Anda di halaman 1dari 10

Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup

Remaja

Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat
menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju
kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan
seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang
berlaku di sekitar remaja.

Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian,
jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan
kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah
memilih arah dalam berkelompok.

Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh
masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya,
yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat
pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa
apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami.
Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang
memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya
berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok
semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan
apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila
bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang
bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.

Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan
kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau
tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba,
mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran,
merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan
pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak
berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak",
membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama
kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan
dalam berbagai prilaku negatif.

Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah
hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi
negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja
menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu
menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi,
dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua
anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu
bersifat menular.

Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki
kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam
konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali
tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja.
Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan
di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak
perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.

Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu
saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja.
Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan
karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada
remaja.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan
nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik
terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home.
Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan
keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.

Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi
dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri
dari apa yang mereka inginkan.

Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia,
dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk
memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.

Kenakalan Remaja, Peran Orang Tua, Guru dan Lingkungan

Sebenarnya menjaga sikap dan tindak tanduk positif itu tidak hanya tanggung jawab para
guru dan keluarganya, tetapi semua orang, Guru yang selalu mengusahakan keluarganya
menjadi garda terdepan dalam memberikan pendidikan dengan sebuah contoh, adalah
cerminan komitmen dan pendalaman makna dari seorang guru. Sang guru harus berusaha
agar keluarganya baik dan tidak korupsi agar ia dapat mengajari kepada murid-muridnya
yang merupakan remaja generasi penerus bangsa memiliki moral dan ahlak baik dan tidak
korupsi, berusaha tidak berbohong agar murid-muridnya sebagai remaja yang baik tidak
menjadi pendusta, tidak terjaebak dalam kenakalan remaja.

Guru adalah profesi yang mulia dan tidak mudah dilaksanakan serta memiliki posisi yang
sangat luhur di masyarakat. Semua orang pasti akan membenarkan pernyataan ini jika
mengerti sejauh mana peran dan tanggung jawab seorang guru . Sejak saya baru berusia 6
tahun hingga dewasa, orang tua saya yang merupakan seorang guru, selalu memberikan
instruksi yang mengingatkan kami para anak-anaknya adalah anak seorang guru yang harus
selalu menjaga tingkah laku agar selalu baik dan jangan sampai melakukan sebuah kesalahan
. Seberat itukah, seharus itukah kami bertindak Lantas apa hubungan profesi orang tua
dengan dengan anak-anaknya, apakah hanya anak seorang guru yang harus demikian ?.

Peran guru tidak hanya sebatas tugas yang harus dilaksanakan di depan kelas saja, tetapi
seluruh hidupnya memang harus di dedikasikan untuk pendidikan. Tidak hanya
menyampaikan teori-teori akademis saja tetapi suri tauladan yang digambarkan dengan
perilaku seorang guru dalam kehidupan sehari-hari.

Terkesannya seorang Guru adalah sosok orang sempurna yang di tuntut tidak melakukan
kesalahan sedikitpun, sedikit saja sang guru salah dalam bertutur kata itu akan tertanam
sangat mendalam dalam sanubari para remaja. Jika sang guru mempunyai kebiasaan buruk
dan itu di ketahui oleh sang murid, tidak ayal jika itu akan dijadikan referensi bagi para
remaja yang lain tentang pembenaran kesalahan yang sedang ia lakukan, dan ini dapat
menjadi satu penyebab, alasan mengapa terjadi kenakalan remaja.

Sepertinya filosofi sang guru ini layak untuk di jadikan filosofi hidup, karena hampir setiap
orang akan menjadi seorang ayah dan ibu yang notabenenya merupakan guru yang terdekat
bagi anak-anak penerus bangsa ini. Akan sulit bagi seorang ayah untuk melarang anak
remajanya untuk tidak merokok jika seorang ayahnya adalah perokok. Akan sulit bagi
seorang ibu untuk mengajari anak-anak remaja untuk selalu jujur, jika dirumah sang ibu
selalu berdusta kepada ayah dan lingkungannya, atau sebaliknya. jadi bagaimana mungkin
orang tua melarang remaja untuk tidak nakal sementara mereka sendiri nakal?

