Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN KONSTIPASI PADA

LANSIA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konstipasi atau hemoroid adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang,
atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan
dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh
darah balik (vena),sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan
feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar.

Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut; terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30 – 40 % orang di atas usia 65 tahun
mengeluh konstipasi . Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun
merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia sekitar
20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada
wanita dibanding pria. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991,
sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-
anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.

Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya konstipasi pada lansia seperti


kurangnya gerakan fisik, makanan yang kurang sekali mengandung serat, kurang
minum, akibat pemberian obat-obat tertentu dan lain-lain. Akibatnya, pengosongan isi
usus menjadi sulit terjadi atau isi usus menjadi tertahan. Pada konstipasi, kotoran di
dalam usus menjadi keras dan kering, dan pada keadaan yang berat dapat terjadi
akibat yang lebih berat berupa penyumbatan pada usus disertai rasa sakit pada daerah
perut.

Anamnesis merupakan hal yang terpenting untuk mengungkapkan etiologi dan factor-
faktor risiko penyebab konstipasi, sedangkan pemeriksaan fisik pada umumnya tidak
mendapatkan kelainan yang jelas. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan
banyak informasi yang berguna. Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang intensif
dikerjakan secara selektif setelah 3 sampai 6 bulan pengobatan konstipasi kurang
berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan masalah konstipasi?

1.3. Tujuan

Tujuan Umum :

Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan


masalah konstipasi.

Tujuan Khusus :

1. Mengetahui definisi konstipasi.


2. Mengetahui epidemiologi lansia dengan konstipasi.
3. Mengetahui etiologi konstipasi.
4. Mengetahui patofisiologi konstipasi.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari konstipasi.
6. Mengetahui penatalaksanaan lansia dengan konstipasi.
7. Mengetahui WOC dari lansia dengan konstipasi.

1.4. Manfaat

1. Mengetahui perjalanan penyakit yang terjadi sehingga dapat memberikan


asuhan keperawatan yang tepat.
2. Menambah pengetahuan khususnya di bidang keperawatan gerontik sebagai
referensi dalam memberikan asuhan keperawatan.
3. Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien lansia dengan konstipasi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya
kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-
kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000).

Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada
umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan
terdapat variasi yang berlainan antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah
konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih
kaburnya hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang
sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau
keduanya yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).

Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air
besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang
air besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan
dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi
klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari.
Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi
(cheskin dkk, 1990).

2.2 Epidemiologi

Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi
yang berlangsung singkat adalah normal (ASCRS, 2002). Menurut National Health
Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh
menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Hal
ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun dan
menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar (NIDDK,
2000).

Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun
mengeluhkan konstipasi (Holson, 2002). Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas
usia 65 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar
(Cheskin, dkk 1990). Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh
mendrita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria (Robert-Thomson,
1989). Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang usia lanjut usia di atas 65 tahun
menunjukkan sekitar 34% wanita dan 26% pria meneluh menderita konstipasi
(Harari, 1989).

2.3 Etiologi

Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf,
tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal
untuk defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh
penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.

Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:

1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik,


golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat
besi, antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis,
neuropati diabetic.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB,
mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner.
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia,
volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia
kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang
olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah parut

2.4 Patofisiologi

Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos
dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran
yang baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB.

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang
diikuti relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis
yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB
dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan
isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan
tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.baik persyarafan simpatis
dan para simpatis terlibat dalam proses ini.

Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup


beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan
perjalanan saluran cerna. Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena
berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan
pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya
waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma beta- endorfin yang
meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus. Ini
dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi
tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat
kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan
dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan
lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya
mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf
pudendus dengan kelemahan lebih lanjut.

2.5 Manifestasi Klinis

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS,


2002)

1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB


2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rectum saat BAB
6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
8. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses
9. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB

2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Tatalaksana non farmakologik


a) Cairan

Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada
kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya
6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan
dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien,
demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih
banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.

b) Serat

Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit
(transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10
gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20
per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-
kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan meningkatkan masa tinja
dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri
kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan
gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan
dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon.
Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan
buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali
menimbulkan ketidakpatuhan obat.

c) Bowel training

Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air
besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya
penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal
yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada
pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah
memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan
kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk
buang air besar, waktu yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan
makan malam.

d) Latihan jasmani

Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat
bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam
setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat
tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat
tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah salah satu
cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring
dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan
diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk
merangsang gerakan usus.

e) Evaluasi penggunaan obat

Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk


mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan
menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang
potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung
menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis kalsium).
Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula
menyebabkan konstipasi.

2.6.2 Tatalaksana farmakologik

a) Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)

Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada
merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk,
dan senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural
sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak
menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti
bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada orang
usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga
harus diimbangi dengan asupan cairan.

b) Pelembut tinja

Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai
pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan,
menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam
memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang
kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus
dicegah.

c) Pencahar stimulan

Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna
meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan
evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh
pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau
elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian.
Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai dengan
10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum
tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus
ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki
absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada
usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria untuk
mendapatka efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat
menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin,
melainkan sekitar 3 kali seminggu.

d) Pencahar hiperosmolar

Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon
keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam
dengan melepaskan karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini
secara osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses.
Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit pada
sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang mengalami konstipasi. Laktulosa dan
sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi
pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama
empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial
yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif.
Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk
supositoria.

e) Enema

Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang
kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan
secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring
mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun,
pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema
yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan
rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air
sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.

