LANSIA
BAB I
PENDAHULUAN
Konstipasi atau hemoroid adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang,
atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan
dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh
darah balik (vena),sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan
feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut; terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30 – 40 % orang di atas usia 65 tahun
mengeluh konstipasi . Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun
merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia sekitar
20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada
wanita dibanding pria. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991,
sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-
anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Anamnesis merupakan hal yang terpenting untuk mengungkapkan etiologi dan factor-
faktor risiko penyebab konstipasi, sedangkan pemeriksaan fisik pada umumnya tidak
mendapatkan kelainan yang jelas. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan
banyak informasi yang berguna. Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang intensif
dikerjakan secara selektif setelah 3 sampai 6 bulan pengobatan konstipasi kurang
berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
Tujuan Umum :
Tujuan Khusus :
1.4. Manfaat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya
kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-
kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada
umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan
terdapat variasi yang berlainan antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah
konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih
kaburnya hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang
sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau
keduanya yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air
besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang
air besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan
dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi
klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari.
Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi
(cheskin dkk, 1990).
2.2 Epidemiologi
Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi
yang berlangsung singkat adalah normal (ASCRS, 2002). Menurut National Health
Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh
menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Hal
ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun dan
menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar (NIDDK,
2000).
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun
mengeluhkan konstipasi (Holson, 2002). Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas
usia 65 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar
(Cheskin, dkk 1990). Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh
mendrita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria (Robert-Thomson,
1989). Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang usia lanjut usia di atas 65 tahun
menunjukkan sekitar 34% wanita dan 26% pria meneluh menderita konstipasi
(Harari, 1989).
2.3 Etiologi
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf,
tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal
untuk defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh
penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
2.4 Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos
dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran
yang baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang
diikuti relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis
yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB
dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan
isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan
tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.baik persyarafan simpatis
dan para simpatis terlibat dalam proses ini.
2.6 Penatalaksanaan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada
kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya
6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan
dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien,
demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih
banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.
b) Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit
(transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10
gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20
per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-
kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan meningkatkan masa tinja
dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri
kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan
gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan
dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon.
Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan
buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali
menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c) Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air
besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya
penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal
yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada
pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah
memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan
kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk
buang air besar, waktu yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan
makan malam.
d) Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat
bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam
setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat
tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat
tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah salah satu
cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring
dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan
diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk
merangsang gerakan usus.
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada
merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk,
dan senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural
sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak
menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti
bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada orang
usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga
harus diimbangi dengan asupan cairan.
b) Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai
pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan,
menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam
memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang
kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus
dicegah.
c) Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna
meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan
evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh
pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau
elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian.
Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai dengan
10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum
tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus
ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki
absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada
usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria untuk
mendapatka efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat
menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin,
melainkan sekitar 3 kali seminggu.
d) Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon
keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam
dengan melepaskan karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini
secara osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses.
Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit pada
sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang mengalami konstipasi. Laktulosa dan
sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi
pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama
empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial
yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif.
Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk
supositoria.
e) Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang
kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan
secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring
mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun,
pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema
yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan
rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air
sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
BAB 3
3.1 KASUS
Tn. A berusia 65 tahun datang ke poli umum dengan keluhan tidak bisa buang air
besar selama seminggu.Setelah 1 minggu Tn.A bisa BAB dan mengalami nyeri saat
defekasi. Tn. A merasakan nyeri dan penuh perjuangan dalam mengejan. Saat dikaji,
klien mengatakan bentuk fesesnya keras dalam minggu ini sampai sekarang. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan :
TD : 150 / 90 mmHg
HR : 106x/menit
RR : 22x/menit
TB : 158 cm
3.2 PENGKAJIAN
1. I. BIODATA
Penanggung Jawab
Nama : Tn. P
Pekerjaan : Wiraswasta
Tn. A mengatakan bahwa sakitnya sudah 1 minggu terakhir ini dan Tn. A juga
merasakan perutnya terasa penuh. Klien juga mengatakan bahwa susah buang air
besar dan sering buang angin selama 1 minggu terakhir ini.