Suatu siang saya agak miris melihat seorang remaja SMP sedang asik mengisap sebatang
rokok bersama adik kelasnya yang masih di SD, itu terlihat dari seragam yang dikenakan dan
usianya memang terbilang masih remaja. Siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini.
Apakah sianak remaja tersebut, sepertinya tidak adil kalau kita hanya menyalahkan si anak
remaja itu saja, anak itu terlahir bagaikan selembar kertas yang masih putih, mau jadi seperti
apa kelak di hari tuanya tergantung dengan tinta dan menulis apa pada selembar kertas putih
itu . Orang pertama yang patut disalahkan mungkin adalah guru, baik guru yang ada di rumah
( orang tua ), di sekolah ( guru), atau pun lingkungannya hingga secara tanpa disadari
mencetak para remaja tersebut untuk melakukan perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam
kenakalan remaja.

Peran orang tua yang bertanggung jawab terhadap keselamatan para remaja tentunya tidak
membiarkan anaknya terlena dengan fasilitas-fasilitas yang dapat menenggelamkan si anak
remaja kedalam kenakalan remaja, kontrol yang baik dengan selalu memberikan pendidikan
moral dan agama yang baik diharapkan akan dapat membimbing si anak remaja ke jalan yang
benar, bagaimana orang tua dapat mendidik anaknya menjadi remaja yang sholeh sedangkan
orang tuanya jarang menjalankan sesuatu yang mencerminkan kesholehan, ke masjid
misalnya. Jadi jangan heran apabila terjadi kenakalan remaja, karena sang remaja mencontoh
pola kenakalan para orang tua

Tidak mudah memang untuk menjadi seorang guru. Menjadi guru diharapkan tidak hanya
didasari oleh gaji guru yang akan dinaikkan, bukan merupakan pilihan terakhir setelah tidak
dapat berprofesi di bidang yang lain, tidak juga karena peluang. Selayaknya cita-cita untuk
menjadi guru didasari oleh sebuah idealisme yang luhur, untuk menciptakan para remaja
sebagai generasi penerus yang berkualitas.

Sebaiknya Guru tidak hanya dipandang sebagai profesi saja, tetapi adalah bagian hidup dan
idialisme seorang guru memang harus dijunjung setinggi-tingginya. Idealisme itu seharusnya
tidak tergantikan oleh apapun termasuk uang. Namun guru adalah manusia, sekuat-kuatnya
manusia bertahan dia tetaplah manusia, jika terpaan cobaan itu terlalu kuat manusia juga
dapat melakukan kesalahan.

Akhir akhir ini ada berita di media masa yang sangat meruntuhkan citra sang guru adalah
berita tentang pencabulan Oknum guru terhadap anak didiknya. Kalau pepatah mengatakan
guru kencing bediri murid kencing berlari itu benar, berarti satu orang guru melakukan itu
berapa orang murid yang lebih parah dari itu, hingga akhirnya menciptakan pola kenakalan
remaja yang sangat tidak ingin kita harapkan.

Gejala-gejala ini telah menunjukan kebenarannya. Kita ambil saja kasus siswa remaja mesum
yang dilakukan oleh para remaja belia seperti misalnya kasus-kasus di remaja mesum di
taman sari Pangkalpinang ibukota provinsi Bangka Belitung, lokasi remaja pacaran di bukit
dealova pangkalpinang, dan remaja Ayam kampus yang mulai marak di tambah lagi foto-foto
syur remaja SMP jebus, ini menunjukkan bahwa pepatah itu menujukkan kebenarannya.