2.7 WOC (terlampir)


Download : WOC ASKEP KONSTIPASI LANSIA

BAB 3

TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 KASUS

Tn. A berusia 65 tahun datang ke poli umum dengan keluhan tidak bisa buang air
besar selama seminggu.Setelah 1 minggu Tn.A bisa BAB dan mengalami nyeri saat
defekasi. Tn. A merasakan nyeri dan penuh perjuangan dalam mengejan. Saat dikaji,
klien mengatakan bentuk fesesnya keras dalam minggu ini sampai sekarang. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan :

TD : 150 / 90 mmHg

HR : 106x/menit

RR : 22x/menit

TB : 158 cm

Bising Usus : 2 x/menit

3.2 PENGKAJIAN

1. I. BIODATA

Tgl. Pengkajian : 20 November 2009

Nama : Tn. A Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 65 tahun Status Perkawinan : Duda

Agama : Islam Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Tidak ada Alamat : Jl. Mawar


Tgl masuk : 19 November 2008 Ruang : Poli Umum

Diagnosa Medis : Konstipasi

Penanggung Jawab

Nama : Tn. P

Hubungan dengan klien : Anak klien

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Gunung Sari

II. Keluhan Utama

Tn. A mengatakan nyeri saat buang air besar.

III. Riwayat Kesehatan Sekarang

Tn. A mengatakan bahwa sakitnya sudah 1 minggu terakhir ini dan Tn. A juga
merasakan perutnya terasa penuh. Klien juga mengatakan bahwa susah buang air
besar dan sering buang angin selama 1 minggu terakhir ini.

IV. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

1. Penyakit yang pernah dialami

Klien mengatakan tidak pernah rawat inap di rumah sakit karena tidak pernah
mengalami penyakit yang parah sebelumnya, paling hanya sakit ringan yaitu demam,
flu.

1. Tindakan yang dilakukan

Klien mengatakan bahwa paling hanya dengan obat-obat yang


dijual di warung dan kebetulan cocok (2 sampai 3 hari sembuh).

1. Riwayat operasi

Klien mengatakan tidak pernah di operasi.


1. Riwayat alergi

Klien mengatakan tidak ada riwayat alergi. Klien tidak mempunyai pantangan
makanan apapun.

V. Riwayat / Keadaan Psikososial

1. Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.


2. Persepsi klien tentang penyakitnya : Klien menganggap penyakitnya
mengganggu aktifitas dan mengurangi nafsu makannya. Namun klien tetap
bersyukur semua yang dideritanya dan menganggap semua sakit yang
dideritanya tersebut sebagai cobaan dari Tuhan.
3. Konsep diri
1. Body image

Tidak ada masalah dengan body image

1. Ideal diri

Klien mengharapkan dan selalu berdoa kepada Tuhan YME agar diberikan ketabahan
dalam menghadapi penyakitnya dan kesembuhan walau tidak terlalu mengharap.

1. Harga diri

Klien senang tinggal di panti karena tercukupi semua kebutuhannya, dan bebas
melakukan apa saja yang diinginkan.

1. Peran diri

Klien seorang duda yang telah ditinggal istrinya karena meninggal kurang lebih 10
tahun lalu. Dari perkawinannya klien memiliki 1 orang anak.

1. Personal identity

Klien merupakan anggota panti Tresna Werdha Abdi di wisma Teratai. Klien
merupakan duda dengan 1 anak.

1. Keadaan Emosi

Keadaan emosi klien dalam keadaan stabil.

1. Perhatian terhadap orang lain/lawan bicara


Klien tampak memperhatikan dan menanggapi setiap pertanyaan yang diberikan
kepadanya.

1. Hubungan dengan keluarga

Harmonis dengan keluarga yang ada dan masuk ke panti karena keinginan klien
sendiri yang tidak mau menyusahkan keluarga terutama anaknya yang telah berumah
tangga.

1. Hubungan dengan orang lain

Baik, klien mau bergaul dengan sesama warga panti terutama dengan anggota satu
wisma.

1. Kegemaran

Menonton televisi dan duduk-duduk di ruang tamu wisma

1. Daya adaptasi

Klien dapat beradaptasi dengan warga di panti walaupun klien kurang bisa mengikuti
kegiatan yang ada di panti seperti pengajian, gotong royong dan senam pagi karena
keterbatasan karena penyakitnya.

1. Mekanisme Pertahanan diri

Klien memiliki pertahanan diri yang efektif

VI. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum: klien dalam kondisi baik namun teraba adanya distensi
abdomen
2. Pemeriksaan B1- B6

a) Brain : Kesadaran compos mentis

b) Breath : RR: 22 kali /menit, tidak ada suara nafas tambahan

c) Blood : TD: 150/90 mmHg; HR: 106x/menit; tidak ada anemia

d) Bowel : Sulit BAB, saat BAB terasa nyeri,terdapat distensi abdomen dengan
lingkar perut 50 cm, bising usus 2x/menit ( kurang terdengar ), sering buang angin.
e) Bladder : normal, 1200cc/ hari, warna kuning

f) Bone : normal

VII. Pola Kebiasaan sehari-hari

1. Pola tidur dan kebiasaan

 Waktu tidur : siang ± ½ jam dan malam ± 6-7 jam


 Waktu bangun : klien bangun umumnya/seringnya jam

05.00 WIB

 Masalah tidur : tidak ada masalah

1. Pola Eliminasi

1. BAB : tidak lancar dan tidak ada penggunaan laksativ, riwayat perdarahan,
tidak ada dan saat mengkaji tidak terjadi diare, karakter feses: Klien mengatakan
fesesnya keras.