Klien mengatakan tidak pernah rawat inap di rumah sakit karena tidak pernah
mengalami penyakit yang parah sebelumnya, paling hanya sakit ringan yaitu demam,
flu.
1. Riwayat operasi
Klien mengatakan tidak ada riwayat alergi. Klien tidak mempunyai pantangan
makanan apapun.
1. Ideal diri
Klien mengharapkan dan selalu berdoa kepada Tuhan YME agar diberikan ketabahan
dalam menghadapi penyakitnya dan kesembuhan walau tidak terlalu mengharap.
1. Harga diri
Klien senang tinggal di panti karena tercukupi semua kebutuhannya, dan bebas
melakukan apa saja yang diinginkan.
1. Peran diri
Klien seorang duda yang telah ditinggal istrinya karena meninggal kurang lebih 10
tahun lalu. Dari perkawinannya klien memiliki 1 orang anak.
1. Personal identity
Klien merupakan anggota panti Tresna Werdha Abdi di wisma Teratai. Klien
merupakan duda dengan 1 anak.
1. Keadaan Emosi
Harmonis dengan keluarga yang ada dan masuk ke panti karena keinginan klien
sendiri yang tidak mau menyusahkan keluarga terutama anaknya yang telah berumah
tangga.
Baik, klien mau bergaul dengan sesama warga panti terutama dengan anggota satu
wisma.
1. Kegemaran
1. Daya adaptasi
Klien dapat beradaptasi dengan warga di panti walaupun klien kurang bisa mengikuti
kegiatan yang ada di panti seperti pengajian, gotong royong dan senam pagi karena
keterbatasan karena penyakitnya.
1. Keadaan Umum: klien dalam kondisi baik namun teraba adanya distensi
abdomen
2. Pemeriksaan B1- B6
d) Bowel : Sulit BAB, saat BAB terasa nyeri,terdapat distensi abdomen dengan
lingkar perut 50 cm, bising usus 2x/menit ( kurang terdengar ), sering buang angin.
e) Bladder : normal, 1200cc/ hari, warna kuning
f) Bone : normal
05.00 WIB
1. Pola Eliminasi
1. BAB : tidak lancar dan tidak ada penggunaan laksativ, riwayat perdarahan,
tidak ada dan saat mengkaji tidak terjadi diare, karakter feses: Klien mengatakan
fesesnya keras.
2. BAK : Pola BAK : ± 5-10 x/hari dan tidak terjadi inkontinensia, Karakter
urin: kuning, Jumlah urine : 1200 ml/hari, tidak ada rasa nyeri/rasa terbakar/kesulitan
BAK, tidak ada penggunaan diuretik
Diit type : Jenis makanan yaitu makanan biasa dan jumlah makanan per hari 3
piring dalam per hari. Jarang makan sayur. Kurang suka makanan berserat.
Minum 5 gelas sehari
Kehilangan selera makan : perut terasa penuh
1. Tanda Objektif
1. Pola Kegiatan/Aktivitas
ANALISA DATA
BAB 1x/minggu
Feses keras
Gangguan
Bising usus koordinasi reflek defekasi
Teraba Skibala
Penumpukan feses
Konstipasi
Data Subjektif: Penatalaksanaan penyakit Kurang pengetahuan
Klien mengatakan
permintaan informasi serta
menyatakan bahwa klien Ketidakakuratan mengikuti
kurang mengerti manfaat
makanan berserat instruksi
Ketidak-akuratan mengikuti
pola diet yang sehat
Kurang pengetahuan
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya
kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-
kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar. Konstipasi
merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan
dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan
konstipasi. Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpulan
sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam
menanggapi sinyal untuk defekaasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang
disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus
otot.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta:
EGC
Maryam, R Siti. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika
Noedhi, Darmojo. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta: Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC
KONSEP DASAR LANJUT USIA
Usia 55 tahun di Indonesia merupakan indikasi seseorang memasuki lanjut usia. Proses
penuaan dipicu oleh laju peningkatan radikal bebas dan sistem penawar racun yang semakin
berubah seiring berjalannya usia.
