara lain terlihat pada
dana yang berasal dari wakaf yang menegaskan, bahwa sumber
(pokok) dana tcrsebut tidak boleh hilang atau dialihkan kepada orang
lain, yang menyebabkan hilangnya hasil dari dana pokok tersebut.
Ketujuh, prinsip keseimbangan dan proporsional. Prinsip ini antara
lain terlihat dari pengalokasian dana untuk seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan, seperti dana untuk
membangun infrastruktur, sarana prasarana, peralatan belajar
mengajar, gaji guru, beasiswa para pelajar, dan sebagainya.
D. Manajemen Keuangan Pendidikan Islam
Selama ini ada kesan bahwa keuangan adalah segalanya dalam
memajukan suatu lembaga pendidikan. Selama ini ada kesan bahwa
keuangan adalah segalanya dalam memajukan suatu lembaga
pendidikan. Tanpa dukungan finansial yang cukup, manajer lembaga
pendidikan seakan tidak bisa berbuat banyak dalam upaya memajukan
Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M
lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Sebab, mereka berpikir semua
upaya memajukan senantiasa harus dimodali uang. Upaya memajukan
komponen-komponen pendidikan tanpa disertai dukungan uang
seakan pasti mandek di tengah jalan.
Terkait dengan fungsi dan peran keuangan ini, Sudarwan Danim
melaporkan bawah ketika kebijakan reformasi pendidikan ingin
diimplementasikan, kemapuan finansial untuk mendukungnya tidak
terhindari. Sebab, kemampuan di bidang keuangan merupakan sumber
frustrasi bagi para pembaru.91 keuang dan pembiayaan merupakan
potensi yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Kedua hal tersebut merupakan komponen produksi yang menentukan
terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar-mengajar di sekolah
bersama komponen-komponen lainnya.92
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan timbulnya perhatian
yang besar pada keuangan, yaitu : pertama, keuangan termasuk kunci
penentu kelangsungan dan kemajuan lembaga pendidikan. Kenyataan
ini mengandung konsekuensi bahwa program-program pembaharuan
atau pengembangan pendidikan bisa gagal dan berantakan manakala
tidak didukung oleh keuangan yang memadai. Kedua, lazimnya uang
dalam jumlah besar sulit sekali didapatkan khususnya bagi lembaga
pendidikan swasta yang bari berdiri.
Dana sangat terkait dengan kepercayaan. Jika ingin mendapatkan
dana dari BP3/masyarakat, sekolah harus memiliki program yang
bagus, sehingga masyarakat yakin program-program tersebut dapat
berjalan dengan baik dan bermanfaat luas. Dalam pengertian lain,
sekolah harus mampu mengemas program dan meyakinkan pemilik
dana. Untuk itu biasanya diperlukan proposal.93 Secara psikologis,
kepercayaan memang dapat membangunkan kesadaran seseorang

91
Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 41
92
Panduan Manajemen sekolah, http: Direktorat Pendidikan Menengah Umum
Depdikbud, 1999…, h. 83

Manajemen Pendidikan Islam


untuk ikut memberikan bantuan dana. Misalnya, ada dua orang yang
berbeda dalam waktu yang berbeda tetapi sama-sama mengajukan
bantuan. Keduanya bisa mendapatkan respons yang sangat berbeda.
Bisa jadi karena orang yang pertama meyakinkan sedangkan orang
yang kedua meragukan atau bahkan mencurigakan. Maka, bisa jadi
pemilik dana itu akhirnya membantu orang yang pertama dalam
jumlah yang besar, sementara pada orang yang kedua tidak memberi
dana sama sekali.
Sekarang, mari kita bandingkan mana yang lebih penting, dana
atau kepercayaan dalam upaya memajukan lembaga pendidikan
Islam? Dana atau keuangan memang sangat penting dan menentukan
kemajuan lembaga pendidikan, tetapi yang lebih penting lagi adalah
kepercayaan. Dengan modal kepercayaan, dana dapat dengan relatif
mudah didatangkan. Namun, dukungan dana yang memadai belum
tentu menghasilkan kepercayaan. Retika dana itu disalahgunakan atau
diselewengkan justru malah menghilangkan kepercayaan semua
pihak.
Dengan demikian, kepercayaan masyarakat, terutama para
hartavvan calon donator, harus diperkuat dan dijaga. Untuk
membangun dan memperkukuh kepercayaan mereka, ada beberapa
langkah vang perlu ditempuh, yaitu sebagai berikut.
1. Pihak yang mengajukan proposal kepada calon donatur itu
haruslah orang yang terkenal jujur, bersih, dan amanat.
2. Lembaga pendidikan Islam harus mampu menunjukkan bahwa
bantuan dari pihak-pihak lain yang diterima selama ini telah
dimanfaatkan secara benar dan dapat dibuktikan.
3. Pihak yang mengajukan bantuan bersama kelompoknya haruslah
orang-orang yang dikenal memiliki semangat besar untuk
menghidupkan dan memajukan lembaga.
4. Calon donatur harus bisa diyakinkan bahwa pelaksanaan program
benar-benar sangat penting, bahkan mendesak untuk segera
diwujudkan.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


5. Calon donatur perlu disadarkan bahwa bantuan yang akan
diberikan untuk pembangunan lembaga pendidikan Islam
merupakan shadaqah jariyah yang pahalanya terus mengalir.
Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 46 ayat 1 Undang-undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional, “Pendanaan pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat”94 ketentuan ini merupakan ketentuan normatif yang
menjadi paying hukum tentang tanggung jawab pendanaan bagi semua
jenis pendidikan. Hanya saja, realitanya baru mulai proses paling awal
bagi lembaga pendidikan swasta. Terlebih lagi, lembaga pendidikan
Islam yang mayoritas swasta selama ini telah menjadi korban
diskriminasi kebijakan pemerintah.
Kondisi madrasah diniyah, taman pendidikan Al-Qur’an dan
pesantren lebih parah lagi. Lembaga-lembaga tersebut telah
berpartisipasi dalam mecerdaskan kehidupan bangasa, tetapi tidak
mendapat perhatian pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
daerah. Baru belakangan ini ada upaya dari suatu pemerintah daerah
untuk memberi tunjangan kepada guru-guru mengaji di lembaga-
lembaga tersebut sebesar Rp50.000, (lima puluh ribu rupiah) setahun.
Suatu angka yang sangat memprihatinkan memang, bahkan kalau
ditanggapi secara emosional merupakan suatu angka/jumlah yang
melecehkan. Seharusnya, pemerintah pusat dan/atau pemerintah
daerah berupaya mengalokasikan gaji bagi mereka setiap bulan
melalui pemberdayaan pendapatan pemerintah pusat dan daerah.
Jadi, tanggung jawab pendanaan pendidikan, terutama
menyangkut madrasah diniyah, taman pendidikan al-Qur’an, dan
pesantren hingga sekarang ini masih belum mendapat perhatian yang
memadai dari pemerintah pusat atau daerah. Baru sebatas masyarakat
yang memiliki kepedulian pada lembaga-lembaga tersebut dengan
memberi bantuan. Jadi, amanat UU tentang Sistem Pendidikan

94
UU RI No. 21 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (tkp:
Pustaka Widyatama, tt), hlm. 31

Manajemen Pendidikan Islam


Nasional pasal 46 ayat 1 tersebut masih belum dilaksanakan secara
memadai oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai
sumber keuangan dalam konteks pendidikan.
Sumber keuangan atau pembiayaan pada suatu sekolah secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga sumber, yaitu:
1. Pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah, maupun keduanya,
bersifat umum dan khusus serta diperuntukkan bagi kepentingan
pendidikan.
2. Orang tua atau peserta didik.
3. Masyarakat, baik mengingat maupun tidak mengikat95
Sementara itu, dilihat dari segi penggunaan, sumber dana dapat
dibagi menjadi dua:
1. Anggaran untuk kegiatan rutin, yaitu gaji dan biaya operasional
sehari-hari sekolah.
2. Anggaran untuk pengembangan sekolah96
Selain dua macam penggunaan dana di atas, ada satu macam lagi
yang harus dialokasikan, yaitu anggaran untuk kebutuhan atau
kepentingan sosial, baik bantuan sosial ke dalam maupun ke luar.
Bantuan ke dalam dapat berupa dana untuk warga sekolah sendiri.
Sementara itu, bantuan sosial keluar seperti untuk bencana alam,
perayaan HUT RI pada setiap bulan 'Agustus, permohonan
sumbangan dari luar, dan sebagainya. Ini merupakan kebutuhan riil,
tetapi anggarannya tidak dialokasikan oleh kebijakan pemerintah.
Selanjutnya, seperti dikutip Mulyasa, Jones membagi tugas
manajemen keuangan menjadi tiga fase, yaitu: budgeting
(penganggaran belanja), implementation involvcs aconnting
(pelaksanaan penganggaran), dan evaluation involves (proses evaluasi
terhadap pencapaian sasaran)97. Sementara itu, komponen utanya

95
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 48
96
Panduan…., hlm. 82
97
Mulyasa, Manajemen…, hlm. 48-49

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


manajemen keuangan meliputi: (l) Prosedur anggaran; (2) Prosedur
akuntansi keuangan; (3) Pembelanjaan, pergudangan, dan prosedur
pendistribusian; (4) Prosedur Investasi; serta (5) Prosedur
pemeriksaan.98
Sekarang, bagaimana menggerakkan sunnber-sumber keuangan itu
agar mudah dikeluarkan untuk penibiayaan lembaga pendidikan Islam
swasta? Ada beberapa cara yang dapat ditempuh, antara lain sebagai
berikuts
1. Mengajukan proposal bantuan finansial ke Kementerian Agama,
maupun Kementerian Pendidikan Nasional
2. Mengajukan proposal bantuan finansial ke pemerintah daerah.
3. Mengedarkan surat permohonan bantuan kepada orangtua wali
siswa.
4. Mengundang alunmi yang sukses untuk dimintai bantuan.
5. Mengajukan proposal bantuan finansial kepada para pengusaha.
6. Mengajukan proposal bantuan finansial kepada para donatur di
luar negeri.
7. Mengajukan proposal bantuan finansial kepada para kolega yang
sukses secara ekonomis.
8. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat mendatangkank
keuntungan finansial.
9. Memberdayakan wakaf, hibah, infak, jariyah, dan sebagainya.
10. Memberdayakan solidaritas anggota organisasi keagamaan yang
menaungi lembaga pendidikan Islam untuk membantu dalam
mencarikan dana.

Apabila dana atau uang itu telah didapatkan, manajer lenesa baga
pendidikan Islanl harus berusaha Inengembangkannva melalui usaha-
usaha produktif agar uang tersebut tidak mandek atau habis. Hal ini
dilakukan agar dana bertambah besar meskipun sebagian telah
digunakan untuk kepentingan lembaga. Usaha-usaha tersebut bisa

98
Mulyasa, Manajemen…, hlm. 49

Manajemen Pendidikan Islam


diwujudkan dalam usaha mandiri secara otononi maupun bekerja
sanma dengan para pengusaha dengan pola bagi hasil. Jika membuka
usaha secara mandiri, sebaiknya menyediakan barang atau jasa yang
menjadi kebutuhan masyarakat sekitar, bahkan kalau bisa kebutuhan
rutin mereka. Dengan demikian, perputaran keuangan bisa bergerak
dengan cepat Baik usaha mandiri maupun kerja sama hendaknva
dilakukan dengan ekstra hati-hati, penuh kesungguhan, keuletan,
kejelian, kecermatan, perhitungan yang presisi, serta pengontrolan
secara ketat dan periodik. Karena itu, sebaiknya manajer lembaga
pendidikan Islam memiliki naluri bisnis (sense of bussines) untuk
mengembangkan lembaga, adan bukan untuk kepentingan pribadi.
Kita tentu merasa bangga jika melihat pesantren sebagai lembaga
pendidikan swasta murni, tetapi mampu mengembangkan sumber-
sumber keuangan. Misalnya, Pesantren Al-Zaitun, Indramayu Jawa
Barat melalui berbagai usahanya; Pesantren Modern Darussalam,
Gontor-Ponorogo yang terkenal dengan pengelolaan tanah wakafnya;
Pesantren An-Nur, Bululawang-Malang yang berusaha mendirikan
Pom bensin di beberapa tempat; dan Universitas Ummul Qura',
Mekah yang memiliki usaha jasa transportasi untuk mengangkut
jemaah haji dan umroh. Sayangnya, lembaga pendidikan yang kreatif
dan memiliki modal besar seperti empat lembaga tersebut jumlahnya
tidak banyak. Pada umumnya, untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
saja, lembaga pendidikan Islam merasa sangat kesulitan, apalagi
berkembang dengan berbagai usaha mandiri dan kreatif. Cita-cita
untuk mengembangkan dana memang ada, tetapi sayangnya belum
memiliki modal, kreativitas, dan keahlian.
Pada bagian lain, manajer lembaga pendidikan Islam harus
menjaga kepercayaan para pemberi dana dan juga pihak lain. Dengan
begitu, mereka tidak jera membantu lembaga pendidikan Islam,
bahkan diupayakan agar mereka dapat membantu lagi. Untuk itu,
perlu dilakukan langkah-langkah berikut.
1. Penggunaan anggaran harus benar-benar sesuai dengan program
yang direncanakan. Setiap penyimpangan rencana anggaran harus
Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M
disertai alasan yang jelas dan meminta persetujuan pihak yang
berwenang sebelum dilaksanakan
2. Anggaran harus dipergunakan seefisien Illungkin dan
menghindari terjadinya kecurigaan mark up pembelian atau
pengadaan barang.
3. Hindari kesan bahwa kegiatan dalam sekolah sekadar untuk
menghabiskan dana, sehingga harus dilakukan penghematan dana
4. Pengeluaran dana hanya dapat dilakukan oleh petugas yang
berwenang sesuai dengan aturan yang berlaku.99

Jadi, inti manajemen keuangan dalam pendidikan Islam adalah


Rienggali dana secara kreatif dan maksimal, menggunakan dana
secarajujur dan terbuka, mengembangkan dana secara produktif, dan
mempertanggungjawabkan dana secara objektif. Bila sikap ini benar-
benar dilaksanakan oleh para manajer lembaga pendidikan Islam,
lilaka manajelllen keuangan akan men)bantu kemajuan lembaga
pendidikan yang dipimpin tersebut.

99
Panduan…, hlm. 85-85

Manajemen Pendidikan Islam


BAB VI
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

A. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam

M
ayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, bahkan
umat Islam di Indonesia merupakan yang terbesar di duni.
Dengan komposisi penduduk yang demikian, harus
disadari bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak bisa diremehkan
meskipun masih ada beberapa kelemahan dan kenyataan bahwa tidak
setiap muslim di negeri ini belajar di lembaga pendidikan Islam.
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban
Islam, sekaligus asset bagi pembangunan pendidikan nasional.
Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan
dikembangkan oleh umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai
asset, pendidikan Islam yang tersebar diberbagai wilayah ini
membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan
mengelolanya sesuai dengan sistem pendidikan nasional.100
Upaya pengelolaan maupun pengembangan lembaga pendidikan
Islam merupakan keniscayaan dan beban kolektif bagi para penentu
kebijakan pendidikan Islam. Mereka memiliki kewajiban untuk
merumuskan strategi dan mempraktekkamya guna menunjukan
pendidikan Islam. Perumusan strategi itu juga akan
mempertimbangkan eksistensi lembaga pendidikan Islam secara riil
dan orientasi pengembangmya.
1. Eksistensi Lembaga Pendidikan Islam
Eksistensi lembaga pendidikan Islam di Indonesia terutama dalam
bentuk pesantren telah cukup tua, seiring dengan keberadaan penyebar
Islam. Lembaga tersebut mengalami berbagai perkembangan dengan

100
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 3

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


berdirinya madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi, dan lembaga
kursus serta pelayanan umat.
Masing-masing lembaga tersebut semakin berkembang, setidaknya
secara kuantitatif. Jumlah lembaga-lembaga itu senantiasa bertambah
dari tahun ke tahun dan tersebar di seluruh Indonesia. Sayangnya,
secara kualitatif masih menghadapi berbagai problem yang serius
walau sedang berusaha untuk diatasi, baik problem bersifat internal
maupun eksternal.
Keberadaan lembaga pendidikan Islam baik yang berbentuk
pesantren, madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi baik secara
terpisah maupun Bersama-sama dalam satu kompleks masih jauh dari
apa yang diharapkan umatnya.101 Bahkan, secara kualitatif, lembaga-
lembaga pendidikan yang sekarang ini muncul serta dinilai
“terkemuka” (outstanding), masih jauh dari penilaian ideal. Karena,
memang dalam bahasa pengembangan pendidikan berlaku adagium
“start from the begiming to the end, and end for the begiming”.102
Di samping itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
budaya masyarakat menimbulkan tuntutan yang semakin tinggi
terhadap standar pendidikan. Apalagi, ketika disadari bahwa
pendidikan merupakan factor penentu bagi kemajuan peradaban dan
kebudayaan bangsa, membuat kelemahan yang ada pada pendidikan
Islam semakin terasa sekali dan tentunya harus segera diselesaikan
dan diatasi Bersama-sama.
Untuk memenuhi tuntutan yang semakin tinggi itu, sering kali para
pengelola lembaga pendidikan Islam tidak memiliki cukup
kemampuan, baik kemampuan yang menyangkut sumber daya
manusia maupun kemampuan kemampuan finansialnya. Dalam
komdisi demikian itu, kualitas dan eksistensi lembaga pendidikan

101
A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta:
Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia [LP3NIl,
1998), hlm. 104
102
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 250

Manajemen Pendidikan Islam


Islam sangat terancam. Ancaman-ancaman tersebut dapat memutus
harapan-harapan mereka tengah perjalanan.
Oleh karena itu, tidak heran bila kita lihat kondisi pendidikan
Islam yang hanya mampu bertahan beberapa tahun dan berakhir
dengan kondisi yang biasa disebut oleh slogan “la yahya wala
yamutu”. Hidup enggan mati tak mau, tidak berdaya dan tidak
bermutu, sebagai cermin keadaan yang memperhatikan secara
berkesinambungan.103
Bagi lembaga pendidikan Islam yang bernasib agak baik langtaran
dikelola secara profesional, mendapat dukungan dana cukup, atau
mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat sekitar, masi optimis
untuk bisa bertahan hidup. Hanya saja, harus diwaspadai jika terjadi
suasana kontraproduktif yang dapat membalik keadaan dan
mendegradasikan posisi tersebut. Hal ini bisa saja terjadi, misalnya
konflik yang serius antara jajaran pimpinan. Ini merupakan suatu
bentuk Konflik yang paling sulit diatasi, karena pihak-pihak yang
berkonflik adalah para pengendali dan penentu jalamya proses
pendidikan.
Secara umum, lembaga pendidikan Islam masih tertinggal. Kita
harus menerima kenyataan yang pahit bahwa posisi pendidikan Islam
di Indonesia menempati "kelas ekonomi" walau tetap memiliki
komitmen untuk menjadikamya sebagai bahan pertimbangan dalam
membangun kembali di masa depan.104 Posisi ini melekat pada
lembaga pendidikan Islam setelah bersanding dengan lembaga
pendidikan Katolik dan lembaga pendidikan umum negeri. Ternyata,
kedua lembaga pendidikan tersebut lebih maju dan jauh
meninggalkan lembaga pendidikan Islam.

103
Mujamil Qomar, "Perencanaan: Suatu Proses yang Terabaikan dalam
Sistem Pendidikan Islam", Majalah Tarbiyah Tulungagung IAIN Sunan Ampel, No.
9, Tahun V, 1993, hlm. 28
104
Mujamil Qomar, "Perencanaan,,, hlm. 29.