2. BAK : Pola BAK : ± 5-10 x/hari dan tidak terjadi inkontinensia, Karakter
urin: kuning, Jumlah urine : 1200 ml/hari, tidak ada rasa nyeri/rasa terbakar/kesulitan
BAK, tidak ada penggunaan diuretik

1. Pola makan dan minum


2. Gejala (Subjektif)

 Diit type : Jenis makanan yaitu makanan biasa dan jumlah makanan per hari 3
piring dalam per hari. Jarang makan sayur. Kurang suka makanan berserat.
Minum 5 gelas sehari
 Kehilangan selera makan : perut terasa penuh

1. Tanda Objektif

TB: 158 cm bentuk tubuh: normal

1. Waktu pemberian makanan : pagi, siang dan sore


2. Jumlah dan jenis makanan: 1 piring sekali makan dan jenis makanan adalah
makanan biasa
3. Waktu pemberian minuman: Pengambilan air putih terserah/sesuka hati dan
bila teh manis atau susu 2x/hari pagi dan sore hari
1. Kebersihan/Personal Higiene

 Pemeliharaan tubuh/ mandi 2x/hari


 Pemeliharaan gigi/gosok gigi 2x/hari
 Pemeliharaan kuku/pemotongan kuku kalau panjang

1. Pola Kegiatan/Aktivitas

 Klien tidak memiliki kegiatan rutin karena penyakitnya, hanya jalan-jalan


sebentar dan kadang-kadang berbincang-bincang dengan sesama penghuni
wisma.

ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


Data Subjektif: Usia yang lanjut Konstipasi

Klien mengatakan sulit BAB


selama 1 minggu ini
Penurunan respon terhadap
Data Objektif: dorongan defekasi

 BAB 1x/minggu
 Feses keras
Gangguan
 Bising usus koordinasi reflek defekasi
 Teraba Skibala

Penumpukan feses

Konstipasi
Data Subjektif: Penatalaksanaan penyakit Kurang pengetahuan

Klien mengatakan
permintaan informasi serta
menyatakan bahwa klien Ketidakakuratan mengikuti
kurang mengerti manfaat
makanan berserat instruksi

Data Objektif: Permintaan informasi

Ketidak-akuratan mengikuti
pola diet yang sehat

Kurang pengetahuan

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan respon terhadap dorongan


defekasi
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang pola diet
yang sehat.

NO. DIAGNOSA TUJUAN/ INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN
KRITERIA HASIL
1. Konstipasi b.d. Tujuan: 1. Pastikan 1. Membantu
penurunan respon defekasi menentukan
terhadap dorongan Pola defekasi normal klien intervensi
defekasi sebelumnya selanjutnya
dan pola diet
klien 2. Cairan membantu
Kriteria hasil: pergerakan cairan,
kopi bersifat
 Defekasi 3x diuretic dan
seminggu 1. Dorong menarik cairan
 Konsistensi asupan 3. Cairan dapat
feses lunak harian bertindak sebagai
sedikitnya 2 stimulus untuk
liter cairan, evakuasi feses
batas kopi 2-
3x/hari
2. Anjurkan 3 4. Meningkatkan
gelas air penggunaan
hangat yang optimal otot
diminum 30 abdomen dan efek
mnt sebelum gravitasi optimal
sarapan
3. Ajari klien
untuk posisi
semi jongkok
normal saat
defekasi

3. Kurangnya Tujuan : 1. Kaji ulang 1. Memberikan dasar


pengetahuan. proses pengetahuan
Klien dapat penyakit, dimana klien
mengetahui faktor pengalaman dapat membantu
predisposisi, klien. pilihan informasi
pencegahan, terapi.
kekambuhan, deteksi,
serta terapi 2. Dapat merupakan
farmakologi. membantu klien
mengalami
1. Dorong perasaan
klien/orang rehabilitasi vital.
Kriteria Hasil: terdekat
untuk
 Klien dapat menyatakan
memahami rasa 1. Keluarga dapat
proses takut/perasaa mengetahui proses
penyakit/progn n dan perawatan serta
osis. perhatian. pengobatan klien.
 Klien dapat 2. Dorong
mengidentifikas keluarga
i hubungan secara aktif
tanda/gejala dalam proses 1. Eliminasi usus
proses perawatan klien berjalan
penyakit. dan normal
pengobatan
 Klien mampu klien.
melakukan
perubahan pola 3. Berikan
hidup. informasi
 Klien mampu tentang pola
ikut aktif dalam diet yang
berpartisipasi sehat dan
dalam program tinggi serat.
pengobatan.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya
kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-
kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar. Konstipasi
merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan
dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan
konstipasi. Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpulan
sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam
menanggapi sinyal untuk defekaasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang
disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus
otot.

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah kesulitan


memulai dan menyelesaikan BAB, mengejan keras saat BAB, massa feses yang keras
dan sulit keluar, perasaan tidak tuntas saat BAB, sakit pada daerah rectum saat BAB,
rasa sakit pada daerah perut saat BAB, adanya perembesan feses cair pada pakaian
dalam, menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses dan menggunakan
obat-obat pencahar untuk bisa BAB. Penatalaksanaan konstipasi pada lansia dengan
tatalaksana non farmakologik : cairan, serat, bowel training, latihan jasmani, evaluasi
panggunaan obat. Tatalaksana farmakologik : pencahar pembentuk tinja, pelembut
tinja, pencahar stimulant, pencahar hiperosmolar dan enema.

SARAN

Lansia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus manjaga kebutuhan nutrisi


yang seimbang seperti memenuhi asupan cairan yang cukup dan makan makanan
yang bergizi dan cukup serat, selain itu lansia harus bisa menjaga aktivitas yang
cukup dengan olah raga agar tidak terjadi konstipasi. Sebagai perawat kita harus
dapat memberikan arahan dan edukasi kepada lansia dan keluarga tentang
pencegahan dan penanganan dini bila terjadi konstipasi.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta:
EGC

Darmojo, Boedhi&Martono, Hadi. 2006. Buku Ajar Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia


Lanjut). Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia

Doenges, E. Marlyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC

Maryam, R Siti. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika

Noedhi, Darmojo. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta: Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Pudjiastuti, Surini Sri. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC

Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC
KONSEP DASAR LANJUT USIA

Usia 55 tahun di Indonesia merupakan indikasi seseorang memasuki lanjut usia. Proses
penuaan dipicu oleh laju peningkatan radikal bebas dan sistem penawar racun yang semakin
berubah seiring berjalannya usia.