Faktor-faktor proses penuaan ; faktor genetik, faktor endogenik dan faktor eksogenik (faktor
lingkungan dan gaya hidup) yang akan mempengaruhi kesepatan proses penuaan.
- Faktor genetik ;
1. Penuaan diri.
2. Resiko penyakit.
3. Intelegensia.
4. Pharmakogenetik.
5. Warna kulit.
6. Tipe atau kepribadian seseorang.
- Faktor endogenik ;
1. Perubahan struktural dan penurunan fungsional.
2.Kemampuan/skill.
3. Daya adaptasi.
4. Kapasitas kulit untuk mensintesis vitamin D.
- Faktor lingkungan ;
1. Diet/asupan zat gizi.
2. Merokok.
3. Tingkat polusi.
4. Pendidikan.
5. Obat.
6. Penyinaran sinar ultraviolet.
- Sistem pencernaan
1. Gigi.
2. Penurunan sensitifitas indera penciuman dan perasa.
3. Penurunan produksi asam lambung dan enzim pencernaan.
4. Penurunan absorbsi.
5. Penurunan motilitas usus.
6. Obat-obatan.
7. Perubahan fungsi hati.
- Sistem jantung
Efesiensi kerja jantung dalam memompa darah menjadi berkurang.
- Sistem pernafasan
Penurunan fungsi paru.
- Sistem ekskresi
Penurunan fungsi ginjal.
- Masa tulang
Berkurangnya massa tulang.
b. Perubahan mental
Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan mental ;
- Tipe kepribadian.
- Faktor sosial.
- Faktor budaya.
Perubahan mental pada lansia dapat dikurangi dengan sikap positif masyarakat pada lansia,
dengan cara ;
- Tidak menilai lansia sebagai orang lusuh, lemah, siap dibuang dan beban bagi orang lain.
- Para lansia harus merasa sebagai orang baru dan menjadikan masa lansia sebagai massa
yang menggairahkan.
- Penurunan kemampuan dan penyakit jangan dijadikan beban, tetapi harus terus dimotifasi
untuk meningkatkan disiplin dalam mencapai kesehatan yang prima.
- Bangkitkan optimisme dalam menciptakan kesehatan dan kebugaran pada lansia.
- Masalah pengunyahan.
Tips untuk mengatasi masalah pengunyahan pada lansia ;
1. Makanan yang disajikan harus lembut, agak berair.
2. Makanan dipotong menjadi bagian yang kecil.
3. Sertakan minuman atau cairan didalam makanan.
4. Konsultasi dengan ahli diet atau dokter, jika mengalami kesulitan pengunyahan yang
cukup serius.
b. Gizi lansia.
Kondisi gizi yang baik pada lansia ditentukan oleh hal berikut ;
1. Kesehatan sel-sel tubuh.
2. Penerapan pedoman diet lansia untuk memenuhi kecukupan gizi.
3. Pengawasan penggunaan obat pada lansia sehingga tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap penyerapan zat gizi yang akan membahayakan kesehatan tubuh.
Perlu diperhatikan ;
1. Naikan beban perlahan.
2. Hindari cidera.
3. Lakukan 3 kali/minggu atau 2 kali/minggu.
- Bagi penderita hypertensi, jantung atau masalah peredaran darah sebaiknya tubuh
menggunakan beban waktu jalan.
- Mereka yang memiliki masalah pada leher, punggung dan lengan jangan menggunakan
beban.
- Lakukan pengulangan (rutin) sehingga lama beban itu terasa semakin ringan.
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian mengenai Diabetes Melitus oleh
beberapa orang ahli, diantaranya :
a. Diabetes melitus adalah penyakit kronis metabolisme abnormal yang memerlukan
pengobatan seumur hidup dengan diet, latihan, dan obat-obatan (Carpenito, 1999 :
143).
b. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang
melibatkan (1) kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan (2)
berkembangnya komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis (Long,
1996 : 4)
c. Diabetes melitus adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme
karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara relatif
kekurangan insulin (Tucker et all, 1992 : 401).
d. Dibetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price
dan Wilson, 1992 : 1111).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
diabetes melitus adalah penyakit kronis yang ditandai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau
absolut.
2. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Pankreas
Menurut Price dan Wilson (1992 : 430-431) pankreas merupakan organ yang panjang
dan ramping. Panjangnya sekitar 6 inci dan lebarnya 1,5 inci. Pankreas terletak
retroperitoneal dan dibagi dalam 3 segmen utama : kaput, korpus dan kauda. Kaput
terletak pada bagian cekung duodenum dan kauda menyentuh limpa.
Pankreas dibentuk dari 2 sel dasar yang mempunyai fungsi sangat berbeda. Sel-sel
eksokrin yang berkelompok-kelompok disebut asini menghasilkan unsur-unsur getah
pankreas. Sel-sel endokrin atau pulau Langerhans menghasilkan sekret endokrin,
insulin dan glukagon yang penting untuk metabolisme karbohidrat.
Pankreas merupakan kelenjar kompleks alveolar. Secara keseluruhan pankreas
menyerupai setangkai anggur, cabang-cabangnya merupakan saluran yang bermuara
pada duktus pankreatikus utama (duktus Wirsungi). Saluran-saluran kecil dari tiap
asinus mengosongkan isinya ke saluran utama. Saluran utama berjalan di sepanjang
kelenjar, sering bersatu dengan duktus koledokus pada ampula Vater sebelum masuk
ke duodenum. Saluran tambahan, duktus Santorini, sering ditemukan berjalan dari
kaput Pankreas masuk ke duodenum, sekitar 1 inci di atas papila duodeni.
b. Konsep Fisiologis Pankreas
Menurut Corwin (1996 : 538 – 541), konsep fisiologis pankreas dibagi 2 yaitu :
1. Fungsi Eksokrin Pankreas
a) Sekresi Enzim Pankreas
Sekresi enzim-enzim pankreas terutama berlangsung akibat perangsangan pankreas
oleh kolesistokinin (CCK), suatu hormon yang dikeluarkan oleh usus halus.
b) Sekresi Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat dikeluarkan dari sel-sel asinus ke usus halus, sebagai respon
terhadap hormon usus halus untuk menetralkan kimus yang asam karena enzim-
enzim pencernaan tidak dapat berfungsi dalam lingkungan asam.
2. Fungsi Endokrin Pankreas
Fungsi endokrin pankreas adalah memproduksi dan melepaskan hormon insulin,
glukagon dan somatostatin yaitu oleh pulau Langerhans.
a) Sekresi insulin
Insulin merupakan suatu hormon yang menurunkan glukosa darah (Price dan Wison,
1996 : 1109) dilepaskan pada suatu tingkat/kadar basal oleh sel-sel beta ) pulau
Langerhans. Rangsangan utama untuk pelepasan insulin di atas( kadar basal adalah
peningkatan kadar glukosa darah , hal ini merangsang sekresi insulin dari pankreas
dengan cepat meningkat dan kembali ke tingkat basal dalam 2-3 jam. Insulin adalah
hormon utama pada stadium absorptif pencernaan yang muncul segera setelah makan.
Di antara waktu makan, kadar insulin rendah.
Insulin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor insulin yang terdapat di
sebagian besar sel tubuh untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa (yang
diperantarai oleh pembawa) ke dalam sel. Setelah berada di dalam sel, glukosa dapat
segera dipergunakan untuk menghasilkan energi melalui siklus Krebs, atau dapat
disimpan di dalam sel sebagai glikogen, sewaktu glukosa dibawa masuk ke dalam sel,
kadar glukosa darah menurun. Insulin adalah hormon anabolik (pembangun) utama
pada tubuh dan memiliki berbagai efek. Insulin meningkatkan transportasi asam
amino ke dalam sel, merangsang pembentukan protein serta menghambat penguraian
simpanan lemak, protein dan glikogen. Insulin juga menghambat glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru) oleh hati .