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Memang tidak semua lembaga pendidikan Islam seperti itu. Ada
beberapa fenomena yang menunjukkan kemajuan vang signifikan dan
diminati masyarakat sehingga muncul penilaian, "Dulu masyarakat
malu memasukkan anaknya ke sekolah Islam, tetapi sekarang malah
memburu, khususnya sekolah yang sudah maju."105 Azyumardi Azra
bahkan menyebut gejala-gejala kemajuan yang terjadi pada beberapa
lembaga pendidikan Islam itu sebagai bagian dari proses santrinisasi
atau kebangkitan Islam.106
Tampaknya, minat masyarakat muslim terhadap lembaga
pendidikan Islam belakangan ini telah bergeser dari pertimbangan
ideologis menuju pertimbangan rasional. Artinya, mereka tidak bisa
serta-merta memasukkan putraputrinya ke madrasah atau sekolah
Islam hanya karena ke samaan identitas keislaman. Akan tetapi,
mereka melakukan seleksi. Jika ternyata lembaga pendidikan tersebut
benar benar maju, mereka sangat tertarik untuk menjadikamya
sebagai pilihan. Bahkan, jika lembaga pendidikan Islam dikelola
dengan benar-benar profesional dan mampu membuktikan
kemajuamya baik dari segi akademik maupun nonakademik, maka
akan menjadi momentum terbaik untuk era sekarang ini. Sebab,
kebutuhan masyarakat muslim kelas menengah ke atas sekarang ini
adalah terjamimya mutu akademik dan kepribadian, terutama dalam
menghadapi era globalisasi.
Jadi, permasalahamya bukan karena masyarakat muslim tidak
lagi memiliki komitmen terhadap agamanya yang diwujudkan dengan
memilih lembaga pendidikan İslam bagi putra-putrinya. Akan tetapi,
lebih karena tuntutan yang semakin tinggi. A. Malik Fadjar
menegaskan bahwa kurang tertariknya masyarakat untuk memilih
lembaga-lembaga pendidikan İslam sebenarnya bukan karena telah

105
Mujamil Qomar, "Manajemen Madrasah dalam Menatap Masa Depan:
Sebuah Upaya Memberdayakan Pengelola Madrasah", Jurnal Ilmiah Tarbiyah, Vol.
23, No. 8, Juni 2002, hlm. 344-345
106
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, (Jakarta: PT Logos Wacana Iltnu, 1999), hlm. 70

Manajemen Pendidikan Islam


terjadi pergeseran nilai-nilai ikatan keagamaan yang mulai memudar,
melainkan karena sebagian beşar lembaga pendidikan İslam itü
kurang menjanjikan dan kurang responsif terhadap tuntutan dan
permintaan saat ini maupun mendatang.107
Apabila faktor-faktor yang memengaruhi masyarakat dalam
memilih lembaga pendidikan diidentifikasi, paling tidak ada tiga hal
yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu
lembaga pendidikan, yaitu cita-cita atau gambaran hidup masa depan,
nilai-nilai (agama), dan status sosial.108
Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai agama
hanya menjadi salah satu pertimbangan masyarakat dalam memilih
lembaga pendidikan. Hal itu pun pertimbangan kedua dan tampaknya
hanya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki dasar agama cukup
kuat dan kepedulian terhadap nilai-nilai agama untuk mewarnai
pendidikan. Peran nilai-nilai agama tersebut dimaksudkan untuk
menggantikan budi pekerti guna membendung dekadensi moral
terutama di kalangan anak-anak muda.
Adapun pertimbangan pertama, berupa cita-cita atau gambaran
hidup masa depan, menunjukkan adanya kesadaran masyarakat
bahwa kehidupan masa depan memberi tuntutan yang jauh lebih berat
dan lebih kompleks daripada masa sekarang. Untuk menghadapi
tantangan tersebut, sumber daya putra-putri mereka harus
digembleng. Dan, sekolah yang bisa dipercaya menggembleng
mereka hanyalah lembaga-lembaga pendidikan yang maju.
Karenanya, para orangtua cenderung memilih lembaga pendidikan
yang maju atau bonafid yang diyakini bisa menjamin kualitas
akademik dan kepribadian para siswanya.109

107
Fajar, A Malik, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga
Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI), 1998), hlm.
8
108
Fajar, A Malik, Visi,,, hlm. 57
109
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 47

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Oleh karena itu, para pemimpin lembaga pendidikan Islam harus
mampu "Membaca" selera masyarakat tersebut. Caranya adalah
dengan rnemiliki orientasi yang jelas dan melakukan pembenahan-
pembenahan melalui strategi-strategi baru untuk meningkatkan
kemajuan sehingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang
menjanjikan masa depan, baik jaminan keilmuan, kepribadian,
maupun keterampilan.
2. Orientasi Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam harus memiliki orientasi yang jelas.
Ibarat kendaraan, orientasi itu seperti trayek, yaitu jalur yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan. Dengan pengertian lain, orientasi itu
layaknva sasaran yang mengantarkan pada tujuan. Oleh karenanya,
orientasi dapat membuat gerak pendidikan lebih terarah, teratur, dan
terencana. Untuk merumuskan orientasi tersebut perlu
mempertimbangkan fenomena-fenonrna yang terjadi terkait dengan
pendidikan.
Fadjar menyarankan, "Sekurang-kurangnya ada empat hal yang
harus dilihat dalam gerak pendidikan, yaitu pertumbuhan (growth),
perubahan (change), pembaruan (development), dan keberlanjutan
(sustainability)."110 Fenomena-fenomena ini akan berkembang secara
dinamik sehingga menuntut kepekaan para manajer dalam merespons
munculnya gejala-gejala tersebut, melalui serangkaian penataan
strategi baru yang kondusif dalam memajukan lembaga pendidikan
Islam.
Gejala pertumbuhan lembaga pendidikan dengan berbagai ragam
model merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dibendung lagi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang makin
variatif: Gejala perubahan lembaga pendidikan akan memengaruhi
keadaan pendidikan masa depan karena tantangan-tantangan yang
dihadapi makin kompleks dan multidimensi; gejala pembaruan selalu

110
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, Ahmad Barizi (ed),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995) hlm. 267

Manajemen Pendidikan Islam


muncul ke permukaan karena tuntutan efektivitas dan efisiensi sejalan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sejatinya,
setiap model pendidikan yang dikembangkan, apa pun bentuknya,
selalu ingin bertahan hidup (survive) di tengah-tengah masyarakat.
Gejala-gejala tersebut makin membiak dalam era modernisasi
dengan arus informasi yang begitu deras. Arus informasi bukan hanya
memberikan berita-berita penting kepada publik, melainkan lebih dari
itu. Informasi memberikan motivasi untuk mewujudkan suatu
perubahan yang serba ideal, yang memantulkan daya tarik yang
mampu menyerap perhatian orang banyak terhadap perubahan-
perubahan yang sedang dilakukan.
Pendidikan Islam seperti juga pendidikan laimya akan
menghadapi gejala-gejala tersebut. Husni Rahim menyatakan, "Masa
depan pendidikan Islam dipengaruhi tiga isu besar: globalisasi,
demokratisasi, dan liberalisasi Islam."111 Globalisasi juga
memengaruhi sistem pendidikan. Penetrasi budaya global terhadap
kehidupan masyarakat Indonesia akan direspons secara berbeda oleh
kalangan pendidikan: permisif, defensif, dan transformatif. Tuntutan
demokratisasi pada akhirnya juga mengarah pada sistem pengelolaan
pendidikan; tuntutan pengelolaan pendidikan yang lebih otonom dan
beragam, tuntutan partisipasi masyarakat khususnya dalam
pengawasan mutu pendidikan semakin meningkat, tuntutan
pengelolaan at pendidikan yang transparan dan bertanggung jawab,
dan tuntutan untuk mengimplementasikan paradigma pendidikan
yang menekankan peran aktif siswa.
Selanjutnya, isu liberalisasi Islam juga akan mełnengaruhi
pendidikan Islam, baik dalam perspektif yang ekstrem maupun
perspektif yang moderat. Dalam perspektif ekstrem, liberalisasi Islam
berarti mengabaikan sama sekali teks-teks suci ketika membahas isu-
isu yang memang tidak dijelaskan secara eksplisit. Sementara itu,

111
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm 14

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


perspektif yang moderat di menyadari perlunya penafsiran yang bebas
terhadap teksteks suci sejauh tetap konsisten dengan nilai dasar yang
dikandungnya, sehingga isu baru apa pun yang berkembang dewasa
ini pada dasarnya memiliki relevansi dengan esensi ajaran agama.112
Selain pengaruh isu-isu yang bersifat pendidikan Islam juga harus
tanggap terhadap problem-problem nasional mengingat pendidikan
Islam merupakan aset pembangunan pendidikan nasional. Dalam
posisi seperti ini, sudah menjadi kewajiban moral bagi para praktisi
pendidikan Islam untuk memberikan kontribusi dalam memecahkan
problematika yang mendera bangsa Indonesia. Fadjar kembali
menyarankan bahwa pengembangan pendidikan Islam ke depan
secara realistis harus disinkronkan dengan kebijakan pendidikan
nasional guna membebaskan bangsa dari limpitan berbagai
persoalan.113
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus memiliki orientasi
visioner yang multidimensi. Orientasi tersebut hendaknya didasarkan
pada pengadaan berbagai kemampuan yang harus dimiliki oleh
pendidikan Islam sebagai jawaban terhadap berbagai tuntutan dan
tantangan yang dihadapi dalam era globalisasi ini, era yang penuh
dengan persaingan, baik antar daerah, lembaga pendidikan, kebijakan,
sistem pendidikan, dan juga persaingan antar lulusan lembaga
pendidikan.
Seorang lulusan dari lembaga pendidikan apa pun selama
memiliki keunggulan tertentu yang tidak dimiliki oleh lulusan-lulusan
laimya, tentu akan mengangkat derajat dan martabat lembaga tempat
dia belajar. Sebaliknya, seorang lulusan yang tidak memiliki

112
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia,,, hlm. 14-
16
113
A. Malik Fadjar, 'Pendahuluan: Strategi Pengembangan Pendidikan
Islam dalam Era Globalisasi", dalam M. Zainuddin dan Muhammad In' am Esha
(Eds), Horison Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespons Dinamika
Masyarakat Global, (Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta Bekerja sama dengan
UIN Press), hlm. xxi-xxii

Manajemen Pendidikan Islam


kapabilitas dan kompetensi apa-apa akan mendegradasikan citra
lembaga pendidikan yang menghasilkamya. Dengan begitu,
lulusan/alumni berfungsi sebagai refleksi kualitas lembaga
pendidikan, meskipun hal tersebut bukan indikator satu-satunya.
Untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang teruji dengan baik,
ada beberapa prinsip orientasi strategis dalam mengembangkan
pendidikan Islam, yaitu:114
a. Orientasi pengembangan sumber daya,
b. Mengarah pada pendidikan Islam multikulturalis,
c. Mempertegas misi dasar 'liutammima makârim al-akhlâq (untuk
menyempurnakan akhlak manusia), dan
d. Mengutamakan spiritualisasi watak kebangsaan.115
Empat prinsip tersebut mewakili empat dimensi yang terjalin
secara integral yang menjadi orientasi pendidikan Islam, yaitu dimensi
potensial, dimensi kultural, dimensi etik, dan dimensi spiritual.
Dimensi potensial mengarahkan alur pendidikan pada pengembangan
sumber daya manusia menuju terbentuknya masyarakat madani;
dimensi kultural mengarahkan gerak pendidikan supaya ramah
terhadap budaya lokal sehingga bersikap inklusif; dimensi etik
mengarahkan alur pendidikan agar benar-benar mengemban misi
menanamkan moral pada seluruh bangsa; sedang dimensi spiritual
mengarahkan pendidikan agar mempunyai jiwa keimanan sebagai
dasar dalam mengarungi kehidupan sehari-hari yang penuh godaan.
Dari Sisi keterpaduan, sebenarnya pendidikan Islam berusaha
mewujudkan siswa atau lulusamya untuk memiliki keimanan yang
unggul, intelektual unggul, peduli dalam beramal, anggun akhlaknya,
dan mahir dalam berbagai keterampilan.
3. Strategi Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam

114
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 50
115
IA. Malik Fadjar, 'Pendahuluan: Strategi Pengembangan Pendidikan
Islam dalam Era Globalisasi", dalam M. Zainuddin dan Muhammad In' am Esha
(Eds), Horison Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespons Dinamika
Masyarakat Global, (Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta Bekerja sama dengan
UIN Press), hlm. xxi-xxiibid., hlm. uii-xxiii

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Berdasarkan orientasi pendidikan Islam tersebut—yang hal
tampaknya berdimensi ganda—lembaga pendidikan Islam dalam
semua bentuknya (pesantren, madrasah, sekolah, serta perguruan
tinggi) harus dikelola dengan strategi tertentu yang mampu
menyehatkan keberadaan lembaga-lembaga tersebut) bahkan dapat
mengantarkan pada kemajuan yang signifikan.
Namun, strategi yang dipilih harus mempertimbangkan berbagai
kondisi yang dirasakan lembaga pendidikan Islaln itu, sehingga
menjadi strategi yang fungsional. Suatu strategi yang benar-benar
mampu menyelesaikan masalah-masalah Yang sedang dihadapi
sehingga ia dapat berfungsi layaknya resep yang mujarab dalam
mengatasi berbagai masalah.
Strategi semacam itu harus berbentuk langkah-langkah
operasional yang dapat dipraktikkan dengan suatu mekanisme tertentu
yang memberikan jalan keluar.
Sebelum sampai pada strategi yang detail, perlu ada perhatian
tertentu pada skala prioritas guna memantapkan langkah dalam
mengelola lembaga pendidikan Islam. H.A.R Tilaar menyarankan
bahwa pengelolaan pendidikan Islam sebaiknya meliputi empat
langkah bidang prioritas berikut ini:
a. peningkatan kualitas,
b. pengembangan inovasi dan kreativitas,
c. membangun jaringan kerja sama (networking), dan
d. pelaksanaan otonomi daerah.116

Skala prioritas ini dibutuhkan karena banyaknya problem yang


dihadapi lembaga pendidikan Islam, seperti problem akademik, fisik,
kultural, dan sebagainya. Skala prioritas ini menyeleksi problem-
problem yang ada berdasarkan tingkat keharusan untuk diatasi
(emergency), peranamya terhadap eksistensi lembaga, maupun
kemajuan lembaga.

116
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000), hlm. 155

Manajemen Pendidikan Islam


Dengan skala prioritas itu, berarti ada upaya untuk memfokuskan
penanganan masalah agar tidak setengah-setengah dalam menangani
pengelolaan lembaga. Apalagi jika disadari bahwa masing-masing
komponen tersebut di samping terkait satu sama laimya, juga
memiliki rincian detail yang masing-masing membutuhkan
penanganan khusus.
Bukti bahwa masing-masing komponen tersebut meliputi rincian
yang detail karena menyangkut berbagai kondisi yang harus disiapkan
dalam keadaan positif-fungsional, misalnya, adalah masalah
peningkatan kualitas sebagai prioritas pertama. Berbagai upaya telah
ditempuh baik dalam level lokal maupun nasional, tetapi hasilnya
masih jauh dari harapan yang ditargetkan.
Dalam hal ini, Imam Suprayogo menyatakan bahwa dalam
mengembangkan kualitas lembaga pendidikan setidaknya ada dua Sisi
yang harus dipenuhi sekaligus: Pertama, perhatian terhadap daya
dukung, meliputi ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana,
pendanaan, serta manajemen yang tangguh; Kedua, harus ada cita-cita,
etos, dan semangat yang tinggi dari semua pihak yang terlibat di
dalamnya.117 Sementara itu, menurut Fadjar, "Sebuah lembaga
pendidikan Islam harus mampu meningkatkan mutu interaksi edukatif
maupun komunikasi akademis secara timbal balik, baik antara
kalangan intern (civitas akademika) dan masyarakat sekitarnya.118
Oleh karena itu, persoalan mutu atau kualitas merupakan
permasalahan yang sangat rumit. Karena, banyaknya komponen
penyangga yang harus dibenahi terlebih dulu, yang nantinya akan
dapat mengantarkan terwujudnya mutu pendidikan Islam sebagaimana
yang menjadi harapan kita bersama. Jika komponen-komponen
penyangga itu tidak diperbaiki, mutu pendidikan Islam tersebut tidak
akan terealisasi meskipun semua orang mengharapkan. Dan, perbaikan
terhadap itu membutuhkan pengaturan dan pengelolaan yang benar

117
Imam Suprayogo, Reformasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: STAIN
Press, 1999), him. 73
118
Fadjar, Visi..., hlm. 77

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


dalam hal pendanaan, strategi, kesadaran bersama, perubahan sistem,
kesempatan, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan kualitas tersebut, dari awal pendidikan Islam
harus mempunyai) misi yang bersifat teoretis dan aplikatif. Maka,
pendidikan Islam harus mampu:
a. Membebaskan akal peserta didik dari semua kekangan dan
belenggu;
b. Membangkitkan indra dan perasaan peserta didik sebagai Pintu
untuk berpikir; dan
c. Membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat
membersihkan akal dan meninggikan derajat peserta didik.119

Hal ini mengarah pada model pendidikan yang membebaskan.


Maksudnya, membebaskan dari semua kondisi yang menyebabkan
peserta didik berpikiran tidak memiliki saluran kreativitas akibat
terbelenggu oleh sikap dan peraturan yang dibuat oleh guru, terutama
menyangkut tata tertib dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang
membebaskan hendaknya tidak ada lagi pemberlakuan dikotomi
antara subjek dan objek atau antara guru dan peserta didik. Sebab,
mereka memerankan semua posisi itu. Suatu saat peserta didik
berposisi sebagai subjek dan guru berposisi sebagai objek. Maka,
peserta didik sebagai mitra dialog bagi guru. Bahkan, peserta didik
sebagai pembelajar junior, sedang guru sebagai pembelajar senior.
Mereka sama-sama sebagai pembelajar dan hanya berbeda
pengalaman. Ini berarti, kita membutuhkan perubahan paradigma
pembelajaran, menuju suatu model paradigma pembelajaran yang
bersifat kesejajaran, kesetaraan, egaliter, dan inklusif.
Perubahan paradigma ini dimaksudkan untuk membekali potensi
SDM yang tangguh bagi para peserta didik, yang berguna bagi
kehidupan personalnya maupun kehidupan kolektif dalam pergumulan
di tengah tengah masyarakat, khususnya masyarakat modern yang

119
Fadjar, Visi.., hlm. 176

Manajemen Pendidikan Islam


memiliki berbagai tuntutan perubahan positif konstruktif di masa
mendatang.
Selanjutnya, pada tingkat institusional, untuk membangun
sebuah lembaga pendidikan yang siap menghadapi tantangan di masa
yang akan datang haruslah dapat menjadi:
a. Lembaga pendidikan yang ideal dan kondusif bagi pengembangan
keislaman, keilmuan, dan kebudayaan;
b. Dari sarana-prasaramya, haruslah menggambarkan representasi
bagi terselenggaranya kegiatan belajar-mengajar yang kualitatif;
dan
c. Lembaga pendidikan harus bersifat komunikatif bagi kehidupan
masyarakat luas.120

Gambaran yang bersifat kelembagaan ini pada level berikutnya


perlu ditransformasikan dalam bentuk strategi-strategi pengelolaan,
Strategi itu harus mempertimbangkan kondisi riil yang ada dalam
lembaga pendidikan Islam, tuntutan-tuntutan masyarakat di masa
depan, tuntutan-tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, persaingan yang makin ketat, dan perubahan-perubahan
mendasar. Di samping itu, strategi tersebut harus operasional (yaitu
dapat dipraktikkan secara langsung di lapangan).
Maka, ada beberapa strategi yang perlu ditawarkan dalam
mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan Islam baik
berupa pesantren, madrasah, sekolah, serta perguruan tinggi, yaitu
sebagai berikut.
a. Merumuskan visi, misi dan tujuan lembaga secara jelas serta
berusaha keras mewujudkan melalui kegiatan-kegiatan riil sehari-
hari.121

120
Fadjar, Visi., hlm. 177
121
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 55

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


b. Membangun kepemimpinan yang benar-benar profesional
(terlepas dari intervensi ideologi, politik, organisasi, dan mazhab
dalam menempuh kebijakan lembaga).
c. Menyiapkan pendidik yang benar-benar berjiwa pendidik sehingga
mengutamakan tugas-tugas pendidikan dan bertanggung jawab
terhadap kesuksesan peserta didiknya.
d. Menyempurnakan strategi rekrutmen siswa/santri/mahasiswa
secara proaktif dengan "menjemput", bahkan "mengejar bola".
e. Berusaha keras untuk memberi kesadaran pada para siswa/
santri/mahasiswa bahwa belajar merupakan kewajiban dan
kebutuhan paling mendasar yang menentukan masa depan mereka.
f. Merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik dan masyarakat.
g. Menggali strategi pembelajaran yang dapat mengakselerasi
kemampuan siswa yang masih rendah menjadi lulusan yang
kompetitif.
h. Menggali sumber-sumber keuangan nonkonvensional dan
mengembangkamya secara produktif.
i. Membangun sarana dan prasarana yang memadai untuk
kepentingan proses pembelajaran, terutama ruang kelas,
perpustakaan, dan laboratorium.
j. Mengorientasikan strategi pembelajaran pada tradisi
pengembangan keilmuan, kreativitas, dan keterampilan.
k. Memperkuat metodologi baik dalam hal pembelajaran, pemikiran,
maupun penelitian.
l. Mengkondisikan lingkungan pembelajaran yang aman, nyaman,
dan menstimulasi belajar.
m. Mengondisikan lingkungan yang Islami baik dalam beribadah,
bekerja, pergaulan sosial, maupun kebersihan.
n. Berusaha senantiasa meningkatkan kesejahteraan pegawai di atas
rata-rata kesejahteraan pegawai lembaga pendidikan lain.
o. Mewujudkan etos kerja yang tinggi di kalangan pegawai melalui
kontrak moral dan kontrak kerja.
Manajemen Pendidikan Islam
p. Berusaha memberikan pelayanan yang prima kepada siapa pun,
baik jajaran pimpinan, guru/ustadz/dosen, karyawan,
siswa/santri/mahasiswa, maupun tamu serta masyarakat luas.
q. Meningkatkan promosi untuk membangun Citra (image building).
r. Memublikasikan kualitas proses dan hasil pembelajaran kepada
publik secara terbuka.
s. Membangun jaringan kerja sama dengan pihak-pihak lain yang
menguntungkan, baik secara finansial maupun sosial.
t. Menjalin hubungan erat dengan masyarakat untuk mendapat
dukungan secara maksimal.
u. Beradaptasi dengan budaya lokal dan kebhinekaan.
v. Menyinkronkan kebijakan-kebijakan lembaga dengan kebijakan-
kebijakan pendidikan nasional.