Faktor-faktor proses penuaan ; faktor genetik, faktor endogenik dan faktor eksogenik (faktor
lingkungan dan gaya hidup) yang akan mempengaruhi kesepatan proses penuaan.

- Faktor genetik ;
1. Penuaan diri.
2. Resiko penyakit.
3. Intelegensia.
4. Pharmakogenetik.
5. Warna kulit.
6. Tipe atau kepribadian seseorang.

- Faktor endogenik ;
1. Perubahan struktural dan penurunan fungsional.
2.Kemampuan/skill.
3. Daya adaptasi.
4. Kapasitas kulit untuk mensintesis vitamin D.

- Faktor lingkungan ;
1. Diet/asupan zat gizi.
2. Merokok.
3. Tingkat polusi.
4. Pendidikan.
5. Obat.
6. Penyinaran sinar ultraviolet.

Mengendalikan proses penuaan


Penuaan diri dapat dikendalikan dengan cara berikut :
- Meningkatkan kualitas hidup lansia, mencegah apa yang dapat dicegah, mengontrol,
menunda dan memperbaiki apa yang tidak dapat dicegah.
- Memperbaiki gaya hidup dengan mengkombinasikan diet, aktifitas fisik, terapi medis dan
farmakologis.

Kecanggihan tekhnologi kedokteran dalam mengendalikan proses penuaan seperti bedah


kosmetik, terapi hormon dan rekayasa genetika mempunyai nilai positif dan negatif yang
harus dipertimbangkan. Rahasia tetap muda dengan kesehatan fisik dan mental yang prima
hanya didapat dengan menerapkan gaya hidup sehat sedini mungkin.

Perubahan-perubahan pada lansia ;


a. Perubahan fisik
- Komposisi tubuh
1. Peningkatan jumlah lemak.
2. Penurunan kekuatan otot.
3. Penurunan/pengurangan air tubuh.
4. Penurunan massa tulang.

- Sistem pencernaan
1. Gigi.
2. Penurunan sensitifitas indera penciuman dan perasa.
3. Penurunan produksi asam lambung dan enzim pencernaan.
4. Penurunan absorbsi.
5. Penurunan motilitas usus.
6. Obat-obatan.
7. Perubahan fungsi hati.

- Penurunan sistem kekebalan tubuh

- Sistem jantung
Efesiensi kerja jantung dalam memompa darah menjadi berkurang.

- Sistem pernafasan
Penurunan fungsi paru.

- Otak dan sistem saraf


Penurunan kemampuan otak dan penurunan daya ingat.

- Sistem metabolisme dan hormon


Penurunan fungsi hormon didalam tubuh.

- Sistem ekskresi
Penurunan fungsi ginjal.

- Masa tulang
Berkurangnya massa tulang.
b. Perubahan mental
Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan mental ;
- Tipe kepribadian.
- Faktor sosial.
- Faktor budaya.

Perubahan mental pada lansia dapat dikurangi dengan sikap positif masyarakat pada lansia,
dengan cara ;
- Tidak menilai lansia sebagai orang lusuh, lemah, siap dibuang dan beban bagi orang lain.
- Para lansia harus merasa sebagai orang baru dan menjadikan masa lansia sebagai massa
yang menggairahkan.
- Penurunan kemampuan dan penyakit jangan dijadikan beban, tetapi harus terus dimotifasi
untuk meningkatkan disiplin dalam mencapai kesehatan yang prima.
- Bangkitkan optimisme dalam menciptakan kesehatan dan kebugaran pada lansia.

Datangnya berbagai penyakit pada lansia ;


Faktor gizi turut berpengaruh terhadap munculnya berbagai penyakit pada lansia. Penyakit-
penyakit yang umum menjangkiti lansia ;
- Rematik.
- Hypertensi.
- Jantung koroner.
- Diabetes Melitus.
- Osteoporosis.
- Kanker.
- Kepikunan.
- Malnutrisi.
- Katarak.
- Anemia.
- Anoreksia.
- Konstipasi.
- Dehidrasi.

Kiat bugar di usia lanjut


- Perhatikan dan tangani masalah diet, asupan zat gizi dan penggunaan obat pada lansia.
- Perbaiki faktor mental pada lansia.
- Tingkatkan aktifitas fisik lansia.

Diet, gizi dan obat


a. Masalah-masalah seputar diet lansia.
- Masalah sensitifitas indera penciuman dan perasa.
Adaptasi yang dapat dilakukan pada perubahan sensitifitas ;
1. Hilangkan image pilihan terhadap suatu makanan merupakan faktor genetik dan tidak bisa
diubah.
2. Pilihlan makanan secara bertahap sesuai dengan kondisi lansia yang dapat menunjang
kebugaran.
3. Kurangi konsumsi makanan yang dapat menurunkan kepekaan indera.
4. Kurangi konsumsi makanan yang dapat menstimulus penurunan kepekaan indera perasa.
5. Sabar dalam melakukan perubahan dalam pilihan makanan.
6. Singkirkan gaya hidup keliru dan mengikuti trend.
7. Memotifasi usaha perubahan.

- Masalah pengunyahan.
Tips untuk mengatasi masalah pengunyahan pada lansia ;
1. Makanan yang disajikan harus lembut, agak berair.
2. Makanan dipotong menjadi bagian yang kecil.
3. Sertakan minuman atau cairan didalam makanan.
4. Konsultasi dengan ahli diet atau dokter, jika mengalami kesulitan pengunyahan yang
cukup serius.

- Masalah pola makan dan keadaan gizi lansia.


Hal ini terjadi akibat perubahan pola makan yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan
yang dialaminya, baik secara fisik dan mental. Perubahan dapat berasal dari lingkungan
maupun dari kondisi kesehatannya.

b. Gizi lansia.
Kondisi gizi yang baik pada lansia ditentukan oleh hal berikut ;
1. Kesehatan sel-sel tubuh.
2. Penerapan pedoman diet lansia untuk memenuhi kecukupan gizi.
3. Pengawasan penggunaan obat pada lansia sehingga tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap penyerapan zat gizi yang akan membahayakan kesehatan tubuh.