b) Sekresi glukagon
Glukagon )adalah suatu hormon protein yang dikeluarkan oleh sel-sel alpha ( pulau
Langerhans sebagai respon terhadap kadar glukosa darah yang rendah dan
peningkatan asam amino plasma. Glukagon adalah hormon stadium pascaabsorptif
pencernaan, yang muncul dalam masa puasa di antara waktu makan. Fungsi hormon
ini terutama adalah katabolik (penguraian). Glukagon merangsang penguraian lemak
dan pelepasan asam-asam lemak bebas ke dalam darah, untuk digunakan sebagai
sumber energi selain glukosa.
c) Sekresi Somatostatin
Somatostatin ) pulau Langerhans. Hormon inidisekresikan oleh sel-sel delta
( mengotrol metabolisme dengan menghambat sekresi insulin dan glukagon.
3. Patofisiologi
a. Diabetes Melitus Tipe I ( Diabetes Melitus Dependent Insulin/DMDI )
Diabetes melitus tipe I adalah penyakit hiperglikemi akibat ketiadaan absolut insulin,
biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk dan berusia kurang dari 30 tahun .
Diabetes tipe I diperkirakan timbul akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau
Langerhans yang dicetuskan oleh lingkungan. Individu yang peka secara genetik
tampaknya memberikan respon dengan memproduksi antibodi terhadap sel-sel beta,
yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh
glukosa. Juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel
pulau Langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel-sel
beta. Mungkin juga bahwa para individu yang mengidap diabetes tipe I memiliki
kesamaan antigen antara sel-sel beta pankreas mereka dengan virus atau obat tertentu,
sehingga sistem imun gagal mengenali bahwa sel-sel pankreas adalah “diri” atau self
(Gambar 2.3) (Corwin, 1996 : 543 )
b. Diabetes Melitus Tipe II (Diabetes Melitus Non Dependent Insulin/DMNDI)
DM tipe II tampaknya berkaitan dengan kegemukkan. Selain itu, pengaruh genetik
yang menentukan kemungkinan seseorang mengidap penyakit ini, cukup kuat.
Mungkin pula bahwa individu yang menderita diabetes tipe II menghasilkan antibodi
insulin yang berikatan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin ke reseptor,
tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa.
Individu yang mengidap diabetes tipe II tetap menghasilkan insulin. Namun sering
terjadi kelambatan dalam ekskresi setelah makan dan berkurangnya jumlah insulin
yang dikeluarkan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan pertambahan usia
pasien. Sel-sel tubuh, terutama sel otot dan adiposa, memperlihatkan resistensi
terhadap insulin yang terdapat dalam darah.Pembawa glukosa tidak secara adekuat
dirangsang dan kadar glukosa darah meningkat. Hati kemudian melakukan
glukoneogenesis, serta terjadi penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen
untuk menghasilkan sumber bahan bakar alternatif. Hanya sel-sel otak dan sel darah
merah yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energi efektif. Karena masih
terdapat insulin, maka individu dengan diabetes tipe II jarang hanya mengandalkan
asam-asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentan terhadap ketosis.
c. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes. Sekitar 50 % wanita pengidap kelainan ini akan kembali ke stastu
nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Penyebab diabetes gestasional dianggap
berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar estrogen dan hormon
pertumbuhan yang teru-menerus tinggi selama kehamilan.
4. Gambaran Klinis Diabetes Melitus
Menurut Corwin (1996 : 546 – 547), terdapat 5 buah gambaran klinis dari DM, yaitu :
a. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronik,
katabolik protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel-sel. Sering terjadi penurunan
berat badan.
b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan
keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan
menimbulkan rasa haus.
c. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), pada orang nondiabetes, semua glukosa
yang difiltrasi ke dalam urin akan diserap secara aktif kembali ke dalam darah.
Pengangkut-pengangkut glukosa di ginjal yang membawa glukosa keluar urin untuk
masuk kembali ke darah akan mengalami kejenuhan dan tidak dapat mengangkut
glukosa lebih banyak. Karena glukosa di dalam urin memiliki aktivitas osmotik, maka
air akan tertahan di dalam filtrat dan diekskresikan bersama glukosa dalam urin
sehingga terjadi poliuria.
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di dalam otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
e. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di sekresi
mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes
kronik.