Kerja team yang terdiri dari orang tua (sebagai guru dirumah), Guru di sekolah, dan
Lingkungan (sebagai Guru saat anak-anak, para remaja bermain dan belajar) harus di bentuk.
diawali dengan komunikasi yang baik antara orang tua dan guru di sekolah, pertemuan yang
intensif antara keduanya akan saling memberikan informasi yang sangat mendukung bagi
pendidikan para remaja. Peran Lingkungan pun harus lebih peduli, dengan menganggap para
remaja yang ada di lingkungannya adalah tanggung jawab bersama, tentunya lingkungan pun
akan dapat memberikan informasi yang benar kepada orang tua tentang tindak tanduk si
remaja tersebut dan kemudian dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangannya agar
tidak terjebak dalam kenakalan remaja.

terlihat betapa peran orang tua sangat memegang peranan penting dalam membentuk pola
perilaku para remaja, setelah semua informasi tentang pertumbuhan anaknya di dapat, orang
tuapun harus pandai mengelola informasi itu dengan benar.

Terlepas dari baik buruknya seorang guru nampaknya filosofi seorang guru dapat dijadikan
pegangan bagi kita semua terutama bagi para orang tua untuk menangkal kenakalan remaja,
mari kita bersama-sama untuk menjadi guru bagi anak-anak dan para remaja kita para remaja
belia, dengan selalu memberi contoh kebenaran dan memberi dorongan untuk berbuat
kebenaran. Sang guru bagi para remaja adalah Orang tua, guru sekolah dan lingkungan
tempat ia di besarkan. Seandainya sang guru dapat memberi teladan yang baik mudah-
mudahan generasi remaja kita akan ada di jalan yang benar dan selamat dari budaya
"kenakalan remaja" yang merusak kehidupan dan masa depan para remaja, semoga.

Kolaborasi Gaya Hidup Remaja, Sastra, Media dan Internet

Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para sastrawan dari generasi
Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun. Sastra bagi remaja perkotaan juga bukanlah
sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat
cerpen, puisi, dan esai-esai serius. Sastra remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang
terekspresikan dalam medium-medium baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra
remaja perkotaan saat ini adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah
sastra sebelumnya. Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para
kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah sastra resmi ini sama halnya
dengan sejarah pada umumnya yang berpihak pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan
muatan subjektivitas yang juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja
perkotaan secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan tidak eksis.
Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil remaja perkotaan sekarang.

Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang


kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang
terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra
tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun
pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup
menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim
sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja.
Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis
generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk
melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap
yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun
silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan.

Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang
apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus
menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira
Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai
“kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang
kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak,
masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa
atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan
inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia
tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni
Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi
lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber
Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua
novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh
Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis
cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas)
dan puluhan bukunya telah diterbitkan.

Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya
membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah
terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan.
Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan
untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa
adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan
upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih
mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya.
Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan
menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang
baru, segar, dan sama sekali berbeda.

Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai
bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-
novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja,
GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi
dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup
remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti
sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk
mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi
ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi
remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan.
Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan
zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita.

Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya
menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-
bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar
apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar
apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun
yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-
sikap seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja
perkotaan.

Gaya Hidup Remaja dan Media

Semua jenis media, baik itu Internet, televisi, film, musik, maupun majalah, berpengaruh
besar terhadap gaya hidup kita masa kini. Kebanyakan media menginformasikan tentang gaya
hidup remaja kota, yang notabene meniru gaya hidup modern. Maka, tidak heran jika kita
digiring menjadi sangat konsumtif.

Masa remaja adalah masa pencarian identitas. Kita sebagai remaja mulai mencari gaya hidup
yang pas dan sesuai dengan selera. Kita juga mulai mencari seorang idola atau tokoh
identifikasi yang bisa dijadikan panutan, baik dalam pencarian gaya hidup, gaya bicara,
penampilan, dan lain-lain. Imbasnya banyak kita jumpai teman-teman dengan berbagai
atributnya yang sebenarnya mereka hanya meniru-niru saja. Sadar tidak sih kalau saat ini
banyak sekali sinetron remaja yang menawarkan life style baru? Para bintang muda yang
digandrungi ternyata mampu mengubah style remaja.