Pedoman diet lansia agar hidup sehat dan bugar ;


1. Menerapkan pola makan beragam dan bergizi seimbang.
2. Membatasi asupan energi dan lemak.
3. Perhatikan konsumsi komponen gizi yang penting untuk menunjang kebugaran.
4. Membiasakan mengkonsumsi serat dan cairan yang cukup setiap hari.

c. Penggunaan obat pada lansia.


Pedoman penggunaan obat ;
1. Obat harus digunakan secara rasional ; tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis
serta waspada terhadap efek samping obat.
2. Perhatikan pengaruh konsumsi makanan terhadap aktifitas khasiat obat.
3. Konsultasikan selalu dengan dokter, waktu penggunaan obat, jenis obat yang tepat serta
dosis yang tepat.

Penggunaan obat yang aman dan menyehatkan ;


- Selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum menggunakan obat.
- Sebelum melakukan pengobatan lakukan review dengan dokter mengenai obat yang telah
diberikan.
- Perhatikan selalu informasi yang tercantum didalam label kemasan obat.
- Disiplin dalam menggunakan obat.
- Hindari frekwensi penggunaan obat yang berlebihan.

Latihan fisik pada lansia


Hal yang perlu diperhatikan ;
- Perhitungkan kemampuan fisik.
- Lakukan latihan pemanasan cukup lama sebelum latihan inti.
- Perhatikan kemampuan awal sebelum membuat program latihan.
- Tingkatkan proporsi latihan secara bertahap, teratur dan sistematis.
- Jangan menjatuhkan kepala ke belakang.
- Jangan melakukan hiperekstensi pada punggung dalam posisi berdiri.
- Jangan lakukan gerakan yang cepat pada kepala.
- Hindari beban yang berlebihan.

Latihan fisik untuk lansia ;


- Aktifitas aerobik, misal ; Jalan kaki, jogging, melompat, bersepeda, senam dan berenang.
- Lakukan gerakan kepala ke samping dan ke depan.
- Ulangi gerakan sebanyak 8 – 16 kali.
- Kelenturan dapat dilatih dengan memperbanyak aktifitas fisik dalam kehidupan sehari-hari.
- Latihan menggunakan beban yang bertujuan untuk memperkuat otot dan tulang.

Perlu diperhatikan ;
1. Naikan beban perlahan.
2. Hindari cidera.
3. Lakukan 3 kali/minggu atau 2 kali/minggu.
- Bagi penderita hypertensi, jantung atau masalah peredaran darah sebaiknya tubuh
menggunakan beban waktu jalan.
- Mereka yang memiliki masalah pada leher, punggung dan lengan jangan menggunakan
beban.
- Lakukan pengulangan (rutin) sehingga lama beban itu terasa semakin ringan.

Diabetes Melitus (Definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik,


pemeriksaan diagnostik, asuhan keperawatan)