Sebaliknya, ada juga keadaan yang harus dihindari dan sedapat


mungkin berusaha dikeluarkan dari lembaga pendidikan Islam, yaitu
sebagai berikut.122
a. Politik kepentingan. Apa pun kepentingamya, baik kepentingan
pribadi, kelompok, maupun organisasi tidak diperkenankan masuk
dalam lembaga pendidikan Islam. “Jenis kelamin" politik yang
boleh masuk dalam lembaga pendidikan Islam hanya satu, yaitu
politik pemberdayaan dan bahkan jenis politik ini harus
diwujudkan.
b. Kecenderungan bisnis pribadi. Usaha memperoleh laba dari hasil
suatu barang dan jasa serta kegiatan laimya hanya untuk
kepentingan lembaga.
c. Pemborosan, baik pemborosan waktu, biaya, tenaga, dan strategi.
Sebab, segala sesuatu harus dilaksanakan secara efektif dan
efisien.

B. Manajenmen Pesantren

122
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 57

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Lembaga pendidikan Islam yang paling variatif adalah pesantren,
mengingat adanya kebebasan dari kiai pendirinya untuk mewarnai
pesantremya itu dengan penekanan pada kajian tertentu. Misalnya, ada
pesantren ilmu "alat", pesantren fikih, pesantren Al-Qur'an, pesantren
hadis, atau pesantren taSawuf. Masing-masing penekanan itu
didasarkan pada keahlian kiai pengasuhnya.
Ditinjau dari segi keterbukaan terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi dari luar, pesantren dapat dibagi dua: pesantren
tradisional (salafi) dan pesantren modern (khalafi). Pesantren salafi
bersifat konservatif, sedangkan pesantren khalafi bersifat adaptif.
Adaptasi dilakukan terhadap perubahan dan pengembangan
pendidikan yang merupakan akibat dari tuntutan perkembangan sains
dan teknologi modern.123
Perbedaan pesantren tradisional dengan pesantren modern dapat
diidentifikasi dari perspektif manajerialnya. Pesantren modern telah
dikelola secara rapi dan sistematis dengan mengikuti kaidah-kaidah
manajerial yang umum. Sementara itu, pesantren tradisional berjalan
secara alami tanpa berupaya mengelola secara efektif. Maka,
pembahasan manajemen ini lebih diarahkan pada pesantren tradisional
(salafi) karena pesantren jenis ini menghadapi tantangan
multidimensi.
1. Kelemahan Manajemen Pesantren Tradisional
Pesantren tradisional merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia. Keberadaamya mengiringi kehadiran Islam
sebagai salah satu saluran dakwah yang dipandang cukup efektif
dalam menggembleng santri agar memiliki pengetahuan agama yang
mapan sehingga kelak bisa mengajarkan pada orang lain.
Kesinambungan generasi pelaku dakwah Islam dapat dibina dan
dikader melalui pesantren itu.

123
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 58

Manajemen Pendidikan Islam


Hanya saja, usia pesantren tradisional yang begitu tua tidak
memiliki korelasi yang signifikan dengan kekuatan atau kemajuan
manajememya. Kondisi manajemen pesantren tradisional hingga hari
ini sangat memprihatinkan, suatu keadaan yang membutuhkan solusi
dengan segera untuk menghindari ketidakpastian pengelolaan yang
berlarut-larut.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren
tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan profesionalisme
berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, conceptual skill,
maupun technical Skill secara terpadu. Akibatnya, tidak ada
perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan
yang baik, dan sebagainya.
Tradisi ini merupakan salah satu kelemahan pesantren— meskipun
dalam batas-batas tertentu dapat menumbuhkan kelebihan. Dalam
perspektif manajerial, landasan tradisi dalam mengelola suatu
lembaga, termasuk pesantren menyebabkan produk pengelolaan itu
asal jadi, tidak memiliki fokus strategi yang terarah, dominasi
personal terlalu besar dan cenderung eksklusif dalam
pengembangamya.
Bila saja pesantren tradisional sejak semula dikelola secara
profesional berdasarkan Skill manajerial, tentu telah mampu
berkembang dengan pesat menjadi pusat kajian keislaman yang
progresif dan produktif dalam menghasilkan karya karya ilmiah yang
berbobot. Bahkan, dapat mengembangkan kajiamya pada berbagai
disiplin ilmu seperti Harvard University di Amerika yang dahulu
merupakan "pesantren" umat Katolik. Faktor utama keterlambatan ini
adalah manajemen.
Oleh karena itu, manajemen yang lemah merupakan satu sisi
kelemahan pesantren tradisional. Padahal manajemen yang mapan
untuk sebuah institusi semacam pesantren sangat diperlukan agar

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


kelangsungan proses belajar-mengajar dapat berjalan dengan baik,124
dan pada giliramya dapat menghasilkan para santri dan alumni yang
berkualitas dan responsif terhadap tantangan zaman. Sayangnya,
idealisme itu menjadi kandas lantaran pola-pola manajemen yang
kontraproduktif.
Kebanyakan pesantren menganut pola "serba mono",
monomanajemen dan monoadministrasi sehingga tidak ada delegasi
kewenangan ke unit-unit kerja lain yang ada dalam organisasi.125 Di
samping itu, masih ada kebiasaan sistem pendidikan pesantren yang
menerapkan manajemen "serba informal".126 Pola serba mono dan
serba informal itu ternyata memiliki hubungan yang erat sekali.
Kebiasaan pengelolaan yang serba mono dengan kebijakan yang
terpusat hanya pada kiai mengakibatkan mekanisme formal tidak
berlaku lagi, sementara keputusan-keputusan kiai bersifat
deterministik dan keharusan untuk dijalankan.
Kebiasaan pengelolaan serba mono dan serba informal ini pada
giliramya meminimalisasi atau bahkan menghilangkan kewenangan
struktur yang ada di bawah posisi kiai dan menurunkan kreativitas
para pemegang kendali yang berada di bawah kiai dalam kapasitas
mereka sebagai manajer madya atau manajer rendah. Tidak jarang
terjadi, misalnya, kewenangan kepala madrasah Aliyah yang berada di
dalam pesantren dilangkahi. Dari segi struktural, seharusnya posisi
kepala madrasah sebagai manajer, tetapi dalam realitasnya bekerja
sebagai staf.
Hal ini merupakan konsep awal cobaan atau ujian bagi kepala
madrasah. Apabila tingkat loyalitasnya kepada kiai sangat tinggi,

124
Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi
Konflik Masyarakat Pesantren, (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), hlm. 110
125
M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridho, Manajemen Pondok
Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 115
126
Musthofa Rahman, "Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren",
dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdul Khaliq (Eds), Dinamika Pesantren dan
Madrasah, (Yogyakarta: Kerja sama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
dengan Pustaka Belajar), hlm. 107

Manajemen Pendidikan Islam


maka dia cenderung melupakan. Akan tetapi, bagi kepala madrasah
yang profesional, artinya yang benar-benar bekerja dengan mekanisme
yang semestinya dan hal ini lazim terjadi, maka akan mengalami
kekecewaan yang berkesinambungan.
Kekecewaan akan semakin memuncak tatkala salah seorang staf di
madrasah tersebut, misalnya, mengambil kebijakan yang merugikan
lembaga tanpa sepengetahuan dirinya, hanya lantaran ada restu dari
kiai. Kejadian semacam ini sering terjadi, dan menunjukkan bahwa
manajemen struktural di lingkungan pesantren sama sekali tidak
dipahami, apalagi dilaksanakan.
Jika deniikian yang terjadi, kepala madrasah tersebut mungkin
akan berpikir apa artinya profesi dan sikap profesional yang selama ini
ia cari dan dalami melalui pelatihan, pendidikan, dan sederet
pengalaman yang panjang? Semua potensi itu menjadi sia-sia lantaran
tradisi pesantren yang tidak membutuhkan kemampuan profesional
dan lebih membutuhkan ketundukan secara mutlak pada figur kiai.
Akhirnya, kepala madrasah yang profesional tersebut tidak mau
mengadakan pembaruan, meskipun dia tahu bahwa pembaruan
merupakan salah satu syarat untuk memajukan lembaga. Di sisi lain,
Hamdan Farchan dan Syarifuddin melaporkan, "Banyak pesantren
yang masih melakukan alisasi sehingga apa pun yang bersifat
pembaruan dianggap menyimpang dari tradisi salafiyah.127
Sikap yang demikian berarti menghadapkan tradisi dan
modernisasi dalam posisi berbenturan. Semestinya, pesantren mampu
mengintegrasikan tradisi dan modernisasi menjadi salah satu watak
khas pesantren. Bukankah slogan yang selama ini digemborkan
berusaha memadukan tradisi dengan modernisasi, meskipun tradisi
terkesan lebih kuat? Slogan tersebut berbunyi Al-muhafadhah 'ala al-
qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (memelihara hal-
hal lama yang baik dan mengimplementasikan hal-hal baru yang lebih
baik).

127
Farchan dan Syarifuddin, Titik..., hlm. 51

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Ternyata slogan tersebut tidak selamanya diterapkan dalam
kehidupan pesantren. Anggapan yang memandang bahwa pembaruan
sebagai sesuatu yang menyimpang dari tradisi salâfiyah membuktikan
adanya sikap yang tidak konsisten terhadap slogan yang selalu
didendangkan kalangan pesantren selama ini. Integrasi antara tradisi
dan modernisasi hanya dipraktikkan dalam kasus tertentu yang masih
sangat terbatas, tetapi dalam hal laimya justru berusaha
dipertentangkan.
Anggapan tersebut mengandung konsekuensi bahwa
pertimbangan-pertimbangan rasional kurang diperhatikan oleh
pesantren. Mengolah konsep apa pun tentang pesantren ternyata bukan
pekerjaan yang mudah. Tidak ada konsep yang mutlak rasional dan
paling tepat jika diterapkan di pesantren, baik karena faktor historis
pertumbuhamya yang unik maupun ketertinggalan dari lembaga-
lembaga kemasyarakatan laimya dalam melakukan kegiatan-kegiatan
teknis. Pesantren belum mampu mengolah dan melaksanakan konsep
yang disusun berdasarkan pertimbangan rasional.128
Oleh karena itu, pengolahan pesantren salafiyah acapkali tidak
mengikuti kaidah-kaidah manajerial yang lazim berlaku di berbagai
lembaga, termasuk lembaga pendidikan. Masih banyak pesantren yang
belum memiliki misi dan budaya kerja yang birokratis, akuntabel, dan
siap menghadapi persaingan langsung. Karakter ini berdampak pada
cara melakukan perubahan pada pesantren.129
Kondisi manajerial di pesantren selalu terikat pada kiai sebagai
figur paling berpengaruh. Oleh karenanya, untuk menelusuri kualitas
maupun corak manajemen di pesantren secara detail dan mendalam
harus dilakukan dengan menelusuri posisi dan kekuasaan kiai.

128
Moh. Ali Azis, "Makna Manajemen dan Komunikasi bagi
Pengembangan Pesantren", dalam A. Halim et.al. (Eds), Manajemen Pesantren,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 67
129
Imas Maesaroh, "Total Quality Management dalam Pengembangan
SDM Pondok Pesantren", dalam A. Halim et.al. (eds), Manajemen Pesantren,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 91

Manajemen Pendidikan Islam


2. Posisi dan Kekuasaan Kiai
Di kalangan pesantren, kiai merupakan aktor utama. Kiailah yang
merintis pesantren, mengasuh, menentukan mekanisme belajar dan
kurikulum, serta mewarnai pesantren dalam kehidupan sehari-hari
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan yang dimilikinya. Karena
itu, karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui profil kiainya.
Kiai ahli Fikih akan memengaruhi pesantremya dengan kajian Fikih,
kiai ahli ilmu "alat" juga mengupayakan santri di pesantremya untuk
mendalami ilmu "alat", begitu pula dengan keahlian laimya juga
memengaruhi idealisme fokus kajian di pesantren yang diasuhnya.
Tugas seorang kiai meruang multifungsi: sebagai guru, muballigh,
sekaligus manajer.130 Sebagai guru, kiai menekankan kegiatan
pendidikan para santri dan masyarakat sekitar agar memiliki
kepribadian muslim yang utama; sebagai muballigh, kiai berupaya
menyampaikan ajaran Islam kepada siapa pun berdasarkan prinsip
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar macruf
nahi munkar); dan sebagai manajer, kiai memerankan pengendalian
dan pengaturan pada bawahamya.
Dari tiga fungsi tersebut, fungsi mana yang paling dominan
sehingga memengaruhi penampilan kiai? Tampaknya, fungsi sebagai
muballigh yang lebih memengaruhi performance-nya, termasuk
penampilan ketika mengelola pesantren. Oleh karenanya, ditemukan
pola-pola manajerial serba mono dan serba informal. Menurut
tradisinya, kegiatan dakwah tidak dijalankan dengan perencanaan
yang matang, pengorganisasian yang mapan, maupun pengawasan
yang ketat. Dengan pengertian lain, kegiatan dakwah bi al-lisån
biasanya dipraktikkan ala kadarnya.
Nur Syam menambahkan lagi tiga fungsi kiai: Pertama, sebagai
agen budaya. Kiai memainkan peran sebagai penyaring budaya yang
merambah masyarakat: Kedua, kiai sebagai mediator, yaitu menjadi
penghubung antara kepentingan berbagai segmen masyarakat,

130
Farchan dan Syarifuddin, Titik..., hlm. 68-69

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


terutama kelompok elite, dengan elemen masyarakat Iaimya: Ketiga,
sebagai makelar budaya dan mediator. Kiai menjadi penyaring budaya
sekaligus penghubung berbagai kepentingan masyarakat.131
Di kalangan masyarakat, kiai mendapat posisi yang terhormat.
Kiai senantiasa diperlakukan sebagai orangtua atau sesepuh sehingga
biasa menjadi tempat mengadu dalam berbagai persoalan yang
dihadapi masyarakat. Misalnya, persoalan sosio-kultural, sosio-
religius, sosio-politik, sosioekonomi, maupun persoalan-persoalan
pembangunan desa, bahkan tidak jarang menyangkut masalah
kesehatan.
Penghargaan masyarakat kepada kiai begitu tinggi karena
masyarakat kita adalah masyarakat paternalistik. Dalam masyarakat
semacam ini, kiai dianggap sebagai bapak yang selalu mendidik dan
tidak mungkin menyesatkan, sehingga mereka menaruh kepercayaan
penuh padanya Konsekuensinya, (segala) perintah kiai mendapat
respons yang tinggi dari masyarakat.
Perilaku masyarakat terhadap kiai tersebut juga terjadi dikalangan
santri di lingkungan pesantren. Bahkan, di pesantren perilaku santri
lebih sistematis dalam menghormati para kiainya. Sampai-sampai,
muncul kekhawatiran akan kualat, memiliki su' al-adåb, atau tidak
mendapat barakah jika tidak menaati kiai sehingga kiai di pesantren
salafiyah hampir dianggap selalu terhindar dari kesalahan. Fatwa-
fatwanya dianggap selalu benar dan tidak boleh dikritik sehingga
timbul penyucian pemikiran agama (taqdis ajkår al-dini) dari
komunitas pesantren, terutama para santri.
Dalam hal ini Abdurrahman Mas'ud mengatakan bahwa para santri
menerima kepemimpinan kiai karena begitu percaya pada konsep
dalam masyarakat Jawa, yaitu berkah atau barakah yang didasarkan

131
Nur Syam, "Kepemimpinan dalam Pengembangan Pondok Pesantren',
dalam A. Halim et.al (eds), Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2005), hlm. 79-80

Manajemen Pendidikan Islam


atas doktrin status keistimewaan seorang alim dan wali.132 Mereka
meyakini bahwa orang yang alim maupun wali memiliki kemampuan
istimewa yang tidak dimiliki semua orang pada umumnya sehingga
menerima kepemimpinan mereka sebagai satu keniscayaan.
Di dalam pesantren, penerimaan santri. pada kepemimpinan kiai
lebih niscaya lagi. Hal ini disebabkan Oleh baik pertimbangan
struktural, teologis, maupun kultural. Secara struktural, posisi kiai di
pesantren bagaikan raja dalam kerajaan. Jadi, kiai memiliki posisi
tertinggi yang tidak mungkin ditandingi orang lain. Secara teologis,
kiai diyakini dapat membantu atau memberikan kenikmatan, tetapi
juga kiai sebagai orangtua, baik karena faktor usia ataupun dituakan
karena kedalaman ilmunya sehingga harus dihornumti dan dijadikan
panutan/pemimpin.
Secara tradisional, kepemimpinan pesantren diurus oleh satu atau
dua kiai yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang
bersangkutan.133 Pesantren menekankan sikap konservatif yang
bersandar dan berpusat pada figur kiai.134 Karena itu, Sindu Galba
menyimpulkan, "Kiai merupakan elemen yang paling esensial dari
suatu pesantren."135 Oleh karena itu, kiailah dan bukan pribadi lain,
yang mewarnai pesantren selama ini.
Kiai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat
seluruh kebijakan dan perubahan.136 Dalam pesantren kiai adalah
pemimpin tunggal yang memegang wewenang hampir mutlak. Dalam
hal ini tidak ada orang lain yang lebih dihormati daripada kiai.137

132
Abdurahman Mas'ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan
Tradisi, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 13
133
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju
Millenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 104
134
Fadjar, Holistika..., hlm. 219
135
Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, Ed. Riri Manan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 62
136
Masyhud, M. Sulthon dan Moh. Khusnuridho, Manajemen Pondok
Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 14-15
137
Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar
di Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 156

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Sejak Islam menjadi agama yang banyak dianut di Jawa, kiai
menikmati status sosial tertinggi tersebut.138
Kiai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan
pesantren. Orang lain tidak diberikan akses untuk mengendalikan
sesuatu. Ustadz, apalagi santri, baru berani melakukan suatu tindakan
di luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kiai. Dia ibarat raja,
segala titahnya menjadi konstitusi—baik tertulis maupun konvensi—
yang berlaku bagi kehidupan pesantren,139
Uniknya, rangkaian kebiasaan tersebut memunculkan kenyataan
bahwa kiai adalah pemimpin yang karismatik. Imej yang justru
cenderung memperkokoh bangunan otoritas tunggal yang secara
frontal bertentangan dengan alam keterbukaan. Sosok kepemimpinan
inilah yang menimbulkan kesan pada Martin van Bruinessen bahwa
demokrasi masih jauh dari pesantren. Harapan demokratisasi desa
melalui pesantren merupakan suatu yang naif. Karena, karisma dan
demokrasi tidak bisa manunggal.140 Meskipun demikian, Syaefuddin
Zahri justru menilai dengan cara yang berbeda. Menurutnya, alam
pesantren terkenal bebas dan demokratis.141 Sepanjang menyangkut
proses pembelajaran, pesantren memang melibatkan partisipasi orang
lain, hamper tanpa batas seperti tidak ada seleksi, tidak ada absen,
tidak ada batas usia, dan tidak ada klasifikasi secara intelektual
sehingga benar-benar demokratis. Namun, jika menyangkut
kekuasaan, kiai menjelmakan dirinya sebagai pemimpin individual
yang memegang wewenang hampir mutlak akibat pesona karismatik
itu.