Pada masa remaja pengaruh idola memang sangat kuat. Idola atau tokoh akan mengendalikan
hidup kita yang mungkin tanpa kita sadari. Nah, di sinilah media

Namun, apakah benar bahwa media sedemikian buruk pengaruhnya bagi remaja? Sebenarnya
tidak seratus persen demikian. Hal ini menjadi tantangan bagi kita untuk memilah-milah atau
selektif terhadap pesan yang disampaikan oleh media. Karena, tidak bisa dimungkiri bahwa
keberadaan media mutlak diperlukan. Karena, pada suatu sisi media memungkinkan kita
untuk tahu beragam informasi, berita, penemuan, dan hal-hal baru. Atau bisa disimpulkan
bahwa sebenarnya hadirnya media berpengaruh positif dan juga negatif.

Keberadaan media memang tidak lepas dari kepentingan pasar. Dengan demikian, kalau kita
tidak selektif terhadap pesan media, kita akan menjadi korban media. tidak salah memang
ketika kita membeli sebuah produk berdasarkan informasi dari media. Namun, yang perlu
diingat, seberapa perlu produk yang kita beli itu bagi diri kita. Apakah kita memang
membutuhkan produk itu ataukah karena kita terpengaruh oleh iming-iming yang
disampaikan oleh media.

Remaja : Jangan memaksakan diri

tidak ada salahnya memang untuk tampil menarik seperti yang banyak diiklankan di media,
dengan sebagian produk yang ditawarkan untuk membantu mewujudkan impian itu. Juga
merupakan sesuatu yang wajar untuk pergi berbelanja membeli barang-barang kesukaan.
Namun, yang mesti kita ingat, jangan memaksakan diri. Kalau kita ikuti perkembangan mode
pakaian, misalnya, kalau tidak pantas, ya tidak usah dibeli, sebaiknya kita sesuaikan dengan
diri kita. Singkatnya sih tidak harus mengikuti tren yang ada, tetapi yang penting nyaman di
tubuh kita. Pokoknya yang penting kita percaya diri, nyaman dengan diri sendiri, menerima
apa adanya, love yourself. Bahkan, akan lebih oke lagi kalau kita bisa menunjukkan
kelebihan-kelebihan kita yang lain.

Nah, jelaskan? Media memang punya dampak positif dan negatif. Kita harus arif
menyikapinya. Cara gampang adalah mengenali diri kita sendiri dan mengenali apa yang
menurut kita sangat penting. Mengenali apa yang kita sukai, apa yang bisa kita toleransi dari
orang lain dan hal-hal yang membuat kita merasa mantap. Kalau setelah kita renungkan
semua berbeda dari apa yang benar versi media, itu artinya kita harus segera ambil strategi.
So, jangan menelan secara mentah-mentah apa yang diinformasikan media sehingga tidak
begitu saja menjadi korban media.

Peran Orang Tua terhadap Perkembangan Anak dan Remaja

Pentingnya Peran Orang tua terhadap Pendidikan Anak


di era Moderenisasi

Anak adalah anugerah dari sang pencipta, orang tua yang melahirkan anak harus bertangung
jawab terutama dalam soal mendidiknya, baik ayah sebagai kepala keluarga maupun ibu
sebagai pengurus rumah tangga. Keikutsertaan orang tua dalam mendidik anak merupakan
awal keberhasilan orang tua dalam keluarganya apabila sang anak menuruti perintah orang
tuanya terlebih lagi sang anak menjalani didikan sesuai dengan perintah agama.

Bobroknya moral seorang anak dan remaja bisa diakibatkan salah satu kesalahan dari
orangtuanya seperti dalam hal mendidik anak terlalu keras. keluarga yang sedang bermasalah
(broken home). Hal tersebut dapat membuat anak menjadi orang yang temperamental.
Kebanyakan dari orang tua tidak memikirkan hal ini, mereka berasumsi jika mereka
menjalani hidup sebagaimana yang sedang mereka jalani, peran pengasuhan akan terus
dengan sendirinya.