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian mengenai Diabetes Melitus oleh
beberapa orang ahli, diantaranya :
a. Diabetes melitus adalah penyakit kronis metabolisme abnormal yang memerlukan
pengobatan seumur hidup dengan diet, latihan, dan obat-obatan (Carpenito, 1999 :
143).
b. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang
melibatkan (1) kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan (2)
berkembangnya komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis (Long,
1996 : 4)
c. Diabetes melitus adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme
karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara relatif
kekurangan insulin (Tucker et all, 1992 : 401).
d. Dibetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price
dan Wilson, 1992 : 1111).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
diabetes melitus adalah penyakit kronis yang ditandai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau
absolut.
2. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Pankreas
Menurut Price dan Wilson (1992 : 430-431) pankreas merupakan organ yang panjang
dan ramping. Panjangnya sekitar 6 inci dan lebarnya 1,5 inci. Pankreas terletak
retroperitoneal dan dibagi dalam 3 segmen utama : kaput, korpus dan kauda. Kaput
terletak pada bagian cekung duodenum dan kauda menyentuh limpa.
Pankreas dibentuk dari 2 sel dasar yang mempunyai fungsi sangat berbeda. Sel-sel
eksokrin yang berkelompok-kelompok disebut asini menghasilkan unsur-unsur getah
pankreas. Sel-sel endokrin atau pulau Langerhans menghasilkan sekret endokrin,
insulin dan glukagon yang penting untuk metabolisme karbohidrat.
Pankreas merupakan kelenjar kompleks alveolar. Secara keseluruhan pankreas
menyerupai setangkai anggur, cabang-cabangnya merupakan saluran yang bermuara
pada duktus pankreatikus utama (duktus Wirsungi). Saluran-saluran kecil dari tiap
asinus mengosongkan isinya ke saluran utama. Saluran utama berjalan di sepanjang
kelenjar, sering bersatu dengan duktus koledokus pada ampula Vater sebelum masuk
ke duodenum. Saluran tambahan, duktus Santorini, sering ditemukan berjalan dari
kaput Pankreas masuk ke duodenum, sekitar 1 inci di atas papila duodeni.
b. Konsep Fisiologis Pankreas
Menurut Corwin (1996 : 538 – 541), konsep fisiologis pankreas dibagi 2 yaitu :
1. Fungsi Eksokrin Pankreas
a) Sekresi Enzim Pankreas
Sekresi enzim-enzim pankreas terutama berlangsung akibat perangsangan pankreas
oleh kolesistokinin (CCK), suatu hormon yang dikeluarkan oleh usus halus.
b) Sekresi Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat dikeluarkan dari sel-sel asinus ke usus halus, sebagai respon
terhadap hormon usus halus untuk menetralkan kimus yang asam karena enzim-
enzim pencernaan tidak dapat berfungsi dalam lingkungan asam.
2. Fungsi Endokrin Pankreas
Fungsi endokrin pankreas adalah memproduksi dan melepaskan hormon insulin,
glukagon dan somatostatin yaitu oleh pulau Langerhans.
a) Sekresi insulin
Insulin merupakan suatu hormon yang menurunkan glukosa darah (Price dan Wison,
1996 : 1109) dilepaskan pada suatu tingkat/kadar basal oleh sel-sel beta ) pulau
Langerhans. Rangsangan utama untuk pelepasan insulin di atas( kadar basal adalah
peningkatan kadar glukosa darah , hal ini merangsang sekresi insulin dari pankreas
dengan cepat meningkat dan kembali ke tingkat basal dalam 2-3 jam. Insulin adalah
hormon utama pada stadium absorptif pencernaan yang muncul segera setelah makan.
Di antara waktu makan, kadar insulin rendah.
Insulin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor insulin yang terdapat di
sebagian besar sel tubuh untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa (yang
diperantarai oleh pembawa) ke dalam sel. Setelah berada di dalam sel, glukosa dapat
segera dipergunakan untuk menghasilkan energi melalui siklus Krebs, atau dapat
disimpan di dalam sel sebagai glikogen, sewaktu glukosa dibawa masuk ke dalam sel,
kadar glukosa darah menurun. Insulin adalah hormon anabolik (pembangun) utama
pada tubuh dan memiliki berbagai efek. Insulin meningkatkan transportasi asam
amino ke dalam sel, merangsang pembentukan protein serta menghambat penguraian
simpanan lemak, protein dan glikogen. Insulin juga menghambat glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru) oleh hati .
b) Sekresi glukagon
Glukagon )adalah suatu hormon protein yang dikeluarkan oleh sel-sel alpha ( pulau
Langerhans sebagai respon terhadap kadar glukosa darah yang rendah dan
peningkatan asam amino plasma. Glukagon adalah hormon stadium pascaabsorptif
pencernaan, yang muncul dalam masa puasa di antara waktu makan. Fungsi hormon
ini terutama adalah katabolik (penguraian). Glukagon merangsang penguraian lemak
dan pelepasan asam-asam lemak bebas ke dalam darah, untuk digunakan sebagai
sumber energi selain glukosa.
c) Sekresi Somatostatin
Somatostatin ) pulau Langerhans. Hormon inidisekresikan oleh sel-sel delta
( mengotrol metabolisme dengan menghambat sekresi insulin dan glukagon.
3. Patofisiologi
a. Diabetes Melitus Tipe I ( Diabetes Melitus Dependent Insulin/DMDI )
Diabetes melitus tipe I adalah penyakit hiperglikemi akibat ketiadaan absolut insulin,
biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk dan berusia kurang dari 30 tahun .
Diabetes tipe I diperkirakan timbul akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau
Langerhans yang dicetuskan oleh lingkungan. Individu yang peka secara genetik
tampaknya memberikan respon dengan memproduksi antibodi terhadap sel-sel beta,
yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh
glukosa. Juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel
pulau Langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel-sel
beta. Mungkin juga bahwa para individu yang mengidap diabetes tipe I memiliki
kesamaan antigen antara sel-sel beta pankreas mereka dengan virus atau obat tertentu,
sehingga sistem imun gagal mengenali bahwa sel-sel pankreas adalah “diri” atau self
(Gambar 2.3) (Corwin, 1996 : 543 )
b. Diabetes Melitus Tipe II (Diabetes Melitus Non Dependent Insulin/DMNDI)
DM tipe II tampaknya berkaitan dengan kegemukkan. Selain itu, pengaruh genetik
yang menentukan kemungkinan seseorang mengidap penyakit ini, cukup kuat.
Mungkin pula bahwa individu yang menderita diabetes tipe II menghasilkan antibodi
insulin yang berikatan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin ke reseptor,
tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa.
Individu yang mengidap diabetes tipe II tetap menghasilkan insulin. Namun sering
terjadi kelambatan dalam ekskresi setelah makan dan berkurangnya jumlah insulin
yang dikeluarkan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan pertambahan usia
pasien. Sel-sel tubuh, terutama sel otot dan adiposa, memperlihatkan resistensi
terhadap insulin yang terdapat dalam darah.Pembawa glukosa tidak secara adekuat
dirangsang dan kadar glukosa darah meningkat. Hati kemudian melakukan
glukoneogenesis, serta terjadi penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen
untuk menghasilkan sumber bahan bakar alternatif. Hanya sel-sel otak dan sel darah
merah yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energi efektif. Karena masih
terdapat insulin, maka individu dengan diabetes tipe II jarang hanya mengandalkan
asam-asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentan terhadap ketosis.

c. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes. Sekitar 50 % wanita pengidap kelainan ini akan kembali ke stastu
nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Penyebab diabetes gestasional dianggap
berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar estrogen dan hormon
pertumbuhan yang teru-menerus tinggi selama kehamilan.
4. Gambaran Klinis Diabetes Melitus
Menurut Corwin (1996 : 546 – 547), terdapat 5 buah gambaran klinis dari DM, yaitu :
a. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronik,
katabolik protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel-sel. Sering terjadi penurunan
berat badan.
b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan
keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan
menimbulkan rasa haus.
c. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), pada orang nondiabetes, semua glukosa
yang difiltrasi ke dalam urin akan diserap secara aktif kembali ke dalam darah.
Pengangkut-pengangkut glukosa di ginjal yang membawa glukosa keluar urin untuk
masuk kembali ke darah akan mengalami kejenuhan dan tidak dapat mengangkut
glukosa lebih banyak. Karena glukosa di dalam urin memiliki aktivitas osmotik, maka
air akan tertahan di dalam filtrat dan diekskresikan bersama glukosa dalam urin
sehingga terjadi poliuria.
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di dalam otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
e. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di sekresi
mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes
kronik.

5. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus (American Diabetes Association 1997)


a. Diabetes tipe I
b. Diabetes tipe II
c. Diabetes tipe lain
1) Defek genetik fungsi sel beta
2) Defek genetik kerja insulin
3) Penyakit eksokrin pankreas
Pankreatitis, tumor/pankteatektomi, dan pankreatopati fibro kalulus
4) Endokrinopati
Akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme
5) Karena obat/zat kimia
6) Infeksi
Rubella kongenital
7) Sebab imunologi yang jarang
Antibodi anti insulin.
8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes Melitus Gestasional (DMG).
6 Pemeriksaan Diagnostik
200 mg/dla. Glukosa darah sewaktu
126 mg/dlGlukosa darah puasa
200 mg/dlGlukosa darah 2 jam PP
b. Aseton plasma (keton) positif secara mendadak
c. Urin : gula dan aseton positif, berat jenis dan osmolalitas mungkin meningkat.
d. Insulin darah : menurun / bahkan sampai tidak ada (DM tipe I), atau normal sampai
tinggi (tipe II).
e. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
f. Osmolalitas serum : meningkat tapi biasanya kurang dari 330 mOsm/L.
g. Elektrolit : Natrium mungkin normal, meningkat atau menurun. Kalium normal
atau peningkatan semu, selanjutnya akan menurun. Fosfor lebih sering menurun.
h. Gas Darah Arteri : pH rendah, penurunan HCO3 (asidosis metabolik) dengan
kompensasi alkalosis respiratorik.
i. Trombosit darah : Ht mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis,
hemokonsentrasi, merupakan respon terhadap stress atau infeksi.
j. Ureum/kreatinin : mungkin meningkat atau normal (dehidrasi/penurunan fungsi
ginjal).
k. Amilase darah : mungkin meningkat yang mengidentifikasikan adanya pankreatitis
akut sebagai penyebab dari DM.
l. Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat
meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
m. Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi
pernapasan dan infeksi pada luka.
n. Glikohemoglobin A1c (HbA1c) : meningkat 2-3 kali lipat (normalnya HbA1c yang
terbentuk 3-6 % dari kadar Hb).
7. Komplikasi
Menurut Corwin (1996 : 549 – 553), komplikasi DM dapat dibagi ke dalam 2 bagian
besar yaitu akut dan kronik.
a. Komplikasi Akut
1) Ketoasidosis Diabetes
Kadar keton meningkat (ketosis) akibat pemakaian asam-asam lemak yang hampir
total untuk menghasilkan ATP. Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3. pH yang rendah
menyebabkan asidosis metabolik dan merangsang hiperventilasi, yang disebut
pernapasan Kusmaul.
2) Koma Hiperglikemia Hiperosmolar Nonketosis (KHHN)
Dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah akan menyebabkan osmolalitas
plasma, yang dalam keadaan normal dikontrol secara ketat pada rentang 275-297
mOsm/L, meningkat melebihi 310 mOsm/L. Situasi ini menyebabkan berliter-liter
urin, rasa haus yang hebat, defisit kalium yang parah, dan pada sekitar 15-20 %
pasien, terjadi koma dan kematian.
3) Efek Somogyi
Ditandai oleh penurunan unik kadar glukosa darah pada malam hari, diikuti oleh
peningkatan rebound pada paginya.
4) Fenomena Fajar (dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari (antara
jam 5 – 9).
b. Komplikasi Jangka Panjang
1) Sistem Kardiovaskuler
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.
Gangguan-gangguan biokimia yang ditimbulkan akibat insufisiensi insulin berupa :
(1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler, (2) hiperlipoproteinemia dan, (3)
kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan
mengakibatkan penyumbatan vaskuler (Price dan Wilson, 1992 : 1119)
2) Gangguan Penglihatan
Ancaman paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati. Retina adalah jaringan
yang sangat aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronik akan mengalami
kerusakan secara progresif (Corwin, 1996 : 552)
3) Gangguan Sistem Saraf
Menurut Barbara C. Long (1996 : 17), neuropati diabetes disebabkan oleh hipoksia
kronik sel-sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, sel Schwann, mulai menggunakan
metode-metode alternatif untuk menangani beban peningkatan glukosa kronik, hal ini
mentebabkan perlambatan hantaran saraf dan berkurangnya sensitivitas. Hilangnya
sensasi suhu dan nyeri meningkatkan kemungkinan pasien mengalami sedera yang
parah dan tidak disadari.Keadaan yang timbul akibat anestesia berperan dalam
terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi yang menyebabkan gangren.
Gangren yang timbul dapat berupa gangren kering atau gangren basah.Gangren
kering terjadi jika jaringan yang mati tidak berhubungan dengan perubahan-
perubahan pada reaksi peradangan. Gangren basah adalah gangren yang terjadi
bersamaan dengan peradangan.Sepetikemi dan syok septik dapat terjadi pada keadaan
ini. Hubungan antara perubahan vaskuler dan perubahan persarafan pada lesi-lesi kaki
penderita diabetes, yang biasanya membutuhkan tindakan amputasi karena gangren
yang terjadi.
2) Gangguan Sistem Perkemihan
Akibat hipoksia yang berkaitan dengan diabetes jangka panjang, glomerulus, seperti
sebagian besar kapiler lainnya, menebal. Terjadi hipertropi ginjal akibat peningkatan
kerja yang harus dilakukan oleh ginjal pengidap DM kronik untuk menyerap ulang
glukosa.
8 Manajemen Medik Secara Umum
Pilar utama pengelolaan DM (Perkeni, 1998)
a. Penyuluhan
Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan perawatan pasien diabetes.
b. Perencanaan Makan
Disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani.
c. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan yang sifatnya CRIPE (continuous, rhytmical, interval, progressive,
endurance training). Zona sasaran adalah 75 – 85 % denyut nadi maksimal (220 –
umur).
d. Obat Berkhasiat Hipoglikemik
1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO).
2) Insulin.
Manajemen medik lainnya menurut Corwin (1996 :555) adalah :
a. Pemberian cairan pada KHHN.
b. Intervensi farmakologis.
c. Penggantian sel pulau Langerhans.
d. Insersi/memasukkan gen untuk insulin.
Secara khusus pada Simposium Pencegahan dan Pengendalian Diabetes serta
Komplikasinya dikemukakan mengenai perawatan kaki pada penderita diabetes yaitu
sebagai berikut :
a. Perawatan kaki apabila ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Usia di atas 40 tahun, berat badan berlebihan, menderita DM lebih dari 10 tahun,
sirkulasi dalam darah kurang sehingga denyut nadi kurang teraba atau negatif,
perubahan bentuk kaki : bengkak, ulkus, ibu jari bengkok ke luar dan radang sendi,
dan kaki yang kema infeksi.