138
Mas'ud, Intelektual..., hlm. 14
139
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologis Menuju
Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 31
140
Martin Van Bruinessen, "Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska
Khitah 26: Pergulatan NU Delade 90-an", dalam Elyasa K.M Akarwis, Gus Dur dan
Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm. 78
141
Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, (Bandung: PT
Al-Ma'arif, t.t), hlm. 58

Manajemen Pendidikan Islam


Sebagaimana ditegaskan Abdurrahman Wahid yang menyatakan
bahwa watak kepemimpinan karismatik kiai pesantren itu yang
menyebabkan selama ini pola kepemimpinan belum menetap di
pesantren.142 Di samping itu, masih ada empat kerugian dari
kepemimpinan karismatik tersebut. Pertama, ketidakpastian dalam
perkembangan pesantren, karena semua hal tergantung kepada
keputusan pribadi kiai. Kedua, keadaan yang kurang mendukung
tenaga-tenaga pembantu (termasuk calon pengganti yang kreatif)
untuk mencoba pola-pola pengembangan yang belum diterima oleh
figur kepemimpinan yang ada. Ketiga, pola pergantian kepemimpinan
berlangsung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan sehingga lebih
banyak ditandai oleh sebab-sebab alami, seperti meninggalnya
pemimpin secara mendadak Dan, keempat, terjadinya pembauran
dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren, antara tingkat
lokal, regional, dan nasional.143
Kerugian kepemimpinan karismatik ini akhirnya mengakibatkan
rangkaian kerugian laimya lantaran sikap dan penampilan kiai yang
membentuk mata rantai kelemahan yang oleh Nurcholish Madjid
dipaparkan sebagai berikut,
a. Karisma
Pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi
tidak demokratis, sebab tidaklah rasional. Apalagi jika disertai
tindakan-tindakan yang bertujuan memelihara karisma itu, seperti
menjaga jarak dengan para santri. Pola kepemimpinan seperti ini
akan kehilangan kualitas demokratisnya.
b. Personalia
Karena kepemimpinan kiai merupakan kepemimpinan karismatik
maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi dan personal.
Kenyataan ini mengandung implikasi bahwa seorang kiai tidak

142
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (t.tp. CV. Dharma
Bhakti, et), hlm. 167
143
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren., hlm. 168-169

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan dalam
rule of game sistem administrasi dan manajemen pesantren.
c. Religio-Feodalisme
Seorang kiai selain menjadi pimpinan agama sekaligus merupakan
traditional mobility dalam masyarakat feodal. Feodalisme yang
terbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan, jauh lebih
berbahaya daripada feodalisme biasa.
d. Kecakapan Teknis
Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren seperti itu, maka
faktor kecakapan teknis menjadi tidak begitu penting.
Kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya
pesantren dalam perkembangan zaman.144
Kelemahan-kelemahan kepemimpinan kiai tersebut membutuhkan
solusi yang strategis untuk mengatasinya, meskipun terasa sulit
diperbaiki karena telah begitu membudaya dan berurat-berakar hingga
sekarang ini. Hal ini khususnya terjadi di pesantren salâfiyah, terlebih
lagi posisi kiai masih sangat kuat di pesantren tersebut. Karena itu,
dibutuhkan cara-cara khusus untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
yang merupakan akibat langsung dari pola kepemimpinan kiai ataupun
akibat sistem yang terbentuk selama ini.
3. Strategi Pengelolaan Pesantren
Masa depan pesantren sangat ditentukan oleh factor manajerial.145
Pesantren kecil akan berkembang secara signifikan manakala dikelola
secara profesional. Dengan pengelolaan yang sama, pesantren yang
sudah besar akan bertambah besar lagi. Sebaliknya, pesantren yang
telah maju akan mengalami kemunduran manakala manajememya
tidak terurus dengan baik. Sementara itu, jika mengabaikan
manajemen, pesantren vang kecil akan gulung tikar dalam
menghadapi tantangan multidiłnensi.

144
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 95-96
145
Rahman, "Menggugat...", hlm. 114

Manajemen Pendidikan Islam


Tantangan itu bisa berupa tuntutan-tuntutan keterbukaan
(inklusivisme), pengembangan metodologi, kemampuan manajerial,
kolektivitas, demokratisasi, kebersamaan, egalitarianisme, dan lain-
lain. Semua tantangan itu terakumulasi menjadi satu tantangan besar
yang memaksa pesantren untuk mengadakan perubahan manaiemen.
Dalam kaitan ini penyelengoaraan manajemen pendidikan
pesantren memiliki nilai sama pentingnya dengan upaya menjaga
estafet kepemimpinan. Untuk itu, kiai harus menguasai ilmu
keislamam, mengetahui tugas-tugas manajerial, sekaligus ilmu
keduniaan yang menjadi tuntutan perkembangan zaman.146 Dengan
pengertian lain, kiai harus visioner dalam menatap masa depan
sehingga orientasinya tidak semata-mata pada kecakapan beribadah,
tetapi juga kecakapan fungsional dalam menghadapi tantangan-
tantangan baru.
Berdasarkan pengamatan terhadap pesantren yang ada, dapat
ditegaskan, "Pesantren yang berhasil membutuhkan pemimpin, bukan
pengatur. Bahkan, perusahaan yang berhasil juga membutuhkan
pemimpin, bukan pengatur."147 Ada perbedaan mendasar antara
pemimpin dan pengatur. Pengatur lebih berorientasi pada penerapan
aturan-aturan legal formal kepada bawahan sehingga sentuhamya
bercorak hierarkis- birokratis. Sementara itu, pemimpin lebih
berorientasi untuk mengayomi, melindungi, memberi teladan dalam
kehidupan sehari-hari, serta memotivasi sehingga sentuhamya lebih
bercorak human skill (keahlian menyadarkan orang lain sebagai
bawahan).
Kasus pesantren Gontor Ponorogo, misalnya. Mengapa di
pesantren ini komunikasi yang dilakukan secara dwibahasa (bahasa
Arab dan bahasa Inggris) dalam kehidupan pesantren sehari-hari bisa
berhasil sedangkan di pesantren laimya gagal? Hal ini dikarenakan

146
Rahman, "Menggugat,,, hlm. 116
147
Suprayogo, Reformulasi..., hlm. 162

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


kiai pengasuh di pesantren Gontor benar-benar tampil di depan
memberi contoh secara berkelanjutan dan konsisten. Sementara itu, di
pesantren yang gagal, kiai hanya memiliki keinginan untuk
membentuk bi'ah lughawiyah (lingkungan bahasa) terutama bahasa
Arab, tetapi dia sendiri tidak konsisten memberi contoh penerapan
komunikasi berbahasa Arab setiap hari.
Selanjutnya, pola-pola kepemimpinan kiai di pesantren yang
selama ini kurang kondusif menghadapi tantangan- tantangan
modernisasi perlu (bahkan, harus) diubah menjadi pola-pola
kepemimpinan yang lebih responsif terhadap tuntutan kemajuan
zaman. Pola tersebut haruslah mengarah pada kegiatan yang
melibatkan lebih banyak orang lain lagi dalam jajaran kepemimpinan,
untuk bersama-sama menjalankan roda organisasi pesantren menuju
kondisi yang maju dan mapan, baik dari sisi kelembagaan, sistem
pendidikan, proses pembelajaran, maupun—tentu saja—kualitas
santri.
Dari beberapa kasus, perkembangan ini hendaknya dimulai dari
perubahan gaya kepemimpinan pesantren. Yaitu, dari karismatik
menuju rasionalitik, dari otoriter-paternalistik menuju diplomatik-
partisipatif, atau dari laissez faire menuju demokratik.148 Gaya-gaya
kepemimpinan yang diharapkan terwujud tersebut mengarah pada tipe
kepemimpinan yang profesional yang memberi perhatian khusus pada
partisipasi orang lain dalam menentukan pengembangan pesantren.
Oleh karena itu, pola kepemimpinan pesantren yang umumnya
bercorak alami, yaitu berupa pola pewarisan, termasuk dalam estafet
kepemimpinamya, harus segera dirombak agar pesantren tidak
ditinggalkan masyarakat. Pengembangan pesantren maupun proses
pembinaan kader yang akan menggantikan pimpinan yang ada harus
memiliki bentuk yang teratur dan menetap. Maka, pesantren
sesungguhnya membutuhkan lebih dari seorang pemimpin.149

148
Masyhud dan Khusnurridho, Manajemen..., hlm. 15
149
Rahman, ''Menggugat...", hlm. 117

Manajemen Pendidikan Islam


Konsekuensinya, dalam keadaan tertentu pesantren perlu
menerapkan sistem kepemimpinan multileaders. Misalnya, ada
pesantren yang menerapkan pola dua pemimpin, yaitu pemimpin
urusan luar pesantren dan pemimpin bidang kepesantrenan. Dalam
pola kepemimpinan ini, terdapat pemimpin umum yang dipegang oleh
seorang kiai dan pemimpin harian yang mengurus kegiatan praktis
mengenai kependidikan dan sebagainya.150
Artinya, sistem manajerial pesantren tersebut harus mengarah pada
pola kepemimpinan kolektif, sesuai hierarki kepemimpinan. Dengan
model ini, pesantren bisa menjadi salah satu lembaga modern
sehingga kelangsungan eksistensi pesantren tidak lagi bergantung
pada seorang kiai sebagai pemimpin tertinggi secara manunggal. Jika
kiai wafat, kepemimpinamya bisa diteruskan oleh pemimpin laimya
secara sistematis.151 Di samping itu, melalui kepemimpinan kolektif
ini, seorang kiai dapat berbagi tugas dengan wakilnya sesuai keahlian
yang dimiliki.152
Intisari manajemen ada pada kepemimpinan dan intisari
kepemimpinan ada pada keputusan. Sebagai seorang pemimpin, kiai
harus berani mengambil keputusan, termasuk keputusan yang
dilematis, meskipun pada akhirnya keputusan itu baru disadari sebagai
keputusan yang salah. Keberanian semacam ini, dalam kehidupan
sehari-hari, disebut sebagai power executive. Suatu kekuatan pimpinan
yang harus diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan.
Oleh karena itu, kiai sebagai figur sentral pesantren perlu
menggali prinsip, konsep, dan teknik pembuatan keputusan
pendidikan yang terus berkembang.153 Model pembuatan keputusan di
pesantren dapat berupa kombinasi model klasik dan model
administratif, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Selain itu,
dapat dikembangkan pula model pembuatan keputusan yang

150
Rahman, ''Menggugat. 117
151
Rahman, ''Menggugat., hlm. 119
152
Rahman, ''Menggugat., hlm. 121
153
Masyhud dan Khusnuridho, Manajemen..., hlm. 46

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


partisipatif yang dapat dijadikaıı acuan untuk meningkatkan
pendidikan dan pengajaran pesantren.154
Keputusan keputusan kiai ini berfungsi sebagai bentuk perundang-
undangan yang berlaku secara internal di pesantren, sebagai landasan
dalam melakukan kegiatan-kegiatan keseharian, sebagai acuan dalam
melakukan inovasi, dan tentu saja sebagai petunjuk arah bagi
program-program yang dilaksanakan. Semua fungsi ini memiliki
kontribusi terhadap kelancaran pembelajaran dan pada giliramya akan
mewujudkan kemajuan pesantren.
Keputusan-keputusan kiai itu harus diturunkan menjadi realitas
kegiatan. Proses breaking down itu mestinya melalui tiga level
manajemen dengan masing-masing tugas khusus. Dari manajemen
puncak (top management), menuju manajemen madya/menengah
(middle management), kemudian manajemen tingkat bawah (low
management), dan berakhir pada staf. Dalam konteks pesantren,
misalnya, manajemen puncak bisa dikendalikan kiai, manajemen
madya/menengah dikendalikan ustadz senior, sedangkan manajemen
tingkat bawah dikendalikan oleh ustadz junior.
Kiai sebagai manajer puncak bertugas menentukan sasaran dan
kebijakan, memberikan bimbingan dan pengarahan, serta menentukan
standar kinerja. Ustadz senior sebagai manajer madya mengemban
tugas: menginterpretasikan dan menjelaskan kebijakan manajer
puncak, berpartisipasi dalam membuat keputusan yang operasional,
dan melatih manajer tingkat bawah. Adapun ustadz junior sebagai
manajer tingkat bawah memiliki tugas merencanakan kegiatan sehari-
hari, membagi tugas pada para anggota, melakukan pengawasan dan
pengendalian kegiatan bawahamya, mengatur material, peralatan, dan
perlengkapan, serta memelihara disiplin.
Kelemahan pendidikan pesantren yang lain adalah suasana
pembelajaran yang pasif. Suasana yang demikian itu harus
ditransformasikan ke dalam suasana pembelajaran kondusif dan
154
Masyhud dan Khusnuridho, Manajemen..., hlm. 121

Manajemen Pendidikan Islam


menifasilitasi penguatan daya kritis para santri melalui berbagai
kondisi dan pengembangan wawasan yang diperkuat oleh pendekatan-
pendekatan metodologis.
Agar nalar kritis tumbuh di pesantren, para pengelolanya harus
mau melakukan formulasi pola pendidikan dengan menyertakan
metodologi modern, dengan cara menguatkan aspek yang selama ini
telah ada di pesantren tetapi belum maksimal, seperti ilmu mantiq
(logika), ushul al-fiqh, dan sebagainya untuk dikaji lebih serius.155Di
samping itu, untuk menambah daya kritis warga pesantren, berbagai
upaya harus terus dilakukan. Pesantren mau tidak mau dituntut untuk
merespons berbagai problem sosial yang muncul dalam kehidupan
umat.156
Dengan demikian, pesantren perlu meninjau kembali penekanan
kajian yang selama ini lebih terkonsentrasi pada ilmu "alat" (nahwu,
sharaf, dan lain-lain) dan ilmu Fikih. Kedua disiplin ilmu yang
menjadi konsentrasi kajian di pesantren ini sama-sama berdimensi
hukum. Ilmu "alat" berisi "hukum" atau peraturan tata bahasa, sedang
ilmu Fikih merupakan ilmu hukum Islam. Kesamaan dimensi dari
ilmu "alat" dan ilmu Fikih itulah yang menyebabkan pola-pola
pemahaman di pesantren terasa kaku, padahal ilmu Fikih sebenarnya
harus senantiasa mengawal perkembangan.
Untuk itu, pesantren di masa mendatang tidak hanya berorientasi
pada pemahaman teks Fikih secara eksklusif semata, tetapi lebih dari
itu diarahkan pada paradigma Fikih holistik, yakni pemikiran baru
yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang termasuk dalam tataran
berbangsa dan bernegara secara praktis.157 Selanjutnya, pesantren
sebagai kekuatan kultural dituntut terus-menerus merespons
perubahan yang sedang terjadi. Bahkan, bisa menjadi pelopor
dinamika sosial dan kebudayaan yang membebaskan dan mengatasi

155
Farchan dan Syarifuddin, Titik, hlm. 46
156
Farchan dan Syarifuddin, Titik,,, hlm. 52
157
Farchan dan Syarifuddin, Titik,,, hlm. 56

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


anomali sosial akibat dinamika itu sendiri, tentunya dengan formulasi
wacana Fikih yang human empiris.158
Tampaknya, manajemen pesantren harus mencakup berbagai
komponen yang segera mendapat penanganan karena telah lama
menjadi problem yang terabaikan secara manajerial. Farchan dan
Syarifuddin memberikan alternatif solusi, bahwa untuk menata
manajemen pesantren agar lebih maju, banyak hal yang harus dibenahi
dengan cara: (a) Mengadopsi manajemen modern; (b) Membuat
wirausaha; (c) Melakukan pelatihan kewirausahaan; dan (d) Membuat
network ekonomi.159 Namun demikian, berbagai alternatif tersebut
lebih menekankan pada pemberdayaan ekonomi daripada
pemberdayaan intelektual, sosial, kultural, dan struktural, misalnya.
Padahal, yang dibutuhkan adalah adanya pemberdayaan secara relatif
menyeluruh terhadap komponen-komponen pendidikan pesantren
sehingga terdapat keseimbangan.
Oleh karena itu, dibutuhkan solusi-solusi yang lebih komprehensif
dan menyebar ke berbagai komponen pendidikan pesantren yang
selama ini menjadi titik balik kelemahan pesantren. Kemudian, diikuti
langkah-langkah praktis agar segera dapat dilaksanakan oleh semua
pihak yang terkait langsung dengan penataan pesantren. Solusi beserta
langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut.160
Pertama, menerapkan manajemen secara profesional. Hal ini
dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut ini.
a. Menguasai ilmu dan praktik tentang pengelolaan pesantren.
b. Menerapkan fungsi-fungsi manajemen, mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan.
c. Mampu menunjukkan skill yang dibutuhkan pesantren.
d. Menliliki pendidikan, pelatihan, atau pengalaman yang memadai
tentang pengelolaan.

158
Farchan dan Syarifuddin, Titik,,, hlm. 57-58
159
Farchan dan Syarifuddin, Titik,,, hlm. 70-73
160
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 75

Manajemen Pendidikan Islam


e. Memiliki kewajiban moral untuk memajukan pesantren.
f. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap kemajuan pesantren.
g. Memiliki kejujuran dan disiplin tinggi.
h. Mampu memberi teladan dalam perkataan dan perbuatan kepada
bawahan.
Kedua, menerapkan kepemimpinan yang kolektif. Strategi ini
dapat diwujudkan melalui langkah langkah berikut.161
a. Mendirikan yayasan.
b. Mengadakan pembagian wewenang secara jelas.
c. Memberikan tanggung jawab kepada masing-masing pegawai.
d. Menjalankan roda organisasi bersama-sama sesuai dengan
kewenangan masing-masing pihak secara proaktif.
e. Menanggung risiko bersama-sama.
Ketiga, menerapkan demokratisasi kepemimpinan. Strategi ini
dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut.
a. Mengurangi dominasi kiai dalam penentuan kebijakan.
b. Menekankan partisipasi masyarakat pesantren dalam menentukan
c. Keputusan-keputusan pilihamya yang sendiri diambil kiai
mempertim bangkan usaha-usaha dari bawah.
d. Memberikan kebebasan kepada bawahan untuk memilih pimpinan
unit-unit kelembagaan secara terbuka dan mandiri.

Keempat, menerapkan manajemen struktur. Strategi ini dapat


dilalui dengan langkah-langkah berikut.
a. Menyusun struktur organisasi secara lengkap.
b. Menyusun deskripsi pekeriaan (job description).
c. Menjelaskan hubungan kewenangan antarpegawai dan pimpinan,
baik secara vertikal maupun horizontal (bertanggung jawab
kepada siapa, bermitra kerja dengan siapa, dan memiliki
kewenangan memerintah siapa). Menanamkan komitmen
terhadap tugas masing-masing pegawai.

161
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 76

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


d. Menjaga kode etik kewenangan masing-masing pegawai.

Kelima, Inenanamkan sikap sosio-egalitarianisme. Strategi ini


dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut.162
a. Menggusur sikap feodalisme yang berkedok agama.
b. Memandang semua orang memiliki derajat dan martabat sosial
yang sama sesuai amanat Al-Qur'an surah al-Hujarat: 13.
c. Menghapus diskriminasi di kalangan santri antara kelompok putra-
putra kiai (para gus) dengan santri biasa.
d. Menghapus sikap mengkultuskan para kiai.
e. Menghapus penghormatan yang berlebihan kepada kiai.
f. Menghapus sikap mengistimewakan seseorang atau kelompok
tertentu.
g. Membebaskan para santri dari perasaan sebagai 'hamba" atau
"mayit" di hadapan kiai sehingga mereka dapat tetap menjadi
santri yang sopan tetapi penuh inisiatif.

Keenam, menghindarkan pemahaman yang menyucikan pemikiran


agama (taqdîs afkâr al-dîni). Strategi ini dapat ditempuh dengan
langkah-langkah berikut.163
a. Membiasakan telaah terhadap isi kandungan sesuatu kitab.
b. Membiasakan pendekatan perbandingan pemikiran para ulama
(muqâranah afkâr al-'ulamâ') dalam proses pembelajaran.
c. Membiasakan kritik konstruktif dalam proses pembelajaran.
d. Menanamkan kesadaran bahwa pemikiran para penulis kitab
sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi pada saat
penulisan kitab itu.
e. Menanamkan kesadaran bahwa betapapun hebatnya seorang
penulis kitab, dia pasti memiliki kelemahan-kelemahan tertentu.

Ketujuh, memperkuat penguasaan epistemologi dan metodologi.


Strategi ini dapat dirinci melalui langkah-langkah berikut.

162
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 77
163
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 77

Manajemen Pendidikan Islam


a. Menyajikan pelajaran teori pengetahuan.
b. Memotivasi santri senior untuk mengembangkan pengetahuan.
c. Memperkuat ilmu-ilmu wawasan, seperti sejarah, filsafat, mantiq,
perbandingan mazhab (muqåranah al-madzåhib), perbandingan
agama (muqåranah al-adyån), ilmu-ilmu Al-Qur'an (‘ulüm al-
Qur'ån), dan ilmu-ilmu hadis (ulüm al-hadits).
d. Memperkuat ilmu-ilmu pendekatan atau metode (manhaji), seperti
ushül fiqh (epistemologi hukum Islam) dan al-qawå'id al-fiqhiyah
(kaidah-kaidah ilmu Fikih).
e. Mengajarkan metodologi penelitian.
f. Mengajarkan metodologi penulisan karya ilmiah.
g. Mengajarkan metode berpikir ilmiah.
h. Memberikan tugas-tugas penulisan karya ilmiah.
i. Mendorong keberanian santri-santri senior untuk menulis buku-
buku ilmiah.
j. Mendorong keberanian para santri senior untuk menerjemahkan
kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.

Kedelapan, mengadakan pembaruan secara berkesinambungan.