Dalam era modernisasi sekarang ini, peran penting orang tua sangat dibutuhkan. Berkenaan
dengan perkembangan kecanggihan teknologi. Sesuatu yang tidak dapat dihindari bahwa
teknologi berkembang dengan pesat sehingga penggunaannya banyak digunakan tidak
semestinya, Teknologi IT yang paling sering digunakan para anak muda sekarang adalah
akses internet yang mudah ditemui, padahal pemerintah sudah mengeluarkan undang-undang
anti pornoaksi dan pornografi tapi masih saja mereka kerap mengakses konten yang berbau
negatif. Yang jelas dapat merusak moral sang anak. Teknologi canggih yang semestinya
diciptakan untuk menambah wawasan malah berakibat pada moral yang jelek.

Pergaulan merupakan interaksi antara beberapa orang baik berupa kekeluargaan, organisasi,
ataupun masyarakat. Melalui pergaulan kita akan berkembang karena jadi tahu tentang tata
cara bergaul. Sehingga menjadikan individu yang bersosial karena pada dasarnya manusia
memang makhluk sosial. Namun pergaulan di era modernisasi ini telah banyak disalah
artikan terutama dikalangan anak muda. Sekarang kata-kata pergaulan bebas sudah tidak
asing lagi didengar oleh siapapun dan jelas termasuk dalam kategori pergaulan yang negatif.

Pergaulan yang negatif adalah salah satu dari sekian banyak penyebab kehancuran sang anak.
Saat ini dapat kita lihat banyaknya sistem pergaulan kawula muda yang mengadopsi gaya ala
barat (westernisasi) dimana etika pergaulan ketimuran telah pupus, mungkin anda pernah atau
bahkan sering mendengar kata-kata MBA (married by accident). MBA tampaknya sudah
menjadi tren dikalangan remaja dimana melakukan hubungan seks sebelum menikah banyak
dilakukan pada saat pacaran. Anak-anak muda sudah menganggap tradisi ini hal yang biasa
dilakukan pada saat pacaran bahkan ada yang tidak segan-segan untuk merekam adegan
mesum tersebut untuk disebarkan dan ditonton dikhalayak ramai. Apakah ini bukan
kehancuran bagi sang anak?. Jawabannya tentu saja iya.

Satu lagi permasalahan yang sering ditakuti oleh orang tua yaitu narkoba, sudah jelas barang
haram ini dikategorikan sebagai barang berbahaya dan terlarang yang bisa merusak generasi
muda. Narkoba menjadi jurang kehancuran bagi sang anak. Ironisnya memakai barang haram
ini juga sudah menjadi tren remaja sekarang dengan anggapan bila mengkonsumsi barang ini
akan menjadi senang atau yang dikenal dengan bahasa gaulnya (fly). Padahal sudah jelas
menurut kesehatan mengkonsumsi barang-barang sejenis narkoba sangat merusak kesehatan
terutama pada sistem syaraf apalagi dengan mengkonsumsi barang ini akan membuat
ketagihan dan ketergantungan, ini sungguh menakutkan.

Apakah kita sebagai orang tua ingin melihat anak hancur masa depannya karena kesalahan
yang tidak semestinya terjadi? Di sinilah peran penting orang tua dalam mengontrol dan
mengawasi sang buah hati. Menjadi orang tua bukan soal siapa kita, tetapi apa yang
dilakukan. Pengasuhan tidak hanya mencakup tindakan tetapi mencakup pula apa yang kita
kehendaki agar sang buah hati kita mengerti akan hidup. Apa artinya hidup dan bagaimana
menjalani kehidupan ini dengan baik.

Semua pasti ingin menghendaki hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Orang tua ingin
mendisiplinkan, mendorong, dan menasihati agar mereka berhasil menjalani kehidupan sedari
kanak-kanak hingga sampai dewasa. Orang tua harus menjadi yang terbaik dalam hal apapun.
Banyak orang tua ingin mendorong anaknya untuk melakukan hal yang terbaik dalam
kehidupannya. Termasuk ingin membuat buah hatinya untuk bebas mengeluarkan dan
menggali bakat dan minat yang dimiliki sang anak.