B. Tinjauan Teoritis Tentang Asuhan Keperawatan


1. Assesment/Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan and merupakan suatu proses
ayng sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi statu kesehatan klien (Iyes et all, 1996 : 17)
Menurut Rumahorbo (1996 : 105-105), pada klien dengan diabetes; tipe diabetes,
kondisi klien, dan rencana pengobatan adalah pengkajian yang harus dilakukan.
Pengkajian secara detail adalah sebagai berikut :
a. Riwayat atau adanya faktor risiko :
Riwayat keluarga tentang penyakit, obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat
melahirkan anak lebih dari 4 kilo, riwayat glukosuria selama stress (kehamilan,
pembedahan, trauma, infeksi,.penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik
tiazid, dan kontrasepsi oral).
b. Kaji terhadap manifestasi DM
Poliuri, polidipsi, polifagia, penurunan berat badan, pruritus vulvular, kelelahan,
gangguan penglihatan, peka rangsang dan kram otot.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Tes Toleransi Glukosa (TTG), gula darah puasa (FBS), glikohemoglobin HbA1c,
urinalisis, kolesterol dan kadar trigliserin. Diagnosis DM dibuat bila gula darah puasa
di atas 140 mg/dL selama 2 atau lebih kejadian dan pasien menunjukkan gejala-gejala
DM. Juga diagnosis dapat dibuat bila contoh TTG selama periode 2 jam dan periode
lainnya (30 menit, 60 menit atau 90 menit) melebihi 200 mgh/dL.
d. Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan diagnostik dan
tindakan perawatan diri untuk mencegah komplikasi.
e. Kaji perasaan klien tentang kondisi.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon (status
kesehatan/respon perubahan pola), dari individu atau kelompok dimana perawat
secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti
untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah
(Carpenito, 2000 : 35). Pengertian yang lain dari Diagnosa Keperawatan
dikemukakan oleh Gordon (1976) yaitu masalah kesehatan aktual dan potensial
dimana berdasarkan pendidikan, dan pengalamannya, dia mampu dan mempunyai
kewenangan untuk memberikan tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan dibuat berdasarkan analisa data pasien. Berikut adalah
beberapa diagnosa keperawatan yang terdapat pada klien dengan DM
(Hotma Rumahorbo, SKp, 1997 : 106) :
a. Defisit volume cairan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
c. Risiko tinggi terhadap infeksi.
d. Risiko tinggi terhadap perubahan sensorik perseptual.
e. Keletihan.
f. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
g. Ketidakberdayaan.
h. Risiko terhadap inefektif penatalaksanaan regimanb terapeutik (individual).
3. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana Keperawatan diartikan sebagai suatu dokumentasi tulisan tangan dalam
menyelesaikan masalah, tujuan, dan intervensi.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa rencana tindakan keperawatan dari 2 buah
diagnosa yang sering muncul.
a. Diagnosa Keperawatan 1 : Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan
kebutuhan pengobatan.
Tujuan :
Klien akan :
1) Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit
2) Mengidentifikasi hubungan tanda atau gejala pada proses penyakit dan
menghubungakan gejala dengan faktor penyebab.
3) Dengan benar melakukan prosedur yang bdiperlukan dan menjelaskan rasional
tindakan.
4) Melakukan perubahan gaya hidup yang diperlukan dan berpartisipasi dalam
program pengobatan.
Intervensi :
1) Ciptakan lingkungan saling percaya dan bekerja dengan pasien dalam menata tjuan
belajar yang diharapkan.
2) Pilihlah berbagai strategi belajar dan diskusikan topik-topik penting.
3) Dislusikan tentang rencana diet.
4) Riviu regimen pengobatan dan pemberian insulin mandiri serta perawatan
peralatan.
5) Pemeriksaan gula darah setiap hari, buat jadwal latihan/ aktiovitas yang teratur.
6) Identifikasi gejala hipoglikemi dan instruksikan pentingnya perawatan kaki.
7) Tekankan pentingnya pemeriksaan mata.
8) Diskusikan mengenai fungsi seksual dan identifikasi sumber-sumber yang bada di
masyarakat.
b. Diagnosa Keperawatan 2 : Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan penyakit
jangka panjang atau progresif yang tidak dapat disembuhkan, ketergantungan dengan
orang lain :
Tujuan :
Klien akan :
1) Mengakui perasaan putus asa.
2) Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
3) Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri
mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Intervensi :
1) Anjurkan pasien/keluarga untuk menekspresikan perasaannya tentang perawatan di
rumah sakit dan penyakit secara umum, akui normalitas perasaan.
2) Identifikasi lokus kontrol dan berikan kesempatan pada orang terdekat untuk
mengekspresikan kekuatirannya.
3) Pertegas tujuan/harapan dan tentukan apakah telah terjadi perubahan hubungan
dengan orang terdekat.
4) Beri dorongan untuk membuat kepoutusan yang berhubungan dengan perawatan.
5) Dukung partisipasi dalam perawatan diri dan berikan umpan balik positif untuk
upaya yang dilakukannya.

Anda mungkin juga menyukai