Strategi ini dapat diaplikasikan melalui langkah-langkah berikut.164
a. Mengadakan pembaruan dan/atau penambahan institusi.
b. Mengadakan pembaruan sistem pendidikan.
c. Mengadakan pembaruan sistem kepemimpinan.
d. Mengadakan pembaruan sistem pembelajaran.
e. Mengadakan pembaruan kurikulum.
f. Mengadakan pembaruan strategi, pendekatan, dan metode
pembelajaran.
g. Memperkuat SDM para ustadz, perpustakaan, dan laboratorium.
Kesembilan, mengembangkan sentra-sentra perekonomian.
Strategi ini dapat diaplikasikan melalui langkah-langkah berikut.
a. Mendirikan toko-toko yang menyediakan kebutuhan para santri.
b. Mengelola konsumsi para santri (tata boga).

164
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 79

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


c. Mendirikan koperasi.
d. Mendirikan pusat-pusat pelayanan publik yang berorientasi pada
keuntungan finansial.
e. Membuat jaringan kerja sama dengan pihak lain yang saling
menguntungkan.
f. Mendirikan usaha-usaha produktif laimya.
C. Manajemen Madrasah
Madrasah merupakan terjemahan dari istilah sekolah dalam
bahasa Arab. Namun, konotasi madrasah dalam hal ini bukan pada
pengertian etimologi tersebut, melainkan pada kualifikasinya. Selama
ini madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mutunya lebih rendah dari pada mutu lembaga pendidikan laimya,
terutama sekolah umum, walaupun beberapa madrasah justru lebih
maju daripada sekolah umum. Namun, keberhasilan beberapa
madrasah dalam jumlah yang terbatas itu belum mampu menghapus
kesan negatif yang sudah terlanjur melekat.
Ditinjau dari segi penguasaan agama, mutu siswa madrasah lebih
rendah daripada mutu santri pesantren. Sementara itu, ditinjau dari
penguasaan materi umum, mutu siswa madrasah lebih rendah daripada
sekolah umum. Jadi, penguasaan baik pelajaran agama maupun materi
umum serba mentah (tidak matang). Itulah yang menyebabkan
Mastuhu menilai, ”Madrasah menjadi semacam sekolah kepalang
tanggung.165
Dari segi manajemen, madrasah lebih teratur daripada pesantren
tradisional (salâfiyah), tetapi dari segi penguasaan pengetahuan
agama, santri lebih mumpuni. Keadaan ini wajar terjadi karena santri
tersebut hanya mempelajari pengetahuan agama, sementara beban
siswa madrasah berganda. Demikian juga, menjadi wajar ketika dalam
hal penguasaan pengetahuan umum, siswa sekolah umum lebih

165
Mastuhu, Memberdayakan Sistern Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu, 1999), hlm. 59

Manajemen Pendidikan Islam


menguasai daripada siswa madrasah karena beban siswa sekolah
umum tidak sebanyak siswa madrasah.
Perbandingan ini sungguh tidak adil sehingga kesimpulan yang
diperoleh juga tudak valid. Sama-sama perbandingan yang tidak adil,
madrasah justru berpeluang lebih unggul dari pesantren dan sekolah
jika objek perbandingamua dibalik. Dalam pengusaan pengetahuan
umum, siswa madrasah lebih pandai dari pada santri pesantren.
Sedangkan dalam penguasaan pengetahuan agama, siswa madrasah
lebih bermutu dari pada siswa sekolah umum.166
Untuk menghindari penilaian yang kurang bijaksana bahkan
cenderung memvonis negatif sebagaimana penilaian Mastuhu
tersebut, ada baiknya dilacak faktor-faktor penyebab kelemahan
madrasah sehingga ditemukan penyebab sampai keakar-akarnya. Hal
ini penting disadari agar dapat melakukan injeksi strategi yang tepat
dan benar, sesuai dengan kebutuhan riil madrasah saat ini.
1. Penyebab Kelemahan Madrasah
Apabila diamati secara mendalam, ada banyak factor yang
membuat kualitas madrasah rendah. Di antara factor tersebut adalah
kualitas pengelola, sistem feodalisme, kondisi kultur masyarakat,
kebijakan politik negara, dan terlalu banyak beban yang harus dijalani
siswa.
Pengelola atau pemimpin lembaga pendidikan memang memiliki
posisi dan fungsi strategis selaku pengendali lembaga tersebut.
Mereka memiliki political power (kekuatan politis), suatu kekuasaan
yang tidak dimiliki oleh para guru. Melalui kekuasaan itu, mereka
memiliki kewenangan untuk mengadakan pembaruan. Apalagi jika
kewenangan itu didukung dengan political will (kehendak politi) atau
good will (kehendak baik) dari para pemimpin.
Oleh karena itu, wajar sekali terjadi ketika suatu madrasah
mengalami kemunduran maka kepala madrasah yang banyak
mendapat kritikan. M. Arifin menegaskan bahwa titik lemah

166
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,, hlm. 80

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


madrasah, pada semua jenjang, terletak pada tenaga pengelolamya,
karena mereka kurang berorientasi pada profesionalisme. Meskipun
demikian, tidak bisa dikatakan bahwa para guru dan tenaga
administrative di madrasah negeri saat ini hanyalah kaum amatir yang
menangani madrasah sambil lalu.167
Perilaku pemimpin atau pengelola memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap maju-mundurnya sebuah madrasah. Perilaku
positif dan proaktif dapat mendukung kemajuan madrasah.
Sebaliknya, perilaku negative dan kontraproduktif justru menghambat
kemajuan. Perilaku negatif ini terkait dengan tradisi kurang baik yang
berlangsung dan berkembang di suatu madrasah.
Praktik manajemen di madrasah sering menggunakan model
manajemen tradisional, yaitu model manajemen paternalistik atau
feodalistik. Dominasi senioritas jelas mengganggu perkembangan dan
peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas dan inovasi
dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak
menghargai senior. Kondisi ini mengarah pada penilaian negatif,
sehingga muncul kesan bahwa meluruskan atau mengoreksi
kekeliruan langkah senior dianggap sebagai sikap su' al-adâb (tabiat
jelek).168
Anggapan demikian, sebenarnya, merupakan pengaruh budaya
lokal, bukan pengaruh ajaran agama. Islam memang mengajarkan
kode etik dalam pergaulan antara orangtua dan muda. Kalangan muda
menghormati yang tua sedangkan yang tua mengasihi yang muda.
Namun, tidak ada larangan untuk meluruskan kesalahan orangtua,
bahkan dianjurkan. Konsep Islam tentang amar makruf nahi mungkar
tidak pernah dibatasi pada kalangan tertentu. Demikian juga anjuran

167
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta:
Bumi Aksara, 1991), hlm. 10
168
Rahardjo, "Madrasah Sebagai the Centre of Excellence", dalam Ismail
SIVI, Nurul Huda dan Abdul Kholiq, (Eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah,
(Yogyakarta: Kerja sama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan
Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2002), hlm. 229

Manajemen Pendidikan Islam


untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (wa tawâshau
bi al-haq wa tawâshau bi al-shabr) sebagaimana tercantum dalam
surah al-Ashr yang juga tidak terbatas pada kalangan tertentu. Jadi,
kecemburuan senior terhadap teguran junior tidak lebih meyupakan
murni pengaruh budaya lokal yang justru akan menghambat dinamika
pendidikan.
Penghormatan yang berlebihan pada senior justru menimbulkan
dua macam kelemahan: Pertama, kalangan senior tidak merasa
tertantang sehingga kreativitasnya tidak terbangkitkan sama sekali;
dan kedua, kalangan junior merasa ide, kreativitas, gagasan, dan
inisiatifnya terbelenggu, sehingga merasa pesimis dalam menghadapi
tantangan-tantangan lembaga pendidikan di masa depan yang semakin
kompleks dan multidimensi.
Selanjutnya, kondisi kultur di luar madrasah juga memengaruhi
kualitas madrasah. Kondisi ini bisa berupa pandangan atau penilaian
masyarakat terhadap madrasah. Selama ini madrasah dipersepsikan
sebagai lembaga pendidikan kelas ekonomi, tidak bermutu, hanya
mengajarkan isi agama semata, jurusan akhirat, tempat penampungan
anak-ąnak orang miskin, bersistem kolot, dan tidak bisa melanjutkan
ke sekolah umum atau perguruan tinggi umum negeri.
Semua anggapan tersebut merupakan hal yang salah kaprah karena
tidak berdasar. Meskipun demikian, anggapan itu tetap bertahan
memengaruhi masyarakat umum, yang selama ini memang jauh dari
kehidupan madrasah. Mereka terpengaruh lantaran tidak mengetahui
realitas yang sebenarnya. Tentu saja, kondisi eksternal madrasah yang
demikian kurang menguntungkan bagi peningkatan mutu pendidikan
madrasah.169
Di samping itu, kebijakan-kebijakan politik negara, terutama yang
diterapkan oleh pemerintah Orde Baru senantiasa melemahkan upaya
peningkatan mutu madrasah. Dalam setiap kebijakan dan keputusan
yang menyangkut pendidikan, madrasah selalu dianaktirikan oleh

169
Qomar, "Manajemen...", hlm. 339-340

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


pemerintah Orde Baru.170 Sikap diskriminatif ini terutama sangat
terlihat dalam urusan pendanaan. Alokasi dana yang diperoleh
madrasah negeri selalu jauh lebih kecil daripada yang diperoleh
sekolah negeri. Keadaan ini menjadi lebih parah lagi jika sudah
menyangkut madrasah swasta. Selama 32 tahun, pemerintah Orde
Baru kurang memerhatikan madrasah swasta, padahal sebagian besar
madrasah berstatus swasta. Jadi, nasib madrasah terlantar puluhan
tahun akibat kebijakan pemerintah ini. Dan, sayangnya, hingga
sekarang pun madrasah belum memperoleh perlakuan yang sama
dengan apa yang diterima sekolah umum sehingga masih terdapat
kesenjangan yang lebar dalam urusan alokasi dana.
Perlakuan diskriminatif itu terjadi juga lantaran madrasah menjadi
korban permainan politik praktis. Madrasah dicurigai sebagai sarang
keluarga yang berafiliasi politik ke Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), sementara pemerintah Orde Baru pada waktu itu melancarkan
politik belah bambu. Para pendukung Golongan Karya (Golkar)
dimanjakan, sedangkan pendukung PPP dan PDI selalu ditekan dan
ditindas dalam berbagai kebijakan pemerintah.
Ada banyak faktor Iain yang juga menyebabkan mutu madrasah
lemah, termasuk masalah yang berhubungan dengan beban yang harus
dijalani siswa. Beban yang diwajibkan pada siswa madrasah jauh lebih
berat daripada beban siswa sekolah umum. Siswa sekolah madrasah
wajib mempelajari semua mata pelajaran siswa di sekolah umum, plus
pelajaran rumpun agama yang meliputi bahasa Arab, Al-Qur'an-hadis,
akidah-akhlak, fikih-ushül al-fiqih, dan sejarah kebudayaan Islam.
Apalagi madrasah yang berada dalam pesantren, beban siswa Iebih
berat lagi. Karena, di samping siswa mengikuti pelajaran di madrasah
juga mengikuti pelajaran pesantren.171
Pada bagian lain, kita harus menyadari bahwa potensi siswa
madrasah rata-rata merupakan kelas menengah ke bawah. Secara

170
Qomar, "Manajemen..., hlm. 340
171
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm. 84

Manajemen Pendidikan Islam


intelektual kemampuan mereka lemah, sebab biasanya siswa yang
memiliki prestasi baik cenderung melanjutkan ke sekolah umum.
Secara ekonomi, posisi. mereka juga berada pada kelas menengah ke
bawah. Demikian juga secara sosial, mereka berasal dari kalangan
masyarakat biasa (grass root). Intinya, potensi siswa madrasah rata-
rata merupakan akumulasi kelas menengah ke bawah baik secara
intelektual, ekonomi, maupun sosial. Keadaan ini menunjukkan bahwa
kehadiran mereka di madrasah telah membawa sejumlah problem
yang harus diselesaikan karena ini juga berpengaruh pada
kelangsungan pembelajaran.
Selanjutnya, dibandingkan sekolah umum, guru, sarana dan
prasarana, serta peralatan pembelajaran di madrasah juga masih
tertinggal. Guru-guru di madrasah masih banyak yang kurang
profesional, baik dalam tingkat pendidikan maupun keahliamya.
Masih banyak guru madrasah yang mengampu mata pelajaran yang
bukan keahliamya. Demikian juga dengan sarana dan prasarana,
perpustakaan, serta laboratorium, yang mestinya menjadi jantung
madrasah, ternyata tidak memadai, bahkan terkadang tidak ada.
Apalagi yang berhubungan dengan alat pembelajaran seperti OHP,
laptop, LCD, dan sebagainya sangat terbatas. Bahkan, madrasah
tertentu tidak memilikinya. Kekurangan pada tiga komponen ini
berdampak negatif pada proses pembelajaran.172
Apabila kita menggunakan rumus input—proses—output untuk
mengukur suatu pendidikan, maka di madrasah ada masalah yang
harus dipecahkan. Bila input-nya baik, prosesnya baik, maka bisa
dipastikan output-nya juga baik. Akan tetapi, bila input-nya lemah,
prosesnya jelek, maka output-nya juga lemah. Kondisi kedua ini
menggambarkan keadaan di madrasah pada umumnya, yang berarti
ada banyak masalah yang harus diselesaikan. Walau bagaimanapun
madrasah terlepas dengan segala kekurangamya—telah memberikan
kontribusi yang besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

172
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm. 85

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


2. Strategi Mengatasi Kelemahan Madrasah
Sejumlah pemerhati dan praktisi mencoba menawarkan berbagai
konsep untuk mengatasi kelemahan-kelemahan madrasah. Tawaran
konseptual ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk
berpartisipasi dalam membenahi, menyempurnakan, bahkan
meningkatkan mutu madrasah menjadi institusi yang maju dan
unggul.
Tawaran konseptual tersebut dimulai dari pembenahan pada aspek
manajemen yang dipandang sebagai faktor penentu terhadap
komponen madrasah laimya. Husni Rahim menegaskan bahwa
lembaga madrasah pertama-tama dituntut untuk melakukan
perubahan-perubahan strategis dalam bidang manajemen. Pimpinan
madrasah dituntut untuk memiliki visi, tanggung jawab, wawasan, dan
keterampilan manajerial yang tangguh. Ia hendaknya dapat
memainkan peran sebagai lokomotif perubahan menuju terciptanya
madrasah berkualitas.173 Maka, kepala madrasah seharusnya
menyandang dua macam profesi, yaitu profesi keguruan dan profesi
administratif (sebagai administrator).174
Manajemen menjadi kunci pemecahan karena mengandung
kaidah-kaidah penataan secara rapi dan teratur walau sayangnya
belum banyak dipraktikkan secara serius dalam pengelolaan
madrasah, kecuali dalam kasus-kasus yang terbatas.175 Manajemen
profesional telah menjadi andalan dalam pengembangan madrasah.176
Kaidah-kaidah manajerial telah berkali-kali diujicobakan atau
dipraktikkan dalam mengendalikan lembaga pendidikan. Bahkam
dilakukan juga penyempurnaan-penyempurnaan berdasarkan
fenomena-fenomena baru yang muncul di lapangan yang sebelumnya
tidak menjadi pertimbangan dalam kaidah-kaidah yang terdahulu.

173
Rahim, Arah..., hlm. 21
174
Arifin, Kapita..., hlm. 106
175
Qomar, "Manajemen…, hlm. 337
176
Rahardjo, "Madrasah..., hlm. 232

Manajemen Pendidikan Islam


Oleh karena itu, kaidah-kaidah manajerial tersebut dirumuskan,
tidak hanya berdasarkan apriori (pengetahuan sebelum mengalami
semacam ide-ide murni dan gagasan-gagasan murni), melainkan juga
berdasarkan aposteriori (pengetahuan yang diperoleh berdasarkan
pengalaman yang dialami seseorang atau lembaga pendidikan).
Kombinasi antara pengetahuan apriori dan aposteriori inilah yang
dijadikan pijakan dalam merumuskan kaidah-kaidah manajemen
pendidikan Islam, agar suatu lembaga pendidikan Islam dapat
dikendalikan melalui strategi yang komprehensif. Meskipun demikian,
sebagai watak dari suatu disiplin ilmu, kita harus terus-menerus
melakukan pencermatan, jika ada hal-hal yang dapat
menyempurnakan kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam
Dalam kasus madrasah, berdasarkan identifikasi penyebab
kelemahan mutu madrasah yang meliputi pihak pengelola, sistem
feodalisme, kondisi kultural masyarakat, kebijakan politik negara
terutama yang menyangkut keuangan/ pendanaan, beban pelajaran
yang harus dijalani siswa, potensi input, keadaan sarana-prasarana,
alat-alat pembelajaran, maupun kondisi guru yang kurang profesional,
maka banyak hal yang turut bertanggung jawab terhadap rendahnya
kualitas madrasah
Akan tetapi, semua faktor itu merupakan akibat semata, atau
dalam bahasa penelitian disebut dependent variable (variabel
tergantung). Sementara itu, yang menjadi faktor penyebab atau
independent variable (variabel bebas) justru para pengelola madrasah.
Jika mereka memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengelola,
maka persoalan-persoalan lain seharusnya dapat diatasi dengan
baik.177 Karena, para pengelola, sebagai pihak yang memegang
kendali, memiliki kekuatan eksekutif atau politik yang dapat dijadikan
sarana atau media dalam mengkondisikan komponen-komponen
laimya.

177
Qomar, Manajemen ..., hlm. 340

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Lebih lanjut, peran pengelola atau manajer madrasah tersebut
pernah dilukiskan Imam Suprayogo yang mendeskripsikan bahwa
betapa besar dan strategisnya peran para manajer dalam memajukan
madrasah. Mereka adalah pimpinan di berbagai lapisan madrasah itu.
Mereka tidak saja memiliki kekuatan untuk mengarahkan,
memberikan bimbingan, mengontrol, dan mengevaluasi, melainkan
juga menjadi kekuatan penggerak, yaitu elemen yang selalu
memperkuat dan memperbarui etos, cita-cita, dan imajinasi-imajinasi
secara terus-menerus.178
Secara struktural, semua lapisan manajer harus bergerak dan
bersinergi sesuai dengan kewenangan masing-masing. Manajer
puncak yang menentukan arah kebijakan, manajer madya yang
menerjemahkan arah kebijakan yang digariskan manajer puncak, dan
manajer terdepan yang berusaha mengondisikan pelaksanaan
kebijakan itu.
Kekompakan kerja ketiganya merupakan modal besar untuk
memajukan madrasah. Suprayogo mengakui bahwa madrasah pada
umumnya masih memiliki beberapa kelemahan. Akan tetapi,
kelemahan itu dapat diatasi jika semua elemen yang terlibat dalam
pengembangan ikut menanganinya secara sungguh-sungguh,
sistematis, terarah, dan profesional.179 Hanya saja, budaya kerja
tersebut mungkin masih sangat sulit dipraktikkan di Indonesia,
khususnya di kalangan madrasah. Namun, dengan pengondisian sejak
awal, di bawah komando pimpinan atau manajer puncak yang benar-
benar bisa memberi teladan dalam semua aspek pengembangan,
berbagai kesulitan dalam madrasah tentu bisa diatasi. Tentu saja, hal
ini membutuhkan waktu dan proses secara kontinu yang cukup
Panjang.

178
Suprayogo, Reformasi..., him. 73
179
Suprayogo, Reformasi..., hlm. 72

Manajemen Pendidikan Islam


Selanjutnya, Fadjar menyatakan bahwa apapun perubahan yang
ingin dicapai, kebijakan pengembangan madrasah perlu
mengakomodasi tiga kepentingan berikut ini.
a. Bagaimana kebijakan itu pada dasarnya harus memberi ruang
tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam. Menghadirkan
sistem madrasah dalam pentas pendidikan di Indonesia merupakan
wahana untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman.
b. Bagaimana kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh
keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai
ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan,
berkepribadian, serta produktif.
c. Bagaimana kebijakan itu bisa menjadikan madrasah mampu
merespon tuntutan-tuntutan masa depan. 180
Berdasarkan tiga kepentingna itu, dapat dilakukan pemetaan
sebagai berikut. Kepentingan pertama mengemban misi dakwah,
kepentingan kedua mengemban misi pendidikan, sedangkan
kepentingan ketika mengemban misi pembaharuan. Misi ketiga inilah
yang membingkai setiap upaya untuk melakukan pembaharuan,
peningkatan, maupun pengemabanga manajemen madrasah yang
mengarah pada pencapaian kemajuan. Tampa misi ketiga itu tidak bisa
dibedakan antara satu madrasah dengan madrasah laimya. Karena,
semua madrasah memiliki misi dakwah dan misi pendidikan.
Berpijak kepada misi pembaharuan itulah, upaya perbaikan
madrasah secara terus-menerus dipikirkan secara serius oleh para
pakar atau praktisinya. Dari hasil pemikiran itu, Rahim menyatakan
bahwa paradigma manajemen madrasah harus bergeser dari paradigma
lama ke paradigma baru. Rahim menawarkan 16 macam perubahan
paradigma manajemen madrasah, yaitu sebagai berikut.
a. Dari posisi subordinatif ke posisi otonom.
b. Dari strategi sentralistik ke strategi desentralistik.