Hal yang semestinya dipahami adalah banyak anak mengalami kesulitan untuk membedakan
antara menerima atau menolak tindakan atas apa yang mereka lakukan. Misalnya saja
penerimaan orang tua terhadap prestasi yang dimiliki atau dicapai anak bisa dianggap anak
sebagai rasa cinta orangtua kepadanya,tetapi penolakan yang dilakukan orang tua terhadap
tindakan yang dilakukan anak membuat anak beranggapan mereka tidak dicintai dan
disayangi lagi. Setiap anak perlu tahu kalau mereka disayangi dan dicintai orang tua dengan
sepenuh hati, meskipun sebaliknya, setiap orang tua harus mencintai dan menyayangi sang
buah hati tanpa syarat apapun, baik buruknya sifat maupun sikap yang dimiliki sang buah
hati, mereka harus menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh anak.

Semua anak ingin diperhatikan kedua orang tuanya. Pernyatan ini sangat sederhana bagi kita
semua, tetapi sifatnya fundamental bagi kedua orang dalam mengasuh buah hati mereka.
Karenanya dalam pola pengasuhan sebaiknya setiap orang tua tidak boleh membedakan anak
satu sama lain.

Kita juga tidak semestinya membedakan buah hati mereka, baik dalam mendidik maupun
memberikan perhatian kepada sang anak. Harus ada rasa keadilan, tidak boleh pilih kasih,
karena akan menimbulkan kecemburuan diantara anak. Yang ditakutkan nanti akan membuat
anak menjadi rusak, bahkan berpikir kalau mereka tidak disayangi lagi, bahkan ada anak
yang beranggapan kalau mereka itu bukan anak dari orang tua mereka sendiri, karena selalu
dibeda-bedakan dengan yang lainnya.

Orang tua tidak seharusnya memperlihatkan emosi yang negatif kepada anak-ananya.
Ketidakmampuan setiap orang tua dalam mengontrol emosi membuat anak menjadi
temperamental dan mempunyai sifat maupun sikap yang buruk yaitu mudah emosional.
Akibatnya orang tua yang demikian tidak bisa menjadi model atau peran yang baik untuk
anak-anaknya dalam mengontrol anak dan mengasuh buah hatinya.

Tujuan orang tua sebenarnya untuk mengkomunikasikan kepada buah hatinya bahwa mereka
memiliki hak untuk merasakan apapun yang mereka rasakan, Mengajari sang buah hati untuk
menghargai dan menikmati setiap saat dalam kehidupan sehingga mampu memberi motivasi
kepada anak dalam mencegah serta menghadapi masalah yang mereka hadapi kedepan.

Terkadang orang tua sering lupa untuk berinteraksi dengan anak- anaknya. Ada diantara
mereka yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada melakukan hal itu. Bagi mereka hal itu
tidak perlu dilakukan. Mereka beranggapan bahwa materi yang dibutuhkan anak, Padahal
seorang anak tidak hanya membutuhkan materi namun juga perhatian dan interaksi dengan
orangtuanya. Mereka membutuhkan komunikasi dengan orang tuanya, mereka juga ingin
bertukar pikiran dengan orang tuanya. Mereka ingin menceritakan pegalaman apa yang
mereka rasakan sehari-hari baik itu pangalaman yang baik maupun pengalaman yang buruk.

Sekali lagi yang perlu diingat oleh kedua orang tua adalah jika seorang anak atau remaja
kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, besar kemungkinan dia akan menjadi seorang
anak dan remaja yang temperamental. Sang anak menjadi bebas dalam melakukan segala hal,
baik itu dalam hal kebaikan maupun keburukan. Sebagai orangtua seharusnya memiliki
kemampuan untuk memusatkan perhatian pada perilaku positif serta tak lupa pada perilaku
buruk sang anak.

Sebagai orang tua yang baik, jangan melihat keburukan atau kebaikan. Namun lihatlah dari
tata cara bergaul sang anak, dengan siapa bergaul, bagaimana luas pergaulannya. Bukan
sekedar untuk membatasi sang anak dalam bergaul namun diharapkan impian melihat anak
sukses mengarungi kehidupan tanpa mengalami kesalahan dalam pergaulan baik
dilingkungan keluarga, atau lingkungan luar menjadi sebuah kenyataan. Manfaatnya kembali
ke orang tua, sebab sang anak lalu menjadi orang yang menghargai kedua orang tua.

Anda mungkin juga menyukai