180
Fadjar, Visi..., hlm. 121-122; Fadjar, Holistika..., hlm. 239-240

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


c. Dari pengambilan keputusan otoritatif ke pengambilan keputusan
partisipatif.
d. Dari pendekatan birokratik ke pendekatan profesional.
e. Dari model penyeragaman ke model keberagaman.
f. Dari langkah praktis kaku ke langkah praktis luwes.
g. Dari kebiasaan diatur ke kebiasaan berinisiatif.
h. Dari serba regulasi ke deregulasi.
i. Dari kemampuan mengontrol ke kemampuan memengaruhi.
j. Dari kesukaan mengawasi ke kesukaan memfasilitasi.
k. Dari ketakutan dengan risiko ke keberanian mengelola risiko.
l. Dari pembiayaan yang boros ke pembiayaan yang efisien.
m. Dari kecerdasan individual ke kecerdasan kolektif/team work.
n. Dari informasi tertutup ke informasi terbagi/terbuka.
o. Dari pendelegasian ke pemberdayaan.
p. Dari organisasi hierarkis ke organisasi egaliter. 181
Dengan perubahan paradigma manajemen ini, pimpinan madrasah
dituntut untuk melakukan langkah-lankah ke arah perwujudan visi
madrasah: agamis, populis, berkualitas, dan beragam. Langkah-
lanokah tersebut di antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Membangun kepemimpinan madrasah yang kuat dengan
meningkatkan koordinasi, menggerakkan semua komponen
madrasah, menyinergikan semua komponen madrasah,
menyinergikan semua potensi, merangsang perumusan terhadap-
terhadap perwujudan visi dan misi madrasah, serta mengambil
prakarsa yang berani dalam pembaharuan.
b. Menjalankan manajemen madrasah yang terbuka dalam
pengambilan keputusan dan penggunaan keuangan madrasah.
c. Mengembangkan tim kerja yang solid, cerdas dan dinamis.
d. Mengupayakan kemandirian madrasah untuk melakukan langkah
terkait bagi madrasah.
e. Menciptakan proses pembelajaran yang efektif, dengan ciri-ciri

181
Rahim, Arah..., hlm. 21-22

Manajemen Pendidikan Islam


1) Proses itu memberdayakan siswa untuk aktif dan partisipatif;
2) Target pembelajaran sampai dengan pemahaman yang
ekspresif;
3) Mengutamakan proses internalisasi ajaran agama dengan
kesadaran sendiri;
4) Merangsang siswa untuk mempelajari berbagai cara belajar
(learning how to learn); dan
5) Menciptakan semangat yang tinggi dalam menjalankan
tugas.182
Konsep paradigma manajemen baru berikut langkah-langkahnya
yang ditawarkan Rahim bagi madrasah begitu lengkap, tetapi masih
ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk memperkuat
konsep yang ditawarkan tersebut, yaitu sebagai berikut.183
a. Menyederhanakan beban studi.
Filosofinya, lebih baik mata pelajaran sedikit tetapi siswa
menguasainya daripada banyak tetapi serba tidak menguasai.
Maka, mata pelajaran yang tidak ada kelanjutamya pada jenjang
pendidikan di atasnya sebaiknya dihapus.
b. Membangun profesionalisme guru.184
Para guru madrasah harus profesional, mereka harus diberdayakan
mulai dari tingkat pendidikan yang mensyaratkan minimal sarjana
(S-l); pengalaman yang diberdayakan melalui pelatihan,
lokakarya, seminar, dan workshop; kesesuaian keahlian dengan
mata pelajaran yang dibina; kedisiplinan diperketat; mampu
memberi contoh/teladan dalam kehidupan di madrasah maupun di
masyarakat; dan rasa memiliki terhadap madrasah sehingga
mempunyai sense of development.
c. Membangun kesadaran siswa.
Dasar pemikiramya sederhana sekali, bahwa kurikulum sebaik apa
pun, guru seprofesional apa pun, tetapi jika siswa tidak merespons

182
Rahim, Arah... Inlm. 22-23
183
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm. 92
184
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm.92

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


dengan kesadaran belajar, maka pendidikan akan selalu gagal.
Problem pembelajaran sekarang ini bukan lagi pada persoalan
penyampaian materi, tetapi lebih pada persoalan kesadaran belajar
siswa. Kesadaran siswa untuk belajar harus dibangkitkan melalui
pengawasan guru dan orangtua, penanaman semangat untuk
mencapai sukses, pembatasan keluyuran siswa di luar jam
pelajaran, pengendalian kegiatan menonton televisi, upaya
merangsang siswa gemar belajar, upaya melengkapi fasilitas
belajar, dan mereformulasi strategi pembelajaran dengan basis
psikologi.
d. Memperkuat perpustakaan dan laboratorium.
Dua sarana ini termasuk jantung madrasah, sehingga keduanya
harus sehat. Buku-buku referensi perpustakaan harus diperbanyak,
dan harus dipilih sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga benar-
benar dibaca. Sebaiknya, perpustakaan juga dilengkapi dengan
internet sehingga siswa dapat mengakses informasi dengan cepat.
Fungsi laboratorium hendaknya juga terus dimaksimalkan, baik
pada tingkat pengelolaan, penggunaan, inovasi, maupun
macamnya. Ke depan, perlu direncanakan bahwa setiap mata
pelajaran dapat dilengkapi dengan laboratorium. Dengan begitu
kemampuan siswa tidak berhenti pada tataran kognitif, tetapi juga
afektif, psikomotorik, bahkan metakognitif.
e. Membangun strategi pembelajaran yang akseleratif
Tugas terberat bagi para guru madrasah adalah mencari formulasi
baru untuk menyusun strategi pembelajaran yang akseleratif, yaitu
mampu mempercepat penguasaan siswa terhadap pengetahuan,
terutama yang ada dalam mata pelajaran. Ini sungguh berat, tetapi
sangat mulia. Karena, jika berhasil, akan bisa membuktikan
pendidikan yang sejati dengan ciri-ciri mampu mengubah
kesadaran, perilaku, pandangan, semangat, dan prestasi siswa.185

185
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm.93

Manajemen Pendidikan Islam


Strategi ini berbeda dengan kecenderungan lembaga pendidikan
maju sekarang ini. Kebanyakan dari mereka kini hanya tinggal
memilih siswa-siswa yang pandai-pandai lalu dibina sehingga menjadi
lulusan berkualitas. Inilah corak pendidikan yang kapitalistis,
sehingga menimbulkan pertanyaan, "Apakah kualitas lulusan sekolah
tersebut dikarenakan faktor kehebatan strategi pembelajaran atau
karena faktor potensi siswa sebelum masuk ke sekolah tersebut yang
memang sudah pandai?" Sekolah yang maju, favorit, apalagi unggulan
mestinya mampu membuktikan hasil nyata dengan menerima siswa
berkemampuan menengah ke bawah, untuk kemudian digembleng
menjadi siswa dan alumni yang pandai, meskipun hanya satu kelas
dalam setiap angkatan.
Oleh karena itu, madrasah harus berupaya untuk menggembleng
para siswanya yang semula lemah menjadi Siap berkompetisi.
Madrasah harus mampu mengubah kebiasaan malas menjadi rajin,
tidak sadar menjadi penuh kesadaran, pesimisme menjadi optimisme,
lemah semangat menjadi penuh semangat menatap masa depan, pasif
menjadi penuh inisiatif dan kreasi, nakal menjadi taat, dan sifat
minder menjadi penuh percaya diri. Bila madrasah mampu
mengemban misi tersebut, ini merupakan suatu keberhasilan yang luar
biasa.186
f. Membangun asrama siswa.
Jika asrama terwujud, harus ada pengaturan kegiatan pembelajaran
secara kondusif. Ada baiknya pada jam sekolah, pelajaran yang
disajikan dikhususkan pada pelajaran umum hingga sore hari.
Sementara itu, malam harinya dikhususkan untuk pelajaran agama.
Bila pemetaan ini membawa hasil, tujuan awal pendirian madrasah
untuk menjembatani pesantren dan sekolah umum akan betul-betul
terlaksana, karena siswa benarbenar menguasai pelajaran umum
maupun pelajaran agama.

186
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm. 94

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Asrama membawa banyak manfaat akademik, antara lain
proses pembelajaran yang berlangsung hampir 24 jam, interaksi
antara siswa dengan guru maupun sesama siswa yang dapat
merangsang semangat belajar, terbentuknya pribadi yang makin
mandiri, kosentrasi belajar bisa lebih focus karena tidak ada beban
lain selain belajar, memudahkan control dari guru atau kepala
madrasah, dan merupakan wadah yang efektif untuk pemberlakuan
lingkungan bahasa (bi’ah lughawiyah).
g. Menerapkan praktik bahasa Arab dan Inggris secara ketat.
Bahasa adalah alat. Karena itu, bahasa harus benar-benar dikuasai
untuk mempelajari ilmu pengetahuan melalui teks-teks spiritual.
Mata pelajaran di madrasah sebenarnya bisa dengan mudah
dikuasai siswa manakalah mereka menguasai bahasa Arab dan
bahasa Inggris secara baik. Untuk mencapai penguasaan tersebut,
kedua bahasa itu harus dipraktikkan secara ketat, baik melalui
lisan maupun tulisan.
Untuk menjaga intensitas penerapan kedua bahasa itu, ada
beberapa hal yang harus dipenuhi: ketersediaan program yang
jelas dan mengikat semua komunitas madrasah, terdapat contoh
penerapan dari kepala madrasah dan para guru, partisipasi semua
pihak secara aktif, pelaksanaan praktik secara ketat, adanya sangsi
bagi siapapun yang melanggar, peraturan yang dipatuhi bersama,
pengkondisian literature bahasa Arab dan Inggris secara memadai,
serta ditugaskan kepada siswa.

Kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pengeluaran uang


dalam jumlah yang besar tampaknya hanya bisa diaplikasikan bagi
madrasah-madrasah yang agak maju. Di satu sisi, bagi madrasah yang
kondisinya masi sangat memprihatinkan, untuk sementara lebih baik
berkosentrasi pada kelangsungan proses pembelajaran dulu. Jika
Kementerian Agama ingin memberi bantuan pada madrasah,
sebaiknya juga mempertimbangkan pemetaan ini sehingga tepat guna
dan tidak mubazir akibat salah langkah dan/atau salah sasaran.

Manajemen Pendidikan Islam


3. Prospek Madrasah ke Depan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ada berbagai strategi,
langkah, dan kebijakan untuk memecahkan problematika madrasah.
Hendaknya strategi tersebut bisa dilanjutkan untuk membangun
madrasah yang benar-benar memiliki berbagai sisi unggul di masa
depan. Selalu ada harapan madrasah dapat dibentuk menjadi lembaga
pendidikan pilihan masyarakat di masa mendatang, tentunya dengan
melakukan perubahan untuk mencapai kemajuan.187
Kalau pada 1970-an masih banyak orang memandang madrasah
dengan sebelah mata, kini sudah banyak anggota masyarakat
menyebut madrasah sebagai "sekolah Plus". Karena, di samping
memberikan materi umum, madrasah juga menanamkan ajaran agama
yang tidak hanya terbatas pada ranah kognitif, tetapi juga maşuk pada
tataran etika, moral, dan tingkah laku.188 Setidaknya ungkapan
"sekolah Plus” tersebut untuk sementara waktu dapat dibuktikan
secara kuantitatif. Artinya, jika madrasah dibandingkan dengan
sekolah umum dari sisi materi yang dipelajari siswa, tentu saja
pelajaran di madrasah lebih lengkap.
Secara kualitatif, tentunya selalu ada kesempatan yang dapat
dikejar walau banyak tantangan berat yang harus dihadapi. Tantangan
tersebut ada yang bercorak intelektual, sosial, kultural, ekonomi,
politis, dan sebagainya. Semua tantangan ini menghadapkan madrasah
pada posisi yang serba sulit karena ada banyak pilihan sikap yang
harus dijalaninya. Dan, pilihan apa pun yang diterapkan akan
memiliki implikasi- implikasi tertentu bagi siswa, guru, maupun
lembaga.
Menurut Rahim, tantangan yang utama adalah bagaimana
merumuskan secara tepat perkembangan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat kontemporer dan kondisi masa depan sehingga dapat
dilakukan langkah-langkah responsif yang efektif. Kemampuan

187
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm. 96
188
Rahardjo, "Madrasah.. hlm.232

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


merespons tuntutan dan tantangan ini akan menambah optimisme kita
bahwa madrasah dengan visi dan karakternya yang agamis, populis,
berkualitas, serta beragam, akan menjadi model pendidikan pilihan
masa depan dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya. Tentu
saja, perwujudan optimisme itu tergantung pada komitmen umat Islam
dan pola manajemen pengelolaan madrasah itu sendiri.189
Islam telah mengajarkan komitmen yang tinggi dengan garansi
kesuksesan. Ada sebuah ungkapan berbahasa Arab: man jadda wajada
(siapa yang bersungguh-sungguh melakukan suatu pekerjaan, maka
dia akan memperoleh hasil dari kesungguhamya itu). Ungkapan
tersebut secara normatif telah menjadi pijakan umat Islam. Sayangnya,
umat Islam kurang berkomitmen pada tataran aksi. Sikap ini menjadi
faktor yang cukup dominan yang menyebabkan umat Islam lemah.
Sebaliknya, sikap komitmen pada pengembangan madrasah
mengakibatkan konsekuensi bahwa apa pun strategi, langkah, metode,
pendekatan, dan kegiatan harus ditempuh demi mewujudkan madrasah
yang unggul.
Berikutnya, pola manajemen pengelolaan madrasah harus
melibatkan strategi yang sangat khusus. Suprayogo kembali
melukiskan bahwa madrasah yang meraih prestasi unggul, berhasil
justru karena fleksibilitas pengelolaamya. Artinya, jika diperlukan,
pengelola berani mengambil kebijakan atau memutuskan hal-hal yang
berbeda dengan petunjuk formal dari kalangan atas. Untuk
menghidupkan kreativitas para pengelola madrasah-madrasah, perlu
dikembangkan evaluasi yang berorientasi pada produk yang ingin
dicapai. Jika pandangan ini dapat dipahami, maka ukuran kesuksesan
manajer tidak hanya diukur dengan kriteria "Telah terlaksananya
peraturan yang ada", tetapi lebih dari itu, sejauh mana pelaksanaan
peraturan itu melahirkan produk-produk yang diinginkan oleh
berbagai pihak.190

189
Rahim, Arah..., hlm. 24
190
Suprayogo, Reformulasi, hlm. 74

Manajemen Pendidikan Islam


Peluang madrasah untuk tampil sebagai lembaga pendidikan
pilihan masyarakat sangat mungkin diwujudkan melalui strategi
khusus tersebut. Namun, tentunya madrasah dituntut mampu
menunjukkan keunggulan kepribadian, intelektual, dan keterampilan.
Ketiga keunggulan tersebut saling menopang satu sama lain untuk
membentuk integritas kepribadian siswa maupun alumni. Masing-
masing keunggulan itu menjadi kebutuhan riil masyarakat sekarang
ini.
a. Keunggulan kepribadian dibutuhkan masyarakat terutama dalam
menghadapi tantangan budaya Barat yang mengglobal dan dalam
batas-batas tertentu meresahkan masyarakat. Kepribadian unggul
ini harus dapat dibuktikan melalui keimanan yang tangguh,
ketaatan dalam beribadah, akhlak yang mulia, tutur kata dan
tindakan yang santun, pergaulan yang supel, disiplin yang tinggi,
kemampuan menjaga amanat, kemampuan memberi teladan bagi
orang lain, dapat menghormati pendapat orang lain, serta bersikap
terbuka dan lapang dada.
b. Keunggulan intelektual dibutuhkan masyarakat terutama untuk
menghadapi perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Sekarang ini informasi tersebar dengan sangat cepat.
Demikian juga dengan tuntutan perkembangan sains dan teknologi
yang silih berganti dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan
keunggulan intelektual untuk menghadapi hal-hal tersebut. Maka,
madrasah harus mampu menunjukkan keunggulan intelektual di
hadapan publik dengan berbagai bukti. Misalnya, prestasi sehari-
hari siswa sangat baik, hasil ujian akhir negara yang sangat baik,
sering memenangkan berbagai lomba, seperti cerdas cermat,
olimpiade, dan karya ilmiah, tingkat kelulusan yang sangat tinggi,
lulusan yang terbaik dan diterima di sekolah atau pergurúan tinggi
yang favorit.
c. Keunggulan keterampilan sangat dibutuhkan masyarakat sekarang
ini, terutama untuk mengoperasikan produkproduk teknologi
modern, seperti komputer, internet, handphone, laptop, LCD,
Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M
handycam, kamera, dan sebagainya. Para lulusan madrasah
diharapkan tidak sekadar menjadi pengguna (user), tetapi juga
perancang program (progammer). Semua ini tentu saja sejalan
dengan peralihan pola dari negara agraris menuju negara
industrial. Bahkan, di era informasi ini life skill semakin
dibutuhkan untuk melengkapi keahlian para siswa lulusan
madrasah.

Kemampuan untuk mendemonstrasikan kemampuan psikomotorik


dengan lancar, seperti bercakap-cakap, berpidato, dan menulis karya
ilmiah dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris atau
mendemonstrasikan cara kerja rumus-rumus yang telah dipelajari di
sekolah juga termasuk keterampilan yang unggul.
Untuk mewujudkan ketiga macam keunggulan tersebut, perlu
mengondisikan lingkungan belajar yang kondusif. Suatu lingkungan
belajar yang diwarnai keimanan, ketaatan, keteladanan, pembiasaan,
disiplin, semangat mengejar prestasi, semangat menjadi sukses, penuh
inovasi strategi belajar, keinginan menggapai piagam-piagam
kejuaraan, serta praktik, baik di laboratorium maupun dalam
pergaulan sehari-hari.
Oleh karena itu, harus ada tekad bulat dari seluruh jajaran, baik
kepala madrasah, guru, karyawan, siswa, komite madrasah, dan
masyarakat untuk menyukseskan lembaga madrasah menjadi lembaga
yang benar-benar memiliki keunggulan riil yang bisa disaksikan dan
dirasakan bahkan dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan
Iain yang ada di sekitarnya.
D. Manajemen Perguruan Tinggi Islam
Upaya tokoh-tokoh Islam untuk memberdayakan umat Islam di
Indonesia dalam jalur pendidikan juga diwujudkan dengan mendirikan
perguruan tinggi Islam sebagai sebuah lembaga lanjutan. Upaya ini
disempurnakan secara berkesinambungan mulai dari awal hingga

Manajemen Pendidikan Islam


sekarang dengan berbagai terobosan yang bersifat politis, kultural,
sosial, Inaupun birokratik.191
Secara kualitatif, upaya tersebut dapat dinilai berhasil karena
belakangan ini telah bermunculan berbagai perguruan tinggi yang
berlabel Islam. Perguruan tinggi tersebut mulai dari yang berlokasi di
ibu kota (Jakarta) hingga di wilayah kecamatan yang tersebar di
berbagai penjuru pulau Jawa. Bahkan, ada pula dalam satu kecamatan,
terdapat tiga perguruan tinggi Islam seperti yang terjadi di kecamatan
Pacitan, Lamongan. Akan tetapi, secara kualitatif, perguruan tinggi
tersebut masih jauh dari harapan yang ideal sehingga hal ini
membutuhkan penanganan yang lebih propesional dan serius untuk
meningkatkan mutunya.
1. Polarisasi PTAI dan Problematikanya
Dari segi tanggung jawab pengelolaan, Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAI) terpolarisasi menjadi dua, yaitu Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam
Swasta (PTAIS). PTAIN dikelola dan didanai hampir sepenuhnya
Oleh pemerintah/negara, sedangkan PTAIS dikelola dan didanai
hampir sepenuhnya Oleh masyarakat.
Dari segi ruang lingkup program studi yang ditawarkan, PTAIN
terpolarisasi menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN),
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Universitas Islam Negeri
(UIN). Begitu pula PTAIS yang terpolarisasi menjadi sekolah tinggi,
institut, atau universitas dengan menggunakan nama Islam maupun
tokoh Muslim. Di samping itu, PTAIS sebenarnya juga mencakup
ma'had ‘aly (pesantren luhur atau pesantren setingkat perguruan
tinggi) yang menggunakan nama ma'had ‘aly maupun nama IAIN,
seperti Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning (STIKK) di pesantren An-
Nur Bululawang, Malang.192

191
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm. 100
192
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm 101

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Pada umumnya, PTAIN lebih maju dari PTAIS karena PTAIN
memperoleh pendanaan yang lebih memadai, manajemen yang lebih
profesional, kontrol yang lebih ketat, serta dukungan masyarakat yang
lebih kuat dan luas. Namun, secara khusus, dalam kasus-kasus
tertentu, mungkin saja ada perguruan tinggi agama Islam swasta yang
lebih berkualitas daripada perguruan tinggi agama Islam negeri.
Perbedaan kualitas itu tidak hanya terjadi di kalangan perguruan tinggi
Islam, tetapi kecenderungan yang sama juga telah lama terjadi di
kalangan perguruan tinggi umum. Karena itu, kesan yang terbangun di
Indonesia adalah perguruan tinggi negeri, baik yang berlabel Islam
maupun umum, lebih berkualitas daripada perguruan tinggi swasta.
Pengembangan PTAIN menghadapi kendala politis, kultural,
sosial, dan psikologis. Kendala politis itu terjadi misalnya menyangkut
pengembangan kelembagaan seperti Yang terjadi pada zaman Orde
Baru. Pada masa rezim Soeharto sangat sulit mengubah IAIN menjadi
UIN karena tidak didukung oleh good will, political will, maupun
political power dari pemerintah. Perubahan IAIN menjadi UIN baru
bisa terjadi pada 2002.
Akan tetapi, seling berjalannya waktu ketika orde baru berganti
menjadi reformasi, perguruan tinggi Islam kini mengalami
perkembangan dari tahun ke-tahun, hal ini bisa dilihat berdasarkan
data terakhir dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama Republik Indonesia Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
dengan Rekapitulasi PTAIN dan PTAIS hingga saat ini sebaga
berikut193
1. Rekapitulasi PTAIN dengan UIN berjumlah 11, IAIN berjumlah
26 dan STAIN berjumlah 20. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat
pada gambar dibawah ini.

193
Kementerian Agama RI, Rekapitulasi Seluuh PTAI ,
(Diktis.kemenag.go.id/bansos/cari_nspt.php)

Manajemen Pendidikan Islam


Gambar Rekapituasi Seluruh PTAIN

20 SATIN
26
UIN

IAIN
11

2. Rekapitulasi PTAIS diantaranya FAI/Universitas berjumlah 100,


Institut berjumlah 56, dan Sekolah Tinggi berjumlah 607, untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini.194
Gambar Rekapitulasi Seluruh PTAIS

56 100

607

FAI/Universitas Sekolah Tinggi Institut

194
Kementerian Agama RI, Rekapitulasi Seluuh PTAI ,
(Diktis.kemenag.go.id/bansos/cari_nspt.php)

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Dengan berdasarkan data yang ada di atas, hal ini disimpulkan
bahwa, pekembangan PTAIN dan PTAIS di Indonesia telah
mengalami kemajuan selepas lengsernya massa Orde Baru.
2. Solusi Penataan PTAI
Problem-problem serius yang dihadapi oleh PTAI harus segera
diatasi. Pihak yang paling bertanggung jawab adalah para pimpinan
perguruan tinggi agama Islam tersebut karena mereka merupakan
pengendali, meskipun problem-problem itu bisa saja terjadi karena
ulah orang lain. Kemudian, seluruh civitas akademika harus
merespons dengan kompak untuk mendukung pimpinan dalam
mengadakan pembenahan.
Perguruan tinggi Islam harus segera melakukan pembenahan
dalam berbagai aspek, baik yang berhubungan dengan perangkat keras
maupun perangkat lunak dalam rangka menghadapi tantangan masa
depan.195 Kata kuncinya hanya satu, yaitu angrem (menunggui)
kampus yang berlaku bagi para pimpinan dan civitas akademikanya.
Jangan harap anak ayam akan menetas dengan baik jika induk ayam
tidak mau mengerami dengan sungguh- sungguh.196 Sebab,
membangun perguruan tinggi merupakan upaya membangun manusia
profesional-intelektual supaya mereka mampu bergaul di tengah-
tengah komunitas global secara dinamis, kreatif, dan inovatif.197
Tipologi manusia profesional-intelektual tersebut membutuhkan
pelatihan, pendidikan, pengalaman, dan keahlian yang diproses dalam
waktu yang relatif panjang. Karena, di samping terdapat unsur
penanaman pengetahuan juga pembiasaan dalam kehidupan sehari-
hari. Unsur penanaman mungkin dapat dicapai dalam waktu yang
cepat, tetapi pembiasaan membutuhkan proses yang
berkesinambungan, sehingga diperlukan penguatan-penguatan
akademis.

195
Fadjar, Visi..., hlm. 176
196
Fadjar, Holistika..., hlm. 43
197
Fadjar Holistika,,., hlm. 44

Manajemen Pendidikan Islam


Untuk penguatan akademis itu, Fadjar melihat ada beberapa
pemikiran praktis yang perlu diperhatikan berikut ini.
a. Pemeliharaan dan peningkatan stabilitas kelembagaan. Dengan
demikian, citra sebagai lembaga keilmuan melalui berbagai model
dialog, komunikasi timbal-balik, keterbukaan, dan kebebasan yang
bertanggung jawab tetap terjaga.
b. Pemeliharaan serta peningkatan sistem akademik dan
kemahasiswaan. Dengan demikian, perguruan tinggi Islam dapat
menjadi lembaga pendidikan tinggi yang menjunjung pelaksanaan
manajemen belajar-mengajar yang mantap, dengan melalui
pembenahan serta pemenuhan berbagai sarana dan prasarana.
c. Menciptakan suatu model belajar privat (tambahan), yaitu "student
da)'" (misalnya setiap Sabtu) sebagai model pengembangan daya
kreasi dan apresiasi kehidupan kampus.
d. Pembentukan lembaga studi/kajian, seperti pusat studi Islam, pusat
penelitian, dan pusat pembibitan.
e. Pemberian keleluasaan pada tiap-tiap fakultas/jurusan untuk
mengembangkan dan meningkatkan kegiatan kuliah łamu dan
latihan-latihan keahlian dałam berbagai bidang, seperti bahasa,
perpajakan, perbankan, dan sebagainya.198

Selanjutnya, dałam menghadapi kendala politis yang bersifat


eksternal (dari pemerintah) yang terkait dengan pengembangan
kelembagaan dapat diselesaikan melalui cara berikut.
a. Lobi-lobi dari pejabat yang dimulai dari tingkat Dirjen Pendidikan
Islam, Sekretaris Jenderal, bahkan Menteri Agama.
b. Menggalang dukungan dari DPR melalui hearing terutama dengan
komisi VIII
c. Menunjukkan kesiapan konsep, fisik, dan mekanisme kerja.
d. Menunjukkan keseriusan dan komitmen yang tinggi untuk
mengembangkan lembaga menjadi lebih besar.

198
Fadjar, isi..., hlm. 178-179

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Bagi kendala politis yang besifat internal, dapat diselesaikan
dengan cara, yaitu cara kuratif dan preventative. Cara kuaratif dapat
dilaksanakan dengan cara:199
a. Membawa para dosen kedalam suasana akademik;
b. Memperkuat tradisi akademik; dan
c. Mengkreasi kesibukan-kesibukan akademik yang melibatkan
mereka, sehingga mereka tidak sempat “bermain politik”.

Sementara itu, cara preventif diberlakukan dengan:


a. Melakukan penyaringan atau seleksi kepada calon dosen yang
benar-benar mencerminkan sosok akademisi;
b. Menghindarkan diri dari calon dosen/karyawan yang cenderung
terlalu fokus pada bisnis pribadi dan politik kepentingan;
c. Membuat surat perjanjian yang harus ditandatangangani calon
pegawai untuk tidak terlibat dalam politik kepentingan, politik
aliran, politik organisasi, dan politik praktis di dalam kampus.

Dalam menghadapi kendala kultural, pimpinan perguruan tinggi


Islam bisa menempuh beberapa cara berikut ini.
a. Mengharuskan para bawahamya untuk mengadakan perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengontrolan secara ketat.
b. Menggerakkan bawahan pada orientasi kreasi dan kekaryaan.
c. Menggerakkan terwujudnya reading-writing society pada civitas
akademika.
d. Menanamkan semangat berprestasi unggul.
e. Membudayakan kritik konstruktif-argumentatif.
f. Mentradisikan penelitian dan penulisan karya ilmiah.
g. Mendorong keberanian untuk mempublikasikan hasil-hasil karya
ilmiah ke ruang publik.

199
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm 108

Manajemen Pendidikan Islam


Untuk mengatasi kendala sosial atau masyarakat, pemimpin
perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta sebaiknya
melakukan hal-hal berikut.200
a. Penyebaran informasi secara memadai kepada masyarakat luas,
terutama melalui radio kampus.
b. Membangun opini/kesan (image building) tentang berbagai
kelebihan perguruan tinggi Islam.
c. Menggiring masyarakat agar memiliki persepsi yang benar
terhadap perguruan tinggi Islam sesuai dengan realitas yang ada.
d. Mengundang masyarakat ke kampus opada even-even tertentu.
e. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
f. Mengajak masyarakat untuk memasukkan putra-putrinya ke
perguruan tinggi Islam

Adapun dalam mengatasi kendala psikologis, pimpinan perguruan


tinggi Islam seharusnya melakukan hal berikut.201
a. Menanamkan pendidikan berbasis kesadaran di kampus.
b. Mengondisikan lingkungan pembelajaran yang aman dan
menyenangkan.
c. Melaksanakan proses pembelajaran secara ketat.
d. Menggunakan pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran
yang akseleratif.
e. Memiliki perhatian khusus pada mahasiswa yang potensinya
lemah melalui penambahan pembelajaran dan strategi khusus.
f. Melakukan evaluasi secara objektif, ketat, dan menyeluruh
(holistik).
Selanjutnya, dirasa perlu juga melakukan pengelolaan secara
spesifik terkait dengan masing-masing jenis perguruan tinggi Islam
yang dalam beberapa hal memiliki perbedaan karakter.

200
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm 109
201
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm 110

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


3. Penataan IAIN dan STAIN
Dari segi ruang lingkup keilmuan, mestinya IAIN lebih luas
daripada STAIN, tetapi pada pelaksanaamya tidak jauh berbeda.
Hanya saja, IAIN membuka lima fakultas utama, yaitu fakultas
syariah, ushuluddin, adab, tarbiyah, dan dakwah. Sementara itu,
STAIN rata-rata hanya membuka tiga macam fakultas yang kemudian
disebut dengan istilah jurusan. Embrio kelahiran STAIN berasal dari
fakultas cabang IAIN sehingga ada kesamaan kajian dan sejarah.
Untuk itu, pembahasan pada bagian ini lebih difokuskan pada IAIN
dan dimaksudkan juga mencakup STAIN.
IAIN diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban Islami
terhadap tantangan-tantangan zaman. IAIN hendaknya dapat
memberikan warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat Islam
secara keseluruhan. Hal ini dapat dan disebut sebagai ekspektasi sosial
kepada IAIN. Pada saat yang sama, IAIN juga diharapkan mampu
mengembangkan dirinya menjadi pusat studi dan pengembangan
Islam. Ini merupakan ekspektasi akademik kepada IAIN. Dengan
demikian, IAIN memikul dua harapan: social expectations dan
academic expectations.202
Namun, dua ekspektasi ini terkadang berbenturan dalam
perjalanan IAIN. Ketika ekspektasi sosial menjadi dominan, maka
IAIN tampak sebagai lembaga dakwah yang berfungsi menyiarkan
ajaran Islam kepada masyarakat. Namun, saat ekspektasi akademik
menjadi dominan, maka IAIN terasa sebagai lembaga ilmiah yang
senantiasa berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu
pengetahuan Islam. Sekarang ini, harus ditentukan penegasan
ekspektasi yang akan menjadi konsentrasi IAIN guna memperjelas
langkah-langkah berikutnya.
Sebagai perguruan tinggi agama Islam, IAIN bertanggung jawab
dalam usaha mengembangkan ilmu-ilmu agama, dan bukan
mengembangkan dan menetapkan dogma-dogma agama, meskipun

202
Azra, Pendidikan..., hlm. 161

Manajemen Pendidikan Islam


secara tidak langsung hal ini tidak terhindarkan dan sebagai ciri
esensial yang melekat pada ilmu-ilmu agama Islam.203 Di kalangan
IAIN sendiri harus dibangun kesadaran bahwa mengantarkan IAIN
menjadi lembaga akademis merupakan hal yang lebih penting
daripada mempertahankan itu, IAIN sebagai lembaga keagamaan atau
dakwah.204
Ketika IAIN menegaskan identitasnya lebih sebagai lembaga
akademik daripada lembaga dakwah, ada konse dan kuensi-
konsekuensi logis yang harus diwujudkan IAIN dalam serangkaian
langkah dan kegiatamya. IAIN harus berkonsentrasi untuk menjadikan
dirinya pusat kajian keislaman, pusat pengembangan ilmu-ilmu
keislaman, dan pusat penemuan ilmu-ilmu keislaman. Dengan begitu,
kegiatan menulis, menelaah, mengkritis, merumuskan teori,
membangun teori alternative, menggali, meneliti, dan menyajikan
tawaran konsep menjadi kegiatan utama yang menempati garda
terdepan.
IAIN sangat mungkin memainkan peran yang signifikan dalam
pembangunan dan pembaruan sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Bahkan, IAIN telah membuka ruang wawasan pemaknaan dan
penafsiran atas Islam secara luas dan kontekstual.205
Secara rinci, Fuad Jabali dan Jamhari menyatakan tiga peran IAIN
sebagai lembaga pendidikan Islam:
a. IAIN merupakan salah satu jalur terbesar bagi mobilitas
pendidikan kaum santri;
b. IAIN memberikan perspektif modern dan liberal dalam kajian-
kajian keislaman; dan
c. Alumni IAIN banyak yang menjadi guru atau kiai di pesantren.206

203
Mastuhu, Memberdayakan..., hlm. 147
204
Fuad Jabali dan Jamhari (Peny.), IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Logos Wacana 11mu, 2002), hlm. 93

205
Fuad Jabali dan Jamhari (Peny.), IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia,
hlm. 108
206
Rahim, Arah.., hlm. 175

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Perubahan-perubahan yang terjadi belakangan ini merupakan
akibat langsung dari era informasi yang menembus berbagai belahan
bumi dan menuntut sikap responsif. Perubahan ini pada giliramya
mengharuskan IAIN untuk bekerja lebih keras Iagi guna mempertegas
kapasitasnya sebagai perguruan tinggi Islam negeri yang potensial
dalam mengantarkan mahasiswa dan alumninya untuk memasuki
dunia global dengan keahlian yang telah dipersiapkan melalui
pendidikan, pengajaran, pelatihan, penelitian, dan pengkajian di IAIN.
Berkaitan dengan perubahan itu, IAIN sebagai lembaga
pendidikan tinggi perlu mengambil langkah-langkah strategis agar
dapat melakukan antisipasi.207 Umat Islam mengharapkan dan
lahirnya para pemikir, pemimpin, dan ulama terkemuka dari IAIN.
Untuk itu, IAIN harus mampu menciptakan iklim yang produktif
supaya tercipta suasana yang memungkinkan me- tumbuh dan
berkembangnya ide-ide segar berkenaan dengan pengamalan dan
aktualisasi ajaran-ajaran Islam. IAIN dituntut pula memberikan bekal
intelektual dan kepemimpinan yang teruji dengan integritas pribadi
dan akhlak yang mulia sehingga dapat menjadi teladan bagi
masyarakat.208 Ini berarti, IAIN mempunyai tugas sebagai wadah yang
mempersiapkan tumbuhnya penafsir-penafsir Islam yang nantinya
dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas.209
Azyumardi Azra mengajukan beberapa rekomendasi untuk
pengembangan IAIN ke depan, yaitu sebagai berikut.
a. Reformulasi tujuan IAIN
Sebaiknya IAIN lebih memfungsikan diri sebagai pusat penelitian
dan pengembangan pembaruan pemikiran Islam.
b. Restrukturisasi kurikulum

207
Azra, Pendidikan., hlm. 161-162
208
Azra, Pendidikan, hlm. 162
209
Azra, Pendidikan., hlm. 167-168

Manajemen Pendidikan Islam


Perlu dilakukan pengembangan pengusaan dibidang-bidang
Islamic studies dengan prinsip-prinsip dari kerangka teori ilmu-
ilmu umum.
c. Simplikasi beban perkuliahan
Idealnya beban mahsiswa setiap semester tidak lebih dari lima
mata kuliah.
d. Dekompartementalisasi
Sebaiknya tidak ada pembagian kefakultasan dan jurusan dalam
dua tahun pertama agar penguasaan mahasiswa terhadap Islam
lebih komprehensif dan integral.
e. Liberalisasi sistem SKS
Mahasiswa supaya diberi kebebasan memilih program dan dosen
sesuai dengan kecenderungamya masing-masing.210

Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan prioritas


untuk menjadikan IAIN sebagai perguruan tinggi Islam yang benar-
benar berkualitas, yaitu sebagai berikut.
a. Memperkuat trio jantung perguruan tinggi, yaitu dosen,
perpustakaan, dan laboratorium. Ini artinya pendidikan, pelatihan,
pelaksanaan lokakarya, pengalaman, dan penelitian dosen harus
senantiasa ditingkatkan; referensi perpustakaan terutama yang
berbahasa asing harus juga ditingkatkan; dan laboratorium
diupayakan bisa menjangkau/memfasilitasi masing-masing
rumpun mata kuliah.
b. Sistem pembelajaramya berorientasikan pada pendalaman
informasi keilmuan dengan multitinjauan dan multiperspektif
sehingga menggunakan metode kritik dan perbandingan (manhaj
naqdî dan muqâranî).
c. Upaya pengembangan keilmuan ditempuh melalui pendekatan
epistemologi. Suatu pendekatan yang bergerak meluas,
mengembang, menggali, dan menemukan rumus atau teori baru.

210
Azra, Pendidikan., hlm. 167-168

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


d. Memperkuat tradisi penelitian, penulisan karya ilmiah, dan
publikasi ke ruang publik.
e. Memperkuat penguasaan bahasa-bahasa internasional, terutama
bahasa Arab dan Inggris.
f. Membangun jaringan dengan berbagai perguruan tinggi yang
maju, baik di dalam maupun di luar negeri untuk bekerja sama
meningkatkan kualitas pendidikan.
4. Penataan UIN
Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan wujud perkembangan
paling signifikan dari serangkaian perjuangan kelembagaan PTAIN,
setidaknya sampai sekarang ini. Sebab, perubahan dari IAIN, atau
apalagi STAIN, menjadi UIN memiliki implikasi yang luas, baik
menyangkut posisi kelembagaan, peluang pembukaan program studi,
persaingan akademik, maupun penghapusan dikotomi ilmu agama dan
ilmu umum.211
Azyumardi Azra, misalnya, dalam sambutan rektor pada
Prospektu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan:
Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada dasarnya bertujuan untuk mendorong
usaha reintegrasi epistemologi keilmuan yang pada giliramya
menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum. Hal ini penting dalam rangka memberikan landasan moral
Islam terhadap perkembangan iptek dan sekaligus mengartikulasikan
ajaran Islam secara proposional di dalam kehidupan masyarakat.212
Di samping itu, ada dasar pemikiran yang menjadi alasan
berdirinya UIN sebagai sebuah pengembangan kelembagaan yang
kehadiramya telah lama ditunggu-tunggu. Abuddin Nata menjelaskan

211
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm 115

212
Azyumardi Azra, "Sambutan Rektor", Prospektus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta "Wawasan 2010" Leading Toward Research University,
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), hlm. ii

Manajemen Pendidikan Islam


bahwa setidaknya ada lima alasan yang melatar belakangi perlunya
konservasi IAIN menjadi UIN, yaitu sebagai berikut.
a. Ada perubahan jenis pendidikan pada madrasah Aliyah.
b. Ada dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
c. Perubahan IAIN menjadi UIN akan memberikan peluang yang
lebih luas bagi para lulusamya untuk dapat memasuki lapangan
kerja yang luas.
d. Perubahan IAIN menjadi UIN diperlukan dalam rangka
memberikan peluang kepada lulusan IAIN untuk melakukan
mobilitas vertikal, yakni kesempatan dan peran untuk memasuki
medan gerak yang lebih luas.
e. Perubahan IAIN menjadi UIN sejalan dengan tuntutan umat Islam,
yang selain menghendaki adanya pelayanan penyelenggaraan
pendidikan yang profesional dan berkualitas tinggi juga dapat
menawarkan banyak pilihan.213
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, keberadaan UIN bagi umat
Islam Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Artinya, suatu
keharusan untuk diwujudkan dengan pengesahan pemerintah karena
sudah sangat terlambat. Tokoh-tokoh muslim, terutama yang memiliki
perhatian kepada perguruan tinggi Islam, telah lama menggagas
berdirinya UIN. Hanya saja selalu terbentur oleh kebijakan politik
pemerintah Orde Baru yang sangat tertutup dan diskriminatif.
Kehadiran UIN harus dipandang sebagai buah dari perjuangan
yang panjang dan harus disambut dengan respons yang positif-
konstruktif. Setelah perjuangan itu berhasil, langkah berikutnya adalah
mengembangkan UIN supaya benar-benar menjadi perguruan tinggi
yang berkualitas, menjadi rujukan umat Islam Indonesia, memiliki
kewibawaan akademik, menghasilkan berbagai tawaran ilmiah, dan
memiliki pengaruh dalam skala internasional.

213
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 64-69

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Pengembangan UIN ke depan harus berorientasi pada dunia dan
akhirat sehingga mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi
yang dianggap membangun khaira ummah.214 Penyelenggaraan UIN
memerlukan sistem pengelolaan yang lebih baik, terpadu, dan
berkesinambungan, bukan saja untuk memenuhi tuntutan masyarakat
dan bangsa yang sekarang menginginkan reformasi di segala bidang,
tetapi juga harus dapat memerhatikan persaingan dengan kemajuan
yang dihadapi oleh bangsa-bangsa lain terkait dengan era globalisasi
dan era pasar bebas (AFTA, WTO, dan APEC) menjelang tahun 2020
nanti.215
Selain itu, untuk mencapai pendidikan transformative diperlukan
modal pemimpin yang piawai mengelola manajemen universitas
dengan baik, bertindak dan berbicara kepada seluruh anggota civitas
akademika secara komunikatif, mampu bersikap kritis terhadap
kendala-kendala yang meng hambat kemajuan universitas, serta
mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi berbagai
masalah.216 Hal ini membutuhkan figur pemimpin yang benar-benar
profesional untuk mewujudkan kelangsungan dan kemajuan
universitas Islam.
Sebagai universitas yang baru saja lahir, keberadaan UIN tentu
saja masih diliputi berbagai kekurangan dan kelemahan. Maka, para
pitupinan UIN harus sesegera mungkin mengidentifikasi problem atau
214
Qodry Azizy, "Pengembangan UIN dan Integrasi Ilmu Agama", dalam
M. Zaenuddin dan Muhammas In'am Esha (Eds) Horizon Baru Pengembangan
Pendidikan Islam: Upaya Merespons Dinamika Masyarakat Global, (Yogyakarta:
Aditya Media Yogyakarta bekerja sama dengan UIN Press, 2004), hlm. 4
215
Husni Rahim, "UIN dan Tantangan Meretas Dikotomi Keilmuan",
dalam M. Zaenuddin dan Muhammad In'am Esha (Eds) Horizon Baru
Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespons Dinamika Masyarakat
Global, (Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta Bekerja sama dengan UIN Press,
2004), hlm. 66
216
Mudji Rahardjo, "Universitas Islam Negeri (UIN) Malang di Tengah
Perubahan Sosial", dalam M. Zaenuddin dan Muhammad In'am Esha (eds) Horizon
Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespons Dinamika Masyarakat
Global, (Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta bekerja sama dengan UIN Press,
2004), hlm. 138

Manajemen Pendidikan Islam


kelemahan yang dihadapi UIN untuk kemudian dicarikan jalan
keluarnya. Setidaknya, mereka bisa membuat skala prioritas secara
berjenjang sehingga bisa terlihat aspek-aspek apa saja yang perlu
segera mendapat penanganan dan aspek-aspek apa saja yang
penanganamya bisa menyusul kemudian. Kategorisasi prioritas ini
didasarkan pada tingkat kebutuhan UIN sendiri sebagai universitas
yang baru sama sekali.
Terkait dengan skala prioritas pengelolaan itu, Rahim menawarkan
tiga bidang penataan yang utama sebagai berikut.
a. Penataan kelembagaan, Hal ini dilakukan dengan mengkaji ulang
posisi fakultas, program studi, dan konsentrasi dari berbagai
fakultas agama untuk melihat kaitamya dengan visi UIN dan
relevansinya dengan kebutuhan masyarakat.
b. Penataan bidang akademik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
mutu dan relevansi UIN menghadapi tantangan masa depan.
c. Penataan bidang administrasi. Hal ini untuk mengadakan
deregulasi dan pemberdayaan unit-unit pelayanan yang h ada di
UIN.217
Adapun A. Qodry Azizy menawarkan empat macam cara dalam
mengembangkan UIN ke depan, yaitu sebagai berikut.
a. Komitmen moralitas
The UIN shall be a moral institution. Ini yang harus ditunjukkan.
b. Sistem dan iklim
Harus ada kedisiplinan, menghargai waktu, bekerja keras, sanksi
tegas, dan juga reward.
c. Budaya dosen dan mahasiswa
Dosen harus berprestasi, termasuk dalam pengembangan seni dan
budaya, sedang mahasiswa harus bisa menggalakkan diskusi.
Perilaku keseharian sejalan dengan Islam. Gaya berpakaian, jenis
aktivitas, dan sebagainya harus mengarah kepada amaliah Islam.
d. Staf dan jajaran pimpinan

217
Rahim, "UIN..,", hlm. 65-66

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Staf sebagai pelayan masyarakat sehingga orientasinya mengarah
pada masyarakat.218
Dari pemaparan tersebut, akhirnya dapat diajukan beberapa
langkah strategis, yaitu sebagai berikut.
a. Menjaga kelangsungan dan kemajuan fakultas agama sebagai
basis moral. Meskipun ada beberapa fakultas umum yang baru,
tidak selayaknya mengabaikan fakultas agama yang telah lama
eksis.
b. Melakukan peninjauan Islam dari berbagai aspek untuk
menangkap pesan-pesan wahyu yang diyakini memiliki kebenaran
mutlak dan bukan sebaliknya, meninjau teori dari perspektif
wahyu yang berarti mensubordinasikan wahyu pada pikiran
manusia dan mendegradasikan martabat wahyu.
c. Mengadakan lompatan untuk mengejar ketertinggalan dari
universitas negeri, seperti UGM, ITB, UI, dan sebagainya.
d. Menjadikan UIN sebagai kampus yang berbasis epistemologi dan
riset yang mengarah pada temuan-temuan ilmiah.
e. Mengejar reputasi internasional melalui upaya memperoleh hak-
hak paten atas karya-karya yang monumental atau tenutan ilmiah.
f. Membangun jaringan kerja sama internasional dengan berbagai
perguruan tinggi nvaju maupun lembaga Iain yang terkait dengan
penguatan akademik.
g. Memperkuat jantung perguruan tinggi (dosen, perpustakaan, dan
laboratorium) baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
h. Membangun sentra-sentra stilnber finansial untuk mendukung
pengembangan kanpus.
i. Berusaha keras memberikan kontribusi riil kepada masyarakat
sebagai hasil pengembangan sains dan teknologi.
j. Berusaha mewujudkan penerbitan hasil-hasil karya civitas
akademika UIN secara besar-besaran dan berkelanjutan,

218
Azizy, Pengembangan...", hlm. 5

Manajemen Pendidikan Islam


5. Penataan PTAIS

Umumnya, problem yang dihadapi PTAIS lebih para dari STAIN,


IAIN dan UIN. Sebab, kekuatan finansial PTAIS hanya berasal dari
usaha swadaya masyarakat santri yang sangat terbatas dengan
pengelolaan yang kurang profesional. Selain itu, banyak juga PTAIS
yang dimiliki Oleh pribadi atau keluarga tertentu sehingga segala
kebijakan hanya disandarkan pada pemilik pribadi atau keluarga
tersebut. Di samping hal-hal di atas, masih banyak segi kelemahan
laimya, seperti lemahnya semangat bersaing untuk membangun
prestasi.

Oleh karena itu, untuk membangun PTAIS yang memiliki potensi


maju dibutuhkan langkah-langkah atau kebijakan-kebijakan strategis
sebagai berikut.

Menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi maju dan lembaga


terkait untuk penguatan akademik.219
a. Memperkuat pola kepemimpinan inklusif-profesional dengan
mengurangi dominasi kepemimpinan individual atau keluarga.
b. Menggusur kecenderungan dan praktik-praktik yang bersifat
praktis-pragmatis, kemudian mengganti dengan kecenderungan
dan praktik yang bersifat idealis.
c. Memperketat proses perkuliahan dan kelulusan.
d. Memperkuat jantung perguruan tinggi (dosen, perpustakaan, dan
laboratorium), baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
e. Mewujudkan pembelajaran yang berbasis epistemologidan riset
yang mengarah pada penemuan karya-karya ilmiah.
f. Memfasilitasi publikasi karya-karya ilmiah dari civitas akademika.
g. Aktif menggali sumber-sumber finansial yang bersifat permanen
selain dana rutin dari SPP mahasiswa.

219
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm 120

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


h. Menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi maju dan lembaga
terkait untuk penguatan akademik.
6. Penataan Ma’had ‘Aly

Ma’had ‘Aly merupakan perkembangan terbaru dalam pendidikan


berbasis pesantren. Ma’had ‘Aly sebagai pesantren luhur atau
pesantren tingkat perguruan tinggi, memiliki keunikan tertentu dan
sekaligus masih membutuhkan banyak pembenahan dari berbagai sisi.
Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan berikut ini perlu memperoleh
perhatian.220

a. Mempertegas orientasi kelembagaan pada orientasi akademik yang


mandoro dan mendalam
b. Memperkuat penguasaan epistemologi dan metodologi.
c. Mentradisikan riset dan penulisan karya ilmiah
d. Menggali Mutiara pengetahuan keislaman klasik.
e. Menyempurnakan metode dan pendekatan keislaman yang telah
dihasilkan para ulama klasik.
f. Mentradisikan penerapan metode yang kritis, dialogis, dan
komparatif.
g. Aktif memfasilitasi publikasi karya-karya ilmiah yang dihasilkan
para kiai, ustadz, maupun santri,.
h. Membentuk lembaga yang berfungsi untuk memberikan
pemecahan masalah keagamaan kepada masyarakat sekitar,
semacam bahts al-masail sehingga memiliki kontribusi yang nyata
bagi kepentingan yang lebih luas.
i. Mempertahankan tradisi penguasaan dan telaah kitab-kitab Islam
klasik di kalangan dosen maupun mahasiswa.

220
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,,,hlm 121

Manajemen Pendidikan Islam


DAFTAR PUSTAKA

Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta:


Sekretariat Ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1990)

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Ke-1
(Jakarta: Prenada Media, 2006),

Abu Abdillah Muhammad bin ‘Abd al-Wahid bin Ahmad al-Hanbali


al-Muqaddisi, al-Ahadits al-Muhtarah, Jilid I, (Makkah
Mukarramah: Maktabah al-Nahdhah al-Haditsah, 1410 H)

Ahmad bin al-Husein bn Ali bin Mussa Abu Bakr a-Baihaqi, Sunnan
al-Baihaqi al-Kubra, Jilid I, (Makkah Mukarrohmah:
Maktabah Dar al-Baz, 1994/1414H)

Ahmad bin Abi Bakr bin Ismai’il al-Kunani, Mishbah al-Zujajah fi


Zawaid ibni Majah, Jilid III, (Beirut: Dar al-‘Arabiyah, 1403)

Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi Bek, Mukhtar al-Ahadis al-Nabawiyyah


wa al-Hikam al-Muhammadiyah, (Mesir: Mthaba’ah Hijaziy
bi al-Qahirah, 1367 H/1948 M)

Abi al-Qasim Abd. al-Karim bin Hawazan al-Qusyarir al-Naisabury,


al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-TaSawwuf, (Mesir: Dar
al-Khair, tp. th.)

Ahmad Fuad al-Ahwaniy, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-


Ma’arif, tp.th)

Ali Khalil Abul A’inain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-


Qur’an al-Karim, cet. ke-1 (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabiy,
1980),

Ali bin Abi Bakr al-Haitami, Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-


Fawaid, Jilid IV, (Kairo: Dar al-Rayan li al-Tsurats, 1407 H)

A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta:


Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah
Indonesia (LP3NI), 1998)

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005)

A. Malik Fadjar, 'Pendahuluan: Strategi Pengembangan Pendidikan


Islam dalam Era Globalisasi", dalam M. Zainuddin dan
Muhammad In' am Esha (Eds), Horison Baru Pengembangan
Pendidikan Islam: Upaya Merespons Dinamika Masyarakat
Global, (Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta Bekerja sama
dengan UIN Press), hlm. xxi-xxii

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju


Milenium Baru, (Jakarta: PT Logos Wacana Iltnu, 1999)

Abdurahman Mas'ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan


Tradisi, (Yogyakarta: LKIS, 2004)

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju


Millenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (t.tp. CV. Dharma


Bhakti, et)

Azyumardi Azra, "Sambutan Rektor", Prospektus UIN Syarif


Hidayatullah Jakarta "Wawasan 2010" Leading Toward
Research University, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006)

Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan


Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2003)

Abdul Munir Mulkhan, Humanisasi Pendidikan Islam, dalam Jurnal


Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan: Tashwirul
Afkar, Edisi No.11, (Jakarta: LAKPESDAM dan TAE 2001)

Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam,


dalam Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998)

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,


(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998)

Manajemen Pendidikan Islam


Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam,
dalam Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998)

Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar


Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta:
SIPRESS, 1993)

Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, al-Mujallid al-


Rabi’, (Beirut: Dar al-Fikr, t,t)

Ahmad al-Hasyim Bek, Mukhtart al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-


Hikam al-Muhammadiyah, (Mesir: Mathb’ah Hijazi, 1367
H/1948 M)

Ahmad al-Hasyim Bek, Mukhtart al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-


Hikam al-Muhammadiyah, Op. cit.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. ke-


2(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)

Burhan al-Din al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum,


(Surabaya: Salim Nabhan, t.t)

Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model


Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan,
(Jakarta: Prenada Media, 2004)

E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks


Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003)

E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan


Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003)

Fuad Jabali dan Jamhari (Peny.), IAIN: Modernisasi Islam di


Indonesia, (Jakarta: PT Logos Wacana 11mu, 2002)

Hans Wehr, Mu’jam al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’asharah (A


Dictionary of Modern Written Arabic) (Ed), J. Milton Cowan,

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


(Beirut: Librarie Du Liban & London: Macdonald & Evans
LTD, 1974)

H.M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Cet. Kedua


(Bandung: Mizan, 1996).

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi


dan Pendidikan, Cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986).

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, cet. ket-1 (Jakarta:


Pustaka al-Husna, 1978)

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.


Logos Wacana Ilmu, 2001)

Husni Rahim, "UIN dan Tantangan Meretas Dikotomi Keilmuan",


dalam M. Zaenuddin dan Muhammad In'am Esha (Eds)
Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya
Merespons Dinamika Masyarakat Global, (Yogyakarta:
Aditya Media Yogyakarta Bekerja sama dengan UIN Press,
2004)

H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT


Rineka Cipta, 2000)

Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi


Konflik Masyarakat Pesantren, (Yogyakarta: Pilar Religia,
2005)

H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. ke-5 (Jakarta: Kalam


Mulia, 2002)

Ibn Sina, Al-Isyarat wa al-Tanbihat, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tp.th),


hlm. 189; Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut:
Dar al-Fikr, tp.th)

Ibnu Hamzah al-Hasaniy, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-


Hadits, (ttp: al-Maktabah al-Ilmiah, 1983)

Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar dari


Sentralisasi Menuju Desentralisasi, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2003)

Manajemen Pendidikan Islam


Imas Maesaroh, "Total Quality Management dalam Pengembangan
SDM Pondok Pesantren", dalam A. Halim et.al. (eds),
Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005)

Imam Suprayogo, Reformasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: STAIN


Press, 1999)

Ismail SIVI, Nurul Huda dan Abdul Kholiq, (Eds), Dinamika


Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Kerja sama Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2002)

Jaja Jahari dan Amirulloh Syarbini, Manajemen Madrasah:Teori,


Strategi dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2013)

Jamal Mahdi, Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh:


Tinjauan Manajemen Kepemimpinan Islam, terj: Anang
Syafrudin dan Ahmad Fauzan, (Bandung: PT Syamil Cipta
Media, 2002)

Jasa Ungguh Muliawan, Epistemologi Pendidikan, (Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press, 2008)

Jasa Ungguh Muliawan, Manajemen Play Group dan Taman Kanak-


kanak, (Yogyakarta: DIVA Press, 2009)

Jasa Ungguh Muliawan, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali


Pers, 2015)

Jejeng Musfah, Manajemen Pendidikan: Teori, Kebijakan, dan


Praktik (Jakarta: Kencana, 2015)

John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia,


(Jakarta: PT. Gramedia dan Ithaca and London : Cornell
University Press, 2003)

Joy A. Palmer (ed), 50 Pemikir Pendidikan dari Giaget sampai Masa


Sekarang, (ahli bahasa) Farid Assifa, dari judul asli Fifty
Modern Thinkers on Education, (Yogyakarta: Jendela, 2003)

Karim al-Bastani, dkk, al-Munjid fi Lughah wa A’lam, (Beirut: Dar


al-Masyriq, 1875)

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur'an Departemen Agama RI, Syaamil
Al-Qur'an Terjemah Per-kata, (Bandung: CV Haekal Media
Center, 2007)

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,


1996)

Masyhud, M. Sulthon dan Moh. Khusnuridho, Manajemen Pondok


Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003)

Mastuhu, Memberdayakan Sistern Pendidikan Islam, (Jakarta: PT


Logos Wacana Ilmu, 1999)

M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta:


Bumi Aksara, 1991)

Martin Van Bruinessen, "Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska


Khitah 26: Pergulatan NU Delade 90-an", dalam Elyasa K.M
Akarwis, Gus Dur dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKIS,
1994)

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya


Agung, tp.th.)

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz 1, (Kairo: Dar al-


Manar, 1373 H),

Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah,


(terj), Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)

Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: PT. Gelora


Aksara Pratama, 2007)

Mujamil Qomar, "Manajemen Madrasah dalam Menatap Masa Depan:


Sebuah Upaya Memberdayakan Pengelola Madrasah", (Jurnal
Ilmiah Tarbiyah, Vol. 23, No. 8, Juni 2002)

Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologis Menuju


Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005)

Manajemen Pendidikan Islam


Mujamil Qomar, "Perencanaan: Suatu Proses yang Terabaikan dalam
Sistem Pendidikan Islam", Majalah Tarbiyah Tulungagung
IAIN Sunan Ampel, No. 9, Tahun V, 1993

Mujamil Qomar, Dekontruksi Tradisi Pemikiran Islam: Beberapa


Agenda Alternatif Pemikiran Paradigmatik Bagi Cendekiawan
Muslim Indonesia, (Tulungagung: STAIN, 2004)

Mohammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan,


(terj) oleh H. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, dari al-
Tarbiyah al-Islamiyah, cet. ke-2 (Jakarta: Bulan Bintang,
1974).

M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Muhammad Ali-Shabuni, Shafwat al-Tafsair, Jilid IV, (Beirut: Dar al-


Fikr, tt)

Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah al-Bukhary al-Ja’fi, al-Jami al-


Shahih al-Muhtashar, Jilid I, (Beirut: Dar ibn Katsir,
1987/1407).

Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Basti,


Shahih ibni Hibban Bitartib ibni Bilban, Jilid I, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1993/1414 H)

Muhammad bin Yazid Abu Abdillah al-Qazwini, Sunnan Ibni Majah,


Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, tt).

M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridho, Manajemen Pondok


Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003)

Moh. Ali Azis, "Makna Manajemen dan Komunikasi bagi


Pengembangan Pesantren", dalam A. Halim et.al. (Eds),
Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005)

Muslih Usa (editor), Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita dan


Fakta, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1991)

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.


Edisi kedua. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999)

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M


Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan
Islam, (terj) Butami A.Gani dan Djohar Bahru, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974)

M. Zaenuddin dan Muhammas In'am Esha (Eds) Horizon Baru


Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespons
Dinamika Masyarakat Global, (Yogyakarta: Aditya Media
Yogyakarta bekerja sama dengan UIN Press, 2004)

Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dab


Praktek, Cet. ke-3(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001),


Edisi II

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan,


(Jakarta: Paramadina, 1992)

Nur Syam, "Kepemimpinan dalam Pengembangan Pondok Pesantren',


dalam A. Halim et.al (eds), Manajemen Pesantren,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005)

Osman Bakar, Hierarki Ilmu (Membangun Rangka Pikir Islamisasi


Ilmu), (Bandung: Mizan, 1997)

Panduan Manajemen sekolah, http: Direktorat Pendidikan Menengah


Umum Depdikbud, 1999

Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai


Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999)

Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, (Bandung: PT


Al-Ma'arif, t.t)

Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, Ed. Riri Manan,


(Jakarta: Rineka Cipta, 1995)

SM., Nurul Huda dan Abdul Khaliq (Eds), Dinamika Pesantren dan
Madrasah, (Yogyakarta: Kerja sama Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang dengan Pustaka Belajar)

Manajemen Pendidikan Islam


Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)

Sufyarman, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan Islam (Bandung:


Alfabeta, 2003)

UU RI No. 21 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (tkp:


Pustaka Widyatama, tt)

Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, al-Juz al-


Tsani, cet. ket-3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M)

Dr. Hj. Siti Asiah Tjabolo, M.M

Anda mungkin juga menyukai